Berkat Facebook Spaces, Pengguna Oculus Rift Dapat Berinteraksi dalam VR Seperti Sesungguhnya

Sebagai sang empunya Oculus, Facebook punya misi besar akan masa depan virtual reality. VR sendiri juga memiliki porsi materi yang cukup besar dalam konferensi developer F8 tahun ini, utamanya dengan diperkenalkannya Facebook Spaces untuk Oculus Rift.

Sama-sama ditujukan untuk merealisasikan konsep social VR, Spaces boleh dibilang merupakan penyempurnaan dari Oculus Rooms. Premis yang ditawarkan cukup mirip, dimana Anda bersama tiga orang lainnya bisa bergabung di dalam satu lokasi virtual untuk saling berinteraksi.

Anda memiliki karakter virtual dalam Facebook Spaces yang dirancang semirip mungkin dengan identitas Anda sebenarnya / Facebook
Anda memiliki karakter virtual dalam Facebook Spaces yang dirancang semirip mungkin dengan identitas Anda sebenarnya / Facebook

Perbedaan utamanya, Anda akan diwakili oleh seorang avatar atau karakter virtual dalam Spaces. Karakter ini dirancang semirip mungkin dengan rupa Anda berdasarkan foto yang pernah Anda unggah ke Facebook, yang selanjutnya bisa Anda kustomisasi secara lebih spesifik lagi.

Kehadiran avatar ini membuat interaksi dalam Spaces bisa terasa lebih alami ketimbang Rooms. Avatar tersebut memang tidak punya kaki dan yang ditampilkan hanyalah dari pinggang ke atas, akan tetapi paling tidak gerakan tangannya bisa meniru gerakan tangan Anda sebenarnya berkat bantuan controller Oculus Touch.

Ekspresi wajah avatar juga belum bisa meniru ekspresi kita sebenarnya. Akan tetapi lagi-lagi Oculus Touch bisa sedikit membantu, dimana pengguna dapat mengangkat dan mengarahkan tangannya yang menggenggam controller tersebut ke pipi untuk menunjukkan mimik wajah terkejut, atau ekspresi ketakutan dengan menempatkannya di depan mata.

Facebook Spaces menawarkan beragam aktivitas grup, termasuk halnya video call dengan pengguna Messenger jika suasana dirasa kurang ramai / Facebook
Facebook Spaces menawarkan beragam aktivitas grup, termasuk halnya video call dengan pengguna Messenger jika suasana dirasa kurang ramai / Facebook

Spaces menawarkan sejumlah aktivitas grup yang cukup menarik. Salah satu yang paling unik adalah kemampuan untuk menggambar di udara, lalu menyulap gambar itu menjadi objek interaktif yang bisa Anda mainkan – insting bocah saya langsung berpikiran kalau fitur ini bisa dimanfaatkan untuk bermain pedang-pedangan dalam VR.

Berada dalam dunia virtual sudah semestinya tidak membendung jiwa narsis Anda / Facebook
Berada dalam dunia virtual sudah semestinya tidak membendung jiwa narsis Anda / Facebook

Menikmati foto kenang-kenangan atau video juga bisa dilakukan bersama-sama, dan Anda bahkan juga bisa menjadikan foto 360 derajat Anda sebagai background. Video calling dengan pengguna Messenger juga memungkinkan seandainya Anda merasa suasana kurang ramai, dan tentu saja Anda juga dapat mengambil selfie menggunakan tongsis virtual.

Meski masih dalam tahap beta, siapapun yang memiliki Oculus Rift dan controller Touch saat ini sudah bisa mengunduh Facebook Spaces langsung dari Oculus Store.

Sumber: The Verge dan Facebook.

AMD Akuisisi Nitero Guna Berfokus pada Segmen Wireless VR

2017 sepertinya bakal jadi tahunnya wireless VR. Yang saya maksud di sini bukanlah Gear VR dan teman-teman sejawatnya, melainkan headset seperkasa Oculus Rift atau HTC Vive, namun yang tidak perlu tersambung ke PC menggunakan kabel, memungkinkan pengguna untuk lebih leluasa bergerak dalam sesi VR gaming.

Indikasi yang pertama adalah tether-less upgrade kit besutan TPCAST, kemudian ada pula Quark VR yang belum lama ini juga mendemonstrasikan prototipe perangkat serupa. Yang ketiga datang dari nama yang jauh lebih besar, yakni AMD.

Produsen prosesor dan kartu grafis tersebut baru saja mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi Nitero, sebuah perusahaan yang memang tengah mematangkan teknologi wireless virtual reality. Menurut AMD, akuisisi ini bertujuan untuk menyajikan solusi terhadap permasalahan yang kerap dijumpai pada VR headset beserta sederet kabelnya.

Teknologi yang dikembangkan Nitero mencakup sebuah transmitter 60 GHz yang sanggup meneruskan konten dari PC ke VR headset secara nirkabel dengan latency yang minimal, alias hampir tidak ada lag. Sejauh ini baik TPCAST, Quark VR maupun Nitero masih belum benar-benar bisa membuktikan seminim apa latency yang bisa dicapai teknologinya masing-masing.

Sampai titik ini belum ada kejelasan terkait produk seperti apa yang akan AMD luncurkan nanti. Apakah berupa aksesori untuk Rift dan Vive – seperti yang dilakukan TPCAST dan QuarkVR – atau malah sebuah headset baru hasil rancangannya sendiri?

Saya pribadi menduga AMD akan lebih memilih opsi yang pertama, spesifiknya untuk HTC Vive. Bukan karena Vive lebih superior atau apa, tapi karena Valve sendiri merupakan salah satu investor utama di Nitero, dan akuisisi ini dapat berujung pada kerja sama antara AMD dan Valve, yang notabene bertanggung jawab atas sistem tracking pada Vive.

Sumber: UploadVR dan AMD.

Co-Founder Oculus VR Palmer Luckey Mundur dari Facebook

Satu tahun sudah lewat setelah Palmer Luckey dan timnya melepas head-mounted display Oculus Rift ke tangan konsumen, dan saat ini, Oculus VR menginjak tahun ketiga sejak mereka memutuskan buat menjadi bagian dari Facebook. Akuisisi senilai US$ 2 miliar tersebut meyakinkan banyak orang mengenai potensi pemanfaatan teknologi VR secara mainstream.

Dan di tanggal 30 Maret kemarin, terungkap sebuah berita mengagetkan. Palmer Luckey, salah satu pendiri Oculus VR, mengundurkan diri dari Facebook. Hari ini merupakan Jumat terakhir bagi Luckey bekerja sebagai karyawan sosial media raksasa itu. Kabarnya, sang co-founder berhenti secara sukarela, tapi Facebook enggan memberikan komentar karena dilarang mendiskusikan masalah personal.

Berkenaan dengan mudurnya Palmer Luckey, Facebook segera mengeluarkan pernyataan resmi: “Palmer akan sangat dirindukan, dan warisannya jauh melampaui berdirinya Oculus. Semangat Luckey-lah yang mencetus revolusi virtual reality modern dan membantu membangun industri ini. Kami sangat berterima kasih untuk semua hal yang ia kerjakan buat perusahaan serta ranah VR, dan kami berharap ia selalu sukses.”

Di awal kiprah Oculus VR, Luckey pernah menyampaikan bahwa virtual reality merupakan masa depan industri hiburan, ‘The Matrix’ di dunia nyata. Dan dengan rendah hati, ia juga mengaku terobosan-terobosan yang Oculus VR manfaatkan bukan murni kreasi mereka. Perusahaan tersebut hanya sekedar ‘beruntung’ karena mengenalkan kembali VR di momen yang tepat. Walau demikian, Oculus bertanggung jawab memicu persaingan virtual reality – dimeriahkan oleh Valve, HTC, Samsung dan banyak nama terkenal lain.

Meski menjadi pionir, perjalanan Palmer Luckey bersama Oculus VR tidak selalu mulus. Pandangan dan dukungan politiknya terkait pemilihan presiden di Amerika tahun lalu berdampak buruk pada citra perusahaan.

Lalu di bulan Januari 2017 silam, Luckey (ditemani oleh Mark Zuckerberg) dipanggil ke pengadilan sebagai saksi atas tuduhan ZeniMax terhadap Oculus VR terkait ‘pencurian’ teknologi yang dilakukan sang CTO, John Carmack. Di tanggal 1 Februari, juri mengumumkan bahwa Oculus tidak bersalah, namun karena menurut mereka Luckey gagal mematuhi NDA yang ia tanda tangani, Facebook harus membayarkan uang sebesar US$ 500 juta pada Zenimax.

Facebook sendiri sudah menyuarakan langkah buat naik banding, dan perseteruan ini bisa berlangsung hinga bertahun-tahun ke depan. Tak lama setelah kasus gugatan itu, terdengar desas desus bahwa ada kemungkinan Luckey akan mengundurkan diri. Tapi terhitung di bulan Desember 2016 kemarin, ia dikonfirmasi masih bekerja untuk Facebook.

Via Venture Beat. Sumber: Upload VR. Gambar header: Business Insider.

Oculus Rift Generasi Berikutnya Dapat Dibekali dengan Teknologi Eye-Tracking

Menggerakkan karakter dalam VR hanya dengan lirikan mata mungkin terdengar seperti potongan adegan dalam film fiksi ilmiah, namun nyatanya ada beberapa startup yang memang mendedikasikan waktunya untuk membuat impian tersebut menjadi kenyataan. Salah satunya adalah The Eye Tribe, dan mereka baru saja diakuisisi oleh Oculus.

Akuisisi ini pun membuat kita berasumsi bahwa Oculus Rift generasi berikutnya akan dibekali oleh teknologi eye-tracking rancangan The Eye Tribe. Meski sejauh ini tidak ada pernyataan resmi dari kedua pihak terkait hal ini, bisa dipastikan ini merupakan salah satu bagian dari visi ke depan mereka.

Tidak berlebihan jika saya berpendapat bahwa masa depan Rift banyak bergantung pada teknologi rancangan The Eye Tribe. Pasalnya, selain eye-tracking, mereka juga mengembangkan teknologi yang dikenal dengan istilah foveated rendering.

Foveated rendering ini memungkinkan perangkat virtual reality untuk me-render grafik secara sempurna hanya pada bagian yang dilihat oleh pengguna. Ini berbeda dari yang diterapkan sekarang, dimana grafik konten harus di-render 360 derajat, yang berujung pada besarnya resource yang dibutuhkan, dimana pengguna Rift wajib memiliki PC berspesifikasi kelas atas.

The Eye Tribe berawal dari sebuah proyek riset di IT University of Copenhagen pada tahun 2009. Tracker yang mereka buat diklaim jauh lebih terjangkau dari perangkat serupa buatan kompetitornya. Ya, terlepas dari canggih dan kompleksnya teknologi yang mereka garap, The Eye Tribe masih punya sejumlah rival di bidang yang mereka tekuni ini.

Salah satunya adalah Eyefluence yang belum lama ini diakuisisi oleh Google. Ini semakin membuktikan betapa besarnya peran teknologi eye-tracking di ranah virtual reality.

Sumber: TechCrunch.

Peduli Aspek Sosial, Oculus Luncurkan Fitur Parties dan Rooms untuk Gear VR dan Rift

Bertolak belakang dengan pandangan banyak orang, Oculus ingin membuktikan bahwa pengalaman virtual reality juga bisa disisipi aspek sosial. Apa yang ditawarkan sederhananya seperti berikut: meski kita sedang berada di dalam dunia virtual, kita masih tetap saling berinteraksi, dan pengalamannya dibuat semirip mungkin dengan di dunia nyata.

Untuk mewujudkannya, Oculus baru saja meluncurkan dua fitur baru bernama Oculus Parties dan Oculus Rooms. Dirancang di atas platform Oculus, kedua fitur ini pada dasarnya memungkinkan pengguna Gear VR dan Oculus Rift untuk saling menyapa di dunia virtual.

Oculus Parties memungkinkan Anda dan tiga pengguna lainnya untuk tergabung dalam percakapan suara. Yang menarik, percakapan suara ini akan terus berlangsung meski masing-masing tengah berada di aplikasi yang berbeda.

Untuk mengaksesnya, Anda perlu menghubungkan akun Facebook dan Oculus terlebih dulu, kemudian tinggal cari pengguna lain berdasarkan nama asli atau username Oculus-nya. Setelahnya, tinggal klik tab “Party” di Oculus Home, dan pilih dari daftar teman yang sedang online untuk membentuk suatu Party.

Oculus Rooms adalah sebuah ruang virtual dimana Anda sekelompok bisa nongkrong bersama seperti di dunia nyata / Oculus
Oculus Rooms adalah sebuah ruang virtual dimana Anda sekelompok bisa nongkrong bersama seperti di dunia nyata / Oculus

Dari situ Anda sekelompok bisa melanjutkan interaksi ke level yang lebih tinggi dengan Oculus Rooms. Rooms pada dasarnya merupakan sebuah ruang virtual dimana Anda sekelompok bisa menghabiskan waktu bersama.

Oculus bilang fokus mereka adalah menyajikan sejumlah aktivitas sosial yang dapat memberikan kesan seakan-akan Anda sekelompok sedang nongkrong bersama di dunia nyata. Aktivitas-aktivitas tersebut meliputi menonton video bersama, bermain mini game atau langsung masuk ke sejumlah game yang menawarkan mode multiplayer.

Oculus berjanji akan menambahkan lebih banyak aplikasi yang kompatibel dengan fitur Rooms. Untuk sekarang Oculus Parties dan Rooms sudah bisa dinikmati oleh pengguna Gear VR, dan akan menyusul ke Rift tahun depan.

Sumber: Oculus Blog.

VR Headset Bukan Cuma untuk Gaming, Tapi Juga untuk Memantau Janin Secara 3D

Satu lagi bukti bahwa teknologi virtual reality punya manfaat lebih dari sekadar medium hiburan baru. Di sebuah klinik di kota Rio de Janeiro, Brasil, VR headset Oculus Rift tengah digunakan untuk mengamati hasil scan ultrasonografi alias USG.

Namun jangan Anda bayangkan gambar yang diamati tampak kabur dan tidak berbentuk, sebab para ahli di sana telah menggabungkan hasil scan USG dengan MRI guna menciptakan model tiga dimensi dari sebuah janin, yang kemudian bisa dipantau dari segala sudut menggunakan VR headset.

Tentunya ini merupakan pengalaman yang luar biasa bagi para calon ayah dan ibu, akan tetapi ternyata juga ada dampak positifnya dari sisi medis. Utamanya, dokter bisa memprediksi masalah kesehatan yang berpotensi terjadi sejak dini mengingat struktur internal sang janin juga telah dipetakan secara menyeluruh.

Semisal ada problem pada sistem pernafasan sang janin, dokter bisa langsung mengetahuinya dan bersiap untuk melangsungkan operasi sesaat setelah menjalani proses persalinan. Ini jelas jauh lebih efektif ketimbang hanya menebak-nebak dari hasil scan USG biasa dan mengharapkan yang terbaik.

Model 3D janin pada usia kandungan 27 minggu serta organ-organ internalnya / RSNA
Model 3D janin pada usia kandungan 27 minggu serta organ-organ internalnya / RSNA

Menurut Dr. Heron Werner Jr. sebagai salah satu yang bertanggung jawab atas penerapan teknologi ini, VR headset macam Oculus Rift sanggup menyuguhkan gambar yang jauh lebih tajam dan jernih ketimbang melihat hasil scan USG dan MRI dari layar biasa. Di saat yang sama, detak jantung sang janin pun juga bisa didengarkan dan diamati.

Setelah berhasil mengujinya di Clínica de Diagnóstico por Imagem di Brasil, tim pengembangnya berharap bisa membawa teknologi ini ke lebih banyak kawasan mulai tahun depan. Apapun yang dapat meningkatkan akurasi dari suatu teknik diagnosa merupakan kabar baik buat perkembangan dunia medis; dan bagi para calon orang tua, saya yakin tidak ada yang menolak kesempatan untuk mengenali calon anaknya lebih dini.

Sumber: The Telegraph dan RSNA.

Cek Kemampuan PC Anda Menangani Oculus Rift dan HTC Vive dengan VRMark

Bukan rahasia apabila VR headset Oculus Rift dan HTC Vive mewajibkan konsumen untuk memiliki PC berspesifikasi tinggi. Yang paling diutamakan adalah GPU, dimana opsi minimum yang diminta adalah Nvidia GTX 970 (atau 1060 yang lebih baru) atau AMD Radeon 290 (atau RX 480). Lalu untuk prosesor performanya harus setara Intel Core i5-4590, ditambah dukungan RAM minimal 8 GB.

Semua ini tentu saja bisa membuat calon konsumen enggan untuk melirik kedua VR headset hanya karena mereka tidak mau dibuat pusing oleh tipe-tipe komponen PC yang mereka miliki. Mungkin bagi mereka solusi yang lebih ideal adalah berupa software benchmark yang akan menjawab apakah PC mereka bisa atau tidak menangani Oculus Rift dan HTC Vive.

Valve sebenarnya sudah menyiapkan software simpel bernama SteamVR Performance Test sejak cukup lama. Akan tetapi kini ada alternatif lain yang tak kalah sederhana, namun dengan hasil yang lebih komprehensif. Namanya VRMark, dan ia berasal dari Futuremark, developer yang sama yang mengembangkan software benchmark legendaris 3DMark.

VRMark tersedia dalam dua versi: Basic yang bisa didapat gratis, atau Advanced yang bisa dibeli dari Steam / Futuremark
VRMark tersedia dalam dua versi: Basic yang bisa didapat gratis, atau Advanced yang bisa dibeli dari Steam / Futuremark

Saat menjalankan VRMark, PC Anda akan betul-betul diuji kemampuannya untuk menjalankan game virtual reality, dimana software akan me-render diorama bergerak dengan detail di sana-sini yang amat merinci. Kriteria yang difokuskan tentu saja adalah frame rate, tapi VRMark juga akan memberikan ulasan secara mendalam terkait di titik mana saja frame rate anjlok – dengan catatan Anda membeli versi Advanced-nya.

Pengujian bisa dilakukan tanpa VR headset, sehingga ideal bagi mereka yang belum memiliki Rift atau Vive, tapi tertarik untuk membelinya. VRMark juga menyediakan Experience Mode, dimana pengguna bisa menavigasikan tampilan layar secara bebas untuk menentukan sendiri pengalamannya cukup mulus atau tidak.

VRMark saat ini bisa didapat secara cuma-cuma dari situs Futuremark. Tapi kalau PC Anda punya spesifikasi kelas atas, tersedia versi Advanced yang bisa dibeli dari Steam seharga Rp 102.000 – akan naik menjadi Rp 135.000 setelah 11 November – yang memberikan ulasan secara lebih mendetail sekaligus sejumlah opsi kustomisasi.

Sumber: UploadVR.

Analis: Di 2020, Konsumen Akan Keluarkan $ 11,2 Miliar Untuk Menikmati Hiburan Berbasis VR

Di akhir September kemarin, Berkarya!Indonesia mengumpulkan para pakar dan praktisi industri teknologi di Indonesia untuk berdiskusi seputar virtual reality. Meski ada banyak potensi pemanfaatannya, peserta setuju, masa depan VR masih misterius dan sulit menerka perkembangannya di masa yang akan datang. Tapi ada kabar gembira bagi mereka yang berniat investasi di ranah ini.

Belakangan, VR menjadi tema studi utama para analis dan firma riset, dan tim IHS Markit mengambil arahan yang sedikit ‘konservatif’ dalam mempelajari potensi teknologinya. Diungkap oleh Games Industry, IHS mengumumkan data Virtual Reality Market Opportunity Report 2016, dan di sana mereka memprediksi bahwa di tahun 2020 nanti, konsumen akan mengeluarkan dana kurang lebih US$ 11,2 miliar demi menikmati hiburan berbasis VR.

Angka itu sudah meliputi perkiraan pembelian hardware dan software, yaitu US$ 7,9 miliar untuk headset ditambah US$ 3,3 miliar buat kontennya. Angka tersebut memang terlihat banyak, namun director of games IHS Technology Piers Harding-Rolls berpendapat, jumlahnya tidak sebesar dugaan kita. Menurutnya, nilai US$ 3,3 miliar hanyalah satu persen dari total yang dikeluarkan konsumen di tahun 2020.

Harding-Rolls menekankan, penciptaan konten premium untuk platform virtual reality perlu ditingkatkan, dan untuk memaksimalkan seluruh teknologinya memang memakan waktu. Ada satu pertanyaan yang juga sering dilontarkan: akan lebih populer mana nantinya, headset VR portable ala Gear VR dan Cardboard, atau ada lebih banyak user mengadopsi device high-end seperti Rift dan Vive? IHS punya jawabannya.

Sang analis memperkirakan, produk-produk mutakhir premium bakal mendominasi monetisasi konten. Penggunanya meningkat drastis empat tahun lagi, berpeluang menyentuh 81 juta pengguna. Pembagian antara produk entry-level dan high-end tetap ada, dan volume pembelian perangkat-perangkat terjakau sudah pasti akan lebih tinggi.

Headset VR berbasis smartphone adalah pilihan favorit user, kemungkinan menguasai 87 persen hingga akhir tahun ini. Gear VR merupakan ‘rajanya’ headset virtual reality terjangkau, diproyeksikan memimpin penjualan dengan 5,4 juta unit. Tetapi IHS percaya, Gear VR akan segera disusul oleh Google DayDream View sebagai produk terpopuler di tahun 2019 berkat harganya yang murah dan dukungan ranah dindustri.

Di segmen premium, IHS mengestimasi besar peluang bagi PlayStation VR untuk melangkahi HTC Vive dan Oculus Rift. Analis yakin, Sony sanggup menjual 1,4 juta unit headset di 2016, mendorong user mengeluarkan uang US$ 134 juta. Alasannya cukup sederhana: karena harga PSVR lebih terjangkau dibanding kedua kompetitornya itu.

Tak Lama Lagi, PC ‘Terjangkau’ Sanggup Menangani Oculus Rift

Penghalang terbesar bagi headset virtual reality high-end untuk menyentuh pasar mainstream adalah kebutuhan hardware yang tinggi. Saat ini, Anda membutuhkan PC sangat mahal buat menjalankan Rift ataupun Vive. Dan karena alasan itulah, PlayStation VR terlihat sebagai alternatif terbaik, khususnya bagi pemilik console PS4. Tapi hal itu akan berubah sebentar lagi.

Di konferensi Oculus Connect 3, CEO Brendan Iribe mengumumkan sebuah berita mengejutkan terkait standar hardware untuk menjalankan Oculus Rift. Sebelumnya, kita membutuhkan kartu grafis Nvidia GeForce GTX 970 atau AMD Radeon 290, prosesor setara i5-4590 serta RAM 8GB. Jika ditotal, modalnya mencapai US$ 1.000. Namun dengan sebuah teknologi baru, Rift kabarnya dapat beroperasi di sistem seharga kurang lebih separuhnya.

Teknologi ini dinamai Asynchronous Space Warp, sebuah metode yang memungkinkan PC entry-level menangani headset virtual reality. Tanpa membahasnya terlalu teknis, ASW bisa mengurangi latency dan efek bergetar karena turunnya frame rate, serta berfungsi mengelola prioritas akses ke resource di GPU dan memastikan proses pengolahan berjalan serempak.

Salah satu metodenya: jika ASW mendeteksi penurunan frame rate, ia akan memasukkan tiruan frame sebelumnya buat mengisi celah itu sehingga user tidak merasakan tearing atau flickering. Solusi ini dihadirkan di platform Oculus, yang berarti app-app Rift dapat segera memperoleh manfaatnya. Iribe mengklaim teknologi tersebut sanggup menghidangkan 45fps secara stabil, dengan syarat memenuhi daftar komponen di bawah:

  • Prosesor Intel i3-6100 atau AMD FX4350
  • Kartu grafis Nvidia GeForce GTX 960
  • RAM 8GB
  • Output HDMI 1.3
  • Port USB 3.0 1x dan USB 2.0 (berubah dari dua buah port USB 3.0)
  • Sistem operasi Windows 8

Selain itu, di panggung Oculus Connect 3 Iribe juga mengungkap komputer pre-build ‘VR Ready’ paling terjangkau, yaitu CyberPower PC Gamer Xtreme VR. Buat mentenagainya, produsen berpaling ke AMD, menggunakan chip AMD FX 4350 dan GPU Raderon RX 470. Bundel pembelian sudah termasuk optical drive, hard drive berkapasitas 1TB, RAM 8GB, serta periferal keyboard dan mouse. Gamer Xtreme VR dibanderol di harga sangat miring, hanya US$ 500 saja.

CyberPower PC Gamer Xtreme VR

Lewat langkah ini, PSVR tiba-tiba mendapatkan perlawanan tak terduga dari Oculus Rift. Namun buat sekarang, baik pihak Oculus VR maupun CyberPower belum menginformasikan kapan Gamer XtremeVR tersedia. Semoga saja bersamaan dengan pelepasan Oculus Touch…

Via Polygon & PC Mag. Sumber: Radeon.

Ini Dia Game-Game Virtual Reality Baru yang Diumumkan di Oculus Connect 3

Tersedianya tiga headset high-end di tahun ini menandai dimulainya era virtual reality bagi konsumen awam, dan di waktu dekat, nasib medium hiburan new-gen tersebut ditentukan oleh konten. Meskipun ada beragam game VR yang telah disiapkan, jumlahnya masih dirasa kurang banyak. Sony belum lama mengumumkan deretan permainan buat PSVR, dan kali ini giliran Oculus.

Tidak mau kalah dari pesaingnya, Oculus VR mengumumkan tiga game blockbuster yang diramu untuk head-mounted display Rift. Mereka digarap oleh studio ternama, yaitu pencipta Gears of War, developer Metro: Last Light, dan tim di belakang permainan eksklusif PlayStation 4, The Order: 1886; masing-masing adalah Robo Recall (Epic Games), Arktika.1 (4A Games) dan Lone Echo (Ready at Dawn).

Robo Recall

Game ini menggunakan demo Unreal Engine 4 Bullet Train sebagai basisnya, dipadu elemen komedi dengan penyajian ala Time Crisis. Robo Recall memberikan Anda kesempatan untuk menembak, memukul, serta membanting robot-robot yang lepas kendali. Kabar gembiranya, game akan disajikan gratis untuk semua pemilik Oculus Rift, rencananya dirilis di triwulan pertama tahun 2017.

Arktika.1

4A Games kembali mengangkat tema favorit dan andalan mereka di Arktika.1: post-apocalypse. Dalam mengembangkannya, studio fokus pada atmosfer, memanfaatkan pengalaman menciptakan permainan-permainan shooter. Via Eurogamer, creative director Andriy Prokhorov menyampaikan bahwa device virtual reality Oculus Rift memungkinkan mereka menghadirkan level immersion yang lebih tinggi, dan akan sangat disayangkan bila kita melewatkannya.

Lone Echo

Ada sejumlah perbedaan antara Lone Echo dan mayoritas game VR lain: pertama, ia merupakan permainan multiplayersport‘ kompetitif, lalu Lone Echo mengusung latar belakang luar angkasa nol gravitasi, menempatkan Anda sebagai seorang robot. Menariknya, trailer Lone Echo malah memberinya kesan mirip seperti Adrift, dan buat sekarang, info mengenai permainan memang masih sangat minim.

Ketiga game ini membutuhkan dukungan periferal motion controller Oculus Touch, meluncur pada tanggal 6 Desember nanti dan dijajakan seharga US$ 200.

Selain itu, Turtle Rock Studios juga dikabarkan sedang mengambangkan dua game untuk headset Samsung Gear VR, yaitu Face Your Fears dan Other Worlds.

Face Your Fear menantang pemain untuk menghadapi rasa takut dengan memposisikan kita di skenario-skenario mengerikan, contohnya memanjat gedung sambil dikejar robot atau mengunci Anda di ruang berhantu. Other Worlds sendiri menyajikan pengalaman yang bertolak belakang: menghidangkan kesempatan bermeditasi sembari mendengarkan musik atau audiobook di ‘pojok jagat raya’.

Sayangnya, developer pencipta game Evolve itu belum memberi tahu kapan Face Your Fears dan Other Worlds akan meluncur.

Via Eurogamer.