Indonesia Flight Selepas Diakusisi oleh Blibli

Indonesia Flight resmi menjadi keluarga baru Blibli dengan akuisisi penuh. Menurut keterangan dari Marcella Einstein selaku Co-Founder & CEO, pasca akuisisi tersebut Indonesia Flight tetap meneruskan operasinya seperti biasa. Tiket dan Indonesia Flight yang memiliki pelanggan dengan segmen berbeda menjadi salah satu alasan keduanya akan bisa bersinergi dengan “keluarga” yang baru. Peran Blibli juga dirasa bisa memberikan manfaat bagi Indonesia Flight untuk terus tumbuh di kemudian hari.

Diceritakan oleh Marcella, proses akuisisi berjalan cukup cepat, memakan waktu dua bulan. Marcella menilai dengan bergabung kembali bersama Tiket di bawah Blibli membuka peluang sangat besar bagi Indonesia Flight dan Tiket untuk bertumbuh baik dari rencana sinergi yang ada dan dari segi penetrasi pasar.

“Kami melihat ini akan membuka peluang sangat besar bagi Indonesia Flight bersama Tiket untuk bertumbuh secara eksponensial, baik dari rencana sinergi yang ada dan dari segi penetrasi pasar. Melihat potensi ke depan dan banyaknya kesamaan dalam culture dan visi bisnis, kami sangat bersemangat untuk bergabung dalam keluarga Blibli,” terang Marcella.

Sayangnya Marcella tidak mau membeberkan mengenai apa yang akan dilakukan Indonesia Flight selepas akuisisi ini.

“Mohon maaf kami belum bisa share mengenai hal ini,” ungkap Marcella ketika disinggung mengenai rencana Indonesia Flight ke depannya.

Hanya saja Marcella optimis menatap masa depan Indonesia Flight mengingat pertumbuhan GMV yang naik 100% dari tahun sebelumnya. Dengan diakuisisinya Tiket dan Indonesia Flight menandakan bahwa Blibli menatap serius industri OTA (Online Travel Agency).

Setelah akuisisi oleh Blibli, kini Tiket  telah melakukan rebranding dengan mengganti logo mereka. Saat ini selain tiket perjalanan dan hotel, Tiket juga menyediakan fitur untuk menyewa mobil di kota-kota besar dan fitur untuk membeli tiket pertunjukan masuk ke acara-acara hiburan. Sementara untuk Indonesia Flight terlihat menyiapkan fitur pemesanan kamar hotel di laman mereka. Tampaknya tahun 2018 akan menjadi tahun yang cukup sibuk bagi Indonesia Flight.

Application Information Will Show Up Here

Pegipegi is Now Open For Third-Party Funding

Pegipegi, Indonesia’s OTA company, is said to open opportunity for third-party funding in strengthening its existence among tight competition in OTA market. They currently in early stage and yet to decide which investors to partner with.

“We begin to open for third-party funding, just a small talk though, still uncertain [to get investment] and will determine the next strategy,” Ryan Kartawidjaja, Pegipegi’s Deputy CEO, said on Tuesday, (12/5).

He thought, it is possible for Recruit Holdings, Pegipegi’s parent company, to split share with new investors. Despite the option, Kartawidjaja not specifically said on when will the investment realization be done.

Kartawidjaja statement, is somewhat different from past interview with Pegipegi’s CEO Takeo Kojima. Kojima previously said Recruit Holdings is fully committed in investing.

Currently, Pegipegi claims to have doubled its overall development over the past year. Highest contribution comes from hotel room, followed by flight and train tickets booking. Most transaction is done by Pegipegi app with 70%-80% contribution.

Five most-search cities of Pegipegi users are Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali and Surabaya. Those five contribute in nearly 50% of Pegipegi transaction.

For 2018, Pegipegi targets equal growth as this year. One way to make it happen is launching international flight tickets, rebranding new logo and selecting Pevita Pearce as brand ambassador.

“We’re rebranding logo and vision. The point is to be a fun traveling partner providing information of top destinations. Unlike other players, we want to provide information about travelling in Indonesia, the goal is to make it easier for traveller in getting information. Furthermore, Pegipegi will strengthen the CS team,” said Kartawidjaja.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Pegipegi Mulai Buka Opsi Pendanaan dari Pihak Luar

Perusahaan OTA Pegipegi mengungkapkan mulai membuka opsi pendanaan dari pihak luar untuk memperkuat eksistensinya di tengah persaingan yang ketat di pasar OTA di Indonesia. Saat ini disebutkan mereka masih dalam tahap awal sehingga belum ditetapkan siapa investornya.

“Kami mulai membuka opsi penerimaan investasi dari pihak luar, tapi baru sekadar ngobrol-ngobrol saja, sehingga kami masih belum bisa open iya atau tidaknya [menerima investasi] karena itu akan menentukan strategi kita ke depannya bagaimana,” terang Deputy CEO Pegipegi Ryan Kartawidjaja, Selasa (5/12).

Menurutnya, tidak menutup kemungkinan induk usaha PegiPegi, Recruit Holdings, akan melepas sebagian kepemilikan sahamnya kepada investor baru. Meski membuka opsi, Ryan tidak menuturkan lebih detil kapan realisasi investasi mulai dilakukan.

Pernyataan Ryan ini, bergeser dari wawancara terdahulu dengan CEO Pegipegi Takeo Kojima. Takeo sebelumnya menuturkan Recruit Holdings berkomitmen penuh untuk terus menyuntukkan dana investasi. Karena ada komitmen tersebut, Pegipegi tidak membuka peluang untuk mengundang investor dari pihak luar.

Saat ini Pegipegi mengklaim telah tumbuh dua kali lipat secara keseluruhan dibandingkan tahun sebelumnya. Kontributor tertinggi berasal dari bisnis pemesanan tiket hotel, kemudian disusul tiket pesawat, dan kereta api. Transaksi sebagian besar dilakukan dari aplikasi PegiPegi dengan kontribusi sekitar 70%-80%.

Lima kota yang paling banyak dicari pengguna Pegipegi adalah Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali dan Surabaya. Kelima kota tersebut berkontribusi hampir 50% dari seluruh bisnis PegiPegi.

Untuk tahun depan Pegipegi menargetkan pertumbuhan yang sama dengan tahun ini sebanyak dua kali lipat. Cara yang akan dilakukan salah satunya dengan meluncurkan tiket penerbangan untuk rute luar negeri, rebranding logo baru, dan menunjuk brand ambassador Pevita Pearce.

“Kami rebranding logo dan visi. Intinya ingin jadi fun traveling partner menyediakan informasi seputar destinasi menarik. Bedanya dengan pemain lainnya, kami ingin kasih info seputar traveling di Indonesia, tujuannya supaya para traveler dengan mudah dapat info. Selain itu, Pegipegi akan perkuat tim CS [Customer Service],” pungkas Ryan.

Application Information Will Show Up Here

Tiket is Rebranding, Emphasize On Product’s Sales and Improvement

Tiket, a leading OTA service in Indonesia, announces application rebranding by changing its display and logo into a (more) modern look, also adding new features transaction convenience. The company wants to focus on two things: improving brand awareness and product improvement.

“I traveled around six cities in Indonesia for FGD, but many are still unaware of Tiket. Our brand is popular only among cities with a high-level of internet penetration such as Jakarta and Surabaya. Therefore, we start the marketing campaign to increase awareness. For product quality, will improve continuously for transaction convenience,” said Gaery Undarsa, Tiket’s Chief Communication, Tue (11/21).

For Undarsa, Tiket’s penetration is slightly limited outside Jakarta and Surabaya due to absence of big-scale marketing.

In early November 2017, Tiket starts aggressive campaign in television. Since then, Undarsa claimed to have new user improvement and significant transaction coming outside those cities. However, Undarsa is unwilling to reveal the details.

For Tiket’s logo changing, first (t) character turns into lowercase. It stands for friendly personality. There is no gap mentioned between Tiket and traveler. The dot (.) color turns into light yellow which represents a happy feeling in traveling.

Along with the effort to increase brand awareness, Tiket attaches several new features. The first one is Smart Refund for easier cancellation refund process. For interface look, there is Smart Roundtrip for consumer to arrange a round trip flight easily.

Lastly, Smart Traveller allows travelers to simply put the ID member instead of repeating form-filling. Data can be saved to favorite order, claimed to be more practical and efficient.

In addition, Tiket will be seriously working on two products, car rental and hotel booking. For car rental, the company has partnered with rental service around 50 cities in Indonesia. Compared to other products, car rental business grows 3000% compared to last year.

Tiket has been downloaded by 4.3 million users, and targeted to have 10 million users by the end of next year. The increasing number is expected to come from user and traffic. Tiket also targets 100% growth from previous year.

“We will invest more on hotel booking due to the domination of foreign OTA. We want to help hotel business to expand with what Tiket has,” Undarsa said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Adding OTA in Its Service, JD Flight is Available for Indonesian Market

In order to cope with other e-commerce services in Indonesia, JD.id provides purchase channels for plane tickets. As JD Flight, the feature available with full support from Traveloka. JD.id’s parent company, JD.com, is Traveloka’s investor.

Moreover, is OTA (Online Travel Agency) addition in e-commerce services will make a big difference, or just disrupting an established business model?

The e-commerce businesses preparing for the OTA

George Hendrata ,Tiket.com’s new CEO, said that for future roadmap, Tiket.com capabilities will be optimized to strengthen Blibli’s travel and accommodation channels. However, it has not been technically submitted, whether Blibli will apply only as a front-end that helps selling tickets through Tiket.com, or they’re going to merger.

Another online trading site that provides and strengthens the OTA is Tokopedia, Elevenia, and Bukalapak.

Market share

Frost & Sullivan’s research in 2011 said the Indonesian expense for travel is worth up to $6.4 billion. By 2030, it’s projected to be increasing 4 times, or worth $23.7 billion. It’s a realistic number, given the current traveling trend is not only for upper economic class, but also medium class – especially millennials.

Early analysis of OTA participants that strenghten e-commerce is the distribution channels. The market share is large, but the niche is similar. The challenge is on the consumer delivery. Another growth strategies, such as discounts, are in fact still effective for user loyalty. Ticketing system can be booked through one channel, but delivered through various channels, as Indonesia Flight did in its debut with Tiket.com.

Basically, OTA business have so much to explore, because there are many new possibilities to be developed. It could be a new chapter implying online travel competition, beside payment, that will be the next round of e-commerce competition.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tiket Lakukan Rebranding, Tekankan Pemasaran dan Peningkatan Produk

Perusahaan online travel agent (OTA) Tiket mengumumkan rebranding aplikasi dengan mengubah tampilan dan logo jadi lebih fresh dan modern, serta menambah fitur baru untuk kenyamanan transaksi. Perusahaan ingin fokus menyasar pada dua hal yakni meningkatkan brand awareness dan perbaikan produk.

“Saya keliling enam kota di Indonesia untuk FGD rupanya masih banyak yang belum tahu Tiket. Brand kami hanya terkenal di kota-kota dengan tingkat penetrasi internetnya yang sudah baik, seperti Jakarta dan Surabaya. Maka dari itu kami mulai lakukan marketing campaign untuk meningkatkan awareness. Dari sisi produk juga terus kami tingkatkan agar makin nyaman dalam bertransaksi,” terang Chief Communication Tiket Gaery Undarsa, Selasa (21/11).

Menurut Gaery, penetrasi Tiket di luar Jakarta dan Surabaya masih minim lantaran perusahaan belum pernah melakukan aktivitas pemasaran dalam skala besar.

Sejak awal November 2017 Tiket mulai agresif beriklan di televisi. Sejak saat itu, Gaery mengklaim terjadi peningkatan pengguna baru dan transaksi yang cukup signifikan datang dari luar dua kota tersebut. Hanya saja Gaery enggan membeberkan detilnya.

Dari segi perubahan logo Tiket, hurut (t) di awal berubah menjadi huruf kecil. Ini diartikan sebagai kepribadian yang bersahabat. Disebutkan tidak ada jarak antara Tiket dengan pelancong (traveller). Sedangkan (dot) berubah menjadi warna kuning cerah yang mengartikan kesenangan yang dirasakan saat melancong.

Seiring upaya meningkatkan brand awareness, Tiket menyematkan fitur baru. Smart Refund memungkinkan konsumen mendapatkan refund dari pembatalan tiket dengan lebih mudah dan tidak merepotkan. Dari tampilan antarmuka, ada fitur Smart Roundtrip yang memudahkan kosnumen memilih penerbangan pulang pergi dengan lebih mudah.

Terakhir, Smart Traveller memungkinkan pelancong tidak perlu lagi mengulang sejak awal untuk membeli tiket return, cukup masukan ID member. Data dapat disimpan menjadi pesanan favorit, jadi lebih praktis dan tidak memakan waktu.

Selain itu, Tiket akan lebih serius menggarap dua produknya, yakni rental mobil dan booking hotel. Untuk produk rental mobil, perusahaan telah bermitra dengan penyedia jasa rental yang tersebar di 50 kota di seluruh Indonesia. Dibandingkan produk lainnya, bisnis rental mobil tumbuh tertinggi hingga 3 ribu persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Saat ini Tiket telah diunduh oleh 4,3 juta pengguna, sampai akhir tahun depan ditargetkan mencapai 10 juta unduhan. Peningkatan tersebut diharapkan berasal dari sisi user dan traffic. Tiket juga menargetkan pertumbuhan sebesar 100% dari tahun sebelumnya.

“Untuk booking hotel, kami akan banyak investasi ke sana sebab saat ini booking hotel masih dikuasai oleh OTA asing. Kami ingin bantu pemain hotel bisa ekspansi dengan apa yang Tiket punya,” pungkas Gaery.

Application Information Will Show Up Here

Tambah Jajaran OTA di Layanan E-Commerce, JD Flight Hadir

Layanan e-commerce yang menyajikan barang-barang dengan jaminan orisina, JD.id, merilis fitur teranyarnya. Seakan tak mau ketinggalan dengan pemain e-commerce lain di Indonesia, JD.id menghadirkan kanal pembelian tiket pesawat. Berjuluk JD Flight, fitur ini hadir dengan dukungan penuh dari Traveloka. Induk perusahaan JD.id, JD.com, merupakan investor di Traveloka.

Lantas, apakah OTA (Online Travel Agency) yang menyelinap di layanan e-commerce akan berpengaruh besar, atau bahkan mengganggu model bisnis yang sudah mapan?

Para bisnis e-commerce yang tengah bersiap di OTA

Dalam sebuah kesempatan, CEO baru Tiket.com George Hendrata menyampaikan bahwa roadmap ke depan, kapabilitas yang dimiliki Tiket.com akan dioptimalkan untuk memperkuat kanal travel dan akomodasi yang dimiliki Blibli. Namun belum disampaikan teknisnya secara detail, apakah situs Blibli hanya akan berlaku sebagai front-end yang membantu menjualkan tiket melalui engine Tiket.com, ataukah akan ada peleburan.

Situs jual beli online lain yang mulai menyediakan dan memperkuat divisi OTA adalah Tokopedia. Berbeda dengan JD.id, Tokopedia memilih untuk memulai dengan menjual tiket kereta api. Di sini visinya lebih terlihat, yakni untuk optimasi layanan e-money TokoCash.

Besaran pangsa pasar yang diperebutkan

Riset Frost & Sullivan yang dilakukan pada tahun 2011 menyebutkan, pengeluaran orang Indonesia untuk kebutuhan travel bernilai hingga $6,4 miliar. Diproyeksikan pada tahun 2030 angka tersebut akan mencapai empat kali lipat, atau senilai $23,7 miliar. Angka yang cukup realistis, mengingat tren traveling kini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat dengan kelas ekonomi atas, namun juga menengah – khususnya millennials.

Analisis awal tentang para pemain OTA yang menguatkan layanan e-commerce ialah tentang saluran distribusi. Pangsa pasarnya besar, namun ceruk produk yang disajikan sama. Tantangannya justru pada penyampaian ke konsumen. Strategi growth lain, seperti diskon, nyatanya masih tetap efektif dilakukan sampai saat ini untuk loyalitas pengguna. Bisa jadi pembukuan sistem ticketing di satu pintu, namun penyampaiannya melalui banyak kanal, persis seperti yang dilakukan Indonesia Flight di awal debutnya bersama Tiket.com.

Pada dasarnya bisnis OTA masih bisa banyak dieksplorasi, karena masih banyak kemungkinan baru untuk dikembangkan. Bisa jadi ini adalah babak baru yang menyiratkan persaingan online travel, selain urusan pembayaran, akan menjadi persaingan e-commerce babak berikutnya.

WORKnPLAY Starts Offering Airline Ticket and Hotel Booking Services

WorkNstay, once known as a service in the property business, is now changing the business model by re-introducing itself as WORKnPLAY. The new name carries some changes. WORKnPLAY becomes a map or location-based mobile app that integrates property, hotel reservations, and airline ticket purchases.

In early 2017, WORKnPLAY was first introduced in Indonesia and Singapore as a marketplace that helps users buy or sell their homes or office space. Together with Tiket.com, WORKnPLAY adds two main features, namely the purchase of airline tickets and hotel reservations which synergized with WORKnPLAY services. Users can also order Uber service within 60 kilometers to facilitate travel between locations on the intended destination.

One thing distinguished WORKnPLAY from other OTA services is a map-based concept. WORKnPLAY real time map feature can help users in reducing hassles while searching for nearby hotels.

“With our map-based system, users only need to select a hotel pin to book a room. It will make it easier for users to book their favorite hotels,” WORKnPlay’s Chief Strategy Officer, Irwan Hartanto, said.

WORKnPLAY is said to be eyeing opportunities and potential growth in Indonesia and Singapore, starting from urban areas. To achieve this goal, WORKnPLAY focuses on delivering quality services to give users a good impression.

“Right now, we’re focused on giving users the best satisfaction rather than monetization. For us, every focus is on finding the right ‘DNA’ and high market match in Indonesia and Singapore,” Hartanto explained.

“We have been getting consistent traction improvements since January 2017.”

WORKnPLAY is said to be eyeing opportunities in expanding to Southeast Asian countries, such as Thailand, Vietnam, Malaysia and the Philippines in 2018.


Original article is written in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Memetik Pelajaran Enam Tahun Tiket Berdiri

Pemberitaan beberapa waktu lalu mengenai aksi korporasi yang dilakukan Grup Djarum lewat Blibli dengan mengakuisisi 100% layanan OTA Tiket menjadi suatu pelajaran berharga baik bagi Tiket maupun pengusaha startup lainnya, bahwa pada intinya perusahaan akan selalu membutuhkan kapital yang kuat untuk akselerasi bisnis.

Memilih Blibli, yang notabenenya adalah perusahaan terafiliasi dengan Grup Djarum, menjadi suatu nilai lebih bagi perusahaan. Pasalnya, Tiket hanya baru sekali mendapatkan pendanaan sepanjang enam tahun berdiri, dari angel investor senilai US$1 juta.

Diungkapkan sejak pendanaan tersebut, Tiket mengandalkan kemampuan sendiri untuk memutar uang dari kas perusahaan. Strategi tersebut memang bagus karena sehat bagi keuangan perusahaan. Namun hal ini dinilai jadi kurang relevan karena jarak ketertinggalan perusahaan agak jauh dengan kompetitor. Apalagi, Tiket bermimpi ingin kembali menjadi pemain OTA nomor 1 di Indonesia.

“Valuasi kita sudah triliunan, investasinya jadi susah karena kalibernya sudah sangat beda. Kita maunya [investor] dari lokal karena orang Tiket semuanya dari lokal, yang asing-asing dari Tiongkok itu malah sudah ngobrol-ngobrol. Makanya ini jadi susah. Tapi eventually, ada Grup Djarum yang interest, tapi mereka maunya full akuisisi,” terang Co-Founder dan CTO Tiket Natali Ardianto saat mengisi salah satu sesi di gelaran Ideafest 2017.

Natali melanjutkan, alasan Grup Djarum yang ingin akuisisi penuh Tiket cukup masuk akal. Karena bila dihitung-hitung, jika mereka hanya investasi sekian persen dengan nilai sekian rupiah, artinya Tiket hanya bisa memanfaatkan dana itu saja.

Konsekuensinya bagi founder, mereka akan terus dituntut investor dan harus menggalang pendanaan segar di tahun-tahun berikutnya. Sedangkan bagi perusahaan, ini merugikan karena tidak bisa berlari dengan kencang mengejar ketertinggalannya.

“Ide full akuisisi itu tercetus dan kita 100% setuju. Mereka juga berjanji bahwa semua perusahaan yang ada di bawah Grup Djarum, entah itu masih kecil maupun sudah besar, tidak ada yang dimatikan. Ini membuktikan mereka tidak pernah give up. Kita percaya itu. Lagi pula industri travel itu, menurut saya akan terus berjalan.”

Pelajaran enam tahun Tiket

Menurut Natali, Tiket cukup terlena dengan kondisi saat masih menjadi pemain OTA nomor 1 di Indonesia. Strategi awal yang dilakukan Tiket tidak sehat karena tersandung oleh euforia “Silicon Valley”.

Kondisi yang membuat perusahaan merekrut orang tanpa mempertimbangkan gaji, menyediakan makanan tanpa batas, dan banyak keleluasaan lainnya. Kemudian diperparah oleh keluarnya tiga dari tujuh co-founder Tiket.

“Jujur saja, 1,5 tahun setelah berdiri kami cukup terlena dengan euforia Silicon Valley. Memang produk yang dihasilkan bagus, tapi setelah itu kami kehabisan uang, dan mulai ketar ketir sampai akhirnya memutar dana yang sudah ada untuk operasional.”

Dari sana, Tiket belajar bahwa memberikan saham perusahaan dengan mudah kepada karyawan, itu tidak tepat. Kondisi perusahaan tidak sehat, lantaran pada saat itu harus masih ‘sakit’ di tahun pertama, namun harus tetap memberikan imbal hasil. Dengan kata lain, perusahaan harus membayar sesuatu dengan kondisi produk yang belum mantap.

“Ini jadi tips, jangan gampang kasih saham. Lebih baik bayar dengan gaji yang profesional.”

Berikutnya, mengingat anggaran belanja Tiket yang tidak besar, perusahaan sangat mengedepankan fungsi manajemen keuangan dengan merekrut lebih banyak tim finance daripada tim IT.

Natali mengungkapkan, tim finansial Tiket ada 35 orang, sementara tim IT hanya 30 orang. Akan tetapi, dengan jumlah tersebut mampu mendongkrak kinerja Tiket yang mampu menghasilkan 15 ribu transaksi dalam sehari.

Menurut pandangan Natali, perusahaan startup yang baik itu harus memiliki tim yang kuat di bidang IT, finance, dan marketing. Berbeda dengan pandangan orang pada umumnya yang menganggap startup itu harus memiliki tiga tipe orang yakni hacker, hipster, dan hustler.

Dia beralasan, tim marketing itu adalah sesuatu yang selalu terlewatkan oleh perusahaan teknologi. Padahal, alasan utama yang membuat startup mati adalah kehabisan uang.

“Bila ada co-founder yang tidak perform, ya tinggal pecat ganti yang baru. Kalau sudah tidak ada uang, mau apa pun ya tidak bisa jalan. Makanya kalau di Tiket selalu berbicara tentang revenue, net margin, dan conversion. Bukan dari traffic atau page view.”

Pelajaran terakhir lainnya yang disampaikan Natali adalah memanfaatkan sumber daya yang ada, sesuai dengan budget perusahaan. Pihaknya sadar tidak memiliki banyak biaya untuk mengakuisisi pelanggan baru dengan beriklan di media massa. Maka dari itu, strategi yang dilakukan adalah memanfaatkan basis data yang dimiliki perusahaan dan menjadikannya sebagai spesialisasi.

Tiket fokus pada pelayanan dengan menempatkan tim costumer service secara penuh dari internal. Setiap keluhan yang masuk, tim IT akan mengategorikan masalah untuk diselesaikan.

Terlebih, pelanggan utama Tiket bukanlah generasi anak muda, melainkan kalangan yang sudah berumur, misalnya ibu rumah tangga dan pelancong bisnis. Natali bilang, dari golongan tersebut ada sekitar 75 ribu pelanggan yang melakukan 50 kali transaksi dalam sebulannya. Mereka merupakan pelanggan loyal Tiket.

“Persona orang tua tidak perlu situs yang fancy dan vibrant. Kita memperhatikan hal-hal seperti itu,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Lanskap Industri Travel dan Pergerakan Digitalnya

Salah satu industri yang cukup berkembang pesat di era digital ini adalah perjalanan atau travel. Cakupannya cukup luas dengan segmentasi yang dimiliki. Mungkin beberapa dari pembaca mengenal beberapa istilah seperti Online Travel Agency (OTA), Hospitality dan lain sebagainya. Bahkan penguraiannya pun sekarang makin spesifik. Contoh saja soal kehadiran budget hotel, sebagai evolusi layanan penginapan yang mengakomodasi travellers.

Untuk mengulas tentang bisnis travel, kami berdiskusi dengan Larry Chua, Co-Founder Caption Hospitality. Pengalamannya di industri travel tidak diragukan lagi. Bersama Caption Hospitality saat ini ia mengembangkan sebuah solusi terpadu yang diperuntukkan pemilik hotel atau penginapan untuk memiliki sistem teknologi, untuk mengakselerasi bisnisnya di era digital.

Larry Chua - Co-Founder dan CEO Caption Hospitality / Caption
Larry Chua – Co-Founder Caption Hospitality / Caption Hospitality

Awal mula industri travel dan perkembangannya

Di awal perbincangan, kami membahas tentang industri travel online yang ada saat ini. Istilah seperti OTA cukup membingungkan bagi orang awam. Larry pun sepakat akan hal tersebut, ia mengungkapkan lanskap ini memiliki cakupan sangat luas. Industri travel pada mulanya ada untuk melengkapi kebutuhan bisnis, sehingga di awal kemunculannya banyak bermunculan istilah bisnis yang disebut dengan “corporate travel”.

Apa yang dicakup dalam bisnis tersebut ada dua hal, pertama ialah moda transportasi (pesawat, kereta api, bus, hingga ojek) dan akomodasi (hotel, hostel, guest house, hingga kos). Ini adalah hal paling fundamental. Hingga pada akhirnya kini moda perjalanan makin terjangkau, pergeseran pun dimulai, banyak orang melakukan travelling untuk tujuan di luar perjalanan bisnis, yakni bersantai.

Di masa lalu pemasok akomodasi dan agen transportasi menggunakan sistem keagenan untuk menjual inventory mereka, merujuk pada proses distribusi. Proses itu berjalan bukan tanpa alasan, didominasi konsumen bisnis alur transaksinya didesain untuk mampu menyesuaikan kebutuhan perkantoran, misalnya ada cerdit term dengan jangka pembayaran tertentu dan lain sebagainya. Sistem ini juga untuk mencegah pemindahbukuan dan penanganan yang terlalu banyak oleh agen.

Jadi apa yang disebut OTA sebenarnya sebuah kanal distribusi baru untuk para pemasok. Nilai plus yang mereka berikan adalah saluran 24 jam untuk pemesanan moda transportasi dan akomodasi. Dengan keunggulan yang diberikan, mereka bertarung memasarkan dan mengarahkan lalu lintas pengguna ke situs web mereka. Dengan upaya ini, sebagian besar OTA mengenakan biaya dari 17% – 30% dari harga jual pemasok akomodasi. Contoh OTA populer saat ini seperti Traveloka, Pegipegi, Tiket, Rajakamar dan sebagainya.

Bagaimana OTA dan penyedia jasa bersinergi?

Larry memulai dengan sebuah pertanyaan, apakah hotel bisa bertahan tanpa OTA? Jawabannya iya. Sebaliknya, bisakah OTA bertahan tanpa hotel? Jawabannya tentu tidak. OTA hanya seperti sebuah marketplace, tanpa pemasok produk akomodasi atau travel maka bisnis mereka tidak akan jalan. Masalahnya mereka (hotel) sangat baik dalam menjalankan bisnisnya (akomodasi), namun banyak yang tidak mengerti tentang teknologi dan dunia digital.

Teknologi di sisi penyedia jasa hotel (hoteliers) tidak berkembang cukup pesat. Baru akhir-akhir ini saja penggunaan perangkat lunak berbasis komputasi awan atau sejenisnya mulai terlihat sebagai improvisasi layanan. Hal itu menurut Larry wajar, karena jika hoteliers memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ruang digital, mereka tidak memerlukan OTA untuk melakukan pemasaran.

Faktanya masih ada beberapa kelompok hotel yang tidak mencantumkan propertinya di OTA dan masih berjalan baik. Ini adalah contoh sisi lain dalam konteks ini. Namun gelombang ketiga evolusi online travel tampaknya juga akan segera hadir. Raksasa internet Google pun telah bereksperimen banyak dalam lini industri travel, perubahannya tentu akan banyak memberikan keuntungan untuk bisnis.

Persaingan industri travel yang ada saat ini

Menurut Larry, travel adalah salah satu vertikal bisnis yang paling menguntungkan untuk situs e-commmerce, deals atau semacamnya. Sebelum di Caption, Larry pernah memimpin sebuah travel department bisnis e-commerce, yakni Ensogo dan Deal.com. Ia lanjut menceritakan, pada satu titik pendapatan netto travel department menutupi seluruh biaya bulanan perusahaan.

Jadi apa yang terjadi saat ini dalam bisnis travel di Indonesia bukan “hal aneh” bagi Larry, misalnya akuisisi Tiket.com oleh Blibli. Perusahaan e-commerce seperti Bukalapak dan Tokopedia akan mulai bergerak penuh ke dalam ruang ini dan juga tidak akan mengejutkan jika nanti unicorn lain seperti Go-Jek akan mulai bermain di dalam ruang ini.

Turut ditekankan Larry bahwa ini adalah sebuah langkah bertahap ketika perusahaan mulai mengendalikan basis data pengguna dalam jumlah pesat. Mereka semua beroperasi sebagai pasar. Pertanyaan selanjutnya adalah model seperti apa yang bisa dijual kepada konsumen untuk menghasilkan keuntungan dan harga tiket tertinggi.

Gambaran umum lanskap industri travel / Caption Hospitality
Gambaran umum lanskap industri travel / Caption Hospitality

Hospitality untuk menggerakkan digitalisasi industri

Masih banyak masalah dan tantangan yang dihadapi pemilik properti. Pebisnis di Indonesia (secara umum) perlu belajar dari industri di daerah seperti Bali dan meniru tingkat layanan. Teknologi pasti sangat berperan dalam hal ini, membantu hoteliers menjadi lebih laku, serta membantu membuat biaya operasional menjadi lebih efisien. Namun demikian tetap ada masalah yang belum terselesaikan, misalnya untuk pengelolaan insentif ruang rapat, akomodasi perjalanan bisnis, hingga pengelolaan pemanfaatan fasilitas spesifik seperti kolam renang.

Untuk menguraikan kebutuhan digitalisasi, kebanyakan orang berpikir bahwa situs web adalah jawabannya. Namun dari pengamatan Larry, situs web hotel banyak yang perlu dipikirkan dan dirancang ulang sehingga dapat menginspirasi dan mengubah lalu lintas kunjungan menjadi pemesanan, bahkan traksi. Fakta penting lainnya adalah kebanyakan orang di Indonesia melihat informasi perjalanan dan bertransaksi di ponsel.

Kenyataannya lainnya adalah sebagian besar hotel masih melibatkan beberapa perusahaan pengembangan situs web atau perancang freelance untuk mengembangkan situs web mereka. Parahnya pengembang tersebut tak sedikit yang memiliki pengetahuan minim tentang perilaku travelers. Sayangnya kita tidak lagi tinggal di tahun 1998, situs web tidak lagi hanya ditujukan untuk kebutuhan informatif.

Edukasi berkelanjutan sangat dibutuhkan di Indonesia tentang ruang digital dan teknologi. Menurut Larry, banyak pengelola hotel masih memiliki pola pikir tahun 1990-an. Kita masih bisa melihat properti menggunakan pena dan kertas manual untuk check-in, kita masih bisa menemukan hotel yang tidak memiliki website yang tepat. Di sini Hospitality berperan. Larry mendefinisikan Hospitality sebagai pemasok dan salah satu aspek inti dari perjalanan. Tanpa Hospitality dan hoteliers, tidak ada “bisnis travel“.