Lika Liku Platform OTT Video Lokal

Konsumsi tayangan dari saluran TV masih mendominasi buat sebagian besar orang Indonesia. Mengacu data Nielsen, pada tahun lalu total belanja iklan mencapai Rp181 triliun berdasarkan gross rate card.

Belanja iklan TV menempati porsi terbesar 85% senilai Rp143 triliun, naik 14% dari tahun lalu. Posisi berikutnya ditempati belanja iklan media cetak Rp22 triliun, iklan digital Rp13,3 triliun, dan belanja iklan radio Rp1,7 triliun.

Secara kategori, layanan online menjadi penyumbang belanja iklan terbesar dengan total belanja Rp10,3 triliun, naik 2%. Disusul oleh kategori perawatan rambut Rp9,2 triliun, pemerintah dan organisasi politik Rp8,8 triliun, perawatan wajah Rp8,1 triliun, dan rokok kretek Rp7,2 triliun.

Angka ini memberikan gambaran jelas bahwa pola mengonsumsi tayangan TV masih memiliki pengaruh signifikan buat bisnis perusahaan, karena massa masyarakat ekonomi menengah ke bawah lebih banyak ketimbang menengah ke atas.

Buat negara dengan penetrasi TV yang masih tinggi, seperti Indonesia dan kebanyakan negara di Asia Tenggara lainnya, strategi beriklan ke TV adalah cara termudah, sekaligus termahal untuk mengakusisi pengguna baru karena membutuhkan brand awareness.

Data Nielsen menjadi gambaran awal bagaimana perjalanan platform OTT streaming video berupaya mengubah pola konsumsi konten dari TV yang selalu gratis untuk berbayar lewat smartphone dengan koneksi internet.

Tidak bisa disangkal, Netflix sebagai brand yang kuat, diasosiasikan sebagai pemain OTT tersohor yang punya pengaruh kuat. Hal ini menginspirasi  munculnya berbagai pemain OTT lokal dengan cita rasa yang kurang lebih mirip dengan yang Netflix sajikan.

Mereka yang muncul dan gugur

Bisnis OTT video dikenal sebagai bisnis internet yang sulit dan punya rentetan sejarah kegagalan yang begitu panjang. Hal ini terlihat dari pemain yang hadir di Indonesia bisa dihitung jari untuk mereka yang sudah berusia lebih dari lima tahun.

DailySocial mencatat berbagai macam pemain OTT video lokal yang telah beroperasi, yaitu Genflix, Vidio, GoPlay, KlikFilm (rumah produksi Falcon Pictures), MaxStream dan UseeTV Go (Grup Telkom), Mola TV, dan FirstMedia X. Stasiun TV Free-To-Air (FTA) juga ikut merilis platform-nya sendiri, seperti Vision+ dan RCTI+ (MNC) dan Zulu (Net TV).

Vidio, Genflix, UseeTV, dan FirstMedia X tergolong lebih tua ketimbang koleganya karena mereka telah beroperasi sejak 2014. Mereka masih beroperasi karena punya ekosistem yang berkaitan erat dalam rangka memperkaya konten.

Vidio, misalnya, ada di bawah naungan Grup Emtek yang punya jaringan tayangan TV luas sehingga lebih mudah didigitalkan ke dalam platform. Vidio ditempatkan sebagai bentuk diversifikasi bisnis grup, sehingga tidak menjadi isu jika belum menjadi bisnis yang menguntungkan dalam waktu dekat.

Di dalam katalognya, Vidio menyajikan tayangan internasional seperti film dan serial dari beragai negara Asia, dari Korea Selatan, India, dan Hollywood. Tersedia pula tayangan TV nasional dan internasional, edukasi, religi, animasi anak, hingga ribuan pertandingan olahraga dari berbagai cabang. Tayangan film lokal juga diperkaya keluaran terkini hingga film-film nostalgia.

Vidio

Di luar itu, Genflix masuk ke dalam jaringan Sinar Mas, UseeTV adalah layanan Telkom Group, dan FirstMedia X didukung Lippo Group (kini sedang proses akuisisi oleh MNC).

Bagaimana dengan yang lainnya? Baik GoPlay, KlikFilm, MaxStream, Mola TV adalah pemain yang relatif baru. Kebanyakan dari mereka hadir sejak dua tahun belakangan. Kecuali platform milik MNC dan Net TV, umumnya para pemain ini lebih berani untuk jor-joran dengan rajin produksi konten original dan mengadopsi konsep model bisnis yang sedikit berbeda.

GoPlay menjadi contoh terdekat platform OTT yang rajin memproduksi konten lokal. Mereka mengklaim memosisikan dirinya tidak hanya sebagai platform, tetapi wadah bagi para sineas lokal untuk unjuk gigi dengan produksi film berkualitas. Sejauh ini di dalam katalognya tidak ditemukan sama sekali konten negara-negara Barat, alias hanya ada konten lokal dan Asia saja.

“Sebagai platform VOD karya anak bangsa, kami memiliki ambisi untuk mengumpulkan katalog terbesar bagi film dan serial Indonesia. Saat ini kami memiliki ratusan film dan serial di GoPlay, baik original maupun eksklusif. Kami juga berkolaborasi dengan rumah produksi untuk hak eksklusif berbagai judul film Indonesia yang populer di layar lebar, seperti A Man Called Ahok dan Ratu Ilmu Hitam,” terang CEO GoPlay Edy Sulistyo kepada DailySocial.

MolaTV, di sisi lain, bisa menjadi contoh bagaimana mereka memosisikan diri sebagai layanan multiplatform televisi kabel, IPTV, dan video on-demand untuk empat kanal premium khusus olahraga. Mereka juga memuat konten film dan acara khusus anak dari berbagai genre dari Indonesia dan mancanegara.

Sementara KlikFilm menempatkan diri sebagai konten terkurasi dari berbagai negara yang secara eksklusif tidak masuk ke bioskop Indonesia. Platform tersebut sekaligus menjadi corong Falcon Pictures untuk mendistribusikan konten buatan mereka sendiri untuk tayang eksklusif. Terhitung ada ratusan film sudah diproduksi sejak mereka beroperasi di 2010.

“Selama ini, kami belum mempresentasikan KlikFilm kepada media. Sekarang kami sudah menemukan formula yang memikat untuk konsumen, dengan menayangkan film-film bagus dari luar negeri yang tidak tayang di bioskop Indonesia, KlikFilm akan menayangkannya,” ujar CEO Falcon Pictures HB Naveen dikutip dari Antara.

Seluruh konten hanya bisa dinikmati dengan berlangganan. Harga yang dibanderol Rp7 ribu untuk jangka waktu satu minggu berlangganan.

Konsep berbeda ditampilkan Maxstream. Platform ini menggabungkan konsep video-on-demand dengan channel TV lokal dan internasional dalam satu platform. Mereka juga membuat konten original untuk menambah daya tarik. Hanya saja layanan ini terbatas untuk pelanggan Telkomsel.

Dibalik optimisme yang tinggi, terdapat nafas yang tersengal-sengal hingga terpaksa harus gulung tikar. Dalam catatan DailySocial, ada beberapa platform lokal dan regional yang terpaksa tutup. Setelah Tribe dan Oona TV yang melambaikan bendera putih, teranyar Hooq bakal resmi tutup pada akhir April 2020.

Country Head Hooq Indonesia Guntur S. Siboro menjelaskan, jelang tanggal penutupan tiba, layanan Hooq masih bisa dinikmati. Ia belum memastikan bagaimana masa depan katalog Hooq. Layanan Hooq di dalam platform Grab juga telah dihapus per 14 April 2020.

Acara Hooq di Indonesia beberapa waktu lalu
Acara Hooq di Indonesia beberapa waktu lalu

Oona masuk ke Indonesia pada 2018 dengan badan hukum PT Oona Media Indonesia (OMI), sebagai anak usaha NFC Indonesia. Metranet, anak usaha Telkom Indonesia, digaet sebagai mitra eksklusif OMI. Di Hong Kong, Oona bermitra dengan perusahaan patungan Omni Channels Asia (TV4 Entertainment dan Multi Channels Asia) untuk menghadirkan beragam channel di Indonesia.

Aplikasi ini punya ambisi besar bermain di Indonesia, meski mereka berkantor pusat di Hong Kong. Oona mengadopsi model advertising video-on-demand (AVOD) hybrid karena dilengkapi program loyalitas yang dapat ditukar dengan berbagai penawaran. Semakin banyak iklan yang ditonton, semakin banyak poin terkumpul. Oona menawarkan tayangan TV lokal dan internasional yang dapat dinikmati secara cuma-cuma.

Pada kuartal pertama 2019, Oona ganti manajemen menjadi Oona Global Indonesia. Tepatnya 1 November 2019, seluruh operasional Oona di Indonesia ditangani langsung oleh tim di Hong Kong. Selang beberapa bulan kemudian, Oona menutup bisnisnya di Indonesia. Seluruh tim pendukung kegiatan operasional aplikasi dan TV aplikasi berbasis Android box yang ada di Indonesia telah dihentikan.

Selain Oona, ada OTT asal Malaysia yakni Tribe, layanan milik TV kabel Astro. Aplikasi ini hadir di Indonesia sejak Maret 2016 dan selang dua tahun kemudian Tribe menutup bisnisnya.

Layanan on demand Tribe dan rencananya sepanjang tahun 2017 / Tribe

Kedua platform tidak merinci alasan mundurnya dari Indonesia. Besar kemungkinan hal ini didasari kesulitan mencari model bisnis yang tepat dan kurang modal untuk berinovasi. Dua isu yang sering terjadi di perusahaan video on-demand, termasuk dialami sendiri oleh Hooq.

Platform lainnya, Vision+, sebelumnya bernama Moviebay dan sempat berganti nama menjadi MNC Now. Platform ini tidak lagi eksklusif untuk pelanggan TV kabel grup MNC saja.

Konten original sebagai jantung pemain OTT

Strategi yang dilakukan Netflix, melalui produksi konten original, juga dilakukan platform OTT lokal agar menarik perhatian para pengguna. Biaya yang harus disiapkan juga tak tanggung-tanggung besarnya.

VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar mengatakan, kekayaan konten original bagi platform OTT adalah suatu keharusan karena dipandang sebagai kekuatan brand OTT itu sendiri yang dapat menunjukkan jati diri dan kualitas.

“Secara spesifik, bagi kami, konten original adalah ‘anchor content’ seperti layaknya setiap siaran stasiun televisi teresterial yang memiliki tayangan sinetron atau program andalan masing-masing,” terangnya kepada DailySocial.

Bertambahnya konten original dari berbagai platform OTT akan menambah volume keragaman sehingga lambat laun akan terus mengasah kualitas tontonan Indonesia dari hari ke hari. Sayangnya, Rezki enggan merinci anggaran belanja konten Vidio per tahun. Beberapa konten original Vidio antara lain Get Married, Omen, I Love You Baby, Heart, dan Girls in The City.

GM External Corporate Communications Telkomsel Aldin Hasyim menambahkan, peranan konten original memberikan identitas dan positioning sebuah brand OTT yang sesuai dengan segmentasi pelanggannya. Mereka juga turut menyumbang sebagian besar pengguna aktif di MaxStream.

Secara berkala, MaxStream terus memperkaya konten originalnya. Namun dampak dari pandemi, perusahaan melakukan beberapa penyesuaian, bagian yang paling terdampak adalah anggaran produksi konten yang harus ditunda untuk sementara waktu.

“Selanjutnya penyesuaian dalam menggunakan anggaran belanja kami adalah memberikan promo dan program kepada pelanggan sebagai bagian dalam program Telkomsel untuk terus menghibur di rumah,” terangnya.

Konten original MaxStream yang bisa dinikmati d iantaranya Cerita Kamu, Isyarat, Journal of Terror: Afterlife, Nawangsih, Negeri 5 Menara, Cerita Dokter Cinta, dan Brata.

Tidak hanya sebagai bagian dari identitas, menurut Edy, kekuatan konten original bertumpu pada pengembangan cerita dan tingkat kualitas produksi yang berada di atas rata-rata serial yang ada di Indonesia sebelumnya. Para sineas lokal khawatir terhadap jumlah penonton, kompetisi dengan produksi mancanegara, persepsi terhadap kualitas film nasional, pilihan isu yang dapat diangkat, dan jumlah layar yang cukup menonjol, adalah beberapa masukan yang ia terima.

“Kami percaya pentingnya kolaborasi yang erat antara GoPlay dengan berbagai rumah produksi dan sineas berbakat akan menghasilkan karya-karya unik lokal berkualitas dan berdaya saing. Dengan sistem revenue-sharing yang sangat kompetitif dan berpihak pada sineas, kami dan partner rumah produksi berupaya memastikan agar tidak hanya konten berkualitas yang dapat dinikmati masyarakat, tetapi menumbuhkan industri film bersama dalam jangka panjang.”

GoPlay memproduksi beberapa serial original bersama sineas lokal. Beberapa judulnya adalah Saiyo Sakato, Tunnel Indonesia, Gossip Girl Indonesia, Filosofi Kopi The Series, Kata Bocah The Show, dan Bukan Keluarga Biasa. Tidak hanya serial, di bawah studio produksi GoStudio, sudah beberapa kali ikut andil dalam produksi film lokal terkemuka. Aruna & Lidahnya, Kulari ke Pantai, 27 Steps of May, Keluarga Cemara, Buffalo Boys, Kucumbu Tubuh Indahku adalah contoh keterlibatan mereka.

Berkah pandemi

Rangkuman GDP Venture bertajuk “The Impact of COVID-19 Pandemic” menyoroti berbagai kenaikan aktivitas digital dan kebiasaan baru yang terjadi sepanjang pandemi. Salah satunya adalah konsumsi video streaming.

Laporan dari Brandwatch menyatakan, pilihan platform yang dinikmati adalah Netflix (untuk responden yang tinggal di kawasan urban) dan YouTube untuk jawaban paling populer di kalangan responden. AppAnnie melihat konsumsi video streaming di Indonesia (dalam per jam) secara year to date hingga Maret 2020 mengalami kenaikan 15%.

Moengage Covid Report mencatat platform OTT yang mengalami berkah kenaikan pengguna dikuasai Netflix, iQiyi, V-Live, dan Viu. Kenaikan Netflix di Asia Tenggara didukung pengguna di Indonesia (+16% dalam 30 hari terakhir) dan Malaysia (+35%).

Sementara laporan lainnya, “Southeast Asia Online Video Consumer Insights and Analytics: A Definitive Study by Media Partners Asia”, menyebutkan Vidio paling menikmati “berkah” dibandingkan platform OTT lokal lainnya selama pandemi dan anjuran kerja dari rumah diberlakukan.

Laporan ini mencatat Vidio mengalami kenaikan konsumsi 225% setiap minggunya dalam kurun waktu 20 Januari sampai 11 April 2020. Kenaikan ini menempatkan Vidio sebagai platform OTT berkonsep freemium terdepan di Indonesia.

Secara agregat, seluruh platform OTT yang beroperasi di Indonesia, Filipina, dan Singapura mengalami kenaikan konsumsi hingga 60% per minggunya. Jumlah konsumsi mingguan video streaming mencapai 58 miliar menit melalui perangkat seluler pada 11 April, naik drastis dari 36,4 miliar menit pada 20 Januari 2020.

Berkah ini juga dirasakan oleh platform OTT regional. Konsumsi iQiyi naik 500% di empat negara, yakni Indonesia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Viu naik 274% dan iflix naik 118%.  Sementara Neflix yang naik 115% di keempat negara ini.

Direktur Eksekutif MPA Vivek Couto mengatakan, momentum tersebut harus bisa dimanfaatkan platform untuk mempertahankan pelanggan yang baru diakuisisi ini agar tetap loyal. Empat negara yang dianalisis MPA diestimasi memiliki tujuh juta pelanggan pada akhir Maret 2020, menyumbang $350 juta dalam pengeluaran konsumen tahunan.

“Pemain lokal utama harus didorong dengan meningkatkan konsumsi dan dalam kasus-kasus tertentu, untuk monetisasi di negara yang kami survei, mereka ingin berinvestasi untuk meningkatkan penawarannya dengan mengelola transisi siaran ke video digital. Sekarang adalah tanggung jawab dari penawaran agregator yang lebih kuat dari TV berbayar tradisional dan operator seluler dan operator virtual,” kata Couto.

Rezki tak segan berbagi data mengenai pencapaian Vidio. Dia menyebut pada Maret 2020, jumlah pengguna aktif Vidio mencapai 62 juta orang, naik 30% dari bulan sebelumnya. Diprediksi tren tersebut akan meningkat seiring anjuran kerja dari rumah dan larangan mudik yang ditetapkan pemerintah.

“Pengumpulan data masih terus berjalan, akan tetapi dapat dipastikan Vidio mengalami peningkatan jumlah pengguna yang cukup signifikan di bulan April ini, dilihat dari pencapaian Vidio yang sempat menempati nomor 1 di Top Chart App Store dan Google Play. Kami semakin optimis untuk terus menyediakan tayangan berkualitas yang dibutuhkan masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Demografi terbesar penggunanya adalah 25-34 tahun (41%), di atas 35 tahun (35%). Pria adalah pengguna terbesar 59% dibandingkan perempuan 41%. Tayangan yang paling banyak dikonsumsi pengguna Vidio adalah pertandingan olahraga (khususnya sepak bola) dan tayangan serial dan film lokal.

Di sisi GoPlay, Edy menyebutkan terjadi kenaikan engagement hingga 10 kali lipat. Tidak disebutkan jumlah pengguna aktifnya. Dari segi demografi, penonton GoPlay mayoritas berusia 18-35 tahun. Genre tayangan yang diminati adalah drama, komedi, horor, dan thriller.

“Kami rasa hal ini karena masyarakat Indonesia terus mencari cerita-cerita lokal yang unik, segar, dan beda dari biasanya, juga berkualitas. Itulah kami menghadirkan berbagai variasi konten yang ada di katalog.”

Bagi MaxStream, pada kuartal pertama tahun ini, kunjungan ke platform-nya juga mengalami kenaikan sekitar 16% dari periode sebelumnya. “Namun kami sangat berharap musibah Covid-19 di negara kita segera berakhir,” harap Aldin.

Jalan panjang berikutnya

Pukulan berat yang harus diterima Hooq memberi gambaran terang bahwa bisnis OTT adalah bisnis yang sulit. Edy melihat kompetisi di platform OTT bukan tergolong winner takes all, tapi bagaimana bisa memberikan kontribusi pada kemajuan industri perfilman Indonesia dengan unique value proposition yang ditawarkan.

“Di sisi lain, penerimaan masyarakat terhadap konten-konten VOD sudah cukup baik, didukung oleh penetrasi internet yang semakin meningkat dan gawai yang semakin canggih. Sehingga, pertimbangan untuk memilih berlangganan VOD tidak hanya berdasarkan tarif berlangganan, namun proporsi kualitas konten yang dihadirkan dan diminati masyarakat.”

Dia juga menekankan strategi GoPlay akan selaras dengan Gojek Group, khususnya dalam memastikan kepuasan pengguna berdasarkan kualitas konten yang ditawarkan selaras dengan pertumbuhan dan keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang.

“GoPlay juga akan terus mengembangkan berbagai fitur dan inovasi baru, serta mendukung kreativitas para sineas dan insan perfilman Indonesia melalui platform yang dapat diakases oleh ratusan juta pengguna Gojek di Indonesia.”

Aldin turut menambahkan, MaxStream sebagian salah satu layanan digital Telkomsel masih memiliki fondasi yang kuat sehingga memungkinkan platform ini tetap kreatif. Mereka juga menempatkan pemain OTT lain bukan sebagai kompetitor, melainkan partner.

“Itulah mengapa banyak konten partner kami yang juga tersedia di layanan MaxStream,” tutupnya.

Berdarah-Darah Rebut Hati Penonton “Streaming” Video

Nafas platform OTT video regional mulai tersengal-sengal memasuki operasional tahun kelima. Asia Tenggara bisa dikatakan sulit untuk menjadi pemain yang dominan di pasar karena karakteristik konsumen yang disasar adalah suka membandingkan harga dan senang dimanja dengan berbagai pilihan. Hooq menjadi platform pertama yang tumbang dengan mengajukan likuidasi akhir Maret lalu.

“OTT video multi-pasar adalah bisnis padat modal dan membutuhkan komitmen investor jangka panjang karena jalur menuju profitabilitas penuh dengan tantangan dan membutuhkan sumber daya yang besar,” ujar Managing Partner Media Partners Asia Vivek Couto dikutip dari Variety.

Dia melanjutkan, “Hooq punya keuntungan sebagai first mover ketika diluncurkan lima tahun lalu. Tetapi mungkin apa yang awalnya dianggap penting secara strategis bagi sebuah grup [Singtel] yang fokus pada pemindahan hulu ke konten karena membawa manfaat dan kedekatan dengan bisnis inti mereka [telekomunikasi], menjadi non-inti bahkan tidak penting jika diperlukan investasi lebih banyak modal untuk skala berhasil di Asia Tenggara.”

Laporan keuangan Hooq pada Maret 2019 menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Pendapatan naik jadi $21,9 juta dari periode yang sama di tahun sebelumnya $10 juta, namun dibarengi kenaikan rugi sebelum pajak jadi $62,5 juta dari $56,6 juta.

Hooq secara implisit “menyalahkan” lanskap market dan perusahaan lain atas kejadian ini. Dalam keterangan resminya, perusahaan menyebut selama lima tahun terakhir terjadi “perubahan struktural yang signifikan dalam pasar video OTT dan lanskap kompetitifnya”.

“Biaya konten tetap tinggi dan kemauan konsumen di negara berkembang untuk berlangganan meningkat naik bertahap di tengah serangkaian pilihan yang meningkat. Karena perubahan ini, model bisnis yang layak untuk platform independen OTT menjadi semakin ditantang.”

Di belakang Hooq, nafas Iflix ikut tersengal-sengal sejak pertama kali beroperasi di 2014. Mereka merumahkan lebih dari 50 karyawan. CEO Iflix Marc Barnett menerangkan ini adalah respons perusahaan terhadap ketidakpastian dari dampak pandemi Covid-19 di seluruh dunia.

“Industri tidak kebal terhadap keadaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keputusan kami untuk mengurangi jumlah karyawan datang setelah pertimbangan yang cermat dan dalam hubungannya dengan langkah-langkah pemotongan biaya lainnya, untuk memastikan perusahaan bertahan dalam periode yang tidak terbatas dan tidak pasti ini,” tutur Barnett dikutip dari DealStreetAsia.

Executive Director of iflix Cam Walker / iflix
Executive Director of iflix Cam Walker / iflix

Dia mengungkapkan, perusahaan tetap fokus mengarahkan bisnis pada titik impas pada 2021 dan langkah-langkah tersebut adalah bagian dari strategi perusahaan agar tetap dalam jalur tersebut. “Kami secara alami melakukan semua yang kami bisa untuk mendukung staf yang terkena dampak baik secara profesional maupun pribadi.”

PHK adalah pilihan Iflix untuk mengurangi beban agar rencana melantai di bursa efek Australia berjalan mulus. Australian Securities and Investments Commission menetapkan, Iflix mungkin dipaksa untuk menebus lebih dari $47,5 juta convertible loan jika tidak terdaftar di bursa pada 31 Juli 2020.

Rencana IPO Iflix sebenarnya akan berlangsung pada akhir tahun lalu, namun diundur karena perusahaan harus melakukan sejumlah efisiensi dengan merumahkan sebagian besar level senior. Sejak 2016, tercatat mereka sudah melakukan rangkaian PHK agar tetap bertahap di tengah tekanan munculnya pemain OTT global.

Upaya Barnett untuk mencapai titik impas butuh perbaikan signifikan di internal perusahaan. Kerugian bersih perusahaan melebar pada 2018 jadi $158,1 juta dari defisit $120,4 juta pada tahun sebelumnya. Alhasil, arus kas bersihnya dipersempit dengan mengurangi kas operasional pada 2018 dari $67,4 juta di tahun sebelumnya menjadi $25,5 juta.

Apa yang salah?

Analis video OTT Omdia Tony Gunnarsson memaparkan Hooq gagal karena kurang modal. Bahkan ada laporan mereka tidak dapat membayar sejumlah produksi original yang sudah direncanakan.

“Secara umum, video OTT adalah bisnis yang sangat sulit, dan sejarah internet adalah bisnis dengan rentetan layanan video yang gagal. Agar berhasil, layanan video OTT harus memiliki akses ke sumber modal yang stabil untuk membayar konten baru yang menarik, rangkaian teknologi yang layak, dan layanan pelanggan yang andal,” katanya dikutip dari Campaign Asia.

Perusahaan juga harus beriklan rutin untuk mengakuisisi pengguna baru. Meski Hooq punya akses dana, dengan dukungan Singtel, Warner, dan Sony, tidak ada jaminan bakal sukses. Pada dasarnya, tanpa kontrak jangka panjang dan tanpa terikat dengan produk dan layanan lain (seperti TV kabel, kontrak seluler atau broadband), layanan video OTT tetap ada di tangan loyalitas pelanggan. Sangat sulit dijangkau.

Lima tahun sejak diluncurkan, Hooq baru menembus 1 juta pelanggan pada 2019 di lima negara. Pencapaian tersebut bukan hasil yang baik untuk layanan streaming dengan dukungan investor besar.

Pendapat lainnya diungkapkan VP Media Partners Asia Arravind Venugopal. Dia menerangkan, saat Hooq diluncurkan, semangatnya cukup kredibel dan dapat diukur. Mereka ingin memberikan konten melalui perangkat/jaringan seluler dengan harga terjangkau.

“Di atas kertas, silsilahnya benar. Hooq, di samping Iflix dan Viu, mengejar piramida konsumen bagian tengah dan bawah yang belum dilayani Netflix. Pada saat itu, visi dan kepercayaan yang dianut adalah konten Hollywood akan berhasil. Di tengah pembajakan film dan serial barat yang merajalela di kawasan ini, menawarkan ide membuat konten tersebut jadi terjangkau oleh masyarakat,” terang Arravind.

Akan tetapi, tantangan justru terletak pada pelaksanaan ide tersebut yang banyak hambatan, mulai dari struktur pasar, perilaku konsumen, pilihan konten/keadaan ekonomi, dan ketersediaan teknologi. Masalahnya, di negara yang disambangi Hooq (tidak termasuk India), membayar konten bukan bagian dari kebiasaan konsumen.

Konsumsi TV FTA (free-to-air) jauh lebih dominan dan berfungsi sebagai sumber utama konten lokal untuk masyarakat. Di banyak kasus, channel FTA juga membawa konten barat yang di-dubbing atau terjemahkan dalam bahasa lokal. Selain itu, ada tayangan olahraga lokal dan internasional dengan basis penonton yang masif.

“Meyakinkan orang untuk berlangganan bulanan [meskipun jumlahnya lebih kecil dari TV kabel berbayar] dan kemudian mengonsumsi konten on-demand [vs TV FTA], melalui jaringan data seluler mereka [dan di negara tersebut biaya data relatif tinggi], adalah salah satu batu sandungan awal yang besar.”

Sumber : Unsplash
Sumber : Unsplash

Tantangan berikutnya adalah pilihan konten. Film dan serial Barat sebagian besar sudah hadir di TV kabel atau, jika ada dana lebih, berlangganan melalui Netflix. Hal ini menekan keengganan pelanggan untuk berlangganan layanan lain, seperti Hooq dan Iflix. Padahal biaya konten itu biayanya signifikan dibandingkan ambil konten lokal.

Sejauh ini masyarakat di Asia Tenggara lebih suka konten bahasa lokal atau konten Asia, sebagaimana yang berhasil dibuktikan Viu dan eksperimen Iflix menayangkan sajian konten dari Korea Selatan.

Di sisi lain, konten lokal sebagian besar diproduksi oleh dan untuk TV kabel dan FTA. Berarti Hooq dan Iflix perlu membayar tarif premium untuk mendapatkan akses ke penulis dan perusahaan PH terbaik. Hal ini yang menaikkan anggaran konten mereka.

Bila memilih sebagai advertising video on demand (AVOD), kompetisinya sekarang harus berhadapan dengan orang-orang yang mengakses YouTube, Facebook, dan platfrom sejenis. Berkompetisi di bidang iklan, berarti tidak hanya harus membangun produk atau layanan yang benar-benar baru, tapi juga tim yang relevan.

“Hooq telah memulai jalan itu. Menempatkan tim dan beberapa produk untuk mengatasi hal ini. Tapi masih ada tantangan di atasnya, membawa penonton yang cukup untuk menikmati konten gratis. Pencapaian tersebut dapat dijual ke pihak pengiklan.”

Gunnarsson menambahkan, Hooq sadar agar semangat awalnya tetap hidup, perusahaan beberapa kali mengubah model bisnisnya sejak beberapa tahun terakhir. Contohnya menambahkan konten gratis, model freemium (ada iklan), menurunkan harga, dan membuat paket berlangganan harian. Di India, Hooq dipasarkan sebagai agregator konten berbahasa Inggris.

“Meskipun kami merekomendasikan layanan video OTT agar fleksibel dan responsif terhadap pasar lokal, saya pikir layanan harus sangat hati-hati untuk mempertahankan brand recognition dan hal-hal semacam ini [sebab] pada akhirnya dapat menjadi bumerang dan menyebabkan banyak konsumen bingung.”

Pemain global bermodal tebal

Pemain regional akan terus ditekan dengan gencaran OTT global yang sudah membawa modal tebal. Kebanyakan dari mereka mengawali India sebagai ekspansi perdana karena mayoritas penduduknya bisa berbahasa Inggris dan populasinya ada di nomor dua di bawah Tiongkok.

Tiongkok tidak masuk radar karena negara tersebut sudah menutup rapat-rapat akses pemain luar dengan serangkaian regulasi yang ketat.

Dalam menyediakan konten, Netflix menyiapkan memiliki surat hutang jangka panjang. Misalnya saja, tahun ini mereka memiliki sekitar $14,6 miliar surat hutang jangka panjang dalam pembukuannya. Sebelumnya, perusahaan menerbitkan sekitar $2,2 miliar dalam bentuk obligasi pada musim gugur lalu dan tambahan $19,1 miliar dalam bentuk kewajiban belanja konten.

Anggaran belanja konten pemain OTT global / Variety
Anggaran belanja konten pemain OTT global / Variety

Anggaran belanja terus membengkak nilainya dari tahun ke tahun, selaras dengan gencarnya pemain lain berkantong tebal yang mulai terjun. Pada 2018, anggaran Netflix mencapai $12 miliar, naik dari sebelumnya $9 miliar. Lalu, angkanya menjadi $15,3 miliar di 2019 dan tahun ini menganggarkan $17,3 miliar.

Menurut firma BMO Capital Market, Netflix akan terus berinvestasi konten dan diprediksi tembus $26 miliar pada 2028. Angka yang begitu fantastis untuk mempertahankan tahtanya sebagai pemain video streaming teratas.

Pendapatan perusahaan ikut meningkat. Mereka tahun lalu memperoleh $20,1 miliar, naik 27,62% dari tahun sebelumnya yang mencapai $16 miliar. Netflix mengantongi laba bersih sebesar $1,85 miliar, naik 54,13% dari tahun sebelumnya $1,21 miliar.

Laba tersebut didapat sepenuhnya dari biaya berlanganan yang dibayarkan konsumen per bulannya. Amerika Serikat merupakan konsumen terbesar Netflix. Diperkirakan 54% penduduk negara tersebut adalah pelanggannya.

Bila ditotal, Netflix memiliki lebih dari 167 juta pelanggan. Pada kuartal IV 2019, ada tambahan 8,8 juta pelanggan baru. Pencapaian tersebut dikatakan menakjubkan, lantaran pada saat yang sama Apple dan Walt Disney merilis layanan video streaming.

Dijabarkan lebih jauh, khususnya di Asia Pasifik, termasuk Jepang, Korea Selatan, dan Australia, dan India, jumlah pelanggan Netflix mencapai 16,2 juta orang. Di antara empat kawasan, kontribusi kawasan ini adalah yang paling rendah.

Media Partners Asia mengestimasi pada 2018, ada lebih dari 8,5 juta pelanggan di 2018 untuk kawasan APAC. Asia Tenggara berkontribusi sekitar 11% dari angka tersebut atau sekitar 935 ribu pelanggan. Angka tersebut diestimasi akan semakin tinggi, apalagi kini bisa berlangganan lewat pulsa (Indonesia).

Harga yang dibanderol untuk paket ponsel adalah Rp49 ribu per bulan, atau lebih murah setengah harga dari paket dasar sebesar Rp109 ribu.

“Kami melihat Indonesia memiliki waktu menonton (screen time) yang dua kali lebih tinggi dibanding rata-rata pengguna global,” ucap juru bicara Netflix Kooswardini Wulandari yang dikutip dari Kompas.

Pemain OTT global dan regional lainnya yang terang-terangan hadir di Indonesia dan bersaing dengan Netflix adalah Amazon Prime Video, HBO Go, dan Apple TV Plus. Selain menggunakan kartu kredit, pembayarannya bisa melalui pulsa dan GoPay (Google Play) dan Dana (untuk platform besutan Apple).

Selain pemain asal Amerika Serikat, perusahaan raksasa internet dari Tiongkok, Baidu, merilis layanan OTT-nya sendiri iQiyi ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pembayaran layanan ini bisa menggunakan pulsa.

Kita belum bicara Disney Plus yang maha raksasa akan jaringan kontennya. Indonesia sudah pasti masuk radar Disney, meski saat ini layanan streaming tersebut mengawalinya dengan India lewat layanan video streaming lokal Hotstar pada awal April 2020.

TechCrunch melaporkan kurang dari seminggu Disney Plus Hotstar sudah menjaring delapan juta pelanggan. Hotstar sendiri tergolong layanan streaming tersohor dengan lebih dari 300 juta pelanggan. Disney Plus sendiri, sejak dirilis kurang dari lima bulan lalu, diklaim sudah memiliki lebih dari 50 juta pelanggan di seluruh dunia.

Ramai-ramai berburu pasar Asia Tenggara

Pamor Netflix terancam dengan keberadaan para pemain global ini. Sebelum mereka mulai gencar, Netflix menggaet pemerintah Indonesia (lewat Kemendikbud) untuk melatih talenta lokal membuat film yang akan dipasarkan melalui platform globalnya. Disebutkan perusahaan menyiapkan dana $1 juta dalam kerja sama tersebut.

Pemerintah sejatinya masih “abu-abu” dengan kehadiran Netflix, seperti Kemenkominfo yang mengkhawatirkan penyebaran konten negatif. Kemenkeu juga terus mengincar pemain OTT asing, termasuk Netflix, terkait pembayaran pajak.

Konten Indonesia dalam katalog Netflix jumlahnya semakin banyak. Produksi konten original sudah diuji coba melalui film “The Night Comes for Us” dan serial dokumenter “Street Food” yang meliput kisah pembuat makanan legendaris dari Yogyakarta dalam salah satu episodenya.

Selain Indonesia, mereka aktif memproduksi konten bersama sejumlah sineas tersohor, seperti Malaysia (The Ghost Bride), Thailand (The Stranded), Taiwan (Nowhere Man dan Triad Princess), dan Korea Selatan yang kini jumlah konten originalnya sudah tidak bisa hitung dengan jari.

HBO tidak mau kalah. Meski belum semasif Netflix, sejumlah sineas Indonesia pernah diajak memproduksi konten, semisal film horor Dead Mine, serial Halfworlds, Folklore, dan Serangoon Road.

Katalog harian Viu / Viu
Katalog harian Viu / Viu

Sebagai pemain regional, konten Asia adalah pilihan Viu, yang berdiri sejak tahun 2016, untuk menarik pengguna dan sejauh ini premis mereka tepat.

Country Manager Viu Indonesia Varun Mehta menerangkan, Viu kini dikenal sebagai penyedia konten hiburan Asia. Untuk itu, perusahaan terus berupaya perbanyak produksi konten lokal untuk memuaskan pelanggan di Indonesia.

Lanjutnya, meski konten hiburan dari Korea Selatan digemari, tapi selera tersebut berbeda jika membandingkan konsumen di Jakarta dan Medan misalnya. Yang terakhir lebih menyukai konten lokal.

Pada awal Maret 2020, perusahaan mulai memperkenalkan konten dari Thailand sebagai gelombang konten regional berikutnya di Asia Tenggara. Ketersediaan ini berkat kemitraannya dengan GMM dan One31.

“Kami biasanya merilis sekitar 25-40 episode drama dengan berbagai judul setiap harinya. Ketersediaan konten baru adalah faktor utama mengapa konsumen terus mengakses Viu,” terangnya seperti dikutip dari Bisnis.com.

Perusahaan juga menggaet sineas lokal Indonesia untuk memproduksi konten di Viu. Data terakhir menunjukkan pengguna aktif bulanan Viu hampir 41 juta di 16 negara dan telah ditonton selama lebih dari lima miliar menit pada tahun lalu.

Sumber : Media Partners Asia
Sumber : Media Partners Asia

Pasar video online Asia Pasifik pada 2024 diperkirakan menembus angka $50 miliar menurut Media Partners Asia. Tahun lalu diestimasi ada kenaikan 24% dari tahun sebelumnya. Mereka juga menyebut, model SVOD akan mengalami penyesuaian, sedangkan model AVOD berkontribusi pada mayoritas pendapatan.

Tujuh klaster terbesar APAC secara berurutan akan menguasai pasar video online pada 2024. Mereka adalah Tiongkok, Jepang, Australia & Selandia Baru, India, Korea, Taiwan, dan Indonesia.

Pemain lokal

Dari semua negara di regional Asia Tenggara, kue bisnis terbesar ada di Indonesia. Statista memprediksi pendapatan yang diberikan Indonesia untuk OTT sebesar $161 juta dengan 21,9 juta jumlah pengguna pada tahun ini. Kenaikan nilai ini mencapai dua digit dibandingkan tahun 2019.

Ramalan itu tampaknya benar terjadi karena dampak pandemi Covid-19 dan kebijakan kerja dari rumah membuat konsumsi layanan OTT tinggi. Telkomsel mencatat terjadi kenaikan konsumsi data untuk layanan penunjang kerja, komunikasi pesan instan, online gamesdan streaming video. Operator telekomunikasi lain juga melaporkan perolehan yang sama.

Di dalam negeri, ada sekian banyak pemain bermunculan, seperti Genflix, Vidio, GoPlay, KlikFilm (rumah produksi Falcon Pictures), MaxStream dan UseeTV Go (Grup Telkom), Mola TV, FirstMediaX. Stasiun TV FTA juga ikut merilis seperti Vision+ dan RCTI+, keduanya milik Grup MNC.

Vidio, Genflix, UseeTV, dan FirstMedia X tergolong lebih tua daripada koleganya. Mereka beroperasi sejak 2014. Dari keempatnya, Vidio bisa dikatakan punya traksi terkencang. Aplikasi ini sempat menduduki posisi pertama di Top Chart App Store dan Google Play selama pandemi berlangsung.

Kepada DailySocial, VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar mengatakan, perjalanan Vidio bisa sampai ke tahap sekarang karena kekuatan konten lokal yang variatif dan bisa menyasar segala kalangan usia. Namun begitu, kekayaan konten original bagi platform OTT adalah suatu keharusan.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa konten original dapat dipandang sebagai kekuatan dari brand OTT itu sendiri yang dapat menunjukkan jati diri dan kualitas brand. Secara spesifik, bagi kami, konten original adalah “anchor content” seperti layaknya setiap siaran stasiun televisi terestrial yang memiliki tayangan sinetron atau program andalan masing-masing,” terangnya.

Bertambahnya konten original dari berbagai OTT akan menambah volume keragaman sehingga lambat laun akan terus mengasah kualitas tontonan Indonesia dari hari ke hari. Sayangnya, Rezki enggan merinci anggaran belanja konten Vidio per tahun.

Vidio

Di dalam katalognya, Vidio menyajikan tayangan internasional seperti film dan serial dari beragai negara Asia, dari Korea Selatan, India, dan Hollywood. Lalu, tayangan TV nasional dan internasional, edukasi, religi, animasi anak, hingga ribuan pertandingan olahraga dari berbagai cabang. Tayangan film lokal juga diperkaya dari keluaran terkini hingga nostalgia.

Dia menyebut pada Maret 2020, jumlah pengguna aktif Vidio mencapai 62 juta orang, naik 30% dari bulan sebelumnya. Diprediksi tren tersebut akan meningkat seiring anjuran kerja dari rumah dan larangan mudik yang ditetapkan pemerintah. Demografi terbesar penggunanya adalah 25-34 tahun (41%), di atas 35 tahun (35%). Pria adalah pengguna terbesar 59% dibandingkan perempuan 41%.

Selain perkaya konten, harga tentu menjadi bagian “sensitif” buat pengguna Vidio. Untuk berlanganan harga yang dibanderol mulai dari Rp15 ribu (1 minggu), Rp29 ribu (1 bulan), dan Rp300 ribu (1 tahun).

Dari koleksi katalog dan harga berlangganan, sasaran pengguna Vidio tidak bisa disamakan dengan Netflix. Vidio lebih mengarah pada mass market dengan kelas menengah ke bawah. Perbedaan strategi ini memperlihatkan bahwa masing-masing OTT punya pasar masing-masing.

Ekspansi OTT global yang jor-joran membuat pemain regional dan lokal harus bersiap dengan strategi penghalau. Semakin “lokal” solusi yang konsumen dapatkan, akan semakin mudah mendapat loyalitas. Cara ini yang akhirnya dipakai beragam pemain OTT lokal.

Lagipula, seperti yang dipaparkan Arravind Venugopal, membudayakan untuk membayar suatu acara yang bisa didapat saat nonton TV di rumah yang gratis bukan suatu pekerjaan rumah yang ringan buat orang Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Pemerintah di tiap negara juga kompak untuk membuat aturan main yang adil agar mereka tunduk. Memblokir tentu bukan pilihan yang bijak karena di sana ada hak konsumen untuk memilih mana yang ingin mereka nikmati. Semakin dilarang, semakin mudah diterobos karena kecanggihan VPN.

Menelaah Draf Aturan Tata Kelola PSE Lingkup Privat

Draf peraturan Menkominfo tentang tata kelola penyelenggara sistem elektronik (PSE) lingkup privat sudah diselesaikan. Beleid yang terdiri dari 9 bab dan 34 pasal tersebut secara spesifik mengatur detail teknis pengelolaan data dan sistem elektronik yang bersentuhan dengan pengguna di Indonesia. Sekaligus merinci secara lebih teknis aturan di PP No. 71 Tahun 2019 tentang PSE yang sebelumnya diterbitkan.

Penyusunan aturan ini cukup dikebut, pasca Presiden Joko Widodo menyampaikan di acara Indonesia Digital Economy Summit 2020 oleh Microsoft Indonesia, untuk memuluskan rencana investasi perusahaan teknologi asing dalam pengembangan pusat data di Indonesia. Kabarnya saat ini rancangan aturan tengah bersiap dilimpahkan ke Menkopolhukam untuk ditinjau.

Cakupan aturan

Aturan ini mengakomodasi informasi elektronik, dokumen elektronik, dan sistem elektronik sebagai objek. Sementara subjeknya adalah penyelenggara sistem elektronik di tingkat perorangan, badan usaha dan masyarakat – baik melakukan transaksi elektronik untuk keperluan sendiri maupun orang lain.

Dalam draf per 10 Maret 2020, tepatnya di pasal 3, disampaikan bahwa setiap pelaku PSE lingkup privat wajib melakukan pendaftaran untuk dapat diawasi pemerintah. Mereka ada orang/usaha di bidang penawaran/perdagangan barang dan jasa, layanan transaksi keuangan, pengirim materi atau muatan digital berbayar, pengembang layanan komunikasi, layanan mesin pencari dan platform yang memproses data pribadi.

Pendaftaran dilakukan melalui online single submission, dengan syarat utama memberikan detail pengoperasian sistem, memastikan keamanan informasi dan komitmen perlindungan data pribadi. Dalam informasi pengoperasian sistem yang harus disetor meliputi nama sistem, sektor, situs web, domain dan IP server, model bisnis, fungsi sistem, data pribadi yang diproses dan lokasi hosting. Selain itu usaha yang melakukan pendaftaran juga wajib menyertakan informasi mengenai badan hukum, NPWP dan NIK penanggung jawab.

Untuk PSE lingkup privat asing diatur dalam pasal 5, menyiratkan prasyarat informasi yang sama dengan di atas, dilengkapi identitas perusahaan asing tersebut dan dokumen pendukung berbahasa Indonesia. Kementerian akan menentukan, apakah perusahaan terkait diizinkan atau tidak.

Mekanisme aturan

Setiap pendaftaran akan diverifikasi oleh Kementerian, untuk selanjutnya akan diterbitkan tanda terdaftar sebagai PSE lingkup privat. “Lisensi” terdaftar tersebut akan berlaku selama 5 tahun sejak tanggal diterbitkan dan wajib diperpanjang secara berkelanjutan, jika pelaku usaha terkait masih melakukan operasional di Indonesia.

Informasi dan data elektronik yang terkandung juga harus dipastikan tidak melanggar ketentuan undang-undang, termasuk bersifat meresahkan masyarakat. Di pasal 14 juga ditegaskan, untuk platform berbasis user-generated content harus memiliki tata kelola mengenai informasi atau data yang dihimpun, mengingat sistem seperti itu konten sepenuhnya dibuat dan dikelola pengguna. Tata kelola dimaksudkan menegaskan kembali hak dan kewajiban pengguna, termasuk ketentuan pertanggungjawaban pemilik platform jika terjadi isu. Setiap sistem harus memiliki saranan dan layanan penyelesaian pengaduan.

Peran penyedia konektivitas internet (ISP) juga turut ditegaskan, termasuk dalam kaitannya dengan kerja sama melakukan pemutusan akses (blokir) jika diperlukan.

Mencerna beleid

Melihat subyek-subyek yang disebut dalam pasal-pasal awal, maka aturan tersebut dimaksudkan untuk pelaku digital, yakni siapa saja yang mengembangkan layanan berbasis aplikasi, situs web atau sejenisnya yang digunakan oleh masyarakat umum. Secara khusus disebut mesin pencari, user-generated content di dalamnya termasuk media sosial, layanan konten berbayar alias OTT bahkan layanan komputasi awan di pasal 17.

Kewajiban menyertakan badan usaha, NPWP dan NIK sebenarnya juga menjadi indikasi baik – memaksa setiap pemain asing untuk memiliki kehadiran di sini. Kendati belum dirinci secara detail perihal perpajakan atau melaporkan pendapatan. Di sisi lain, aturan ini memang menjadi angin segar bagi para pelaku bisnis teknologi untuk secara legal memantapkan bisnis di tanah air.

Dalam sebuah kesempatan Menkominfo memang menyampaikan, bahwa Permen ini dibuat sesederhana mungkin untuk muluskan investasi perusahaan teknologi global yang ingin membangun pusat data di Indonesia. Seperti diketahui Microsoft, Google, Amazon, Alibaba dan lain-lain berencana melakukan hal tersebut.

Sejak PP 71/2019 disahkan, beberapa kalangan di industri memang cukup khawatir. Sebagai pengingat, berikut beberapa poin yang ada dalam beleid tersebut:

  • PSTE dibagi menjadi dua yakni publik dan privat.
  • PSTE terbebas dari tanggung jawab jika dalam keadaan terpaksa atau berasal dari kesalahan pengguna.
  • PSTE tunduk terhadap regulasi yang berlaku di Indonesia termasuk soal konten informasi yang tak sesuai ketentuan negara.
  • Pengakuan hak right to be erased dan right to delisting dari mesin pencari atau platform informasi elektronik lainnya.
  • PSTE privat boleh melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data di luar negeri.

Dari sekian poin dalam aturan baru tersebut, pasal 21 ayat 1 menjadi sorotan utama bagi pelaku industri lokal. Misalnya Asosiasi Cloud Computing Indonesia yang menilai bagian tersebut berlawanan dengan visi Presiden Joko Widodo yang menekankan kedaulatan data, karena justru mengizinkan sektor privat memiliki pusat data di luar negeri.

“Data di sektor publik itu hanya 10 persen, berarti 90 persen data kita ada di sektor privat. Ini berarti 90 persen data kita lari ke luar Indonesia. Kalau sudah begitu bagaimana bisa melindungi dan menegakkan kedaulatan data kita ketika datanya di luar yurisdiksi,” ujar Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia Alex Budiyanto.

Sejauh ini, pasal 21 ayat 1 menjadi sumber kontroversi dari PP 71/2019 ini. Kendati demikian, perlu diperhatikan juga dalam pasal 21 ayat 3 terdapat klausul yang mewajibkan penyelenggara layanan memberikan akses kepada pemerintah dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum.

“Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat wajib memberikan Akses terhadap Sistem Elektronik dan Data Elektronik dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” demikian bunyi pasal 21 ayat 3.

GoPlay and the Challenges Ahead

The new original series by GoPlay, Gossip Girl Indonesia, is getting much of the public’s attention. The character names are kind of odd among society.

However, we’re not going in-depth with the series, instead, we’ll further analyze GoPlay’s strategy and future plans as the video-on-demand (VOD) platform. Gossip Girl Indonesia is not GoPlay’s first original content, after the recent ones titled Saiyo Sakato and Tunnel.

After all, GoPlay has not made any significant development in terms of strategy than the other VOD platforms, which is to make the most original content. In fact, the current scheme is quite a prerequisite to any of the video streaming.

“As a local-pride VOD platform, we have a big ambition to gather the largest catalog of Indonesian films and series. Therefore, we will continue to focus on original and exclusive content on the GoPlay platform to provide different and unique offers to Gojek users,” GoPlay’s CEO, Edy Sulistyo, stated to DailySocial.

The total of GoPlay’s original content is increasing, slowly indeed. In addition to the previous ones, other titles such as Kata Bocah The Show, Filosofi Kopi The Series, Haha Club, and Namanya Juga Mertua have listed on GoPlay’s catalog.

Edy said that the team is currently preparing two new content in the near future, the reality show titled Bukan Keluarga Biasa, a special series of Ramadan Jadi Ngaji, some other titles are still undisclosed.

Content is not the only issue

Pushing the production of original content has become an unwritten obligation for VOD service players. However, by focusing only on this issue won’t make them win the competition.

First of all is the price aspect. Comparing to the other players, GoPlay subscription fees are more expensive. The cheapest cost per month at iFlix is Rp. While Netflix, which is the most popular video-on-demand service, pays the lowest Rp.49,000 per month for mobile-specific services.

This is not a simple matter considering the behavior of Indonesian people is relatively price sensitive. Moreover, the content offered by GoPlay does not differ much from Hooq, iFlix, and Viu which concentrate on local and Asian content.

dsvideostreaming

Another stumbling block for GoPlay is limited access to watch only on mobile phones. For the record, all content provided by previously mentioned competitors is accessible on other devices. This can be something to withstand the GoPlay’s growth rate in its early days. Edy promised that he would launch new innovations to improve the customer’s viewing experience.

“Today, there are several new features that we currently develop this year in order to improve the viewing experience, and we will further inform you of this,” he added.

GoPlay’s opportunities

GoPlay’s presence is not without solutions. In terms of subscription fees, they have at least a short-term solution that is creating cross-service promotions. For instance, they create a bundling for GoPlay subscription package for two weeks with a GoFood voucher worth Rp360,000 and to be redeemed with only Rp.49,000.

As we all know, GoFood is one of the strongest services out of a total of 20 services on the Gojek platform. This cross-promotion can also be GoPlay’s preferred technique to simply attract consumers to subscribe to their video streaming platform.

GoPlay has another ammo as a quite extensive network of resources in the film industry. GoPlay, under GoStudio, has several times contibuted in the production of the country’s popular films. Aruna & Lidahnya, Kulari to the beach, 27 Steps of May, are part of their contribution.

artists who play roles in Gossip Girl Indonesia / Gojek
artists who play roles in Gossip Girl Indonesia / Gojek

Well-known artists in the film industry have collaborated with GoPlay to create a persuasive content lineup. Nia Dinata, Gina S. Noer, Angga Dwimas Sasongko, Ifa Ifansyah, are a list of names which is proven that GoPlay has a reliable network of filmmakers to win the audience.

“We can also say that in just the last two months, the number of GoPlay access users has increased more than thirteen times exponentially and continues to grow according to plan in a proud manner,” Edy said confidently.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

GoPlay dan Tantangan yang Membayanginya

Judul serial terbaru GoPlay, Gossip Girl Indonesia, cukup mendapat perhatian publik. Nama-nama karakter di dalam serial ternyata dianggap kurang lazim di kuping masyarakat pada umumnya.

Namun bukan Gossip Girl Indonesia yang akan dibahas dalam tulisan ini, melainkan strategi dan masa depan GoPlay sebagai platform video on-demand (VOD). Gossip Girl Indonesia adalah konten original kesekian dari GoPlay setelah belum lama meluncurkan Saiyo Sakato dan Tunnel.

Namun sepertinya GoPlay tak membuat banyak perbedaan dalam strategi mereka dari para pemain VOD lain yakni memproduksi koleksi konten original sebanyak mungkin. Sejatinya taktik ini pun sudah seperti keharusan bagi pelaku layanan video streaming mana pun.

“Sebagai platform VOD karya anak bangsa, kami memiliki ambisi untuk mengumpulkan katalog terbesar bagi film dan serial Indonesia. Untuk itu kami akan terus fokus pada konten original dan eksklusif yang ada di platform GoPlay untuk dapat menawarkan penawaran yang berbeda dan unik bagi pengguna Gojek,” ujar CEO GoPlay, Edy Sulistyo, dalam pernyataan tertulis kepada DailySocial.

Konten original GoPlay yang dirilis memang terus bertambah meski secara perlahan. Selain yang sudah disebut sebelumnya, judul lain seperti Kata Bocah The Show, Filosofi Kopi The Series, Haha Club dan Namanya Juga Mertua sudah menghiasi katalog tayangan GoPlay.

Edy mengatakan pihaknya juga sedang menyiapkan dua tayangan baru dalam waktu dekat yakni reality show berjudul Bukan Keluarga Biasa, serial khusus Ramadan Jadi Ngaji, beberapa judul lain yang belum bisa mereka sampaikan.

Bukan hanya soal jumlah konten

Menggenjot produksi konten original memang sudah jadi kewajiban tak tertulis bagi pemain layanan VOD. Namun memperhatikan hal ini saja tak akan cukup membuat mereka memenangi kompetisi.

Pertama-tama adalah aspek harga. Jika membandingkan dengan pemain lain, biaya berlangganan GoPlay masih lebih mahal. Biaya paling murah per bulan di iFlix sebesar Rp39.000, Viu Rp30.000, Hooq Rp69.000, sedangkan per bulan GoPlay sebesar Rp89.000. Sementara Netflix yang berstatus sebagai layanan video on demand terpopuler mematok paling murah Rp49.000 per bulan untuk layanan khusus ponsel.

Ini bukan masalah sederhana mengingat perilaku masyarakat Indonesia masih terbilang sensitif akan harga. Terlebih konten yang ditawarkan oleh GoPlay tak berbeda jauh dari Hooq, iFlix, dan Viu yang berkonsentrasi pada konten lokal dan Asia.

video streamign platform

Kendala kedua yang bisa jadi sandungan untuk GoPlay adalah akses menonton yang terbatas di ponsel saja. Sebagai catatan, konten semua pesaing GoPlay yang disebut sebelumnya dapat diakses di perangkat lain di samping lewat layar ponsel. Hal ini yang bisa jadi dapat menahan laju pertumbuhan GoPlay di masa-masa awalnya. Edy berjanji pihaknya akan meluncuran inovasi baru untuk meningkatkan pengalaman menonton pelanggan mereka.

“Saat ini telah ada beberapa fitur terbaru yang sedang dalam pengembangan kami tahun ini dalam meningkatkan pengalaman menonton yang lebih baik lagi, dan kami akan menginformasikan lebih lanjut,” imbuhnya.

Kesempatan GoPlay

GoPlay bukannya tanpa solusi. Dalam aspek biaya berlangganan, setidaknya mereka punya solusi jangka pendek yakni menciptakan promosi silang antarlayanan. Seperti saat ini misalnya mereka memadukan paket berlangganan GoPlay selama dua minggu dengan voucher GoFood senilai Rp360.000 yang bisa ditebus dengan Rp49.000.

Seperti diketahui bersama, GoFood adalah salah satu layanan terkuat dari total 20 layanan di platform Gojek. Promosi silang ini pun dapat menjadi teknik pilihan GoPlay untuk sekadar menggaet konsumen menjajal koleksi tayangan mereka.

Amunisi lain yang dimiliki oleh GoPlay adalah jejaring sumber daya mereka dalam industri perfilman yang cukup mumpuni. GoPlay, di bawah bendera GoStudio, sudah beberapa kali ikut berperan dalam produksi film terkemuka Tanah Air. Aruna & Lidahnya, Kulari ke Pantai, 27 Steps of May, adalah contoh keterlibatan mereka.

Gossip Girl Indonesia
Sejumlah sineas yang berperan dalam Gossip Girl Indonesia / Gojek

Nama-nama besar dalam industri perfilman pun sudah digandeng GoPlay untuk memperkuat jajaran konten mereka. Nia Dinata, Gina S. Noer, Angga Dwimas Sasongko, Ifa Ifansyah, adalah nama-nama yang jadi bukti bahwa GoPlay punya jejaring sineas andal untuk merebut penonton.

“Kami juga dapat katakan bahwa hanya dalam dua bulan terakhir, jumlah pengguna access GoPlay naik lebih dari tiga belas kali secara eksponensial dan terus bertumbuh sesuai rencana secara membanggakan,” pungkas Edy penuh percaya diri.

Application Information Will Show Up Here

Pros and Cons of Indonesia’s Ban on Netflix

Since the original content from Netflix in 2015, the video streaming platform keeps improving in quality. One of its validation comes from the Oscars 2020 where its original content successfully took 24 nominations. Two of those, The Irishman and Marriage Story managed to be in the list of Best Movies of the year.

Apparently, the public company that used to be a Silicon Valley startup now aligns with Hollywood’s giant, such as Warner Bros, Universal Pictures and many more. The high-quality content has encouraged users to pay more (compared to similar apps), including in Indonesia.

Entering the middle of last decade, around 2014-2016, Netflix’s business model has been replicated around Southeast Asia. There’s iflix (2014), Hooq (2015), and Viu (2015). They offer identical services with coverage reached up to Indonesia. Not only purchasing the airing license, but they also create original series.

Absolute rejection since its debut

In January 7th, 2016, Netflix announced to expand globally, coverage in 130 countries, including Indonesia. The plan raised various reactions of some parties. As the regulator, Kominfo listed some administrative requirements for OTT (Over The Top) players. Two of which to be highlighted are permanent business establishment and censorship commitment.

In addition, OTT involves content, such as data, information, and multimedia which is running and accessible through internet media. In terms of regulation, those content are considered “depending” on the telco’s network.

“Netflix will be assisted in terms of regulation because of some concerns in the community that must be protected, particularly for content,” Rudiantara said as the current Kominfo Minister then.

Aside from the government, associations also signaling rejection to the NFLX-code company. Indonesia’s Telematics Communities (Mastel) said some missed regulations, the Presidential Regulation No. 39 of 2014 on questioning the provisions of the organizers of film and TV subscription services. In addition, Law No. 32 of 2002 and Law No. 33 of 2009 concerning the formation of legal entities.

On January 27th, 2019 at 12 am, Netflix is no longer accessible from any kind of Telkom’s internet network.

Remain to be the first alternative

As quoted from Statista, Netflix has a total active user of 418 thousand per 2019 in Indonesia, it’s projected to increase to 906 thousand this year. From different research, as quoted from AppAnnie’s report titled “State of Mobile 2020”, Netflix still managed to be in the top 5 streaming apps of smartphone users in Indonesia.

The most popular video streaming app in various countries / AppAnnie
The most popular video streaming app in various countries / AppAnnie

Outside Telkom’s internet coverage, Netflix is still accessible. In general, non-red plate operators will prohibit only the site or application that is already listed in TrustPositif – a channel for the list of officially banned websites by the Ministry of Communication and Information.

In Indonesia, there are also some similar services, such as iflix, Viu, Hooq, Genflix, even local players like Vidio and Go-Play.

Some global platforms like Netflix are starting to penetrate the market, such as HBO Go and Amazon Prime, even the specific content services such as beIN Sports and NBA League Pass in the sports category.

List of Indonesia's most popular video streaming service rate / DailySocial
List of Indonesia’s most popular video streaming service rate / DailySocial

Quoted from Tirto‘s, Telkom’s Consumer Director, Dian Rachmawan said, “OTT players are considered a latent danger for operators because without spending large investments, they make profits on operators’ networks.”

In fact, other foreign on-demand video services, such as Hooq, Iflix and Viu, has established B2B collaboration with local operators to provide business benefits to each other. Some are also coping with media owners, for example iflix with MNC Group.

However, Telkom has another argument related to this ban, it’s related to pornographic content, especially the Law on Pornography and the ITE Law.

Potential advantages from taxes

In recent years, the Ministry of Finance has been actively pursuing tax from foreign OTTs operating in Indonesia. Not only video streaming services, but they began to “hunt” big companies like Google, Facebook and others.

The lack of regulations concerning OTT corporation tax makes the mechanism is yet to be detailed. At the Omnibus Law, there will be a regulation draft by the Indonesian Parliament that should accommodate these conditions.

Quoted from Kompas, DPR RI’s Commission I member Bobby Rizaldi exemplifies that regulations in Singapore can be applied here. Digital companies are not required to make an office, but they are still subject to tax from subscription fees from Indonesian consumers.

Similar thought comes from Hestu Yoga Saksama as the Director of Information, Services and Public Relations of the Directorate General of Taxes, “Therefore, at the Omnibus Law, the regulation will be no need for physical presence, but a substantial or significant economic presence.”

Generally, for companies domiciled in Indonesia, the government requires to pay tax, either in the form of Value Added Tax (PPn) of products sold, or Income Tax (PPh) from labor.

Potential disadvantages from the creative sector

The Night Comes for Us became Indonesia’s first original content published by Netflix in 2018. In order to increase the number of local films, in mid-2019, the company began to collaborate with Indonesian content creators and film activists to create local content specifically aired on Netflix.

Netflix’s Director of Product Innovation, Ajay Arora said the investment become Netflix’s focus in Indonesia to present content that can be appreciated in this country.

Netflix collaboration with Indonesia's ministry of Education and Culture / Kemendikbud
Netflix collaboration with Indonesia’s ministry of Education and Culture / Kemendikbud

On January 9, 2020, Netflix launched a strategic partnership with the Ministry of Education and Culture to support the Indonesian film industry.

Specifically, it is to focus on developing creative writing skills, post-production training, and short film competitions. In addition, there will be training in online security and governance to deal with the dynamic growth of creative industries. In this partnership, Netflix pours up to $1 million funds or equivalent to 14 billion Rupiah.

In fact, this kind of synergy should be excellent channel for Indonesia’s creative industries to develop as rapidly. In addition to global knowledge – in this case, insights from Hollywood films – the role of OTT can also be used as a channel for creative actors to embrace the international market. Moreover, Netflix has become a standard for movies. In addition to movies, a platform like Spotify, even TikTok has allowed digital creativity to be widely marketed.

Therefore, the partnership with OTT is ideally not only viewed in terms of financial regulation but should be able to discuss with other ministries, in this case, the Ministry of Tourism and Creative Economy.

Aim to have freedom of access

Head of the Indonesian Consumers Foundation Daily, Sudaryatmo, said that the public could question the ban of certain OTT services when it’s considered detrimental. People basically have the right to access information and the right to vote.

“First, the right to access information, the right to know. Whether the ban is preventing consumers to access information, it should be open to question,” he said as quoted on CNN Indonesia.

The thing is, this kind of ban has been running for generations. In fact, to encourage the process, Kominfo has allocated 211 billion Rupiah in 2017 to buy an internet censor machine. Although, it’s no longer a secret that the banned websites still accessible through certain mechanisms.

We aim for the internet to provide high-quality content, both for entertainment and education. Aside from ban, one thing we always highlight to the government, for the public’s digital literation. Some of the real activities to do, such as:

Actively socialize to use the government institution’s network (reach the villages) to assist them with digital literacy. The taught materials should encourage them to understand the boundaries of relevant content accessible.

Provide access and support to the digital creative industry players to stuff the nation’s internet ecosystem with high-quality content, in various formats.

With the global reach, it’s possible to have the internet free from negative content. By sharing insights on the negative content, it can be a visioner act to build a better personality. Without prohibition, the public will be aware of the negative content that should not be accessed.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Untung Rugi Pemblokiran Netflix di Indonesia

Sejak merilis film orisinal pada tahun 2015, pengembang platform video streaming Netflix terus tingkatkan kualitas produksi. Salah satu yang jadi takaran mutunya, di ajang Oscars 2020 karya yang mereka produksi berhasil menggaet 24 nominasi. Dua di antaranya, yakni The Irishman dan Marriage Story, masuk di jajaran kategori film terbaik.

Tak ayal kini perusahaan publik yang awalnya startup Silicon Valley tersebut dijajarkan dengan studio besar Hollywood layaknya Warner Bros, Universal Pictures dan lain-lain. Kualitas konten tersebut juga yang membuat para pengguna rela untuk membayar biaya berlangganan lebih (dibanding platform serupa), termasuk di Indonesia.

Memasuki pertengahan dekade lalu, sekitar tahun 2014-2016, model bisnis Netflix mulai direplikasi startup di Asia Tenggara. Sebut saja iflix (2014), Hooq (2015), dan Viu (2015). Mereka menyuguhkan layanan serupa termasuk untuk pengguna di Indonesia. Selain membeli lisensi penayangan, mereka juga memproduksi serial filmnya sendiri.

Penolakan keras sejak awal

Pada 7 Januari 2016, Netflix memutuskan untuk melakukan ekspansi global, hadir di 130 negara termasuk Indonesia. Rencana tersebut lantas mendapatkan beragam tanggapan dari banyak pihak. Dari regulator, Kominfo memaparkan serangkaian persyaratan administratif yang harus dilakukan pemain OTT (Over The Top). Dua yang terus ditekankan adalah pembentukan badan usaha tetap dan komitmen sensor konten.

Sebagai informasi, OTT mencakup konten berupa data, informasi dan multimedia yang berjalan dan diakses melalui medium internet. Secara regulasi, konten-konten tersebut dianggap “menumpang” beroperasi di atas jaringan internet milik perusahaan telekomunikasi.

“Netflix akan diwadahi dari sisi regulasi, karena ada kepentingan masyarakat yang harus diproteksi, terutama dari sisi konten,” ujar Rudiantara selaku Menkominfo kala itu.

Tidak hanya pemerintah, asosiasi juga memberikan sinyal penolakan kehadiran perusahaan berkode saham NFLX tersebut. Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) mengatakan ada beberapa aturan yang tidak terpenuhi, yakni Perpres No. 39 tahun 2014 pada poin yang menyoal ketentuan penyelenggara jasa perfilman dan TV berbayar. Selain itu juga UU No. 32 tahun 2002 dan UU No. 33 tahun 2009 tentang pembentukan badan hukum.

Hingga akhirnya per 27 Januari 2016 pukul 00.00 WIB semua sambungan internet dari Telkom tidak bisa lagi mengakses Netflix.

Tetap jadi pilihan

Mengutip data yang dihimpun Statista, per tahun 2019 total estimasi pelanggan aktif Netflix di Indonesia sekitar 418 ribu orang, diproyeksikan akan meningkat jadi 906 ribu tahun ini. Dari riset yang berbeda, misalnya mengutip laporan yang baru dirilis AppAnnie bertajuk “State of Mobile 2020”, Netflix masih masuk ke dalam 5 besar aplikasi streaming pengguna ponsel pintar di Indonesia.

Aplikasi video streaming populer di berbagai negara / AppAnnie
Aplikasi video streaming populer di berbagai negara / AppAnnie

Di luar jaringan telekomunikasi yang disediakan Telkom, pelanggan masih leluasa untuk menggunakan Netflix. Pada umumnya operator non-plat merah baru melakukan pemblokiran jika suatu situs atau aplikasi sudah ada di TrustPositif – kanal untuk daftar situs yang resmi dicekal Kominfo.

Di Indonesia sendiri memang ada cukup banyak layanan serupa, seperti iflix, Viu, Hooq, Genflix, bahkan pemain lokal seperti Vidio, Go-Play.

Beberapa platform global setara Netflix juga mulai hadir, misalnya HBO Go dan Amazon Prime, bahkan layanan konten spesifik seperti beIN Sports dan NBA League Pass di kategori olahraga.

Daftar harga layanan video streaming populer di Indonesia / DailySocial

Dikutip dari pemberitaan Tirto, Direktur Konsumer Telkom Dian Rachmawan mengatakan, “Pemain OTT dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator.”

Nyatanya, layanan video on-demand asing lain, seperti Hooq, iflix dan Viu, memang menjalin kerja sama B2B dengan operator lokal agar memberikan manfaat bisnis satu sama lain. Beberapa juga dengan koporasi pemilik media, misalnya iflix dengan MNC Group.

Namun demikian, Telkom pun punya argumentasi lain terkait pemblokiran, yakni terkait konten pornografi khususnya dikaitkan dengan beleid UU Pornografi dan UU ITE.

Potensi untung dari pajak

Sejak beberapa tahun terakhir Kementerian Keuangan tengah giat untuk mengupayakan penarikan pajak dari OTT asing yang beroperasi di Indonesia. Tidak hanya layanan video, mereka juga mulai “memburu” perusahaan besar seperti Google, Facebook dan lain-lain.

Belum adanya beleid yang mengatur pajak perusahaan OTT membuat mekanismenya belum detail. Rencananya di Omnibus Law, rancangan regulasi yang akan diupayakan DPR RI, akan mulai mengakomodasi kondisi tersebut.

Dikutip dari Kompas, Anggota Komisi I DPR RI Bobby Rizaldi menyontohkan regulasi di Singapura dapat diterapkan di sini. Perusahaan digital tidak wajib bikin kantor di sini, namun tetap dikenakan pajak dari biaya langganan dari konsumen Indonesia.

Demikian pula disampaikan Hestu Yoga Saksama selaku Direktur Penyluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak, “Makanya di Omnibus Law nanti, kita atur bahwa tidak harus ada physical presence, tapi ada substansial atau significant economic presence.”

Umumnya bagi perusahaan yang berdomisili di Indonesia, pemerintah mewajibkan untuk melakukan pembayaran pajak, baik berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dari produk yang dijual, maupun Pajak Pengasilan (PPh) dari ketenagakerjaan.

Potensi rugi dari sektor kreatif

The Night Comes for Us jadi film orisinal Indonesia pertama yang dipublikasikan Netflix pada tahun 2018. Untuk meningkatkan kuantitas film lokal, pertengahan tahun lalu, perusahaan juga mulai membangun kemitraan dengan konten kreator hingga penggiat film di Indonesia untuk menciptakan konten lokal yang secara khusus ditayangkan di Netflix.

Director of Product Innovation Netflix Ajay Arora mengungkapkan, investasi tersebut menjadi fokus Netflix di Indonesia demi menghadirkan konten yang bisa disukai oleh pelanggan di tanah air.

Acara peresmian kerja sama Netflix dengan Kemendikbud / Kemendikbud
Acara peresmian kerja sama Netflix dengan Kemendikbud / Kemendikbud

Hingga pada tanggal 9 Januari 2020 kemarin, Netflix meresmikan kemitraan strategis dengan Kemendikbud untuk mendukung pengembangan talenta perfilman Indonesia.

Secara spesifik, akan berfokus pada pengembangan kemampuan penulisan kreatif (creative writing), pelatihan pasca-produksi, serta lomba film pendek. Selain itu, akan ada juga pelatihan di bidang keamanan online serta tata kelola untuk menghadapi pertumbuhan industri kreatif yang dinamis. Di kemitraan tersebut, Netflix mengucurkan dana setara $1 juta atau setara 14 miliar Rupiah.

Sejatinya sinergi seperti ini menjadi corong yang sangat baik bagi industri kreatif di Indonesia untuk berkembang pesat. Selain menghadirkan pengetahuan global – dalam hal ini ilmu film dari Hollywood – peran OTT juga bisa dimanfaatkan sebagai kanal bagi pelaku kreatif untuk merangkul pasar internasional. Terlebih Netflix kini jadi salah satu takaran kualitas untuk produk film. Tidak hanya film sebenarnya, platform seperti Spotify bahkan TikTok memungkinkan beragam kreativitas digital dipasarkan secara luas.

Sehingga idealnya kemitraan dengan OTT tidak hanya dipandang dari sudut regulasi finansial, melainkan perlu berunding dengan kementerian lain, dalam hal ini misalnya Kemenparekraf.

Harapan untuk akses yang lebih bebas

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo bahwa masyarakat bisa mempersoalkan pemblokiran ke layanan OTT tertentu apabila dirasa merugikan. Karena pada dasarnya masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk memilih.

“Yang pertama, hak untuk mendapat informasi, right to know. Kalau pemblokiran itu menghambat konsumen mendapat informasi, mestinya dapat dipersoalkan,” katanya seperti dikutip CNN Indonesia.

Pasalnya, aturan model pemblokiran ini seperti sudah jadi warisan turun-temurun. Bahkan untuk mendorong inisiatif ini, pada tahun 2017 lalu Kominfo menganggarkan 211 miliar Rupiah untuk membeli mesin sensor internet. Kendati sudah jadi rahasia umum, situs-situs yang diblokir tetap bisa diakses mekanisme tertentu.

Tentu kita punya harapan, bahwa internet bisa menyuguhkan konten-konten berkualitas, baik untuk hiburan maupun pendidikan. Selain pemblokiran, ada satu hal yang terus kami coba tawarkan untuk pemerintah, yakni penguatan literasi digital masyarakat. Beberapa aktivitas riil yang dapat dilakukan seperti:

  • Melakukan sosialisasi aktif memanfaatkan jaringan institusi pemerintah (sampai level desa) untuk memberikan pemahaman tentang literasi digital. Materi literasi digital yang diajarkan mendorong kalangan masyarakat memahami batasan konten relevan yang bisa mereka akses.
  • Memberikan akses dan dukungan kepada pelaku industri kreatif digital untuk mengisi ekosistem internet nasional dengan konten-konten berkualitas, dengan beragam bentuk.

Dengan cakupan global, sebuah keniscayaan internet untuk bersih dari konten negatif. Memberikan pemahaman tentang konten negatif itu sendiri akan menjadi aksi visioner yang membentuk pribadi bangsa yang lebih baik. Tanpa harus diblokir, masyarakat menjadi tahu bahwa suatu konten negatif tidak layak diakses.

Induk Usaha TikTok Dikabarkan Buat Aplikasi Streaming Musik, Bakal Rilis Perdana di Indonesia

ByteDance, induk usaha aplikasi video pendek TikTok, dikabarkan akan segera merilis aplikasi streaming musik. Menurut laporan dari Financial Times, aplikasi tersebut dikabarkan akan dirilis pada bulan depan. Indonesia, India, dan Brazil menjadi tiga negara pertama yang bakal menjajalnya.

Pada saat yang bersamaan, pihak ByteDance disebutkan sedang dalam pembicaraan dengan label musik besar seperti Universal Music, Sony Music, dan Warner Music; untuk kesepakatan lisensi global memasukkan lagu-lagu mereka pada aplikasi yang bakal dirilis tersebut.

Menurut Techradar, tidak hanya sekadar berfungsi sebagai aplikasi streaming musik, ByteDance akan menambah unsur video yang terdiri dari klip video pendek, mungkin bersumber dari TikTok. Pengguna dapat menyinkronkan ke lagu ke klip tersebut saat mendengarkan lagu.

Fitur ini bisa menjadi indikasi bahwa ada unsur TikTok yang bakal dibawa ke dalam aplikasi teranyar tersebut. TikTok juga memiliki fitur yang memungkinkan pengguna untuk merekam video lip-sync.

Aplikasi ini belum memiliki nama. Namun dipastikan harga berlangganan yang ditawarkan bakal di bawah $10 (sekitar Rp140 ribu) per bulan, lebih murah dari harga Spotify dan Apple Music di Amerika Serikat.

TikTok bukan nama asing buat pengguna internet milenial Indonesia. Platform ini dapat diakses di 150 negara, didukung oleh 75 bahasa dan kantor cabangnya tersebar di 50 lokasi di seluruh dunia.

Aplikasi ini sudah diunduh lebih dari 1 miliar kali di seluruh dunia. Rekor unduhannya berhasil mengalahkan PUBG Mobile, WhatsApp, hingga Instagram. Diklaim pengguna terbesar TikTok ada di India, mencapai lebih dari 180 juta pengguna.

Makanya, wajar bila India termasuk ke dalam urutan pertama yang bakal menjajal lebih dulu. Sementara, Indonesia juga termasuk pasar potensial karena memiliki penduduk terpadat keempat di dunia dan pengguna internet tercepat di Asia Tenggara.

Baru-baru ini, YouTube Music meresmikan kehadirannya di Indonesia, setelah tersedia di lebih dari 50 negara sedunia. Sebenarnya aplikasi ini bisa diakses secara gratis, namun disediakan versi berlangganan dengan berbagai fitur tambahan.

Biayanya mulai dari Rp49 ribu per bulan. YouTube menyebut ada lebih dari 1 miliar pencinta musik yang mengakses platformnya tiap bulan. Ada lebih dari 2 juta artis di dunia yang memasarkan karyanya lewat YouTube.

Kehadiran YouTube Musik, lalu ByteDance, tentunya akan membuat persaingan aplikasi streaming musik di Indonesia makin ketat ke depannya. Tahun lalu, DailySocial pernah membuat riset terkait hal ini. Disebutkan aplikasi berbayar yang paling populer dipakai adalah Joox, disusul Spotify, LangitMusik, SoundCloud, dan Apple Music.

Application Information Will Show Up Here

iflix Announces Fresh Funding, MNC is Involved

A video-on-demand platform “iflix” today (7/26) announced new investment in the corporate round. The amount is classified, led by Fidelity International.  Some Asian media are involved in this round, such as MNC from Indonesia, Yoshimoto Kogyo from Japan, and JTBC from South Korea.

This is a wrap of the previous round that involves Catcha Group founder, EMC and Sky. The raised funding has reached up to $50 million or around 699.5 billion Rupiah. MNC has announced to involve in this round since last June.

“This is a clear affirmation on iflix business model and its potential growth, also to tighten up the connection with some of Asia’s best local content providers. We have some new strong content and enthusiast in making an extensive offer for all iflix users in Asia,” iflix’s Co-Founder & Chairman, Patrick Grove said.

Looking into the release we’ve received, iflix has reached over 17 million users. The service is currently available around several countries in Asia. Through this funding, iflix is to focus on making an aggressive improvement, both in the current market and future destinations.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

iflix Umumkan Pendanaan Baru, MNC Group Turut Berpartisipasi

Platform video on-demand “iflix” hari ini (26/7) mengumumkan perolehan putaran investasi baru dalam corporate round. Tidak disebutkan nilai spesifiknya, Fidelity International memimpin pendanaan ini. Turut berpartisipasi beberapa perusahaan media Asia meliputi MNC dari Indonesia, Yoshimoto Kogyo dari Jepang, dan JTBC dari Korea Selatan.

Pendanaan ini melengkapi putaran sebelumnya yang diikuti oleh pendiri Catcha Group, EMC dan Sky. Diproyeksikan dana yang berhasil dikumpulkan mencapai $50 juta atau setara 699,5 miliar Rupiah. Keterlibatan MNC dalam pendanaan iflix sudah diumumkan sejak Juni 2019 lalu

“Investasi ini adalah afirmasi yang jelas atas model bisnis dan prospek pertumbuhan iflix, dan memperkuat hubungan kami dengan beberapa penyedia konten lokal terbesar di Asia. Kami memiliki deretan konten baru yang kuat dan antusias untuk menjadikan penawaran konten kami yang paling luas tersedia bagi jutaan pengguna iflix di Asia,” sambut Co-Founder & Chairman iflix Patrick Grove.

Berdasarkan rilis yang kami terima, sejauh ini iflix telah memiliki lebih dari 17 juta pengguna. Saat ini layanan mereka sudah dioperasikan di berbagai negara di Asia. Melalui pendanaan baru ini, iflix ingin terus fokus mengejar strategi pertumbuhan secara agresif, baik di pasar yang sudah ada maupun di destinasi baru.

Application Information Will Show Up Here