Tren Teknologi yang Diadopsi Berbagai Industri Selama Pandemi

Pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Beradaptasi dengan kondisi baru ini bukanlah pekerjaan mudah, dan itu dirasakan oleh hampir seluruh industri di dunia. Di saat yang sama, pandemi juga memicu pengadopsian berbagai tren teknologi di sejumlah bidang industri.

Beberapa dari perubahan ini bahkan bisa bersifat permanen dan akan terus berlanjut meski pandemi sudah berakhir. Twitter contohnya, yang belum lama ini membuat kebijakan bahwa karyawan-karyawannya boleh lanjut bekerja dari kediaman masing-masing sampai seterusnya.

Sebagian besar dari perubahan yang diterapkan mengacu pada tren digitalisasi. Digitalisasi bukanlah hal baru dan sebenarnya sudah digagaskan sejak lama di sejumlah industri. Kendati demikian, adopsinya terbilang lambat, namun pandemi pada akhirnya memaksa industri-industri untuk mengadopsinya sesegera mungkin.

CB Insights baru-baru ini merilis laporan ekstensif terkait tren-tren teknologi yang diadopsi oleh beragam industri di dunia. Secara umum, sejumlah trennya sebenarnya sudah eksis sejak sebelum pandemi, seperti misalnya tren industrial automation di bidang manufaktur. Namun sekali lagi, pandemi secara otomatis mempercepat pengadopsiannya.

Dalam beberapa kasus, pandemi juga berhasil mendemonstrasikan potensi suatu teknologi yang tadinya cuma dipandang sebelah mata. Contoh yang paling gampang adalah teknologi 3D printing, yang selama pandemi ini memegang peran penting dalam hal produksi APD (alat pelindung diri) untuk tenaga medis.

Tren di bidang pelayanan kesehatan

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Kita mulai dari bidang yang berkaitan langsung dengan pandemi itu sendiri, yakni pelayanan kesehatan alias healthcare. Sebelum pandemi, konsultasi dengan dokter via telepon atau panggilan video mungkin terbilang jarang dilakukan, tapi sekarang mau tidak mau kita harus menerapkannya.

Studi yang pernah dilakukan American Medical Association menunjukkan bahwa sekitar 75% dari sesi kunjungan ke dokter maupun IGD semestinya bisa ditangani secara efektif lewat telepon atau video call. Sebelum pandemi, mungkin banyak pihak yang mengesampingkan hal ini, namun sekarang sebagian besar akhirnya menyadari bahwa hal itu benar. Sebelum pandemi, kita mungkin tidak pernah tahu akan eksistensi layanan telemedicine.

Pandemi secara tidak langsung juga menumbuhkan mindset bahwa kita harus rutin memonitor kesehatan masing-masing, dan cara termudah untuk melakukannya adalah dengan menggunakan smartwatch atau fitness tracker. Inilah yang pada akhirnya menjelaskan mengapa penjualan smartwatch justru naik selama pandemi, setidaknya di Amerika Serikat.

Pandemi juga memicu pertumbuhan pengadopsian teknologi virtual reality (VR) di bidang kesehatan. Salah satu fungsinya adalah untuk memfasilitasi program pelatihan yang aman, semisal untuk tenaga-tenaga medis baru yang ditugaskan buat menangani pasien COVID-19. Ketimbang mengekspos mereka langsung ke lapangan, ada baiknya mereka dipersiapkan dulu melalui program pelatihan VR.

Singkat cerita, pandemi pada dasarnya membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan VR untuk mendemonstrasikan potensinya di ranah medis dan enterprise.

Tren di bidang pekerjaan secara umum

Seperti yang kita tahu, nyaris semua kantor mendadak kosong selagi masing-masing karyawannya bekerja dari rumah. Kalau bukan karena kemudahan mengakses layanan video conference, mungkin sebagian besar perusahaan bakal keteteran menugaskan karyawan-karyawannya.

Penyedia layanan video conference sendiri juga banyak berbenah seiring demand atasnya naik drastis selama pandemi. Google contohnya, yang belum lama ini memutuskan untuk menggratiskan layanan Google Meet, membuka aksesnya ke lebih banyak lagi pengguna.

Pandemi tak cuma memicu pertumbuhan pengguna sebuah layanan video conference, tapi juga mempercepat penyempurnaan teknologinya. Google Meet lagi-lagi saya pakai sebagai contoh, sebab mereka belum lama ini merilis fitur noise cancelling demi semakin memudahkan rutinitas para penggunanya. Padahal, sebelum pandemi mungkin fitur semacam ini tidak dianggap krusial.

Tren di bidang pendidikan

Pengadopsian teknologi di ranah pendidikan sebenarnya sudah cukup pesat sebelum pandemi melanda, akan tetapi COVID-19 memaksa pengadopsiannya agar lebih ngebut lagi. Anak saya yang baru menginjak usia 4 tahun harus merasakan pengalaman sekolah pertamanya secara online tidak lama lagi.

Hal ini sulit terwujud apabila tidak ada campur tangan dari para pelaku teknologi. Saya bisa bilang begitu karena platform tatap muka virtual yang digunakan oleh sekolah anak saya nantinya adalah Google Meet, dan seperti yang sudah saya singgung tadi, Meet sendiri baru digratiskan aksesnya secara menyeluruh pasca pandemi melanda.

Di sisi lain, platform penyedia online course juga melihat peningkatan konsumen yang cukup pesat. Kalau saya boleh menjawab, ini dikarenakan banyak dari kita yang memiliki banyak waktu luang, tapi tidak bisa hura-hura di luar rumah seperti biasanya. Ketimbang sia-sia, kenapa waktu luangnya tidak dialokasikan ke belajar saja (tidak harus akademik, tapi bisa juga bakat-bakat praktis), dan di situlah platform online couse menyediakan solusi.

Tren di bidang manufaktur

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Pandemi sejatinya menghadapkan industri manufaktur pada dua kondisi yang berbeda, tapi dua-duanya merugikan: menutup pabrik dan menyetop jalannya produksi, atau tetap membuka pabrik tapi dengan risiko membahayakan para karyawannya.

Di saat yang sama, pandemi pada dasarnya menciptakan alasan baru bagi pelaku industri manufaktur untuk menerapkan teknologi di bidang automation. Kalau alasan-alasan penerapan automation sebelumnya cuma perkara efisiensi atau penghematan ongkos, sekarang ada alasan kesehatan juga; berkat automation, pabrik bisa tetap buka tanpa sepenuhnya mengekspos seluruh karyawan.

Seperti yang tadi sempat saya singgung di awal, pandemi juga berhasil mendemonstrasikan potensi lebih luas dari 3D printing. Dulunya sempat digadang-gadang bakal merevolusi industri, sampai tahun lalu pun 3D printing pada kenyataannya masih masuk kategori yang sangat niche dan terbilang menarik hanya untuk kalangan hobbyist.

Kalau sebelumnya saya ditanya apa kegunaan terbesar 3D printing, mungkin saya akan menjawab untuk mempercepat proses prototyping. Namun sekarang, 3D printing terbukti berjasa besar dalam membantu mempercepat proses produksi APD. Fleksibilitas dan adaptabilitasnya dalam memenuhi demand yang tinggi adalah kunci mengapa 3D printing bisa berhasil di kondisi seperti ini.

Tren di bidang retail

Jauh sebelum pandemi melanda, sebagian besar dari kita mungkin sudah sangat familier dengan yang namanya belanja online. Meski begitu, kemungkinan besar yang masuk daftar belanja bukanlah kebutuhan sehari-hari seperti sayur, daging, telur, dan lain sebagainya.

Hal itu berubah semenjak pandemi COVID-19. Layanan online grocery kini jadi semakin banyak digunakan; mereka yang tadinya enggan, mau tidak mau akhirnya mencoba layanan online grocery karena mereka tidak berani mengambil risiko harus berbelanja sendiri di pasar atau supermarket.

Saya tidak tahu Anda bagaimana, tapi yang pasti saya sendiri melihat daftar transaksi online saya bertambah banyak dalam beberapa bulan terakhir. Saking seringnya saya belanja online, kurir ekspedisi yang biasa datang mengantar barang sampai hafal dengan saya – barang diantarkan bukan ke rumah saya, tapi ke saya langsung yang sedang jalan-jalan sore di komplek rumah.

Selain online grocery, adopsi AR dan VR di platform e-commerce juga meningkat selama pandemi. Pemicunya apa lagi kalau bukan kebutuhan akan cara untuk melihat atau mencoba produk yang hendak dibeli secara online. Gambar dan deskripsi saja tidak cukup, terkadang kita perlu mendapat gambaran terkait dimensi fisiknya secara langsung, dan itu mudah sekali disajikan lewat AR.

Produsen produk-produk kecantikan seperti L’Oreal atau Sephora juga memanfaatkan AR guna membantu para konsumennya menjajal produk secara virtual. Melihat warna lipstick yang hendak dibeli langsung terpampang di atas bibir tentu jauh lebih meyakinkan ketimbang melihat warnanya saja pada gambar produk yang tertera.

Tren di bidang layanan konsumen

Menyambung perkara transaksi online yang bertambah tadi, beberapa perusahaan juga melihat semakin pentingnya peran chatbot atau virtual assistant. Hype akan chatbot sendiri sempat redup, terbukti dari dihilangkannya fitur Discover pada Facebook Messenger, dan Discover sebelumnya adalah gerbang menuju ribuan chatbot yang ada.

Pandemi bahkan juga menempatkan chatbot di ranah medis. Beberapa organisasi kesehatan di Amerika Serikat memanfaatkan chatbot untuk memandu publik melakukan identifikasi gejala-gejala COVID-19 sendiri di rumahnya masing-masing, sehingga mereka bisa memutuskan untuk mengarantina diri sendiri tanpa perlu menyempatkan (dan mengekspos) dirinya ke rumah sakit.

Tren di bidang keuangan

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Saya yakin tidak sedikit dari kita yang memanfaatkan layanan pembayaran elektronik seperti GoPay atau Ovo hanya untuk menikmati beragam promosi menarik yang disediakan penjual makanan dan minuman. Namun semenjak pandemi, metode elektronik akhirnya kita jadikan pilihan utama atas alasan kesehatan.

Daripada harus berkontak fisik (lewat pertukaran uang), kenapa kita tidak membayar menggunakan smartphone saja? Dari situ pada akhirnya kita juga bisa menyimpulkan soal pentingnya NFC di ponsel. Yang tadinya sebatas fitur pemanis, sekarang terkesan esensial karena pandemi.

Pandemi juga membuka peluang bagi tren digital banking untuk merebut sebagian pangsa pasar industri perbankan tradisional. Berhubung banyak cabang bank yang terpaksa mengurangi jam pelayanan, calon nasabah yang hendak mendaftarkan rekening baru tentu bakal kesulitan. Lain ceritanya kalau mereka hendak mendaftar rekening bank digital, sebab semuanya bisa langsung dijalankan lewat aplikasi.

Tren di bidang keamanan

Saya yakin sebagian besar dari masyarakat Indonesia masih agak menyepelekan soal privasi dan cybersecurity. Namun semenjak pandemi, publik akhirnya mulai menyadari akan pentingnya topik tersebut.

Salah satu pemicunya adalah sederet kasus seputar celah privasi yang melanda Zoom, dan Zoom sendiri sempat menduduki puncak daftar aplikasi gratis terpopuler di Android selama beberapa waktu. Ketika sesuatu yang sangat populer diberitakan secara negatif, tentu saja nyaris semua orang mengetahui atau paling tidak mendengarnya, bukan?

Tren di bidang hiburan

Di sektor hiburan, pandemi merupakan momok buat industri olahraga, sebab semua event bergengsi terpaksa harus dibatalkan. Bukan cuma olahraga tradisional saja, ekosistem esport pun juga terganggu karena dibatalkannya banyak turnamen.

Lucunya, ketika kompetisi olahraga dan turnamen esport sama-sama dibatalkan, beberapa pihak penyelenggara olahraga justru memakai platform esport sebagai alternatif untuk menjangkau para penggemarnya. Contoh terbarunya adalah seri balapan Le Mans yang digantikan oleh balapan virtual di game rFactor 2. Bahkan balap kuda pun juga diganti dengan versi virtual yang dibuat menggunakan kombinasi CGI dan algoritma.

Di luar gaming, aktivitas streaming Netflix dan kawan-kawannya tentu juga meningkat drastis selama pandemi.

Tren di bidang layanan makanan

Tanpa harus terkejut, pandemi beserta larangan untuk makan dan minum di tempat memicu kenaikan demand atas layanan food delivery. Ini secara langsung juga berdampak pada meningkatnya tren cloud kitchen, yang sejatinya merupakan kumpulan penjual makanan dan minuman yang tidak melayani dine-in.

Di Amerika Serikat, tidak sedikit restoran yang harus memecat karyawannya pasca pandemi melanda. Namun sebaliknya, cloud kitchen justru dikabarkan bersiap untuk berekspansi lebih luas. Di Indonesia sendiri, ada Gojek yang bermitra dengan startup India untuk mewujudkan rencananya membuka 100 cloud kitchen sampai akhir tahun depan.

Sumber: CB Insights. Gambar header: Pixabay.

SIRCLO and ICUBE Merged, Aims to be a Comprehensive E-commerce Enabler

The e-commerce enabler platform SIRCLO announced the business merger with ICUBE, which is an agency providing e-commerce technology solutions. Through this corporate action, they expect to get more clients from both companies with different business variations.

The business merger also gathers more than 450 employees of the two companies. Nevertheless, it was agreed that ICUBE would still be operated as an independent entity integrated with SIRCLO services. Muliadi Jeo, as the founder of ICUBE is to replace Leontius Adhika Pradhana as SIRCLO’s CTO; While Leontius switched roles to CPO.

“SIRCLO wants to continue to provide the best services and solutions for brands to develop online businesses. We keep our doors open for opportunities to improve our capabilities. When we see the potential of joining ICUBE, we are confident to run this mission in a larger scale and more comprehensive way through a combination of the two companies,” SIRCLO’s CEO Brian Marshal said.

The two companies, through this merger, have ambitions to become e-commerce solutions providers through a more comprehensive end-to-end platform in facilitating various types of businesses. Currently, SIRCLO has focused on big brands and SMEs. Meanwhile, ICUBE is focused on medium scale businesses willing to have their own online sales site.

“After 20 years of service, we want to accommodate more clients from various types of business with the solution we offer. SIRCLO is the right and strategic partner in achieving these goals. Together we can build the main e-commerce ecosystem in Indonesia,” said Muliadi Jeo.

This pandemic encourages more businesses and consumers to depend on e-commerce platforms to meet their needs. In the current situation, technology owners and e-commerce solutions are very complex for brand owners to be able to discuss the market at large.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

SIRCLO dan ICUBE Lakukan “Merger”, Berambisi Jadi “E-commerce Enabler” Komprehensif

Platform e-commerce enabler SIRCLO mengumumkan proses merger dengan ICUBE, yang merupakan agensi penyedia solusi teknologi e-commerce. Salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui aksi korporasi ini adalah untuk menggabungkan ribuan klien dari kedua perusahaan yang memiliki varian bisnis yang berbeda.

Penggabungan bisnis turut menyatukan lebih dari 450 pegawai kedua perusahaan. Kendati demikian, dikatakan ICUBE masih akan beroperasi sebagai entitas independen yang terintegrasi dengan layanan SIRCLO. Muliadi Jeo selaku Founder ICUBE akan menggantikan Leontius Adhika Pradhana sebagai CTO SIRCLO; sementara Leontius beralih peran menjadi CPO.

“SIRCLO ingin terus memberikan layanan dan solusi terbaik bagi brand untuk mengembangkan bisnis online. Kami selalu terbuka terhadap peluang untuk meningkatkan kemampuan kami. Ketika kami melihat potensi untuk bergabung dengan ICUBE, kami semakin yakin bahwa kami dapat melaksanakan misi ini dalam skala yang lebih besar dan lebih komprehensif melalui kekuatan gabungan kedua perusahaan,” kata CEO SIRCLO Brian Marshal.

Melalui merger ini, kedua perusahaan berambisi menjadi penyedia solusi e-commerce melalui platform end-to-end yang lebih komprehensif dalam memfasilitasi berbagai jenis bisnis. Sejauh ini, SIRCLO fokus kepada brand besar dan UKM. Sementara itu ICUBE fokus pada bisnis skala menengah yang ingin memiliki situs jualan online-nya sendiri.

“Setelah 20 tahun, kami ingin mengakomodasi lebih banyak klien dari berbagai jenis bisnis dengan layanan yang kami tawarkan. SIRCLO adalah mitra yang tepat dan strategis dalam mencapai tujuan-tujuan ini. Bersama-sama kita dapat mencoba membuat ekosistem e-commerce utama di Indonesia,” kata Muliadi Jeo.

Pandemi mendorong lebih banyak bisnis dan konsumen untuk bergantung pada platform e-commerce untuk memenuhi kebutuhannya. Pada saat-saat seperti ini, kehadiran teknologi dan solusi e-commerce yang terintegrasi sangat krusial bagi pemilik brand, agar tetap bisa menjangkau pangsa pasarnya secara luas.

Solusi Teknologi untuk Perawatan Rutin Saat Masa Pandemi

Semakin meningkatnya angka positif corona di Indonesia membuat pemerintah terus tegas dalam membuat aturan dan memberikan anjuran untuk berkegiatan dari rumah. Hal ini tentunya dapat menjadi kekhawatiran tersendiri apabila kita sedang membutuhkan perawatan rutin di rumah sakit sementara fasilitas kesehatan sedang penuh dan fokus dalam penanganan virus corona.

Bagi pasien dengan penyakit kronis atau sedang membutuhkan perawatan rutin dan konsultasi ke Dokter Spesialis tentunya tetap membutuhkan pelayanan kesehatan meski akses ke rumah sakit sedang terbatas. Hal tersebut dapat diatasi dengan memaksimalkan penggunaan teknologi yang dapat membantu menyediakan kebutuhan pelayanan kesehatan dan bantuan medis meski hanya dari rumah.

Konsultasi dengan Dokter Spesialis Secara Online

Meski sedang tidak dapat bertemu tatap muka dengan dokter secara langsung, Anda tetap dapat memanfaatkan layanan konsultasi dengan dokter secara online. Bila merasakan gejala-gejala tertentu yang membutuhkan pemeriksaan dokter atau membutuhkan konsultasi dengan dokter spesialis, Anda tidak perlu langsung ke rumah sakit bila ragu akan dapat tertular virus. Anda dapat memeriksakan gejala tersebut dengan memanfaatkan fitur konsultasi tersebut melalui aplikasi penyedia layanan kesehatan.

Pelayanan kesehatan yang memanfaatkan teknologi untuk membantumu tetap mendapatkan perawatan meski dari rumah tersebut dapat dinikmati melalui aplikasi kesehatan aido health. Khusus layanan konsultasi online, baru-baru ini aido health juga meluncurkan layanan teknologi kesehatan yang bekerja sama dengan salah satu jaringan rumah sakit swasta di Indonesia, Siloam Hospitals Group.

Melalui menu Rawat Jalan Online pada aplikasinya, aido health menyediakan konsultasi secara online dengan ratusan dokter spesialis dari jaringan SIloam Hospitals di seluruh Indonesia. Selain mendapatkan layanan konsultasi online, pengguna juga dapat menerima resep obat, rekomendasi pemeriksaan pendukung, serta catatan konsultasi yang tercatat dalam electronic medical record (EMR) rumah sakit sehingga hasilnya aman dan dapat dipertanggungjawabkan secara klinis.

Untuk mendapatkan layanan konsultasi pemeriksaan online ini, Anda dapat melakukan langkah-langkah berikut ini;

  1. Download dan akses aplikasi aido health melalui Google Play Store atau App Store
  2. Klik bagian “Rawat Jalan Online
  3. Pilih rumah sakit Siloam Hospitals dan dokter yang dituju
  4. Tentukan jadwal appointment
  5. Lakukan pembayaran
  6. Anda akan diberikan meeting ID, password dan instruksi / tata cara lebih lanjut melalui email atau whatsapp.

Melalui aplikasi tersebut, Anda dapat menikmati layanan kesehatan lengkap mulai dari asesmen kesehatan, layanan langsung oleh tenaga medis yang kompeten dan berpengalaman, membeli obat, hingga melakukan tes laboratorium untuk mengecek kesehatan Anda. Pelayanan kesehatan tersebut dapat dinikmati tanpa membuat Anda atau keluarga harus bepergian dan bisa tetap di rumah dengan nyaman.

Disclosure: Artikel ini adalah konten bersponsor yang didukung oleh aido.

Application Information Will Show Up Here

[Infografik] Tren Konsumsi Media Selama Pandemi Berdasarkan Usia Konsumen

Sulit membayangkan bagaimana jadinya seandainya pandemi COVID-19 terjadi 20 atau bahkan 30 tahun yang lalu. Internet kala itu belum se-mainstream sekarang, dan layanan streaming macam Netflix maupun Spotify belum eksis.

Skenario khayalan ini sejatinya bisa kita jadikan bahan untuk mensyukuri keadaan sekarang. Sesulit apapun masa swakarantina yang kita hadapi, kita masih punya begitu banyak akses ke beragam jenis media, baik untuk mencari informasi atau menghibur diri.

Cara kita mengonsumsi berbagai bentuk media selama pandemi tentu berbeda-beda, dan ini ternyata bisa dikategorikan berdasarkan usia. Global Web Index belum lama ini melakukan survei terhadap hampir 4.000 orang di Amerika Serikat dan Inggris dengan rentang usia 16 – 64 tahun. Datanya kemudian disadur menjadi infografik yang sangat apik oleh Visual Capitalist.

Media Consumption Gen Z

Kita mulai dari yang paling muda, yakni Gen Z (16 – 23 tahun). Seperti yang bisa kita lihat, lebih dari separuh mengaku menonton lebih banyak konten video online sejak pandemi melanda. Layanan streaming film menjadi jenis media andalan kedua buat mereka, disusul oleh video game, layanan streaming musik, dan siaran TV tradisional.

Media Consumption Millenials

Tren serupa juga ditunjukkan oleh kalangan Millenial (24 – 37 tahun). Menariknya, generasi ini adalah yang konsumsinya paling merata, alias tidak ada satu jenis media yang benar-benar mendominasi sangat jauh. Platform video online seperti YouTube atau TikTok masih berada di urutan pertama, diikuti oleh layanan streaming film dan musik.

Milennial bisa dibilang merupakan generasi yang paling haus informasi. Ini terbukti dari besarnya konsumsi mereka terhadap media online, podcast dan radio. Kendati demikian, ketertarikan Millenial terhadap video game tetap tidak kalah dari kalangan Gen Z.

Media Consumption Gen X

Lanjut ke kalangan Gen X (38 – 56 tahun), mereka adalah konsumen terbesar saluran TV tradisional, bahkan jauh melebihi konsumsi platform video online. Setelah TV, radio merupakan medium terpopuler kedua di kalangan Gen X, sama porsinya seperti layanan streaming film.

Media Consumption Baby Boomer

Tanpa harus terkejut, generasi Baby Boomer (57 – 64 tahun) juga paling memercayakan saluran TV tradisional ketimbang medium lainnya. Pada kenyataannya, cara mereka mengonsumsi media adalah yang paling sedikit berubah selama pandemi berlangsung.

Balik ke gagasan di awal, kalangan Millenial dan Gen Z bakal menjadi yang paling kesulitan di masa pandemi seandainya tidak ada internet. Tidak terlalu mengejutkan mengingat sebagian besar dari mereka memang belum lahir pada skenario khayalan tersebut.

Quarantine Internet Activities

Seandainya tidak ada internet, apa saja aktivitas yang bakal hilang dari keseharian kita selama masa pandemi? Jawabannya bisa kita temukan pada infografik terakhir ini, dan yang paling berkurang drastis adalah aktivitas mencari informasi seputar wabah COVID-19, kecuali Anda masuk kalangan Gen Z, yang ternyata lebih banyak menghabiskan waktu untuk streaming musik.

Sumber: Visual Capitalist. Gambar header: Mollie Sivaram via Unsplash.

Sederet Aplikasi Belanja Online Terpopuler Selama Pandemi

Melanjutkan rangkaian survei yang dibuat DailySocial dan platform riset pasar Populix, artikel kali ini membahas aktivitas belanja online selama pandemi. Menggunakan sampel yang sama, responden memilih kegiatan ini di urutan ketiga (52%), setelah aplikasi produktivitas (68%), dan aplikasi hiburan (66%).

Dipicu oleh faktor pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan karantina di rumah, membuat pemenuhan kebutuhan rumah tangga mayoritas beralih ke platform online. Baik itu belanja melalui platform e-commerce, layanan yang lebih spesifik (niche), atau layanan pesan antar makanan.

Pertanyaan pertama yang kami ajukan adalah aplikasi e-commerce mana yang paling banyak diakses?. Aplikasi teratas yang dipilih adalah Shopee (85%), disusul Tokopedia (66%), Lazada (49%), Bukalapak (41%), JD.id (27%), Blibli (27%), dan lainnya (2%).

Pertanyaan kedua adalah aplikasi apa yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan (bahan makanan atau sebagainya) sehari-hari?. Mayoritas responden memilih HappyFresh (41%), Sayurbox (31%), FreshBox (15%), TaniHub (23%), TukangSayur.co (15%), Brambang (10%).

Berikutnya, Wahyoo Mart (8%), Chilibeli (8%), Kecipir (7%), RegoPantes (6%), Etanee (6%), lainnya (3%), dan terakhir tidak menggunakan aplikasi untuk membeli bahan makanan (33%).

Pertanyaan terakhir adalah layanan pesan antar makanan apa yang dipilih?. Responden menjawab GrabFood (48%), lalu GoFood (51%), dan lainnya (1%). Anggaran yang dihabiskan untuk belanja melalui layanan tersebut, terbanyak menjawab antara Rp50 ribu-Rp100 ribu (59%), di bawah Rp50 ribu (30%), dan di atas Rp100 ribu (11%).

Kami menanyakan alasan responden menggunakan GrabFood atau GoFood. Mereka kompak menyatakan bahwa layanan tersebut memberikan layanan tersebut memberikan potongan harga lebih besar (74%), promo gratis ongkos kirim (60%), dan lainnya (11%).

Kondisi ini selaras dengan hasil survei yang dilakukan oleh Nielsen, seperti dirangkum GDP Venture bertajuk “The Impact of Covid-19 Pandemic”. Dinyatakan sebanyak 30% responden berencana untuk belanja lewat platform online lebih sering.

Meski kontribusi dari jalur online relatif kecil untuk FMCG, tapi niat untuk belanja online dapat digiring oleh produk FMCG karena konsumen berencana mengurangi kunjungan ke toko grosir atau toko modern.

Mendukung temuan di atas, Brandwatch, dan dikompilasi dari sumber lainnya, aplikasi e-commerce mencatat kenaikan aktivitas belanja hingga 30% untuk pembelian produk kesehatan dan medis, bahan makanan, dan pesan antar makanan.

Dari hasil survei lain yang dikumpulkan JakPat, disebutkan mayoritas responden di berbagai lokasi memilih untuk menyiapkan santapannya di rumah, entah untuk diri sendiri (67%) maupun keluarga (44%).

Sementara responden yang menyantap makanan dari luar rumah, entah lewat aplikasi atau take-out, kebanyakan dilakukan oleh responden yang bertempat tinggal di luar Jakarta. Hal ini dipicu kebijakan PSBB di wilayah Jabodetabek yang menjadi titik pusat persebaran Covid-19.

Temuan lainnya menyatakan bahwa responden yang bekerja di Pulau Jawa (termasuk Jakarta) cenderung menggunakan aplikasi pesan antar makanan. Sementara mereka yang ada di luar Jawa cenderung memilih untuk menyiapkan santapannya sendiri. Di samping itu, ibu rumah tangga di Pulau Jawa (di luar Jakarta) memiliki persentase pemesanan terbesar melalui aplikasi online.

Pasar besar

Layanan pesan antar makanan bukan hal baru, tapi berkat aplikasi dan smartphone ada perluasan jangkauan pengiriman. Secara global, pangsa pasarnya bernilai lebih dari $35 miliar per tahun dan diperkirakan akan mencapai $365 miliar pada 2030 mendatang.

Salah satu manfaat dari pengiriman online adalah konsumen dimanja oleh pilihan karena mereka dapat memesan berbagai menu melalui satu aplikasi. Alhasil tiap hari mereka dapat mencoba makanan baru, termasuk menyesuaikan pilihan menu untuk pelanggan yang sadar kesehatan.

Laporan Google dan Temasek “e-Conomy SEA 2019” menyatakan pangsa pasar sektor ini bakal terus menggeliat hingga $8 miliar pada 2025 dari $2 miliar di 2018. Gojek dan Grab yang ikut serta di sektor ini menggunakan keunggulan mereka berkat mereknya yang sudah tersohor dan basis pengguna yang besar untuk bersaing dengan “pemain murni” pengiriman makanan, seperti Deliveroo dan Foodpanda.

Pengaruh pandemi memaksa banyak bisnis terpengaruh untuk cepat beradaptasi atau harus gulung tikar, termasuk bisnis restoran dari berbagai skala bisnis. Salah satu opsi tercepat adalah bergeser ke jalur online, menjadi penjual di platform e-commerce karena sudah ada traksi dan banyak digunakan konsumen, atau menjadi merchant di GoFood dan GrabFood.

Tokopedia mencatat terjadi kenaikan transaksi yang eksponensial, baik dari pembelian maupun jumlah penjual yang bergabung. Tidak disebutkan secara rinci kenaikannya. Namun, diberikan gambaran bahwa tahun lalu penjual di Tokopedia sekitar 5 juta, sementara saat ini sudah mencapai 7,8 juta.

AVP of Product Tokopedia Priscilla Anais mengatakan kenaikan ini dipicu banyaknya bisnis yang terpaksa menutup toko fisiknya dan membatasi operasionalnya karena pandemi. Akhirnya mereka perlahan mengalihkan bisnisnya ke online dari offline.

“Jadi pertumbuhannya eksponensial. Kita mengalami kenaikan penjual baru yang cukup drastis di masa-masa Covid-19. Kebanyakan adalah penjual offline yang migrasi ke online,” ujarnya.

Dari kategori produk yang banyak dibeli, dijelaskan yang mengalami kenaikan adalah perawatan dan kesehatan pribadi, produk hiburan, dan produk untuk mendukung kerja dan belajar dari rumah.

Temuan Shopee, pilihan tertinggi dari responden survei DailySocial bersama Populix, kurang lebih mirip dengan Tokopedia. Dalam keterangan resmi, perusahaan menyatakan kenaikan permintaan terjadi untuk kategori perlengkapan rumah, makanan dan minuman, hingga kebutuhan ibu & bayi selama pandemi.

Selama bulan Ramadan, Shopee mengamati ada tren kenaikan untuk kategori fesyen musim dan ponsel & aksesoris menjadi yang terpopuler. Di samping itu, ada kenaikan permintaan untuk kategori dekorasi rumah dan home & living.

Menariknya, baik Tokopedia dan Shopee, sama-sama mengembangkan kurasi kategori populernya menjadi lebih tersegmentasi sesuai jenisnya dan lokasi terdekat dari pembeli. Kategori makanan, belanja bahan pokok, hingga makanan beku kini ada kategorinya sendiri. Layanan ini, dibandingkan vertikal bisnis pesan antar makanan milik Gojek dan Grab, bisa dikatakan bersaing.

Pergeseran pola konsumsi masyarakat yang drastis memaksa pebisnis terus beradaptasi dengan cepat, meski sebenarnya ini bukan sesuatu yang mudah. Menurut BCG Henderson Institute, implikasi karantina di rumah, bagi sejumlah bisnis ada yang merana ada yang panen untung. Aktivitas belanja online masuk ke bagian terakhir.


Disclosure: Artikel ini didukung oleh platform market research Populix