LG Umumkan Dua Headset Bergaya Neckband Baru, Tone Studio dan Tone Free

Dalam pasar Bluetooth headset, LG merupakan salah satu pabrikan yang paling berani menerapkan desain yang berbeda. Lihat saja lini LG Tone mereka, yang pada dasarnya merupakan headset bergaya neckband, dengan cara pakai dikalungkan di leher. Gunanya? Supaya perangkat tetap mudah dibawa-bawa saat sedang tidak digunakan.

Pada ajang CES 2017 ini, LG rupanya sudah menyiapkan dua model baru dari lini Tone, yakni Tone Studio dan Tone Free. Tone Studio sebenarnya lebih pantas dikategorikan sebagai speaker, mengingat ia dilengkapi empat unit driver yang akan menyemburkan suara dalam konfigurasi surround.

LG sendiri menyebutnya sebagai sebuah wearable speaker. Sebuah DAC (digital-to-analog converter) terintegrasi memastikan reproduksi suara seakurat mungkin, baik ketika digunakan untuk menonton film, bermain game atau sekadar menikmati playlist di layanan streaming musik.

LG Tone Free / LG
LG Tone Free / LG

Tone Free di sisi lain merupakan jawaban LG atas Apple AirPods, Samsung Gear IconX dan perangkat lain yang mengadopsi desain benar-benar wireless. Yang unik dari Tone Free adalah masing-masing earpiece bisa disimpan di dalam neckband saat sedang tidak digunakan.

Dalam posisi terpasang ke neckband, tiap-tiap earpiece akan di-charge secara otomatis. Selain untuk memberikan daya baterai ekstra, neckband tersebut juga berfungsi sebagai penerus notifikasi dalam wujud getaran di leher ketika ada panggilan telpon atau pesan teks yang masuk.

Baik LG Tone Studio dan Tone Free sejauh ini belum memiliki banderol harga. Keduanya akan dipamerkan di CES 2017 bersama dengan sejumlah model Tone lain yang merupakan pembaruan dari versi-versi sebelumnya.

Sumber: LG.

Ada GPS Tracker Sampai Push Notification, Hallam Ialah Jaket Pintar Berfitur Terlengkap

Salah satu fungsi perangkat wearable adalah menyederhanakan akses ke fungsi di perangkat utama, misalnya meneruskan notifikasi di smartphone sehingga pengguna tidak melewatkan panggilan ataupun pesan penting. Masing-masing produk memang mempunyai spesialisasi berbeda, namun buat sekarang, solusi terlengkap ialah kreasi dari startup asal Manhattan ini.

Tim yang fokus pada pengembangan teknologi wearable, aksesori dan perhiasaan itu memperkenalkan versi terbaru dari jaket pintar Hallam P New York. Produk ini betul-betul layak mengusung titel pintar karena ia menyimpan 29 fitur berbeda – siap menunjang kebutuhan hiburan, kenyamanan, hingga keamanan. Semua kemampuan itu dikemas dalam rancangan dan penyajian simpel sehingga Hallam bisa dipakai di berbagai aktivitas.

Hallam Smart Jacket 1

Dari sisi penampilan, Hallam terlihat seperti jaket biasa. Developer menawarkan tiga model dengan tiga pilihan warna (hoodie, varsity dan jaket wol), masing-masing memiliki empat level kelengkapan fitur, yaitu Basic (terdapat 18 fungsi dasar), Smart (ada fitur anti-pencuri sampai push notification), Workout (memiliki tambahan pencahayaan LED), serta Travel (terdapat baterai, gantugan kunci, hingga tripod).

Bahkan di versi paling dasar saja, fitur-fitur jaket pintar Hallam sangatlah lengkap. Di sana ada portable charger, kabel earphone, sampai kemampuan panggilan darurat. Lalu beberapa kantong juga mempunyai fungsi tertentu, misalnya ada kantong yang bisa menjalankan musik secara otomatis begitu handset dimasukkan ke dalamnya, serta kantong untuk mute. Rahasia dari kemampuan ini adalah chip NFC tipis yang disematkan di masing-masing kantong.

Hallam Smart Jacket 2

Ingin beristirahat saat menempuh perjalanan jauh? Silakan manfaatkan bantalan leher build-in di sana lalu tarik penutup mata. Kedinginan? Tinggal keluarkan sarung tangannya. Kepanasan? Tarik zipper di bawah lengan untuk membuka ruang ventilasi. Selanjutnya, kacamata bisa disematkan di kantong khusus, kemudian terdapat pula kantong penyimpanan paspor serta kartu kredit.

Di varian Smart, jaket Hallam dibekali badge Bluetooth. Ketika komponen ini terpisah sejauh 10 meter dari handset, alarm di badge dan smartphone akan menyala. Badge tersebut juga berfungsi buat menyalurkan notifikasi app, pesan, ataupun panggilan masuk, bahkan dapat menjadi remote control wireless untuk selfie. Sebelum mencuci Hallam, badge, modul lampu LED dan baterai bisa dilepas, menyisakan komponen elektrik anti-air.

Jaket Hallam rencananya akan dijajakan di harga retail mulai dari US$ 180 (US$ 220 untuk versi Smart), namun selama periode crowdfunding di Kickstarter masih berlangsung, produk bisa Anda beli seharga US$ 100 saja.

Fitbit Resmi Akuisisi Sebagian Aset Pebble

Menyusul rumor yang berhembus beberapa hari lalu, Fitbit akhirnya mengumumkan secara resmi bahwa mereka telah membeli sejumlah aset milik Pebble. Merujuk pada siaran persnya, aset tersebut mencakup kekayaan intelektual di bidang pengembangan software dan firmware serta sejumlah staf kunci.

Secara spesifik, yang Fitbit incar dari Pebble adalah sistem operasi, aplikasi, layanan berbasis cloud dan software engineer-nya. Fitbit rupanya tidak tertarik dengan divisi hardware Pebble sehingga akhirnya Pebble mau tidak mau harus menutup perusahaannya.

Nilai akuisisi ini dikabarkan tidak lebih dari $40 juta dolar, namun kedua pihak enggan mengonfirmasinya. CEO Pebble sendiri, Eric Migicovsky, dilaporkan akan bergabung dengan inkubator startup ternama Y Combinator.

Lalu apa artinya ini bagi konsumen Pebble? Well, Pebble memastikan bahwa semua produk yang telah mereka pasarkan masih akan berfungsi seperti biasa, namun jangan berharap ada update rutin seperti sebelumnya.

Produk-produk barunya, seperti Pebble Time 2 dan Pebble Core, dengan terpaksa tidak jadi diproduksi dan konsumen yang sudah terlanjur menjadi backer di Kickstarter akan menerima refund secara penuh. Lain ceritanya untuk Pebble 2, distribusi smartwatch tersebut sudah berlangsung sebagian, tetapi mereka yang belum mendapatkan barangnya juga akan menerima refund.

Di titik ini pada dasarnya kita bisa mengucapkan selamat tinggal kepada Pebble. Saya melihat tidak ada tanda-tanda bahwa Fitbit berniat melanjutkan brand Pebble yang bisa dianggap sebagai salah satu pelopor segmen wearable. Bagi Fitbit sendiri, akuisisi aset ini akan semakin memantapkan posisinya sebagai salah satu produsen fitness dan activity tracker terbesar sejagat.

Sumber: Pebble, Fitbit dan Bloomberg.

Jolla Demonstrasikan Sailfish OS untuk Smartwatch

Di saat perkembangan smartwatch tengah terbilang stagnan, startup asal Finlandia yang didirikan oleh mantan karyawan Nokia dan Intel, Jolla, malah melihatnya sebagai peluang untuk memamerkan kreasinya. Bukan dalam wujud hardware, melainkan sistem operasi Sailfish OS yang mereka kembangkan sendiri.

Jolla menilai Sailfish OS sangat ideal untuk perangkat berlayar kecil – smartwatch salah satunya – karena pengoperasiannya banyak mengandalkan gesture. Gagasan ini pun langsung mereka terapkan dengan menyematkan Sailfish OS ke dalam LG Watch Urbane.

Dari video demonstrasinya, terlihat bahwa Sailfish OS versi smartwatch ini banyak terinspirasi oleh Asteroid OS yang bersifat open-source, baik dari segi desain maupun teknis. Kendati demikian, sejumlah elemen utama Sailfish OS yang sudah diterapkan di ponsel dan tablet turut diadopsi, semisal akses aplikasi dari bagian bawah dan tema dari atas layar.

Hampir semua pengoperasian Sailfish OS di smartwatch tidak perlu melibatkan tombol fisik. Prototipenya sendiri sudah mampu melakukan berbagai hal, termasuk meneruskan panggilan telepon dari smartphone. Pun begitu, koneksinya masih memanfaatkan Wi-Fi, sebab Jolla butuh waktu lebih lama untuk mengembangkan versi Bluetooth-nya.

Sejauh ini Jolla memang belum punya rencana untuk benar-benar menyiapkan Sailfish OS sebagai sistem operasi untuk smartwatch. Akan tetapi mengingat Sailfish yang berbasis Linux ini juga bersifat open-source, tidak menutup kemungkinan bagi komunitas developer untauk mengutak-atik dan mengembangkan perangkatnya sendiri.

Sumber: Wareable dan Jolla.

Strap Ini Beri Kemampuan Tracking dan Notifikasi pada Jam Tangan Tradisional Apa Saja

Baru saja saya membahas soal Grayton Origin, jam tangan analog yang menyimpan komponen ala smartwatch pada strap-nya, dan ternyata di Kickstarter juga ada produk berkonsep serupa. Namanya Patch, dan ia merupakan sebuah strap pintar yang bermisi menyulap jam tangan tradisional apapun menjadi sebuah smartwatch.

Sedikit berbeda dari yang dilakukan Grayton, tim pengembang Patch yang bermarkas di Singapura ini tidak menciptakan sebuah arloji secara utuh. Mereka hanya mengembangkan strap-nya saja, yang berarti konsumen harus sudah mempunyai jam tangannya sendiri.

Sangat sulit membedakan Patch dengan strap jam tangan biasa. Konsumen bisa memilih yang berbahan kulit atau nilon, dan di baliknya bernaung sebuah PCB (printed circuit board) fleksibel yang menjadi rumah dari accelerometer, modul getaran, modul Bluetooth serta baterai kancing standar. Yup, Patch tidak perlu di-charge, baterainya hanya perlu diganti dengan yang baru setiap tiga bulan.

Patch tersedia dalam empat ukuran yang berbeda / Team Patch Co.
Patch tersedia dalam empat ukuran yang berbeda / Team Patch Co.

Selain memonitor jumlah langkah kaki dan kalori yang terbakar, Patch juga dapat mengaktifkan sejumlah fungsi pada smartphone dengan memanfaatkan gesture. Contoh penggunaannya, goyangkan pergelangan tangan untuk mengaktifkan tombol shutter pada aplikasi kamera milik ponsel, atau sentuh strap-nya untuk menolak panggilan telepon saat tengah mengemudi.

Saat Anda tidak sengaja meninggalkan ponsel di meja suatu kafe, Patch akan bergetar guna mengingatkan Anda sebelum sambungan Bluetooth-nya terputus dan ponsel Anda sudah tinggal sejarah.

Berbagai varian desain Patch yang ditawarkan / Team Patch Co.
Berbagai varian desain Patch yang ditawarkan / Team Patch Co.

Secara fisik, Patch tersedia dalam berbagai ukuran sehingga dapat mengakomodasi segudang jam tangan yang ada di pasaran, baik yang memakai strap 18 mm, 20 mm, 22 mm maupun 24 mm. Ia juga telah mengantongi sertifikasi IPX7, sehingga guyuran hujan saja tidak cukup untuk merusak Patch.

Kampanyenya di Kickstarter hingga kini masih berlangsung, dan Anda bisa memesannya seharga $49 untuk yang berbahan nilon, atau $62 untuk yang berbahan kulit selama masa early bird.

Minat Konsumen Menurun, Motorola Berhenti Kembangkan Smartwatch

Awal tahun depan, besar kemungkinan akan ada sejumlah smartwatch baru yang diluncurkan, tepatnya tidak lama setelah Google merilis Android Wear 2.0 secara resmi. Pun demikian, Android Wear sepertinya bakal kehilangan salah satu pemain kuncinya, yaitu Motorola.

Moto 360 yang dirilis di tahun 2014 punya peran penting dalam perkembangan smartwatch, khususnya untuk platform Android Wear. Perangkat tersebut adalah smartwatch Android Wear pertama yang mengusung layar membulat, secara tidak langsung menjadi pelopor smartwatch dengan desain yang menyerupai jam tangan tradisional.

Setahun berikutnya, Moto 360 generasi kedua dirilis dengan pembaruan yang terbilang kurang signifikan. Namun sayang sepertinya kita tidak akan berjumpa dengan penerusnya, mengingat Lenovo baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka telah menekan tombol pause untuk pengembangan kategori produk smartwatch sampai batas waktu yang belum ditentukan.

Keputusan ini didasari oleh minat konsumen yang terus menurun terhadap smartwatch. Hal ini juga bisa dilihat dari meningkatnya popularitas smartwatch hybrid yang pada dasarnya merupakan jam tangan tradisional dengan kemampuan tracking dan notifikasi.

Motorola sendiri menilai bahwa teknologi perangkat wearable yang ada sekarang kurang bisa memotivasi mereka untuk terus mengembangkannya tahun demi tahun. Ke depannya, masih ada kemungkinan bagi mereka untuk menciptakan smartwatch baru di saat teknologinya sudah semakin matang, tapi tidak ada yang tahu itu kapan dan sepertinya tidak dalam waktu dekat.

Sumber: The Verge.

Bertampang Tradisional, Grayton Origin Sembunyikan Komponen Smartwatch di Strap Kulitnya

Eksistensi smartwatch hybrid atau smartwatch analog yang dipelopori oleh Withings membuktikan bahwa dunia masih belum bisa move on dari pesona jam tangan tradisional, tapi di saat yang sama mendambakan fitur tracking maupun notifikasi yang hanya bisa didapat dari smartwatch. Alhasil, pabrikan-pabrikan lain pun mengikuti jejak Withings, dan salah satu yang terbaru adalah Grayton.

Meski bukan berasal dari Swiss, Grayton cukup dikenal akan komitmennya terhadap jam tangan dengan mekanisme otomatis, atau yang umumnya dikenal dengan istilah self-winding. Asalkan jam tangan terus dipakai, ia sama sekali tidak memerlukan tenaga ekstra dari sebuah baterai untuk bisa terus beroperasi.

Kini, Grayton mencoba mengawinkan mekanisme self-winding dengan kecerdasan yang ditawarkan smartwatch. Bodi jam tangan self-winding sendiri sebenarnya sudah penuh dengan komponen yang sangat kompleks, lalu di mana sensor macam accelerometer dan gyroscope bisa ditanamkan, tidak ketinggalan juga modul Bluetooth?

Strap kulit atau nylon-nya sama sekali tidak terlihat aneh meskipun mengemas sejumlah sensor plus baterai / Grayton
Strap kulit atau nylon-nya sama sekali tidak terlihat aneh meskipun mengemas sejumlah sensor plus baterai / Grayton

Strap-lah jawabannya. Inovasi ini akhirnya melahirkan Grayton Origin, yang jika dilihat dari sudut manapun, sama sekali tidak terlihat seperti smartwatch. Hal ini mungkin mengingat Origin menyembunyikan semua komponen esensial smartwatch di dalam strap kulitnya – atau yang berbahan nylon jika konsumen lebih sreg dengannya.

Namun jangan bayangkan strap-nya kemudian jadi terlihat aneh dan besar, sebab wujudnya pun hampir tidak berbeda ketimbang strap biasa. Fitur pintarnya sendiri mencakup activity tracking, notifikasi, kontrol musik dan kamera, dan sejumlah lainnya yang bisa diatur lewat aplikasi pendamping Grayton di ponsel.

Jam tangan dan strap dapat beroperasi secara mandiri dan tidak tergantung satu sama lain / Grayton
Jam tangan dan strap dapat beroperasi secara mandiri dan tidak tergantung satu sama lain / Grayton

Meski jamnya sendiri tidak memerlukan baterai, strap-nya ternyata masih perlu diisi ulang. Namun Anda tidak perlu memasangkan kabel apa-apa, sebab bagian ujung strap-nya bisa dikupas untuk memunculkan konektor USB. Tinggal tancapkan ke laptop selama sekitar 2 jam, lalu strap-nya siap beroperasi lagi sampai 10 hari sekaligus.

Lebih menarik lagi, ukuran strap yang mengikuti standar 20 mm berarti Anda pada dasarnya bisa mengubah hampir semua jam tangan tradisional yang tersedia di pasaran menjadi smartwatch dengan strap pintar bikinan Grayton ini.

Buat yang tertarik meminang Grayton Origin, bisa menjadi backer di Indiegogo dengan dana $149. Harga ini sangat spesial mengingat retail-nya diperkirakan berkisar $395.

PogoCam Ialah Kamera Kecil yang Bisa Ditambatkan ke Kacamata

Lewat Spectacles, Snapchat – yang kini telah berganti nama menjadi Snap Inc. – berhasil menghidupkan kembali tren kacamata berkamera meski Google Glass sudah turun gunung. Alhasil, perlahan-lahan muncul pihak lain yang ingin mencicipi peruntungan di ranah ini. Salah satunya adalah perusahaan kecil bernama PogoTec.

Mereka memperkenalkan PogoCam, sebuah aksesori kecil yang dapat ditambatkan ke frame kacamata, seketika itu juga memberinya kemampuan untuk mengambil foto atau video. Ya, perangkat ini bisa saja Anda anggap Spectacles versi modular, mengingat ia bisa dilepas dan dipasang kapan saja pengguna mau.

Konsep seperti ini menjadikan PogoCam lebih fleksibel dibanding Spectacles. Saat Anda sedang berkunjung ke acara yang sifatnya tertutup misalnya, Anda tinggal melepas PogoCam dan tak perlu khawatir jadi pusat lirikan tajam orang-orang di sekitar.

Bodi PogoCam tergolong ringkas / PogoTec
Bodi PogoCam tergolong ringkas / PogoTec

Secara fisik PogoCam termasuk ringkas, tidak lebih besar dari sebuah lipstick. Jangan mengharapkan kualitas gambar yang fenomenal di sini, sebab PogoCam hanya mengemas sensor 5 megapixel saja. Baterainya pun hanya bisa bertahan hingga 100 kali jepret, atau 12 kali merekam video 720p yang masing-masing berdurasi 10 detik.

Satu lagi yang hilang dari Spectacles adalah kemampuan mengirim foto atau video secara nirkabel. Dengan PogoCam, pengguna harus menempuh jalan tradisional, yakni dengan menancapkan perangkat yang sudah terbungkus casing khusus ke port USB milik komputer. Pun begitu, PogoTec sudah punya rencana unttuk menggarap casing yang mempunyai konektivitas Bluetooth.

PogoCam saat dipasangkan pada model kacamata lain / PogoTec
PogoCam saat dipasangkan pada model kacamata lain / PogoTec

Lalu apakah PogoCam kompatibel dengan semua kacamata di pasaran? Sayangnya tidak, tapi pilihannya dipastikan cukup beragam mengingat PogoTec sudah mengajak sejumlah brand untuk bekerja sama. Sederhananya, mereka memodifikasi frame kacamata agar PogoCam bisa menancap secara magnetik.

Metode ini mereka sebut dengan istilah PogoTrack. Menariknya, ini membuka peluang untuk aksesori selain kamera. Entah apa, tapi yang pasti mekanisme pemasangannya sama seperti PogoCam. Tebakan saya, kemungkinan nantinya akan ada PogoFit atau apalah namanya, dengan fungsi untuk memonitor aktivitas fisik.

Balik ke PogoCam, perangkat ini rencananya akan dipasarkan seharga $129. Tidak tahu kapan, tapi PogoTec berjanji untuk memamerkan prototipe fungsionalnya di ajang CES 2017 bulan Januari mendatang.

Sumber: The Verge dan PogoTec.

Ubah Suara Jadi Teks, Senstone Pastikan Tidak Ada Ide atau Catatan Penting yang Terlewatkan

Entah Anda seperti saya atau tidak, tapi saya sering mendapat ide menarik untuk ditulis di saat-saat yang tidak tepat, selagi mandi atau menyetir misalnya. Selesai dengan dua kegiatan tersebut, ide cemerlang tadi biasanya sudah menguap entah ke mana.

Tidak sempat menyimpan ide untuk dieksplorasi lebih dalam lagi nantinya sangatlah menyebalkan, paling tidak untuk saya yang memang berprofesi sebagai blogger. Selama ini, solusi yang saya terapkan adalah berhenti menyetir sejenak lalu mencatatnya di ponsel. Sungguh merepotkan.

Namun kalau perangkat bernama Senstone berikut jadi terealisasi, apa yang saya alami selama ini tidak akan lagi menjadi masalah. Merupakan perangkat wearable, fungsi utama Senstone adalah mengubah suara menjadi teks dan menyimpannya secara instan.

Senstone bisa dipakai dalam tiga cara yang berbeda: dijepitkan ke kerah baju, dijadikan bandul kalung atau dipakai seperti gelang. Untuk menggunakannya, cukup tekan tombol di sisinya dan mulailah berbicara; Senstone akan merekam semuanya dan mengubahnya menjadi teks, lalu menyimpannya di dalam aplikasi smartphone sekaligus cloud.

Selain sebagai gelang, Senstone bisa dijadikan bandul kalung atau dijepitkan ke kerah baju / Senstone
Selain sebagai gelang, Senstone bisa dijadikan bandul kalung atau dijepitkan ke kerah baju / Senstone

Dalam situasi sedang menyetir tadi, saya jadi tidak perlu berhenti untuk mencatatkan ide di ponsel; tinggal bisikkan saja ke Senstone. Bukan cuma memo saja yang bisa disimpan, tapi juga reminder dan to-do-list. Semuanya berlangsung selagi pengguna tetap bisa berfokus pada kegiatannya saat itu.

Sejauh ini belum ada informasi terkait bahasa apa saja yang bisa dikenali Senstone selain Inggris. Namun seandainya permintaan dari konsumen cukup banyak, pengembang Senstone bisa dengan mudah menghadirkan dukungan bahasa lain lewat software atau firmware update.

Problem utama Senstone – setidaknya untuk sekarang – adalah belum ada kepastian soal eksistensinya. Pengembangnya berencana memulai kampanye crowdfunding di Kickstarter dalam waktu dekat, jadi kemungkinan besar kita baru akan berjumpa dengan Senstone paling cepat tahun depan.

Pakai Gelang Ini, Maka Anda Bisa Mengontrol Perangkat dari Jauh Seperti Jedi di Star Wars

Penggemar berat Star Wars pastinya sudah tidak asing dengan replika BB–8 yang fungsional buatan Sphero. Pada akhir September kemarin, Sphero rupanya mulai memasarkan aksesori bernama Force Band, dimaksudkan supaya pengguna bisa mengendalikan robot BB–8 dengan gesture alias “The Force”.

Tanpa ada bumbu sihir, perangkat tersebut sebenarnya memanfaatkan gyroscope dan accelerometer untuk mendeteksi gerakan tangan pengguna. Konektivitasnya mengandalkan Bluetooth, sehingga pengguna pun kelihatan seakan-akan mampu mengontrol robot BB–8 dari kejauhan.

Namun yang lebih menarik, Sphero baru-baru ini merilis update untuk Force Band yang menghadirkan integrasi platform otomatisasi IFTTT (If This Then That). Berbekal integrasi ini, pengguna Force Band pada dasarnya bisa mengontrol perangkat atau aplikasi apapun yang membawa dukungan IFTTT, bohlam pintar Philips Hue misalnya.

Awalnya dimaksudkan menjadi aksesori pendamping Sphero BB-8, Force Band kini merangkap peran sebagai controller smart home dengan bantuan IFTTT / Sphero
Awalnya dimaksudkan menjadi aksesori pendamping Sphero BB-8, Force Band kini merangkap peran sebagai controller smart home dengan bantuan IFTTT / Sphero

Melalui aplikasi atau situs IFTTT, pengguna bisa menentukan aksi yang diinginkan untuk setiap gesture; ada tiga gesture berbeda yang bisa dikenali Force Band, yaitu Force Push, Force Pull dan Force Stop. Contohnya, Force Push bisa diset untuk menyala-matikan Philips Hue, sehingga ketika pengguna melakukan gerakan mendorong, lampu pun akan otomatis menyala atau mati.

Dukungan IFTTT ini sejatinya menjadikan Sphero Force Band terdengar lebih menggiurkan bagi mereka yang tidak tertarik menggaet Sphero BB–8 atau sekadar belum kebagian jatah, alias kehabisan stok. Force Band sendiri bisa dipesan dari situs Sphero seharga $80.

Sumber: Gizmodo.