TokoCash Kini Jadi OVO, Tokopedia Tidak Buru Lisensi Uang Elektronik Sendiri

Melalui pemberitahuan email ke pelanggannya, Tokopedia meresmikan penggantian layanan e-wallet miliknya TokoCash dengan layanan OVO milik anak usaha Lippo Group. Inisiatif ini menyusul rilis sebelumnya bahwa OVO dan Tokopedia telah menandatangani kerja sama strategis untuk menambahkan opsi pembayaran.

Sekarang layanan OVO sudah otomatis terintegrasi dengan Tokopedia. Jika pengguna sebelumnya memiliki saldo TokoCash, juga otomatis akan masuk ke akun OVO – terdaftar tanpa harus registrasi secara manual.

Di Tokopedia, pengguna juga dapat mengisi (top up) saldo e-money OVO antara 50 ribu hingga 5 juta. Sebagai informasi, regulasi mengatur batasan maksimal nilai yang disimpan di uang elektronik maksimal 10 juta Rupiah, dengan transaksi per bulan maksimal 20 juta Rupiah.

Berbagai layanan pembayaran di Tokopedia kini dapat dibayar langsung dengan saldo OVO yang dimiliki. Beberapa layanan harus tetap diakses melalui aplikasi Tokopedia, karena opsinya sebagian belum dimiliki di aplikasi OVO.

Tidak lagi memburu lisensi sendiri

Sekitar Oktober 2017, layanan dompet digital milik Tokopedia dihentikan operasionalnya oleh Bank Indonesia (BI). Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) 20/2018 tentang uang elektronik tersurat jelas dalam pasal 4 bahwa setiap penyelenggara (baik bank atau non-bank) yang mengoperasikan uang elektronik dengan jumlah dana float 1 miliar Rupiah atau lebih harus memperoleh izin dari BI.

Sementara OVO melalui PT Visionet Internasional sudah mendapatkan lisensi sejak Agustus 2017.

Dalam sebuah kesempatan di Bali, DailySocial bertanya ke Direktur Eksekutif Bank Indonesia Onny Widjanarko, mengapa lisensi uang elektronik Tokopedia tidak kunjung dirilis. Secara singkat ia menjawab ada komponen regulasi yang belum berhasil dilengkapi pihak pemohon. Onny juga memastikan bahwa tidak ada proses yang dipersulit, karena semuanya sudah tertuang dalam PBI secara jelas.

Pasal 5 yang tertera dalam PBI tersebut mengelompokkan penyelenggara berdasarkan jenis jasa pembayaran yang diberikan. Dalam hal ini Tokopedia jelas bisa masuk dalam kelompok penyelenggara front end, lebih spesifiknya sebagai penyelenggara dompet elektronik. Artinya dari sisi sistem, tidak ada isu.

Selanjutnya dalam Pasal 7, dituliskan penyelenggara non-bank harus memiliki mayoritas direksi yang berdomisili di Indonesia. Tampaknya ini juga bukan hal yang sulit dilakukan oleh Tokopedia.

Kemudian di pasal 9, menerangkan tentang modal disetor paling sedikit adalah 3 miliar Rupiah. Jelas tidak ada isu, karena Tokopedia adalah salah satu unicorn Indonesia dengan kepemilikan modal investasi >$1 miliar.

Bagian ini dilanjutkan dalam pasal 10 yang menyaratkan soal komposisi kepemilikan saham. Untuk mendapatkan lisensi uang elektronik, perusahaan harus memiliki paling sedikit 51% saham yang dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. Kepemilikan yang dinilai oleh BI termasuk kepemilikan langsung dan/atau kepemilikan secara tidak langsung, dinilai subyektif oleh otoritas BI. Perusahaan yang telah mendapatkan lisensi juga diwajibkan untuk memelihara pemenuhan komposisi kepemilikan tersebut.

Tampaknya soal kepemilikan saham tersebut yang menjadi perkara fundamental di Tokopedia. Setidaknya saat ini ada 8 investor yang membawa Tokopedia hingga putaran pendanaan Seri F. Beberapa nama investornya ialah East Ventures, CyberAgent Ventures, Beenos Partners, Softbank Ventures Korea, SoftBank Telecom Corp, Sequoia Capital India, dan Alibaba Group.

Tokopedia Alibaba
William Tanuwajaya saat mengumumkan perolehan babak baru pendanaan senilai 1,1 miliar Dolar yang dipimpin Alibaba / DailySocial

Pendanaan seri F yang didapatkan Agustus 2017 lalu bernilai 1,1 miliar Dolar dipimpin oleh Alibaba. Pendanaan tahap tersebut menyumbangkan jumlah valuasi yang cukup dominan, kendati disebutkan Alibaba menjadi pemilik saham minoritas.

Ada kemungkinan bahwa secara mayoritas (>50%) kepemilikan saham Tokopedia dimiliki oleh pihak asing.

Persyaratan PBI yang tertuang ke pasal selanjutnya cukup normatif, seperti aspek kelayakan, tata cara pengajuan, sertifikasi sistem, pelaporan, pengawasan hingga sanksi.

Kemitraan strategis OVO-Tokopedia juga diregulasi

Sesuai pasal 16 ayat (b) disampaikan bahwa kerja sama dengan pihak lain untuk penyelenggaraan uang elektronik wajib memperoleh persetujuan BI. Detailnya dilanjutkan dalam pasal berikutnya. Persetujuan meliputi pengembangan produk dan aktivitas, termasuk terkait dengan fitur, jenis, layanan atau fasilitas yang telah berjalan.

Hal-hal yang disyaratkan cenderung lebih kepada aspek penyelenggaraan, seperti kesiapan operasional, keamanan dan keandalan sistem, manajemen risiko, dan perlindungan konsumen. Aspek lain juga mengatur legalitas, kompetensi, kinerja, dan keamanan antara kedua platform yang bekerja sama.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Bank Indonesia Releases The Latest E-Money Regulations

BI (Bank Indonesia) has just released the latest e-money regulations written in PBI (Bank Indonesia’s Regulation) Number 20/6/PBI 2018 to revise the previous regulation. It’s supposed to ensure a safe, efficient, fluent, and reliable e-money operation.

Quoted from Detik, Head of Payment System Department Onny Wijanarko, mentioned the 15 adjusting points. Some of which are e-money’s operational principals, open loop and closed loop.

The new rules also define a minimum capital, shares composition, representation and guarantee, fit and proper test, single ownership, holding period, cash float, cross-border, transaction, limit, and so forth.

In the regulation, floating cash in the closed loop is set for 1 billion Rupiah. The operators are divided into two groups, the front end and the back end.

The front end involves issuer, acquirer, payment gateway, e-wallet, and fund transfer. In the other hand, the back end involves principal, switching, clearing, and settlement. It’s designed to avoid monopoly.

The other standard is set for LSB (Non-Bank Financial Institutions). It shouldn’t be over 3 billion Rupiah with 51% of the shares must be locals or Indonesia’s Legal Entity.

In terms of balance, BI has renewed some limits. For the unregistered (identity is not registered and no record by the issuers), BI increase the maximum limit to Rp2 million. Meanwhile, the registered (identity is registered and recorded by the issuers) has a maximum limit of Rp10 million.

PBI’s new regulations have summarized the restrictions. It includes the prohibition of minimum balance as settlement or termination, deducting or blocking the e-money unilaterally, charging termination fee, and changing or omitting e-money value within the validity period.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bank Indonesia Siap Terbitkan Beleid Pelaksanaan Fintech

Bank Indonesia akan kembali menerbitkan beleid terbaru untuk mengatur pelaksanaan bisnis fintech di Indonesia. Beleid tersebut akan fokus mengatur keamanan konsumen dan fintech regulation and regulatory sandbox, tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang rencananya akan dirilis pada kuartal IV tahun ini.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan bank sentral akan mengumumkan fintech regulation and regulatory sandbox sebagai platform bagi para pemula untuk meluncurkan produk inovatif, layanan, dalam model bisnis mereka.

Penerbitan fintech regulatory merupakan bagian tugas dari bank sentral sebagai regulator untuk sistem pembayaran. Semangat yang ingin disampaikan adalah bank sentral ingin memastikan sistem pembayaran khusus pelaku fintech berjalan aman dan melindungi konsumen.

Aturan sandbox regulatory akan mengatur ketentuan bagi pelaku fintech yang kebanyakan adalah perusahaan startup yang menjadi kriteria utama BI sebelum masuk ke sandbox. Tempat tersebut, dengan kata lain, akan menjadi tempat untuk mematangkan layanan startup finansial sebelum beroperasi di tanah air.

“Semoga kuartal keempat 2017 aturan BI tentang fintech akan terbit. Kemudian menyusul bersamaan dengan itu, aturan tentang sandbox. Jadi teman-teman di bidang sistem pembayaran terkait fintech bisa mengamati bagaimana perkembangannya dan bagaimana pengaturan lebih lanjut,” terang Mirza dikutip dari Kontan.

Kepala Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eni V Panggabean menambahkan, aturan terbaru ini nantinya akan menyempurnakan dari aturan sebelumnya yang menyangkut sistem pembayaran. Dia menilai, aturan tersebut akan lebih fokus pada keamanan konsumen.

Untuk masuk ke sandbox pun, sambungnya, tidak semua perusahaan bisa lolos karena mereka sebelumnya harus melakukan pendaftaran terlebih dahulu. Penilaian BI untuk startup yang ingin mendaftar, diantaranya startup tersebut dinilai layak secara profil risiko, mitigasi risiko, dan bisnis itu sendiri.

“Jadi sandbox ini adalah suatu lingkungan di mana mereka bisa berusaha membuat inovasinya, tapi tentunya dalam batas-batas yang kami buat,” terang Eni dikutip dari CNN Indonesia.

Dia mengaku saat ini sudah ada 60 perusahaan fintech yang melakukan konsultasi dengan BI untuk mendaftar secara resmi. Sehingga, ketika aturan terbaru disahkan mereka dapat segera mendaftar.

Sebelumnya, pada akhir tahun lalu bank sentral telah mengeluarkan PBI No 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Aturan tersebut mengatur, memberikan izin, dan mengawasi penyelenggaraan sistem pembayaran yang dilakukan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan Penyelenggara Transfer Dana.

Bank Indonesia Tetapkan Aturan Gerbang Pembayaran Nasional

Kemarin (7/7), Bank Indonesia menetapkan aturan terbaru mengenai Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) atau lebih dikenal National Payment Gateway (NPG) termuat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/8/PBI/2017 yang diberlakukan mulai 22 Juni 2017 lalu.

Terbitnya aturan ini menjadi penyangga strategis bank sentral dalam melayani dan memfasilitasi gerakan nasional non-tunai, bansos pemerintah secara non-tunai, keuangan inklusi keuangan, e-commerce nasional, yang sejalan dengan prinsip kehati-hatian. Sekaligus merealisasikan integrasi sistem pembayaran nasional yang efisien.

Perlu diketahui, NPG adalah sebuah sistem yang terdiri dari tiga penyelenggara yakni lembaga standar, switching, dan services yang dibangun melalui seperangkat aturan dan mekanisme untuk mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara nasional.

Sebelum NPG diberlakukan, ketiga penyelenggara tersebut melakukan tugasnya secara sendiri-sendiri dengan masing-masing lembaga keuangan, belum ada interkoneksi apalagi interoperabilitas.

Adapun tugas lembaga standar yakni menetapkan spesifikasi teknis dan operasional yang dibakukan dalam GPN. Lembaga switching bertugas sebagai pusat dan/atau penghubung penerusan data transaksi pembayaran melalui jaringan yang menggunakan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK), uang elektronik, dan transfer dana. Sementara, lembaga services bertugas untuk memenuhi kebutuhan industri sistem pembayaran ritel.

Tiga penyelenggara NPG, dalam praktiknya akan terhubung dengan empat pihak yang terikat dengan aturan pula, meliputi penerbit kartu, acquirer, penyelenggara payment gateway, dan pihak lainnya yang ditetapkan bank sentral.

Seluruh pihak di atas, akan mewujudkan interkoneksi dan interoperabilitas ekosistem pembayaran. Bahasa sederhananya, jaringan kanal pembayaran serta infrastrukturnya antara satu institusi dengan lainnya akan saling terhubung dan bisa dipakai oleh seluruh pihak.

Menekankan efisiensi, beban konsumen lebih ringan

Bagi pelaku industri keuangan, hadirnya NPG membawa dampak efisiensi utilitas perangkat ATM, EDC, atau lainnya. Ibaratnya bila pemegang kartu sedang berada di mal dan ingin melakukan transaksi keuangan, mereka tidak harus mengantre di ATM sesuai bank masing-masing.

Pihak penerbit kartu atau lainnya, kini tidak harus investasi masing-masing saat ingin menyediakan perangkatnya.

“Jadi jangan ada seperti di Mal Taman Anggek yang memiliki 10 mesin ATM berjejeran tetapi utilitasnya rendah. Lebih baik taruh beberapa saja tapi dipakai bersama dan sisanya bisa di relokasi,” terang Kepala Pusat Program Transformasi BI Onny Widjanarko dalam konferensi pers.

Ditambah, hadirnya aturan ini membuat proses transaksi pembayaran ritel dengan menggunakan kartu tidak lagi bergantung pada prinsipal asing seperti Mastercard dan Visa. Bagi konsumen, dampak langsung yang bisa dirasakan dari hal ini terlihat dari turunnya biaya transaksi yang dibebankan.

Salah satu contoh nyata dari penurunan biaya transaksi terlihat dari kehadiran jaringan Link dari PT Jalin Pembayaran Nusantara (JPN) yang merupakan inisiasi gabungan dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Tadinya, biaya transfer antar bank BUMN bisa mencapai Rp7 ribu, kini menjadi Rp4 ribu.

Efek belum segera terasa

Meski aturan ini sudah diterbitkan, namun konsep interkoneksi dan interoperabilitas belum bisa terasa dalam waktu dekat. Pasalnya, sebelum pihak terhubung bisa bergabung ke NPG wajib memenuhi ketentuan dari BI.

Mereka, dalam hal ini adalah bank umum dan bank umum syariah, untuk instrumen ATM dan kartu debet, wajib terhubung dengan minimal dua lembaga switching paling lambat 30 Juni 2018. Kondisi saat ini, masih banyak perbankan yang belum memenuhi kewajiban tersebut.

“Sebelum masa tenggat itu tiba, konsep efisiensi belum bisa terwujud. Makanya kami suruh bank untuk bersiap-siap sebelum Juni 2018.”

Segera atur biaya transaksi

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eni V Panggabean menambahkan, BI akan menerbitkan aturan turunan untuk mengatur skema harga NPG, salah satunya merchant discount rate (MDR).

MDR adalah potongan yang dikenakan bank kepada merchant ketika bertransaksi lewat mesin EDC, besaran MDR tergantung kesepakatan bank dengan merchant sekitar 1,6% sampai 2,2%.

Eni menilai persentase MDR di Indonesia adalah tertinggi di Asia, meski banyak konsumen yang tidak menyadari ini saat bertransaksi padahal mereka adalah pihak yang dibebankan akibat aturan tersebut.

“MDR itu seyogyanya bisa turun karena trennya ketika ada NPG, orang akan memilih lebih baik menurunkan profit atau harganya. Terlebih ada NPG itu, akan ada sharing infrastruktur, kalau invest sendiri kan mahal,” kata Eni.

Hanya saja, dia memastikan bahwa pengaturan ini tidak akan mematikan industri karena bank sentral juga bakal mempertimbangkan biaya operasional dan margin yang wajar. Maka dari itu, bank sentral akan melakukan pengkajian dan berkomunikasi dengan seluruh penyelenggara NPG.

“Kalau biaya penurunan bisa sampai 50% itu sudah bagus. Kami akan tetap terima masukan karena tujuan NPG adalah efisiensi, bukan mematikan industri.”

Kue bisnis untuk Mastercard dan Visa tetap ada

Terkait dampak kehadiran NPG bagi Mastercard dan Visa, menurut Onny, pada tahap awal mungkin bakal berpengaruh pada bisnis kedua perusahaan, terutama mengenai biaya routing domestic yang kini tidak bakal menggunakan jasa mereka. Hal tersebut membuat mereka harus menyesuaikan diri.

Akan tetapi, Onny memastikan, baik Mastercard maupun Visa masih tetap memiliki peluang yang besar bila ingin memroses transaksi pembayaran ritel di Indonesia. Mereka harus kerja sama dengan lembaga switching domestik di proses melalui NPG yang sebelumnya telah disetujui BI.

“Kita tetap butuh mereka untuk bangun kapabilitas keamanan data nasabah, ini jadi peluang tumbuh tapi dengan bentuk yang berbeda.”

Pada intinya, kartu berlogo Mastercard dan Visa akan tetap bisa digunakan ketika pemilik kartu NPG membawa kartunya ke luar negeri. Tetapi, ketika di bawa ke dalam negeri harus mengikuti alur sistem NPG.

Bank Indonesia Segera Atur Proses Pembayaran di Sektor E-Commerce

Untuk mengontrol transaksi pembayaran e-commerce yang saat ini menyediakan payment gateway hingga e-wallet, pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia, akan membuat peraturan yang jelas terkait kegiatan transaksi pembayaran tersebut.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Ronald Waas, seperti dikutip Bisnis:

“Nanti semuanya seperti e-commerce, e-wallet, kliring dan sebagainya diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) tersebut. Kami akan kelompokkan antara pelaku utama dalam sistem pembayaran maupun penunjangnya.”

Selain proses transaksi pembayaran, peraturan tersebut juga akan mengatur soal syarat perusahaan yang memasuki segmen pemrosesan pembayaran ini.

“Syaratnya banyak macam-macamnya, salah satunya itu seperti harus berbadan hukum. Pemainnya kan sekarang juga sudah macam-macam, seperti e-commerce internet payment gateway sampai e-wallet. Mudah-mudahan pekan ini rampung dibahas di Rapat Dewan Gubernur (RDG) ya,” lanjutnya.

Sektor fintech juga bakal diatur

Selain di sektor e-commerce, BI juga akan mengatur sistem pembayaran online yang digunakan oleh industri keuangan berbasis online (FinTech). Pengaturan ini juga bakal dimuat dalam PBI (yang berbeda dengan PBI untuk pembayaran di sektor e-commerce).

Peraturan untuk mekanisme pembayaran di sektor Fintech disebutkan bukanlah hal yang baru, karena sebelumnya sistem perbankan Real Time Gross Settlement (RTGS) juga diatur oleh BI.

“Fintech memiliki sejumlah otoritas pemerintah, termasuk OJK yang meregulasi urusan kredit dan penyimpanan (tabungan). Untuk pembayaran dan transaksi, BI akan mengaturnya,” kata Ronald dikutip dari Antara.

Perubahan Peraturan Bank Indonesia Coba Dorong Penggunaan Uang Elektronik Yang Lebih Luas

Bank Indonesia pekan lalu mengumumkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 yang melakukan sejumlah perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money/e-money). Perubahan ini ditujukan untuk penyempurnaan regulasi e-money dan mendorong penggunaan e-money yang lebih luas untuk menggantikan penggunaan uang tunai.

Continue reading Perubahan Peraturan Bank Indonesia Coba Dorong Penggunaan Uang Elektronik Yang Lebih Luas