Samsung Odyssey G7 Diklaim Sebagai Monitor Gaming yang Paling Melengkung

Apa yang Anda cari dari suatu monitor gaming? Resolusinya? Refresh rate-nya? Kelengkungannya? Fitur pendukungnya (adaptive sync)? Atau malah semuanya? Kalau budget memang bukan masalah, semestinya gamer tak akan berkompromi dalam memilih salah satu periferal terpenting ini.

Salah satu opsi terbaru yang bisa didapatkan adalah Samsung Odyssey G7. Diperkenalkan pertama kali pada ajang CES Januari lalu, G7 memenuhi hampir semua kriteria monitor gaming idaman. Kita mulai dari bentuknya terlebih dulu.

Samsung Odyssey G7

G7 merupakan sebuah monitor curved, dan ia diklaim sebagai monitor gaming yang paling melengkung yang ada saat ini, dengan radius kelengkungan mencapai 1000R (semakin kecil angkanya, semakin melengkung layarnya). Samsung sejak lama percaya bahwa ini bisa membantu menumbuhkan kesan immersive secara signifikan, dan menurut mereka, radius 1000R ini sama melengkungnya seperti mata manusia.

Panel melengkung itu masuk kategori panel QLED, dengan resolusi 2560 x 1440 pixel, baik pada varian 27 inci maupun 32 incinya. Istimewanya, refresh rate maksimumnya tercatat di angka 240 Hz, dengan waktu respon (GTG) 1 milidetik serta dukungan atas Nvidia G-Sync dan AMD FreeSync Premium Pro sekaligus.

Samsung Odyssey G7

G7 datang membawa sertifikasi HDR 600, yang berarti tingkat kecerahan maksimumnya bisa mencapai angka 600 nit. Konektivitasnya cukup melimpah dan mencakup port HDMI 2.0, 2x DisplayPort 1.4, 3x USB 3.0, serta headphone jack. Buat yang peduli dengan tampilan sebuah monitor, kebetulan G7 cukup manis di mata berkat desain futuristisnya.

Samsung berniat memasarkan Odyssey G7 secara global mulai bulan Juni ini juga. Banderol harganya belum disebutkan, akan tetapi Amazon mencantumkan banderol $700 untuk varian 27 inci, dan $800 untuk varian 32 inci.

Sumber: Samsung.

Logitech Luncurkan Mouse Gaming Kelas Budget dengan RGB, G203 Lightsync

Logitech punya mouse gaming baru untuk gamer dengan budget terbatas, khususnya mereka yang mewajibkan ketersediaan pencahayaan RGB. Namanya Logitech G203 Lightsync, dan ia merupakan penerus dari G203 Prodigy yang dirilis empat tahun silam.

Apa saja yang berubah? Dari luar, hampir tidak ada. G203 Lightsync tetap mengadopsi wujud ambidextrous dan layout 6 tombol yang sama persis seperti sebelumnya. Perbedaan fisiknya tidak lebih dari pencahayaan warna-warni yang telah menggantikan lampu biru milik pendahulunya, dan tentu saja pattern-nya bisa dikustomisasi via software.

Namun RGB tentu bukan satu-satunya perubahan yang disuguhkan. Logitech telah memperbarui jeroannya; G203 Lightsync mengemas sensor optik dengan sensitivitas maksimum hingga 8.000 DPI. Seperti pendahulunya, mouse ini turut mengunggulkan polling rate sebesar 1.000 Hz demi memberikan respon yang lebih instan dari biasanya. Belum lama ini, Corsair juga membanggakan mouse gaming barunya yang mempunyai polling rate di atas normal.

Logitech G203 Lightsync

Memori onboard tetap dipertahankan oleh G203 Lightsync, memungkinkan pengguna untuk menyimpan sampai lima preset sensitivitas langsung pada perangkat. Di atas kertas, fitur yang ditawarkan cukup melimpah untuk mouse gaming kelas budget.

Semurah apa memangnya? $40 saja saat mulai dipasarkan pada bulan Mei mendatang, $10 lebih murah daripada harga pendahulunya di hari peluncuran. Selain warna hitam, Logitech G203 Lightsync juga tersedia dalam balutan warna putih.

Sumber: Logitech.

HyperX Luncurkan Dua Headset Gaming Terjangkau dengan Dukungan Suara Surround 7.1

Kingston, melalui divisi gaming-nya, HyperX, adalah salah satu pabrikan headset gaming yang paling produktif. Portofolio mereka sangat lengkap, dan mereka juga belum menunjukkan tanda-tanda hendak berhenti.

Baru-baru ini, mereka memperkenalkan dua headset gaming anyar: HyperX Cloud Stinger Core dan HyperX Cloud Stinger Core Wireless. Keduanya merupakan perangkat yang identik, dengan perbedaan hanya di konektivitas (satu berkabel, satu nirkabel).

Fitur unggulan kedua headset ini adalah virtual surround 7.1 berbasis software. Meski cuma berbasis software, sebelum ini virtual surround cuma tersedia pada lini headset HyperX yang lebih premium dari lini Cloud Stinger. Ya, kedua perangkat ini sama-sama diposisikan di kategori ramah kantong dengan banderol masing-masing $60 (Core) dan $80 (Core Wireless).

HyperX Cloud Stinger Core dan Core Wireless

Secara teknis, Cloud Stinger Core dan Core Wireless dibekali sepasang dynamic driver berdiameter 40 mm, dengan respon frekuensi di kisaran 20 – 20.000 Hz. Input-nya mengandalkan mikrofon uni-directional yang dilengkapi teknologi noise cancelling beserta fitur swivel-to-mute.

Sepintas kedua headset ini tampak bongsor, tapi rupanya bobotnya tidak sampai seperempat kilogram. Fitur pemanis seperti tombol-tombol pengoperasian di sisi luar earcup (termasuk kenop volume) turut tersedia. Khusus Core Wireless, baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 16 jam pemakaian.

Sumber: Business Wire.

HyperX Cloud Flight S Lebih Praktis dari Headset Gaming Lain Berkat Wireless Charging

Headset wireless tentu lebih praktis ketimbang headset biasa. Namun terkadang yang terasa menyebalkan adalah ketika baterainya sudah hampir habis, terutama pada headset yang tidak bisa digunakan selagi sedang di-charge.

Supaya terhindar dari skenario menyebalkan itu, pengguna harus terus ingat untuk mengisi ulang headset wireless dari waktu ke waktu. Andai saja ada cara charging yang lebih praktis. Well, di sinilah wireless charging jadi terasa sangat berguna, dan ini juga yang menjadi salah satu nilai jual utama headset gaming terbaru HyperX.

HyperX Cloud Flight S

Ya, kelebihan headset bernama Cloud Flight S ini adalah dukungan Qi wireless charging. Jadi setiap kali selesai bermain, cukup letakkan headset ini di atas wireless charger, maka baterainya akan selalu dalam kondisi terisi penuh setiap kali Anda menggunakannya kembali.

Daya tahan baterainya pun jempolan; Cloud Flight S mampu beroperasi sampai 30 jam nonstop dalam sekali pengisian. Keunikan lain dari Cloud Flight S adalah empat tombol pengoperasian yang terintegrasi pada salah satu sisi luar earcup-nya, dan fungsi tiap-tiap tombolnya ini dapat diprogram sesuai kebutuhan masing-masing.

HyperX Cloud Flight S

Kompatibel dengan PC atau PS4, Cloud Flight S mengandalkan sepasang driver neodymium berdiameter 50 mm, dengan respon frekuensi 10 – 22.000 Hz. Mikrofonnya dapat dilepas-pasang, dan HyperX tak lupa menyertakan indikator LED yang menunjukkan apakah mic-nya sedang dalam posisi mute atau tidak.

Di Amerika Serikat, HyperX Cloud Flight S saat ini telah dipasarkan seharga $160. Sayang banderol tersebut rupanya belum mencakup wireless charger-nya, tapi konsumen tentu dapat memakai miliknya sendiri selama charger tersebut sesuai dengan standar Qi.

Sumber: Business Wire.

Corsair Perbarui Mouse Gaming Khusus MOBA-nya

Razer punya Naga, Corsair punya Scimitar. Keduanya merupakan seri mouse gaming yang cukup populer di kalangan pemain MOBA maupun MMO. Alasannya tidak lain dari belasan tombol di sisi kiri yang membuat mereka menyerupai sebuah kalkulator, dan faktor inilah yang justru menjadi pertimbangan utama para konsumennya.

Tiga tahun setelah merilis Scimitar Pro RGB, Corsair kini meluncurkan Scimitar RGB Elite sebagai suksesornya. Seperti yang bisa kita lihat, bentuk dan desain keduanya hampir identik. Saya bilang hampir karena ada sedikit perubahan yang membuat Elite jadi lebih ringan (122 gram) daripada Pro (147 gram), tidak termasuk kabelnya.

Corsair Scimitar RGB Elite

Namun perubahan terbesarnya terletak pada sensor optiknya. Elite mengemas sensor PixArt PMW3391 dengan sensitivitas maksimum 18.000 DPI dan kecepatan tracking hingga 400 inci per detik. Bedanya memang tidak banyak mengingat Pro mengemas sensor 16.000 DPI, namun tetap saja Elite lebih superior di atas kertas.

Juga berbeda adalah switch Omron yang tertanam di balik tombol kiri dan kanannya, yang diklaim lebih tangguh karena bisa tahan sampai 50 juta klik (milik Pro cuma sampai 20 juta klik). Selebihnya, Elite masih mempertahankan segala keunggulan Pro, termasuk tentu saja total 17 tombol yang dapat diprogram sesuai kebutuhan.

Corsair Scimitar RGB Elite

12 tombol sampingnya juga tetap bisa digeser-geser posisinya supaya pengguna bisa mengepaskannya dengan jempol masing-masing. Layout-nya sendiri masih sama persis, dan samping kanannya juga masih dilapisi karet bertekstur kasar yang sangat nyaman dijadikan tempat beristirahat jari manis sekaligus kelingking.

Di Amerika Serikat, Corsair Scimitar RGB Elite saat ini telah dipasarkan seharga $80, sama persis seperti harga jual pendahulunya saat pertama dirilis.

Sumber: PC Gamer.

Razer DeathAdder V2 dan Basilisk V2 Unggulkan Switch Optis Beserta Sensor Focus+ yang Sangat Mumpuni

Razer Viper Ultimate yang dirilis Oktober lalu boleh dibilang merupakan gaming mouse paling inovatif yang pernah Razer buat. Di samping konektivitas wireless generasi baru, mouse tersebut turut mengunggulkan switch tombol bertipe optis dan sensor Razer Focus+ yang sangat mumpuni.

Dua fitur terakhir itu bakal menjadi standar untuk portofolio gaming mouse Razer ke depannya. Sebagai bukti, Razer baru saja menyingkap DeathAdder V2 dan Basilisk V2, dan keduanya sama-sama mengusung pembaruan dalam wujud switch optis beserta sensor Razer Focus+ itu tadi.

Razer Optical Switch / Razer
Razer Optical Switch / Razer

Dibanding switch mekanis, switch optis unggul dalam hal akurasi dan responsivitas karena mengandalkan sinar infra-merah untuk menerjemahkan klik pada tombol menjadi sinyal input. Penjelasan lengkapnya sempat saya bahas ketika Razer pertama menerapkannya pada Viper versi standar.

Mengenai sensor Focus+, Razer dengan bangga menyebutnya sebagai sensor yang paling gesit sekaligus paling presisi yang pernah mereka ciptakan. Secara teknis, sensor ini memiliki sensitivitas maksimum 20.000 DPI, sedangkan kecepatan tracking-nya mencapai angka 650 IPS.

Razer Focus+ Optical Sensor / Razer
Razer Focus+ Optical Sensor / Razer

Terakhir, DeathAdder V2 dan Basilisk V2 turut mengemas kabel Speedflex yang sangat fleksibel. Material khusus yang membalut kabelnya dirancang supaya pergeserannya di atas meja lebih mulus dan tidak menghambat kelincahan tangan pengguna.

Selebihnya, masing-masing mouse masih mempertahankan sekaligus sedikit menyempurnakan fitur khas pendahulunya. DeathAdder V2 misalnya, menawarkan ergonomi yang lebih baik lagi berkat lapisan tahan keringat beserta lapisan karet pada bagian sisinya.

Razer Basilisk V2 / Razer
Razer Basilisk V2 / Razer

Basilisk V2 di sisi lain menawarkan 11 tombol yang bisa diprogram (naik dari 8). Fitur andalan generasi sebelumnya, yakni tombol clutch di sisi kiri dan scroll wheel dengan tingkat resistensi yang adjustable, tentu masih tersedia di sini.

Kedua mouse saat ini sudah dipasarkan secara luas. Razer DeathAdder V2 dihargai $70, sedangkan Basilisk V2 dibanderol $80.


Sumber: Razer.

Gaming Mouse Asus ROG Chakram Dilengkapi Stik Analog Layaknya Sebuah Gamepad

Asus merilis sederet perangkat gaming di CES 2020, namun satu yang menurut saya paling mencuri perhatian adalah ROG Chakram, sebuah mouse serba bisa yang dilengkapi satu inovasi langka, yakni sebuah stik analog kecil di sisi kirinya.

Fungsinya tidak lain dari menggantikan joystick yang biasa terdapat pada gamepad. Kendati demikian, pengguna juga dapat memanfaatkannya sebagai tombol input empat arah yang semua fungsinya dapat diprogram sesuai kebutuhan.

Andai benar-benar tidak dibutuhkan, stik analog itu juga dapat dilepas dan diganti dengan cover penutup. Asus benar-benar memperhatikan aspek kustomisasinya; stik analognya hadir dalam dua ukuran yang berbeda demi menyesuaikan dengan ukuran ibu jari konsumen yang bervariasi.

Asus ROG Chakram

Juga menarik dari ROG Chakram adalah aspek modularnya. Tidak seperti mouse konvensional, kedua tombol utama ROG Chakram terpasang secara magnetis, sehingga pengguna dapat melepasnya dengan mudah. Usai dilepas, mereka juga bisa mengganti switch Omron yang terpasang dengan switch lain yang sejenis.

Lanjut ke bagian telapak tangan, cover penutupnya rupanya juga turut mengandalkan magnet. Lepas cover-nya, maka konsumen akan mendapati dongle USB yang tersimpan dengan rapi di baliknya. Andai latency bukan masalah, pengguna juga bisa menyambungkan ROG Chakram via Bluetooth.

Asus ROG Chakram

Dalam satu kali pengisian, baterai ROG Chakram bisa bertahan selama 48 jam pemakaian (79 jam kalau lampu RGB-nya dimatikan). Dalam mode Bluetooth, daya tahan baterainya mencapai angka 53 jam (100 jam tanpa lampu RGB). Selain menggunakan kabel USB, ROG Chakram juga dapat di-charge di atas Qi wireless charging pad.

Perihal performa, Asus ROG Chakram mengandalkan sensor optik dengan sensitivitas maksimum 16.000 DPI dan akurasi 400 IPS. Bobotnya yang berada di kisaran 122 gram juga dinilai optimal; tidak terlalu berat, tapi juga tidak kelewat ringan. Perangkat ini rencananya akan segera dijual seharga $150.

Sumber: Asus.

Corsair Akuisisi Produsen Controller High-End Scuf Gaming

Dua tahun terakhir ini Corsair cukup agresif memperluas portofolio produknya. Rute yang mereka ambil rupanya adalah rute instan, yakni dengan mengakuisisi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang di luar spesialisasinya.

Total sudah dua akuisisi yang mereka lancarkan; Origin PC di kategori custom PC, dan Elgato Gaming di ranah streaming video. Di penghujung tahun 2019 ini, akuisisi mereka bertambah satu lagi, yakni Scuf Gaming, yang dikenal lewat deretan gamepad high-end sekaligus modularnya.

Tidak disebutkan berapa mahar yang Corsair sediakan untuk menjadi pemilik baru Scuf. Scuf sendiri sudah berkiprah sejak tahun 2011, menciptakan berbagai controller untuk PlayStation, Xbox maupun PC, sekaligus membangun reputasi yang baik di kalangan komunitas esport.

Dibandingkan controller bawaan PS atau Xbox, controller bikinan Scuf banyak dicari karena menawarkan sejumlah keunggulan yang spesifik, macam back paddle yang dapat dilepas-pasang sesuai kebutuhan, atau fitur remapping tombol secara instan tanpa harus mengandalkan bantuan software.

Satu kekurangan produk-produk Scuf kalau menurut saya adalah ketersediaannya. Mencari produk Scuf di Indonesia sangatlah sulit, dan itu wajar mengingat mereka hanya memasarkan produknya secara resmi di Amerika Serikat dan Kanada. Kendala ini semestinya dapat diatasi oleh Corsair, yang skala operasionalnya memang sudah masuk skala global.

Corsair bilang bahwa ke depannya Scuf tetap akan beroperasi sebagai merek terpisah, yang berarti statusnya bakal menjadi anak perusahaan Corsair. Semoga saja akuisisi ini bakal berujung pada ketersediaan controller Scuf secara resmi di lebih banyak negara, termasuk Indonesia.

Sumber: Corsair.

Logitech G Adaptive Gaming Kit Lanjutkan Misi Mulia Xbox Adaptive Controller

Pada pertengahan tahun lalu, Microsoft memperkenalkan Xbox Adaptive Controller, sebuah periferal unik yang diciptakan secara khusus untuk para gamer dengan keterbatasan fisik. Bentuknya yang sepintas mirip dengan sebuah turntable itu sengaja dibuat agar kaum difabel tetap bisa menikmati sesi gaming meski mereka tidak mampu menggenggam gamepad.

Microsoft juga merancang perangkat ini sebagai sebuah hub, yang berarti ia bisa disambungkan dengan berbagai periferal tambahan, semisal tombol trigger besar yang dapat diinjak layaknya sebuah pedal. Masalahnya, harga periferal ekstra ini tidak murah; paling murah $40, dan itu hanya untuk satu tombol individual saja.

Logitech G Adaptive Gaming Kit

Kabar baiknya, dari awal pengembangan Xbox Adaptive Controller, Microsoft sudah mengajak sejumlah mitra guna memaksimalkan kompatibilitasnya. Salah satu yang diajak adalah Logitech, dan sekarang mereka sudah siap dengan penawarannya, yakni Logitech G Adaptive Gaming Kit.

Adaptive Gaming Kit diciptakan untuk melengkapi Xbox Adaptive Controller. Bundelnya mencakup 3 tombol kecil (diameter 35 mm), 3 tombol besar (diameter 65 mm), 2 tombol trigger berwujud pedal, dan 4 tombol pressure sensitive. Semuanya bisa diprogram sesuai kebutuhan, dan Logitech turut menyertakan sejumlah sticker untuk menandainya pasca konfigurasi.

Logitech G Adaptive Gaming Kit

Menemani tombol-tombol tersebut adalah dua jenis alas velcro, satu datar dan satu bisa ditekuk agar dapat, misalnya, dilingkarkan pada pergelangan tangan. Kustomisasi merupakan nilai jual utama Adaptive Gaming Kit, dan pengguna dibebaskan mengatur fungsi maupun posisi tombol-tombolnya sesuai selera dan kebutuhan masing-masing.

Namun bagian terpenting dari Adaptive Gaming Kit adalah harganya. Bundel lengkap ini bisa dibeli dengan harga $99 saja. Jadi dengan bermodalkan $200 (Logitech G Adaptive Gaming Kit + Xbox Adaptive Controller), penyandang disabilitas sudah bisa bermain game senyaman gamergamer lainnya.

Sumber: Logitech.

Mouse Gaming Wireless Logitech G604 Usung Segudang Pembaruan Dibanding Pendahulunya

Logitech punya mouse gaming wireless baru, G604. Suksesor langsung dari G603 ini membawa sangat banyak perubahan di beragam aspek, dan yang paling kentara adalah desain barunya.

Di mata saya, G603 yang dirilis dua tahun silam mengusung desain ergonomis yang tanggung. G604 menyempurnakannya dengan sebuah ‘sayap’ kecil di sisi kiri. Bentuknya memang berbeda dari milik Logitech MX Master 3, tapi premis yang ditawarkan sama, yakni untuk menjadi tempat bersandar ibu jari pengguna.

Logitech G604

Masih di sebelah kiri, jumlah tombolnya bertambah drastis dari yang cuma sepasang menjadi enam tombol macro pada G604, menjadikannya sangat ideal untuk game MMORPG maupun MOBA. Pada game Dota 2 misalnya, keenam tombol ini bisa diprogram untuk mengaktifkan masing-masing slot item, semuanya tanpa perlu mengandalkan keyboard satu kali pun.

Secara total, ada 15 tombol yang berbeda pada G604 yang semuanya bisa diprogram sesuai kebutuhan. Juga menarik adalah scroll wheel-nya yang bisa berganti mode antara klik-per-klik atau bergulir tanpa henti, sekali lagi mirip seperti fitur unggulan seri MX Master.

Logitech G604

Perihal performa, G604 ditenagai oleh sensor optik HERO 16K, upgrade terhadap sensor HERO generasi pertama yang diperkenalkan oleh pendahulunya. Sensor ini tak hanya menawarkan DPI maksimum hingga 16.000, tapi juga konsumsi energi yang sangat efisien.

Seirit apa? Dengan satu baterai AA saja, G604 dapat beroperasi hingga 240 jam nonstop jika menggunakan konektivitas Lightspeed (wireless berbasis dongle). Kalau yang digunakan adalah konektivitas Bluetooth, baterainya malah bisa tahan sampai 5,5 bulan.

Logitech G604

Konektivitasnya ini bisa diganti dengan satu klik tombol, dan ini berarti pengguna bisa berpindah perangkat dengan cara yang sama, sebab masing-masing tipe koneksinya bisa disambungkan dengan komputer yang berbeda; semisal Lightspeed di PC rumah, dan Bluetooth di laptop pinjaman kantor.

Logitech G604 dijadwalkan tersedia di pasaran global mulai musim semi mendatang. Harga yang dipatok jika merujuk situs resmi Logitech Indonesia adalah Rp 1.549.000.

Sumber: Logitech.