8 Turnamen Esports Paling Menarik di Indonesia di 2021

Jumlah penonton, views, dan hours watched biasanya menjadi tolak ukur dari kesuksesan sebuah turnamen esports. Biasanya, turnamen yang mendapatkan banyak penonton adalah kompetisi resmi dari game-game esports populer, seperti MPL dan PMPL. Namun, tidak adil rasanya jika kita hanya fokus pada kompetisi esports yang digelar oleh publisher. Karena itu, kali ini, Hybrid.co.id akan membuat daftar turnamen esports yang memberikan dampak positif pada ekosistem competitive gaming, walau jumlah penontonnya tidak sebanyak kompetisi esports resmi dari publisher.

Berikut delapan kompetisi esports yang memberikan dampak positif sepanjang 2021.

1. Indonesia Football e-League

Digelar pertama kali pada 2020, Indonesia Football e-League alias IFeL merupakan kompetisi yang mengadu eFootball PES. Satu hal yang membedakan IFeL dengan turnamen game sepak bola lainnya adalah kompetisi ini melibatkan tim-tim sepak bola dari Liga 1 dan Liga 2. Kepada Republika, CEO IFeL, Putra Sutopo mengatakan, dia punya dua tujuan untuk menggelar IFeL. Pertama, IFeL diharapkan bisa menjadi wadah bagi para pemain profesional untuk bertanding dengan satu sama lain. Kedua, IFeL bisa membuka kesempatan pada klub-klub sepak bola Indonesia untuk menjajaki dunia esports.

IFeL diikuti oleh tim-tim dari Liga 1 Indonesia. | Sumber: Bola

Pada Oktober 2021, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSIS) dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) menunjuk IFeL sebagai operator resmi dari kompetisi sepak bola virtual Indonesia. Dan per Oktober 2021, ada 12 klub dari Liga 1 yang ikut serta dalam IFeL. Setiap klub sepak bola diwakili oleh pemain PES ternama. Contohnya, PSS Sleman diwakili oleh Rizky Faidan, PSIS Semarang direpresentasikan oleh Muhammad Abdul Aziz, dan Persik Kediri yang mempercayakan namanya ke Eky Ramadhan.

2. Balap di Rumah

Sim racing memang bukan genre paling populer di industri esports. Meskipun begitu, sejak pandemi dimulai pada awal 2020, kompetisi sim racing berhasil mengisi kekosongan yang muncul karena banyak balapan di dunia nyata yang dibatalkan akibat lockdown. Jadi, tidak heran jika sepanjang 2020, skena esports sim racing tumbuh pesat, baik dari segi penonton maupun hadiah. Sejumlah balapan virtual bahkan ditayangkan di televisi, seperti eNASCAR.

Pada 2020, kompetisi Balap di Rumah pertama kali diadakan. Ketika itu, tema yang diangkat adalah “Race Against Pandemic”. Dianggap sukses, kompetisi tersebut kembali diadakan pada 2021. Di tahun ini, tim Balap di Rumah mengadakan balapan virtual bertajuk Ramadan Balap Indonesia (RBI). Sesuai namanya, balapan itu pun diadakan sepanjang bulan Ramadan, yaitu sejak pertengahan April hingga pertengahan Mei. Memang, salah satu tujuan dari kompetisi itu adalah untuk memeriahkan bulan puasa.

RBI diikuti oleh sejumlah pebalap ternama, baik pebalap di dunia nyata maupun pembalap virtual. Misalnya, dari Indonesia, ada pebalap FIA Silver Grade, Rama Danindro, pebalap rally Rizal Sungkar, pebalap Go-Kart Daffa Ardiansa, serta pebalap nasional Satrio Hermanto, seperti dikutip dari Kompas. Tak hanya itu, beberapa pebalap dari negara tetangga pun ikut serta dalam RBI, seperti pebalap Go-Kart asal Singapura, Dillan Tan dan drifter virtual Thailand, Thanatip Thanalapanan.

3. Women Star League

Jika dibandingkan dengan olahraga, industri game lebih inklusif karena siapapun bisa bermain game, terlepas dari kemampuan fisik, status ekonomi, maupun gender mereka. Namun, hal ini tidak menyetop munculnya stigma bahwa gamer perempuan pasti kalah jago dari gamer laki-laki. Tak hanya itu, masalah lain yang sering dihadapi oleh gamers perempuan, baik pemain amatir maupun profesional, adalah pelecehan.

Karena itu, beberapa pihak memutuskan untuk mengadakan turnamen khusus perempuan. Harapannya, kompetisi itu bisa menjadi wadah bagi pemain perempuan yang ingin mengasah kemampuannya dan menekuni karir sebagai gamer profesional.

Women Star League adalah liga esports khusus untuk pemain perempuan. | Sumber: Liga Game

Salah satu turnamen khusus perempuan yang diadakan di Indonesia adalah Women Star League (WSL). Kompetisi itu pertama kali diadakan pada akhir 2020 dan berlanjut hingga 2021. WSL Season 2 digelar pada Februari 2021, sementara Season 3 diadakan pada Juli 2021. Penyelenggara WSL, Indonesia Gaming League juga telah mengonfirmasi bahwa mereka akan mengadakan Season 4.

Saat pertama kali digelar, WSL berhasil mendapatkan peak viewers sebanyak 1,3 juta orang di hari pertama dan 1,2 juta orang di hari kedua, menurut laporan ONE Esports. Hal ini membuktikan, turnamen khusus perempuan juga tidak kalah menarik di mata para fans esports. Selain itu, dari musim ke musim, jumlah hadiah yang ditawarkan oleh WSL juga terus naik. Pada turnamen pertama, WSL menawarkan total hadiah sebesar Rp40 juta. Angka ini naik menjadi Rp50 juta di Season 2. Di Season 3, total hadiah dari WSL melonjak ke Rp110 juta. Dan pada WSL Season 4, total hadiah yang ditawarkan kembali naik menjadi Rp125 juta.

4. Piala Presiden Esports

Sama seperti game, pada esports, juga melekat stigma negatif. Kabar baiknya, pemerintah Indonesia punya pemikiran yang cukup terbuka dan siap untuk mendukung industri game dan esports. Salah satu bentuk dukungan yang pemerintah berikan pada industri esports adalah menggelar kompetisi esports di Piala Presiden. Hal ini membuat orang-orang yang sama sekali awam akan esports menjadi, setidaknya, tahu atau bahkan, ingin tahu lebih banyak tentang dunia competitive gaming.

Piala Presiden Esports pertama kali diadakan pada 2019. Kompetisi itu bisa terselenggara berkat kerja sama banyak pihak, mulai dari badan pemerintah, seperti Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) Kementrian Pemuda dan Olahraga (KEMENPORA), Kantor Staf Presiden (KSP), dan Kementrian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO), sampai pelaku industri esports, seperti Indonesia Esports Premiere League (IESPL) dan RevivalTV.

Piala Presiden Esports merupakan salah satu bentuk dukungan pemerintah pada industri esports.

Tahun 2020, Piala Presiden Esports kembali digelar. Ketika itu, salah satu game yang diadu adalah Ultra Space Battle Brawl, yang dirilis oleh Toge Productions. Sementara pada tahun ini, pemerintah ingin mendorong sports tourism melalui Piala Presiden Esports. Karena itu, Bali dipilih untuk menjadi tuan rumah dari Piala Presiden Esports.

5. Super Esports Series 2021

Dalam beberapa tahun belakangan, esports memang berhasil menarik perhatian banyak pihak, termasuk perusahaan non-endemik. Bentuk keterlibatan perusahaan non-endemik di industri esports bermacam-macam, mulai dari mensponsori pemain/tim profesional, menjadi sponsor turnamen, sampai menggelar turnamen esports sendiri.

Superchallenge merupakan salah satu piihak yang tertarik untuk mengadakan kompetisi esports sendiri. Kompetisi yang Superchallenge adakan bernama Super Esports Series 2021. Ada dua game yang diadu di sana, yaitu eFootball PES dan PUBG Mobile. Superchallenge menyediakan total hadiah sebesar Rp300 juta, yang dibagi dua secara merata untuk kompetisi eFootball PES dan PUBG Mobile.

“Super Esports Series 2021 akan mempertandingkan dua game yang populer yaitu PES dan PUBG Mobile. Kompetisi ini diharapkan dapat mendorong anak muda Indonesia agar mampu berprestasi di kancah esports nasional dan kelak dapat mengharumkan nama bangsa di level dunia. Dan di sisi lainnya dapat memajukan ekosistem esports yang ada di Indonesia,” kata Dhanny Winata Hoeniarto, seperti dikutip dari SuperLive.

6. Oxtrade Tournament Season 2: Dota 2

Mengingat Indonesia adalah negara mobile-first, tidak heran jika mobile game lebih populer daripada game PC atau konsol. Alhasil, skena esports yang berkembang pun kebanyakan berbasis mobile game, seperti Mobile Legends, PUBG Mobile, dan Free Fire. Namun, hal itu bukan berarti ekosistem esports dari game PC sudah sama sekali mati. Buktinya, Indonesia masih punya tim Dota 2. Selain itu, dua pemain Indonesia juga berhasil bertanding di The International 10. Hal ini menunjukkan, ekosistem esports Dota 2 di Indonesia belum mati.

Dota 2 menjadi salah satu game yang diadu dalam Oxtrade Tournament Season 2.

Di 2021, salah satu turnamen Dota 2 yang digelar di Indonesia adalah Oxtrade Tournament Season 2. Turnamen yang diselenggarakan oleh Yamisok itu dimulai dengan babak kualifikasi pada 22-27 November 2021. Setelah itu, final mingguan diadakan pada 28 November 2021 dan babak playoffs diselenggarakan pada 11-12 Desember 2021. Pada tim yang keluar sebagai juara, Oxtrade Tournament Season 2 menawarkan hadiah uang sebesar Rp30 juta. Sementara juara 2 akan mendapatkan uang sebanyak Rp20 juta dan juara 3 memenangkan Rp10 juta.

7. PON XX Papua 2021

Setelah menjadi cabang olahraga eksibisi di Asian Games 2018 Jakarta dan menjadi cabang olahraga medali pada SEA Games 2019 Manila, esports menjadi bagian dari Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua 2021. Ada empat game yang diadu dalam ajang olahraga bergengsi tersebut, yaitu eFootball PES 2021, Mobile Legends, PUBG Mobile, dan Free Fire.

Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI) mengungkap, dengan dimasukkannya esports sebagai cabang olahraga di PON XX Papua, mereka berharap, mereka akan dapat menemukan atlet esports berbakat yang bisa mewakili Indonesia di kompetisi esports level internasional. Para pemain esports terbaik di PON XX Papua akan diundang untuk ikut dalam training camp. PBESI akan turun tangan langsung dalam pelatihan dari atlet-atlet tersebut.

8. Lokapala Minor League

Kebanyakan game esports yang populer di Indonesia merupakan game buatan developer asing. Kehadiran Lokapala diharapkan bisa mengubah hal itu. Lokapala merupakan mobile MOBA yang dibuat oleh developer lokal, Anantarupa Studios dan diluncurkan di bawah publisher Melon Indonesia, anak perusahaan Telkom. Lokapala diharapkan bisa menjadi game esports asal Indonesia. Untuk merealisasikan hal itu, salah satu usaha yang Melon Indonesia lakukan adalah dengan mengadakan Lokapala Minor League, yang menawarkan total hadiah sebesar Rp50 juta.

Jeet Esports yang memenangkan Lokapala Minor League. | Sumber: Liputan 6

Lokapala Minor League dimulai dengan babak kualifikasi undangan, yang diadakan pada April-Mei 2021, menurut Berita Satu. Sementara itu, babak kualifikasi terbuka digelar pada Juli 2021. Tim-tim yang lolos babak kualifikasi akan bertanding di babak playoffs. Jeet Esports keluar sebagai juara Lokapala Minor League setelah mengalahkan ArchAngel di babak final dengan skor 3-0.

SEACL 2021 Selesai Digelar, Indonesia Rengkuh Posisi 3

SEACL 2021 baru aja selesai digelar, ajang tahunan PES yang musim ini digelar secara online mempertemukan para jagoan PES dari 8 negara di kawasan Asia Tenggara: Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Vietnam, Thailand, termasuk Indonesia.

Dimulai sejak tahun 2015, kompetisi SEACL berawal dari komunitas online di sosial media, baru pertama kali digelar secara offline pada tahun 2016 di Kota Hanoi, Vietnam. Berlanjut 2017 diadakan di Kota Bandung, Indonesia; 2018 di Kuala Lumpur, Malaysia; dan 2019 Bangkok Thailand tahun dimana Rizky Faidan meraih Juara Asia dan Tim WANI menjadi Tim COOP Runner-up World Finals. Tahun 2020 gelaran SEACL harus batal terselenggara dikarenakan pandemi, dan di Tahun 2021 ini, Liga1PES sebagai wadah sekaligus organizer kembali menggulirkan ide “kembali ONLINE” untuk SEACL musim ini.

“Awal-nya agak kurang pede sih, karena melihat kondisi pandemi dan juga cukup lama vakum dari komunitas esports PES sejak awal pandemi.”, ujar Valent selaku Founder Liga1PES. Tapi alhasil event yang bisa dibilang “iseng”, justru mendapat respon sangat positif dan antusiasme yang luar biasa tidak hanya komunitas di Indonesia, melainkan juga komunitas regional di Asia Tenggara, terbukti 7 negara mengkonfirmasi keikutansertaan mereka di musim ini dengan menggelar kualifikasi di negara mereka masing-masing dan mengirimkan wakilnya untuk berpartisipasi di putaran final SEACL 2021 Online 28-29 Agustus kemarin.

Di musim sebelumnya, SEACL menggunakan format individu dimana setiap negara yang mengirimkan 4 orang wakil, setiap pemain yang dikirimkan akan bertanding secara individu, sehingga gelar Juara akan diperoleh oleh individu yang berhasil menjadi pemenang di babak Final. Sedangkan di musim 2021 memiliki format yang berbeda, meski setiap negara mengirimkan jumlah personil sama yaitu 4 orang, tapi kali ini mereka akan bermain sebagai SATU TIM mewakili negara masing-masing, sehingga penampilan 1 orang akan mempengaruhi keseluruhan Tim atau Negara tersebut. Hal tersebut dilakukan karena melihat perkembangan esports PES sekarang ini yang terus berkembang menuju format kompetisi menggunakan Tim, seperti Eleague Thailand dan Efootball.Pro di Eropa.

Format TIM yang digunakan pada SEACL kali ini menggunakan format 3 GAMES, yaitu 1v1, COOP 2v2 dan 1v1. Kualifikasi Indonesia musim ini pun diselenggarakan berbeda dimana kualifikasi dilakukan terbuka hanya untuk pemain yang belum memiliki pengalaman di tingkat PRO atau yang belum pernah bermain di kompetisi PRO. Alhasil 4 pemain Indonesia yang berhasil lolos dan menjadi wakil Indonesia di SEACL kali ini adalah para pemain yang memang secara pengalaman belum memiliki jam terbang di level internasional. Dan inilah yang menjadi VISI Liga1PES dengan event SEACL kali ini.

“Kami mengharapkan Liga1PES melalui SEACL bisa menjadi wadah bagi para pemain PES Indonesia yang mau memulai karir di esports untuk berkembang ke tingkat yang lebih tinggi, baik secara skill, mental, maupun pengalaman bertanding. Yang diharapkan melalui wadah ini Indonesia bisa terus melahirkan pemain-pemain PRO baru seperti Faidan dkk yang lahir dari tahun-tahun sebelumnya yang sekarang banyak dari mereka mulai memiliki karir dengan klub-klub sepakbola atau esports PRO, baik di Liga Thailand atau IFEL yang ada di Indonesia.” Kata Valent.

SEACL 2021 berlangsung selama 2 hari, Hari Sabtu 28 Agustus dimulai dengan babak grup dimana seluruh negara bertanding dengan format “Round Robin” yang hasilnya 4 negara teratas berhak lolos dan tampil ke babak gugur yang dimainkan Hari Minggu. Indonesia berhasil menduduki posisi runner-up selisih 1 POIN di bawah Vietnam, diikuti oleh Malaysia dan Thailand.

Sebagai pemuncak dan runner-up klasemen Vietnam & Indonesia berhak menempati “Upper Bracket” di babak gugur, sedangkan Malaysia & Thailand yang berada di posisi 3 & 4 babak grup harus memulai babak gugur dari posisi “Lower Bracket”. Pertemuan pertama Tim Indonesia dengan Tim Vietnam yang berisikan 4 pemain PRO yang berlaga di ELeague Thailand di babak grup, Tim Vietnam benar-benar menghajar habis-habisan tim Indonesia dengan memenangkan seluruh 3 GAME tanpa balas. 4-2, 2-1, dan 2-0.

Memasuki babak gugur Hari Minggu, kepercayaan diri Tim Indonesia sebenarnya cukup tinggi dan sangat siap menghadapi Tim Vietnam, tapi pengalaman para pemain Vietnam di liga PRO memang menjadi salah satu aspek terpenting dalam kompetisi setingkat SEA yang hasilnya, Tim Indonesia harus kembali mengakui keunggulan Tim Vietnam dan harus turun ke “Lower Bracket” untuk bersaing dengan Tim Malaysia yang berhasil unggul atas Thailand pada putaran pertama “Lower Bracket”.

Indonesia yang tampil sangat baik di putaran babak grup, lagi-lagi harus menelan pil pahit melawan Tim Malaysia yang berisikan juga para pemain PRO, termasuk 2 pemain Asian Games 2018 yang bermain di kategori COOP. Jika di babak grup Indonesia mampu memenangkan 2 GAME melawan Tim Malaysia dengan skor 2-2 PK, 1-0, 4-2, di babak grup justru Tim Malaysia berhasil membalikkan keadaan dengan penampilan memukau mereka dan mengalahkan Tim Indonesia dengan memenangkan 2 GAME langsung 2-2 PK dan 2-1. Alhasil Indonesia gagal lolos ke babak Grand Final dan harus puas sebagai Tim posisi ke-3 di babak grup.

Seluruh pertandingan Tim Indonesia dapat disaksikan melalui channel youtube Liga1PES: youtube.com/liga1pes

Di babak Grand Final, Tim Vietnam benar-benar mendominasi pertandingan, meski Tim COOP Malaysia mencuri 1 GAME dari Tim Vietnam, namun dominasi dan pengalaman pemain Vietnam di musim ini benar-benar menjadikan mereka layak sebagai Juara di regional SEA. Skor 5-1, 1-2, dan 5-0 memastikan Vietnam keluar sebagai Juara SEACL musim 2021.

Tetap semangat untuk Tim PES Garuda SEACL 2021! Jangan patah semangat, terus bermimpi untuk meraih prestasi! Kompetisi bukan soal memenangkan segalanya, tapi kompetisi untuk kita terus bertumbuh dan menjadikan pribadi kita yang lebih baik dari sebelumnya. GO esports & PES Indonesia!

Artikel ini ditulis oleh Valentinus Sanusi, founder dari Liga1PES. Penyesuaian ringat untuk tulisan agar sesuai dengan arahan media Hybrid.co.id. 

eFootball Pamerkan Gameplay Baru, Tunjukkan Mekanisme yang Lebih Detail

Pasca pengumuman perubahan nama dari seri game sepak bola andalan Konami, dari Pro Evolution Soccer atau PES menjadi eFootball pada Juli lalu, memang muncul sejumlah kekhawatiran dari para fans atas masa depan game ini. Apalagi selain nama, eFootball juga mengubah sistem game tahunannya menjadi free-to-play.

Seakan menjawab semua pertanyaan dari para fans, Konami akhirnya merilis video gameplay baru pada gelaran Gamescom. Dalam video berdurasi hampir 7 menit tersebut Konami cukup blak-blakan memamerkan berbagai hal baru yang akan mereka suntikkan ke dalam eFootball.

Yang pertama tentunya adalah implemetasi engine baru yaitu Unreal Engine 4 yang menggantikan Fox engine. Pergantian engine ini tentu memberikan Konami berbagai keunggulan dari sisi visual maupun mekanis gameplay ketimbang Fox Engine yang telah digunakan sejak PES 2014.

Meskipun begitu, Konami tetap lebih memfokuskan videonya pada perkembangan mekanis gameplay yang akan ditawarkan pada eFootball nantinya. Sebelumnya Konami juga mengatakan akan merombak ulang animasi serta kontrol yang akan digunakan pemain dalam menyerang dan juga bertahan.

Salah satu yang menjadi prioritas Konami kelihatannya ada pada konfrontasi duel satu lawan satu yang sering terjadi di sepak bola. Sistem pengendalian bola kini dibuat lebih luwes untuk memungkinkan penyerang dapat bergerak lebih bebas untuk melewati para bek.

Image credit: Konami

Di sisi lain bek kini juga bisa mengantisipasi serangan baik itu dengan memotong umpan atau bahkan kini berduel fisik dengan penyerang untuk mendapatkan bolanya. Konami juga ikut merombak ulang sistem pelanggaran yang akan menyesuaikan dengan sistem duel baru tersebut.

Selain itu, eFootball juga menjanjikan berbagai update di masa depan termasuk “sharp kick“, kemampuan untuk mengecoh pertahanan yang lebih bebas, tendangan spesial yang nantinya akan memberikan kemampuan khusus untuk mengeksekusi tendangan, umpan, ataupun umpan lambung yang butuh waktu untuk dieksekusi.

Image credit: Konami

Dan yang terakhir adalah Konami menjanjikan adanya implementasi fitur haptic feedback dan adaptive trigger kepada para pemain PlayStation 5 yang memainkan eFootball menggunakan DualSense.

Sayangnya Konami masih belum memiliki tanggal rilis pasti untuk game eFootball ini. Mengingat game-nya kini beralih menjadi game-as-service maka kemungkinan besar game ini tidak akan memiliki fitur lengkap saat dirilis, namun berbagai fitur baru akan disuntikkan sebagai update di masa depan.

Konami menjanjikan bahwa eFootball ini nantinya akan tersedia di hampir semua platform mulai PC, PlayStation 4, PlayStation 5, Xbox One, Xbox Series X|S, dan bahkan untuk Android serta iOS.

Pemain Asal Indonesia ZEUS_ELUL Berhasil Juarai Turnamen PES eFootball Open World Finals 2021

Konami selaku publisher dari eFootball PES 2021 baru saja menghelat turnamen kelas internasional. Turnamen bernama eFootball Open ini mempertemukan pemain-pemain PES terbaik di dunia. Turnamen ini dihelat secara online karena pandemi COVID-19 yang masih melanda dan digelar dalam 6 divisi yakni PS4 Japan, PS4 Asia, PS4 Europe, PS4 United States, XBOX One, serta PC Steam.

Pemain dari Indonesia sendiri tergabung dalam divisi PS4 Asia dan bertanding melawan pemain-pemain lainnya di kawasan Asia seperti Thailand, Singapura, Malaysia, dan negara Asia lainnya. Menariknya 4 pemain Indonesia berhasil lolos ke dalam babak finals sekaligus mengunci kemenangan Indonesia jauh-jauh hari. 4 pemain Indonesia tersebut adalah ZEUS_ELUL, ZEUS_Faidan, ZEUS_ELGA, dan aji_battle208.

Lewat pertempuran sengit sesama pemain Indonesia akhirnya ZEUS_ELUL berhasil memenangkan turnamen eFootball Open World Finals 2021 ini. Pada babak semifinal ZEUS_ELUL yang menggunakan club Juventus berhasil mengalahkan ZEUS_Faidan yang memakai tim AS Roma dengan skor 2-1. Selanjutnya pada partai frand final ZEUS_ELUL berhadapan dengan aji_battle208 yang memakai tim MU. Hujan gol tercipta pada laga ini dengan skor akhir 5-3 untuk kemenangan ZEUS_ELUL.

Turnamen eFootball Open PES 2021 sendiri merupakan turnamen online yang dilaksanakan dari akhir tahun 2020 hingga pertengahan tahun 2021 ini. Total sebanyak lebih dari 1 juta pemain dari seluruh dunia mengikuti turnamen ini. Total hadiah yang diperebutkan masing-masing divisi yakni sebesar US$40.000 atau sekitar Rp580 juta.

Image Credit: Liga1pes

Keberhasilan pemain-pemain Indonesia di pentas esports Pro Evolution Soccer menjadikan nama Indonesia patut diperhitungkan. Pemain-pemain PES asal Indonesia mulai bersaing ketat dengan pemain-pemain asal Asia maupun dunia lainnya 3 tahun terakhir ini. ZEUS_ELUL pemain dengan nama asli yakni Elul Wibowo berhak atas hadiah juara pertama sebesar US$15.000 atau sekitar Rp218 juta.

Kita lihat saja bagaimana kiprah Indonesia dalam pentas esports Pro Evolution Soccer ke depannya. Sebelumnya ada nama Rizky Faidan yang sempat menjadi sorotan pada tahun 2019 lalu. Pemain berusia 18 tahun asal Bandung ini berhasil menjuarai PES League Asia dan semifinalis PES League World Finals pada tahun 2019 serta juara Toyota e-League pada tahun 2020 silam.

PES Jadi eFootball, Resmi Akan Hadir Free to play

Sebuah lompatan yang menarik dilakukan KONAMI untuk game genre olahraga mereka yaitu PES. Mereka mengubah nama judul game ini menjadi eFootball dan mengubah skema pembelian game jadi gratis dengan in app purchse (DLC) dalam game.

Rumor tentang rilis secara gratis dari game eFootball ini memang sudah muncul beberapa waktu lalu namun lewat pengumuman resmi dari Konami yang kami dapatkan via email, menjadikan keputusn ini sudah diketok palu. eFootball akan jadi gratisan. Tidak hanya itu, game ini juga akan jadi game lintas platform antara konsol, PC dan perangkat mobile.

Nama eFootball sendiri sebenarnya sudah bersama game PES, yaitu sebagai program esports atau turnamen resmi mereka. Selain itu, tambahan kata eFootball sendiri sudah muncul secara kentara di PES 2020 yang dinamakan eFootball PES2020. Namun nampaknya Konami tidak ingin membuat pengguna pusing dan menjadikan namanya jadi eFootball saja.

eFootball dikembangkan menggunakan Unreal Engine dan akan tersedia musim gugur atau mendekati akhir tahun di Indonesia. Kemungkinan antara September – November. Dalam rilis reminya disebutkan bahwa game ini di buat ulang menggunakan Unreal Engine dan dijanjikan memberikan pendekatan yang baru dari game yang bisa dibilang dedengkot game sepak bola yang sudah mendarah daging bagi penggemar genre game ini.

Tidak seperti game lapak sebelah alias FIFA 22, eFootball akan dikembangkan dengan acuan tidak hanya untuk next gen console tetapi juga konsol lama seperti PS 4, Xbox One, bahkan juga akan tersedia untuk perangkat berbasis iOS dan Android. Namun tetap, pemain bisa menikmati pengalaman grafis yang lebih tinggi jika menggunakan next gen console.

Masih dikutip dari rilis, janji apa saja yang akan dihadirkan oleh Konami di nama baru ini? Konami melakukan modifikasi dari engine Unreal yang digunakan untuk game ini dan akan menjadi engine dari seri ini dalam beberapa tahun ke depan. Konami juga menyebutkan bahwa kolaborasi antara pemain bintang dengan teknologi yang ada di generasi konsol baru memungkinkan mereka menghadirkan game yang paling realists saat ini (klaim mereka).

Animasi dalam game juga disebutkan dirombak. Konami menyebut teknologi yang digunakan untuk meng-capture gerakan para pemain mereka sebagai Motion Matching. Proses ini memungkinkan pengembang game mengambil data gerakan menjadi animasi dan memilih yang paling akurat secara realtime. Sistem ini menyediakan 4 kali lebih banyak animasi dari yang sebelumnya.

Sama seperti EA di FIFA 22, premis yang digembar-gemborkan adalah pengalaman yang lebih real dalam bermain sepak bola. Gameplay yang realistis ini memang jadi semacam tujuan utama yang ingin dikejar dua genre sepak bola paling besar di ranah gamers, seri FIFA dan eFootball (PES).

Namun yang menqarik dari eFootball adalah, gameplay hasil teknologi Motion Matching akan bisa juga dinikmati di semua platform eFootball tersedia, termasuk mobile.

Untuk gameplay memang akan terus di-update informasinya oleh Konami, jadi dalam rilis memang belum banyak yang dijelaskan. Namun satu lompatan besar yang dilakukan untuk seri ini adalah menjadi game gratisan untuk semua platform. Yes, saya jadi bisa nabung untuk beli FIFA 22 dan mengunduh gratis eFootball. 😀

Kabar buruk untuk kolektor game fisik, eFootball hanya akan tersedia secara digital dengan penambahan konten dan mode game akan dilakukan secara rutin setelah game resmi dirilis nanti. Kalau tersedia gratis, gimana Konami dapat duitnya? Nah ini yang menarik.

Tentu saja jawabannya adalah DLC. Jika biasaya update pemain atau konten lain kita hanya membutuhkan kuota internet dan kuota hard disk saja, kini Anda juga harus menyiapkan uang. Karena Konami akan menjual mode game secara terpisah dengan model DLC. Dalam peluncuran, yang tersedia gratis adalah pertandingan lokal dengan klub seperti FC Barcelona, Juventus, FC Bayern, Manchester United dan beberapa tim lain. Hmm…sepertinya di FIFA 22 tetap tidak akan ada nama Juventus. 😀

Sebenarnya konten terbatas untuk game gratisan ini jadi mirip versi demo. Kebetulan untuk PES seri tahun lalu saya mengunduh hanya versi demo saja. bisa memainkan beberapa menu tetapi kalau mau full harus membeli game secara lengkap. Nah, model DLC ini bisa jadi mirip dengan itu tetapi tentunya dengan integrasi yang lebih halus.

Konami juga menyebutkan bahwa pengalaman yang fair dan seimbang akan mereka hadirkan untuk berbagai platform, jadi kemungkinan besar kita tidak akan lagi melihat game mobile PES terlalu cupu untuk dimainkan tim konsol. Pengalaman yang sama ini tentunya sangat dibutuhkan jika Konami memang akan menjual jargon cross-platform sebagai jualan utama mereka.

Dalam peluncurannya, hanya versi mobile yang akan abses untuk dikembangkan terakhir. Sisanya, pemain bisa menikmati pengalaman yang sama untuk eFootball.

Lebih lengkap tentang roadmap pengembangan dan rilis, termasuk rencana esports eFootball bisa dilihat di sini (saya kutip langsung dari rilis):

Early Autumn:

  • All-new gameplay experience, powered by Unreal® Engine
  • Cross-generation matchmaking (i.e. PlayStation®5 vs. PlayStation®4, Xbox Series X|S vs. Xbox One)
  • Local Matches featuring FC Barcelona, Juventus, FC Bayern, Manchester United and more

Autumn:

  • Cross-platform matchmaking between consoles and PC (i.e. PlayStation®5 vs. Xbox Series X|S, PlayStation®5 vs. PC Steam®, etc.)
  • Team Building Mode (Name TBC) opened – build your own team by acquiring players
  • Online Leagues (Name TBC) opened – take your original team and compete in a global, competitive league
  • Match Pass system – earn items and players by playing eFootball™ 

Winter:

  • Mobile controller support added
  • Full cross-platform matchmaking across all available platforms including mobile when using a compatible controller
  • Professional and amateur esports tournaments kick-off

Sedih juga rasanya, sebagai pemain Winning Eleven (WE) kelas warung Indomie waktu masa kuliah dan sekarang berkhianat menjadi pemain FIFA, rasa nostalgia untuk judul game ini tidak akan lepas dalam ingatan. Namun era memang sudah berubah. Agak menarik memang ketika Konami mulai menyasar pengguna mobile untuk judul game konsol/PC mereka. Sejauh yang saya tahu, peminat untuk game PES versi mobile di Indonesia (sebagai contoh) tidak sedikit. Apakah ini juga dilihat Konami sebagai masa depan gamers game sepak bola mereka? Bisa jadi.

Cross-platform memang menjadi salah satu perkembangan di dunia game selain metaverse. Saya sendiri penganut ‘isme’ bahwa game seharusnya tidak eksklusif di satu platform, bisa dimainkan di banyak platform bahkan harusnya fitur save-nya pun bisa cross platform.

Menjadi menarik sebenarnya melihat seperti apa nanti game eFootball ini ketika dirilis, dan bagaimana kemampuan Konami untuk menghadirkan pengalaman yang sama untuk semua platform. Apakah pengalamannya bisa benar-benar sama, termasuk apakah nanti esports-nya juga akan dijalankan antar platform?

Oh ya sampai lupa. Salah satu jualan game sepak bola adalah ambasador alias muka dari game ini. Kalau FIFA 22 menggunakan Mbappe sebagai ambasador utama dan beberapa pemain lain di trailer mereka. eFootball memilih Lionel Messi dan Neymar Jr. sebagai muka utama game mereka. Sedangkan Andrés Iniesta dan Gerard Piqué menjadi bagian dalam pengembangan game sebagai advisors untuk gameplay di sisi penyerangan dan pertahanan. 

Info lengkap tentang game dan tautan media sosial untuk mendapatkan update selanjutnya bisa dilihat di sini.

PS: Muka Messi kok kerasa memelas gitu ya di web resmi? Apakah karena dia dipotong gajinya di kontrak yang baru? 😀

Mampukah Esports Berkembang Tanpa Dukungan Langsung dari Sang Publisher?

Perkembangan esports sedang begitu digembar-gemborkan belakangan ini, terutama ketika pandemi menyerang. Banyak publikasi ataupun lembaga riset yang memproyeksikan masa depan esports. Newzoo misalnya, memproyeksikan angka pemasukan esports akan mencapai US$1,084 miliar pada tahun 2021 ini dengan perkiraan jumlah penonton mencapai 474 juta orang.

Memang benar esports sedang berkembang pesat. Tetapi ada satu pola dalam perkembangan esports yang mungkin bisa jadi masalah. Hal tersebut adalah bentuk ketergantungan dengan pihak pertama alias developer atau publisher game esports terkait.

Bermula dari hal tersebut, muncul tanda tanya tersendiri. Apakah esports bisa berkembang tanpa dukungan developer ataupun publisher game? Dalam artikel ini tim redaksi Hybrid mencoba mengupasnya dari sudut pandang global yang lalu dikerucutkan ke sudut pandang lokal.

 

Alkisah Sebuah Game Bernama Heroes of The Storm

Video milik Akshon Esports menjadi pengantar saya dalam membahas topik ini. Pada salah satu videonya, Akshon Esports membahas Heroes of the Storm, sebuah game MOBA yang di-develop dan di-publish oleh Blizzard Entertainment.

Kisah Heroes of the Storm menarik untuk diulas karena beberapa hal. Pertama, Heroes of the Storm sendiri yang memang punya konsep baru nan segar di ranah MOBA dengan menghilangkan sistem item dan sistem level individual.

Kedua, Heroes of the Storm sempat jaya sebagai esports sampai akhirnya Blizzard melepas dukungannya sehingga skena esports game tersebut jadi hampir hancur luluh lantah.

Sekarang, mari saya ceritakan bagaimana Heroes of the Storm hadir ke pasaran. Walaupun Warcraft III (besutan Blizzard) bisa dibilang moyangnya game MOBA seperti Dota 2 dan League of Legends, namun uniknya Blizzard malah ketinggalan masuk ke pasar MOBA.

League of Legends rilis di tahun 2009. Dota 2 rilis di tahun 2013. Heroes of the Storm baru dirilis Blizzard tahun 2015 ketika sudah ada banyak iterasi genre MOBA yang datang dan pergi. Walau terlambat muncul, Heroes of the Storm membawa konsep yang segar.

Seperti yang saya sebut sebelumnya, Heroes of the Storm tidak memiliki item. Sebagai gantinya, Blizzard membuat sistem Talent yang bisa diambil pada level tertentu dan bersifat memperkuat atau menambah skill tertentu. Sistem talent menjadi inovasi yang besar bagi genre MOBA, bahkan sampai ditiru oleh Dota 2.

Heroes of the Storm juga tidak memiliki level individual. Pada MOBA, masing-masing pemain biasanya punya level karakter masing-masing saat bertanding. HoTS tidak, level karakter dikumpulkan secara kolektif oleh tim. Semakin sering sebuah tim memenangkan peperangan, maka semakin cepat juga naik levelnya.

Keunikan terakhir yang ditawarkan oleh HoTS adalah variasi map dengan objektif memenangkan pertandingan yang juga beragam. Dalam MOBA umumnya, objektif permainan cuma satu: mendesak musuh, menghancurkan tower demi tower sampai salah satu tim bisa menghancurkan bangunan inti milik musuh. HoTS berbeda.

Tujuan utamanya tetap menghancurkan bangunan inti. Namun, cara untuk mencapainya berbeda-beda. Pada satu map Anda harus merebut area tertentu agar bisa berubah menjadi naga; yang bisa membantu menghancurkan bangunan inti.

Pada map lain, Anda harus mengumpulkan biji tanaman untuk berubah menjadi monster; yang juga akan membantu Anda menghancurkan bangunan inti. Bahkan, Anda bisa juga tidak perlu menghancurkan tower demi tower untuk bisa hancurkan bangunan inti.

Berkat keunikan yang ditawarkan, Heroes of the Storm muncul menjadi MOBA yang punya penggemarnya tersendiri. Terlebih, Heroes of the Storm juga menawarkan karakter-karakter dari semesta Blizzard yang memang sudah banyak dikenal pemain, seperti Arthas dari World of Warcraft, Sarah Kerrigan dari StarCraft, Tyrael dari Diablo, Genji dari Overwatch, bahkan trio viking dari game jadul The Lost Vikings.

Perkembangan tersebut disambut positif juga oleh Blizzard dengan menghadirkan skena esports profesional yang menjanjikan karir. Pada masanya, esports Heroes of the Storm juga menjadi salah satu pionir.

Kala itu tepatnya tahun 2015, Blizzard menghadirkan turnamen bertajuk Heroes of the Dorm. Turnamen tersebut merupakan turnamen antar universitas yang berhadiah beasiswa bagi para pemenangnya. Heroes of the Dorm juga terbilang menjadi salah satu tayangan esports pertama yang hadir di saluran televisi ESPN pada masa itu.

Setelah Heroes of the Dorm hadir dan cukup sukses, Blizzard pun mencoba meningkatkan skala kompetisi game Heroes of the Storm dengan menghadirkan Heroes Global Championship (HGC). HGC merupakan sebuah sirkuit turnamen yang hadir di beberapa negara seperti Australia/New Zealand, China, Europe, Korea, Latin America, North America, dan Southeast Asia.

Kehadiran HGC memberikan menjadi angin segar bagi para pemain kompetitif karena memberi janji karir di masa depan. Kehadiran HGC juga berhasil menarik minat tim-tim esports profesional seperti Dignitas, Fnatic, Tempo Storm, dan Gen.G.

HGC berjalan secara rutin setiap tahun sejak tahun 2016, membuat tim dan para pemain merasa cukup percaya diri untuk terus melanjutkan perjuangannya di skena Heroes of the Storm. Namun pada 2018, satu berita mengejutkan datang dari Blizzard.

Melalui sebuah blog post yang terbit tanggal 13 Desember 2018, Blizzard mengumumkan penarikan mundur semua dukungan terhadap esports Heroes of the Storm. Blizzard tidak akan melanjutkan seri kompetisi HoTS yang artinya tidak akan ada Heroes of the Dorm dan Heroes Global Championship di tahun 2019.

Walaupun Blizzard tak lagi mendukung esports HoTS, mereka masih terus mengembangkan, memberikan update, perbaikan, serta konten baru untuk Heroes of the Storm.

Tanpa dukungan investasi dari Blizzard, esports Heroes of the Storm menjadi penuh ketidakpastian. Para pemain bisa saja ikut turnamen-turnamen pihak ketiga. Namun, turnamen pihak ketiga cenderung terbatas jumlah hadiahnya. Tanpa hadiah ataupun jaminan finansial yang pasti, pemain jadi tak punya alasan lagi untuk terus berkompetisi di Heroes of the Storm.

Beberapa pemain mulai pindah game agar dapat menyambung hidup. Rich, pemain tim Gen.G divisi Heroes of the Storm contohnya. Ia pindah ke League of Legends pasca kejadian tersebut. Ada juga Psalm, mantan pemain Tempo Storm yang sempat transisi ke skena Fortnite dan mendapat posisi runner-up di Fortnite World Cup 2019.

Lalu bagaimana kabar pemain yang tidak memutuskan untuk pindah? Dalam keadaan mati suri, inisiatif komunitas ternyata menjadi fenomena yang patut diacungi jempol dalam skena Heroes of the Storm, terutama di Amerika Serikat. Pihak ketiga bernama HeroesHearth muncul menjadi “pahlawan” bagi skena kompetitif HoTS di Amerika Serikat.

HeroesHearth mengawali perjuangannya menjaga esports HoTS terus berdenyut lewat turnamen invitational berhadiah US$5000. Setelahnya mereka juga menghadirkan turnamen bertajuk Fight Night, pertandingan kecil-kecilan dengan hadiah ratusan US$ saja. Skena bentukan komunitas tersebut terus berkembang sampai akhirnya kini menjadi Community Clash League (CCL).

Community Clash League tergolong berjalan cukup rapih dan terstruktur, walaupun sebenarnya hanya dijalankan oleh komunitas. Hadiah yang ditawarkan pun juga cukup menarik.

Lewat donasi dari komunitas, CCL Season 2 tahun 2020 kemarin berhasil menyajikan US$33.600 sebagai prize pool. Angka tersebut adalah angka yang cukup besar, apalagi mengingat CCL adalah turnamen tingkat komunitas.

Kisah hubungan Blizzard, Heroes of the Storm, dan komunitasnya menunjukkan bagaimana perkembangan esports bisa hancur dalam satu jentikkan jari. Pesta esports yang dinikmati oleh pemain-pemainnya habis begitu saja setelah Blizzard Entertainment memutuskan menarik dukungannya.

Esports Heroes of the Storm mungkin masih bertahan untuk sementara waktu berkat dukungan dari komunitas. Namun, apakah mereka masih bisa terus berjalan sampai beberapa tahun ke depan?

Setelah melihat kasus relasi esports dan publisher di ranah Heroes of the Storm luar negeri, sekarang mari kita mencoba melihat kasus seperti demikian di ranah lokal.

 

Kisah Serupa Dari Ranah League of Legends Indonesia

Dari ranah lokal, satu game yang punya cerita mirip sekali dengan kisah Heroes of the Storm di atas mungkin adalah League of Legends di Indonesia. Riot Games boleh bangga dengan esports League of Legends yang ditonton jutaan orang dan mencatatkan puluhan juta jam total watch hours di seluruh dunia. Terlepas jutaan orang penonton yang dicatatkan, League of Legends sendiri terbilang kurang punya nama di Indonesia

Esports League of Legends sempat mekar merona ketika Garena Indonesia masih menjalankan tugasnya sebagai publisher lokal. Tahun 2013 silam, League of Legends baru saja rilis di Indonesia lewat Garena. Pada masa awal perilisan tersebut, komunitas mendapat perhatian yang istimewa lewat bebagai inisiatif yang dilakukan.

Ada liga komunitas bertajuk Teemo Cup, inisiatif kompetisi tingkat kampus, sampai liga tingkat profesional bertajuk Leauge of Legends Garuda Series (LGS). Cerita lebih lengkapnya bisa Anda baca pada artikel saya yang membahas potensi Wild Rift yang juga sedikit menyenggol cerita perkembangan League of Legends di Indonesia.

Sumber: Flickr LoL Esports Indonesia

Lewat inisiatif yang dilakukan Garena, League of Legends sempat mendapat status pionir dalam beberapa hal di esports Indonesia. LGS bisa dibilang sebagai salah satu kompetisi esports pertama yang berformat liga di Indonesia. Tak hanya berformat liga, LGS juga berjalan secara profesional dan dikabarkan memberi kompensasi mingguan bagi tim dan pemain. Selain itu saya juga ingat betul betapa megahnya LGS 2016 yang diselenggarakan di Balai Sarbini, yang merupakan salah satu event esports offline pertama yang saya liput kala itu.

Tetapi layaknya apa yang terjadi pada Heroes of the Storm, pesta esports League of Legends di Indonesia langsung usai saat Garena Indonesia mengumumkan pengunduran dirinya di tahun 2019. Sudah inisiatif esports-nya hilang, server lokal Indonesia game League of Legends pun hilang. Walaupun begitu, server dan esports League of Legends kini sebetulnya masih ada, walau lingkupnya jadi melebar ke tingkat Asia Tenggara.

Pasca kehilangan Garena, League of Legends di Indonesia menolak untuk tergeletak dengan segala dukungan dari komunitas. Puncak kegetolan komunitas terlihat di tahun 2019 lalu, ketika komunitas berhasil mengadakan acara nobar Worlds secara mandiri dengan sedikit/minim bantuan dari pihak Garena.

Kini esports League of Legends terbilang mati suri. Apalagi game penggantinya juga sudah hadir, yaitu Wild Rift yang tersaji di mobile device. Namun Edi Kusuma atau Edel selaku founder Hasagi, media yang mengayomi komunitas League of Legends di Indonesia, merasa bahwa esports sebenarnya tetap bisa berkembang walau tanpa bantuan dari publisher.

“Kalau ditanya bisa berkembang atau tidak, jawabannya bisa saja. Bagaimanapun esports sendiri tumbuh dari komunitas. Tapi lebih baik jika ada publisher yang ikut campur tangan dalam hal ini. Bantuan publisher, terutama dari sisi finansial, akan membantu memperkenalkan esports secara lebih luas serta menjangkau lebih banyak orang. Karenanya menurut saya publisher dan komunitas adalah dua aspek terpenting dalam pertumbuhan esports sebuah game.”

Setelahnya Edel juga menjelaskan kenapa publisher memang teramat penting bagi pertumbuhan esports sebuah game. Menurutnya peran terbesar publisher adalah mendukung dari segi finansial. “Ada banyak dukungan yang bisa diberikan publisher tapi yang pertama dan paling utama tentu adalah dalam hal finansial.” Ucapnya.

“Kita bisa lihat Overwatch sebagai contoh. Sebelum AKG Games ada, semua aktivitas seputar Overwatch itu digagas oleh komunitas. Inisiatif tersebut bagus, tapi masih jauh dari kata sempurna. Komunitas terbatas dari banyak hal, terutama dalam hal menyediakan panggung kompetitif bergengsi.” Lanjut Edel menjelaskan.

Menutup obrolan, saya juga menanyakan pendapat Edel soal pihak yang berperan menjaga kehidupan sebuah game tanpa kehadiran publisher dan pendapatnya soal bisnis esports yang berisiko apabila semuanya digantungkan kepada publisher.

Dalam soal pihak yang berperan, Edel berpendapat bahwa satu-satunya yang berperan adalah pemainnya sendiri.

“Dota 2 adalah contoh nyata yang bisa kita ambil. Dulu sempat ramai turnamen, tapi sekarang sudah nyaris tidak ada. Tetapi apakah esports Dota 2 berarti mati? Jelas tidak. Dota 2 masih hidup sampai sekarang walau jarang ada turnamen. Pemain Dota 2 di Indonesia juga masih getol menjadi pendukung sebagai fans. Namun saya yakin kalau ada yang bisa mengadakan turnamen Dota 2 pasti akan banyak yang ikut serta.” Tuturnya.

Sumber: HASAGI

Terkait pertanyaan kedua, Edel pun menjawab.

“Bagi kita, game/esports itu mungkin adalah passion. Tapi sejujurnya, esports tetaplah bisnis. Kalau ditanya berisiko atau tidak, menurut saya memang bisnis di esports masih sangat berisiko. Seperti yang kita lihat, kebanyakan investor atau sponsor di esports sekarang berasal dari perusahaan besar. Perusahaan kecil yang dananya terbatas tentu harus berpikir dua kali ketika ingin berinvestasi di esports. Bagaimanapun, esports adalah bisnis yang mahal menurut saya.” Ucap Edel.

Saat ini, sudah banyak pemain profesional League of Legends memilh pindah ke ranah Wild Rift karena adanya dukungan dari Riot Games yang mengadakan kompetisi resmi bertajuk Wild Rift Icon Series.

Bagiamana dengan esports League of Legends di PC? Entahlah. Indonesia sebenarnya masih punya kesempatan bersaing di laga Pacific Championship Series (PCS) apabila ingin menembus tingkat dunia. Tetapi saya sendiri setuju dengan apa yang dikatakan Edel, modal untuk berjuang di esports itu tidak murah.

Sebagai pemain, Anda mungkin harus rela tidak digaji sampai beberapa tahun, setidaknya sampai bisa tembus PCS. Ditambah, persaingannya juga amatlah ketat, bahkan pada level Asia Tenggara dan Asia Pasifik saja.

 

Serupa Tapi Tak Sama, Kisah Rainbow Six Siege di Indonesia

Rainbow Six Siege mungkin memang tidak pernah mendapatkan dukungan penuh yang bersifat langsung dari sang publisher yaitu Ubisoft sendiri. Namun perubahan sistem kompetisi Rainbow Six Siege secara internasional bisa dibilang sebagai bentuk perubahan dukungan Ubisoft terhadap komunitas.

Pada awalnya, esports Rainbow Six Siege dibuat menggunakan sistem terbuka. Siapapun bisa berkompetisi untuk mendaki hingga ke puncak kejayaan di esports Rainbow Six Siege lewat gelaran Rainbow Six Pro League yang diadakan oleh ESL.

Berkat sistem terbuka tersebut, Indonesia juga sempat kebagian sorotan bertanding di tingkat Rainbow Six Pro League. Pada masanya, Team Scrypt adalah tim Indonesia yang berhasil mencapai ke tingkat yang cukup tinggi di skena kompetisi Rainbow Six Siege. Team Scrypt sempat menembus ke main event dari ESL Pro League Season 7 APAC yang diadakan di Sydney, Australia.

Tetapi semua kesempatan tersebut hilang setelah Ubisoft memutuskan untuk mengubah sistem kompetisi Rainbow Six pada bulan Mei 2020 lalu. Liga kasta utama Rainbow Six yang dahulu ramah bagi tim komunitas, kini menjadi lebih tertutup. Pro League yang dahulu menjadi wadah berlatih dan berkompetisi bagi tim untuk dapat naik tingkat pun hilang dan digantikan dengan kualifikasi yang hanya terlaksana sesekali saja.

Lebih lanjut, Bobby Rachmadi Putra selaku founder dari komunitas R6 resmi di Indonesia pun menceritakan.

“Kalau bicara dukungan publisher bagi Rainbow Six di Indonesia, sejauh ini gue melihat memang Ubisoft tetap menjalin hubungan yang baik kepada komunitas. Contohnya dari komunitas R6 IDN terhadap aktivitas R6 di regional APAC. Ubisoft menunjuk beberapa key opinion leader dari negara dengan peminat game R6S terbesar di kawasan APAC untuk memberi feedback atas planning mereka untuk menjalankan event di asia.” Jawab Bobby membuka pembahasan.

“Selain itu, Ubisoft juga memberikan beberapa freebies seperti in-game codes dan special merch atau bahkan cash reward kepada leader/influencer di negara tersebut. Sebagai timbal baliknya, sosok-sosok penting tersebut akan dimintai data, opini, kritik, keluah, serta situasi dan kondisi perkembangan esports serta komunitas game R6 di negara-negara terkait.” Tambah Bobby.

Selain dari sisi komunitas secara umum, saya juga bertanya kepada Bobby soal dukungan Ubisoft terhadap esports R6 di Indonesia atau di Asia Tenggara. Walaupun ada R6 APAC League, namun liga tersebut tetap tergolong liga kawasan besar yang biasanya menjadi tingkat lanjutan bagi beberapa skena esports lain.

“Memang kalau dari segi esports, saat ini Ubisoft belum memberi dukungan secara langsung. Sebagai gantinya Ubisoft menghadirkan liga Rainbow Six Siege regional atau di negara tertentu yang memang sudah terlihat potensi besarnya, misalnya seperti di Korea Selatan dan Jepang. Untuk negara seperti Indonesia yang belum terlihat jelas potensinya masih akan melalui komunitas seperti R6 IDN terlebih dahulu.” Tutur Bobby.

Sumber: Ubisoft

“Namun ada alasan tersendiri kenapa Ubisoft melakukan hal tersebut. Salah satunya adalah karena Ubisoft mengembangkan esports R6S di seluruh dunia. Maka dari itu sejauh ini gue melihat Ubisoft memang mengembangkan secara perlahan agar terkelola dengan baik dan berkembang dengan jelas.” Bobby menambahkan.

Sampai saat ini, komunitas R6S di Indonesia sendiri sebenarnya masih cukup aktif, terutama di dalam server chat Discord. Komunitas masih secara aktif berinteraksi dan bermain bersama pada beberapa waktu. Namun turnamen esports R6S di lokal Indonesia terbilang mati suri, walau masih ada turnamen-turnamen tingkat regional.

 

Hearthstone Indonesia yang Kini diasuh Publisher Pihak Ketiga

Game berikutnya yang menarik untuk dibahas adalah Hearthstone. Secara umum, esports Hearthstone sebenarnya berjalan cukup aktif terutama di negara-negara barat.

Di Indonesia, walau pemainnya mungkin tidak banyak, tetapi pemain profesional dari Indonesia bisa bersaing di tingkat nternasional. Salah satunya ada Hendry “Jothree” Handisurya. Pemain tersebut merupakan salah satu atlet Hearthstone andalan Indonesia. Ia bahkan sempat mendapat medali perak pada esports sebagai cabang eksibisi di Asian Games 2018.

Hearthstone pada awalnya tidak mendapatkan dukungan apapun dari sang publisher di Indonesia. Namun pada tahun 2019, AKG Games hadir menjadi rekan Blizzard untuk pasar Indonesia.

Saat Jothree memenangkan medali perak di Asian Games | Sumber: Facebook

Jothree pun sedikit menjelaskan bagaimana AKG Games sejauh ini ternyata sudah cukup mendukung perkembangan esports Hearthstone di Indonesia.

“Sejauh ini mereka cukup berusaha dengan baik. Beberapa contohnya terlihat dari turnamen AKG Elite Series, Fireside Gathering, SEA Showmatch, yang sebetulnya secara konsep sudah lebih bagus ketimbang sebelumnya. Namun karena mereka statusnya adalah third party, maka mereka jadi enggak punya kuasa untuk menyediakan apa yang betul-betul dibutuhin oleh komunitas. Misal contohnya adalah menyediaan in-game tournament, platform bahasa Indonesia, kemudahan pembayaran untuk Battle Net Balance, ataupun membuat game-nya jadi lebih low-spec untuk mobile.” Jawab Jothree secara lengkap.

Selain itu, Jothree juga bercerita soal perjuangan komunitas Hearthstone sebelum kehadiran AKG Games di Indonesia.

“Kalau ditanya siapa yang menjaga keberlangsungan esports tanpa kehadiran publisher, jelas jawabannya adalah pemain game tersebut yang benar-benar suka dengan game-nya. Dalam kasus Hearthstone, gue merasakan komunitas kami sangat solid sebelum AKG Games ada. Kami juga mati-matian menjaga kehidupan komunitas bahkan kadang sampai keluar uang dari kantong sendiri.” Tuturnya.

Setelah kisah perkembangan esports Hearthstone, mari kita berlanjut ke kasus berikutnya yaitu cerita perkembangan esports game fighting di Indonesia.

 

Nasib Fighting Game Community di Indonesia dari Sudut Pandang Tekken 7

League of Legends dan Rainbow Six Siege tergolong cukup beruntung karena masih sempat mengecap dukungan dari publisher terhadap komunitas dan esports, walau sifatnya sementara atau sedikit saja dampaknya.

Tetapi di luar dari itu, ada beberapa game kompetitif di Indonesia yang justru lebih nahas lagi. Salah satunya adalah komunitas game fighting. Komunitas tersebut sebenarnya punya cukup banyak penggemar, namun posisi mereka hampir tidak tersentuh oleh sang developer/publisher. Tekken 7 adalah salah satu bagian dari game fighting.

Pada tahun 2018 lalu, Yabes Elia selaku Chief Editor Hybrid.co.id sempat ngobrol banyak dengan Bram Arman membahas soal perkembangan game fighting di Indonesia.

Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard

Dalam pembahasan tersebut Bram menjelaskan keunikkan komunitas game fighting. Pada game genre lain, kita bisa melihat bagaimaan esports game tersebut berkembang berkat peran aktif dari sang developer atau publisher. Namun perkembangan esports game fighting justru berbeda, komunitas justru lebih berperan aktif di sini.

Salah satu contoh nyata atas hal tersebut adalah Evolution Championship Series. EVO yang merupakan turnamen game fighting tingkat dunia tersebut sebenarnya merupakan turnamen yang digagas oleh komunitas.

Publisher justru cenderung tidak mengambil peran yang begitu besar dalam mengembangkan esports game fighting. Walaupun memang, Capcom punya Capcom Pro Tour (CPT) sebagai turnamen resmi. Bandai Namco juga punya Tekken World Tour (TWT) sebagai turnamen resmi.

Namun tetap saja komunitas cenderung lebih mengakui legitimasi EVO ketimbang turnamen lainnya. Ibaratnya, pro player fighting game belum bisa dianggap juara dunia kalau belum menang EVO walaupun dia memenangkan CPT atau TWT.

Lebih lanjut saya juga mencoba berbicang dengan Ronald Rivaldo untuk mengetahui soal perkembangan skena Tekken 7. Ronald Rivaldo sendiri merupakan ketua dari tim Tekken 7 bernama DRivals. Selain sebagai tim, DRivals belakangan juga tergolong cukup aktif dalam menjaga denyut komunitas game fighting lewat berbagai aktivitas yang mereka lakukan.

Dalam hal dukungan publisher terhadap komunitas, Aldo pun menceritakan.

“Dukungan publisher Tekken yaitu Bandai Namco di skena lokal hampir enggak ada, apalagi semenjak pandemi seperti sekarang. Dulu kala pada tahun 2017 dan 2018 masih sempat ada turnamen bagian dari Tekken World Tour di Indonesia. Pada tahun 2020 ini, turnamen bagian dari TWT juga seharusnya hadir kembali di Indonesia. Tetapi berhubung ada pandemi maka event pun terpaksa dibatalkan.”

DRivals - ESL Indonesia Championship
DRivals di ESL Indonesia Championship | Sumber: Dokumentasi DRivals

Dari sisi Tekken, Bandai Namco selaku developer dan publisher memang memberi lisensi kepada turnamen lokal sebagai bagian dari TWT. Pada tahun 2020 lalu, turnamen IFGC MAX yang rencananya diselenggarakan di Indonesia seharusnya menjadi bagian dari rangkaian TWT sebagai Challenger Event.

Tapi apa mau dikata. Pandemi COVID-19 menyeruak, larangan berkumpul pun diberlakukan sehingga membuat turnamen offline dibatalkan.

Walaupun Bandai Namco memberi lisensi untuk turnamen-turnamen lokal, namun seperti yang dikatakan oleh Rivaldo, Bandai Namco terbilang tidak pernah memberi dukungan secara langsung ke skena lokal dalam hal esports.

Menariknya, terlepas dari adanya dukungan publisher atau tidak, esports fighting game tetap hadir di skena lokal walaupun tingkat penyelenggaraannya masih tingkat komunitas. Seperti yang ditulis oleh Yabes Elia, Fighting Game bisa dibilang terkucilkan namun menolak untuk tergeletak.

Hybrid.co.id juga termasuk menjadi salah satu yang berusaha untuk mendorong komunitas fighting game agar tetap hidup bara api semangat kompetisinya. Hybrid Cup Series: Play on PC Fighting Game yang terselenggara awal tahun 2020 lalu jadi salah satu bukti bahwa bara semangat kompetisi di antara pemain fighting game masih tetap ada walau tanpa dukungan publisher sekalipun.

Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Saya juga mempertanyakan soal posisi esports sebagai bisnis yang berisiko karena terlalu tergantung dengan satu pihak. Menjawab soal hal tersebut, Rivaldo juga sedikit menceritakan apa yang jadi tujuannya bersama Drivals.

“Kalau bicaranya bisnis, jujur kami belum memikirkan hal tersebut karena sadar bahwa market fighting game masih sangat kecil di Indonesia. Saat ini yang kami lakukan adalah mencoba meningkatkan pamor fighting games, terutama Tekken, agar lebih dikenal masyarakat awam di Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut, kami menccoba mengadakan turnamen-turnamen baik offline atau online, melakukan streaming di YouTube ataupun melakukan pertandingan persahabatan antar daerah atau antar negara. Harapannya adalah suatu hari nanti komunitas fighting game terutama Tekken bisa menjadi daya tarik bagi sponsor.” Tutur Rivaldo.

Perjuangan komunitas game fighting memang menjadi keunikan tersendiri karena kegigihan dari para anggotanya. Dalam kasus Drivals, kita bisa melihat sendiri bagaimana mereka bahkan tetap gigih menyiarkan keseruan fighting game ke khalayak luas walaupun Bandai Namco hampir tak sedikitpun meliriknya.

 

Pro Evolution Soccer yang Berkembang Lewat Dukungan Asosiasi Sepak Bola

Pada saat membahas alasan kenapa suatu game tidak selalu sukses berkembang sebagai esports, saya juga menggunakan fighting game dan Pro Evolution Soccer sebagai contoh. Kala itu dua narasumber saya yaitu Bram Arman dan Valentinus Sanusi setuju, bahwa alasan kurang berkembangnya esports game mereka adalah karena publisher Jepang yang cenderung lambat geraknya dalam mengembangkan esports.

Menariknya, kedua game tersebut juga sama-sama punya penggemar yang gigih di ranah lokal. Dalam Pro Evolution Soccer, contoh kasus kegigihan yang berbuah manis bagi perkembangan esports-nya mungkin adalah kisah Indonesia Football e-League.

Sumber: Dokumentasi resmi IFeL

Posisi PES dan IFel sendiri memang cukup unik. Liga IFel bukan sekadar turnamen game PES biasa. Pertandingan di dalam liga IFel menggunakan jersey, pemain-pemain, bahkan stadion dari tim Liga 1 Indonesia di dalam game Pro Evolution Soccer yang dipertandingkan.

Tapi bagaimana bisa IFeL menyediakan semua aset digital tersebut ketika Konami sendiri sebenarnya belum menyediakan player pack/stadion pack dari tim Liga1 Indonesia? Jawabannya adalah modifikasi. Dalam artikel saya yang menggali lebih dalam seputar IFeL pada saat peluncurannya, Putra Sutopo selaku Head of IFeL mengatakan bahwa Konami selaku developer/publisher game PES tidak memberlakukan larangan terhadap penggunaan custom mod.

Sumber: Instagram @ifel.id

Tetapi sebagai gantinya, IFeL menggandeng tim Liga 1 Indonesia untuk mendapatkan izin penggunaan kekayaan intelektual milik tim (logo, jersey, serta stadion) ke dalam custom mod pada pertandingan game PES di liga IFeL.

Maka dari itu Putra menjelaskan berdasarkan pandangannya, bahwa campur tangan developer/publisher tidak selamanya selalu bisa membawa skena esports suatu game maju.

“Tergantung kebijakan dan peraturan dari publisher. Dalam kasus IFeL, memang kami belum dapat dukungan official dari Konami, tetapi Konami tidak memiliki peraturan mengenai hak cipta yang rumit dalam hal penggunaan unofficial patch. Berbeda dengan EA dalam mengurus FIFA. Mereka cenderung punya peraturan yang lebih ketat perihal hak cipta.” Tutur Putra.

Dalam kasus IFeL, kebebasan mengotak atik aset game Pro Evolution Soccer memang bisa dibilang jadi faktor yang membuat skena esports-nya jadi maju. Dalam kata lain, Konami yang tidak secara aktif memberi dukungan serta mengurusi game-nya di berbagai wilayah di dunia justru membuka peluang tersendiri.

Lebih lanjut, Putra Sutopo pun menceritakan bagaimana Liga 1 Indonesia dan PSSI menjadi motor penggerak terbesar bagi perkembangan esports PES dari sisi IFeL.

“Kalau dalam kasus IFeL, sosok yang berperan untuk membuat liga tetap berjalan tentunya adalah PSSI. Bagaimanapun, kami juga menggunakan identitas klub Liga 1 dan Liga 2 Indonesia yang penggunaannya diatur oleh PSSI. Tetapi di luar itu, tentunya juga adalah investor eksternal yang memungkinkan kami menjalankan semua rangkaian acara IFeL, tim IT yang telah membuat patch Liga 1 dan Liga 2, juga pastinya dukungan dari manajemen klub serta fans sepak bola di Indonesia.”

IFeL yang merupakan liga esports pihak ketiga terbilang sudah berkembang dengan cukup pesat sejak dari pertama kali diluncurkan tahun 2020 lalu. Musim 2020 lalu IFeL hanya mempertandingkan 10 tim yang berasal dari klub sepak bola Liga 1 Indonesia. Musim ini, IFeL menambahkan 12 tim lagi untuk turut bertanding di IFeL Liga 2.

Kisah perkembangan skena esports PES lewat liga IFeL sebagai contoh memberi cerita yang berbeda lagi. IFeL menunjukkan bagaimana skena esports suatu game masih bisa tetap berkembang walau tanpa dukungan publisher sekalipun. Dalam kasus IFeL, Putra Sutopo dan bagian komunitas bergerak aktif untuk terus memajukan esports PES.

Tetapi pada sisi lain, IFeL juga jadi menarik karena di belakangnya ada juga dukungan dari asosiasi sepak bola Indonesia yang memungkinkan kehadiran liga sepak bola virtual di Indonesia.

 

Dota 2 yang Tetap Penuh Dengan Para Penggemar Esports

Dalam kasus perkembangan esports tanpa dukungan publisher, kisah Dota 2 di Indonesia juga cukup unik untuk dibahas. Secara dukungan, sang developer/publisher yaitu Valve sebenarnya tidak pernah sedikitpun memberi dukungan dari segi esports untuk ranah lokal. Valve hanya memberikan dukungan esports secara internasional lewat gelaran The International ataupun rangkaian turnamen Major yang diadakan.

Walaupun demikian, Dota 2 tetap tumbuh subur secara organik di tanah air Indonesia. Pada masanya, mungkin sekitar 2016 – 2018, Dota 2 adalah game pilihan bagi para pelaku esports di Indonesia.

Jumlah pemain bejibun, banyak pemain terinspirasi kisah Dendi yang membuatnya juga jadi ingin menjadi pemain profesional Dota 2. Turnamen pun banyak jumlahnya. Tim esports profesional pun hampir semuanya punya divisi Dota 2.

Pada masanya, salah satu yang juga mendorong perkembangan esports Dota 2 di Indonesia adalah investasi pihak ketiga. Salah satu investasi pihak ketiga terbesar terhadap esports Dota 2 mungkin adalah Telkomsel lewat turnamen Indonesia Games Championship di tahun 2017. Pada zaman itu, mungkin hanya IGC 2017 yang bisa mengumpulkan semua talenta esports Dota 2 terbaik ke dalam satu panggung.

BOOM Esports Dota 2 di IGC 2017. Sumber: IGC

Namun semua dukungan pihak ketiga terhadap perkembangan Dota 2 berubah ketika game mobile menyerbu pasar. Tahun 2017 mungkin bisa dibilang adalah titik baliknya, ketika Mobile Legends Bang-Bang pertama kali menghadirkan esports di Indonesia lewat gelaran MSC.

Setelah Mobile Legends bersinar, pihak ketiga yang tadinya mencoba berinvestasi di Dota 2 pun mulai pindah ke MOBA di mobile tersebut. Alasannya sederhana, karena MLBB kala itu berhasil memukau khalayak Indonesia dengan banyaknya jumlah penonton dan pengunjung turnamennya.

Perubahan dukungan pihak ketiga terhadap perkembangan Dota 2 cukup terasa dari tahun 2017 ke tahun 2018. Dari sisi IGC sebagai contohnya, jumlah hadiah untuk turnamen Dota 2 menurun dari Rp500 juta di tahun 2017 menjadi Rp150 juta di tahun 2018, bahkan sampai akhirnya IGC tak lagi mempertandingkan Dota 2 di tahun 2020. Seiringan dengan hal tersebut, turnamen Dota 2 juga berangsur menurun jumlahnya sampai akhirnya kini menjadi hampir mati suri.

Namun patut dicatat bahwa Dota 2 sebenarnya tidak bisa dibilang sepenuhnya mati total di Indonesia. Komunitasnya sebenarnya masih cukup hidup membincangkan soal esports ataupun seputar gamenya itu sendiri.

Penikmat esports-nya juga masih ada dan terbilang tetap setia mengikuti perkembangannya. Salah satu bukti atas hal tersebut mungkin bisa kita lihat dari channel YouTube WxC Indonesia yang secara rutin menayangkan pertandingan Dota 2 yang berjalan secara internasional dengan komentar bahasa Indonesia.

Hingga saat ini, channel WxC Indonesia sendiri bahkan sudah mencatatkan 70 ribu lebih subscriber. Jumlah penikmat pertandingan esports Dota 2 bahkan tergolong masih cukup bayak orangnya. Dalam satu kesempatan, pertandingan DPC Europe yang mempertandingkan OG bahkan mencatatkan 153 ribu lebih total views. Sebuah angka yang sebenarnya cukup lumayan walaupun keadaan komunitasnya seperti demikian.

Kisah perkembangan Dota 2 di Indonesia memang teramat unik. Kisahnya menjadi unik karena Dota 2 bisa tumbuh menjadi cukup besar walau sebenarnya berkembang secara organik.

Posisi Dota 2 yang dianggap sebagai pionir MOBA oleh gamer Indonesia mungkin jadi salah satu alasannya. Karena bagaimanapun, pada masa itu kehadiran Dota 2 tergolong lebih duluan kalau kita bandingkan dengan kehadiran League of Legends di Indonesia.

Posisi Dota 2 di zaman sekarang juga jadi tambah unik lagi. Pada satu sisi, esports game-nya di kancah lokal terbilang sudah mati suri. Tapi pada sisi lain, para penggemar esports serta komunitasnya tergolong masih hidup dan masih cukup keras menggemari esports Dota 2.

Jadi dalam kasus ini, Valve sebenarnya punya andil juga atas hidupnya komunitas dan penggemar esports Dota 2 di Indonesia. Hal tersebut saya katakan karena Valve sebenarnya masih menyokong perkembangan esports Dota, walau skalanya hanya regional (SEA dan sebagainya) dan internasional saja.

 

CS:GO yang Tak Sempat Berkembang Karena Game Berbayar

Counter-Strike merupakan game lain yang di-develop serta dirilis oleh Valve. Karena sama-sama game besutan Valve, maka perlakuannya pun kurang lebih serupa dengan Dota 2. Sepanjang perkembangannya, Counter Strike juga berkembang seperti Dota 2, berkembang secara organik tanpa ada bantuan Valve di ranah lokal.

Popularitas Counter-Strike di Indonesia malah terjadi jauh sebelum Counter-Strike: Global Offensive ada. Masa kejayaan bisa dibilang terjadi di awal tahun 2000an. Pada masa itu, CS berkembang lewat warnet-warnet. Dari warnet, CS berkembang ke berbagai lini di esports yang bahkan masih langgeng sampai sekarang di Indonesia.

NXL contohnya, yang bermula dari tim warnet menurut cerita Richard Permana sang CEO. Lalu ada juga Liga Jakarta, salah satu kompetisi perdana yang membuat tercetusnya kehadirann WCG yang merupakan salah satu event esports terbesar di zaman itu menurut kisah dari Eddy Lim selaku CEO dari Liga Game.

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Pada masa keemasannya, tim-tim asal Indonesia juga tercatat mencetakkan prestasi yang luar biasa di tingkat Internasional. Pada tahun 2003 misalnya, ada tim XCN yang berhasil mencapai babak utama WCG 2003 yang diadakan di Seoul, Korea Selatan. Pada tahun setelahnya baru NXL yang mencuat, menjadi wakil Indonesia untuk gelaran WCG tahun 2008. Pembahasan lebih lengkap atas hal tersebut sudah sempat saya bahas dalam artikel seputar sejarah esports Counter-Strike di Indonesia.

Tetapi menariknya, perkembangan esports CS:GO justru terbilang melambat ketika CS:GO rilis di pasaran. Namun memang ada satu perbedaan fundamental antara CS 1.6 dengan CS:GO. Perbedaannya adalah CS 1.6 yang bersifat free to play sementara CS:GO yang mengharuskan pemainnya untuk membayar sejumlah uang untuk bisa main. Soal kausalitas antara game gratis dengan kesuksesannya sebagai esports juga sudah sempat saya bahas dalam kesempatan yang berbeda.

Karena game-nya berbayar, banyak gamer yang tidak terlalu tahu dengan CS:GO sehingga membuat game CS:GO sendiri cenderung kurang berkembang di pasar Indonesia. Richard Permana yang sudah kurang lebih 15 tahun menekuni CS 1.6 dan CS:GO juga mengakui, bahwa memang esports suatu game akan sulit berkembang apabila tanpa dukungan dari sang publihser.

“Dari sudut pandang sebagai pemain, game esports yang tak ada dukungan publisher akan sulit sekali berkembang. Saya sebagai pemain juga jadi harus usaha ekstra keras untuk bisa mencapai prestasi yang jauh sekali.” Tuturnnya.

Sumber: NXL

Richard lalu menjelaskan maksud dukungan publisher yang ia maksud. “Dukungan publisher itu penting sekali menurut saya. Seperti yang kita saksikan pada game seperti PUBG Mobile, MLBB, dan Free Fire yang berkembang begitu masif. Banyak perkembangan terjadi di ekosistem esports game tersebut berkat dari apa yang dikerjakan oleh publiher-nya di Indonesia. Selain itu, menurut saya beberapa bentuk dukungan publisher yang diperlukan dari sisi player sendiri adalah sirkuit nasional yang terstruktur, serta jalur ke tingkat internasional yang juga jelas.”

Apa yang dikatakan Richard ada benarnya juga. Tanpa sirkuit kompetisi lokal yang jelas, pemain akan kesulitan mencari lawan bertandingnya. Tanpa lawan tanding, pemain akan jadi sulit berkembang untuk bisa bertanding ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Bukti dukungan publisher ke skena lokal yang berbuah prestasi bisa kita lihat sendiri pada tiga game yang disebut Richard tadi. Pada MLBB, Indonesia menjadi kekuatan yang dominan di tingkat Asia Tenggara bahkan sampai jadi juara dunia pada M1 2019. Pada PUBG Mobile, juga ada Bigetron RA yang berkembang pesat berkat turnamen rutin yang diadakan oleh Tencent selaku sang publisher. Begitu juga dengan Free Fire lewat liga esports yang mereka adakan demi mengembangkan talenta esports Indonesia.

Sementara itu bagaimana dengan CS:GO sendiri? Turnamennya saja sangat minim sekali di Indonesia. Ditambah lagi, kesempatan untuk bisa tembus ke tingkat internasional juga sangat kecil sekali karena jumlah seeding yang sangat sedikit dari di tingkat internasional.

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Jadi tanpa wadah tanding di kancah lokal, kesempatan yang kecil sekali bagi tim asal Asia, jadi beberapa faktor alasan kenapa esports CS:GO tidak berkembang di skena lokal. Belum lagi lawannya di tingkat internasional nanti adalah tim-tim asal Eropa, Amerika, CIS, dan Amerika Latin yang nafasnya adalah game CS:GO itu sendiri.

Kisah CS:GO di Indonesia mungkin bisa dibilang sebagai kisah paling nahas dari perkembangan esports yang tidak didukung oleh sang publisher. Walaupun sempat berjaya pada CS 1.6 karena free-to-play, tetapi CS:GO yang terlambat mengubahnya jadi game gratis kehilangan momentumnya untuk para pemain di Indonesia.

 

Penutup

Setelah melihat cerita berbagai game esports di Indonesia yang bergulir tanpa dukungan langsung sang publisher, memang komunitas yang gigih bisa dibilang jadi salah satu alasan kenapa suatu game masih bisa bertahan di Indonesia ataupun negara lainnya.

Hal tersebut bisa kita lihat di hampir semua cerita. Cuma memang, tidak semua kegigihan komunitas tersalurkan ke dalam bentuk turnamen mandiri.

Pada Dota 2, bentuk dukungan komunitas terhadap esports Dota 2 bisa terlihat dari bagaimana mereka lebih memilih menonton pertandingan di channel berbahasa Indonesia ketimbang channel internasional. Dalam kasus R6 misalnya, bentuk kegigihan mereka terlihat dengan usaha Bobby menjaga R6 IDN untuk tetap aktif.

Lalu pada sisi lain, investasi pihak ketiga dan dukungan badan pemerintahan ternyata jadi faktor yang diluar dugaan melihat dari perkembangan esports PES dan hadirnya liga IFeL di Indonesia.

Menutup pembahasan ini, jadi mampukah esports berkembang tanpa dukungan langsung dari sang publisher di ranah lokal?

Jawabannya bisa jadi selalu iya.

Tapi kalau ditanya lagi sampai mana perkembangannya? jawabannya akan selalu terbatas dengan jumlah massa-nya, kegigihan, serta modal yang mau dikeluarkan untuk terus menjaga agar komunitas suatu game tetap aktif terutama dari sisi esports.

Kenapa Tidak Semua Game Kompetitif Sukses Berkembang Jadi Esports?

Kenapa League of Legends lebih besar sebagai esports di tingkat internasional ketimbang Dota 2? Kenapa CS:GO bisa menjadi fenomena esports yang besar di Eropa dan Amerika, namun nafasnya kini sekarat di Indonesia ataupun Asia Tenggara? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin sempat terbesit di kepala Anda. Apalagi bila Anda adalah pemain atau mungkin penggemar esports dari game-game tersebut.

Lalu apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas? Kenapa satu game bisa populer esports, sedangkan game lainnya seperti kalah pamor? Dalam artikel ini saya akan mencoba membahas dan mencari tahu faktor-faktor apa yang bisa membuat sebuah game sukses sebagai esports. Berikut pembahasannya.

 

Berkaca Dari Industri Olahraga

Apabila Anda sempat membaca artikel saya yang lainnya, Anda mungkin sadar kalau saya beberapa kali membandingkan atau menggunakan industri olahraga sebagai referensi dalam menjelaskan fenomena di esports. Salah satu alasannya adalah karena saya merasa esports memiliki sekian banyak kesamaan dengan industri olahraga pada beberapa aspek.

Pembahasan di dalam artikel saya kali ini juga terinspirasi dari pembahasan terkait industri olahraga yang dilakukan di salah satu video milik channel YouTube bernama Atheltic Interest. Video yang menjadi inspirasi saya adalah video yang berjudul “Kenapa olahraga bola basket lebih menjual ketimbang baseball.”

Video Athletic Interest dibuat dengan menggunakan bahasa Inggris berdasarkan dari tulisan milik Steffan Heuer yang ditulis dalam bahasa Jerman. Tulisan milik Steffan Heuer sendiri terbit di sebuah majalah bisnis olahraga bernama Brandeins. Dalam pembahasannya, Steffan mengatakan bahwa ada empat faktor yang secara umum membuat bola basket jadi lebih populer secara internasional ketimbang baseball.

Pertama, permainan baseball tergolong lebih rumit ketimbang bola basket. Kedua, durasi pertandingan baseball terlalu panjang. Ketiga, musim liga juga terlalu panjang. Keempat, negara asal pemain bintang baseball kurang beragam.

Saya akan membahas maksud dari poin-poin yang disebut oleh Steffan secara singkat. Lebih lengkapnya Anda bisa tonton video tersebut atau mungkin menggunakan Google Translate untuk membaca tulisan bahasa Jerman milik Steffan Heuer.

Soal faktor pertama, Steffan Heuer membandingkan tingkat kerumitan kedua olahraga tersebut dengan menggunakan ketebalan rulebook dari kedua olahraga tersebut. Liga utama baseball yaitu MLB memiliki total 188 halaman rulebook sementara liga utama bola basket NBA hanya 68 halaman saja. Banyaknya peraturan membuat olahraga baseball tergolong jadi lebih rumit, walau permainan tersebut sebenarnya terlihat sesederhana satu orang melempar bola dan satu orang memukulnya.

Selanjutnya pada faktor kedua, durasi permainan juga jadi faktor lain kenapa bola basket bisa lebih populer ketimbang Baseball. Durasi bersih dari pertandingan bola basket adalah 48 menit (4 quarter selama 12 menit). Ditambah dengan timeout ataupun gimmick half-time show, maka durasi paling lama dari tayangan pertandingan bola basket menjadi sekitar dua jam. Sementara itu, dua jam adalah durasi paling singkat dari pertandingan Baseball. Bahkan sempat ada pertandingan baseball berjalan selama 8 setengah jam dan berlangsung selama dua hari di tahun 1981.

Lalu soal faktor ketiga. Steffan menjelaskan bahwa ada 162 pertandingan dalam musim liga yang berjalan selama 6 bulan (sekitar 27 pertandingan dalam sebulan). Ditambah lagi, babak final Baseball juga dipertandingkan secara best-of 7. Dengan durasi pertandingannya, pertandingan best-of 7 bisa jadi diselenggarakan dalam satu bulan penuh atau mungkin lebih.

Lalu faktor terakhir adalah karena bintang-bintang olahraga baseball yang kebanyakan berasal dan hanya dikenal di Amerika Serikat saja. Bagaimana dengan bola basket? Kalau Anda mengikuti liga NBA, Anda mungkin tahu bahwa beberapa pemain bintang bola basket datang dari luar Amerika Serikat. Contohnya seperti Dirk Nowitzki yang berasal dari Jerman atau Yao Ming yang berasal dari Tiongkok.

Selain dari empat faktor inti tersebut, ada juga faktor faktor lain yang dijelaskan singkat di video tersebut. Faktor lain termasuk seperti invesasi NBA di Tiongkok dengan cara membangun lapangan-lapangan basket dan bahkan membangun kantor di sana. Investasi tersebut pun cukup berhasil membuat bola basket dikenal di negeri tirai bambu.

Sumber Gambar - Video Athletic Interests
Beberapa bentuk investasi NBA yang dilakuan di Tiongkok. Sumber Gambar – Video Athletic Interests

Faktor lain yang terakhir juga datang dari sisi perlengkapan yang dibutuhkan. Untuk bermain bola baseball, Anda butuh perlengkapan yang macam-macam dan mahal harganya. Lapangannya juga harus luas. Sementara bola basket? Tanpa perlengkapan pun sebenarnya bisa saja, asalkan Anda pakai sepatu, baju dan celana yang leluasa digunakan saat bergerak secara aktif, lapangan kecil dengan dilengkapi tiang basket, dan sebuah bola.

Empat faktor dan beberapa faktor tambahan tersebut adalah beberapa hal yang membuat bola basket jadi lebih menjual ketimbang dari baseball. Berdasarkan dari penjelasan milik Steffan Heuer di atas, saya menangkap bahwa olahraga bola basket jadi lebih menjual karena permainannya yang lebih sederhana, durasinya singkat dan penuh aksi, pertandingan liganya cocok membuat penonton jadi lebih tertarik, dan karena bola basket dianggap sebagai olahraga internasional.

Empat poin tersebut sebenarnya bisa dikelompokkan lagi menjadi dua. Ada faktor internal dan faktor eksternal. Apa maksudnya faktor internal adalah faktor daya tarik dari permainannya itu sendiri. Kalau faktor eksternal? Ialah dorongan dari pihak tertentu untuk membuat sebuah permainan jadi dikenal dan diterima lebih banyak orang.

Berdasarkan penjelasan Steffan, maka faktor pertama dan kedua bisa digolongkan sebagai faktor internal karena menjelaskan apa yang jadi daya tarik dari olahraga permainan bola basket. Faktor ketiga dan keempat bisa digolongkan sebagai faktor eksternal, karena dua faktor tersebut adalah penjelasan soal apa yang dilakukan NBA agar pertandingan bola basket jadi bisa dinikmati orang-orang dan membuatnya jadi lebih dikenal secara internasional.

Sekarang, mari coba kita lihat apakah faktor-faktor tersebut juga berlaku dari sisi esports.

 

Bagaimana Beberapa Game Bisa Populer Menjadi Esports

Menurut saya, empat faktor tersebut sebenarnya masih bisa ditranslasikan ke dalam esports. Faktor pertama dan kedua adalah daya tarik game-nya itu sendiri yang bisa diartikan sebagai aspek gameplay. Faktor ketiga dan keempat adalah bagaimana usaha developer/publisher mempromosikan game-nya dan merancang ekosistem esports game terkait agar jadi dapat dinikmati para penggemarnya dan membuatnya jadi lebih dikenal secara internasional.

Berdasarkan dari apa yang saya tangkap dalam penjelasan Steffan, faktor internal tetaplah menjadi faktor penting alasan kenapa olahraga permainan bisa populer. Karena mungkin saja perkembangan industri olahraga sebenarnya mirip seperti esports kini.

Mirip bagaimana? Berawal dari penciptaan permainannya terlebih dahulu, lalu permainan tersebut mulai dimainkan, dan menarik minat banyak orang. Setelah ada banyak orang tertarik, kompetisi mulai digelar, sampai akhirnya kompetisi tersebut dikomersialisasi sampai akhirnya menjadi sebuah bisnis seperti sekarang. Mungkin dahulu orang-orang yang menonton liga bola basket hanyalah orang-orang yang main basket saja. Tapi karena permainannya tergolong sederhana dan mudah dimengerti, dilengkapi dengan promosi gencar yang dilakukan NBA, lama kelamaan pun orang  yang tidak main basket turut tertarik menonton pertandingan olahraga bola basket.

esports event

Esports sendiri awalnya juga tidak digagas oleh developer atau publisher. Esports pada awalnya digagas oleh komunitas pemainnya yang akhirnya kini didorong menjadi lebih besar oleh sang pihak pertama yaitu developer. Hal tersebut sempat saya bahas dalam artikel pembahasan seputar sejarah esports. Anda bisa membacanya pada tautan yang satu ini. Karenanya, bisa dibilang apabila sebuah game ingin sukses sebagai esports, game-nya itu sendiri harus memang sudah menarik pada awalnya.

Mari kita coba melihat perjalanan League of Legends menjadi game esports global sebagai bentuk studi kasus proses sebuah game bisa sukses menjadi esports global. Dalam prosesnya menjadi seperti sekarang, League of Legends sebenarnya sudah populer sejak dari tahun-tahun awal perilisannya. Data milik statista.com mengatakan ada 15 juta pengguna aktif bulanan League of Legends pada dua tahun pasca game tersebut rilis tahun 2009.

Bagaimana League of Legends bisa muncul jadi lebih populer ketimbang custom game aslinya yaitu Defense of the Ancients (custom map untuk Warcraft III: The Frozen Throne)? Mungkin bisa dibilang karena League of Legends telah memenuhi dua faktor dari penjelasan milik Steffan Hauer di atas, yaitu permainan yang lebih sederhana dan durasi pertandingan yang cenderung lebih singkat.

Apabila dibandingkan dengan DotA, League of Legends tergolong lebih sederhana. Sederhana bagaimana? Pembagian role di League of Legends tergolong lebih jelas. Item di dalam League of Legends juga jarang bisa diaktifkan yang membuat pemain tidak perlu mengingat banyak kombinasi karakter dengan item. Selain itu, League of Legends juga membuat sistem fog of war jadi lebih sederhana dengan menghilangkan mekanik high ground dan low ground, mekanik siang dan malam, serta mengganti pohon-pohon menjadi semak untuk sembunyi. Karena lebih sederhana, League of Legends pun lebih bisa diterima oleh lebih banyak orang ketimbang Dota 2.

Lalu faktor kedua, durasi permainan dan kadar aksinya. League of Legends juga bisa dikatakan menjadi pionir yang berhasil membuat MOBA jadi punya durasi dan akhir permainan yang lebih pasti. Pada zamannya, satu permainan Defense of the Ancient berdurasi paling minimal sekitar 45 menit. Durasi tersebut masih bisa melar lagi apabila pertandingannya sengit. Sementara durasi paling minimal dari satu permainan League of Legends berdurasi sekitar 30 menit.

Soal kadar aksi pertandingan LoL dengan Dota 2 mungkin masih bisa diperdebatkan. Namun satu hal yang pasti adalah sistem ekonomi snowballing yang diterapkan di dalam game League of Legends membuat arah pertarungan menjadi lebih jelas, siapa yang unggul dan siapa yang kalah. Dalam sistem snowballing, tim yang kalah di awal-awal permainan akan punya kesempatan yang lebih kecil untuk membalikkan keadaan.

Sementara Dota menerapkan mekanisme rubber band di dalam permainannya. Sistem tersebut memang membuat tarik ulur permainan jadi lebih menarik, tetapi juga membuat arah pertarungan, dan sulit menebak kapan pertandingannya berakhir. Dalam sistem rubber banding keunggulan sebuah tim bisa dibalik begitu saja sehingga permainan jadi imbang lagi. Karenanya pertandingan Defence of the Ancients dan Dota 2 pada awal masanya punya durasi yang cenderung panjang bahkan kadang tidak jelas kapan akan berakhir.

Sebagai bukti dari opini di atas, saya pun mencoba googling “longest match in League of Legends” dan “longest match in Dota 2”. Hasilnya pun seperti yang saya perkirakan. Pertandingan League of Legends profesional terlama adalah pertandingan antara SKT vs Jin Air di LCK Spring 2018 yang berdurasi 1 jam 34 menit. Dota 2? Pertandingan terlamanya adalah antara Cloud9 vs ScaryFaceZ pada kualifikasi Starladder Season 12 (2015) yang berdurasi 3 jam 20 menit. Anda tidak salah baca, TIGA… Jam. Keduanya mungkin sama-sama menyajikan aksi tanpa henti. Tapi saya sih jadi mabok dan ingin pulang kalau harus menonton Dota 2 selama 3 jam.

Pada faktor ketiga, Steffan Heuer menyoroti soal perbedaan durasi musim kompetisi. Saya mengartikan poin tersebut sebagai format kompetisi yang tepat bagi olahraga permainan. Sejauh ini, apa yang dilakukan Riot Games terhadapi liga esports League of Legends memang tergolong luar biasa kalau dibandingkan dengan game-game lainnya.

Esports League of Legends dikelola dengan sangat serius oleh Riot Games yang membuatnya kini sudah hampir mirip-mirip dengan liga olahraga. Maksud saya mirip-mirip adalah jadwal pertandingan yang rutin, pasti, dan dengan jumlah pertandingan yang pas (tidak terlalu padat tapi tidak terlalu lengang juga). Karenanya tidak heran apabila League of Legends berhasil melanjutkan kesuksesannya, dari game yang banyak dimainkan orang-orang menjadi pertandingan esports banyak ditonton orang-orang dan berhasil mencatatkan 139 juta lebih total watch hours pada tahun 2020 lalu.

Faktor terakhir adalah soal keanekaragaman pemain bintang di dalam suatu liga olahraga. Pada poin tersebut, saya mengartikannya maksud pembahaasan Stefan Heuer sebagai bentuk investasi pihak terkait kepada skena-skena lokal. Dalam konteks bola basket vs bola baseball, video tersebut menjelaskan bagaimana investasi MLB sebagai pihak pertama di industri olahraga baseball Amerika Serikat terlalu fokus di negara itu saja. Sementara di sisi lain, NBA terus menerus mengembangkan pasarnya, salah satu contohnya yang disebut dalam video adalah dengan melakukan investasi ke Tiongkok .

Karenanya, bola basket jadi tergolong lebih populer (dan lebih menjual) secara internasional ketimbang baseball. Lebih banyak negara yang memainkan bola basket bisa diartikan semakin beragam pemain-pemain bintangnya dan semakin banyak penontonnya. Semakin beragam dan semakin populernya permainan tersebut, maka bola basket pun akan memiliki nilai jual yang lebih berharga. Sementara baseball? Heuer menjelaskan bahwa kebanyakan bintang bola baseball hanya berasal dan dikenal di Amerika Serikat saja.

Sumber: Riot Official Release
Bukan cuma di Eropa dan Amerika saja, League of Legends juga punya liga profesional untuk kawasan Asia Pasifik. Sumber: Riot Official Release

League of Legends mungkin menerapkan strategi yang serupa seperti yang dilakukan NBA, walaupun saya sebenarnya tidak tahu betul apakah Riot Games benar terinspirasi oleh NBA atau tidak. Hal tersebut terlihat dari bentuk investasi Riot Games terhadap esports League of Legends di berbagai belahan dunia, bahkan sampai spesifik ke beberapa negara.

Liga esports League of Legends terbesar dunia saat ini ada di empat kawasan, ada LEC di Eropa, LCS di Amerika Serikat, LCK di Korea Selatan, dan LPL di Tiongkok. Riot Games juga berinvestasi terhadap kawasan kecil yang punya potensi seperti PCS di SEA, Taiwan dan sekitarnya, OPL di kawasan Oceania (Australia dan Sekitarnya), LCL di kawasan CIS (Rusia, Ukraina, dan sekitarnya), NLC di Eropa Utara (Britania Raya, negara-negara nordik, dan sekitarnya), dan LLA di Amerika Latin. Selain kawasan kecil, Riot Games bahkan berinvestasi juga untuk negara-negara yang potensial seperti LJL di Jepang, VCS di Vietnam, TCL di Turki, dan CBLoL di Brazil.

Semua yang saya sebut barusan bahkan mungkin belum semuanya. Tetapi dari sana kita bisa melihat bagaimana Riot Games benar-benar serius mengembangkan League of Legends menjadi esports tingkat global. Dari bentuk investasi tersebut, jadi tidak heran kalau esports League of Legends bisa berkembang menjadi besar seperti sekarang.

 

Kenapa Beberapa Game Kurang Sukses Menjadi Esports

Setelah melakukan studi kasus dari League of Legends yang sukses besar dari game menjadi esports kelas dunia, sekarang mari kita juga melihat kenapa beberapa game tergolong kurang berhasil sebagai esports. Game yang saya jadikan contoh di sini adalah Pro Evolution Soccer dan Fighting Games.

Kenapa dua game tersebut saya pilih sebagai contoh? Alasannya adalah karena saya merasa kedua game tersebut sebenarnya sudah berhasil memenuhi dua faktor internal yang kita bahas di atas, namun entah kenapa posisinya sebagai esports justru tertutupi oleh game-game MOBA ataupun FPS.

Fighting game tergolong sederhana, walaupun mekanisme game tersebut tergolong sulit sekali apabila diselami lebih dalam. Tapi, bukankah kebanyakan game esports juga begitu? Mudah pada percobaan awal, namun akan semakin rumit apabila diselami lebih dalam. Tetapi fighting game bisa dibilang mudah kalau kita hanya sekadar main saja. Fighting game juga berdurasi pendek saat dipertandingkan dan punya aksi pertandingan yang seru.

Bagaimana dengan PES? Pada dasarnya PES adalah sepak bola yang dimainkan secara virtual. Gameplay PES adalah permainan sepak bola itu sendiri. Kalau ada 517 juta orang di dunia yang menonton pertandingan sepak bola, masa iya game sepak bola tidak bisa sukses sebagai esports?

Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard

Untuk itu saya pun berbincang dengan Valentinus Sanusi selaku founder Liga1PES dan Bram Arman yang kerap kali dianggap sebagai “sepuh” di komunitas game fighting (FGC) di Indonesia. Dari diskusi yang kami lakukan, saya menyimpulkan bahwa memang salah satu alasan kenapa dua game tersbut kurang sukses sebagai esports dunia adalah karena kurangnya investasi dari developer selaku pihak pertama. Faktor eksternal lainnya juga termasuk karena dua game tersebut dikembangkan oleh perusahaan Jepang, negara yang tergolong kurang tanggap mengadopsi model bisnis game free to play ataupun bisnis ekosistem esports. Selain itu ada juga beberapa faktor internal game-nya itu sendiri terutama dari segi akses.

Dalam hal game fighting, Bram Arman menceritakan bagaimana game fighting yang sangat bersifat community base jadi salah satu alasan FGC kalah besar dibanding game esports lain secara umum. “Sejauh yang saya tahu, esports mainstream berkembang pesat berkat penetrasi langsung dari 1st party (developer/publisher). Karenanya investasi esports yang dilakukan jadi tergolong langsung. Kalau FGC berbeda, justru 1st party muncul belakangan. Investasi 1st party juga hanya di negara maju saja. Karenanya di Indonesia sendiri, perkembangan FGC tergolong organik dengan bantuan yang minim dari 1st party.”

Memang kalau kita melihat perkembangan FGC, Evolution Championship Series yang sebenarnya berawal sebagai turnamen komunitas justru adalah lini terdepan dalam perkembangan esports game fighting ketimbang turnamen-turnamen yang dimulai oleh pihak pertama. Evolution Championship Series yang bahkan jauh lebih dulu ada di tahun 1995 ketimbang Capcom Pro Tour yang digagas pengembang Street Fighter mulai tahun 2013.

Lalu bagaimana dengan Pro Evolution Soccer? Kenapa game sepak bola tidak bisa menjual sebagai esports ketimbang dari olahraga sepak bola itu sendiri? Valen pun menjawab. “Kalau menurut saya salah satu alasannya adalah karena masyarakat esports itu sebenarnya berbeda dengan masyarakat sepak bola secara umum. Jadi dari apa yang saya amati, masyarakat sepak bola mayoritas itu belum tentu beririsan dengan pecinta esports. Jadi bisa dibilang pecinta sepak bola itu bukan tergolong esports enthusiasts.”

Valentinus Sanusi. Dokumentasi: Valentinus
Valentinus Sanusi. Dokumentasi: Valentinus

Lebih lanjut terkait maksud dari esports enthusiasts, Valen lalu menjelaskan. “Maksudnya esports enthusiasts di sini adalah bukan tipe orang yang akan mencari pertandingan esports ketika membuka media sosial ataupun YouTube. Karenanya masih perlu usaha yang cukup keras untuk menularkan antusiasme esports game sepak bola ke kalangan umum. Supaya penonton bola jadi menonton esports sepak bola.”

Mendengar penjelasan dari Valen, saya jadi teringat dengan konsep Social Media Bubble yang mengurung para penggunanya di dalam kelompok tertentu yang disukai. Jadi apabila kita bicara presensi secara digital, tidak heran kalau penggemar sepak bola bisa saja tidak kenal esports sepak bola atau bahkan mungkin tidak tahu menahu soal game sepak bola itu sendiri.

Selain itu saya juga menanyakan pendapat mereka terkait faktor internal atau daya tarik game-nya itu sendiri. Paragraf ketiga dari sub bagian ini adalah pendapat saya sendiri, tapi bagaimana dengan pendapat dari Bram dan Valen?

Dalam hal PES, saya juga sempat melihat video lain yang membahas alasan kenapa esports game sepak bola lainnya (yaitu FIFA) kurang sukses sebagai esports. Video tersebut mengatakan salah satu alasannya adalah karena gameplay FIFA terlalu melibatkan faktor luck di dalamnya. Maksudnya melibatkan faktor luck adalah karena dalam FIFA, orang yang memainkan game-nya hanya mengendalikan satu orang saja sementara 10 sisanya dikendalikan AI. Karenanya video tersebut menganggap outcome yang dihasilkan di dalam pertandingan game sepak bola terlalu banyak melibatkan keberuntungan. Bagaimana dengan PES?

Valen mengatakan. “Saya sangat tidak setuju terhadap pendapat tersebut. FIFA tahun ini baru merilis fitur kompetisi baru yaitu FUT co-op. Lalu sementara itu dari sisi PES sendiri kurang lebih malah lebih sudah sekitar 3 tahun lebih dulu menyajikan pertandingan co-op untuk esports. Bahkan saat ini ada juga pertandingan eFootball Pro dengan format 3 vs 3. Kedua, mungkin aspek luck mungkin memang ada, tapi proporsinya tentu sangat kecil dan hal tersebut adalah aspek-aspek eksternal yang menurut saya justru adalah bumbu dari sepak bola; secara virtual ataupun di dunia nyata sekalipun.”

Lalu bagaimana dengan fighting game? Bram juga mengatakan pendapatnya yang menjelaskan soal masalah akses para gamers terhadap game bergenre fighting secara umum. “Kalau menurut saya, salah satu alasan fighting game ketinggalan dibanding dengan game lain sebagai esports, salah satunya mungkin karena model bisnisnya yang konvensional. Kebanyakan game fighting mengharuskan pemainnya membayar sejumlah uang untuk memainkan game tersebut. Harganya pun bisa dikatakan bukan harga yang cukup terjangkau secara umum. Namun game fighting memang sempat menggratiskan permainannya, namun hanya sebagai free trial saja.” Bram menyoroti masalah akses kepada game fighting yang secara otomatis mempengaruhi jumlah pemain dari game fighting itu sendiri.

“Ditambah lagi learning curve game fighting juga saya rasa cenderung lebih sulit ketimbang game lain. Walau awalnya terasa mudah untuk pemula, tapi tingkat kesulitannya meningkat tajam apabila bermain secara high level play. Contoh paling sederhananya misalnya saja melakukan combo.” Tambah Bram.

Memang fighting game tergolong lebih sulit kalau dibandingkan dengan game-game lain. Sulit seperti apa? Bagaimana input tombol mempengaruhi output gerakan mungkin jadi salah satu contohnya. Game seperti MOBA atau shooter punya input yang sederhana, klik pada mouse dan tombol keyboard QWER untuk skill MOBA atau WASD untuk pergerakan game shooter. Fighting game tidak.

Dalam Tekken saja contohnya, menekan tombol kotak saja punya output berbeda dibandingkan dengan menekan tombol kotak ditambah tombol maju. Belum lagi jenis gerakan juga berbeda antara satu karakter dengan karakter yang lain. Belum lagi karakter yang satu mungkin punya input kotak + tombol maju, tapi karakter lain tidak. Karenanya Anda butuh memori yang kuat, kemampuan penentuan keputusan yang cermat, dan jari jemari yang tangkas apabila ingin sedikit lebih baik di dalam permainan fighting game. Lebih lengkapnya sempat saya bahas juga pada kesempatan sebelumnya soal keunikan fighting game yang membuatnya memiliki daya tarik tersendiri.

Lebih lanjut, pembahasan kami lalu beralih ke soal faktor eksternal. Dua game tersebut memeiliki satu kesamaan, dikembangkan oleh developer asal Jepang. Saya pun jadi bertanya, apakah hal tersebut menjadi faktor juga? Baik Bram dan Valen pun ternyata setuju bahwa salah satu alasan kenapa fighting game dan PES jadi kurang sukses sebagai esports karena faktor developer Jepang.

“Mungkin bisa dikatakan begitu.” Bram membuka pembahasan. “Jepang bahkan sempat punya undang-undang yang melarang hadiah uang untuk turnamen esports, kecuali dilakukan oleh 1st party. Organizer pihak ketiga hanya diperkenankan untuk memberikan hadiah merchandise saja.”

Valen lalu menambahkan. “Saya juga setuju kalau dikatakan developer Jepang tergolong terlambat di dunia esports, tentunya termasuk Konami. Menurut saya developer Jepang itu sudah terlambat bergerak, pergerakannya pun cenderung lambat. Terlalu banyak pertimbangan dari sisi perusahaan dan menurut saya juga kurang agresif soal esports. Contoh nyatanya, Pro Evolution Soccer di konsol dan mobile bahkan masih belum memiliki spectator mode sampai saat ini. Padahal fitur tersebut penting sekali untuk mendukung perkembangan ekosistem esports.”

Memang ada alasan tersendiri kenapa Jepang jadi negara yang terlambat  untuk memahami tren esports. Padahal, negara tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu pusat perkembangan industri game. Alasan tersebut adalah karena polemik hubungan yakuza, pemerintah, dan hukum yang melarang perjudian di Jepang.

Artikel milik Imad Khan di ESPN menjabarkan asal usul pandangan negatif dari pemerintah Jepang terhadap tindakan perjudian. Dalam artikelnya Imad menceritakan bahwa salah satu awal mula dari semua hal tersebut adalah Nintendo Koppai (nama perusahaan Nintendo di zaman dulu). Perusahaan tersebut menciptakan mesin judi yang menggunakan teknologi video sekitar tahun 60an. Karenanya, pihak berwajib Jepang jadi mengartikan secara bebas dan melarang pertandingan video game karena dianggap sebagai bentuk lain perjudian. Akhirnya, esports pun jadi sulit sekali berkembang di Jepang dan bahkan kesulitannya bersifat struktural.

Sumber Gambar - JeSU Official
Sumber Gambar – JeSU Official

Turnamen yang mengenakan biaya pendaftaran kepada pesertanya dilarang pemerintah. Ditambah juga seperti apa yang dikatakan oleh Bram, turnamen gratis juga tidak boleh menyertakan uang tunai sebagai hadiah, hanya boleh menyertakan hadiah merchandise saja. Merchandise yang dihadiahkan juga dibatasi nilainya, yaitu sekitar US$1000 berdasarkan dari apa yang ditulis ESPN.

Kehadiran Japan eSports Union (JeSU) di tahun 2018 menjadi secercah harapan untuk menembus kebuntuan pengembangan esports di Jepang yang terjadi selama ini. Sebagai sarana legalisasi, JeSU membuat lisensi atlet esports untuk menentukan siapa-siapa saja yang berhak menerima hadiah uang tunai dari sebuah turnamen esports. Bahkan kehadiran JeSU dan peraturan soal lisensi pemain profesional itu saja masih sempat menjadi polemik, terutama saat Momochi (pro player Street Fighter V) mengutarakan kritiknya soal sistem yang diterapkan.

Menutup perbincangan, saya pun mencoba berandai-andai dengan kedua narasumber saya tersebut. Kalau saja pemerintah Jepang tidak melarang esports dan developer Jepang lebih gencar nan tanggap dengan tren, akankah esports fighting game dan Pro Evolution Soccer mampu menyaingi League of Legends, CS:GO, atau game esports lain yang juga populer?

“Pertanyaan ‘whati if’ yang menarik. Kalau ditarik ke masa lalu, menurut saya tentu saja sangat mungkin bagi game fighting.” Tutur Bram. “Sebagai genre game yang mudah dimengerti oleh masyarakat umum, saya cukup optimis PES atau game bergenre olahraga lainnya bisa bersaing dengan game esports yang populer.” Valen juga menyertakan pendapatnya.

 

Meramal Tren Game Esports Selanjutnya

Setelah membahas dan melihat studi kasus kenapa suatu game sukses besar sebagai esports dan kenapa game lainnya kurang sukses, pertanyaan selanjutnya mungkin adalah “game apa lagi yang akan jadi tren esports berikutnya?”

Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dibilang susah-susah gampang. Gampangnya bisa saja saya jawab bahwa game esports yang sukses berikutnya adalah game-game yang memiliki empat faktor di atas. Punya gameplay sederhana, durasi permainan yang singkat dengan aksi yang intens. Selain itu gamenya juga harus memiliki format kompetisi yang cocok dengan penontonnya dan dilengkapi dengan investasi sang developer terhadap skena-skena lokal.

Tetapi, menentukan game mana yang punya daya tarik sebenarnya juga cukup sulit. Kenapa? Menurut saya, karena video game tergolong sebagai industri kreatif, kita jadi tidak bisa menentukan resep sukses yang pasti. Kenapa tidak bisa? Kalau menurut opini saya, karena selera masyarakat terhadap karya intelektual itu sulit ditebak.

Tidak usah jauh-jauh, siapa yang mengira bahwa genre MOBA dan Battle Royale bisa menjadi sepopuler seperti sekarang? Bahkan kalau kita melihat ke belakang, kita bisa melihat ada beberapa genre game yang dulu menjadi idola namun sudah mulai ditinggal oleh gamers zaman sekarang. Genre RTS dari game seperti StarCraft atau MMORPG dari game seperti Ragnarok Online misalnya.

Jangankan esports, selera masyarakat di ranah olahraga saja juga tidak ada rumus pastinya. Seperti yang disebut di awal video milik Athletic Interest. Walaupun setengah populasi dunia keranjingan sepak bola, tetapi beberapa negara tetap punya olahraga favoritnya tersendiri seperti panahan di Bhutan, ski di Austria, gulat di Mongolia, atau mungkin juga seperti badminton di Indonesia. Contoh lain yang mungkin terasa lebih aneh, Anda bisa lihat video kompetisi orang kuat di bawah ini yang secara mengejutkan punya banyak penonton dan berhasil membuat para penontonnya jadi heboh.

Lalu kalau bicara soal faktor ketiga dan keempat, prediksi trennya mungkin akan jadi lebih rumit lagi. Game-game terbaru Riot Games mungkin saja akan jadi tren esports baru lainnya. Kenapa? Salah satunya adalah dari bagaimana Riot Games memandang esports sudah bukan lagi cuma sekadar sarana marketing tetapi sebagai bentuk model bisnis.

Tetapi hal tersebut saja juga tidak bisa dijadikan patokan. Walaupun Riot Games berkomitmen dengan sungguh-sungguh mengembangkan esports Wild Rift atau VALORANT, apakah mungkin dua game tersebut menggeser game sudah lebih dahulu ada? Banyak pertanyaan muncul, tapi kita baru membahas satu. Bagaimana misalnya ada developer yang mungkin antah berantah tapi punya modal besar untuk mengembangkan esports? Akankah game tersebut bisa mengalahkan pasar yang sudah ada saat ini?

Namun saya berharap pembahasan terhadap empat faktor yang disebut oleh Steffan Heuer setidaknya bisa menjadi referensi atau kerangka bagi Anda yang mungkin ingin berinvestasi di esports, entah sebagai pelaku bisnis ataupun sebagai brand yang ingin mensponsori esports.

PSIS Semarang and Persita Tangerang will be Competing in IFeL 2020

Setia Widianto will represent PSIS Semarang in the 2020 Indonesian Football e-League (IFeL). Previously, he was part of the Indonesian esports team in the 2018 Asian Games. Aged 24 years old, Setia has been a professional player for 5 years. With PSIS Semarang, he’s preparing to compete in the IFeL which will start on 12 September 2020.

Before this, Setia has also played at The Port FC, which competes in the Thai esports league. He revealed that most of the participants representing the football club at IFeL had also been part of the Thai soccer esports team. Yet, of all his potential competitors, he feels his most formidable rival is Rizky Faidan, who plays for PSS Sleman, according to an Antara News report.

Persita Tangerang juga akan ikut serta dalam IFeL 2020. | Sumber: Kompas
Persita Tangerang | via: Kompas

Apart from PSIS Semarang and PSS Sleman, Persita Tangerang will also participate in IFeL 2020. They announced this on Friday, 28 August 2020. In the soccer esports league, Persita Tangerang will be represented by Elul Wibowo, who has played for Prachuap FC and won fourth place in the Toyota E-League Thailand 2020.

For Elul, the emergence of soccer clubs interested in getting into esports is good news. He hopes that the Indonesian esports ecosystem, especially PES, will develop as in other Asian countries. “I want PES esports in Indonesia to grow,” said Elul. “Because in my opinion, in other Asian countries, PES has become a profession for PES players.”

“This is a good first step for Persita, especially in developing the esports division in the future,” said Persita’s Commercial Director, Evelyn Cathy, as quoted by Antara News. She said that joining IFeL 2020 was only the beginning of Persita’s decision to enter esports. In the future, they plan to create their esports team. Apart from soccer games like PES, they are also interested in having a team in other esports games.

“This is just the beginning. Later, we will recruit to build a special esports team. And of course, this offer is open to all residents of Tangerang Raya in particular and anyone who wants to show their talents as a pro player to represent Persita, “said Cathy.

Feat Image: via Instagram. The original article is in Indonesian. Translated by Yabes Elia

Serumpun Cup Bakal Adu Pemain-Pemain PES Terbaik di Indonesia dan Malaysia

Banyak liga sepak bola yang harus ditunda karena pandemi virus corona. Kehadiran kompetisi esports sepak bola bisa menjadi pengobat rindu bagi para fans sepak bola. Revosport Asia dan Persija TV lalu berinisiatif untuk mengadakan Serumpun Cup, yang mempertemukan pemain eFootball PES terbaik dari Indonesia dan Malaysia. Tujuan dari diadakannya turnamen ini adalah untuk menghidupkan semangat kompetitif pada penggemar sepak bola dan juga fans game PES.

Dalam Serumpun Cup, Indonesia akan mengirimkan 16 pemain PES sebagai perwakilan. Begitu juga dengan Malaysia. Saat dihubungi melalui pesan singkat, pendiri Liga1 PES, Valentinus Sanusi mengatakan, 16 pemain PES yang terpilih untuk berlaga di Serumpun Cup ditentukan berdasarkan prestasi mereka selama ini. Mengingat Liga1 PES merupakan komunitas PES terbesar di Indonesia, tidak heran jika mereka ikut serta dalam Serumpun Cup. Sementara komunitas PES dari Malaysia diwakili oleh PES Malaysia.

Babak kualifikasi dari Serumpun Cup akan diadakan pada 24-27 Juli 2020 dan disiarkan di Persija TV, NIMO TV, situs Dunia Sukan, situs Football Tribes, serta platform digital Astro Supersports dan Astro Arena. Dalam babak kualifikasi, 16 pemain PES yang menjadi perwakilan Indonesia akan bertanding dengan format single elimination untuk menentukan juara nasional.

serumpun cup
Serumpun Cup akan mengadu pemain PES di Indonesia dan Malaysia.

Pemain yang keluar sebagai juara nasional akan mewakili Indonesia untuk bertanding dengan pemenang dari babak kualifikasi Serumpun Cup di Malaysia. Babak final dari turnamen ini akan diadakan pada 29 Juli 2020 dan disiarkan di NET TV pada 23.30 sampai 00.30. Sama seperti babak kualifikasi, babak final dari Serumpun Cup juga akan menggunakan format single elimination.

Saat ditanya apakah Indonesia memiliki kesempatan untuk memenangkan Serumpun Cup, Valentinus menjawab, “Kalau melilhat prestasi Indonesia dan Malaysia, Indonesia punya catatan prestasi yang lebih baik dari Negara Jiran. Jadi, saya yakin Indonesia bisa menang di kompetisi ini.”

Sementara itu, Michael Chopra, mantan pesepak bola Newcastle United, Cardiff City, dan Sunderland yang juga menjadi pemimpin operasional Revosport Asia Indonesia, berkata, “Komunitas fans sepak bola Indonesia dan Malaysia merupakan salah satu komunitas paling aktif di dunia. Saat liga sepak bola belum bisa diselenggarakan, mengadakan turnamen e-football seperti ini menjadi solusi jitu bagi brand dan partners untuk mempertahankan ketertarikan fans akan sepak bola.” Memang, selama pandemi, berbagai liga sepak bola memutuskan untuk beralih mengadakan turnamen esports, seperti liga sepak bola Singapura.

“Kami berkomitmen untuk meningkatkan kualitas dan frekuensi dari konten e-football Serumpun Cup 2020,” kata CEO Persija TV, Stephen Walangitang dalam pernyataan rilis. “Kami melihat peluang besar karena tingginya permintaan akan konten esports yang berkaitan dengan sepak bola. Kami akan memenuhi permintaan itu dengan menyajikan konten esports sepak bola yang memiliki kualitas tayangan sama seperti sepak bola biasa.” Sama seperti pertandingan sepak bola tradisional, babak final dari Serumpun Cup tidak hanya ditayangkan di televisi, tapi juga dikomentari oleh sportscaster.

Sumber header: Facebook

IEFTL Minggu ke-7, Perebutan Posisi Divisi 1 di Musim Depan Dimulai

Indonesia Efootball Team Lobby (IEFTL) baru saja melalui minggu ke-7. Ghazeto Storia masih mempertahankan posisinya di peringkat 1 klasemen sementara dengan 70 poin dan 60 selisih gol. Memang, liga IEFTL masih akan berlanjut pada minggu ini. Namun, Ghazeto sudah dapat dipastikan akan keluar sebagai juara. Alasannya mereka memiliki selisih 16 poin dengan Remaong FC yang duduk di peringkat 2. Jadi, meskipun Ghazeto masih harus melakukan 4 pertandingan pada minggu ini, posisi mereka di peringkat 1 tak lagi tergoyahkan.

Minggu ini adalah minggu ke-8 IEFTL dan merupakan minggu terakhir dari liga sepak bola virtual tersebut. Walaupun gelar juara sudah dipastikan jatuh ke tangan Ghazeto, tim-tim yang berlaga di IEFTL masih akan bertanding dengan satu sama lain untuk mengamankan posisi 8 besar. Pasalnya, musim kedua dari IEFTL akan membagi 16 tim yang ada saat ini ke dalam 2 divisi. Delapan tim teratas akan berlaga di Divisi 1 sementara 8 tim sisanya akan masuk ke dalam Divisi 2.

IEFTL minggu ke-7
Klasemen sementara dari IEFTL minggu ke-7. | Sumber: Facebook

Saat ini, Remaong FC ada di posisi ke-2 dengan 54 poin. Peringkat 3 dan 4 diisi oleh Garuda Ten dan Hanoman, yang masing-masing memiliki 51 poin. Berkat selisih gol yang lebih besar, Garuda Ten menduduki peringkat 3. Sementara itu, peringkat ke-5 diduduki oleh Incredible Squad dengan 46 poin, diikuti oleh Aliansi (45 poin), serta Volcano dan Aco Glory, yang sama-sama memiliki 42 poin.

Berdasarkan data dari IEFTL, Ghazeto Storia merupakan tim yang memiliki win streak paling lama dengan 20 kemenangan berturut-turut. Sang tim juara juga memegang undefeated streak paling panjang dengan 33 pertandingan tanpa kalah. Hingga minggu ke-7 IEFTL, ada 1.197 gol yang dicetak, sebanyak 1.043 gol dibuat dalam pertandingan liga IEFTL sementara 154 sisanya dicetak pada IEFTL Cup. Hal itu berarti, jumlah rata-rata gol yang dicetak per pertandingan dalam liga IEFTL mencapai 2,51 gol.

IEFTL minggu ke-7
Statistik dari IEFTL sampai minggu ke-7. | Sumber: Facebook

Ghazeto menjadi tim yang paling banyak mencetak gol. Secara total, mereka memasukkan 120 gol. Jumlah rata-rata gol yang mereka buat pada setiap pertandingan adalah 3,64 gol. Dari segi serangan, tim Garuda Ten menjadi tim terbaik ke-2. Secara total, mereka mencetak 113 gol. Sementara angka rata-rata gol mereka adalah 3,42 gol per pertandingan. Sementara dari segi pertahanan, Aco Glory menjadi tim terbaik, diikuti oleh tim Gatot Kaca, Volcano, Remaong FC, dan Ghazeto Storia.

Sumber: PC Gamer