Jika Ada 4 Tanda Ini, Startup Perlu Melakukan Pivoting

Pilihan untuk melakukan pivoting (mengubah halauan bisnis) kerap terjadi di dunia startup yang sarat dengan perubahan yang cepat. Sudah banyak startup lokal hingga asing yang akhirnya terpaksa melakukan pivoting karena alasan-alasan tertentu. Seperti Instagram yang dulunya bernama Burbn, dan merupakan Location-based HTML5 App, Twitter yang dulunya sempat dikenal dengan nama Odeo Podcasting Platform, hingga YessBoss yang baru-baru ini merubah visi bisnisnya dengan menghadirkan Kata.ai.

Artikel berikut ini akan membahas 4 tanda-tanda yang perlu dicermati oleh penggiat startup ketika waktunya untuk pivoting agar startup ‘baru’ Anda bisa tetap eksis.

Terus melakukan edukasi kepada pasar

Startup dikenal sebagai platform yang menghadirkan inovasi terkini dengan memanfaatkan teknologi, baik itu memodifikasi kebiasaan lama hingga mengadopsi layanan baru. Jika saat ini Anda masih terhambat dengan kegiatan edukasi produk kepada pasar dan masih sedikit mendapatkan recognition atau pelanggan yang tetap, artinya Anda telah melakukan kesalahan dan menjadi pertanda yang tepat untuk segera melakukan pivoting.

Proses edukasi produk idealnya hanya dilakukan di awal dan tidak menghabiskan waktu yang lama, untuk itu segera lakukan pivoting ke model bisnis yang berbeda jika startup Anda masih saja melakukan edukasi produk kepada target pasar.

Versi Beta produk Anda kurang disukai pasar

Ketika produk telah diluncurkan dalam versi Beta, bisa dijadikan kesempatan yang baik untuk mengumpulkan feedback dari early-adopters. Nantinya Anda bisa melihat sejauh mana fitur yang ditawarkan dapat digunakan dengan baik, butuh koreksi dan melakukan proses editing terkait dengan fitur yang kurang sesuai. Jika feedback yang diterima baik dan berpotensi untuk disukai, artinya startup Anda memiliki calon pengguna yang bakal loyal. Namun jika feedback yang didapatkan cenderung negatif dan berakhir  dengan tidak digemarinya produk, hal ini merupakan tanda agar startup segera melakukan pivoting.

Produk tidak dilirik investor

Biasanya investor yang telah banyak melakukan investasi kepada startup bisa melihat kelebihan dan potensi dari sebuah startup baru atau yang sudah berjalan. Anda pun tidak kesulitan untuk melakukan penggalangan dana atau melanjutkan tahap pendanaan jika produk terbukti bagus dan diminati. Namun jika sejak awal hingga startup berjalan produk Anda masih kesulitan dilirik oleh investor, bisa jadi startup Anda kurang memiliki potensi. Segera lakukan pivoting dan temukan model bisnis yang tepat dan tentunya bakal dilirik oleh investor.

Membuat produk untuk ‘semua’

Bukan hanya menghabiskan waktu dan tenaga, jika startup Anda memutuskan untuk membuat produk untuk semua kalangan, akan merugikan keahlian para tenaga engineer Anda, yang hanya fokus untuk mengembangkan produk yang kurang relevan dan tidak tepat sasaran. Coba temukan passion dan tentunya kemampuan yang Anda kuasai sebelum meluncurkan startup, dan pastinya tentukan target pasar yang tepat untuk layanan yang akan Anda hadirkan.

JobSmart Pivot Menjadi Screening Management System

Beroperasi sejak tahun 2015, situs pencari kerja JobSmart hari ini mengumumkan telah melakukan pivot menjadi screening management system. Sistem ini akan membantu perusahaan menemukan kandidat pekerja dengan spesifikasi yang telah didefinisikan. Sebelumnya JobSmart menghadirkan layanan menyerupai JobStreet atau JobsDB dengan kelebihan fitur pencocokan otomatis.

Terkait dengan pivot ini, Co-Founder dan COO JobSmart Peter Wijaya mengatakan:

“Kami memutuskan untuk beralih dari platform pencarian kerja menjadi screening management system. Langkah ini kami ambil karena berdasarkan review selama satu tahun kami beroperasi. Khususnya terhadap pertumbuhan jumlah kandidat yang tergabung di JobSmart. Nyatanya di JobStreet sendiri jumlah kandidatnya sudah mencapai lebih dari 3,5 juta. Tentunya akan sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memiliki jumlah kandidat sebanyak mereka.”

Saat ini persaingan dalam pencarian kandidat pekerja terbaik mengalami persaingan yang luar biasa. Perusahaan pastinya ingin menempatkan lowongan pekerjaan di situs pencarian kerja yang memiliki banyak kandidat, dengan harapan semakin banyak jumlah kandidat yang ada tergabung di situs tersebut, semakin banyak juga yang melamar pada lowongan pekerjaan di perusahaan mereka.

“JobSmart melakukan pivot, dan fokus pada kekuatan kami saja, yaitu membantu menyaring kandidat yang sesuai dengan kriteria perusahaan dengan menggunakan fitur pencocokan otomatis. Karena dengan layanan kami ini, perusahaan tidak perlu membutuhkan waktu lama untuk menyaring kandidat yang berkualitas, melainkan hanya dalam hitungan detik saja,” tambah Peter.

Di versi sebelumnya fitur-fitur unggulan yang ditawarkan JobSmart antara lain tes kepribadian online, video interview, dan pencocokan otomatis. Dengan fitur inilah diharapkan JobSmart dapat membantu perusahaan menemukan calon pekerja dengan efektif.

Fitur-fitur yang diunggulkan ini menurut JobSmart menjadikan dirinya bukan sebagai kompetitor bagi para situs pencari kerja seperti Jobstreet atau JobsDB, melainkan menjadi pelengkap bagi perusahaan yang ingin lebih mudah menyaring kandidat hingga akhirnya menemukan kandidat yang dibutuhkan lebih cepat.

Mengintip Rencana-Rencana TuringSense Pasca Perolehan Pendanaan Awal

Setelah mendapatkan seed funding delapan bulan silam, TuringSense terus bergerak untuk merealisasikan tujuan mereka dalam merevolusi dunia olahraga. Sekarang mereka tengah menjajaki kerja sama di berbagai belahan dunia. Kami mendapat kesempatan berbincang kembali dengan CTO dan Co-Founder TuringSense Joseph Chamdani, PhD dan Managing Partner Ideosource Edward Ismawan Chamdani untuk mengetahui lebih jauh rencana-rencana apa saja yang disiapkan TuringSense.

TuringSense adalah startup pengembang teknologi wearable untuk olahraga yang berbasis di Sillicon Valley. Startup ini juga digawangi oleh dua orang researcher asal Indonesia, yaitu Joseph Chamdani (CTO) dan Chris Lim (VP of Product and Marketing). Keduanya turut andil dalam pengembangan produk PIVOT yang berfungsi untuk merekam dan menganalisa gerakan tubuh yang kini digunakan untuk cabang olahraga tenis.

Joseph mengatakan, “Bicara tentang alat [wearable devices] PIVOT, di dalamnya ada tiga sensor yang terdiri dari Accelerometer, Gyroscope, dan Magnetometer. Itu semua dikombinasikan, istilahnya sensor fusion. Sensor ini dapat mengikuti apa yang digerakan-tanpa kamera, dan kami bisa lihat animasinya. Ini sebenarnya banyak digunakan di Hollywood, tetapi [cost] lebih mahal.”

Kisah singkat di balik membangun TuringSense yang berbasis di Sillicon Valley

TuringSense sendiri adalah startup berbasis teknologi ketiga yang dibangun oleh Joseph (Joe), pria yang kini memegang 46 paten dari penelitiannya dan 35 paten sedang dalam proses. Salah satu alasan Joe mendirikan TuringSense adalah karena kecintaan dia pada olahraga, terutama tenis. Di sisi lain, faktor harga sensor yang sudah jauh lebih terjangkau adalah alasan lainnya.

“Sensor juga sekarang sudah mulai canggih, affordable, dan akurat. […] Kami kombinasikan itu dengan software yang kami buat sendiri [dan]sensor ini wireless. Wireless yang kami pakai sama gelombangnya dengan yang 2,4 GHz, tetapi kami develop protokolnya sendiri […] dan itu sudah jadi paten kami,” kata Joe.

Meski berdiri di Sillicon Valley, namun membangun TuringSense sebagai startup wearable device yang mengarah ke IoT pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan membangun startup pada umumnya. Mulai dari konsep, mengetahui kondisi pasar, hingga membentuk tim untuk eksekusi sudah dijalani oleh Joe dan rekannya agar bisa mendapatkan kepercayaan investor untuk menanamkan modal.

Ada satu perbedaan nyata yang bisa dilihat bila dibandingkan dengan membangun startup IoT di Indonesia. Perbedaan itu datang dari sisi kemudahan mendapat material untuk membangun produk yang saat ini belum bisa dirasakan di Indonesia.

Joe menjelaskan, “Membangun TuringSense harus kerja payah sendiri. Tidak ada insentif dari pemerintah, semua private funding. […] Tapi di sana itu kan pusatnya, jadi semuanya lebih mudah untuk didapatkan[material untuk produk]. […] Infrastruktur di sana memang sudah bagus.”

Langkah dan rencana setelah pendanaan

Sensor PIVOT yang dikembangkan TuringSense saat dalam kondisi di charge / DailySocial
Sensor PIVOT yang dikembangkan TuringSense saat dalam kondisi di-charge / DailySocial

Pasar yang dibidik oleh TuringSense adalah pasar internasional dan saat ini TuringSense tengah menjajaki kerja sama di berbagai negara. Indonesia adalah salah satu pasar yang dituju. Di samping itu, masih ada Tiongkok dan juga negara-negara Eropa lainnya

Edwin mengungkapkan, “Di Indonesia, selain bertemu dengan investor , kami juga bertemu dengan calon-calon yang nantinya bisa pakai PIVOT. Kami sudah datang ke Djarum Foundation, dan akan berbincang dengan Persib. Jadi kami mau lihat PIVOT ini bisa tidak dipakai untuk sepak bola dan badminton.”

“Di Indonesia sendiri ada beberapa investor. Kami juga akan bantu TuringSense untuk fundraising lagi berikutnya, baik dari investor yang sudah ada maupun yang baru. Jadi, untuk cashflow positif mungkin ada dua round fundraising lagi yang akan dilakukan TuringSense,” lanjut Edwin menjelaskan.

Sementara itu di pasar Amerika Serikat sendiri, Joe mengungkap bahwa pihaknya telah menjalin kerja sama dengan tim basket Dallas Mavericks. Di bulan September nanti, teknologi PIVOT akan dikirim dan digunakan Mavs untuk membantu meningkatkan performa pemainnya.

TuringSense juga saat ini tengah dalam penjajakan kerja sama dengan partner yang ada di Inggris. Kerja sama ini nantinya akan memungkinkan PIVOT untuk masuk ke dalam English Premier League dan juga cabang olahraga Rugby.

Di samping olahraga, kerja sama di bidang kesehatan juga sudah dijalin. Di sini, TuringSense bekerja sama dengan Sport Surgery Clinic di Dublin dan Stanford Neuroscience.  Pada dasarnya, melalui kerja sama ini TuringSense akan mencoba membantu rehabilitasi pasien dengan cara yang menyenangkan seperti menggunakan game.

Joe mengatakan, “Ini kembali kepada membangun ekostem. Jadi kami itu sebagai company terlalu kecil, dan fokusnya akan kemana-mana kalau mengerjakan ini semua sendiri. […] Nah, yang kami akan bangun adalah 3D Motion Platform, dari teknologi hardware dan software dan juga cloud-nya supaya bisa masif deployment-nya. […] Seperti Apple dengan iPod yang sukses. Music platform-nya iPod, 3D Motion platform-nya TuringSense. Itu analoginya.”

Dengan menciptakan 3D Motion Library dari PIVOT, gerakan seorang atlet atau penari bisa terekam. Selain bisa dimanfaatkan untuk melatih generasi berikutnya, Joe menyampaikan bahwa tidak menutup kemungkinan juga seorang atlet untuk bisa mendapatkan royalty dari gerakan yang diciptakannya.

Lebih jauh, Joe menjelaskan bahwa di tahap awal ini TuringSense memang sengaja melancarkan strategi go-to-market B2B terlebih dahulu. Alasannya, lebih mudah menjual melalui channel. Tapi, ke depannya tidak menutup kemungkinan untuk masuk ke ranah hiburan seperti game. Bila sudah masuk ke ranah ini maka bisnis TuringSense juga akan menjadi B2C.

“Agar adopsinya cepat dan tidak susah, kami pakai model subscription. Jadi, boleh dibilang hardware-nya free, dalam arti ada bayar bulanan. Kalau di Amerika itu $49/month. Kami jual ke akademi untuk bisa dipakai lima orang dengan kontrak satu tahun. Tapi, kalau muridnya suka dan ingin beli sendiri, mereka juga bisa dengan membeli satu set seharga $399. Karena store data di cloud, akan ada bayar bulanan juga sebesar $10/month,” ungkap Joe lebih jauh.

Saat ini, tim TuringSense sudah mencapai 15 orang di Sillicon Valley, enam orang di Italia, dan dua orang di Tiongkok. Sementara itu tim TuringSense di Indonesia sendiri sudah mencapai lima orang, salah satunya adalah Bullit Sesariza yang saat ini fokus dalam pengembangan UI/UX aplikasi PIVOT.

Pentingnya Evaluasi Produk Sebelum Melakukan Pivot

Mengevaluasi produk yang sudah diluncurkan ke pasar sangat penting untuk diukur keefektifannya, apakah sudah sesuai target atau belum sebelum akhirnya pendiri memilih langkah pivot sebagai bagian dari strategi bisnis. Perusahaan perlu melakukan pengumpulan feedback data dari konsumen.

Seperti dikemukakan halaman Medium Chargify, menurut pendiri Qualaroo Sean Ellis sebaiknya feedback berisi pertanyaan yang spesifik. Misalnya:

Bagaimana rasanya bila anda tidak dapat menggunakan produk ini?

1. Sangat kesal
2. Agak kecewa
3. Tidak kecewa
4. Saya tidak lagi memakai produk ini

Ellis menjelaskan, apabila lebih dari 40% koresponden memilih opsi nomor 1, artinya anda sudah menemukan produk sesuai dengan kebutuhan pasar. “Untuk produk di atas 40%, berarti produk sudah stabil dari skala bisnis. Tapi untuk di bawah 40% tampaknya perlu ditingkatkan,” ujarnya.

Cara lainnya, yakni dengan memberikan Net Promoter Score (NPS). NPS bekerja dengan memberikan pertanyaan ke konsumen, seberapa jauh keinginan mereka untuk merekomendasikan produk ke koleganya dengan skala 1 sampai 10.

Terakhir, temui langsung konsumen. Alex Turnbull, CEO Groove, menjelaskan saat perusahaan baru berdiri, pihaknya kerap aktif menemui langsung setiap konsumen yang melakukan transaksi di tempatnya.

“Kita menghabiskan banyak waktu berbicara ke setiap pelanggan kami. Kita tidak punya pilihan, berbicara dengan pelanggan selama berjam-jam adalah satu-satunya cara terbaik yang bisa membuat produk kami cocok di pasar,” katanya.

Sisi positifnya, lanjut Turnbull, kita tidak perlu banyak cara untuk mendapat feedback dari konsumen. Dia mengaku beberapa bulan kemudian, saat Groove meluncurkan produk baru, apresiasi pasar ternyata yang luar biasa.

Repetisi menjadi kunci evaluasi

Menjadikan konsumen terus melakukan repetisi penggunaan produk, tentunya menjadi model bisnis impian seluruh perusahaan, sebab dari sanalah tercipta produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

“Mendapatkan pelanggan yang melakukan menjadi validasi utama membangun model bisnis ideal yang dapat terukur,” kata Ash Maurya, kreator LeanStack.

Pivot sebagai strategi

Menurut Jens Lapinski, Direktur Pelaksana Techstar Berlin, mendefinisikan pivot sebagai strategi mengubah target konsumen, proposisi produk, pemasaran, penjualan, atau perubahan model bisnis secara signifikan.

Dari pengalaman Lapinski berkarier, pihaknya menemukan fakta bahwa pivot bisa dilakukan sampai kamu menemukan produk yang pas, tapi pivot bisa membuat bisnis menjadi gagal.

Sementara itu, Marc Andressen, penulis blog The Only Thing That Matters, mengatakan lakukan apapun demi mendapatkan produk yang sesuai pasar.

Caranya bisa lewat mengubah orang, menulis ulang produk, mengubah target pasar, atau lainnya apapun yang diperlukan. “Untuk bisa capai target, abaikan hal lain seluruhnya.”

Pendapat lainnya, Brian Balfour, pendiri Boundless, produk sesuai pasar bisa didapat bila menggunakan konsep “trifecta,” yakni non-trivial top line growth, retention, dan meaningful usage.

Dia mencontohkan, salah satu produk yang menggunakan konsep tersebut adalah Snapchat. Aplikasi tersebut, setelah beberapa diluncurkan, mencatatkan perolehan yang fantastis, yakni diunduh 200.000 kali, memiliki 100.000 pengguna harian, dan secara rata-rata pengguna harian mengirimkan 1 juta foto per harinya.

Produk lainnya adalah PayPal. Awalnya PayPal tidak berjalan sesuai ekspektasi kemudian pendirinya melakukan pivot. Kemudian, perubahan yang terjadi ialah PayPal memberikan fitur kepada penggunanya mengirimkan uang secara elektronik.

Ketika eBay menemukan PayPal, kedua perusahaan pivot lagi hingga kemudian PayPal menjadi pilihan pembayaran pengguna eBay.

Pivot yang terakhir dilakukan tersebut menjadi apa yang orang-orang kenal PayPal saat ini: menawarkan transaksi pembayaran yang aman via internet.

Intinya adalah entah itu perubahan kecil atau besar saat melakukan pivot, asalkan mengarah ke perubahan yang signifikan produk dijamin cocok dengan kebutuhan pasar.

Pivot yang sukses adalah selalu menggunakan apa yang selama ini anda pelajari. Misalnya, dari hasil survei jajak pendapat konsumen.

“Proses memilih strategi tidak akan berakhir karena pasar terus bergerak dengan cepat. Saat pasar anda bergerak, produk yang anda buat juga harus bergerak mengikutinya,” pungkas Balfour.

Melihat Pivot Dari Sudut Pandang Lain

Pivot adalah bagian dari strategi bisnis. Diambil berdasarkan keputusan, biasanya karena terdesak atau pasar yang lain lebih menjanjikan. Tak jarang keputusan pivot ini dipandang sinis beberapa orang, alasanya mungkin kegagalan di satu pasar. Tapi ada sudut pandang menarik dari pivot ini. Ditulis COO Snips.ai Yann Lechelle dalam halaman Mediumnya. Di sana ia menuliskan bagaimana pivot merupakan sebuah seni dan strategi dalam menjalankan startup.

Kemungkinan pivot mungkin tidak sempat dipikirkan sebagian orang dalam menjalankan bisnisnya. Kebanyakan dari founder akan lebih fokus pada pasar yang dituju beserta dengan kesiapan produknya. Tapi pivot bisa datang sebagai kepastian. Mau tidak mau pivot harus dilakukan.

Siapa sangka Slack, Flickr, dan Facebook merupakan produk-produk yang lahir dari pivot. Bahkan Yann dalam tulisannya menyebut orang-orang di balik ketika perusahaan tersebut sebagai ‘pivot artist’.

Pivot, seperti ditulis Yann, sebagai salah satu seni dalam menjalankan startup memiliki beberapa hal yang memang harus disiapkan lebih awal. Isu-isu seperti isu model bisnis yang bisa mempengaruhi pendapatan, isu teknis seperti integrasi atau migrasi, dan juga termasuk isu-isu terkait infrastruktur, talenta, dan modal. Semua itu harus dipikirkan matang-matang sebelum memutuskan untuk melakukan pivot.

Tantangan melakukan pivot juga harus dihadapi oleh CTO. Para CTO harus menyiapkan masa transisi, sekaligus integrasi dari sistem lama ke sistem baru, jika memang ada kaitan antara keduanya. Belum lagi menyisihkan infrastruktur atau sistem mana yang masih bisa dipakai di model yang baru dengan sistem-sistem yang sudah tidak disiapkan lagi. Jadi akan sangat membantu jika di awal pengembangannya teknologinya sudah dirancang untuk digunakan kembali atau reusable.

Pivot pada dasarnya membutuhkan banyak tenaga. Termasuk tim Human Resources yang harus mempertimbangkan tim, karena hal ini sangat mempengaruhi masa-masa transisi bisnis. Disebutkan Yann, ada 2 kelompok yang memegang peranan penting saat masa-masa transisi pivot. Kelompok pertama adalah para founder dan pegawai pertama. Mereka harus menunjukkan kerja keras dan karisma sebagai bentuk role model bagi pegawai lainnya dalam melewati masa-masa sulit transisi.

Kelompok kedua adalah pegawai yang memiliki talenta, ulet, dan memiliki semangat kerja yang tinggi. Biasanya mereka tidak akan terpengaruh banyak para perubahan model bisnis yang terjadi. Mereka akan bekerja maksimal seperti biasa. Dua kelompok inilah yang akhirnya akan mempermudah dan menyelamatkan bisnis dalam masa-masa pivot.

Sikumis Pivot, Sekarang Fokus ke Barang Komoditas

Sikumis yang dulu dikenal sebagai e-commerce yang menawarkan produk industrial di bidang agrobisnis termasuk alat pertanian, peternakan maupun perikanan (B2B) kini mengumumkan pivot atau melakukan perubahan arah bisnis. Pihak Sikumis mengumumkan saat ini bisnis akan lebih fokus menjadi marketplace pertanian, peternakan, perikanan, dan UKM agri yang melibatkan pedagang pasar tradisional untuk memasarkan komoditasnya secara online.

“Memutuskan untuk lebih fokus adalah pilihan yang terbaik untuk berlari lebih jauh, mengubah arah dengan tetap berpijak pada salah satu kaki/pivot adalah langkah yang kami ambil […]” tulis pihak Sikumis dalam rilis persnya.

Bersamaan dengan ini Sikumis juga mengusung #gerakanpetanimodern menjadi salah satu inti bisnis dengan tujuan untuk memotong rantai distribusi pangan yang selama ini menjadi persoalan nasional mulai dari petani, peternak, nelayan hingga pemerintah dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Nantinya Sikumis juga akan memberikan beberapa layanan di platformnya bagi para pemilik komoditas seperti kios online, fitur yang memberikan suatu hal yang sedang dibutuhkan, fitur yang memungkinkan pemilik komoditas menawarkan langsung kepada pembeli, layanan lelang komoditas online, barometer harga (akumulasi harga komoditas di setiap daerah) dan juga sebuah aplikasi mobile yang diharapkan bisa menjadi penghubung antara penjual langsung baik itu petani, peternak nelayan atau pedagang dengan konsumen dengan radius terdekat.

“Akhir kata diharapkan dengan #gerakanpetanimodern salah satu tujuan kami tercapai dengan memutus mata rantai distribusi pangan ini secara nasional dan berdampak dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan Indonesia yang akhirnya berujung menarik generasi muda untuk mau terjun ke dunia pertanian , peternakan , perikanan bahkan pengusaha di dunia agri serta terwujudnya berswasembada di seluruh komoditas Indonesia sekaligus memenangkan persaingan di MEA,” tutup pihak Sikumis.

Startup Pengembang Wearable TuringSense Kantongi Pendanaan Senilai 3 Juta Dollar

TuringSense, startup pengembang teknologi wearable untuk olahraga asal Silicon Valley yang juga digawangi researcher Indonesia, mengumumkan bahwa pihaknya telah memperoleh seed funding senilai $3 juta (atau lebih dari 41 miliar Rupiah). Dalam putaran pendanaan ini terdapat beberapa venture capital yang berpartisipasi, seperti Angel Plus, ChinaRock Capital, Ideosource, SV Tech Ventures, dan Zen Water Capital. Dalam rilis yang diterbitkan TuringSense juga disebutkan bahwa beberapa pengusaha dan angel investor terlibat.

Dalam wawancara khusus dengan dua petinggi TuringSense Joseph Chamdani dan Chris Lim beberapa waktu lalu, DailySocial banyak mengulik tentang solusi yang dikembangkan startup tersebut. Produk wearable bernama PIVOT adalah produk yang saat ini tengah dimatangkan. PIVOT dirancang dengan menggabungkan kecanggihan teknologi biomekanik, sensor dan kecerdasan buatan untuk membantu atlet tenis belajar teknik bermain yang benar, menghindari cedera, dan melakukan analisis permainan.

Pendanaan yang diperoleh akan dimanfaatkan TurinSense untuk memperluas pusat pengembangan serta menguatkan strategi pemasaran dan penjualan produk PIVOT. TuringSense juga mengatakan bahwa diraihnya pendanaan ini juga akan dijadikan sebagai salah satu modal untuk memperluas cakupan produk yang dimiliki.

Disampaikan Co-Founder dan CEO TuringSense Limin He, pendanaan ini merupakan salah satu indikasi yang baik, artinya produk multi-sensor yang dikembangkan dianggap berpotensi di pasar oleh banyak pihak.

“Dana ini memberikan kami kekuatan finansial untuk memajukan tujuan kami merevolusi cara olahraga dimainkan, dipraktikkan dan dilatih dengan mengubah metode latihan yang memungkinkan sang atlet mempelajari teknik secara lebih detil sembari mengurangi terjadinya risiko cidera,” ujar Limin He.

Managing Partner Ideosource Andi S. Boediman mengatakan pihaknya meyakini solusi inovatif TuringSense memiliki potensi besar dalam berbagai hal, termasuk potensinya dalam pasar Internet of Things (IoT). Andi juga mengatakan bahwa produk PIVOT yang dimiliki TuringSense akan banyak diminati di pasar Asia, karena di pasar ini solusi untuk kebutuhan olahraga dan kesehatan cukup berkembang dan diminati masyarakat.

Andi menambahkan minat TuringSense untuk membuka lebih banyak pusat pengembangan dapat disinergikan dengan komunitas pengembang game di Asia yang saat ini begitu bertumbuh di pasar dunia. Dalam wawancara DailySocial dengan Joseph Chamdani yang menjadi CTO TuringSense, dikatakan bahwa TuringSense akan membuka pusat pengembangan di wilayah Asia, khususnya di Indonesia.

Pivot Bukanlah Tanda Kegagalan Bagi Startup

Terlalu banyak orang yang memandang sebelah mata ketika mereka mendengar kabar bahwa startup mengubah layanannya. Saya mendengar hal ini dari mana-mana; baik itu dari mereka yang berada di dalam dunia startup maupun mereka yang tidak. Ada kecenderungan untuk berpikir bahwa “strategi pemasaran / perekrutan perusahaan ini memang sudah buruk sejak awal, jadi produk mereka memang sudah sangat buruk sejak awal”, tanpa ada keinginan untuk menganalisis keputusan perusahaan tersebut lebih dalam lagi. Continue reading Pivot Bukanlah Tanda Kegagalan Bagi Startup

Pivoting is Not a Sign of Failure in Startups

Pivot may not be a bad plan after all / Shutterstock

Too many people seem to scoff nowadays when they hear of startups pivoting away from their original product. I’ve head this come from everywhere; people both within and without the startup world. There’s a tendency to think that “this company made this obviously bad marketing / hiring decision before and so their original product was equally doomed to fail from the start”. It’s infuriatingly lazy thinking of the highest order.

Continue reading Pivoting is Not a Sign of Failure in Startups

Two Indonesians Lead PIVOT to Support Tennis Players

U.S.-based wearable sport equipment company TuringSense just launched PIVOT in beta version, a tech that records and analyzes tennis player’s body movement. PIVOT is designed by combining biomechanic technology, sensor, and artificial intelligence to help tennis athletes learning how to play it right, avoid injuries, and analyze the game. TuringSense’s Vice President of Product and Marketing Chris Lim (also known as Taufik Arifin) stated that PIVOT was initially focused for taekwondo. However, after series of analysis and survey, the team pivoted to tennis. Continue reading Two Indonesians Lead PIVOT to Support Tennis Players