Sempat Digantikan Posisinya, Reynazran Royono Kembali Menjabat CEO Snapcart

Beralasan untuk fokus mengembangkan produk, Reynazran Royono yang merupakan Founder Snapcart sempat meninggalkan jabatannya sebagai CEO selama beberapa bulan. Posisi tersebut kemudian digantikan oleh Teresa Condicion, sebelumnya menjabat sebagai Chief Data Officer (CDO) di Snapcart selama lebih dari 3 tahun.

Akhir bulan September 2019 lalu Reynazran kembali mengambil alih posisi CEO. Perubahan struktur tersebut berbarengan dengan mundurnya Teresa dari Snapcart. Tidak disebutkan lebih lanjut alasan pengunduran dirinya.

Kepada DailySocial Reynazran mengungkapkan, menjadi lebih sulit baginya untuk bisa mempercepat pertumbuhan dan mengembangkan produk saat menjabat sebagai CEO. Untuk itu posisi CEO terpaksa ditinggalkan sesaat.

Ia menegaskan, restrukturisasi ketika dirinya mengawasi produk telah menghasilkan kemampuan Snapcart untuk mengotomatisasi teknologi sepenuhnya,  kecepatan pemrosesan tanda terima sekarang hanya dalam hitungan detik dibandingkan dengan jam, dengan tingkat akurasi yang jauh lebih tinggi. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk memiliki efisiensi yang jauh lebih baik dalam operasinya.

“Selanjutnya fokus Snapcart adalah dalam komersialisasi layanan secara real-time, untuk mendorong produk yang tidak hanya melayani riset pasar, tetapi juga sektor-sektor lain yang menguntungkan seperti pemasaran, loyalty, dan promosi. Perusahaan akan terus menyempurnakan teknologi untuk memungkinkan ekspansi global di masa depan, sementara secara fundamental bertujuan untuk mencapai profitabilitas.”

Keputusan restrukturisasi demi pengembangan produk

Meskipun tidak memberikan rilis resmi saat posisinya digantikan, namun dalam halaman Medium pribadinya Reynazran menyampaikan sejumlah alasan mengapa keputusan yang terbilang unik untuk mundur sesaat dari jabatan CEO diambil olehnya. Salah satunya adalah fokus kepada satu hal yaitu pengembangan dan inovasi.

“Sebagai CEO, saya harus mengawasi semua fungsi sekaligus, melihat keseluruhan alih-alih fokus pada satu bagian. Sebagai wajah perusahaan saya juga perlu melakukan berbagai tanggung jawab non-operasional seperti penggalangan dana dan hubungan eksternal, yang semuanya memakan banyak waktu dan sumber daya. Saya dapat berfungsi secara efektif sebagai salah satu dari mereka, tetapi saya tidak dapat melakukan keduanya. Pada saat genting seperti ini, sangat masuk akal bagi saya untuk memimpin pemikiran produk untuk Snapcart.”

Pemilihan Teresa sebagai pengganti dirinya untuk menjabat sebagai CEO juga bukan hal yang mudah, Reynazran melihat profil dan pengalaman serta latar belakang yang dimiliki paling ideal untuk memimpin Snapcart sementara waktu.

Sebelumnya Reynazran juga sempat menyampaikan sejumlah target yang ingin dicapai sepanjang tahun 2019. Di antaranya adalah mengembangkan teknologi dengan meningkatkan kemampuan otomasi. Nantinya diharapkan kemampuan untuk data processing bisa menjadi lebih cepat. Dari yang sebelumnya membutuhkan waktu sekitar satu minggu, ke depannya diharapkan bisa dalam waktu 3 hari saja.

Prioritas selanjutnya adalah mempersiapkan teknologi untuk membantu klien terkait atribusi. Snapcart ingin memanfaatkan data yang dimiliki agar bisa digunakan untuk membantu pihak terkait, seperti sektor finansial, pemerintahan, hingga kesehatan.

Application Information Will Show Up Here

Tech in Asia PDC 2019 Bahas Beragam Topik Pengembangan Produk

Tech in Asia tahun ini kembali menggelar Tech in Asia Product Development Conference 2019 (TIA PDC 2019). Konferensi khusus teknologi dan pengembangan produk ini berlangsung di Menara Mandiri Jakarta, pada 3-4 Juli 2019 lalu.

TIA PDC 2019 membawa 9 tracks (fokus pembahasan), mulai dari manajemen produk, pengalaman pengguna, desain produk, hingga analisis data. Terdapat 70 pembicara dari berbagai industri teknologi dengan total 60 sesi content stage.

Melalui sesi-sesi tersebut, para pemateri membagikan insight serta best practice masing-masing, sehingga para peserta bisa mempelajari tren pengembangan produk digital.

Main Stage menjadi panggung yang paling banyak menyita perhatian peserta. Hampir sebagian besar peserta terlihat memadati panggung menyimak sesi dari CPO OVO Albert Lucius yang membawakan topik “Building Product with Massive Fragmented Variables and Facets” dan sesi dari CEO Bukalapak Achmad Zaky yang berbicara tentang “A Flashback Story: Bukalapak’s Product Journey”.

Peserta yang juga berkesempatan untuk mengikuti rekrutmen dan menghadiri pameran teknologi yang diadakan beberapa perusahaan seperti Kata.ai, InstaMac, Tokopedia, Tunaiku, Nodeflux, serta Netcore.

Sesi menarik lainnya ada pada diskusi penel yang diisi oleh praktisi dari Tokopedia, Kata.ai dan Moka. Mereka membahas tentang manajemen produk, mengisyaratkan bahwa pengembangan roadmap harus mengacu pada visi. Peran project manager menjadi krusial untuk menyusun strategi mencapai visi, mulai mengelola timeline kerja hingga prioritas.

Metodologi “design language system” juga menjadi salah satu poin bahasan yang disampaikan. Dengan alur kerja tersebut memungkinkan tim produk dan tim pemasaran untuk berkolaborasi, sehingga pengembangan produk dapat selalu beririsan dengan kebutuhan bisnis.

TIA PDC 2019 diharapkan dapat membantu para penggiat produk agar mampu membuat produk yang mampu melayani kebutuhan pasar dengan dukungan teknologi. Selain itu juga diyakini mampu mendorong produk digital lokal untuk terus beradaptasi, sehingga dapat memfasilitasi para penggunanya dengan baik.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner dari Tech in Asia Product Development Conference 2019

Tindak Lanjut Startup Setelah Meluncurkan Produk Pertama

Peluncuran produk pertama bukanlah sebuah akhir. Jika semua tim bisa bernafas lega setelah persiapan yang menguras tenaga, justru mereka dihadapkan dalam permasalahan yang lebih kompleks. Memastikan produk bekerja dan diterima masyarakat. Post launch bukan hanya soal feedback, tapi bagaimana produk tetap di dalam track dan tetap “meluncur”.

Memulai iterasi dari feedback

Setelah peluncuran, penting untuk tetap menjaga semangat dan ritme kerja tim. Dengan diperkenalkan secara umum tim produk dan pengembangan bisa lebih banyak mendapat masukan dari pengguna yang mencoba ada yang mulai penggunakan produk atau layanannya.

Iterasi bisa dimulai dari sini, setelah MVP pengembangan fitur-fitur yang sangat mungkin didasarkan dari permintaan pengguna. Baik itu perbaikan fitur hingga penambahan fitur lain yang dibutuhkan.

Email, media sosial, atau kanal-kanal lain yang disiapkan untuk menampung keluhan dan kritikan pengguna harus mulai dipantau. Dari kanal-kanal tersebut bisa didapatkan wawasan yang bisa dikonversi menjadi fitur selanjutnya untuk semakin melengkapi produk.

Selain kanal pelaporan kritik atau saran perhatian juga harus diberikan pada analisis. Soal jumlah unduhan, pengguna terdaftar hingga turn back pengguna bisa menjadi bahan penting evaluasi untuk kampanye-kampanye pemasaran di kemudian hari.

Di tahap ini pengembangan tetap harus dilakukan. Harus sudah ada target yang ingin dicapai dan sudah ada timeline apa saja yang akan ditambahkan atau dihapus di rilis atau update selanjutnya.

Memastikan pengguna mendapatkan yang dijanjikan

Melunasi janji. Ini yang harus dilakukan tepat setelah peluncuran. Jika memutuskan untuk menggunakan penawaran atau diskon untuk mendongkrak pengguna awal pastikan mereka mendapatkan diskon mereka. Jika menjanjikan kemudahan fitur maka pastikan juga mereka mendapatkan kemudahan itu.

Intinya ada pada sinkoronisasi apa yang dijanjikan pada saat kampanye pemasaran dengan kenyataannya. Memenuhi ekspektasi pengguna ketika pertama kali memutuskan untuk menggunakan produk atau layanan baru. Hal ini penting tidak hanya untuk kepuasan pelanggan tetapi juga citra baik perusahaan soal konsistensi dan komitmen. Bisa jadi faktor ini bisa berpengaruh pada keberlangsungan bisnis secara menyeluruh.

Ada banyak untuk mengetahui hal ini. Bisa memanfaatkan kanal pelaporan seperti media sosial atau bahkan bisa “menjemput bola” dengan mengirimkan email marketing yang dikirim ke semua pengguna baru untuk meminta tanggapan soal kepuasandan kelengkapan fitur. Sederhana tetapi penting.

Pemantauan dan dukungan

Monitoring atau pemantauan adalah hal wajib yang dilakukan setelah peluncuran. Melihat bagaiman pengguna menggunakan produk yang diluncurkan, bagaimana kebiasaan mereka, kapan waktu paling sering mereka menggunakan produk dan variabel-variabel penting lainnya.

Di samping itu, sebagai tindak lanjut dari peluncuran di laman resmi bisa ditambahkan FAQ (Frequently Asked Question) untuk informasi pengguna-pengguna yang kebingungan dengan fitur, fungsi atau istilah yang ada di layanan atau aplikasi.

Mendengar Pengguna untuk Memvalidasi Ide

Masih dalam seri memvalidasi ide untuk startup, tulisan kali ini akan melengkapi seri sebelumnya yang mengelompokkan validasi ide dalam tiga tahapan utama: (1) menulis atau mengelompokkan ide, (2) mengevaluasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan awal, dan (3) langsung terjun ke lapangan untuk mendapat gambaran nyata tentang respons dari ide.

Ide sendiri bisa datang dari mana saja, sehingga perlu dikelompokkan. Yang membedakan satu ide dengan ide lainnya adalah kesesuaiannya untuk menjadi solusi. Itu mengapa ide perlu divalidasi.

Validasi tahap awal

Ada banyak cara untuk memvalidasi ide yang ada, beberapa di antaranya dengan memecahkan pertanyaan-pertanyaan seperti yang sudah dijelaskan di seri sebelumnya atau menggunakan board atau canvas untuk membantu brainstroming dan menemukan apakah ide tersebut layak dieksekusi.

Menggunakan board atau canvas bisa membantu memetakan pola pikir terhadap ide. Keduanya bisa memperjelas posisi masalah, solusi dan kebutuhan pengguna. Termasuk memetakan risiko yang ada.

Jika di tahap awal, cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan bertatap muka one-on-one dengan target pengguna untuk mengerti pain poin atau solusi yang mereka inginkan. Ini adalah bagian dari terjun langsung ke lapangan. Pendekatan ini bisa dilakukan secara personal, misalnya target pengguna Anda adalah pengusaha yang membutuhkan otomatisasi di bidang pengumpulan data, Anda bisa mendatangi salah satu pebisnis untuk mendengar apa yang butuhkan atau apa yang mereka keluhkan. Di titik ini lebih banyak mendengar akan menjadi lebih baik.

Cara lain untuk bisa mendapatkan umpan balik dari target pengguna adalah bergabung dengan komunitas baik di media sosial maupun secara offline. Cara pertama mungkin bisa jadi solusi untuk bisa menjangkau lebih banyak target pengguna.

Tanyakan tidak hanya soal solusi, tetapi juga bagaimana tanggapan mereka soal harga, metode pembayaran hingga jenis berlangganan yang setidaknya mereka harapkan. Pemahaman tentang kebutuhan target pengguna ini bisa menjadi bahan utama untuk menyusun MVP (Minimum Viable Product).

Sebelum membangun MVP

Ada banyak yang harus disiapkan sebelum melangkah ke MVP. Ide harus terlebih dulu “lulus” sebelum hanya jadi sesuatu yang mengecewakan. Fitur, harga, dan segala bentuk produk awal bisa didapat dari pembicaraan dan evaluasi di tahap awal, tetapi itu saja tidak cukup.

Sebelum benar-benar memutuskan untuk mengeksekusi ide usahakan untuk mendapat wawasan dari mereka yang expert di industri yang ingin disasar. Pembahasan mengenai tren, budaya dan tentu saja perkembangan industri tersebut dari tahun ke tahun bisa jadi modal yang sangat bangun. Startup sangat dengan inovasi, dan inovasi akan sangat berkaitan jika sangat dekat dengan perkembangan sebelum-sebelumnya.

Selanjutnya yang bisa dilakukan adalah mencari rekanan, jika Anda seorang yang memiliki keahlian untuk membuat program Anda bisa mencari rekan yang berasal dari industri yang ingin di sasar atau mereka yang paham tentang strategi pemasaran. Sebaliknya, jika Anda berangkat dari pakar di bidangnya yang sedang mencari solusi berbasis teknologi tapi terhambat dengan penguasaan teknologi itu sendiri maka mencari seorang rekan developer.

Perlu digarisbawahi rekan di sini bukan mereka yang diajak untuk mengembangkan ide bersama, tetapi sebatas rekan untuk memvalidasi ide yang ada. Tentu akan lebih enak jika mereka adalah orang-orang yang dikenal dengan baik.

Selanjutnya yang bisa melengkapi dalam tahap validasi ide adalah melengkapi dengan business plan, atau sederhananya menyiapkan sumber penghasilan dari bisnis. Hal itu tentu wajib, jika ide yang Anda siapkan memang bertujuan dikembangkan untuk bisnis.

Sumber : Medium Founder PlayBook, Entrepeneur

Belajar Mengembangkan Produk Digital Menggunakan React JS dan React Native

Startup dikenal sebagai “term” yang mengisyaratkan proses inisiasi bisnis menggunakan teknologi digital. Peran teknologi di sini menjadi krusial, pasalnya mampu memberikan efisiensi dalam segala proses pengembangan yang dilakukan, baik di sisi produk ataupun pangsa pasar. Hal tersebut karena didukung oleh adopsi digital yang mulai merata di kalangan masyarakat, seperti penggunaan internet dan smartphone.

Bagi startup, produk digital menjadi sebuah DNA yang patut dipikirkan dengan sangat baik dari fase inisiasi, oleh karenanya dibutuhkan sebuah strategi yang ideal dalam pengembangannya. Terkait proses pengembangan tersebut, Product Design Sprint menjadi salah satu yang paling populer di kalangan startup saat ini. Jake Knapp mendefinisikan Product Design Sprint sebagai sebuah proses daur pengembangan produk digital yang juga menerapkan agile di dalamnya. Product Design Sprint diadopsi oleh banyak startup karena prosesnya yang relatif singkat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penting mengenai bisnis melalui desain, prototyping, dan pengujian ide produk ke pasar.

Tahapan-tahapan Product Design Sprint sendiri meliputi lima aspek utama, yakni:

  • Understand – tahapan ini merupakan identifikasi peluang bisnis, penentuan pangsa pasar, mempelajari kompetitor dan bagaimana jalannya persaingan bisnis, penentuan nilai jual produk dibandingkan dengan kompetitor, dan menentukan kriteria sukses.
  • Diverge – tahapan ini merupakan eksplorasi dan pengembangan cara-cara kreatif untuk menangkap peluang bisnis dan dilakukan secara berulang untuk mendapatkan hasil yang optimal.
  • Converge – setelah solusi-solusi kreatif teridentifikasi, maka tahapan selanjutnya adalah pengembangan storyboard yang berfungsi menyampaikan ide atau solusi secara berurutan yang akan diuji pada tahapan akhir.
  • Prototype – tujuan dari tahapan ini adalah membuat versi prototype dari storyboard yang telah dikembangkan sebelumnya. Dari hasil prototype pengujian dapat dilakukan terhadap calon pengguna secara sampling. Banyak software yang dapat digunakan untuk prototyping.
  • Test – tahapan terakhir adalah pengujian guna mendapatkan feedback dari pengguna.

Setelah keluaran dari Product Design Sprint dinyatakan final, barulah proses coding dilakukan untuk merealisasikan konsep tersebut. Di fase ini salah satu cara efektif untuk mempersingkat waktu pengembangan ialah dengan memilih teknologi yang efisien, sesuai dengan metode yang telah dipilih sebelumnya. Di fase ini, pengembangan di sisi antarmuka atau front-end menjadi salah satu langkah krusial, untuk segera menghadirkan MVP terbaik ke pasar. Banyak teknologi yang bisa dipilih, salah satunya React JS dan React Native dari Facebook.

Ada beberapa alasan mengapa React JS dan React Native layak untuk dipilih dalam proses pengembangan produk, di antaranya:

  • Startup Friendly. Dengan sekali pengembangan dapat berjalan pada semua platform meliputi web, Android, dan iOS.
  • Cepat dan Responsif. Dapat menangani banyak pembaruan data dan masih terasa ringan dan cepat.
  • Mudah dipelajari. Jika sudah memiliki pengalaman dengan JavaScript maka akan sangat mempermudah untuk menguasainya.
  • Modular. Alih-alih menulis berkas kode yang besar dan padat, dengan React JS bisa membagi penulisan kode ke dalam banyak berkas yang lebih kecil dan masing-masing berkas dapat digunakan kembali sewaktu-waktu. Modularisasi React ini bisa menjadi solusi bagus untuk masalah pemeliharaan JavaScript.
  • Terukur. Sangat cocok bagi program besar yang menampilkan banyak perubahan data.
  • Tren Pasar. Saat ini semakin banyak perusahaan yang beralih ke React dan membutuhkan banyak tenaga ahli dalam bidang tersebut, sehingga memiliki keahlian tentang React JS maupun React Native akan memberikan nilai tambah.
  • Komunitas Pengguna. Komunitas pengguna yang besar dan aneka tools mempermudah dalam mempelajarinya. React JS dan React Native digunakan untuk pengembangan beberapa aplikasi terkenal seperti Facebook, Whatsapp, Airbnb, Pinterest, Twitter, dan Instagram. Untuk Indonesia telah digunakan pada aplikasi Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan lainnya.
  • Fleksibel. React berkembang dengan sangat cepat. Begitu banyak ruang untuk dijelajahi.

Guna mempelajari tentang React JS dan React Native, Rocketutors akan mengadakan rangkaian training intensif membahas hal-hal esensial terkait teknologi tersebut. Acara akan diselenggarakan pada 14 dan 15 Maret 2018 mendatang di Jakarta, dipandu langsung Simon Sturmer yang pernah menjadi Front-End Engineer Facebook. Untuk pendaftaran dan informasi lebih lanjut, kunjungi laman resminya melalui tautan: http://goo.gl/4N9Gc7.

Artikel Banner-01


Disclosure: DailySocial merupakan media partner Rocketutors untuk acara React JS dan React Native

Yang Perlu Diperhatikan Startup Indonesia Saat Merekrut Pengembang

Untuk meluncurkan produk digital yang berdaya guna tinggi dengan kapabilitas baik, startup digital perlu memiliki susunan tim kuat yang berisi developer atau pengembang perangkat lunak. Fakta di lapanga menunjukkan, sulit sekali untuk bisnis menemukan talenta developer berkualifikasi tinggi untuk mengakselerasi pengembangan produk.

Ada dua alasan utama yang melandasi hal ini. Pertama stoknya memang tidak banyak dan mereka harus bersaing dengan perusahaan besar yang terus merekrut talenta developer. Kedua, startup pemula yang ingin merekrut developer perlu memikirkan banyak aspek, salah satunya terkait fee yang harus diberikan.

Sebenarnya sebagai startup ada beberapa hal yang bisa diandalkan dalam merekrut developer. Dalam sebuah survei yang dilakukan HackerRank, ditemukan data menarik berkaitan dengan apa yang menjadi prioritas seorang developer ketika mencari pekerjaan. Di posisi pertama ada “good work-life balance”, yakni tentang sebuah lingkungan kerja yang menyajikan keseimbangan (terkait dengan waktu) antara bekerja dan berkehidupan. Yang kedua ialah kesempatan untuk pengembangan dan belajar. Kompensasi atau gaji justru berada di urutan ketiga.

hackerrank survey

Startup sebagai sarana pengembangan diri

Di tahap awal, katakanlah sudah dalam seed-stage, fokus startup adalah bagaimana mematangkan produk dari pasar dan model bisnis yang telah tervalidasi. Dinamika masih akan sering terjadi, tentang fitur atau fungsionalitas sistem, sehinngga peran software developer cukup kritis di fase ini. Pasca MVP (Minimum Viable Product) digulirkan, reaksi pasar juga akan memberikan masukan terhadap pengembangan produk. Intinya developer yang direkrut mungkin tidak akan bekerja santai di fase ini.

Jika melihat kondisi di atas, jelas sekali bahwa startup bisa menawarkan ruang untuk berkembang. Selalu ada tantangan baru dan ide-ide yang selalu muncul dalam proses pengembangan di tahap awal tersebut. Terlebih jika startup juga tengah mengikuti program akselerasi, maka ruang bekerja bagi developer turut menjadi ruang belajar yang sangat baik, karena konsepnya “learning by fighting”. Justru yang sulit dijawab ialah bagaimana menyajikan ruang kerja yang seimbang, memberikan banyak keleluasaan bagi developer untuk menjalani kehidupan maupun hobinya. Cara terbaik yang bisa dilakukan ialah dengan memahami dan mengaplikasikan metodologi pengembangan yang tepat.

Menurut Risman Adnan, Direktur R&D ‎di Samsung R&D Institute Indonesia, hukum mendasar yang harus diikuti para founder dan engineer untuk menghasilkan produk berkualitas ada tiga faktor, yaitu hire great engineer (pengaruh terhadap kualitas produk 40%), set engineering culture (30%), dan commitment to the right process (30%). Saat proses pertama bisa dilalui dengan adanya ketersediaan developer dalam bisnis, maka PR-nya adalah poin kedua dan ketiga.

Kultur bukan soal teknologi, tapi soal prinsip-prinsip dasar yang menyatu dengan aktivitas keseharian tim. Bukan pula konsep teoritis, tapi mindset dan aktivitas yang dilakukan secara terus menerus. Karena ini mencakup culture of learning, engineering, communication, trust, time management dan lain-lain. Sedangkan komitmen dalam proses berpengaruh pada metodologi dan tools yang paling sesuai dengan people dan culture startup, yang dapat memfasilitasi proses mencakup fase perencanaan, analisis, desain, konstruksi, pengujian dan iterasi perbaikan.

Kultur kerja menciptakan “work life balance”

Jika digabungkan, kultur dan proses yang benar menyumbangkan persentase mayoritas (60%) dalam melahirkan produk aplikasi yang berkualitas. Dan dua faktor tersebut didesain oleh sistem kerja yang ada dalam startup itu sendiri. Faktor penentunya justru pada founder startup. Jika tengah dalam program akselerasi, kultur pengembangan ini, berkaitan dengan pemilihan metodologi, bisa didiskusikan dalam proses pendidikan yang berlangsung. Tanyakan kepada mentor yang berpengetahuan teknis jika founder tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang pengembangan perangkat lunak.

Mengapa metodologi penting untuk dianut dalam sebuah proses? Jika tidak memiliki proses yang sesuai, tentu produk akan menjadi carut-marut alias tidak terukur perkembangannya, dan jika tidak sesuai metodologinya bisa jadi prosesnya menjadi lebih lama.

Terkait metodologi, Co-Founder & CIO Bizzy.co.id Norman Sasono menuturkan bahwa metodologi dalam pengembangan perangkat lunak didesain untuk melayani tim. Tim dengan pola berbeda, sifat produk yang berbeda, akan membutuhkan metodologi yang berbeda pula, harus disesuaikan.

Untuk startup, menurut Norman, jangan pernah menggunakan metode waterfall, karena tidak sesuai dengan startup yang sedang dalam proses penemuan model bisnis yang tepat. Tidak sesuai dengan model pengembangan produk yang masih sering harus memperbaiki masukan dari pengguna. Sedangkan SCRUM adalah salah satu yang sesuai. SCRUM membagi bakclogs produk dalam beberapa capaian yang pendek. Beberapa capaian pertama tim harus menghasilkan MVP, kemudian berlari lagi menghasilkan rilis lainnya.

Setelah memiliki metodologi dan mengimplementasikan, lantas yang harus dilakukan founder ialah menciptakan pola kerja disiplin. Dari situ manajemen waktu akan lebih terukur, setiap proses dapat lebih terpantau, dan bagi developer pun akan mendapatkan pola kerja yang lebih baik.

Yang harus diperhatikan

Di tahap awal, dengan kondisi finansial yang harus diperhitungkan secara ketat, model talent acquisition atau “bajak-membajak talenta” bukan menjadi cara yang sehat untuk merekrut developer. Di sisi lain, startup juga membutuhkan developer berkualitas agar produknya bisa segera diluncurkan. Merekrut developer pemula atau berpengalaman sedang adalah pilihan yang biasanya diambil, lantas bagaimana cara untuk memastikan kinerjanya baik? Ada beberapa hal fundamental yang bisa diperhatikan, selain dari sisi kultur tadi di atas.

Hal tersebut adalah tuntun agar developer tersebut memiliki proses yang sistematis dalam melakukan pengembangan. Umumnya developer yang baru terjun ke dalam dunia bisnis mereka masih berpikir pragmatis ala “code first, think later”. Kebiasaan tersebut tidak bisa dibawa seutuhnya dalam pengembangan sebuah produk berbasis pangsa pasar. Sebaliknya, kecepatan kode bukanlah sesuatu yang harus selalu di urutan pertama, namun ada sebuah proses yang harus dilakukan yakni memahami konteks permasalahan untuk menghasilkan ketelitian spesifikasi dan desain.

Istilah full-stack developer juga erat dengan developer di tahap new entry, yakni mereka bekerja “serabutan”, tidak fokus pada satu permasalahan. Misalnya mereka tetap mengerjakan backend, manajemen database, hingga desain frontend. Jika benar hendak merekrut developer untuk dijadikan full-stack, disarankan untuk memilih yang berpengalaman. Namun jika dikaryakan dalam role yang spesifik, misalnya hanya untuk mendesain antarmuka aplikasi, maka bisa merekrut developer pemula.

Kemampuan Umum yang Harus Dimiliki Seorang Product Manager

Peran product manager di dalam startup memang diperlukan. Kaitannya dengan mencari bentuk terbaik sebuah produk atau layanan dan juga untuk inovasi. Bagi startup penting untuk mencari orang-orang yang tepat untuk mengisi posisi ini. Bagi mereka yang tengah menyiapkan diri untuk menjadi product manager berikut beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh para product manager.

Untuk menjadi product manager setidaknya ada dua kemampuan inti yang harus dimiliki. Pertama adalah kemampuan emosional dan sosial dan yang kedua adalah kemampuan teknis. Kemampuan emosional dan sosial akan banyak membantu product manager dalam pengelolaan tim dan memahami pengguna. Sedangkan untuk kemampuan teknis bisa sangat berperan dalam diskusi dengan tim teknis terkait dengan teknologi yang digunakan untuk sebuah fitur atau teknologi yang sekiranya optimal dan bisa diterima dengan baik oleh pengguna.

Kemampuan manajemen

Salah satu kompetensi yang tergabung dalam kompetensi inti yang telah disebutkan sebelumnya adalah kemampuan manajemen. Baik memanajemen diri sendiri mau pun tim. Di samping itu kepekaan terhadap sosial menjadi poin penting yang tidak boleh dilupakan. Kemampuan manajemen dan kepekaan terhadap lingkungan sosial bisa membantu product menager untuk memahami tim dan juga memahami pengguna.

Product manager sering kali diibaratkan sebagai penghubung antara kebutuhan pasar dan juga tim pengembang. Itu artinya product manager wajib memiliki kemampuan untuk berdiskusi dan berkomunikasi dengan pengguna baik untuk mendapatkan umpan balik melalui berbagai cara. Setelah itu product manager juga bertanggung jawab menerjemahkan keinginan pasar kepada tim pengguna dengan baik agar fitur atau produk yang dikembangkan selanjutnya sesuai dengan kebutuhan atau paling tidak berguna bagi pengguna.

Kemampuan teknis

Selanjutnya adalah kemampuan teknis, kemampuan yang wajib dimiliki untuk bisa berkomunikasi dengan baik dengan tim pengembang dan tim teknis dalam perusahaan. Pemahaman teknologi juga sangat diperlukan untuk bisa memberikan pertimbangan yang berbobot bagi tim teknis.

Salah satu kemampuan teknis yang harus dimiliki adalah kemampuan terkait data. Baik itu mengoleksi, mengolah, dan mengambil wawasan dari data tersebut. Meski product manager bisa dibantu dengan tim lain yang memiliki kemampuan lebih terkait dengan data kemampuan untuk “membaca” data menjadi satu hal yang wajib dimiliki.

Simak seri tulisan tentang pengembangan produk untuk startup:

Seri Pengembangan Produk #1: tentang Product Management dan Product Manager
Seri Pengembangan Produk #2: tentang Product-Market Fit
Seri Pengembangan Produk #3: tentang Minimum Viable Product

Ide Saja Tidak Cukup, Butuh Kesiapan Lebih sebelum Menghadap ke Investor

Pada umumnya, proses terbentuknya sebuah startup baru berawal dari seseorang (founder) yang menemukan sebuah ide produk atau bisnis, lalu berusaha ingin merealisasikannya. Di tahap awal, walaupun mungkin jumlahnya tidak signifikan, ada banyak modal yang harus dipenuhi. Mulai dari waktu untuk mengerjakan produk tersebut, fasilitas pendukung, hingga hal lain berkaitan dengan operasional. Startup butuh modal awal, dan salah satu cara untuk memenuhinya dengan menggandeng rekanan investor guna mendapatkan seed-funding (pendanaan tahap awal).

Ide-ide baru yang dicetuskan startup tahap awal selalu menarik, mencoba menyelesaikan permasalahan yang ada dengan cara yang selalu diklaim lebih efisien dan lebih terjangkau. Nyatanya beberapa startup memang membuktikan bahwa ide yang dimilikinya berhasil “mengubah dunia”, sebut saja cikal-bakal GO-JEK atau Tokopedia. Tapi sekarang startup tengah menjadi tren, setiap hari selalu ada ide baru yang muncul, ada startup baru yang dilahirkan.

Fenomena tersebut sedikit menggeser pandangan tentang sebuah startup, yang tadinya memfokuskan pada penyelesaian masalah dengan ide-ide segar, kini banyak yang tidak konsisten dalam melakoninya. Publikasinya startup baru, tapi yang disampaikan ke konsumen atau investor hanya sebatas nama startup, logo dan landing page, tanpa ada progres yang berkelanjutan.

Mendapat investasi menjadi agenda yang banyak diinginkan startup baru, tujuannya untuk cepat merealisasikan ide tersebut menjadi bisnis yang nyata. Namun investor butuh diyakinkan tidak hanya menggunakan ide atau visi yang ditulis dalam slide. Ada beberapa hal yang seharusnya disiapkan dengan baik.

Ide yang sudah tervalidasi, berdasarkan kebutuhan di lapangan

Memvalidasi ide bisa dilakukan dengan beragam cara. Bisa dengan menunjukkan angka-angka hasil riset atau survei terkait dengan permasalahan yang ingin dipecahkan, atau coba menunjukkan ide tersebut kepada khalayak, apakah sesuai dengan apa yang dibutuhkan.

Konsep dari produk yang sudah dijalankan MVP-nya

Ide menjadi gambaran yang sangat abstrak, memiliki Minimum Viable Product akan memberikan pemahaman yang lebih gamblang kepada investor tentang bagaimana solusi tersebut bekerja. Atau setidaknya sudah harus ada proof-of-concept. Karena ini sekaligus menunjukkan bahwa ide tersebut sangat memungkinkan untuk dieksekusi dan direalisasikan.

Memahami betul konsumen dari produk

Pada akhirnya produk dikembangkan untuk digunakan oleh pangsa pasar, karena dari situ proses bisnis akan bekerja. Yakinkan bahwa solusi dari ide yang saat ini ada benar-benar ada yang membutuhkan. MVP bisa menjadi cara terbaik untuk menguji, apakah hipotesis terkait dengan ide tersebut sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.

Meyakinkan tentang kapabilitas founder dan tim

Di luar dari hal berkaitan dengan produk, unsur internal juga penting untuk digambarkan dengan jelas. Yakni tentang siapa founder dari startup tersebut dan tim pendukungnya. Latar belakang founder dan tim akan sangat berpengaruh –atau memberikan keyakinan lebih, bahwa produk yang dikembangkan bisa berhasil, karena memiliki keterampilan dan penguasaan terhadap masalah.

Jadi, pada dasarnya ide saja tidak cukup. Temuilah investor dengan empat kesiapan di atas. Suguhkan presentasi terbaik dengan menunjukkan bukti-bukti terukur tentang rencana bisnis yang akan digerakkan bersama startup baru.

Cerita Perjalanan Kegagalan Zenc Labs dalam Pengembangan Produk

Founder & CEO Zenc Labs, François Wouts, memiliki cerita menarik tentang liku-liku perjalanannya dalam membangun startup. Cerita ini diangkat karena memiliki beberapa pembelajaran penting yang dapat menjadi pertimbangan bagi pembaca yang berniat untuk pivot dari pekerjaan profesional yang sudah dimiliki saat ini dan membangun sebuah startup.

François sendiri sebelumnya sudah memiliki karier yang cukup nyaman di Google, dengan berbagai fasilitas penunjang dan pendukung yang ia sebut sangat mencukupi untuk kesehariannya. Termasuk gaji yang nilainya tidak kecil, karena ia menjadi salah satu staf di tim pengembangan. Namun setelah tiga tahun di Google, akhirnya memutuskan untuk keluar.

Dua tahun sebelum keluar François mencoba belajar tentang startup, dari program YCombinator dan para pendiri yang sudah menuai kesuksesan. Ia memahami betul bahwa startup sangat erat dengan kegagalan, eksekusinya harus sempurna. Sebagai orang yang memiliki kompetensi teknis, François juga mencoba menyerap berbagai ilmu lain, termasuk desain dan pemasaran dari rekan-rekannya sebelum benar-benar memulai startup.

Pentingnya melakukan validasi ide, karena berkaitan dengan prospek bisnis

Pada akhirnya bulan Maret 2017 François resmi keluar. Dan salah satu gagasan ide yang coba divalidasi ialah mengembangkan sebuah alat yang dapat membantu developer menjadi lebih produktif, dengan menghadirkan IDE yang memudahkan developer untuk coding. Sebagai seorang pengembang ia tahu betul tentang isu-isu personal seorang developer. Gagasan prototipe itu pun coba terus dieksplorasi.

Akhirnya sebuah IDE bernama Modular berhasil dikembangkan, dengan mengedepankan kemampuan agar para developer fokus dalam penulisan kode berdasarkan modul pengembangan. François cukup bangga dengan karya tersebut, karena dinilai akan merevolusi cara developer dalam mengembangkan aplikasi. Dan setelah tiga bulan berjalan akhirnya prototipe tersebut memiliki fungsional dan antarmuka yang cukup lengkap. Namun ada satu hal yang dilupakan François, selama tiga bulan pengembangan produk ia sama sekali tidak berbicara dengan calon pengguna.

François tersadar bahwa yang ia pikirkan baru di satu sisi saja, menciptakan produk yang bagus. Namun tidak memiliki rencana bisnis apa pun dengan produk tersebut. Bahkan ketika dipikirkan sebagai sebuah alat yang gratis, produk tersebut ternyata masih terlalu rumit untuk menjadikan hidup pengembang menjadi lebih mudah. François merasa gagal sebelum benar-benar meluncurkan produk tersebut.

Terlepas dari kegagalan tersebut, François mempelajari banyak hal, baik dalam teknis pengembangan maupun unsur lain terkait pembuatan bisnis. Salah satunya ia menyadari bahwa suasana hati adalah ukuran yang tidak bisa benar-benar diandalkan. Artinya keyakinan saja tidak cukup, harus benar-benar diukur dengan kondisi pasar yang ada.

Temukan permasalahan yang benar-benar dihadapi oleh pengguna

Modular akhirnya diujicobakan ke salah satu teman François yang juga seorang pengembang, dan jawabannya tidak tertarik. Namun dari pertemuan dengan rekannya tersebut akhirnya François justru menemukan sebuah permasalahan, yakni tentang kebutuhan sebuah sistem sederhana untuk mengelola server berbasis Amazon Web Serives (AWS). Kebanyakan pengembang tidak memiliki banyak waktu untuk mengatasi kompleksitas AWS, dan umumnya yang dilakukan ialah mendelegasikan ke DevOps paruh waktu.

Dan ini adalah babak baru lahirnya Zenc Labs, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Modular dihentikan, dan sebuah aplikasi untuk DevOps layanan AWS segera dikembangkan. Sebagai alumni dari Google, François cukup kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan pengembangan di AWS, bisa dipelajari namun membutuhkan waktu ekstra. Usahanya pun berhasil, sebuah prototipe kembali dilahirkan, dan rekannya tadi diminta untuk menjadi penguji.

Beberapa umpan balik diberikan, namun solusi yang ditawarkan akhirnya diterima, dan dianggap akan bermanfaat. François memutuskan untuk mempublikasikan prototipenya ke kanal sosial yang dimiliki. Benar saja banyak masukan, terutama terkait UX, dan itu menjadi sebuah materi menarik untuk optimasi layanan. Hingga akhirnya kini petualangan startupnya dimulai, dan rencana bisnis yang solid pun sudah didefinisikan dengan produk barunya tersebut.

Melawan ego untuk terus berfokus pada tujuan awal yang sudah terdefinisi

François turut menyampaikan, di tahap ini ketika ia sudah memiliki rencana yang matang bukan berarti tanpa tantangan. Masih ada ego yang perlu dilawan, karena di tengah perjalanan ada perasaan yang memaksa untuk berhenti mengerjakan produk yang dikerjakan sekarang ini. Ketika bertemu masalah baru, juga egonya meningkat ingin mencoba pivot lagi. Namun François sadar betul, untuk tetap fokus menyelesaikan apa yang sudah dimulai, dan kali ini sudah tervalidasi.

4 Penyebab Utama Inovasi Tidak Berkembang

Merujuk pada hasil survei yang diadakan oleh Boston Consulting Group bertajuk “Most Innovation Companies” mengemukakan sebuah fakta menarik. Banyak CEO dari perusahaan teknologi (89 persen) menempatkan inovasi sebagai prioritas tertinggi dalam roda bisnis perusahaan. Alasannya salah satunya dikemukakan pada sebuah penelitian dari GE, yakni kekhawatiran ditinggalkan oleh konsumen. Sederhana, karena konsumen selalu menginginkan pembaruan untuk penyesuaian kebutuhan.

Rasa-rasanya sangat wajar, seperti yang kita rasakan sehari-hari, teknologi berkembang begitu dinamis. Selalu menawarkan cara-cara baru yang lebih menarik dan efektif untuk menyelesaikan permasalahan kita. Hal ini tentu juga berdampak langsung bagi para startup digital, sebagai pengembang solusi pemecahan masalah melalui pendekatan teknologi. Sampai sini kita setuju, bahwa startup digital tidak akan mungkin bisa terlepas dari inovasi produk dan bisnis.

Lantas apa yang diperlukan untuk senantiasa memupuk berbagai unsur dalam tubuh startup untuk terus berinovasi. Tak lain adalah orang-orang yang ada di dalamnya, sebagai penggerak bisnis dan inovasi. Sayangnya sering kali ada beberapa “sikap” yang dilakukan, baik secara sadar ataupun tidak, yang ternyata berdampak buruk bagi produktivitas anggota tim dalam kaitannya dengan inovasi.

Berikut ini empat hal yang perlu dicermati sedini mungkin, agar inovasi di startup tidak terhambat:

Founder membatasi kreativitas hanya pada pemikirannya saja

Kinerja terbaik dari sebuah inovasi bukan dimulai dari arahan untuk pengembangan sebuah produk dari manajemen, melainkan memastikan para pengembang memahami masalah yang ingin diselesaikan. Ketimbang selalu mendikte dalam inovasi produk, founder lebih baik senantiasa melengkapi tim dengan area masalah untuk dijelajahi, termasuk memberikan ruang untuk menemukan dan memvalidasi masalah pelanggan. Kadang pemikiran unik justru datang karena pemikiran baru.

“Jika eksekusi adalah pemecahan masalah , kreativitas adalah pencarian masalah,” Chief Design Officer SAP Sam Yen.

Membatasi “gerak” anggota tim

Setelah permasalahan mampu didefinisikan, langkah selanjutnya ialah mengumpulkan informasi dan sumber daya untuk membangun solusinya. Namun tidak sedikit founder yang memilih terlalu tertutup, dalam artian membatasi sumber daya yang ada di perusahaan saja, baik itu data, laporan atau hal-hal lain yang mendukung pengembangan. Akhirnya cakupan terlalu sempit.

Validasi eksternal sangat diperlukan, karena dalam tahap ini masalah tersebut divalidasi. Berarti perlu mencari pelanggan untuk menguji setiap asumsi yang sudah disusun. Dan cara yang paling tepat ialah dengan membuka pintu selebar-lebarnya bagi para anggota tim untuk keluar, menguji hipotesisnya dan mencari tahu detail yang sebenarnya dibutuhkan untuk pengembangan tim.

Selama tahap validasi solusi, ini berarti menguji pasar. Sambil mensosialisasikan gagasan di dalam perusahaan, meneliti ukuran pasar yang diproyeksikan sangat penting.

“Keluarkan tim Anda dari gedung dan mintalah mereka berbicara dengan setidaknya 20 orang. Anda akan mulai melihat pola dan temuan menarik pada mereka,” Steve Blank, seorang serial-entrepreneur dari Silicon Valley.

Mempertaruhkan dalam satu inovasi besar

Di tahap selanjutnya, setelah masalah ditemukan dan tervalidasi dengan baik oleh pasar, yang biasanya dilakukan ialah memasukkan seluruh kekuatan tim ke dalam proyek tersebut. Semua waktu, anggaran, dan berbagai komponen lainnya difokuskan untuk satu inovasi tersebut.

Namun dari beberapa cerita startup yang pada akhir pivot atau gagal, sering melakukan hal ini. Yang pada akhirnya mereka mengatakan, bahwa ternyata membuat temuan tersebut berproses normal lebih baik, ketimbang harus mengambil risiko untuk memasukkan semua ke dalam satu proyek. Ambillah pendekatan portofolio untuk inovasi.

Mengambil terlalu banyak proyek baru

Hanya berada di satu titik tidak baik, namun terlalu banyak agenda juga tidak baik. Yang terpenting adalah memikirkan bagaimana sebuah proyek inovasi mampu tumbuh secara berkelanjutan. Semua harus memiliki target capaian yang jelas, dan jangan biarkan target tersebut gagal dan molor. Selain tidak efisiensi dari sisi sumber daya, hal tersebut juga menutup berbagai kemungkinan inovasi potensial lainnya.

Ini tidak mudah dilakukan, pasalnya sering kali founder berpikir tentang “kesempatan tidak datang dua kali”. Memang benar, oleh karenanya pengukuran kemampuan dan disiplin terhadap pengembangan inovasi sangat perlu untuk ditegakkan.