Bagaimana Startup Memvalidasi Produk Menurut Perspektif Nicko Widjaja

Validasi produk adalah langkah awal yang penting bagi startup dan tidak boleh terlewatkan sebelum melanjutkan ke tahapan berikutnya. Perjalanan untuk menemukan product-market fit sebenarnya tidak berhenti titik tertentu, melainkan terus berlanjut dan berkala sesuai dengan perkembangan dinamika pasar.

Tiap startup memang punya kisahnya masing-masing saat memvalidasi produknya. Berkat bertemu dengan banyak startup, investor juga punya perspektif yang menarik untuk dikulik lebih jauh soal ini. Untuk membahasnya lebih jauh, dalam sesi ini mengundang CEO BRI Ventures Nicko Widjaja sebagai super mentor webinar DSLaunchpad 3.0 x AWS.

Validasi produk bukan proses singkat

Nicko menjelaskan, validasi produk itu artinya ingin menyelesaikan masalah dengan solusi yang diciptakan dan dipakai oleh orang yang tidak dikenal dan mau untuk membayarnya. Untuk mencapai titik tersebut, butuh waktu yang tidak sebentar karena perlu iterasi terus menerus agar terus sejalan dengan kebutuhan konsumen.

Kesalahan terbesar yang sering ia lihat adalah ambisi startup yang terlalu besar, misalnya sebagai solusi satu atap untuk satu ekosistem. Ia menyarankan sebaiknya dimulai dari hal terkecil terlebih dulu, namun berangkat dari masalah yang nyata dan punya dampak sosial yang besar.

Salah satu contoh terdekatnya adalah bagaimana bisnis ride hailing bisa tumbuh dari awalnya ingin meningkatkan produktivitas pengemudi ojek dapat menerima banyak penumpang, hingga kini dapat menjadi kurir makanan, paket barang, dan sebagainya.

Impact ini baru terasa ketika validasi produk itu berjalan dan ini enggak satu step saja tapi multiple steps. Setelah use case pertama selesai, muncul validasi ide kedua. Setelah berhasil mengoptimalkan idle time pengemudi, muncul isu pembayaran yang memicu validasi produk soal wallet, ternyata banyak pengemudi yang enggak punya uang kembalian. Tapi saat itu use case-nya masih sangat sedikit, ini yang akhirnya perlu dibuktikan.”

Hal yang sama juga terjadi buat startup healthtech untuk produk telemedisnya. Sebelum pandemi, fitur tersebut memiliki use case yang sangat sedikit karena orang masih awam dengan fungsinya. Namun hal tersebut terbalik saat pandemi dan menjadi validasi terbaik untuk telemedis. Ia pun juga melihat bahwa keberhasilan validasi produk itu juga bergantung pada faktor timing, keberuntungan, dan series of events.

“Akhirnya saat ini telemedis berkembang pesat, enggak hanya di situ tapi juga industri pendukungnya. Ada juga insurance, fintech, dan edutech yang berkembang pesat saat ini. Efeknya dari validasi produk yang berhasil itu akan begitu besar dampaknya ke depan.”

Dia melanjutkan, “Sebenarnya yang saya lihat dari validasi produk itu adalah tahapan di mana semua asumsi kita di tes dan apabila kita berhasil membuktikan ini valid, apa yang bisa dilakukan setelah ini. Sebab, jarang sekali startup bangun sesuatu yang benar-benar di luar dari apa yang dia bangun dari core product-nya.”

Asumsi musuh terbesar founder

Menurut Nicko, asumsi adalah musuh terbesar bagi seorang founder. Sebab, validasi produk adalah moment of truth yang membuktikan bahwa asumsi yang dituangkan founder dalam deck dan dipresentasikan ke investor itu benar atau salah. Pasang asumsi terlalu tinggi pun tidak baik karena dapat berdampak buruk, paling parah startup bubar. Oleh karenanya, ketika asumsi salah, founder harus menerima kenyataan tersebut dan perlu bergerak cepat untuk mengubah strateginya.

“Jelas sekali metriknya bukan lihat jumlah apalagi masih di tahap awal. Sebab bicara jumlah itu baru bisa dilakukan ketika masuk Seri B karena membicarakan skalabilitas. Jadi yang penting jumlah tidak perlu tinggi, tapi convertion rate-nya yang tinggi. Karena kalau enggak ada convertion, berarti validasinya salah. Convertion itu rasio, bukan jumlah, ini yang sering orang lupa,” kata dia.

Dalam mengukur validasi produk banyak metrik yang bisa dipakai, namun menurut Nicko, jangan sampai metrik tersebut membuat founder jadi fanatik. Misalnya, founder ingin memakai indikator MAU, itu diperbolehkan asalkan juga memakai take rate, untuk melihat bottom line-nya seperti apa. Atau memakai indikator GTV yang modelnya seperti website traffic, itu tidak apa-apa kalau pengunjung lihat-lihat dulu. Tapi yang penting harus ada convertion rate. “Intinya jangan sampai metrik itu membohongi diri sendiri,” tutup Nicko.

Perjalanan Wahyoo Memvalidasi Produk untuk Pengusaha Warung Makan

Validasi produk adalah langkah penting bagi startup tahap awal yang tidak boleh terlewatkan sebelum melanjutkan ke tahapan berikutnya. Perjalanan untuk menemukan product market fit sebenarnya tidak berhenti titik tertentu, melainkan terus berlanjut dan berkala sesuai dengan perkembangan dinamika pasar.

Tiap startup punya perjalanan masing-masing saat memvalidasi produknya, Wahyoo juga punya cerita sendiri terkait hal ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer akan berbagi pengalamannya saat memvalidasi produk di Wahyoo pada sesi rangkaian program inkubasi DSLaunchpad ULTRA.

Berawal dari startup periklanan untuk warung makan

Wahyoo awalnya berdiri karena keinginan Peter untuk merevitalisasi warung makan agar semakin enak dilihat sehingga dapat dipakai brand untuk beriklan secara offline. Segmen ini dilirik Peter tak lain karena ia punya pengalaman pernah bekerja untuk perusahaan agensi. Hingga 1,5 tahun sejak awal berdirinya Wahyoo, ia mengaku belum menerapkan teknologi apapun karena fokusnya saat itu yang berbeda jauh dengan perkembangan saat ini.

Setelahnya, tim Wahyoo banyak melakukan diskusi dengan pemilik warung makan apa saja yang sebenarnya mereka butuhkan adalah rantai pasok. Ketika isu ini diangkat, mereka langsung berupaya mengatasinya lewat bermitra dengan pihak ketiga, toh perusahaan belum memiliki tim teknologi sendiri. Alhasil, semuanya dilakukan secara outsource.

“Wahyoo agak unik karena kita bukan menyiapkan teknologi dari awal, makanya enggak ada MVP. Kita sempat kewalahan karena pakai outsource tidak full time, jadi setiap ada feedback dari konsumen prosesnya lamban. Situasi ini memaksa kita untuk jalan dulu yang penting order ke kita, sampai akhirnya operasional kita berantakan banget,” ujarnya.

Situasi tersebut akhirnya teratasi berkat akuisisi Wahyoo terhadap Alamat.com. Dari situ, Wahyoo kini memiliki tim teknologi dan produk yang dapat membuat laju Wahyoo lebih lancar sebagai startup teknologi.

Setelah isu rantai pasok teratasi, kebutuhan pemilik warung makan juga ikut bertambah. Mereka butuh tambahan penghasilan di luar dagangan makanannya, Wahyoo pun bermitra dengan brand F&B untuk memperluas channel penjualnya. Berikutnya, menambahkan fitur layanan finansial untuk membantu cashflow mereka saat mengembangkan usahanya.

“Berangkat selalu dari masalah dulu, apa yang mereka butuhkan. Lalu kita buat produk dan minta validasi dari mereka, pelajari responsnya. Kami juga ingin memastikan apakah ada impact dari setiap hal yang kami lakukan karena kami ingin warung makan ini bisa sejahtera, cost efficient, generate more revenue, dan menyelesaikan financial issue-nya.”

Selalu memerhatikan metrik

Peter menekankan validasi produk itu harus dilakukan karena bisa membantu menghemat pengeluaran, baik dari segi waktu dan uang. Sekaligus cara untuk mitigasi risiko startup tersebut tutup. Pasalnya, banyak teori yang menyebut dari 10 startup hanya satu yang berhasil, sisanya gagal, itu disebabkan oleh ketidakhadirannya product market fit.

“Kita pasti ingin produk kita keren, dicari banyak orang, bahkan ekstremnya apakah ada kemungkinan konsumen bisa demo kalau produk kita tidak ada. Kalau ada impian seperti itu, maka perlu lakukan validasi pasar.”

Untuk membantu validasi, Wahyoo menggunakan metrik retensi dan kontribusi margin. Peter menjelaskan untuk retensi, mengingat target pengguna Wahyoo itu cukup unik, maka perlu proses edukasi yang harus dilakukan agar mereka menjadi pengguna setia.

Dalam mempertahankan kedua metrik tersebut, Wahyoo mendesain aplikasinya dengan fitur-fitur pendukung, seperti daily check-in, tantangan, dan sebagainya untuk menumbuhkan rasa ketergantungan dengan Wahyoo. Perusahaan pun juga memerhatikan seberapa sering konsumen memesan produk lewat Wahyoo, mengingat model bisnis utama mereka adalah pemesanan produk untuk rantai pasok.

“Kita ingin mereka sesering mungkin buka aplikasi Wahyoo dan rajin belanja. Makanya kita buat fitur daily check-in, ada macam-macam tantangan juga, ini untuk make sure lewat fitur ini bisa tumbuh behaviour untuk pakai aplikasi kita terus.”

Kemitraan dengan brand juga diperbanyak, agar pemilik warung bisa menambah sumber pendapatan dari penjualan lainnya. Terlebih dalam di tengah pandemi ini, kebutuhan tersebut makin tinggi. Peter menyampaikan, omzet dari 100 mitra warung yang disurvei turun drastis antara 25%-75% semenjak PPKM diberlakukan. Dampak paling drastis dirasakan oleh warung makan yang berlokasi dekat perkantoran dan kampus.

“Kita terus memikirkan bagaimana dapur itu tetap ngebul, makanya sekarang ini penting punya online presence. Jadi pandemi itu bagi kita bagai blessing in disguise,” pungkasnya.

Belajar dari Pengalaman Member.id Membangun dan Memvalidasi Produk

Dalam perjalanannya membangun bisnis, Co-founder & CEO Member.id Marianne Rumantir bercerita tentang bagaimana ekosistem startup di Indonesia berkembang hingga sekarang ini. Dunia startup tak lagi identik dengan pelaku bisnis atau produk berlatar belakang IT, tetapi juga solusi kreatif dan disruptif.

Pada kesempatan kali ini, ia berbagi pengalaman dan cerita seputar pengembangan dan validasi produk/layanan. Selengkapnya, simak paparan Marianne Rumantir pada sesi rangkaian program inkubasi DSLaunchpad ULTRA berikut ini.

Mencari tahu ide bisnis bernilai atau tidak

Pelanggan merupakan metrik validasi yang umum untuk mengetahui apakah produk/layanan yang dikembangkan bernilai atau dapat menyelesaikan masalah mereka. Menurut Marianne, terkadang perlu mengambil langkah besar untuk mengembangkan produk meskipun memakan waktu lama. Tetapi, penting pula untuk melakukan kalkulasi. Produk tidak harus sempurna, tetapi paling tidak dapat memberikan dampak terhadap pelanggan/klien.

“Di situ kami tahu bahwa we are making difference with our solution. Bukan perfect product, at least you are providing or helping them. Jika ada appetite pada produk, ini pertanda ada yang mau pakai,” ujar Marianne.

Dalam konteks pelanggan di segmen B2B, ia juga menyoroti pentingnya komunikasi dua arah serta utilisasi data untuk mengetahui implementasi produk/layanan dapat memberikan perubahan terhadap bisnis klien dan memenuhi kebutuhan mereka.

“Komunikasi secara berkala penting untuk mempertajam alignment. Tujuannya untuk memastikan kebutuhan terpenuhi, apalagi kerja sama untuk jangka panjang,” tambahnya.

Pengalaman saat melakukan product validation

Setiap startup pasti pernah melalui perjalanan berliku saat melakukan product validation. Marianne menceritakan bagaimana ia dan timnya pernah mengalami kegagalan memvalidasi produk karena pandemi Covid-19. Situasi ini membuat permintaan pasar terhadap produknya turun secara drastis.

Diungkapkannya, Member.id pernah meluncurkan aplikasi Madoo yang memungkinkan pengguna mengonversi point dan miles dari merchant, seperti OVO, Gopay, AirAsia, dan Garuda. Ketika perusahaan melakukan soft launch, pandemi pun terjadi dan penerbangan dilarang. Situasi ini menyulitkan proses validasi Madoo mengingat nilai jual aplikasi ini terletak pada tukar point dan miles.

“Padahal kami sudah lakukan riset satu setengah tahun pada R&D untuk membangun produk. Kami juga sudah investasi miliaran Rupiah. Such a bad timing. Akhirnya, kami postpone produk sampai situasinya membaik. Kadang-kadang ada situasi tidak terduga yang membuat demand pasar jatuh,” ungkapnya.

Situasi semacam ini memang tidak terelakkan. Terlepas dari itu, Marianne menyebut bahwa umumnya product validation dapat memakan waktu hingga 1-2 tahun. Ini untuk mengetahui apakah pada periode ini pelaku startup dapat memperoleh customer atau klien yang mau memakai produk/layanannya.

Mencari investor hingga exit plan

Pengembangan produk selalu akan berkaitan dengan kecukupan modal yang dimiliki startup di tahun-tahun pertamanya. Marianne menilai perkembangan industri startup semakin matang. Bagi pelaku startup, ini menjadi momentum yang tepat untuk membangun sebuah produk/layanan. Investor semakin banyak yang berani berinvestasi untuk pendanaan tahap awal (seed round).

“Situasi ini menjadi peluang bagus karena sebetulnya kita tidak perlu big money di awal untuk mengembangkan produk. We just need good amount of money dan konsep produknya untuk satu tahun pertama. Investor juga semakin banyak yang mau berinvestasi di seed,” paparnya.

Ia juga menggarisbawahi tentang beberapa hal lain seputar investor. Pertama, penting untuk mencari investor yang dapat menjadi strategic partner, terutama yang sudah memiliki banyak portofolio investasi. Ini dapat menjadi satu kesempatan bagi startup untuk mencari customer baru/klien dari portofolio milik investor.

Kedua, mencari investor yang dapat memberikan pendampingan dalam membangun produk dan bisnis hingga exit plan. “Kalau di VC, [investasi VC] startup tidak minta balik modal, hanya tutup bisnis yang berarti no longer burning money. Setiap investor punya exit plan yang berbeda. Makanya, cari investor yang dapat kasih konsultasi untuk bangun bisnis.”

Cerita Proses Validasi Pasar Mekari, Mulai dari Sleekr hingga Keputusan Konsolidasi

Di tengah pasar yang kompetitif dan serba tidak pasti, pengusaha dituntut untuk sangat berhati-hati dengan langkah-langkah yang diambil untuk memulai sebuah bisnis. Sebelum berbicara mengenai sustainability atau status “unicorn”, seorang founder harus bisa lebih dulu memvalidasi ide startup mereka.

Terkait hal tersebut Co-Founder & CEO Mekari Suwandi Soh berbagi banyak dalam sesi webinar DSLaunchpad ULTRA pekan lalu.

Dalam perjalanan kariernya, ia sempat menjajal banyak bidang seperti quality assurance, consulting productivity, dan business process improvement. Sebelum pada tahun 2014, ia mulai melihat peluang untuk bisnis software dalam membantu meningkatkan kinerja sumber daya manusia atau human resources (HR) pada perusahaan. Mimpi awalnya adalah untuk mendigitalkan semua proses manual dan repetitif dalam lingkup HR. Ia ingin mengembangkan solusi teknologi untuk mengubah cara kerja HR yang dinilai masih sangat konvensional.

Berawal dari proyek akhir pekan, Sleekr solusi HR berbasis cloud yang awalnya hanya digunakan untuk internal perusahaan, resmi diluncurkan untuk publik di tahun 2015. Selama beroperasi beberapa tahun, platform tersebut berhasil mencapai sejumlah milestone hingga akhirnya memutuskan untuk melakukan konsolidasi dengan beberapa startup yang kini dikenal dengan Mekari.

Fokus pada area kompetensi

Ketika pertama kali melihat peluang dalam industri HR, ada banyak sekali masalah yang bisa diangkat, seperti manajemen kinerja, pelatihan karyawan, gaji, dan sebagainya. Pada saat itu, Suwandi yang masih bekerja full-time di perusahaan sebelumnya merasa tidak bisa mencakup semuanya dalam satu waktu. Maka dari itu, ia memutuskan untuk mengangkat masalah yang paling sering ditemukan dan sesuai dengan kompetensi timnya. Dalam hal ini adalah employee database dan time-off.

“Agak berbeda dengan B2B software, kita tidak bisa melakukan bare minimum. Masalah dalam ranah HR ada banyak, maka dari itu, dalam mengembangkan software ini kita cari masalah yang paling bisa kita build, yaitu employee database, dan yang umum ditemui di semua perusahaan adalah time-off. Setelah itu baru expand,” ujar Suwandi

Karena Sleekr saat itu adalah proyek akhir pekan dan masih bootstrapping, Suwandi sendiri mengaku ada banyak hal yang harus dipelajari untuk bisa sampai pada product/market fit. Dengan jaringan investor, ia belajar menyusun pitch deck dan mulai membuat konsep produk. Setelah mencapai traksi yang signifikan dan diterima pasar, baru ia mulai fokus. Dalam validasi pasar, traksi bisa berupa adopsi fitur dan kemauan membayar atau willingness to pay.

Di masa awal pengembangan produk, Suwandi mengaku ingin lebih dulu menyasar pasar global. Hal ini didasari oleh kecenderungan masyarakat Indonesia yang masih belum mau merogoh kocek untuk solusi teknologi. Namun, seiring perjalanan ia menemukan fakta bahwa ini hanya masalah segmen seperti apa yang disasar.

Mengenai target market global, Suwandi turut mengungkapkan,”Hal itu memang menarik, jarang ada produk SaaS asal Indonesia mencapai hasil signifikan di luar. Namun, yang harus diperhatikan adalah kita harus realistis dengan kompetensi engineering di Indonesia. Jika punya keyakinan dan kompetensi tinggi, maka tidak ada yang tidak mungkin,” tambahnya.

Aktif berinteraksi dengan pengguna

Dalam proses menemukan pasar yang tepat, diperlukan komitmen yang juga kuat. Suwandi mengakui, di masa awal produknya rilis untuk publik, ia juga bekerja sebagai customer support. Ia berinteraksi langsung dengan pengguna dan mengamati setiap prosesnya. Dari situ ia mempelajari kebiasaan pengguna dan fitur seperti apa yang memegang peran dan yang tidak signifikan.

“Kita sebagai founder bisa ambil peran sebagai customer support beberapa lama sampai punya tim yang bisa dipercaya, itu merupakan area yang sangat vital.”

Pada beberapa perusahaan, sebelum mengembangkan produk, akan ada tim yang ditugaskan untuk melihat seperti apa kebutuhan pengguna. Mereka akan menemui sejumlah pengguna dan berdiskusi. Itu merupakan proses validasi yang pertama. Setelah produk dikembangkan, ada banyak alat bantu untuk mendapatkan data. Dari situ akan dilihat isunya seperti apa dan estimasi waktu untuk bisa menemukan product/market fit.

Pentingnya relasi yang baik dengan pengguna kembali dicetuskan Suwandi ketika menjawab salah satu pertanyaan terkait pergerakan inovasi di dunia startup yang serba dinamis, ia mengatakan bahwa sulit untuk bisa menjaga inovasi untuk tidak ditiru oleh pemain lain. Namun satu hal yang penting adalah seberapa besar pemahaman kita terhadap pengguna. “Fitur bisa ditiru tapi pemahaman pengguna susah ditiru.” sebutnya.

Kembali pada visi dan misi

Di tahun 2019, Sleekr meresmikan konsolidasi dengan tiga startup, yaitu Talenta, Jurnal, dan Klikpajak. Ketika itu timnya menyadari bahwa software HR belum menjadi prioritas pada banyak bisnis. Ada kebutuhan lebih mendesak seperti accounting atau pembukuan. Mereka mulai mempertimbangkan bundle yang sesuai dan mencari produk yang juga relevan. Pada saat itu visi mereka bukan lagi fokus ke HR tapi lebih ke business operating system.

Tidaklah mudah untuk menyatukan lebih dari dua perusahaan dengan visi dan misi masing-masing, namun keempat perusahaan ini berhasil menyesuaikan berbagai aspek hingga tercipta satu kesepakatan dengan merek baru yaitu Mekari. Mekari sendiri diambil dari satu kata kerja, mekar. “Kita ingin punya peran aktif membuat UKM di Indonesia empowering the progress of business and its people,” tambahnya.

Dalam proses awal melakukan merger ini, terjadi perubahan dari kompetisi jadi konsolidasi. Untuk menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan, perusahaan melakukan meeting internal untuk membahas visi dan misi. Dalam pertemuan itu, dibahas juga ekspektasi serta komitmen masing-masing. Jadi, ke depannya sudah bisa diproyeksikan seperti apa. Begitu juga dengan yang lain, semua harus disepakati di awal. Suwandi menegaskan meskipun bukan pembicaraan yang nyaman, tapi penting untuk dilakukan sejak awal.

Terkait masa depan Mekari, Suwandi mengungkapkan, “Visi kita adalah menjadi bisnis platform yang bisa memberdayakan bisnis-bisnis di Indonesia. Yang ingin kita capai adalah agar Mekari bisa ada di semua bisnis di Indonesia. Definisi kesuksesan kita adalah ketika pengguna bisa meningkatkan produktivitas operasional bisnis menggunakan software kita.”

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here