Sudah Saatnya Pemerintah Mendorong Perbaikan Menyeluruh Melalui Transformasi Digital

Hari ini (20/7) saya melakukan perpanjangan SIM di kantor Samsat Polres Purworejo, Jawa Tengah. Setelah menjalani serangkaian proses –dari cek kesehatan, pemberkasan, pengambilan sidik jari dan foto—nama saya dipanggil oleh petugas untuk mengambil hasilnya. Bukan kartu SIM berwarna putih yang saya dapatkan, melainkan secarik kertas berwarna oranye sebagai SIM sementara. Petugas mengatakan bahwa kartu SIM belum bisa diterbitkan lantaran bahan material habis, konon di level nasional.

Saya pun menanyakan, estimasi waktu kartu SIM bisa jadi dan diambil. Petugas hanya menyarankan saya untuk datang dan memeriksa ke kantor Satlantas secara rutin untuk menanyakan – kemungkinan besar akan lebih dari sebulan. Dalam formulir pengajuan perpanjangan SIM, saya mengisikan alamat email dan kontak ponsel.

Hal menarik berikutnya ialah saat proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) beberapa waktu lalu. Prosesnya menyita perhatian hampir masyarakat seantero nusantara. Pasalnya sistem zonasi (mewajibkan calon siswa SMP dan SMA sederajat bersekolah di wilayah terdekat) kecolongan dengan adanya kecurangan, yang paling memprihatinkan disebabkan karena penyalahgunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).

Aturan pemerintah memberikan porsi 20% untuk siswa ber-SKTM di tiap sekolah. Layaknya menjadi sebuah kesempatan emas, banyak peserta didik yang nilainya kurang baik diakali dengan mengajukan SKTM ke Kantor Desa untuk mendongkrak nilai.

Terkait SKTM bodong, beberapa wilayah seperti Jawa Tengah sudah melakukan langlah represif dengan melakukan cross-check dan survei ke rumah untuk peserta didik ber-SKTM. Di Jawa Tengah 78.065 SKTM dibatalkan.

***

Lalu mari kita amati dua kasus di atas untuk menemukan variabel yang dapat ditarik menjadi solusi. Pertama soal ketersediaan material pembuatan kartu SIM yang habis secara massal. Dalam setiap kartu SIM terdapat tanggal kedaluwarsa, berdurasi 5 tahun dan disesuaikan dengan tanggal lahir. Ini menjadi salah satu data yang sebenarnya dapat diolah untuk menghasilkan analisis dan proyeksi soal kebutuhan material kartu SIM dan arus pembuatannya.

Ilustrasi tentang visualisasi data / Pexels
Ilustrasi tentang visualisasi data / Pexels

Melalui teknik pengolahan kualitatif, data dapat digunakan untuk menemukan tren terkait dengan peak time pembuatan atau perpanjangan SIM — sehingga dapat dijadikan rujukan untuk pemesanan bahan-bahan dalam kerangka waktu tersebut. Untuk memudahkan pembacaan data, dapat dibuat juga sebuah visualisasi sederhana yang dibagi per sektor.

Tantangannya mungkin pada infrastruktur data yang harus dibangun, mengingat data tersebut tergolong yang harus ditempatkan di server lokal. Namun jika masalahnya memang pada keterbatasan anggaran untuk itu, saat ini banyak skema penerapan teknologi yang memudahkan implementasi di tahap awal, misalnya menggunakan solusi berbasis hybrid-cloud.

Solusi tersebut bisa menempatkan sebagian data krusial ke dalam server yang dikelola secara on-premise, sisanya memanfaatkan Platform as a Services (PaaS) dan IaaS (Infrastructure as a Services) yang disediakan oleh vendor komputasi awan – khususnya untuk penyebaran dan akses layanan.

Memulai dengan integrasi data

Kemudian soal isu SKTM dalam proses PPDB. Langkah represif yang dilakukan Pemerintah Daerah setempat melakukan check & re-check SKTM dengan data kependudukan setempat. Idealnya pengecekan tersebut menjadi solusi preventif yang dilakukan saat proses pendaftaran. Sehingga tidak terlebih dulu mendapatkan tempat. Ada beberapa solusi berbasis digital yang dapat diterapkan.

Salah satunya dengan mengembangkan aplikasi sederhana yang dapat memvalidasi keabsahan SKTM. Trigger-nya bisa berupa NPWP atau NIK orang tua, sehingga diketahui jenis pekerjaan dan besaran pendapatan yang didapat. Atau jika hendak lebih mendalam, bisa juga menambahkan validasi yang didasarkan data pertanahan, untuk mengetahui aset yang dimiliki orang tua. SKTM sendiri diterbitkan secara manual oleh perangkat di Balai Desa.

Sayangnya langkah tersebut saat ini terlihat sulit terealisasi, pasalnya masing-masing badan di pemerintahan belum punya (setidaknya sejauh pengamatan saya) standardisasi dalam pengelolaan struktur data. Serta adanya model integrasi yang dapat saling dikaitkan, misalnya dalam bentuk Application Programming Interface (API) untuk kebutuhan query data.

Menjadikan transformasi digital sebagai visi

Dasar pemikiran yang harus ditanamkan bahwa transformasi digital tidak sekadar memanfaatkan komputer untuk membantu kegiatan operasional. Lebih dari itu, di dalamnya terdapat serangkaian tindakan yang mengarahkan pada efektivitas proses bisnis. Teknologi hanya satu dari banyak aspek yang harus dipenuhi, didukung aspek lain seperti inovasi berkelanjutan, kolaborasi antar pihak, pengelolaan dan analisis data, hingga mengedepankan kultur data-driven (memastikan setiap tindakan terukur dan didasarkan data).

The building blocks of digital transformation / Ionology
The building blocks of digital transformation / Ionology

Regulasi menjadi penting untuk menyusun ulang atau setidaknya menjadi pedoman restrukturisasi fondasi data antar lembaga. Prosesnya tidak dapat dipusatkan di awal, namun bergerak eksponensial seiring dengan peningkatan platform. Ini adalah investasi besar, namun banyak hal yang nantinya bisa dituai. Termasuk untuk bidang-bidang lain, misalnya dalam mengurangi kesenjangan sosial.

Data Bank Dunia menempatkan “Kesempatan Kerja” menjadi salah satu kesenjangan terbesar di Indonesia, dengan persentase mencapai 62,6 persen. Masyarakat dianggap sulit untuk menemukan lapangan kerja yang sesuai. Namun di lain sisi, industri juga kesulitan untuk menemukan talenta guna memenuhi tenaga kerja di perusahaannya. Mudahnya, lihat situs lowongan seperti LinkedIn, setiap hari ada jutaan kesempatan kerja ditawarkan. Masalahnya, mengapa kesempatan itu tidak berbanding lurus dengan ketersediaan di masyarakat?

Lantas sekarang kita bayangkan jika pemangku kebijakan (dalam hal ini Kemendikbud dan Kemenristekdikti) mulai menyusun strategi berbasis data. Dari kondisi riil yang ada saat ini, mereka dapat memetakan sebaran lulusan beserta kompetensi yang menjadi spesialisasi. Kemudian bekerja sama dengan Kemenaker untuk memetakan data kebutuhan tenaga kerja dari berbagai perusahaan di seluruh penjuru Indonesia.

Dari konsolidasi data tersebut maka akan didapatkan kesimpulan, kompetensi apa yang surplus dan defisit dihasilkan oleh universitas beserta sebarannya. Dibandingkan dengan kesempatan kerja apa yang surplus dan defisit dibutuhkan industri beserta sebarannya.

Disadari betul, tidak mudah melakukan perombakan ketika ada sangkut pautnya dengan kepentingan politik. Namun justru di tahun politik seperti masa-masa yang akan kita hadapi sebentar lagi menjadi kesempatan untuk me-refresh ulang calon-calon pengisi kursi pemangku kebijakan, didasarkan pada pandangan strategis nan visioner yang ditawarkan. Sulit memang untuk merealisasikan hal-hal di atas, tapi akan lebih sulit lagi saat kita mendapati ketertinggalan negara kita di jaman yang semakin kompetitif.

Operator Seluler Tri Hentikan Pengembangan E-money

Setelah sebelumnya sempat mengajukan izin lisensi uang elektronik (e-money) ke Bank Indonesia, operator seluler Tri Indonesia (Tri) menghentikan upaya mereka untuk pengembangan layanan tersebut. Keputusan ini ditegaskan oleh Chief Commercial Officer Tri Indonesia Dolly Susanto saat acara peluncuran paket data “Keep On” hari ini di Jakarta.

“Sebelumnya memang kami sudah menyiapkan diri untuk meluncurkan layanan e-money, namun setelah terbitnya peraturan baru dari BI sekitar tiga minggu lalu yang menyebutkan bahwa 51% lisensi harus dimiliki oleh perusahaan lokal, rencana tersebut harus kami hentikan.”

Tri sendiri saat ini dimiliki oleh Hutchison Whampoa dengan komposisi saham 65%, sedangkan sisanya dimiliki oleh Tiga Telekomunikasi sebagai investor lokal.

Awalnya e-money yang rencananya bakal dikembangkan oleh Tri merupakan bagian dari perluasan bisnis menyasar marketplace &Co dan Bima+. Dengan skema pembayaran berbasis e-money, Tri berharap bisa mengembangkan pilihan pembayaran tersebut.

“Meskipun rencana tersebut dihentikan, tidak menutup kemungkinan Tri nantinya akan menjalin kolaborasi dengan mitra yang relevan dan tentunya telah memiliki izin tersebut,” kata Dolly.

Menambah jumlah kemitraan

Dalam kesempatan tersebut Tri juga meresmikan kemitraan dengan aplikasi streaming video dan musik populer di Indonesia. Aplikasi yang kini bekerja sama di antaranya JOOX, Spotify, Viu, HOOQ, Mobile Legends, Deezer dan Google Play. Untuk memberikan pilihan lebih kepada pengguna, Tri juga menyediakan pembelian potong pulsa (carrier billing) penggunaan aplikasi tersebut.

“Memang sebelumnya kami sudah mengumumkan kerja sama dengan aplikasi yang ada saat ini, namun dengan paket data Keep On dari Tri, semua pilihan tersebut sudah disematkan langsung khusus kepada pengguna Tri,” kata Dolly.

Saat ini Tri mengklaim mengalami peningkatan penggunaan kuota internet. Dari data yang dirangkum, sebanyak 70% penggunaan internet lebih kepada video streaming, sementara 30% adalah music streaming.

“Kami juga mencatat peningkatan penggunaan mobile games memanfaatkan kuota internet Tri. Selain memanfaatkan Bima+, pengguna juga bisa membeli permainan langsung dari Google Play,” kata Dolly.

Saat in Tri mengklaim telah memiliki sekitar 33 juta pengguna. Sebanyak 80% di antaranya adalah kalangan millenial. Dengan pilihan baru tersebut diharapkan pengguna yang ada bisa lebih banyak memanfaatkan layanan pembayaran potong pulsa dari Tri.

Application Information Will Show Up Here

Bank Indonesia Mulai Akui Tanda Tangan Digital

Dalam lima tahun terakhir industri teknologi finansial mulai berkembang di Indonesia. Tidak hanya soal layanan dan para pemain yang terus bermunculan, perkembangan juga terlihat dari segi regulasi.

Bank Indonesia juga terlihat aktif melakukan pendataan dan pemeriksaan untuk produk dan layanan teknologi finansial. Yang terbaru Bank Indonesia juga terlihat mulai mengakui  tanda tangan digital melalui masuknya PrivyID sebagai layanan penunjang fintech yang sudah lolos pemeriksaan bank Indonesia.

PrivyID masuk dalam daftar setelah melalui proses, diperiksa, dan dinilai oleh Bank Indonesia melalui beberapa aspek. Mulai dari teknologi tanda tangan digital yang disediakan, bagaimana manajemen risiko informasi, kondisi keuangan sampai dengan transaksi yang dilakukan.

“Setelah terdaftar di BI, orang jadi bisa tahu bahwa tanda tangan digital dari PrivyID ini bukan sekedar oret-oret di tablet karena diawasi oleh regulator sekelas bank Indonesia. Banyak perusahaan fintech atau tanda tangan digital mengklaim mereka yang paling ini paling itu. Tapi pada akhirnya kan kita butuh pihak ketiga yang netral untuk menilai, dan Bank Indonesia sangat kompeten menilai perusahaan fintech dari penunjangnya,” ujar CEO PrivyID Marshall Pribadi.

Tanda tangan digital sejauh ini diproyeksikan sebagai kunci atau identitas di internet yang akan melindungi akun atau memverifikasi keaslian seseorang/lembaga. Dengan Bank Indonesia yang mulai mengakui tanda tangan digital bukan tidak mungkin ke depannya para penyedia layanan teknologi finansial bisa memulai terobosan untuk memanfaat tanda tangan digital untuk lebih menjamin keamanan transaksi yang ada.

Aturan tandan tangan digital sendiri sebenarnya sudah tertuang dalam UU ITE. Dan langkah BI dengan mengakui tanda tangan digital bisa menjadi awal yang baik untuk implementasi ke depannya.

Mengeksplorasi Potensi Pemanfaatan Blockchain di Indonesia

Melalui artikel terdahulu yang bertajuk “Mengenal Cryptocurrency dan Mekanisme Transaksinya”, DailySocial mengulas konsep dasar cryptocurrency dan cara kerja blockchain sebagai salah satu aplikasinya. Dari ulasan tersebut disimpulkan, bahwa secara umum blockchain memberikan beberapa manfaat ketika diterapkan dalam sebuah proses bisnis. Pertama, sifatnya yang terdesentralisasi dapat memperluas akses keuangan karena tidak terbatas adanya perantara dalam proses transaksi. Hal ini sekaligus menghadirkan efisiensi karena tidak ada batasan waktu dan tempat dalam operasinya.

Kedua, menciptakan solusi keuangan dengan biaya transaksi yang lebih murah –jika dibandingkan dengan rate transaksi konvensional—dengan tetap mengedepankan keamanan transaksi. Sifat mata uang crypto yang tersusun dari algoritma rumit (terenkripsi) dan divalidasi oleh jaringan yang mengusung membuat blockhain dinilai sangat aman. Dengan keunggulan tersebut, diharapkan bisnis perbankan akan menjadi yang paling merasakan disrupsi blockchain, terlepas dari penerapan riil saat ini yang masih terbatas.

Menurut Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Eny Panggabean, penerapan blockchain di sektor finansial publik di Indonesia dapat didesain menjadi beragam bentuk. Misalnya untuk mendukung layanan pembayaran lintas negara (cross-border payment) dan remitansi melalui private blockchain. Selain yang merujuk langsung pada transaksi finansial, Eny turut menyampaikan beberapa skenario lain yang dapat didorong melalui blockchain, misalnya mencatat kepemilikan tanah, membantu rekap perdagangan saham, hingga merekam obligasi pemerintah.

Ettienne Reinecke, CTO Dimension Data Group, turut memberikan contoh penerapan blockchain yang dirasa cukup visioner dengan perkembangan digital, yakni mendukung bisnis Internet of Things (IoT). Dalam IoT platform berjalan secara real-time, pebisnis akan menghasilkan jutaan transaksi yang dikumpulkan dari mesin yang terdistribusi. Log yang dihasilkan akan sangat banyak. Jika sistem tersebut menerapkan model transaksional dan harus dikelola secara tersentralisasi, menggunakan middleware sebagai perantara,  kemungkinan besar sistem akan menjadi lambat dan mahal.

Mengenal risiko

Di balik sifatnya yang terdesentralisasi, modal blockchain juga menghadirkan beberapa risiko yang perlu dicermati. Sistem berbasis blockchain tergolong sangat “bebas”, artinya tidak ada jaminan perlindungan konsumen seperti dalam proses yang tersentralisasi (misalnya Bank Indonesia sebagai regulator). Semua transaksi dikelola di ranah publik, sehingga privasi data konsumen juga terancam tidak terjaga baik. Di luar  sistem, blockchain juga memungkinkan terjadinya kegiatan kriminal, seperti pencucian uang dan pendanaan untuk kegiatan terorisme –pihak berwenang akan sulit untuk melayak atau mengontrol kegiatan transaksi tersebut.

Salah satu tugas utama negara dalam sektor keuangan ialah menjaga stabilitas sistem yang ada. Jika blockchain tidak diregulasi, besar kemungkinan akan terjadi disrupsi yang mengganggu sistem. Kebijakan sentralisasi yang ada saat ini selalu menitikberatkan kebijakan moneter dari aturan yang dirilis Bank Indonesia. Untuk itu jika memang ke depannya akan dimungkinkan penerapan blockchain secara masif, sejak sekarang perlu ada banyak hal yang dilakukan, khususnya untuk pihak yang berkepentingan meregulasi sistem moneter di negara.

Hal krusial yang tidak pertama dilakukan ialah adanya uji coba dan melakukan pembuktian dari keandalan yang ditawarkan oleh blockchain ain. Dari situ, pemerintah perlu menyesuaikan regulasi dan menyusun aturan untuk penegakan hukum sebagai payung penyangga sistem yang berjalan, misalnya guna mencegah kegiatan pencucian uang atau korupsi. Lalu, harus ada tata kelola, manajemen risiko, dan standardisasi operasional yang kuat, tujuannya untuk menghindari fragmentasi pasar. Untuk membangun sistem blockchain sebenarnya juga diperlukan investasi yang tidak sedikit, sehingga perlu dilakukan kajian mendalam soal ROI (Return of Investment) dari penerapannya.

Studi kasus penerapan blockchain di Indonesia dan dunia

Bank Central Asia (BCA) mengklaim saat ini sudah menggunakan teknologi blockchain untuk aktivitas operasional di internal perusahaan. Visi dari penerapannya ialah untuk mempercepat transaksi pembayaran, mengurangi kompleksitas transaksi di back-office. Selain itu juga ada POS Indonesia, perseroan ini mengembangkan sebuah sistem bernama “Digiro.in”, yakni penerapan blockchain untuk layanan multicurrency atau lebih tepatnya ialah untuk evolusi layanan giro yang menjadi salah satu model bisnis yang diterapkan POS Indonesia.

Ada juga Digital Artha Media Corporation (DAM Corp), sebuah perusahaan fintech-enabler beroperasi di Indonesia yang mencoba mengembangkan solusi white label blockchain untuk membantu perusahaan di bidang finansial. Solusi yang ditawarkan diklaim mampu membantu perusahaan dalam melakukan transisi dari model bisnis tersentralisasi menjadi terdesentralisasi. Sebuah startup asal Singapura juga baru mengumumkan kehadirannya di Indonesia. Bernama Veiris, startup tersebut mengusung teknologi visual komputer berbasis blockchain guna membantu korporasi menyelesaikan proses Know Your Customer untuk meningkatkan engagement dengan para mitra.

Infografik penerapan blockchain di Indonesia / DailySocial
Infografik penerapan blockchain di Indonesia / DailySocial

Di luar negeri, blockchain juga sudah mulai terealisasi. Misalnya di Kanada, Royal Bank of Canada (RBC) sudah mengembangkan sebuah sistem berbasis Distributed Ledger Technology (DLT) yang diberi nama Hyperledger. Penerapannya sudah diaplikasikan untuk membantu transaksi dengan cabang bank di wilayah Amerika Serikat dan Kanada. Menariknya, Hyperledger didesain secara terbuka, melalui mekanisme tertentu institusi perbankan bisa terhubung ke dalamnya. Di Singapura, Bank Oversea-Chinese Banking Corporation (OCBC) menerapkan blockchain untuk membantu memuluskan transaksi antar kantor Cabang di Singapura dan Malaysia. Dengan suksesi tersebut, diklaim membuat proses transaksi hanya memakan waktu maksimal 5 menit.

Pendapat para pakar soal implementasi blockchain

Dalam sebuah kesempatan diskusi di sesi #SelasaStartup yang diselenggarakan DailySocial, salah satu pemateri Country Blockchain Leader IBM Indonesia, Juliandri Jenie, menerangkan lebih lanjut seputar implementasi blockchain di beberapa bidang. Di awal presentasinya ia menunjukkan tentang ambisi Spotify membawa blockchain di industri musik digital. Pada bulan April 2017 lalu, Spotify mengakuisisi sebuah startup blockchain bernama Mediachain Labs. Tujuannya Spotify ingin menghadirkan sebuah mekanisme perhitungan dan pembayaran royalti yang lebih adil untuk pencipta musik. Keunggulan blockchain yang ingin dikembangkan ialah untuk melacak melacak siapa pencipta lagunya, judul lagu yang sudah diciptakan, dan sebagainya, sehingga royalti dapat didistribusikan dengan lebih tepat juga.

Untuk di Indonesia Janie menjelaskan ada beberapa bidang yang dapat dioptimalkan dengan blockchain, salah satunya di bidang supply-chain. Menjelaskan soal aplikasinya, ia menuturkan:

Blockchain akan sangat terasa manfaatnya untuk perusahaan supply chain. Keuntungan yang bisa mereka rasakan adalah peningkatan visibilitas informasi logistik dan dokumentasi di seluruh rantai pemasok. Keuntungan lainnya termasuk mengurangi biaya dan risiko melalui otomasi, pelacakan yang dapat diukur dan aman terhadap risiko fisik dan kejadian dalam rantai pasokan, serta memungkinkan terciptanya model bisnis baru.”

Menjelang akhir tahun lalu, DailySocial turut hadir dalam konferensi blockchain internasional di Bali. Di sana beberapa ahli menyampaikan ide dan penemuannya soal pemanfaatan blockchain di tingkat lanjut. Salah satu praktisi blockchain yang hadir adalah Chief Scientist CyberMiles Michael Yuan. Dalam presentasinya ia menjelaskan bagaimana bisnis e-commerce dapat terbantu dengan teknologi blockchain, misalnya untuk menghadirkan efisiensi dalam manajemen identitas, termasuk membantu mewujudkan sistem pelacakan dan keaslian produk, karena semua data bisa disimpan di dalam blockchain dan disinkronisasikan ke semua jaringan. Solusi seperti itu dinilai bisa merevolusi kembali bisnis dan teknologi e-commerce.

Menurut Matej Michalko, CEO Decent, di konferensi yang sama, blockchain dinilai dapat menjadi solusi dari masalah menaun yang menghantui industri konten, yakni pembajakan. Dengan sistem blockhain, para kreator dengan mudah menjual dan mendistribusikan konten ke para penikmat konten secara langsung dengan mekanisme yang disebut dengan “data exchange”. Bayangkan jika sebuah konten dapat didistribusikan dengan enkripsi dan identitas yang unik untuk setiap penikmatnya. Ketika terjadi distribusi di luar ketentuan, pelacakannya akan lebih mudah atau bahkan menjadi mustahil lantaran sistem enkripsi yang diterapkan.

Bank Indonesia sebagai regulator

Sebagai langkah preventif, Indonesia perlu segera menyusun kebijakan baku soal blockchain. Perkembangannya tidak terlihat, namun jika melihat tren teknologi yang ada sebelumnya yang memiliki perkembangan sangat cepat, Bank Indonesia menjadi komponen kunci di sini.

Pertama, dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen, perlu diciptakan solusi pengaduan, penanganan, atau transparansi dalam setiap proses bisnis yang diterapkan.

Infografik payung regulasi yang perlu disiapkan untuk blockchain di Indonesia / DailySocial
Infografik payung regulasi yang perlu disiapkan untuk blockchain di Indonesia / DailySocial

Bank Indonesia juga perlu menjadi trigger terjadinya kolaborasi lintas otoritas, termasuk membangun kemitraan dengan pihak internasional mengingat cakupan blockchain tidak terbatas di suatu negara. Untuk mencegah dampak negatif dalam penyelenggaraan sistem pembayaran, perlu adanya ketetapan untuk menjamin kesetaraan di sistem pembayaran yang diaplikasikan. Yang terakhir, sekaligus paling esensial, Bank Indonesia perlu menjadi penentu skala prioritas. Teknologi boleh saja maju dengan tetap mempertimbangkan perkembangan, stabilitas, dan integritas ekonomi negara.

Menurut pemaparan Bank Indonesia dalam sebuah kesempatan, pihaknya membutuhkan waktu dua tahun untuk menyelesaikan proses kajian penerbitan uang digital, kurang lebih akan selesai pada tahun 2020 mendatang. Tampaknya regulasi blockchain akan menjadi salah satu bagian di dalamnya.

Antusiasme blockchain di Indonesia sebagai sinergi tahap awal

Menyusul perkembangan blockchain yang ada di dunia dan di Indonesia, enam perusahaan blockchain lokal (Blocktech Indonesia, Blockchain Zoo, IndoDAX, Indonesian Blockchain Network, Luno, dan Pundi X) mendirikan Asosiasi Blockchain Indonesia.

Diketuai CEO IndoDAX Oscar Darmawan, asosiasi tersebut membawa sejumlah visi. Salah satunya ialah untuk mendorong kolaborasi antara pemangku kebijakan dengan pelaku usaha yang akan menggunakan blockchain dan cryptocurrency sebagai landasan teknologi.

Sebagai langkah awal, asosiasi juga telah menjadi bagian Kamar Dagang Indonesia (KADIN) untuk bersama-sama merumuskan program penyelarasan perkembangan blockchain dengan regulasi di Indonesia.

Issuing Regional Regulation, 11 Provinces Have Set Online Taxi Quota

Ministry of Transport has listed 11 provinces issuing regional regulation (perda) to organize online transportation.

The release is in accordance with government provision listed in Ministry of Transport Regulation (Permenhub) PM 108/2017 on The Implementation of People Transportation With Vehicles Not In Route, there are regulations regarding rental transportation in particular.

The provinces are DKI Jakarta through Jabodetabek’s Transportation Management Department (BPTJ), East Java, West Java, Central Java, North Sumatera, Lampung, South Sumatrera, West Sumatera, Bengkulu and East Borneo.

North Sumatra for example has set online taxi quota for 3.500 units, Lampung for 8 thousand units, East Java 4.445 units and Jabodetabek for 49.500 units.

Quoted from Bisnis, Land Transportation General Director Budi Setiyadi said its team has set boundaries for regional government to issue the regulations by the end of January 2018.

“Tolerance up to the end of January due to Ministry Regulations [PM] on February [yet to issue regulations] there will be an act,” he said.

The act will be held on February 2018 precisely on the first and second week, as a reprimand or disciplinary operation (operasi simpatik) for certain rental vehicles not following the rules. After two weeks, further law enforcement will be delegated to the officer.

He continued on Permenhub organizing daring taxi, is an act of neutral government in responding daring and reguler taxi.

East Java has officially authorized online taxi

East Java has recently operated rental vehicles in particular by setting Governor Regulation (Pergub) to organize online taxi quota operating only 4.445 units. Consists of 3 thousand units in Gresik, Madura, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo and Lamongan. In addition, 225 units in Malang Raya and the rest in others.

The quota is counted by the needs and scattered population of East Java. The counting is off to save the ride hailing companies. The imbalanced availability and necessity will threaten the company’s existence.

The official released is marked by sticker patching as online taxi already obtained an operational permit from East Java Department of Transportation. The sticker is patched on the online taxi’s exterior. Quoted from Kompas, of the quota set, there are only 113 online taxis having license to operate of 2,418 submissions.

“Up to this day, we only proceed licence for 113 units of nine companies,” said Wahid Wahyudi Head of Transportation Department on Thursday (1/4).

The company will continue with the license process, starting from administration checks to online taxi KIR test.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

OJK Siapkan Beleid Baru untuk Industri Fintech

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal kembali merilis beleid baru terkait industri fintech, rencananya aturan ini akan diumumkan pada 18 Januari 2018. Bersamaan dengan itu, OJK juga akan menerbitkan aturan untuk sektor keuangan lainnya seperti pasar modal untuk pendanaannya dan persoalan produk lindung nilai mata uang (hedging currency).

Terkait aturan baru soal fintech, sayangnya OJK masih tutup mulut hal apa yang akan diatur. Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisioner OJK Wimboh Santoso.

[Baca juga: Rangkuman Perkembangan Lanskap Fintech Indonesia Sepanjang Tahun 2017]

“Kami concern masalah fintech, bagaimana pendalaman pasar keuangan dan pasar modal supaya lebih aktif lagi. Detailnya nanti [saat diumumkan],” kata Wimboh seperti dikutip dari Tempo.

Sejauh ini, OJK baru merilis satu aturan terkait fintech pada akhir 2016 untuk pemain p2p lending dengan model bisnis on balance sheet lending. Aturan turunan dari beleid tersebut baru membuahkan tiga surat edaran OJK. Satu di antaranya sudah disahkan mengenai Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada LPMUBTI.

Sementara, ada dua aturan lainnya masih berstatus rancangan mengenai Pendaftaran, Perizinan, dan Kelembagaan Penyelenggaraan LPMUBTI dan Penyelenggaraan LPMUBTI. Padahal, sebelumnya pihak OJK menuturkan bakal ada sekitar 14 aturan turunan dari POJK No 77/2016.

Kinerja industri p2p lending

Di samping itu, semenjak diberlakukannya POJK Fintech, OJK masih merampungkan proses pendaftaran pemain p2p lending untuk mendapatkan surat tanda terdaftar. Tercatat ada 27 perusahaan yang sudah mengantongi surat tanda terdaftar.

Mengutip dari Kompas, satu perusahaan berkantor pusat di Surabaya dan sisanya di Jakarta. Dilihat dari status badan hukumnya, sebanyak 19 perusahaan adalah perusahaan lokal dan 8 perusahaan asing.

OJK juga mencatat ada 87 perusahaan p2p lending yang sudah berkomunikasi dengan regulator terkait perolehan surat tanda terdaftar ini. Namun, dari yang sudah mengantongi surat tersebut, sekitar 32 perusahaan masih dalam proses mendaftar dan 8 perusahaan baru menunjukkan minat.

Secara industri industri, OJK mencatat jumlah pembiayaan yang telah disalurkan mencapai Rp2,26 triliun hingga November 2017. Dari angka tersebut disalurkan kepada 290.335 debitur.

Untuk mendorong pengembangan, pengaturan, dan pengawasan fintech di Indonesia, OJK sedang menyusun roadmap fintech untuk lima tahun ke depan. Tak hanya itu, OJK juga telah berkoordinasi dengan otoritas terkait untuk membentuk Fintech Center di level nasional.

Fintech Center bertugas melakukan koordinasi agar penyelenggaraan kegiatan fintech tetap dapat tumbuh dan berkembang, namun dengan tidak melupakan aspek keamanan dan perlindungan konsumen.

QR Code’s Implementation for Payment and Its Regulations in Indonesia

Payment methods began to evolve in recent years. One of the most widely used is QR Code (Quick Response Code) payment. By installing the application supported by the payment provider, users can complete the transaction by scanning the QR Code. This method is expected to give transaction experience in an easier way. The latest development occurred is Bank Indonesia to issue the regulations of QR Code standard. It is also being discussed by Payment System Association of Indonesia (ASPI).

This technology is not only developed by payment provider startups but also being considered by other payment service providers; one of which is MasterCard Indonesia. MasterCard Indonesia starts to introduce the technology this year, to reach enterprise industries in areas with no EDC technology. MasterCard Indonesia will play a role as payment facilitator for banks.

Beside Mastercard Indonesia, Bank Mandiri was also reviewing the QR Code application for payment in November. As quoted from Kontan’s Senior Vice President Retail and Transaction Banking, Thomas Wahyudi, eventually the payment with QR Code would have its own segment wider than Bank Mandiri’s e-money or e-cash, because QR Code payment is different from other electronic money which balance needed a top-up before making a transaction.

“The segment will expand, the source of fund can be varied, but the payment method will use QR Code,” said Wahyudi.

Other banks are also interested in using QR Code as payment method. BCA and BTN is reportedly preparing QR Code payment method as one of payment facilities.

The application of QR Code technology also seized Bank Indonesia attention. Last November, quoted from Tempo, Bank Indonesia arranged financial transaction using QR Code. The regulation is targeted to be finished in early 2018. This regulation is expected to guarantee consumer protection amid the widespread transactions using QR Code in Indonesia. However, there has been no further details about the form and the regulation.

Meanwhile, the news on QR Code standardization was conveyed by Tcash’s CEO, Danu Wicaksana. In IndoTelko news, Wicaksana revealed that he and ASPI were still discussing about the standardization. It is declared more efficient given that during this time, QR Code players issued their own QR Code.

For additional information, Singapore Payment Council (SPC) has authorized QR Code specification to facilitate electronic payments. SGQR (Singapore Quick Response) system was designed by industry groups. They applied international QR Code protocols to match the needs. It was applied in consideration of improving interoperability between services and ensuring wider acceptance.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Penerapan QR Code untuk Pembayaran dan Aturan yang Disiapkan

Teknologi pembayaran mulai berevolusi di beberapa tahun belakangan. Salah satu yang banyak diadopsi adalah pembayaran memanfaatkan QR Code (Quick Response Code). Dengan memiliki aplikasi yang disediakan penyedia pembayaran pengguna tinggal memindai QR Code yang disediakan untuk bertransaksi. Cara ini diharapkan bisa membawa pengalaman bertransaksi yang lebih mudah dan praktis. Informasi terakhir yang berkembang, pemerintah melalui Bank Indonesia akan menerbitkan aturan mengenai standar QR Code. Hal ini juga tengah dibahas oleh Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI).

Tak hanya banyak dikembangkan oleh startup penyedia layanan pembayaran teknologi QR Code untuk pembayaran juga mulai dilirik oleh beberapa penyedia layanan pembayaran lain. Salah satunya adalah MasterCard Indonesia. Di tahun ini MasterCard Indonesia mulai mengenalkan teknologi pembayaran menggunakan QR Code untuk menjangkau industri UKM di daerah yang belum teknologi mesin EDC. MasterCard Indonesia akan berperan sebagai  fasilitator pembayaran bagi perbankan.

Tak hanya MasterCard Indonesia, Bank Mandiri November silam juga dikabarkan tengah mengkaji penerapan teknologi QR Code untuk pembayaran. Seperti dikutip dari Kontan Senior Vice President Retail and Transaction Banking Thomas Wahyudi menyampaikan bahwa nantinya pembayaran dengan memanfaatkan QR Code akan memiliki segmen yang lebih luas dibandingkan dengan uang elektronik seperti e-money atau e-cash milik Bank Mandiri lantaran QR Code merupakan metode pembayaran berbeda dengan uang elektronik yang harus diisikan saldo terlebih dahulu.

“Nanti segmennya akan meluas, source of fund (sumber dana) bisa macam-macam, namun metode pembayarannya pakai QR,” ungkap Thomas.

Bank-bank lain juga tak ketinggalan dalam penerapan teknologi pembayaran memanfaatkan QR Code. Nama-nama seperti BCA dan BTN pun dikabarkan tengah menyiapkannya sebagai salah satu bentuk fasilitas pembayaran memanfaatkan teknologi QR Code.

Penerapan teknologi QR Code ini juga menyita perhatian Bank Indonesia. Akhir November silam dikutip dari Tempo Bank Indonesia akan mengatur transaksi keuangan yang menggunakan teknologi QR Code. Ditargetkan aturan tersebut bakal rampung di awal tahun 2018. Regulasi ini diharapkan bisa menjamin perlindungan konsumen terlebih di tengah maraknya transaksi menggunakan QR Code di Indonesia. Namun sampai saat ini belum ada  keterangan lebih lanjut mengenai bentuk dan regulasi tersebut.

Sementara itu kabar mengenai standardisasi QR Code disampaikan oleh CEO TCASH Danu Wicaksana. Dalam pemberitaan IndoTelko Danu mengungkapkan ia dan ASPI tengah membahas standardisasi ini. Standardisasi dinilai lebih efisien mengingat selama ini para pemain QR Code mengeluarkan QR Code masing-masing.

Untuk informasi Singapura melalui Singapore Payment Council (SPC) telah memberlakukan otorisasi pada spesifikasi QR Code demi mempermudah pembayaran secara elektronik. Sistem SGQR (Singapore Quick Response) dirancang oleh kelompok industri dan menerapkan protokol QR Code internasional yang disesuaikan untuk kebutuhan. Hal ini diterapkan dalam rangka untuk meningkatkan interoperabilitas antar layanan dan memastikan penerimaan yang lebih luas

Go-Jek’s Fintech Acquisition is Still Bank Indonesia’s Pending Approval

Bank Indonesia (BI), Indonesia’s central bank, is yet to give an approval for Go-Jek’s acquisition for two fintech companies, Midtrans and Kartuku, as they have not submit the licencing process to Central Bank. Go-Jek alone has announced the acquisition to public last week.

In order to be approved, Go-Jek has officially submitted its acquisition plan as standard procedure today (12/18). BI requires Go-Jek to report its acquisition plan of Midtrans and Kartuku, considering both companies are engage in central bank supervisory area. The other acquired company, Mapan, is under OJK’s supervision.

“As per today, Go-Jek already announced the acquisition. It has been delivered to us. They are finishing the document according to our standard. BI will doing research later before giving the approval.” said Pungki Wibowo, BI’s Payment System Policy and Supervision Department Director on Monday (12/18).

According to Wibowo, to provide an approval, central bank always consider various aspects such as maintaining national efficiency, public affair, industrial growth and fair businesses.

BI will also dig deeper in broader perspective by applying consolidated supervision whether the company is a part of business group.

The entire assessment process will begin within 45 working days after the document’s approval. BI is yet to confirm the time of acquisition licensing process will be completed.

Wibowo evaluates, Go-Jek is cooperative enough to report directly as being mentioned by BI through the press release last weekend (12/16), a day after Go-Jek announced the acquisition. Go-Jek showed good ethics by immediately working on the document and other requirements regarding the approval.

One of the company acquired has already reported to BI before the acquisition.

On the other hand, Midtrans and Kartuku are yet to obtain license as Payment System Service Provider (PJSP). Both are claimed to process the license as PJSP for payment gateway, in accordance with PTP PBI regulation issued by BI last year.

“Because the services are effective far before PTP PBI regulation active, so that they get transition period to apply for the license before May 9, 2017. They have filed before the due date and still on process,” Wibowo concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Belum Direstui Bank Indonesia, Go-Jek Ajukan Proses Izin Akuisisi Perusahaan Fintech

Bank Indonesia mengungkapkan belum memberi restu terhadap aksi akuisisi Go-Jek untuk dua perusahaan fintech Midtrans dan Kartuku, lantaran belum mengajukan proses perizinan ke bank sentral. Go-Jek sendiri telah mengumumkan aksi ini pekan lalu ke publik.

Agar dapat restu, pihak Go-Jek telah secara resmi mengajukan rencana akuisisinya sesuai prosedur pada hari ini, (18/12). BI hanya meminta Go-Jek untuk melaporkan rencana akuisisinya terhadap Midtrans dan Kartuku, mengingat kedua perusahaan ini bergerak di ranah pengawasan bank sentral. Sementara Mapan ada di ranah OJK.

“Per hari ini, mereka sudah sampaikan bahwa mereka akan mengakuisisi. Ini sudah disampaikan ke kami. Mereka sedang melengkapi dokumen sesuai dengan apa yang kami inginkan. Berikutnya BI akan lakukan penelitian lanjutan sebelum izin diberikan,” terang Direktur Departemen Pengawasan dan Kebijakan Sistem Pembayaran BI Pungky Wibowo, Senin (18/12).

Menurut Pungky, dalam memberikan persetujuan, bank sentral selalu mempertimbangkan berbagai aspek seperti menjaga efisiensi nasional, menjaga kepentingan publik, menja pertumbuhan industri, dan menjaga persaingan usaha yang sehat.

BI juga akan melakukan pendalaman dalam sudut pandang yang lebih luas dengan menerapkan consolidated supervision apabila perusahaan tersebut bagian dari suatu grup usaha.

Seluruh proses penilian tersebut, akan dimulai dalam kurun waktu 45 hari kerja sejak dokumen dinyatakan lengkap. Sehingga, BI belum bisa memastikan kapan proses perizinan akuisisi akan selesai.

Pungky menilai, Go-Jek cukup kooperatif dengan langsung melapor ke bank sentral saat disinggung BI lewat siaran pers yang disebar pada akhir pekan lalu (16/12), sehari setelah pengumuman dari Go-Jek. Go-Jek menunjukkan itikad baik dengan berusaha melengkapi dokumen dan persyaratan lainnya untuk memperoleh izin akuisisi.

Salah satu dari dua perusahaan yang akan diakuisisi Go-Jek juga sudah melaporkan ke BI sebelum akuisisi diumumkan.

Di sisi lain, Midtrans dan Kartuku belum mengantongi izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP). Keduanya diungkapkan sedang memproses sebagai PJSP untuk izin payment gateway, sesuai dengan aturan PBI PTP yang dikeluarkan BI pada akhir tahun lalu.

“Karena mereka sudah beroperasi jauh sebelum aturan PBI PTP baru keluar, jadi mendapat masa transisi untuk mengajukan permohonan izin sebelum 9 Mei 2017. Mereka sudah mengajukan sebelum batas tersebut dan sekarang masih proses,” tutup Pungky.