Evaluasi dan Relevansi Brand Sebagai Sponsor Game, Esports, ataupun Content Creator

Ketika KFC membuat kolaborasi dengan Genshin Impact di Tiongkok, banyak orang rela menunggu di depan sejumlah gerai KFC sejak tengah malam hanya untuk mendapatkan bonus berupa pin dari Diluc dan Noelle — dua karakter di Genshin Impact. Ada begitu banyak orang yang berkerumun di sejumlah restoran KFC sampai polisi harus turun tangan untuk membubarkan kerumunan di Shanghai dan Hangzhou. Fenomena ini sama seperti fenomena kolaborasi McDonald dengan BTS di Indonesia.

Suksesnya kerja sama antara KFC dengan Genshin Impact menunjukkan, jika dieksekusi dengan baik, kolaborasi antara brand dengan game bisa memberikan dampak yang besar. Pertanyaannya: apa yang harus perusahaan perhatikan ketika akan berkolaborasi dengan game?

Beda Platform = Beda Gamers

Penggemar musik rock belum tentu menyukai musik pop, walau keduanya sama-sama penggemar musik. Sementara itu, penonton sepak bola belum tentu menonton pertandingan basket. Begitu juga dengan game. Gamers adalah istilah yang mencakup banyak orang. Dan, sama seperti penggemar musik atau olahraga, gamers juga punya selera yang berbeda-beda. Salah satu cara untuk mengelompokkan gamers adalah berdasarkan platform yang mereka gunakan. Secara garis besar, ada tiga platform yang bisa digunakan untuk bermain game, yaitu PC, konsol, dan mobile.

Dari ketiga platform tersebut, mobile punya jumlah pemain paling banyak. Menurut laporan Newzoo, jumlah gamers di dunia mencapai 3,22 miliar orang. Sebanyak 94% — atau sekitar 2,8 miliar orang — merupakan mobile gamers. Sementara itu, jumlah gamer PC hanya mencapai 1,4 miliar orang dan konsol 900 juta orang. Mengingat mobile memang memiliki entry barrier paling rendah — dengan harga perangkat yang juga relatif paling murah — maka tidak heran jika jumlah mobile gamers mengalahkan gamers PC dan gamer konsol.

Jumlah gamers di dunia dari waktu ke waktu. | Sumber: Newzoo

Satu hal yang harus diingat, masing-masing platform gaming punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hal ini memengaruhi karakteristik dari para gamers. Misalnya, keunggulan utama dari platform mobile adalah mobilitasnya yang tinggi. Jadi, pemain bisa bermain game hampir dimana saja dan kapan saja. Selain itu, banyak mobile game yang bisa dimainkan secara gratis. Namun, jika dibandingkan dengan konsol dan PC, mobile punya daya komputasi yang lebih rendah. Karena itu, mobile game cenderung punya grafik dan mekanisme yang lebih sederhana daripada game konsol dan PC. Kabar baiknya, dalam 10 tahun terakhir, mobile game terus berevolusi, menjadi semakin kompleks. Kolaborasi dengan mobile game cocok untuk perusahaan yang ingin menjangkau banyak orang.

Daripada mobile, baik konsol maupun PC menawarkan daya komputasi yang lebih tinggi. Namun, harga konsol dan PC gaming juga relatif lebih mahal. Sementara itu, keunggulan konsol dari PC adalah kermudahan pemasangan. Setelah membeli konsol, Anda bisa langsung menghubungkannya ke TV dan menggunakannya untuk bermain game. Lain halnya dengan PC. Kelebihan lain dari konsol adalah keberadaan game-game eksklusif, seperti Marvel’s Spider-Man: Miles Morales dan Horizon Forbidden West untuk PlayStation 5.

Jika dibandingkan dengan mobile dan konsol, salah satu kelebihan PC adalah ia bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan. Bagi para sultan dengan dana tak terbatas, mereka bisa membangun PC gaming master race yang bisa menjalankan game-game AAA dengan pengaturan rata kanan. Namun, bagi gamers yang punya dana pas-pasan, mereka tetap bisa membangun PC sesuai dengan dana yang mereka punya. Karena itu, gamer PC biasanya cukup mengerti akan sisi teknis. Jadi, gamer PC cocok untuk brand yang menyasar orang-orang yang melek teknologi.

Model Bisnis dan Genre

Game juga bisa dikategorikan berdasarkan model bisnis yang digunakan: game premium atau game free-to-play alias gratis. Walau bisa dimainkan secara gratis, game F2P biasanya punya sistem monetisasi sendiri, seperti iklan, subscription alias langganan, dan menjual item dalam game.

Pertama, mari membahas soal karakteristik pemain game premium. Karena sudah mengeluarkan uang untuk membeli game, pemain dari gamers premium biasanya ingin mendapatkan pengalaman yang memuaskan. Biasanya, mereka juga alergi pada iklan. Buktinya, ketika Capcom memasang iklan di Street Fighter V, mereka mendapat banyak protes dari para pemain. Pada akhirnya, developer Jepang itu memutuskan untuk menghilangkan iklan dari fighting game mereka.

Untuk bekerja sama dengan game premium, salah satu hal yang perusahaan bisa lakukan adalah membuat konten dalam game terkait produk milik perusahaan. Jenis konten yang bisa disisipkan ke dalam game bisa beragam, mulai dari item dalam game sampai tempat yang bisa pemain kunjungi. Misalnya adalah kerja sama antara Digital Happiness dan Exsport. Sebagai bagian dari kerja sama tersebut, developer Bandung itu membuat karakter utama dari DreadOut 2 mengenakan tas merek Exsport.

Contoh lainnya adalah kerja sama antara KFC dengan Animal Crossing: New Horizons. Dalam kerja sama itu, KFC membuat pulau khusus yang dihias layaknya restoran KFC di dunia nyata. Tak hanya itu, para pemain juga bisa memenangkan satu ember ayam goreng jika mereka berhasil menemukan Colonel Sanders di pulau tersebut. Sebelum mencari Colonel Sanders, pemain harus mendapatkan invite link dari akun media sosial KFC Filipina. Pemain yang berhasil menemukan sang Colonel akan mendapatkan kode yang bisa ditunjukkan ke restoran KFC untuk ditukar dengan ayam goreng. Sayangnya, kegiatan itu terbatas pada gamers di Filipina.

Strategi membuat konten dalam game juga bisa digunakan oleh brand ketika mereka bekerja sama dengan game F2P. Salah satu merek yang pernah melakukan hal itu adalah Louis Vuitton. Sebagai bagian dari kerja sama mereka dengan Riot Games, Louis Vuitton membuat skin untuk karakter di League of Legends. Tak hanya itu, mereka juga meluncurkan koleksi pakaian LVxLOL. KFC juga menggunakan strategi ini ketika bekerja sama dengan Genshin Impact di Tiongkok. Hasil dari kolaborasi tersebut adalah munculnya dua resep baru — resep ayam goreng dan burger — dalam Genshin Impact. Selain itu, pemain juga bisa mendapatkan skin glider khusus, berwarna merah-putih yang menjadi warna khas KFC.

Skin glider khusus KFC. | Sumber: YouTube

Selain model bisnis, hal lain yang harus perusahaan pertimbangkan sebelum berkolaborasi dengan game adalah genre dari game itu sendiri. Bagi perusahaan yang tidak ingin brand mereka dikaitkan dengan kekerasan, mereka bisa memilih game-game olahraga atau balapan. Perusahaan juga bisa memilih game yang memang berkaitan dengan produk yang mereka tawarkan. Sebagai contoh, brand sportswear bisa menggandeng kerja sama dengan game olahraga atau perusahaan otomotif dengan game racing.

Esports dan Konten Game

Apakah sebuah game punya ekosistem esports atau tidak juga bisa menjadi pertimbangan lain bagi perusahaan yang ingin berkolaborasi dengan game tertentu. Pasalnya, jika sebuah game punya skena esports yang berkembang, perusahaan akan punya lebih banyak opsi dalam menjalin kerja sama dengan game tersebut. Alih-alih membuat konten dalam game, brand bisa mensponsori liga atau turnamen esports dari sebuah game. Jenis sponsorship di esports sendiri bermacam-macam, mulai dari sekadar logo placement sampai menjadi title sponsor.

Salah satu bentuk sponsorship unik adalah in-game banner. Jadi, developer meletakkan logo atau merek sponsor di dalam game saat pertandingan  tengah berlangsung. Strategi ini masuk akal, mengingat siaran pertandingan esports biasanya menyorot segala sesuatu yang terjadi dalam game dan bukannya para pemain. League of Legends dan Mobile Legends adalah dua game yang menerapkan model sponsorship ini.

Contoh in-game banner di LOL Worlds 2020. | Sumber: Esports Insider

Sebagian gamers, tidak hanya senang bermain game, tapi juga menonton orang lain bermain game. Karena itu, munculah industri streaming game. Sebagai turunan dari industri game, industri esports dan streaming game juga  punya potensi besar. Menurut data dari Juniper Research, nilai industri esports dari streaming game pada 2021 akan mencapai US$2,1 miliar. Jadi, bagi brand yang ingin menjangkau gamers tapi masih enggan untuk berkolaborasi dengan game secara langsung, mereka bisa memilih untuk bekerja sama dengan streamer atau kreator konten game.

Mengingat keberagaman game, jangan heran jika influencer gaming juga punya gaya yang berbeda-beda. Ada kreator konten yang menonjolkan kepribadian mereka, seperti Felix Arvid Ulf Kjellberg alias PewDiePie. Tidak peduli game apa yang sang YouTuber mainkan, penonton akan tetap setia karena kepribadian sang kreator kontenlah yang menjadi daya jual. Ada juga kreator konten atau streamer yang menonjolkan skill mereka dalam bermain. Biasanya, influencer gaming ini merupakan mantan pemain profesional. Contohnya adalah Michael “Shroud” Grzesiek, yang pernah menjadi pemain profesional CS:GO sebelum berkarir sebagai streamer. Selain itu, juga ada kreator konten yang menonjolkan sisi sensual mereka. Di Twitch, bahkan sempat muncul tren hot tub streamers.

Satu hal yang pasti, ketika perusahaan mendukung seorang influencer, maka image sang influencer juga akan melekat pada brand. Karena itu, penting bagi perusahaan untuk memilih streamer atau kreator konten yang sesuai dengan brand mereka. Jika tidak hati-hati, reputasi merek justru bisa tercoreng. Hal ini pernah terjadi ketika Wacom menggandeng Abqariyyah Halilintar untuk mempromosikan Wacom Cintiq 16 — pen display seharga Rp9,5 juta.

Abqariyyah Halilintar yang menggambar di Wacom Cintiq 16. | Sumber: Instagram

Tak bisa dipungkiri, unggahan endorsement tersebut memang mendapat engagement tinggi. Saat diunggah di akun Instagram resmi Gen Halilintar, ungahan tersebut mendapatkan lebih dari 38 ribu Likes. Namun, Wacom juga mendapatkan protes dari designer dan seniman, yang merupakan target konsumen Wacom. Alasannya, Abqariyyah dianggap tidak bisa menunjukkan fitur-fitur yang dimiliki oleh Cintiq 16.

Memilih Game atau Esports yang Sesuai dengan Brand

Setiap perusahaan biasanya punya target konsumen masing-masing. Karena itu, ketika hendak menjalin kerja sama dengan developer game atau entitas esports, perusahaan sebaiknya memilih rekan yang memiliki target pasar yang mirip. Hal ini akan lebih mudah untuk dicapai oleh perusahaan endemik game dan esports.

Sebagai contoh, perusahaan yang berkutat di bidang komputer, seperti Intel, AMD, Lenovo, Acer dan lain sebagainya, tentu akan lebih memilih bekerja sama dengan developer game PC atau mendukung ekosistem esports game PC.  Karena game PC punya kaitan langsung dengan produk yang mereka jual. Sementara itu, perusahaan smartphone seperti Samsung Mobile dan Xiaomi Blackshark pasti akan lebih tertarik dengan mobile game serta komunitas esports mobile.

Pertanyaannya, bagaimana jika produk perusahaan yang tidak ada kaitannya dengan game dan esports? Dalam kasus ini, perusahaan bisa memilih untuk mendukung game atau esports yang penggemarnya punya karakteristik yang sama atau mirip dengan target pasar perusahaan. Pada 2019, Dua Kelinci menjadi sponsor dari RRQ dan EVOS Esports. Padahal, Dua Kelinci merupakan produsen kudapan. Ketika itu, pihak Dua Kelinci menjelaskan, alasan mereka mendukung tim esports adalah karena fans esports punya profil yang sama dengan target konsumen mereka.

Menyesuaikan dengan Tujuan Perusahaan

Di dunia marketing, ada konsep yang disebut marketing funnel. Pada dasarnya, marketing funnel menunjukkan proses untuk membuat seseorang yang tidak mengenal brand perusahaan sama sekali menjadi konsumen setia. Secara garis besar, marketing funnel terdiri dari lima tahap: awareness, interest, evaluation, trial, dan adoption.

Tampilan marketing funnel. | Sumber: Expert Program Management

Di tahap awareness, tujuan perusahaan adalah untuk membuat calon konsumen tahu akan brand mereka. Tahap kedua, interest, bertujuan untuk membuat orang-orang yang sudah mengenal brand perusahaan menjadi semakin penasaran dengan produk yang ditawarkan perusahaan. Tahap berikutnya adalah evaluation. Di tahap ini, konsumen akan menilai kredibilitas perusahaan. Jika perusahaan dianggap kredibel, maka konsumen akan masuk ke tahap berikutnya, yaitu trial. Di tahap keempat, konsumen akan mulai membeli produk yang ditawarkan oleh perusahaan. Jika konsumen puas dengan produk dari perusahaan, maka mereka akan menjadi pelanggan setia, yang berarti, mereka telah ada di tahap adoption.

Proses marketing funnel sering digambarkan sebagai segitiga terbalik. Hal itu menunjukkan, jumlah konsumen di setiap tahap akan terus berkurang. Jadi, jumlah konsumen yang tertarik untuk mencari tahu akan sebuah brand akan lebih sedikit dari jumlah konsumen yang sadar akan keberadaan brand tersebut. Karena itu, di tahap awareness, semakin banyak orang yang mengenal brand perusahaan, semakin baik.

Sebelum menentukan developer game atau entitas esports yang hendak diajak kerja sama, penting bagi perusahaan untuk menentukan tujuan yang ingin mereka capai. Jika tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan awareness, maka mereka sebaiknya bekerja sama dengan game, entitas esports atau influencer yang memang populer di masyarakat, seperti yang Renault lakukan ketika mereka memutuskan untuk mendukung ekosistem esports Free Fire. Padahal, Renault merupakan merek non-endemik game dan game battle royale itu memiliki profil konsumen yang berbeda dari target konsumen Renault.

Namun, tidak semua perusahaan ingin bertujuan meningkatkan awareness. Ada juga perusahaan yang lebih mengutamakan kesetiaan pelanggan dengan menjaga reputasi brand. Perusahaan yang memprioritaskan reputasi biasanya akan sangat berhati-hati dalam memiliki rekan kerja sama. Contohnya adalah Nike. Perusahaan sportswear itu biasanya hanya mensponsori tim atau atlet olahraga. Tidak banyak artis yang mereka dukung. Di esports, satu-satunya tim yang mereka sponsori adalah T1. Organisasi esports asal Korea Selatan itu telah memenangkan League of Legends World Championship sebanyak tiga kali, menjadikan mereka sebagai tim dengan trofi World terbanyak. Keputusan Nike untuk mensponsori banyak tim dan atlet olahraga mengukuhkan reputasi mereka sebagai merek sportswear yang dikenakan oleh atlet atau tim pemenang.

Salah satu hasil kolaborasi T1 dan Nike. | Sumber: Hypebeast

Selain meningkatkan awareness atau mempertahankan reputasi, perusahaan juga bisa melakukan kolaborasi dengan pelaku industri game atau esports karena mereka ingin memenangkan hati para gamers dan penonton esports, yang kebanyakan merupakan generasi milenial dan Gen Z. Menurut Forbes, salah satu karakteristik konsumen milenial adalah mereka lebih percaya omongan influencer daripada iklan. Selain itu, milenial juga biasanya senang dengan brand yang relevan dengan gaya hidup mereka. Jadi, mendukung skena esports atau influencer gaming bisa menjadi jalan bagi brand untuk terlihat terpercaya di mata konsumen milenial.

Intel adalah salah satu perusahaan yang secara berkelanjutan mendukung ekosistem esports Counter-Strike: Global Offensive. Turnamen Major Intel Extreme Masters sukses diadakan selama bertahun-tahun. Tak berhenti sampai di situ, Intel juga punya Intel Grand Slam. Pada April 2021, ESL juga mengumumkan bahwa mereka akan melakukan rebranding dari semua turnamen ESL Pro Tour (EPT), menjadi Intel Extreme Masters. Alhasil, merek Intel sangat lekat di benak para fans esports CS:GO. Intel bahkan bisa mengklaim mereka punya peran penting dalam mengembangkan ekosistem esports CS:GO. Hanya saja, melakukan apa yang Intel lakukan tidak mudah. Selain biaya besar, perusahaan juga harus siap berkomitmen dalam mendukung skena esports dari sebuah game selama bertahun-tahun.

Kesimpulan

Ketika perusahaan memutuskan untuk bekerja sama dengan game atau entitas esports, hal itu merupakan bagian dari kegiatan marketing. Karena itu, sebelum menjalin kolaborasi, sebaiknya perusahaan menentukan alasan mengapa mereka ingin melakukan kerja sama dengan game atau pelaku esports. Setelah itu, perusahaan bisa mencari game atau pelaku esports yang punya audiens dengan karakteristik yang sama dengan target konsumen perusahaan.

Memang, meningkatkan awareness masyarakat akan brand perusahaan merupakan bagian dari kegiatan marketing. Hanya saja, mengeluarkan uang untuk mengenalkan merek pada orang-orang yang memang tak tertarik dengan produk perusahaan adalah sesuatu yang sia-sia. Jadi, penting bagi perusahaan untuk mengetahui target pasar mereka dan karakteristik dari masing-masing kelompok gamers. Dengan begitu, perusahaan bisa menyasar kelompok gamers yang tepat dan memperbesar kesempatan untuk membuat kolaborasi yang sukses.

Renault Pamerkan Konsep Mobil Elektrik Megane eVision, Siap Diproduksi Tahun Depan

Renault kembali memperkenalkan sebuah mobil konsep yang cukup menarik bernama Megane eVision. Menarik karena ia pada dasarnya merupakan gambaran dari masa depan seluruh lini mobil elektrik yang tergabung dalam aliansi Renault-Nissan-Mitsubishi.

Sepintas, mobil ini tampak begitu futuristis, dengan sejumlah inspirasi desain yang diambil dari konsep Renault Morphoz, serta mobil listrik terbaru Nissan, Ariya. Meski demikian, Renault memastikan bahwa fisik versi konsepnya ini 95 persen sama seperti versi produksinya nanti, yang dijadwalkan hadir pada akhir 2021.

Secara teknis, Megane eVision dibangun di atas platform Common Module Family-Electric Vehicle (CMF-EV) yang sama seperti Nissan Ariya. Wujudnya sepintas kelihatan seperti SUV, tapi Renault bilang ukurannya lebih menyerupai sebuah compact crossover. Perkara dimensi ini penting mengingat Megane sendiri adalah lini hatchback yang sudah berusia dua dekade lebih.

Kecil di luar, lapang di dalam, kira-kira seperti itu motto yang dipegang oleh Megane eVision, dan itu dicapai lewat dua hal. Yang pertama adalah wheelbase yang cukup panjang, persisnya sepanjang 2,7 meter. Kedua, lantai kabinnya sangat rendah berkat modul baterai yang tebalnya tidak lebih dari 11 cm.

Sayang sejauh ini Renault belum membeberkan foto interiornya, sehingga agak sulit mendapat gambaran terkait seberapa lega kabin Megane eVision jika dibandingkan dengan hatchback pada umumnya. Seandainya mobil ini benar-benar satu DNA seperti Nissan Ariya, semestinya kabinnya akan terkesan seperti lounge dengan tampilan yang minimalis dan sejumlah bagian yang modular.

Lalu untuk baterainya sendiri, meskipun tipis, kapasitasnya ternyata masih cukup lumayan di angka 60 kWh, serta kompatibel dengan teknologi fast charging dengan daya maksimum 130 kW. Jarak tempuhnya sendiri diprediksi mencapai 450 km per charge, tapi kemungkinan besar versi produksinya nanti bakal hadir dalam beberapa varian kapasitas baterai.

Baterai tersebut memasok tenaga untuk motor elektrik bertenaga 215 hp, dengan klaim torsi sebesar 300 Nm dan akselerasi 0-100 km/jam dalam waktu 8 detik. Kalau melihat segmentasinya, Renault Megane eVision pada dasarnya bakal bersaing langsung dengan VW ID.3.

Sumber: Engadget dan Renault.

Mobil Konsep Renault Morphoz Bisa Memanjang untuk Menampung Baterai Ekstra Saat Dibutuhkan

Sasis mobil elektrik pada umumnya berbentuk seperti sebuah skateboard, dengan sederet modul baterai yang tertanam di tengah-tengahnya, di antara roda depan dan belakang. Semakin panjang sasisnya, semakin besar pula kapasitas baterai suatu mobil elektrik.

Namun tidak semua orang mau memiliki mobil yang kelewat panjang, bukan? Di perjalanan jauh boleh saja, tapi di dalam kota pasti akan terasa menyusahkan. Solusinya, kalau menurut Renault, adalah sasis yang bisa memanjang ketika dibutuhkan, sehingga bisa dipasangi baterai ekstra.

Ide gila ini mereka persembahkan lewat sebuah konsep bernama Renault Morphoz. Ibarat Transformers, Morphoz dapat berubah bentuk, meski jauh dari kata ekstrem – sasisnya bisa memanjang, diikuti oleh bagian pilar A-nya. Dalam posisi ini, sasisnya punya ruang ekstra sepanjang 20 cm untuk dijejali baterai tambahan berdaya 50 kWh, dan proses pemasangannya hanya memerlukan waktu beberapa detik di charging station khusus yang sudah disiapkan.

Secara total, Morphoz punya kapasitas baterai sebesar 90 kWh ketika dalam posisi memanjang ini – mode “Travel” kalau kata Renault – dan itu cukup untuk membawanya menempuh jarak 700 km. Sebaliknya, dalam posisi aslinya – mode “City” – Morphoz hanya mengemas baterai 40 kWh, dan cuma bisa menempuh jarak 400 km.

Selain ruang ekstra untuk baterai, mode Travel tentunya juga menghadirkan ruang ekstra pada kabin. Kebetulan kabinnya juga dirancang supaya bisa beradaptasi dengan kebutuhan; kursi penumpang depannya bisa dihadapkan ke belakang jika perlu, tapi tidak untuk kursi pengemudi, mengingat Morphoz hanya mendukung sistem kemudi otomatis Level 3 (paling tinggi Level 5).

Nuansa interiornya mungkin terasa kelewat futuristis, tapi wajar mengingat Morphoz merupakan mobil konsep. Kepada Autocar, perwakilan Renault bilang bahwa faktor keselamatan bakal menjadi tantangan tersulit untuk memproduksi mobil ini. Renault pada dasarnya harus melakukan uji tabrak dua kali pada Morphoz mengingat wujudnya memang ada dua.

Sumber: 1, 2, 3.

Renault Terapkan Latihan Driver Formula 1 Sungguhan untuk Atlet Esports

Kedekatan antara esports balap mobil dengan dunia balap mobil sungguhan (motorsports) adalah hal yang sudah cukup banyak diakui para pelaku industri. Dibandingkan dengan cabang-cabang esports lain, esports balap mobil memang tergolong sangat mirip dengan aktivitas nyatanya. Asosiasi balap mobil FIA juga mengakui bahwa esports telah menciptakan jembatan yang membuat dunia balap mobil lebih aksesibel terhadap para calon atlet, dan bukan hal aneh bila di masa depan atlet motorsports datang dari dunia esports.

Organisasi-organisasi balap ternama pun saat ini sudah cukup banyak yang memiliki divisi esports. Contohnya Mercedes di dunia F1, atau tim-tim NASCAR yang beberapa waktu lalu bertanding di eNASCAR Heat Pro League. Renault termasuk salah satunya, dan beberapa waktu lalu Reuters melaporkan seperti apa cara organisasi ini melatih dan mengembangkan talenta para driver virtual mereka.

Rupanya, Renault menerapkan sejumlah metode yang serupa dalam pelatihan driver F1 sungguhan dan virtual. Terutama di bidang kebugaran fisik, karena hal tersebut cukup penting baik bagi kedua jenis driver.

Renault Esports
Jan Opmeer dan Max Fewtrell, para driver virtual Renault | Sumber: John SIbley/Reuters

Memang tuntutan fisik atlet esports punya perbedaan dengan atlet F1. Contohnya, atlet esports tidak perlu melakukan latihan kekuatan leher untuk menahan g-force. Mereka juga tidak perlu menyesuaikan diri terhadap suhu ekstrem atau masalah dehidrasi. Namun ada kesamaan yaitu keduanya sama-sama harus menunjukkan performa terbaik dalam kondisi penuh tekanan.

“Latihan fisik di esports lebih ke arah menjaga kesehatan, menjaga tubuh tetap fleksibel karena jelas bahwa duduk di simulator untuk waktu lama akan membuat tubuh Anda kaku. Anda ingin menjaga fleksibilitas sebanyak mungkin untuk reaksi dan koordinasi cepat. Di motorsports dunia nyata Anda ingin berlatih agar siap menghadapi g-force, dan hawa panas,” demikian papar Jarno Opmeer, seorang atlet esports di tim Renault Sport Team Vitality.

Salah satu contoh, dalam latihannya driver F1 dan esports di Renault sama-sama menggunakan alat yang disebut “Batak”. Alat ini dapat melatih daya penglihatan, reaksi, serta koordinasi mata dan tangan. Selain itu nutrisi para atlet esports juga dijaga, detak jantung mereka diawasi, bahkan jam tidur pun diatur.

“Semua ini setimpal dan memang memiliki dampak. Jika mereka bisa merasa lebih fokus dan menghadiri event sedikit lebih percaya diri, itu pada akhirnya akan memberikan dampak yang lebih besar,” papar David Thompson, Head of Human Performance di Renault Sport, “Ada banyak hubungan dan persilangan yang kami coba bawa di antara kedua sisi (esports dan motorsports). Hal ini juga direspons dengan baik oleh orang-orang.”

Selain metode latihan, Renault juga memanfaatkan sumber daya lain dari divisi F1 untuk esports, misalnya dalam hal analisis data. Hasil telemetri dari game yang dipertandingkan dalam esports dianalisis oleh tim IT Renault, menggunakan sistem yang sama dengan analisis pertandingan grand prix. Dari analisis tersebut tim engineer kemudian bisa membuat rekomendasi, misalnya perubahan gas atau rem seperti apa yang tepat, serta pengaturan variabel-variabel lainnya.

https://twitter.com/RenaultF1Team/status/1198989390636363776

“Dari perspektif IT musim ini merupakan musim pembelajaran bagi kami. Tapi memasuki 2020, kami ingin para insinyur kami memperlakukan setiap ajang esports seperti ajang balap sungguhan,” kata Ben Hampshire, F1 IT Manager di Renault, “Ini menunjukkan keseriusan Renault dalam bidang esports… dengan keuntungan yang nyata, tidak hanya untuk esports tapi juga untuk program F1 sungguhan kami.”

Renault menyadari bahwa mereka tak sendirian dalam upaya ini. Justru menurut Hampshire, setidaknya tiga tim teratas F1 juga melakukan hal serupa. Memang beberapa waktu lalu Mercedes sempat dikabarkan juga melakukan analisis data untuk performa esports. Apakah pendekatan tersebut bisa membuat performa Renault meningkat di tahun 2020. Rasanya mungkin saja, tapi hanya waktu yang akan menjawabnya.

Sumber: Reuters

Project CARS Kembali Dapatkan Trailer Baru, Kini Fokus Pada Renault

Berbicara otomotif, mayoritas orang mungkin lebih memilih atau familiar dengan brand-brand Jerman dan Itali dibanding Perancis. Namun Renault mempunyai peran penting di ranah olahraga pacu mesin, terutama di bidang rally serta Formula 1. Dan trailer terbaru game racing simulator garapan Slightly Mad Studios tampaknya sengaja dibuat sebagai persembahan bagi Renault. Continue reading Project CARS Kembali Dapatkan Trailer Baru, Kini Fokus Pada Renault

Renault Alpine Vision GT: Lahir di Gran Turismo 6, untuk Dunia Nyata

Gran Turismo 6, hampir semua gamer yang gemar balapan mengenalnya. Game balap mobil yang dirilis di penghujung tahun 2013 ini rupanya tidak hanya memegang peranan penting di industri game, tetapi juga di industri otomotif lewat program Vision Gran Turismo. Continue reading Renault Alpine Vision GT: Lahir di Gran Turismo 6, untuk Dunia Nyata