Kemkominfo Berencana Bangun Komisi Perlindungan Data Pribadi

Kementerian Komunikasi dan Informatika berencana untuk mencontoh Singapura dengan membuat komisi khusus mengurus perlindungan data pribadi. Saat ini pihak-pihak terkait sedang dalam tahap kajian untuk penerapan model komisi tersebut di Indonesia.

Dirjen Aptika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan menerangkan nantinya komisi ini akan bekerja secara independen, tetapi secara struktural di bawah Kemkominfo. “Saat ini masih dibahas tapi kita akan mengikuti modelnya Singapura,” terangnya saat menjadi pembicara di Kompas100 CEO Forum, kemarin (5/11)

Di Singapura, komisi ini bernama Personal Data Protection Commision (PDPC) yang dibentuk pada 2013. Komisi tersebut bertugas untuk sosialisasi mengenai pengumupulan maupun penggunaan data, standarisasi kebijakan, dan penyelesaian masalah perlindungan data pribadi.

Sebelum merujuk ke sana, pemerintah sempat mengkaji model komisi yang sama di Uni Eropa bernama General Data Protection Regulation (GDPR). Tujuannya ingin mencari kecocokan yang mana yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia.

“Sebetulnya kita sempat mengkaji GDPR, apakah kita bisa mencontoh badan itu atau tidak. GDPR kan independen dan dibuat oleh parlemen, tetapi yang penting buat kita adalah ata otoritas yang bisa kita awasi.”

Semuel belum memastikan kapan komisi ini akan segera diresmikan. Sebelumnya rencana ini sempat diusulkan di DPR, namun mendapat kritikan dari DPR karena dianggap terlalu banyak lembaga yang tidak efektif dan malah menguras uang negara.

“Karena pada akhirnya banyak sekali lembaga-lembaga yang tidak efektif dan malah menguras keuangan negara,” ujar Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Widya Yudha, seperti dikutip dari Katadata.

Sosialisasi PP PSTE

Dalam kesempatan yang sama, Semuel juga mensosialisasikan PP PSTE (Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik) Nomor 71 Tahun 2019 yang baru diresmikan 10 Oktober 2019. Dia menyebut pemerintah memberikan waktu satu tahun kepada pemain platform digital untuk mendaftar sebagai Penyedia Sistem Elektronik (PSE).

Ketentuan ini berlaku buat pemain digital apapun, termasuk raksasa teknologi seperti Google, Facebook, Twitter, WhatsApp, dan sebagainya yang berbisnis di Indonesia dan mengambil data-data pengguna.

Selama ini para pemain digital dari luar negeri yang beroperasi di sini tidak punya kejelasan mengenai status perusahaan. Padahal, mereka meraup untung besar dengan berbisnis di Indonesia.

PP ini mengatur status perusahaan digital tersebut, dengan memaksa mereka untuk mendaftarkan diri.

“Facebook, WhatsApp belum pernah mendaftar. Maka dengan PP PSTE ini mereka harus mendaftar. Kami memberikan waktu satu tahun mulai sejak PP diundangkan (10 Oktober 2019),” katanya.

Semuel mengultimatum, kalau dalam kurun waktu tersebut mereka tidak mau mendaftar, maka pemerintah berwenang untuk menutup akses.

Perusahaan digital yang mendaftarkan diri wajib mencantumkan informasi seputar nama perusahaan, alamat, layanan dan model bisnisnya, hingga data apa saja yang mereka kumpulkan di Indonesia. Informasi ini penting diketahui oleh pemerintah.

Proses pendaftaran ini sepenuhnya akan online. Perusahaan tinggal mendaftar sesuai alur dan aturan diminta, serta membayar sejumlah biayanya. Selanjutnya, mereka akan jadi wajib pajak.

Dalam PP ini juga berisi denda apabila para pemain tersebut membiarkan konten negatif beredar di platform-nya. Kisarannya dari Rp100 juta sampai Rp500 juta.

“Besaran denda ini masih hitung-hitung karena harus dikonsultasikan dengan stakeholder terkait, yang penting besarannya tidak lebih tinggi dari UU-nya,” pungkasnya.

Mendorong Regulasi Pengumpulan Data Pribadi untuk Industri AI

Pengumpulan data bagi industri teknologi, khususnya yang berurusan dengan kecerdasan buatan atau AI, merupakan sebuah keharusan. Namun proses pengumpulan data ini dianggap memerlukan batas-batas tertentu agar tak mencederai hak privasi masyarakat.

Tema tersebut menjadi pokok pembahasan dalam Indonesia AI Forum yang dihelat oleh Nodeflux dan Kata.ai, dua perusahaan yang fokus bergerak dalam inovasi AI di Indonesia.

CEO Kata.ai Irzan Raditya meyakini teknologi AI sudah jadi bagian keseharian masyarakat. Ia mencontohkan bagaimana cara kerja Spotify ataupun Gojek, dua aplikasi yang umum dipakai masyarakat, dapat membuat layanan yang sudah dipersonalisasi sesuai kebiasaan tiap pengguna.

Namun banyaknya produk dan inovasi berbasis AI yang dikonsumsi masyarakat luas itu menurut Irzan juga harus diimbangi regulasi yang dapat memandu pelaku industri juga meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai proses pengambilan data tersebut.

“Contohnya memiliki dokumen privacy policy. Jadi pengguna tahu apa saja data mereka yang akan diperlukan dan mereka bisa memilih data apa yang tidak akan masuk ke dalam suatu produk,” ujar Irzan.

Irzan juga menyebut anonimitas untuk data yang bersifat sensitif seperti nama, nomor telepon, dan alamat email, diperlukan dalam pengumpulan data. Kendati demikian, ia berharap regulasi untuk melindungi data pribadi tidak kontraproduktif sehingga malah menyulitkan industri untuk berinovasi.

“Kami percaya regulasi dibutuhkan. Tapi yang juga penting pemerintah bisa membantu pemain lokal berinovasi guna memberikan dampak positif,” imbuhnya.

Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) masih dalam proses legislasi. Mekanisme pengumpulan data sudah diatur dalam beleid tersebut sehingga masyarakat memiliki wewenang lebih atas data pribadinya.

Salah satu turunan konkret dari RUU itu adalah rencana pembentukan badan independen yang khusus memproteksi data pribadi.

“Badan ini ke depannya dapat memberi panduan bagi para pelaku industri dalam mengolah data secara bertanggung jawab,” ucap Semuel.

Jelang berakhirnya masa kerja DPR 2014-2019, RUU PDP ini belum masuk tahap pengesahan di DPR. Namun Semuel menyebut pihaknya terus mengupayakan agar beleid itu rampung sebelum pergantian periode.

“Mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa dibahas di DPR,” pungkasnya.

Kominfo Buka Kembali Pendaftaran Program 1000 Startup, Akan Lebih Tonjolkan Kualitas

Kementerian Kominfo kembali membuka pendaftaran untuk program pembinaan startup tahap awal dalam Gerakan Nasional 1000 Startup Digital. Rencananya proses tersebut akan berlangsung hingga akhir tahun. Sempat berubah konsep, acara ini kini tak lagi targetkan kuantitas, namun lebih ke kualitas startup binaannya.

“Di tahun ini Gerakan Nasional 1000 Startup Digital hadir dengan strategi, tahapan dan fitur-fitur yang berbeda dari sebelumnya,” jelas Dirjen Aptika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan.

Gerakan penampilan baru ini membawa konsep untuk perluasan skala dan peningkatan kualitas pengembangan startup digital, termasuk mengajak kementerian dan lembaga lain serta mitra lokal. Tak hanya itu, kurikulum program pun telah direvisi dengan fokus pada inkubasi. Program pembinaan lebih bersifat inklusif.

“Gerakan ini bukan sekolah, tapi merupakan upaya untuk menciptakan ekosistem ekonomi digital. Apalagi di Indonesia masih banyak peluang untuk membuat solusi dari permasalahan sehari-hari sampai masalah kota dan bangsa; mulai dari pertanian, pendidikan, kesehatan dll,” ungkap Stafsus Menteri Kominfo Bidang Ekonomi Digital Lis Sutjiati.

Gerakan Nasional 1000 Startup Digital kembali didukung oleh berbagai institusi pemerintahan, masyarakat dan komunitas termasuk Kumpul yang terpilih menjadi koordinator nasional.

Kegiatan 1000 Startup sebelumnya telah dilaksanakan secara intensif di 10 kota dengan kurun waktu 6 bulan, dengan konsep pembinaan yang menyeluruh, termasuk di dalamnya pembekalan materi, networking, konsultasi terkait bisnis model dan strategi produk marketing, serta inkubasi yang merupakan sesi mentoring mendalam.

Bagi yang berminat bergabung, dapat mendaftarkan diri dengan mengunjungi laman https://participant.1000startupdigital.id.

1000 Startup 2019

Kemkominfo Umumkan “The Next 1001 Startup Digital”

Kementerian Kominfo bersama para penggerak ekosistem digital meluncurkan “The Next 1001 Startup Digital”. Program ini merupakan pembaruan dari Gerakan Nasional 1000 Startup yang sebelumnya sudah dijalankan sejak 2016. Nantinya berbagai lembaga, seperti BUMN dan perusahaan swasta, akan lebih banyak disinergikan dalam suksesi program tersebut.

“Gerakan ini disinergikan dengan program dari lembaga lain seperti BUMN dan perusahaan lainnya. Di masing-masing kota (ada 10 kota yang sudah disinggahi program sebelumnya) rencananya akan didirikan pusat inovasi, pelaku dan kreator lokal dapat berkolaborasi menciptakan solusi bagi kebutuhan masyarakat setempat,” ujar Dirjen Aptika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan.

Jika gerakan sebelumnya menargetkan kuantitas melahirkan 1000 startup, dengan pembaruan visi kegiatan ini lebih ditargetkan untuk menjaga dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Menurut Samuel, semua pihak –baik itu telko, komunitas, akademisi, pemerintahan, hingga coworking space—akan diajak berbaur untuk melangsungkan The Next 1001 Startup.

“1001 itu dari angka biner, digital. Kita ada moto, mari kita bangun dengan 1000 mimpi, 1000 karya dan 1000 solusi untuk 1 Indonesia Raya,” ujar Samuel.

Sementara itu Staf Khusus Menkominfo Lis Sutjiati menekankan, bahwa keluaran dari program ini nantinya berupa startup yang mampu menyelesaikan isu-isu terkait kebutuhan industri digital. Dengan kualitas lebih baik dan sesuai keinginan investor.

“Program lanjutan 1000 Startup Digital ini akan terus mempertahankan kualitas terbaik, dengan memperbarui mentor, membuat modul pembelajaran secara online, memaksimalkan ide dan bakat yang dimiliki. Dengan harapan dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia,” ujar Lis.

Untuk pengembangan startup sendiri, Kemkominfo menaungi beberapa program. Di tahapan early stage ada program ini. Sementara untuk scaling stage, Kemkominfo juga punya program The Nexicorn, dengan target membawa startup ke pendanaan tingkat lanjut dan menjadi unicorn.

Revisi PP PSTE, Kemkominfo Soroti Perlindungan Data

Kominfo menyoroti isu perlindungan data sebagai dasar revisi PP PSTE atau PP No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Isu ini diterjemahkan ke dalam penempatan data center (DC) dan data recovery center (DRC) harus ada di Indonesia.

Aturan lama lebih mementingkan bukti fisiknya harus di Indonesia, padahal sebenarnya yang dinilai lebih penting adalah data-datanya.

“Dalam aturan yang lama itu mengatur fisiknya, padahal yang penting itu datanya. Saat ini kami mensyaratkan datanya bukan hanya fisiknya,” Dirjen Aptika Kemkominfo, Semuel A Pangerapan, seperti dikutip dari Antara.

Kominfo merumuskan kembali aturan tersebut dalam revisi, dengan membuat Klasifikasi Data Elektronik (KDE). Pengaturan dibutuhkan untuk perjelas subjek hukum tata kelola elektronik, meliputi pemilik, pengendali, dan pemroses data elektronik.

KDE ini akan mengatur lokalisasi data berdasarkan pendekatan klasifikasi data. Klasifikasi tersebut dibagi jadi tiga jenis, yakni seperti data strategis, data tinggi, dan rendah.

Data strategis ini wajib di dalam wilayah Indonesia, menggunakan jaringan sistem elektronik Indonesia, dan membuat rekam cadang elektronik dan terhubung ke pusat data tersebut. Ketentuan teknis lebih lanjut akan ditetapkan oleh presiden dan diatur secara terpisah melalui Peraturan Presiden (Perpres).

Data strategis tidak boleh dipertukarkan keluar negeri. Sebab data yang tergolong dalam klasifikasi ini antara lain data mengenai penyelenggaraan negara, keamanan, dan pertahanan.

Data tinggi dan data rendah dalam kondisi tertentu dapat berada di luar Indonesia dengan catatan jika memenuhi persyaratan dari kajian industri. Yang menentukan ini adalah Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor (IIPS) yang bertanggung jawab terhadap sektor tertentu. Misalnya BI dan OJK untuk sektor keuangan.

Revisi PP ini juga akan memuat bahwa data harus terenkripsi, sehingga data tetap aman dari serangan siber.

Tegaskan sanksi

Klasifikasi data ini, sebelumnya tidak hadir dalam aturan lama. Yang mana, menurut Semmy (panggilan Semuel), rentan dengan tindakan tidak patuh oleh para Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).

“Tidak ada klasifikasi data apa saja yang wajib ditempatkan, sehingga tidak ada parameter bagi PSE selaku pelaku usaha. Dengan tidak adanya klasifikasi tersebut, kemungkinan banyak PSE yang akan ditutup atau diblok karena pelanggaran atas kewajiban tersebut.”

Untuk itu, dalam revisi juga diperjelas soal pelanggaran dari sanksi administrasi, denda, sampai pemblokiran kepada PSE sesuai dengan UU ITE pasal 40.

Saat ini revisi PP PSTE disebutkan sudah masuk di Sekretariat Negara untuk proses pengecekan ulang sebelum ditandatangani presiden. Draf sudah dikirimkan sejak 26 Oktober 2018, setelah selesai proses harmonisasi sejak 22 Oktober 2018.

Melihat Efektivitas Pembatasan Konten Lewat “Safe Search”

Pada tanggal 10 Agustus 2018 lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bekerja sama dengan penyedia layanan internet (ISP) dan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) mulai menguji coba mekanisme baru penyaringan konten pornografi. Kali dengan mengaktifkan fitur “Safe Search” secara permanen di mesin pencari. Salah satu yang sudah terdampak adalah platform Google. Ketika pengguna mencoba melakukan pencarian dengan kata kunci berbau pornografi, maka secara ketat akan dipilah gambar yang ditampilkan.

Contoh hasil pencarian di Google yang sudah dibatasi melalui Safe Search
Contoh hasil pencarian di Google yang sudah dibatasi melalui Safe Search

Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan menyampaikan bahwa upaya ini dianggap perlu. Sebelumnya situs-situs pornografi sudah diblokir dari ISP yang ada di Indonesia, akan tetapi hanya memberikan dampak jika pengguna mencoba mengakses ke domain terkait. Sedangkan via mesin pencari konten tersebut masih tetap ditampilkan, terutama di menu gambar dan video. Selain berbasis kata kunci pencarian, Kemenkominfo juga mengharapkan kapablitas penyaringan yang dimiliki mesin pencari dapat menyembunyikan konten visual pornografi di hasil pencarian.

Fitur “Safe Search” ada di tiap platform

Dalam percobaan yang dilakukan penulis per hari ini (13/8), fitur Safe Search yang otomatis aktif baru ada di mesin pencari Google. Sedangkan mesin pencari lain, misalnya Bing, masih dapat diatur secara manual dan ditemukan konten pornografi dengan kata kunci tertentu. Di Google, pengguna tidak bisa mematikan fitur tersebut jika menggunakan koneksi dari ISP lokal. Namun demikian, penggunaan layanan proxy gratis di internet atau aplikasi VPN masih bisa mematikan fitur Safe Search tadi.

Demikian di media sosial, misalnya YouTube. Fitur Restricted Mode masih bisa diatur secara manual oleh pengguna. Pengguna yang sudah memiliki usia 17 tahun ke atas bisa menikmati konten yang dianggap YouTube sebagai konten sensitif. Selain YouTube, tentu masih banyak platform yang memungkinkan peredaran konten berbau pornografi tadi, sebut saja WordPress.com, Blogspot, dan lain sebagainya.

Pertanyaannya, apakah fitur Safe Search atau sejenisnya akan diterapkan secara permanen di seluruh platform tersebut? Konon Kemenkominfo tengah berbincang juga dengan masing-masing pemilik platform. Sejauh ini yang sudah dilakukan ialah fitur pelaporan, amun tidak menutup kemungkinan kebijakan Safe Search permanen tadi juga diaktifkan di seluruh platform.

Efektivitas menanggulangi pornografi

Berdasarkan daftar di basis data Trust Positif Kemenkominfo, sejak tahun 2014-2017 sudah tercatat 16.574 situs pornografi yang diblokir. Angka tersebut akan terus bertambah seiring dengan perluasan platform penyebaran konten digital, termasuk media sosial, forum online, mesin blog, dan lain-lain.

Menggunakan pendekatan yang lebih canggih, Kemenkominfo memanfaatkan Artificial Intelligence System (AIS) untuk menangkal konten negatif (tidak hanya pornografi, tetapi juga konten radikal). Belum lagi akan beroperasinya mesin sensor internet seharga 200 miliar Rupiah yang sebelumnya ramai dibincangkan.

Tentu langkah menyalakan akses permanen Safe Search di Google akan memberikan banyak dampak. Terlebih yang disasar adalah kalangan anak-anak konsumen internet. Namun penggunaan VPN sebenarnya bisa menjadi celah yang membuat effort tersebut terasa sia-sia. Upaya itu jelas akan meminimalkan sebaran konten negatif di internet, namun belum memberantas sepenuhnya. Langkah preventif seharusnya menjadi perhatian pemerintah.

Menghadirkan “pendidikan moral berinternet”

Dari sudut pandang upaya mereduksi konten negatif di internet, cara pemerintah tadi patut diapresiasi. Namun ada hal penting lain yang sebenarnya harus menjadi perhatian pemerintah untuk menyambut Revolusi Industri 4.0 ini. Hal tersebut adalah menanamkan prinsip-prinsip dasar pendidikan moral dalam berinternet. Sebuah keniscayaan bagi masyarakat saat ini untuk terhindar dalam lingkungan digital. Adopsi digital sendiri trennya tercatat terus mengalami peningkatan.

Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan ialah melalui pendidikan sejak usia dini. Pemerintah perlu secara serius menyusun sebuah kurikulum yang memberikan pengertian tentang batasan-batasan berinternet, sembari menanamkan moral terkait bagaimana bersosialisasi digital dengan benar, memberikan pengertian konten negatif, hingga mengajarkan bagaimana cara menepis/melaporkannya. Kesadaran di level individu menjadi kunci untuk perubahan revolusioner.

Jika tidak dimulai dengan menanamkan prinsip-prinsip dasar berinternet yang benar, berbagai upaya yang telah dilakukan tadi (pemblokiran) akan sia-sia. Misalnya saat orang sudah tahu bagaimana cara menggunakan VPN gratis di perangkat.