Ada Lebih dari 2 Juta Podcast yang Beredar, Tapi Berapa Banyak yang Rutin Merilis Konten Baru?

Dewasa ini, keberadaan platform seperti Anchor membuat kegiatan podcasting seperti semudah mengunggah foto ke media sosial. Dengan hanya bermodalkan sebuah smartphone saja, siapapun sekarang bisa membuat dan memublikasikan podcast, dan ini jelas berdampak pada pesatnya pertumbuhan industri podcast.

Kalau kita melihat data dari Podcast Industry Insights, sejauh ini tercatat ada lebih dari 2 juta podcast yang bisa ditemukan di platform Apple Podcasts. Data yang dikumpulkan Podcast Index malah lebih banyak lagi dan sudah menembus angka 2,5 juta podcast. Pertanyaannya, dari sekian banyak podcast yang beredar di jagat internet, berapa banyak yang rutin merilis konten-konten baru?

Analisis yang dipublikasikan Amplifi Media baru-baru ini menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan. Dari 2 juta podcast di Apple Podcasts, 26% di antaranya ternyata cuma sempat memublikasikan satu episode saja. Dengan kata lain, sekitar seperempat dari total podcast yang ada (520 ribu podcast) bisa dikatakan sudah gulung tikar.

Sumber: Amplifi Media
Sumber: Amplifi Media

Memang benar ada beberapa podcast yang sengaja direncanakan cuma satu episode saja, sehingga pada akhirnya analisisnya dikerucutkan lagi dengan kriteria dua episode. Di sini angka yang ditemukan adalah 37%, yang berarti ada sekitar 740 ribu podcast dengan dua episode atau kurang. Lebih jauh lagi, tercatat 44% dari total podcast yang ada (880 ribu podcast) memiliki tiga episode atau kurang.

Temuan lainnya menunjukkan ada sekitar 720 ribu podcast yang sempat merilis setidaknya 10 episode. Andaikata ini yang bisa kita klasifikasikan sebagai podcast rutin, itu berarti jumlahnya cuma 36%, alias sepertiga lebih sedikit dari total 2 juta podcast tadi.

Kesimpulannya kalau menurut saya, bagi yang pesimistis bisa sukses di industri podcast karena harus bersaing dengan 2 juta podcast lain, ada baiknya Anda buang jauh-jauh pikiran tersebut. Analisis yang dilakukan Amplifi Media ini pada dasarnya menunjukkan bahwa yang bisa dianggap ‘pemain’ di industri podcast sebenarnya tidak sampai sebanyak itu.

Pada kenyataannya, 63% dari semua podcast yang hanya mempunyai satu episode tadi dipublikasikan via Anchor, dan ini bisa menjadi indikasi bahwa banyak orang yang bereksperimen dengan podcasting tapi ternyata tidak lanjut meneruskannya — mungkin karena sebatas mencoba-coba hal baru guna mengisi waktu selama pandemi.

Sumber: Amplifi Media. Gambar header: Depositphotos.com.

Noice On-Demand Audio Platform to Close Funding Round in Second Quarter of 2021

Noice’s audio-on-demand platform has received seed funding from several investors, including Kenangan Kapital, Alpha JWC, and Kinesys Group. This round will be used to accelerate the development of Noice’s local content and technology this year. Although the value is undisclosed.

In his interview with DailySocial, Mahaka Radio’s President Director, Adrian Syarkawie revealed there’s another investor, claimed to be a unicorn startup, that is involved. He said this unicorn will provide opportunities for synergy between the two companies and greater technology transfer. “I can’t announce the name yet. We will push [closing] in the second quarter,” Adrian said.

Noice was first developed as a streaming radio platform. However, Adrian said this service is considered insufficient to the growing market. Meanwhile on-demand content is growing rapidly in some countries, including Indonesia.

“If it’s only streaming radio, it seems [lacking] for digital applications. Also, people can still access radio from other media. Therefore, we are looking forward to what will be attractive to consumers through this application, and then we will get to the podcast content,” he said to DailySocial.

With PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) strong position in the radio business, the company also formed a joint venture with PT Quatro Kreasi Indonesia to establish PT Mahaka Radio Digital, Noice’s parent company. Quatro is a consortium of four recording companies in Indonesia, including Musica, Aquarius, My Music, and Trinity.

This consortium, Adrian said, is linked to the common vision of each music label owner to develop applications that focus on local voice-based content.

Investors in tech

This year, Noice will focus on developing application platforms and content localization. Those two things had was not the company’s main focus at first, considering that Mahaka Radio Integra’s main business was producing content. Adrian also said that the Noice platform was not quite optimal at that time in terms of technology as it was developed by a third party.

“We are not a tech company. However, we are aware that we cannot develop from content alone in the future, technology is necessary. Therefore, we have two concerns, content and technology. Mahaka Radio Integra and Quatro are strong in content, and we try to find investors who can provide support in technology,” Adrian said to DailySocial.

Kenangan Kapital is an angel fund owned by Kopi Kenangan’s Co-founder and CEO, Edward Tirtanata, which focuses on portfolios in consumer tech. Kopi Kenangan is also part of the Alpha JWC portfolio. Meanwhile, Kinesys Group focuses on early-stage startup funding.

“Currently, investors are yet to act as shareholders because [their investment] is in the form of convertible loans, which will then be converted into equity. We are looking for partners who can provide guidance in terms of technology and collaboration. For example, investors invest in other portfolios, to be synergized with Noice. We do it gradually as we focus on developing content,” he explained.

With this rank of investors, Noice has added new resources that will focus on the technology side. The company formed a special team from India to internally develop the platform.

Business roadmap 2021

Furthermore, Adrian said that Noice’s technology focuses divided into three phases. First, the launch of the Noice 2.0 beta platform with the new UI / UX this March. Second, the company will launch the 2.X version in May. In this phase, Noice starts to enter an open platform, aka content that can be uploaded individually or personalized content. Third, Noice will begin monetization, either with an advertising or subscription scheme.

With this platform, the company began to boost the number of podcast content this year targeting 4,000-5,000 episodes. As of December, Noice has more than 3,000 podcast episodes, 62 podcast content titles, and signed up to 80 podcasters.

Adrian said, entertainment content, especially comedy and horror, is currently the most popular genre in Indonesia. Nevertheless, Noice will continue to expand its content into various categories, such as education and business. “We produce 95% of the content on Noice ourselves. We hired an exclusive podcaster. We run the idea and podcaster execute the content,” he explained.

For now, Noice content can still be accessed for free. Monetization will only be discussed if the user base, monthly active users (MAU), and time spend increase. Regarding target, Noice is aiming for an increase in user base up to four times from its current position, total play up to eight times, and the amount of exclusive original content increased by two times.

“Currently, we have not focused on monetization as resistance is still an issue with the Indonesian market when talking about the subscription system. Of course, we will start to accelerate advertising and subscription schemes in the future, maybe later in the third stage.”

Based on Spotify data, Indonesia will dominate the most podcast consumption in Southeast Asia in 2020. As many as 20% of the total Spotify users in Indonesia listen to podcasts every month, and this number is higher than the global average percentage.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Audio On-Demand Noice Targetkan Tutup Putaran Pendanaan di Kuartal II 2021

Platform audio on-demand Noice telah menerima perolehan pendanaan tahap awal dari sejumlah investor, yakni Kenangan Kapital, Alpha JWC, dan Kinesys Group. Investasi ini akan digunakan untuk menggenjot pengembangan teknologi dan konten lokal Noice pada tahun ini. Nilai investasinya sendiri tidak disebutkan.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Presiden Direktur Mahaka Radio Adrian Syarkawie mengungkap bahwa ada satu investor lagi, diklaim adalah startup unicorn, yang akan masuk ke pendanaan ini. Menurutnya, keterlibatan unicorn ini bakal memberikan peluang sinergi kedua perusahaan dan transfer teknologi yang lebih besar. “Saya belum bisa announce namanya. Kami akan push [closing] di kuartal kedua ini,” ujar Adrian.

Semula Noice dikembangkan sebagai platform radio streaming. Namun, menurut Adrian, layanan ini dinilai tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar yang kian berkembang. Sementara konten on-demand tumbuh pesat di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

“Kalau hanya dari radio streaming saja, kelihatannya [kurang] untuk aplikasi digital. Terlebih orang masih bisa mendengar radio dari media lain. Jadi, kami melihat ke depan apa yang menarik bagi konsumen lewat aplikasi ini, dan maka itu kami masuk ke konten podcast,” ujarnya kepada DailySocial.

Dengan posisi kuat PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) di bisnis radio, perusahaan pun membentuk joint venture dengan PT Quatro Kreasi Indonesia untuk mendirikan PT Mahaka Radio Digital yang menaungi Noice. Quatro merupakan konsorsium dari empat perusahan rekaman di Indonesia, antara lain Musica, Aquarius, My Music, dan Trinity.

Konsorsium ini, ujar Adrian, terjalin dari kesamaan visi dari masing-masing pemilik label musik untuk mengembangkan aplikasi yang fokus pada konten lokal berbasis suara.

Investor yang memberikan dukungan di teknologi

Tahun ini, Noice akan fokus pada pengembangan platform aplikasi dan lokalisasi konten. Kedua hal tersebut tadinya belum menjadi fokus utama perusahaan mengingat bisnis utama Mahaka Radio Integra adalah memproduksi konten. Adrian juga menyebut platform Noice belum optimal dari sisi teknologi karena saat itu dikembangkan oleh pihak ketiga.

“Kami memang bukan tech company. Namun kami sadar ke depannya tidak bisa berkembang dari konten saja, tetapi juga dari teknologi. Dari sini, kami punya dua concern, yakni konten dan teknologi. Karena Mahaka Radio Integra dan Quatro kuat di konten, kami coba cari investor yang bisa memberikan support di teknologi,” ungkap Adrian kepada DailySocial.

Kenangan Kapital merupakan angel fund milik Co-founder dan CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata yang fokus pada portofolio di consumer tech. Kopi Kenangan juga merupakan bagian dari portofolio Alpha JWC. Sementara, Kinesys Group fokus terhadap pendanaan startup tahap awal.

“Saat ini, investor belum masuk sebagai pemegang saham karena [investasinya] masih dalam bentuk convertible loans, nanti baru dikonversi menjadi equity. Kami memang mencari partner yang bisa memberikan guidance dari sisi teknologi dan kolaborasi. Misal, investor berinvestasi ke portofolio lain, ini bisa disinergikan ke Noice. Kami lakukan bertahap karena kami fokus perkuat di konten,” paparnya.

Dengan keterlibatan investor ini, Noice telah menambah resource baru yang akan fokus dari sisi teknologi. Perusahaan membentuk tim khusus dari India untuk mengembangkan platform Noice secara internal ke depannya.

Roadmap bisnis 2021

Lebih lanjut, Adrian menyebutkan fokus pada pengembangan teknologi Noice terbagi dalam tiga fase. Pertama, peluncuran platform Noice 2.0 beta dengan UI/UX baru pada Maret ini. Kedua, perusahaan akan meluncurkan platform Noice versi 2.X pada Mei mendatang. Di fase ini, Noice mulai masuk ke jenis konten yang bisa open platform alias konten yang dapat diunggah sendiri atau personalized content. Ketiga, Noice akan mulai melakukan monetisasi, baik dengan skema iklan maupun berlangganan.

Dengan pengembangan platform ini, perusahaan mulai menggenjot jumlah konten podcast di tahun ini dengan target konten mencapai 4.000-5.000 episode. Per Desember, Noice telah memiliki lebih dari 3.000 episode podcast, 62 judul konten podcast, dan mengontrak sebanyak 80 podcaster.

Menurut Adrian, saat ini jenis konten hiburan, terutama komedi dan horor, masih menjadi genre paling diminati di Indonesia. Kendati demikian, Noice akan terus memperluas konten ke depan ke berbagai kategori, seperti edukasi dan bisnis. “Sebanyak 95% konten di Noice itu kami produksi sendiri. Kami kontrak podcaster secara eksklusif. Kami godok idenya dan podcaster yang eksekusi kontennya,” jelasnya.

Untuk sekarang, konten Noice masih bisa diakses secara gratis oleh pengguna. Monetisasi baru akan digodok apabila user basemonthly active users (MAU), dan time spend meningkat. Targetnya, Noice mengincar kenaikan user base hingga empat kali lipat dari posisinya sekarang, total play hingga delapan kali lipat, dan jumlah konten original eksklusif hingga dua kali lipat.

“Saat ini kami belum fokus monetisasi karena pasar Indonesia masih ada penolakan jika bicara sistem berlangganan. Tentu skema iklan dan berlangganan akan kami mulai genjot ke depan, mungkin nanti di tahap ketiga.”

Berdasarkan data Spotify, Indonesia mendominasi konsumsi podcast terbanyak se-Asia Tenggara pada 2020. Sebanyak 20% dari total pengguna Spotify di Indonesia mendengarkan podcast setiap bulan, dan jumlah tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global.

Podcast Popularity to Mark the Rise of Voice Based Content Industry in Indonesia

Voice-based content has existed before the internet, through the radio. As technology advanced, now voice-based content has evolved into on-demand content accessible through platforms.

One of those is the podcast or web podcast, which has become popular in recent years. Podcasts are serialized sound-based content that can be downloaded on your device. The term podcast or a combination of the words “iPod” and “broadcasting” was born along with the birth of this Apple device in 2001. Referring to Podcast Hosting data, there are 1.75 million podcast broadcasts in the world with 43 million episodes as of February 2021.

Now, voice-based content is transformed into on-demand content and available on various platforms, such as Apple Podcast, Spotify, Google Play Music, and Anchor. Not only on-demand, but the audio-based platforms Clubhouse is also gaining popularity among users in Indonesia.

Clubhouse is actually an audio-chat-based social media application that allows users to discuss various topics with other users. Exclusively, this application is to deliver a podcast format, but live. Then, how is the Indonesian market’s acknowledgment of voice-based content?

Podcast to lead the media landscape

Based on the information from several sources, there are some reasons why podcast is dominating the media landscape in a few countries, including Indonesia. First, podcast comes in a format that allows listeners to do other activities or multitask. This situation is different while enjoying video, e-book, or image based content,

In terms of consumers, this format is considered fine to take up their busy lives. The diversity of podcasts have the ability to build a community with the same preferences.

These factors are considered relevant for the Indonesian market. Referring to Podcast User Research in Indonesia in 2018, content variation and flexibility are two big reasons why consumers listen to this digital-based audio content.

Sumber Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial
Source: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial

In addition, the smartphone’s existence is one of the driving factors why podcasts have paved the way from specialized media to become mainstream media. What we know is that podcast content is only available in certain media, such as iPods, media players, and desktops/laptops.

According to Grand View Research, low storage space, internet connection, and the limited media to access podcasts at that time hindered the growth of this industry. Now, smartphones with high-bandwidth internet connections are starting to empower the industry.

Trend of local podcast platform

The global podcast market value is estimated at $9.28 billion in 2019 and is predicted to reach $11.7 billion in 2020 according to Grand View Research data. In Indonesia, the number of content and listeners is still dominated by foreign platforms, such as Spotify and Google Podcast.

At least, this refers to Podcast User Research in Indonesia data in 2018, where Spotify (52.02%) was recorded as the most popular platform for podcast. However, Inspigo is actually included as the only local player in the top 10.

Sumber: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial
Source: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial

This indicates the development of the local podcast platform awareness. The podcast growth trend in Indonesia has also encouraged a number of business players to develop similar platforms, such as Noice and PodMe.

Inspigo was launched in October 2017, but the platform was released to the public in April 2018. Meanwhile, Inspigo offers various packaged audio content, ranging from on-demand content, talk shows, and interactive sessions.

Meanwhile, Noice was launched in 2018 under PT Mahaka Radio Digital, a joint venture company formed by PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) and PT Quatro Kreasi Indonesia. Quatro is a consortium of four recording companies in Indonesia, including Musica, Aquarius, My Music, and Trinity.

Finally, PodMe was developed by a media conglomerate, the Media Group. The PodMe platform was released in October 2019 and offers a number of on-demand audio content, such as comedy, business, and the Kick Andy program.

Mahaka Radio’s President Director, Adrian Syarkawie revealed that Noice, which was originally developed as a streaming radio platform, was deemed insufficient to meet the growing market needs. In fact, on-demand content is considered to be growing rapidly in a number of countries, including Indonesia.

“If only from streaming radio alone, it seems [lacking] for digital applications. Moreover, people can still hear radio from other media. So, we are looking forward to what will be attractive to consumers through this application, and so we enter the podcast content, “he said to DailySocial.

In addition, on-demand audio content is getting highlighted by investors as an interesting digital business trend in the future. For example, Kopi Kenangan’s CEO and Co-founder, Edward Tirtanata, who recently announced as an angel investor through his fund, Kenangan Kapital, is reportedly going to invest in one of the local podcast platforms.

Although it is yet to be confirmed, Edward had mentioned in an interview with DailySocial that Indonesia demands more disruption in the consumer tech segment. In his observation, the products/services of this segment are still underrated in terms of technology.

Monetization hitch

Regardless, in any format, on-demand content will always lead to one big challenge, on how to monetize the business model. In general, on-demand content relies on two schemes, advertising and subscription systems.

The second option is quite attractive for platform providers to gain revenue. As long as customers can see/enjoy the value provided, they will continue to pay. Unfortunately, this option is considered difficult for the Indonesian market with a lack of willingness to pay.

Even Spotify, which has gone public, has to make a bet on making podcast content as its way to profitability. Referring to Spotify data in Indonesia, this strategy is actually make sense.

Spotify spotted that Indonesia is dominating podcast consumption in Southeast Asia in 2020. Around 20% of the total Spotify users in Indonesia listen to podcasts every month, and this number is higher than the global average percentage.

Spotify’s Head of Studios for Southeast Asia, Carl Zuzarte said that Indonesian podcast listeners have their own characteristics, the majority like content to listen to at night before bed. The consumption rate has increased in recent months, especially during the PSBB.

Meanwhile, in terms of podcasters, Box2Box ID’s Co-founder, Tio Prasetyo , also acknowledged the challenges of monetization. He said, podcasters still rely on revenue from brand-sponsored content. In this case, clients generally have an entire episode broadcast for their own promotion, similar to radio.

“The difference is, compared to radio, we can provide more accurate data, such as the number of listeners in real-time and reach to clients,” Utomo said as quoted from krAsia.

Utomo said podcasters are to raise additional income with other models, such as speaking at offline events or distributing broadcast material on podcast platforms for paid campaigns.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Spotify Umumkan Paket Berlangganan Khusus Format Audio Lossless, Spotify HiFi

Spotify menggelar event online bertajuk “Stream On” pada tanggal 22 Februari kemarin, dan di situ diumumkan cukup banyak kabar menarik terkait masa depan sang platform streaming audio. Yang paling utama adalah Spotify HiFi, paket berlangganan baru yang akan diluncurkan tahun ini juga di beberapa negara.

Kata “HiFi” di sini merujuk pada “high fidelity“, yang berarti pelanggan paket baru ini dapat menikmati katalog audio dalam kualitas lossless. Sayangnya Spotify tidak merincikan spesifikasi teknis dari format lossless yang mereka pakai di samping sebatas menyebut “CD-quality”. Sebagai referensi, Spotify saat ini menyajikan konten audionya dalam bitrate maksimum 320 kbps kepada para pelanggan berbayarnya.

Juga tidak dijelaskan adalah tarif dari paket Spotify HiFi ini. Sudah pasti lebih mahal daripada tarif Spotify Premium, dan Spotify juga pasti bakal mematok tarif yang berbeda di setiap negara. Selain itu, Spotify kabarnya juga bakal menawarkannya sebagai add-on untuk para pelanggan Spotify Premium.

Spotify turut membeberkan rencana ekspansinya di tahun 2021 ini. Target mereka adalah menyediakan layanannya di 85 negara baru, yang kalau ditotal mewakili lebih dari 1 miliar orang. Sebagai konteks, sejauh ini Spotify tercatat memiliki sekitar 345 juta pengguna aktif bulanan, 155 juta di antaranya adalah pelanggan paket berbayar.

Spotify DC Comics

Spotify juga masih terus berusaha untuk memperkaya konten podcast-nya. Beberapa deal kemitraan baru dengan para kreator mereka umumkan di acara ini, dan salah satu yang mungkin terdengar paling menarik adalah DC Comics. Peluang hadirnya seri komik baru yang disajikan secara khusus via audio tentu sangatlah besar dengan adanya kerja sama seperti ini.

Cara lain yang mereka terapkan tentu adalah dengan mempermudah proses kreasi podcast itu sendiri. Seperti yang kita tahu, Spotify sudah punya aplikasi pembuat podcast bernama Anchor, dan Anchor rupanya telah berkolaborasi dengan WordPress untuk menciptakan tool yang dapat mengubah teks menjadi audio. Idenya adalah supaya para blogger dapat memublikasikan tulisannya menjadi podcast hanya dalam beberapa klik saja.

Terakhir, Spotify saat ini tengah menguji fitur yang memungkinkan pengguna untuk mencari podcast berdasarkan tema atau topik tertentu. Fitur ini sekarang sedang mereka uji bersama para pengguna di Amerika Serikat, namun kabarnya juga akan tersedia di lebih banyak negara di tahun ini juga.

Sumber: TechCrunch dan Spotify. Gambar header: Depositphotos.com.

Popularitas Podcast Tandai Kebangkitan Industri Konten Berbasis Suara di Indonesia

Konten berbasis suara sebetulnya sudah ada sebelum zaman internet, yakni melalui radio. Seiring berkembangnya kecanggihan teknologi, kini konten berbasis suara berkembang menjadi konten on-demand yang dapat diakses melalui platform.

Salah satunya adalah podcast atau siniar web yang mulai populer dalam beberapa tahun terakhir ini. Podcast adalah konten berseri berbasis suara yang dapat diunduh pada perangkat. Istilah podcast atau kombinasi dari kata “iPod” dan “broadcasting” lahir seiring dengan kelahiran perangkat besutan Apple ini pada 2001. Mengacu data Podcast Hosting, terdapat 1,75 juta siaran podcast dengan 43 juta episode per Februari 2021 di dunia.

Kini konten berbasis suara menjelma menjadi konten on-demand dan dapat dinikmati di berbagai platform, seperti Apple Podcast, Spotify, Google Play Music, hingga Anchor. Tak cuma on-demand, platform berbasis audio Clubhouse juga mulai populer di kalangan pengguna di Indonesia.

Clubhouse sebetulnya adalah aplikasi media sosial berbasis audio-chat yang memungkinkan penggunannya untuk berdiskusi berbagai macam topik dengan pengguna lain. Bersifat eksklusif, aplikasi ini seperti menghadirkan format podcast, tetapi secara live. Lalu, bagaimana penerimaan pasar Indonesia terhadap konten berbasis suara?

Podcast mulai kuasai lanskap media

Berdasarkan informasi yang kami kutip dari sejumlah sumber, ada beberapa alasan mengapa podcast mulai mendominasi lanskap media di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Pertama, Podcast hadir dengan format yang memungkinkan pendengar melakukan aktivitas lain atau multitasking. Situasi ini berbeda apabila menikmati konten berformat video, e-book, atau gambar,

Tentu bagi konsumen, format ini dinilai pas untuk mengisi kehidupan mereka yang sibuk. Keragaman konten podcast juga dinilai punya kemampuan untuk membangun komunitas yang memiliki preferensi sama.

Faktor-faktor  tersebut dinilai relevan bagi pasar Indonesia. Mengacu riset Podcast User Research in Indonesia di 2018, variasi konten dan fleksibilitas menjadi dua alasan besar mengapa konsumen mendengarkan konten audio berbasis digital ini.

Sumber Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial
Sumber Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial

Selain itu, kehadiran smartphone menjadi salah satu driven factor mengapa podcast membuka jalan dari media khusus menjadi media arus utama. Yang kita ketahui awalnya konten podcast memang hanya dapat diakses di media tertentu saja, seperti iPod, media player, dan dekstop/laptop.

Menurut riset Grand View Research, terbatasnya media untuk mengakses podcast saat itu, koneksi internet, dan ruang penyimpanan yang rendah, menghambat pertumbuhan industri ini. Kini kehadiran smartphone dengan koneksi internet dengan bandwith tinggi justru mulai mendorong kembali industri ini.

Tren platrform podcast lokal

Nilai pasar podcast global diestimasi mencapai $9,28 miliar pada 2019 dan diprediksi mencapai $11,7 miliar di 2020 menurut data Grand View Research. Di Indonesia, konten maupun jumlah pendengar masih dikuasai oleh platform asing, seperti Spotify dan Google Podcast.

Setidaknya demikian mengacu data Podcast User Research in Indonesia di 2018, di mana Spotify (52,02%) tercatat sebagai platform terpopuler untuk mendengarkan konten podcast. Kendati demikian, rupanya ada Inspigo yang masuk sebagai satu-satunya pemain lokal di jajaran 10 besar.

Sumber: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial
Sumber: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial

Ini menandakan awareness terhadap platform podcast lokal sudah mulai terbangun. Tren pertumbuhan podcast di Indonesia juga mendorong sejumlah pelaku bisnis untuk mengembangkan platform sejenis, misalnya Noice dan PodMe.

Inspigo diluncurkan pada Oktober 2017, tetapi platformnya baru dirilis ke publik pada April 2018. Adapun, Inspigo menawarkan konten audio yang dikemas secara beragam, mulai dari konten on-demand, talkshow, dan sesi interaktif.

Sementara Noice meluncur pada 2018 di bawah naungan PT Mahaka Radio Digital, perusahaan joint venture bentukan PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) dan PT Quatro Kreasi Indonesia. Quatro merupakan konsorsium empat perusahan rekaman di Indonesia, yakni Musica, Aquarius, My Music, dan Trinity.

Terakhir, PodMe dikembangkan oleh konglomerasi media, yakni Media Group. Platform PodMe dirilis pada Oktober 2019 lalu dan menawarkan sejumlah konten audio on-demand, seperti komedi, bisnis, hingga program Kick Andy.

Presiden Direktur Mahaka Radio Adrian Syarkawie mengungkap, Noice yang awalnya dikembangkan sebagai platform radio streaming dinilai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus berkembang. Padahal, konten on-demand dinilai sedang berkembang pesat di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

“Kalau hanya dari radio streaming saja, kelihatannya [kurang] untuk aplikasi digital. Terlebih orang masih bisa mendengar radio dari media lain. Jadi, kami melihat ke depan apa yang menarik bagi konsumen lewat aplikasi ini, dan maka itu kami masuk ke konten podcast,” ujarnya kepada DailySocial.

Tak hanya itu, konten audio on-demand juga mulai dilirik investor sebagai salah satu tren bisnis digital menarik ke depan. Misalnya, CEO dan Co-founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata yang baru setahun belakangan merangkap sebagai angel investor lewat fund miliknya, yakni Kenangan Kapital, dikabarkan bakal berinvestasi di salah satu platform podcast lokal.

Meski belum mengonfirmasi kabar ini, Edward sempat menyebutkan dalam wawancara dengan DailySocial, bahwa Indonesia masih membutuhkan disrupsi lebih banyak di segmen consumer tech. Menurut pengamatannya, produk/layanan segmen ini di Indonesia masih terbilang underrated dari sisi teknologi.

Kerikil saat monetisasi

Terlepas dari itu semua, apapun formatnya, konten on-demand akan selalu bermuara pada satu tantangan besar, yakni bagaimana cara memonetisasi model bisnis. Umumnya, konten on-demand mengandalkan dua skema, yakni melalui iklan (ads) dan sistem berlangganan (subscription).

Opsi kedua memang menarik bagi penyedia platform untuk meraup pendapatan. Selama pelanggan dapat melihat/menikmati value yang diberikan, mereka akan terus membayar. Sayangnya, opsi ini dinilai masih sulit untuk pasar Indonesia yang punya willingness to pay yang rendah.

Bahkan Spotify yang sudah go public pun sampai harus bertaruh dengan menjadikan konten podcast sebagai cara untuk menuju profitabilitas. Jika mengacu data Spotify di Indonesia, tampaknya strategi tersebut masuk akal.

Spotify mencatat bahwa Indonesia mendominasi konsumsi podcast terbanyak se-Asia Tenggara pada 2020. Sebanyak 20% dari total pengguna Spotify di Indonesia mendengarkan podcast setiap bulan, dan jumlah tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global.

Head of Studios Spotify untuk Asia Tenggara Carl Zuzarte mengatakan bahwa pendengar podcast Indonesia memiliki karakteristik tersendiri, yakni mayoritas menyukai konten yang bisa didengarkan di malam hari sebelum tidur. Konsumsinya meningkat dalam beberapa bulan terakhir terutama saat PSBB.

Sementara dari sisi podcaster, Co-founder Box2Box ID Tio Prasetyo Utomo juga mengakui adanya tantangan monetisasi. Menurutnya, saat ini podcaster masih mengandalkan pendapatan dari konten yang disponsori oleh brand. Di sini, klien umumnya meminta seluruh episode disiarkan untuk promosi mereka sendiri, mirip dengan radio.

“Bedanya adalah, jika dibandingkan radio, kami dapat memberikan data yang lebih akurat, seperti jumlah pendengar secara real-time dan jangkauan kepada klien,” ujar Tio sebagaimana dikutip dari krAsia.

Menurut Tio, podcaster bisa mendulang penghasilan tambahan dengan model lain, misalnya menjadi pembicara di acara offline atau menyebarkan materi yang disiarkan di platform podcast untuk kampanye berbayar.

Paket Harga dan Cara Berlanggangan Spotify Premium Mini

Saat ini Spotify Premium Mini hadir di Indonesia dengan paket berlangganan yang lebih terjangkau untuk setiap penggunanya. Anda bisa melakukan pendaftaran paket tersebut untuk menikmati berbagai fitur yang sudah disediakan.

Continue reading Paket Harga dan Cara Berlanggangan Spotify Premium Mini

Minecraft, Doom, dan Death Stranding Adalah Game dengan Soundtrack Terpopuler di Spotify Selama 2020

Apa soundtrack game favorit Anda? Buat saya pribadi, belakangan ini saya sedang menggandrungi musik dari game Borderlands 3, khususnya satu lagu yang berjudul “Supernova Dreamsicle”, sebab memang saya baru sempat menamatkannya belum lama ini.

Kalau melihat tren secara global, ada tiga game yang soundtrack-nya merajai Spotify selama 12 bulan terakhir. Ketiganya adalah Minecraft, Doom, dan Death Stranding. Tentu saja data ini bukan hasil karangan saya, melainkan dari laporan CNN berdasarkan keterangan langsung dari Spotify.

Sebagian dari kita mungkin akan sedikit terkejut melihat Minecraft duduk di posisi teratas, tapi kita juga tidak boleh lupa bahwa Minecraft adalah salah satu game terlaris yang pernah ada. Per bulan Mei 2020 kemarin, Minecraft tercatat sudah terjual sebanyak 200 juta kopi, jauh lebih banyak ketimbang Grand Theft Auto V, yang di titik ini mungkin juga sudah bisa dikategorikan sebagai game sejuta umat.

Untuk posisi keduanya, sayang sekali laporan dari CNN tidak menjabarkan Doom yang mana, tapi asumsi saya adalah Doom sebagai suatu franchise, yang berarti mencakup Doom (2016) dan Doom Eternal sekaligus. Kebetulan saya cukup suka dengan genre metal, dan soundtrack gubahan Mick Gordon di kedua game tersebut memang berhasil memacu adrenalin meski saya sebatas mendengarkannya via Spotify.

Di posisi ketiga, ada Death Stranding yang memang memukau secara musikal maupun sinematik. Dalam proses pengembangannya, Kojima Productions memang tidak mau tanggung-tanggung dalam menggarap soundtrack-nya, dan pada akhirnya melibatkan sejumlah musisi ternama seperti CHVRCHES maupun Bring Me The Horizon.

Data menarik lain dari laporan CNN tersebut adalah seputar K/DA, girl band virtual yang Riot Games ciptakan dalam upayanya mengekspansi dunia League of Legends ke luar ranah gaming. Tercatat bahwa jumlah stream lagu-lagu K/DA di Spotify naik 109% dibandingkan di tahun 2019, dan ini cukup wajar mengingat K/DA memang baru merilis album baru di bulan Oktober kemarin, ditambah lagi animo yang berasal dari penyelenggaraan League of Legends Worlds di bulan yang sama.

Sumber: GamesRadar.

Alasan Spotify Gandeng Riot Games dan Masuki Industri Esports

Spotify sedang sibuk melakukan ekspansi global. Mereka ingin agar platform streaming musik mereka dikenal oleh semua orang, termasuk gamer dan fans esports. Untuk mendekatkan diri dengan para gamer, Spotify bekerja sama dengan PlayStation, Xbox, dan Discord. Sementara untuk terjun ke dunia esports, Spotify memutuskan untuk menggandeng menggandeng Riot Games. Melalui kerja sama ini, Spotify akan menjadi sponsor dari beberapa turnamen global League of Legends, termasuk League of Legends World Championship, Mid-Season Invitational (MSI), dan All-Star Events.

Kenapa Spotify Memilih Riot Games?

League of Legends bukan satu-satunya game esports di dunia. Di Indonesia, game MOBA buatan Riot Games tersebut masih kalah pamor dari Dota 2. Namun, tak bisa dipungkiri, di dunia, League of Legends masih menjadi game esports terpopuler saat ini. Tak hanya itu, jika dibandingkan dengan game esports lainnya, skena esports League of Legends punya jangkauan global paling luas. Hal ini akan memudahkan Spotify yang ingin memperkenalkan platform mereka ke fans esports di dunia.

“Berdasarkan riset kami, Riot Games adalah salah satu perusahaan terbaik untuk kami ajak kerja sama. Kompetisi esports yang mereka adakan punya jangkauan global paling luas. Mereka juga menyiarkan kompetisi mereka menggunakan belasan bahasa dan kompetisi mereka memiliki viewership yang konsisten,” ujar Global Head of Marketing Strategy, Spotify, Neal Gorevic, seperti dikutip dari Esports Insider.

Alasan lain mengapa Spotify memutuskan untuk menjadi sponsor dari kompetisi esports League of Legends adalah karena kebanyakan pemain game MOBA itu juga menonton pertandingan esports. Jadi, dengan mendukung skena esports League of Legends, Spotify bisa menargetkan baik para pemain League of Legends maupun para fans esports.

alasan spotify masuk esports
League of Legends World Championship jadi salah satu turnamen yang disponsori oleh Spotify. | Sumber: LOL Esports

Menurut data dari Statista, pada 2019, sekitar 68% dari total pemain League of Legends juga menonton pertandingan esports dari game tersebut. Angka ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan game esports lainnya. Misalnya, pada Counter-Strike: Global Offensive, yang dianggap sebagai game esports terpopuler kedua di dunia, hanya 51% pemain yang juga menonton kompetisi esports dari game FPS tersebut. Selain itu, kompetisi League of Legends juga ditonton oleh orang-orang yang tidak memainkan game buatan Riot itu. Sekitar 26% orang yang menonton kompetisi esports League of Legends mengaku tidak pernah memainkan game itu.

Keputusan Spotify untuk masuk ke dunia esports merupakan bagian dari strategi mereka untuk menjadikan Spotify sebagai platform streaming musik yang kaya konten dan dikenal semua orang, termasuk gamer dan fans esports. Karena itulah, podcast jadi salah satu fokus Spotify di tahun ini.

Pada Mei 2020, Spotify menandatangani kontrak dengan komedian Joe Rogan. Melalui kontrak yang bernilai lebih dari US$100 juta itu, Spotify akan menampilkan acara Rogan, The Joe Rogan Experience, secara eksklusif di platform mereka. Podcast juga menjadi salah satu produk hasil kolaborasi Spotify dengan Riot Games.

Hasil Kolaborasi Spotify dengan Riot Games

Salah satu hasil kerja sama Spotify dengan Riot Games adalah Untold Stories, seri podcast yang bercerita tentang momen-moment penting dalam sejarah turnamen League of Legends World Championship. Tak hanya itu, di Spotify, Anda juga akan menemukan beberapa playlist League of Legends yang sudah dipilih secara khusus, seperti “This is League of Legends” dan “Road to Worlds 2020”. Gorevic mengungkap, di masa depan, mereka akan menambahkan playlist League of Legends baru.

Dengan menyediakan podcast dan playlist lagu League of Legends, Spotify ingin memastikan mereka menyediakan semua konten audio yang menarik bagi para gamer. Mereka berharap, para gamer akan terus mendengarkan Spotify, tak peduli dimana mereka berada dan apa yang sedang mereka lakukan.

alasan spotify masuk esports
Spotify membuat seri podcast tentang League of Legends, berjudul Untold Stories.

Spotify juga menjadi sponsor dari beberapa turnamen esports League of Legends. Dengan begitu, mereka bisa memperkenalkan merek mereka pada audiens. Salah satu metode yang mereka gunakan adalah memasang banner dalam game. Memang, dalam pertandingan esports, perhatian penonton akan lebih sering tertuju pada segala sesuatu yang terjadi dalam game daripada ke para pemain profesional. Jadi, in-game banner menjadi salah satu cara marketing yang efektif bagi sponsor.

Riot Games dan Musik

Keputusan Spotify untuk berkolaborasi dengan Riot Games memang sudah sangat tepat. Pasalnya, Riot memang serius dalam membuat konten musik. Buktinya, pada 2018, mereka membuat girl band virtual yang dinamai K/DA. Sampai sekarang, girl band itu masih aktif. Malahan, pada Oktober 2020 kemarin, K/DA baru merilis mini-album yang diberi judul All Out.

Tak hanya itu, pada akhir November 2020, Riot Games bekerja sama dengan grup musik elektronik asal Indonesia, Weird Genius, dan Tabitha Nauser, penyanyi dan penulis lagu dari Singapura, untuk meluncurkan lagu berjudul “All In”. Riot mengungkap, tujuan mereka merilis lagu itu adalah untuk merayakan peluncuran mobile game MOBA mereka, League of Legends: Wild Rift.

alasan spotify masuk esports
Riot Games baru saja bekerja sama dengan Weird Genius.

“Melalui All In, kami melihat peluang untuk menciptakan sesuatu yang istimewa bagi para pemain kami di Indonesia,” kata Marc Johns, Head of Marketing Asia Tenggara, Riot Games dalam pernyataan resmi Riot.

Salah satu anggota Weird Genius, Reza Oktovian menganggap, kerja sama dengan Riot Games ini adalah kesempatan yang menarik. Sementara Eka Gustiwana, anggota Weird Genius lainnya, mengungkap bahwa dia berharap, lagu All In akan bisa mendorong para gamer Indonesia untuk mencoba Wild Rift.

Spotify Sedang Uji Fitur Story Versinya Sendiri

Berawal dari inisiatif Snapchat, konten dalam format story pada akhirnya berhasil menjadi fenomena global berkat Instagram. Sekarang, hampir semua media sosial punya kanal khusus untuk mewadahi jenis konten yang akan hilang secara otomatis dalam waktu 24 jam pasca diunggah tersebut.

Beberapa hari lalu, Twitter merilis Fleets, fitur story-nya yang sudah diuji sejak Maret lalu. Sekarang, giliran Spotify yang secara diam-diam sedang menguji fitur story-nya. Story versi Spotify ini agak berbeda karena tidak sepenuhnya user-generated, melainkan yang diunggah oleh para musisi di layanan tersebut.

Berdasarkan video yang diunggah oleh pengguna Twitter @TmarTn, beberapa story unggahan para musisi itu bisa ditemukan di playlist Christmas Hits racikan Spotify sendiri. Sepintas, video-video pendeknya itu terkesan organik dan seperti yang kita ekspektasikan dari konten bertipe story, bukan hasil produksi kru profesional bersama masing-masing musisi.

Berdasarkan keterangan resmi Spotify kepada Engadget, layanan streaming musik asal Swedia itu mengakui bahwa mereka tengah menguji fitur story, tapi mereka sama sekali tidak mau memastikan apakah fiturnya bakal dirilis secara luas ke depannya.

Spotify stories

Menariknya, ini bukan pertama kalinya Spotify menguji fitur story, dan mereka sebenarnya sudah punya beberapa iterasi. 2019 lalu misalnya, Spotify sempat menguji fitur story yang mereka sebut dengan istilah “Storyline”. Kemudian di awal tahun 2020 ini, mereka juga sempat menguji fitur yang memungkinkan sejumlah influencer untuk menambahkan story ke public playlist susunannya masing-masing.

Kalau melihat bagaimana YouTube dan LinkedIn pun punya story, tidak mengherankan apabila Spotify juga tertarik menawarkan fitur serupa. Dalam kasus Spotify, mereka sepertinya memperlakukan story sebagai medium yang dapat dimanfaatkan para musisi untuk berbagi pengalaman di balik layar mereka.

Sang musisi memang sudah bisa berinteraksi dengan para fansnya melalui story di Instagram atau Snapchat, akan tetapi ketika mereka ingin fokus berbagi tentang pengalamannya selama menggarap lagu barunya, di situlah mungkin story pada Spotify bisa terkesan relevan.

Lucunya, meskipun Snapchat dan Instagram adalah pelopor dari format story, keduanya sekarang malah sedang mencoba meniru TikTok.

Sumber: Gizmodo. Gambar header:  Omid Armin via Unsplash.