Tim Amazon Temui Presiden, Janjikan Investasi 14 Triliun Rupiah

Amazon semakin serius memasuki pasar Indonesia. CTO dan VP Amazon Werner Vogels menemui Presiden Joko Widodo dan menjanjikan investasi 10 tahun ke depan dengan nilai $1 miliar (lebih dari 14 triliun Rupiah). Sektor cloud, melalui Amazon Web Service (AWS), menjadi sasaran perdananya. Tidak ada informasi lebih lanjut apakah layanan e-commerce-nya juga bakal hadir.

Saat menerima perwakilan Amazon tersebut Presiden didampingi Menkeu Sri Mulyani dan Kepala BKPM Tom Lembong. Sebelumnya pihak Amazon telah membahas sisi perpajakan dengan Sri Mulyani.

Sri Mulyani, seperti dikutip dari Viva, mengatakan, “Mereka menyampaikan [janji] investasi Rp14 triliun di Indonesia dalam waktu 10 tahun ke depan. [Pelaksanaan investasi] dimulai secara baik, dari sisi cloud services yang mereka lakukan.”

Vogels datang ke Indonesia dalam rangka AWS Startup Day 2018 di Jakarta. Di sela-sela acara tersebut Vogels menyatakan tidak memiliki rencana membangun server lokal di Indonesia dan bakal meningkatkan edukasi terkait teknologi cloud dengan inisiatif AWS Academy. AWS sendiri telah mendirikan kantor dan merekrut tim lokal sejak Desember 2017 lalu.

Finance Minister Sri Mulyani: Amazon Plans to Enter Indonesia

US’s largest e-commerce, Amazon, is ready for the second expansion in Southeast Asia. After Singapore, Indonesia became the next destination of a company founded by the richest man alive today, Jeff Bezos. Before its official launching, the Indonesian government through the Financial Ministry is try to ensure that Amazon is aware and following the tax regulation in Indonesia.

“I am on a discussion with Amazon and its plan to penetrate the country. I need to make sure they have met the regulation in Indonesia, particularly in terms of readiness for taxes,” Sri Mulyani, Finance Minister said as quoted from Katadata.

The tax issue has been the focus of Financial Ministry. Previously, through the Directorate General of Taxes, the Financial Ministry chased down taxes of some global companies, such as Google and Facebook.

Since 2016

In Singapore, Amazon has been available and offered its regular e-commerce shipping services, Amazon Prime, and Amazon Prime Now. The idea for expansion to Indonesia has been rumored since 2016.

It was claimed then, Amazon’s seed capital for SEA expansion worth $2 billion, with $600 million to be focused on penetrating the Indonesian market, for at least one year.

A service from Amazon that has introduced in Indonesia is the Amazon Prime Video for streaming. Another service is the International Shopping supported by 25 world currencies, including Rupiah, for prospective buyers in Indonesia to easily use local currency and make payments using debit or credit card.

Previously, the Chinese giant had first set foot in the Indonesian market. Alibaba Group penetrates through Lazada’s acquisition and investment to Tokopedia, while Tencent Group with JD.id and Shopee.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Menkeu Sri Mulyani: Amazon Berencana Masuk Indonesia

Layanan e-commerce terbesar di Amerika Serikat, Amazon, berencana melakukan ekspansi kedua di Asia Tenggara. Setelah Singapura, Indonesia menjadi negara berikutnya yang dilirik perusahaan yang didirikan oleh orang terkaya di dunia saat ini, Jeff Bezos. Sebelum resmi hadir di Indonesia, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Keuangan, ingin memastikan persoalan perpajakan akan dipatuhi Amazon di Indonesia.

“Saya sedang berdiskusi dengan Amazon yang berencana masuk ke Indonesia. Saya mau memastikan mereka memenuhi regulasi di Indonesia, terutama kesiapan dalam membayar pajak,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati seperti dikutip dari Katadata.

Persoalan pajak memang menjadi fokus Kementerian Keuangan. Sebelumnya, melalui Ditjen Pajak, Kemenkeu mengejar pembayaran pajak dari sejumlah perusahaan teknologi global, seperti Google dan Facebook.

Rencana sejak 2016

Di Singapura Amazon sudah hadir menawarkan layanan pengiriman e-commerce reguler Amazon, Amazon Prime, dan Amazon Prime Now. Rencana Amazon untuk melebarkan bisnisnya di Indonesia sudah gencar diberitakan sejak tahun 2016 lalu.

Saat itu diklaim modal awal Amazon untuk berekspansi di Asia Tenggara senilai $2 miliar, dengan $600 juta akan dipusatkan untuk membuka pasar Indonesia, setidaknya untuk tahun pertama.

Layanan Amazon yang sudah hadir di Indonesia adalah layanan streaming video Amazon Prime Video. Layanan lainnya adalah International Shopping yang didukung 25 mata uang dunia, termasuk Rupiah, untuk memudahkan calon pembeli di Indonesia menggunakan mata uang lokal dan melakukan transaksi pembayaran menggunakan kartu debit dan kredit.

Sebelumnya raksasa Tiongkok telah lebih dulu menjejakkan kaki di pasar Indonesia. Alibaba Group masuk melalui akuisisi terhadap Lazada dan investasi ke Tokopedia, sementara Tencent Group masuk melalui JD.id dan Shopee.

The Government Proposes Tax Incentive for Venture Capital

Indonesia’s government will share tax-exempt incentive for venture capitals investing in startups. Quoted from CNN Indonesia, Minister of Finance Sri Mulyani said, this is the first incentive package to be given to venture capitals. The step is taken to raise investment in digital economy and e-commerce, particularly for SMEs.

“The received income by venture capitals, that also the company’s profit, will not be treated as an object of taxable income in order to increase investment interest for SME sectors,” she explained.

The tax-exempt incentive will apply to the investor that already registered on Financial Service Authority (OJK). According to OJK, per December 2017, there are 67 Indonesia-based venture capitals with total asset reaching Rp11 trillion. Investors with Rp500 million to Rp1 trillion investment will be getting taxable income deduction of 10-100% for 5-10 years.

The government is said to be open for the possibility to extend the incentive period reflecting on similar step implemented by Thailand.

Quoted from Katadata, for venture capitals and startup SMEs in particular, the incentive will be provided by making the investment as part of the profit that excluded in taxable income. The government should revise the 1995’s Minister of Finance Decree (KMK) #250.

“We’ll revise 1995’s KMK to meet startup’s expectation that mobilizing investment from venture capital for rapid growth,” Sri Mulyani explained.

The government plan is well received by the Startup and Venture Capital Associate (AMVESINDO). It is a step forward, they said on this.

Himawan Yasin, AMVESINDO’s Vice Secretary General, reminded that the new rules should be in line with 2015’s POJK #35 on venture capital operation to support VC industry in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pemerintah Beri Insentif Pajak untuk Modal Ventura

Pemerintah Indonesia akan memberikan insentif bebas pajak penghasilan kepada perusahan modal ventura yang berinvestasi ke perusahaan rintisan atau startup. Dikutip dari CNN Indonesia, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, paket insentif ini merupakan yang pertama yang diberikan ke modal ventura. Langkah ini ditempuh untuk meningkatkan investasi bidang ekonomi digital dan e-commerce, khususnya yang masuk kategori UKM.

“Penghasilan yang diterima perusahaan modal ventura, yang merupakan laba badan usaha tersebut, tidak diperlakukan sebagai objek PPh agar minat investasi di sektor UKM dan membiayai startup bisa ditingkatkan,” terang Sri Mulyani.

Insentif bebas pajak untuk modal ventura ini akan berlaku bagi para investor yang terdaftar di dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut data OJK per Desember 2017, ada 67 perusahaan modal ventura di Indonesia dengan total aset mencapai Rp11 triliun. Investor yang menyuntikkan modal Rp500 miliar hingga Rp1 triliun akan mendapatkan pengurangan PPh sebesar 10-100 persen selama 5-10 tahun.

Pemerintah disebut membuka kemungkinan memperpanjang jangka waktu insentif ini berkaca pada langkah serupa yang diterapkan di Thailand.

Dikutip dari KataData, dari sisi UMKM, terutama untuk modal ventura dan startup, insentif akan diberikan dengan menjadikan penerimaan modal ventura sebagai bagian laba yang tidak diperlakukan sebagai PPh. Untuk mewujudkannya pemerintah akan merevisi Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No 250 tahun 1995.

“Kami akan melaksanakan revisi KMK tahun 1995 dalam rangka agar memenuhi kebutuhan dari munculnya banyaknya perusahaan startup yang memobilisasi modal yang berasal dari modal ventura agar bisa berkembang lebih cepat,” terang Sri Mulyani.

Rencana pemerintah ini mendapat sambutan baik dari Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO). Bagi AMVESINDO langkah pemerintah ini merupakan langkah yang maju.

Himawan Yasin, Wakil Sekretaris Jenderal AMVESINDO, juga mengingatkan bahwa aturan baru nantinya juga harus sejalan dengan POJK 35 tahun 2015 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan modal ventura untuk lebih mendorong industri VC di Indonesia.

GO-JEK Segera Direkrut Jadi Agen Pajak

GO-JEK akan segera direkrut Ditjen Pajak sebagai agen pajak, sejalan dengan inisiatif pemerintah memudahkan wajib pajak dengan teknologi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menyatakan persetujuannya terkait rencana tersebut, yang diwakili oleh Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Iwan Djunardi.

Wacana ini awalnya muncul pasca kedatangan CEO GO-JEK Nadiem Makariem ke kantor Kemenkeu pada Selasa (7/11). Salah satu poin yang dibahas adalah perkembangan teknologi dalam perpajakan.

Nantinya GO-JEK akan dijadikan sebagai penyedia layanan aplikasi (Application Service Provider/ASP). Masyarakat bisa mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) hingga melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) melalui aplikasi yang disediakan.

ASP adalah bisnis yang menyediakan layanan berbasis komputer untuk pelanggan melalui suatu jaringan. Perangkat lunak yang disediakan dengan model ini sering disebut dengan Software-as-a-Service (SaaS).

“Orang bisa registrasi NPWP lewat situ [ASP], sehingga beliau [Nadiem] akan menjadi salah satu agen kami. Kalau dari sisi teknologi justru hal-hal seperti itu yang mau kami kembangkan,” ujar Iwan dikutip dari kumparan.

Sementara itu, dari sisi aturannya sendiri, akan segera diterbitkan tersendiri dan sejauh ini tidak ada masalah. Sebab inisiatif ini sejalan dengan niat Ditjen Pajak untuk lebih memudahkan wajib pajak, salah satunya dengan pemanfaatan teknologi.

“Aturan itu seharusnya tidak ada masalah juga karena tadi Bu Menteri sudah meng-endorse.”

Selain penggunaan teknologi untuk perpajakan, Nadiem mengatakan diskusi lebih banyak membahas soal makroekonomi. Seperti revolusi digital, revolusi fintech, dan bagaimana perilaku konsumen di negara-negara lain.

“Menkeu mau tahu seperti apa,” kata Nadiem.

Terkait revolusi digital, dia juga membahas kemungkinan masyarakat mendapat layanan keuangan, bisa meningkatkan taraf hidupnya.

“Bayangkan kalau semua orang punya akses ke layanan finansial, maka dia bisa meningkatkan taraf ekonomi apakah dapat financial services, dapat layanan produk termurah, dan lain sebagainya,” pungkas dia.

Application Information Will Show Up Here

Sri Mulyani Janji Permudah Startup “Go Public”

Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan pihaknya berjanji akan permudah startup untuk “go public” di Bursa Efek Indonesia (BEI), sebagai opsi mendapatkan tambahan permodalan. Saat ini, pemerintah, OJK maupun BEI sedang mengkaji aturan mana saja yang dapat dilonggarkan.

“Dalam [sesi] breakfast tadi pagi, kami membahas topik salah satunya bagaimana menciptakan bursa sebagai tempat bagi startup mendapatkan sumber modal tanpa proses panjang,” terangnya Sri Mulyani saat menjadi pembicara di konferensi Ideafest, Jumat (6/10).

Menurutnya, ada banyak persoalan yang harus dibenahi untuk mengoptimalkan peran BEI sebagai penyambung investor dengan perusahaan yang membutuhkan tambahan dana segar. Dia juga mengakui proses listing yang berlaku saat ini dinilai cukup memberatkan pelaku startup, yang umumnya masih anak muda.

Salah satu persyaratan yang berpotensi dapat dilonggarkan adalah memangkas prosedur pencatatan listing, misalnya memangkas syarat rekam jejak kinerja keuangan yang perlu dilampirkan sebagai dokumen persyaratan.

“Perlu ada pengubahan pola pikir, sehingga bisa saja bukan lagi melihat track record keuangan ke belakang, namun mengarah ke ide ke depan yang menjanjikan untuk dijual dan menghasilkan return.”

Kendati demikian, pelonggaran listing ini tidak serta merta menurunkan kredibilitas BEI sebagai otoritas bursa. Menkeu menilai investasi di bursa bukan kegiatan amal. Investor pasti berharap mendapat imbal hasil atas uang yang mereka tanamkan.

“Kami mendiskusikan dengan OJK bagaimana prosedur listing dari sisi akuntan publik, kualitas pelaporan yang tidak terlalu membebani. But this is what I can promise, pemerintah akan mengurangi sebaik mungkin komplikasi untuk listed ke bursa.”

Sri Mulyani pun juga mengingatkan kepada pemilik startup untuk tidak hanya fokus merealisasikan ide usaha kreatif saja. Mereka perlu dewasa dalam menyikapi ekosistem bisnis untuk turut taat pada sisi tata kelola perusahaan, dengan mulai serius menata manajemen bisnis sebelum memutuskan masuk ke bursa.

“Untuk modal, Anda pinjam uang orang. Perlu tata kelola yang baik, dengan menjaminkan agar selalu untung. Yang kasih pinjaman sadar dengan risikonya. Oleh karena itu, Anda tidak bisa seenaknya sendiri. Ujiannya selalu ada pada titik itu,” pungkasnya.

Pada pekan ini (5/9), startup e-commerce O2O Kioson mencatatkan saham perdananya di BEI dengan ticker KIOS. Kioson tercatat sebagai perusahaan emiten ke-24 yang “go public” sepanjang 2017.

Berikutnya, bila tidak ada aral melintang, startup kedua yang akan listed di BEI adalah M Cash pada akhir Oktober 2017 mendatang.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Ideafest 2017

Keseriusan Pemerintah Tanggapi Pajak Google Mengarah Ke Kesiapan Regulasi Bisnis Digital

Isu perpajakan yang menyeret raksasa internet Google di Indonesia masih terus bergulir. Kendati mediasi khusus telah dilakukan, namun belum menemukan kesepakatan final antara pemerintah (dalam hal ini Ditjen Pajak) dan pihak Alphabet, induk perusahaan Google. Disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah kesempatan, pihaknya optimis kesepakatan akan segera dicapai sebelum akhir 2016.

Dari pemberitaan yang dilansir The Wall Street Journal, muncul nilai pajak yang akan dibayarkan Google. Jauh lebih kecil dari perkiraan, yakni sekitar $73 juta, atau senilai Rp 988,7 miliar. Sebelumnya disampaikan oleh Ditjen Pajak pendapatan Google (umumnya dari iklan) di Indonesia mencapai Rp 5 triliun, dengan asumsi margin 35 persen dari total pendapatan, maka laba kena pajak ditaksir sebesar Rp 1,75 triliun.

Penyelesaian pajak Google ini tentu mendatangkan sebuah pertanyaan, apakah perusahaan lain (khususnya digital) akan mendapatkan perlakukan yang sama. Hal tersebut dijawab tegas oleh Menkeu Sri Mulyani, seperti yang terkutip di Liputan 6 berikut ini:

“Pokoknya semua yang memiliki kegiatan ekonomi memiliki value added di sini, tentu merupakan objek dan subjek pajak. Bagi kami perusahaan apa pun yang memiliki aktivitas sehingga menciptakan objek pajak, dia harus memiliki suatu entitas dalam negeri. Oleh karena itu, menjadi subjek pajak, maka dia tunduk undang-undang perpajakan kita.”

Saat ini statusnya masih dalam tahap perhitungan matang, baik oleh tim Ditjen Pajak maupun auditor pajak internal dari perusahaan Google.

Urgensi pemerintah mengejar pajak Google di Indonesia

Proses tax settlement atau perundingan antara kedua belah pihak sedang intensif dilakukan. Proses ini dinilai lebih menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Khusus Muhammad Haniv, dengan proses tersebut kedua belah pihak tidak perlu menghitung secara rinci, ibarat seperti jalan damai. Tax settlement ini berbeda dengan proses pemeriksaan biasa yang memperhitungkan utang pajak dari PPN, PPh, dan pajak lainnya.

Kasus ini sebenarnya tidak hanya menyangkut tentang bagaimana perusahaan OTT memberikan income bagi negara, namun jika melihat dari sudut pandang lain, yakni perkembangan bisnis digital nasional, sangat naif jika pemerintah tidak tegas. Perkara ini turut membuat Menkominfo akhirnya berinisiatif untuk menyiapkan aturan terkait operasi layanan OTT. Salah satu materi yang diatur adalah soal kepatuhan dalam membayar pajak.

Berkaitan dengan pajak perusahaan digital, pertumbuhan e-commerce yang dewasa ini kencang di Indonesia juga menjadi salah satu pokok perbincangan pemerintah, aturannya masih terus digencarkan. Selain itu masih banyak proses bisnis digital yang masih berusaha diregulasi oleh pemerintah dalam kaitannya dengan perpajakan, contohnya layanan ride-sharing.

Semua pemain bisnis digital lokal pasti berharap, jangan sampai pemerintah lunak dengan perusahaan asing dalam kaitannya dengan regulasi (pajak dan peraturan lain), namun sangat ketat kepada pemain lokal. Kesan tersebut setidaknya yang dapat ditunjukkan pemerintah melalui keseriusannya dalam menangani kasus seperti yang dihadapi Google.

Isu Perpajakan Google Indonesia Berbuntut Panjang

Alphabet Inc sebagai induk perusahaan Google ditaksir melakukan penunggakan pajak dalam operasionalnya di Indonesia per tahun 2015 hingga mencapai Rp 5,2 triliun. Sementara Google Indonesia resmi berbentuk PT sejak tahun 2011. Pemerintah pun tak main-main untuk mendalami kasus ini, gertakan pun dilontarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pihaknya akan memperkarakan isu ini di forum internasional. Namun di balik diskusi seputar pelanggaran pajak yang saat ini masih hot, terpercik opini bahwa yang dilakukan Google tersebut merupakan bagian dari strategi untuk meningkatkan keuntungan.

Transaksi bisnis Google Indonesia dipusatkan di kantor pusat Google Asia Pasifik (terletak di Singapura). Dengan argumen tersebut, Google Indonesia mengklaim tidak perlu membayar pajak seperti yang diduga pihak pemerintah Indonesia.

“Argumen Google adalah mereka hanya melakukan tax planning. Namun perencanaan pajak secara agresif yang menyebabkan negara tempat mereka mendapatkan penghasilan itu tidak mendapatkan apa pun adalah ilegal,” kata Kepala Kantor Wilayah Jakarta Khusus Ditjen Pajak Muhammad Haniv.

Saat ini kasus Google tengah ditangani oleh Kemenkeu dan Kemenkominfo. Kemenkeu lebih banyak melakukan manuver untuk menambah bukti-bukti pelanggaran perpajakan, sedangkan Kemenkominfo terus menekan kepada Google dan pemain OTT (Over The Top) multinasional lain untuk segera merealisasikan BUT (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia. Isu perpajakan yang melibatkan pemilik uang di luar negeri dewasa ini terus mencuat di permukaan, seiring dengan kebijakan Tax Amnesty yang dicetuskan pemerintah. Tak sedikit yang “ketar-ketir” dengan kebijakan ini, namun banyak yang merasa diuntungkan.

Strategi perusahaan dalam meminimalkan pembayaran pajak

Meja hijau dan urusan perpajakan tampaknya tak pernah membuat Google merasa kapok. Di Inggris, pada tahun 2011 silam Google terindikasi menunggak pembayaran pajak hingga Rp 7,7 triliun. Namun dalam pelaporan perpajakan Google berhasil meloloskan pembayaran. Kesengajaan tersebut akhirnya terbongkar, bahwa pihak Google mengalihkan perputaran transaksi ke Bermuda (negara bebas pajak). Skema sama yang turut dilakukan (mungkin tidak hanya oleh Google) dengan operasinya di Indonesia dan meletakkan perputaran transaksi bisnisnya di Singapura.

Secara naluriah pun akal sehat mudah memahami, bagaimana bisnis berambisi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, namun membayarkan pajak sekecil-kecilnya. Akan tetapi isunya sekarang adalah soal transparansi dan bagaimana negara konsumen besar seperti Indonesia yang dimanfaatkan begitu saja tanpa adanya imbal balik pemasukan pajak yang sesuai. Secara kasat mata begitu terlihat market-share Google sebagai layanan OTT begitu mendominasi di Indonesia. Bahkan berhasil membudaya sebagai “mbah” yang biasa ditanya ketika orang memerlukan sesuatu, “coba cari di mbah Google”.

Selain Inggris, ada juga Italia, Perancis, Tiongkok, Spanyol dan India yang sempat mempermasalahkan isu pajak kepada Google. Keyakinan pemerintah:

“Dengan menolak diperiksa, ada indikasi pidana, sudah pasti, mutlak. Dan mereka juga menolak ditetapkan sebagai BUT. Kami akan segera melakukan investigasi.”

Pertanyaannya, sejauh mana pemerintah mampu memberikan ancaman kepada Google? Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menekan pemerintah untuk tegas, bahkan meminta tidak segan untuk menutup jika terbukti menyeleweng.

Objek pajak untuk produk atau layanan berbasis OTT

Aktivitas bisnis Google memang tampak transparan, dilakukan secara elektronik dan memerlukan skema khusus dalam perhitungan rugi-laba. Menurut Menkeu Sri Mulyani aktivitas elektronik tersebut adalah objek pajak, sehingga wajib membayar pajak di Indonesia dan memberlakukan kesetaraan pajak. Turut diakui bahwa masih ada “masalah pajak” berkaitan dengan transaksi elektronik, namun hal tersebut juga dialami oleh banyak negara.

“Kami telah sampaikan kepada Google untuk juga memperlakukan tax (pajak) yang setara di Indonesia. Transaksi yang masuk ke revenue (pendapatan) Google yang berasal dari Indonesia dan ads (iklan) yang ditujukan, targeted untuk Indonesia bagaimana agar Google juga membayar pajak. Dipersilakan Google menempatkan permanent establishment (bentuk usaha tetap) di Indonesia,” kata Plt. Kepala Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Noor Iza.

Tak mudah memang untuk menelusuri bentuk transaksi elektronik. Studi kasusnya seperti ini, katakanlah ada sebuah perusahaan penyedia layanan streaming. Kepada pelanggannya di Indonesia ia menetapkan transaksi langsung dengan rekening yang dimiliki perusahaan di negara lain. Maka secara de-jure perpajakan pun menjadi kewajiban perusahaan di negara lain tersebut, kendati konsumen membeli dari Indonesia. BUT adalah isu utamanya. Ketika sebuah perusahaan seperti Google belum menjadi BUT, maka PPN tidak menjadi kewajiban untuk setiap transaksi yang dilakukan.

Bagaimana ke depannya, baik langkah Google dalam menyelesaikan masalah ataupun langkah pemerintah untuk bisa bertindak tegas, kita masih harus menunggu. Harapannya kasus ini menjadi pelajaran untuk semua pemain OTT multinasional di Indonesia. Tak hanya dimanfaatkan sebagai ladang keuntungan saja, namun Indonesia turut mendapatkan untung dari potensi konsumen yang diberikan, 100 juta pengguna internet aktif yang masih terus bertumbuh.

Kasus Pajak untuk OTT Akan Dibawa Menkeu ke Forum Internasional

Pemerintah sekarang tampaknya tengah getol menggenjot pendapatan dari sektor pajak hingga ke ranah bisnis online. Salah satu berita yang hilir mudik di media beberapa hari ini adalah pemberitaan Google yang masih enggan membayar pajak kepada pemerintah. Padahal sejak beberapa tahun belakangan pemerintah sudah mewanti-wanti agar seluruh layanan digital yang beroperasi di Indonesia diharuskan mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan wajib membayar pajak agar dapat restu untuk beroperasi di Indonesia. Atas kasus Google ini Menteri Keuangan Sri Mulyani berencana mengangkat hal ini ke forum internasional dan juga memberikan sinyal akan membawa kasus ini ke pengadilan pajak.

Disebutkan dalam pemberitaan Sindonews yang dipublikasi hari ini, (16/9), Menkeu Sri Mulyani mempunyai inisiatif untuk membawa masalah pajak e-commerce yang sedang ramai dibahas ke forum internasional.

“Mungkin kita akan bawa ini ke forum internasional, agar semuanya lebih jelas dan gamblang,” ujar Sri Mulyani.

Sebelumnya Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan bahwa Google tidak membayar pajak sesuai dengan seharusnya. Meski hal ini dibantah pihak Google, namun pihak Direktorat Jendral Pajak (DJP) menyatakan tetap akan memeriksa perusahaan yang berpusat di Mountain View ini.

Sri Mulyani sendiri disebutkan akan terus mengejar pajak dari Google dan penyedia layanan lainnya. Untuk tidak mengulangi penolakan pembayaran dan pemeriksaan oleh Google, Sri Mulyani telah meminta tim Ditjen Pajak untuk melakukan kajian terhadap perusahaan global penyedia OTT yang beroperasi di Indonesia.

“Dan kalau kami (pemerintah dan Google) sepakat atau tidak sepakat, juga ada pengadilan pajak,” terang Sri Mulyani.

Sri Mulyani juga mengakui bahwa permasalahan yang dihadapi Indonesia dengan perusahaan global penyedia layanan OTT ini juga menjadi permasalahan di banyak negara. Oleh karena itu pihaknya perlu berhati-hati dan melakukan perbandingan dengan negara lain. Jangan sampai Indonesia membuat rezim yang kemudian dianggap tidak kompetitif atau sebaliknya dianggap tidak mampu mengoleksi potensi penerimaan negara.

Masalah BUT ini sebenarnya tidak hanya mengancam Google tetapi juga semua perusahaan OTT global yang beroperasi di Indonesia. Argumentasi dan keputusan Sri Mulyani yang menginginkan kehati-hatian dalam menghadapi permasalahan ini patut diapresiasi, mengingat sejauh ini OTT seperti Google masih dibutuhkan di Indonesia.