Ide Saja Tidak Cukup, Butuh Kesiapan Lebih sebelum Menghadap ke Investor

Pada umumnya, proses terbentuknya sebuah startup baru berawal dari seseorang (founder) yang menemukan sebuah ide produk atau bisnis, lalu berusaha ingin merealisasikannya. Di tahap awal, walaupun mungkin jumlahnya tidak signifikan, ada banyak modal yang harus dipenuhi. Mulai dari waktu untuk mengerjakan produk tersebut, fasilitas pendukung, hingga hal lain berkaitan dengan operasional. Startup butuh modal awal, dan salah satu cara untuk memenuhinya dengan menggandeng rekanan investor guna mendapatkan seed-funding (pendanaan tahap awal).

Ide-ide baru yang dicetuskan startup tahap awal selalu menarik, mencoba menyelesaikan permasalahan yang ada dengan cara yang selalu diklaim lebih efisien dan lebih terjangkau. Nyatanya beberapa startup memang membuktikan bahwa ide yang dimilikinya berhasil “mengubah dunia”, sebut saja cikal-bakal GO-JEK atau Tokopedia. Tapi sekarang startup tengah menjadi tren, setiap hari selalu ada ide baru yang muncul, ada startup baru yang dilahirkan.

Fenomena tersebut sedikit menggeser pandangan tentang sebuah startup, yang tadinya memfokuskan pada penyelesaian masalah dengan ide-ide segar, kini banyak yang tidak konsisten dalam melakoninya. Publikasinya startup baru, tapi yang disampaikan ke konsumen atau investor hanya sebatas nama startup, logo dan landing page, tanpa ada progres yang berkelanjutan.

Mendapat investasi menjadi agenda yang banyak diinginkan startup baru, tujuannya untuk cepat merealisasikan ide tersebut menjadi bisnis yang nyata. Namun investor butuh diyakinkan tidak hanya menggunakan ide atau visi yang ditulis dalam slide. Ada beberapa hal yang seharusnya disiapkan dengan baik.

Ide yang sudah tervalidasi, berdasarkan kebutuhan di lapangan

Memvalidasi ide bisa dilakukan dengan beragam cara. Bisa dengan menunjukkan angka-angka hasil riset atau survei terkait dengan permasalahan yang ingin dipecahkan, atau coba menunjukkan ide tersebut kepada khalayak, apakah sesuai dengan apa yang dibutuhkan.

Konsep dari produk yang sudah dijalankan MVP-nya

Ide menjadi gambaran yang sangat abstrak, memiliki Minimum Viable Product akan memberikan pemahaman yang lebih gamblang kepada investor tentang bagaimana solusi tersebut bekerja. Atau setidaknya sudah harus ada proof-of-concept. Karena ini sekaligus menunjukkan bahwa ide tersebut sangat memungkinkan untuk dieksekusi dan direalisasikan.

Memahami betul konsumen dari produk

Pada akhirnya produk dikembangkan untuk digunakan oleh pangsa pasar, karena dari situ proses bisnis akan bekerja. Yakinkan bahwa solusi dari ide yang saat ini ada benar-benar ada yang membutuhkan. MVP bisa menjadi cara terbaik untuk menguji, apakah hipotesis terkait dengan ide tersebut sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.

Meyakinkan tentang kapabilitas founder dan tim

Di luar dari hal berkaitan dengan produk, unsur internal juga penting untuk digambarkan dengan jelas. Yakni tentang siapa founder dari startup tersebut dan tim pendukungnya. Latar belakang founder dan tim akan sangat berpengaruh –atau memberikan keyakinan lebih, bahwa produk yang dikembangkan bisa berhasil, karena memiliki keterampilan dan penguasaan terhadap masalah.

Jadi, pada dasarnya ide saja tidak cukup. Temuilah investor dengan empat kesiapan di atas. Suguhkan presentasi terbaik dengan menunjukkan bukti-bukti terukur tentang rencana bisnis yang akan digerakkan bersama startup baru.

Lima Alasan Mengapa Startup Tahap Awal Harus Bootstrapping

Ketika Anda ingin merintis startup, butuh semangat kewirausahaan untuk mewujudkannya, sebab akan ada banyak hal yang harus dikerjakan. Perlu disadari juga dari awal, untuk merintis suatu bisnis baru butuh dana investasi yang nilai tidak kecil.

Berapa banyak yang harus Anda investasikan untuk membuat situs? Haruskah Anda beli peralatan? Ruang kantor macam apa yang perlu Anda sewa? Bagaimana Anda harus gaji diri sendiri?

Jika Anda masih ada di titik ini, disarankan untuk tidak berpikir mengambil kredit, melainkan bangun usaha sepenuhnya dari kantung sendiri. Ada lima alasan mengapa startup pada tahap awal harus bootstrapping. Berikut rangkumannya:

1. Model bisnis biasanya berubah pada tahap awal

Alasan pertama adalah karena sangat mungkin saat Anda mengembangkan gagasan dan model bisnis akan berfluktuasi, sementara Anda harus tetap fleksibel dengan hal tersebut. Biasanya rencana yang Anda siapkan matang-matang sebelum benar-benar diimplementasikan tidak selalu berjalan sesuai rencana. Hal ini disebabkan ada faktor X, Anda pun harus siap dengan kondisi tersebut.

Ketika Anda mendanai startup dari kantung sendiri, Anda akan berpikir dua kali sebelum berkomitmen untuk menghabiskan uang yang begitu berharga.

2. Fase yang bisa menyeimbangkan pro kontra menjadi karyawan vs pengusaha

Ada pepatah yang menyebutkan, “Jangan tenggelamkan kapal Anda,”. Pepatah ini maksudnya jangan berhenti dari pekerjaan terlalu cepat. Ada risiko signifikan yang terkait apabila Anda bekerja dari kerja kantoran terlalu cepat, sebab Anda harus bertanggung jawab penuh atas seluruh biaya overhead. Mulai dari peralatan, perawatan, komputer TI, staf. Belum lagi hal-hal lainnya yang sering dianggap remeh, seperti asuransi kesehatan, tunjangan pekerjaan, gaji lembur, dan sebainya.

Jika Anda menyubsidi seluruh pertumbuhan awal startup Anda dengan pinjaman, Anda dapat dengan mudah kehilangan jalur dari bisnis sebenarnya. Maka itu, pastikan bisnis Anda memiliki progres hingga mampu menghidupi diri Anda dan karyawan sebelum meninggalkan pekerjaan yang selama ini sudah menghidupi Anda.

3. Menjadi batu loncatan sebelum memutuskan untuk scale up

Bila bisnis Anda hidup karena disubsidi oleh dana eksternal, Anda mungkin tergoda untuk scale up sebelum berhasil membuktikan model bisnis diterima di pasar. Katakanlah bisnis Anda menyediakan layanan kelas seni untuk pasangan di malam hari. Dengan uang sendiri, Anda bisa menguji model bisnis tersebut dengan menyewa ruangan di kedai kopi selama beberapa kali pertemuan.

Selama waktu tersebut, Anda perhatikan apakah model bisnis ini akan melahirkan pengguna loyal? Jika terbukti ada hasilnya, Anda bisa perlahan-lahan menyewa tempat tersebut untuk beberapa bulang sebelum memutuskan untuk sewa penuh. Langkah ini akan meminimalkan dana Anda terbuang sia-sia.

4. Ada hubungan emosional ketika menghabiskan tabungan sendiri

Anda memiliki keterikatan emosional dengan uang sendiri. Setiap kuitansi, pengeluaran, belanja perusahaan dan lain-lain harus membuat Anda mengatakan ke diri sendiri, “Apakah saya memerlukan ini?.”

Ada banyak pemilik usaha yang berjuang menjalani bisnisnya dengan strategi bakar uang, ambil kredit untuk kebutuhan yang tidak penting, seperti makan siang bisnis, beriklan, membuat merchandise, dan lainnya. Biaya seperti ini padahal tidak pernah mereka lakukan jika sedang bersama keluarga mereka dari tabungan sendiri.

Untuk itu, Anda perlu mulai membuat anggaran dengan nominal budget yang konservatif jika hal-hal seperti ini terjadi. Dengan demikian Anda bisa melanjutkan bisnis yang bisa membuat arus kas kembali positif.

5. Anda pegang kendali atas uang sendiri

Bila bisnis yang dirintis malah membawa hutang, berarti Anda membawa risiko yang mana harus menyerahkan bunga untuk memuaskan kreditur. Ini sama saja artinya Anda kehilangan kendali.

Ada istilah bisnis yang biasa digunakan untuk perusahaan publik terkait hal ini, disebutnya rasio hutang terhadap modal. Rasio ini dihitung untuk mengukur rasio semua kewajiban perusahaan terhadap semua aset atau ekuitas.

Bila bisnis berada di atas rasio hutang, bisa menjadi tanda bahwa perusahaan Anda sekarat. Kemungkinan startup Anda ini dimulai dengan modal yang sangat kecil. Dalam hal ini, hutang yang Anda keluarkan akan menyebabkan rasio hutang terhadap modal melonjak dengan sangat cepat. Artinya ini risiko besar.

Risiko akan semakin besar ketika pada tahap awal Anda mengajak investor dan menukarnya dengan saham perusahaan. Anda akan kehilangan kendali, bahkan bisa jadi dipaksa keluar dari jabatan oleh investor.

Lima alasan ini secara langsung mendorong Anda untuk tidak meminjam uang sama sekali dari pihak mana pun. Juga jangan mengandalkan investor. Ketika bisnis Anda telah menemukan pasarnya, namun dapat diandalkan berarti Anda ada potensi untuk scale up.

Cerita Perjalanan Kegagalan Zenc Labs dalam Pengembangan Produk

Founder & CEO Zenc Labs, François Wouts, memiliki cerita menarik tentang liku-liku perjalanannya dalam membangun startup. Cerita ini diangkat karena memiliki beberapa pembelajaran penting yang dapat menjadi pertimbangan bagi pembaca yang berniat untuk pivot dari pekerjaan profesional yang sudah dimiliki saat ini dan membangun sebuah startup.

François sendiri sebelumnya sudah memiliki karier yang cukup nyaman di Google, dengan berbagai fasilitas penunjang dan pendukung yang ia sebut sangat mencukupi untuk kesehariannya. Termasuk gaji yang nilainya tidak kecil, karena ia menjadi salah satu staf di tim pengembangan. Namun setelah tiga tahun di Google, akhirnya memutuskan untuk keluar.

Dua tahun sebelum keluar François mencoba belajar tentang startup, dari program YCombinator dan para pendiri yang sudah menuai kesuksesan. Ia memahami betul bahwa startup sangat erat dengan kegagalan, eksekusinya harus sempurna. Sebagai orang yang memiliki kompetensi teknis, François juga mencoba menyerap berbagai ilmu lain, termasuk desain dan pemasaran dari rekan-rekannya sebelum benar-benar memulai startup.

Pentingnya melakukan validasi ide, karena berkaitan dengan prospek bisnis

Pada akhirnya bulan Maret 2017 François resmi keluar. Dan salah satu gagasan ide yang coba divalidasi ialah mengembangkan sebuah alat yang dapat membantu developer menjadi lebih produktif, dengan menghadirkan IDE yang memudahkan developer untuk coding. Sebagai seorang pengembang ia tahu betul tentang isu-isu personal seorang developer. Gagasan prototipe itu pun coba terus dieksplorasi.

Akhirnya sebuah IDE bernama Modular berhasil dikembangkan, dengan mengedepankan kemampuan agar para developer fokus dalam penulisan kode berdasarkan modul pengembangan. François cukup bangga dengan karya tersebut, karena dinilai akan merevolusi cara developer dalam mengembangkan aplikasi. Dan setelah tiga bulan berjalan akhirnya prototipe tersebut memiliki fungsional dan antarmuka yang cukup lengkap. Namun ada satu hal yang dilupakan François, selama tiga bulan pengembangan produk ia sama sekali tidak berbicara dengan calon pengguna.

François tersadar bahwa yang ia pikirkan baru di satu sisi saja, menciptakan produk yang bagus. Namun tidak memiliki rencana bisnis apa pun dengan produk tersebut. Bahkan ketika dipikirkan sebagai sebuah alat yang gratis, produk tersebut ternyata masih terlalu rumit untuk menjadikan hidup pengembang menjadi lebih mudah. François merasa gagal sebelum benar-benar meluncurkan produk tersebut.

Terlepas dari kegagalan tersebut, François mempelajari banyak hal, baik dalam teknis pengembangan maupun unsur lain terkait pembuatan bisnis. Salah satunya ia menyadari bahwa suasana hati adalah ukuran yang tidak bisa benar-benar diandalkan. Artinya keyakinan saja tidak cukup, harus benar-benar diukur dengan kondisi pasar yang ada.

Temukan permasalahan yang benar-benar dihadapi oleh pengguna

Modular akhirnya diujicobakan ke salah satu teman François yang juga seorang pengembang, dan jawabannya tidak tertarik. Namun dari pertemuan dengan rekannya tersebut akhirnya François justru menemukan sebuah permasalahan, yakni tentang kebutuhan sebuah sistem sederhana untuk mengelola server berbasis Amazon Web Serives (AWS). Kebanyakan pengembang tidak memiliki banyak waktu untuk mengatasi kompleksitas AWS, dan umumnya yang dilakukan ialah mendelegasikan ke DevOps paruh waktu.

Dan ini adalah babak baru lahirnya Zenc Labs, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Modular dihentikan, dan sebuah aplikasi untuk DevOps layanan AWS segera dikembangkan. Sebagai alumni dari Google, François cukup kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan pengembangan di AWS, bisa dipelajari namun membutuhkan waktu ekstra. Usahanya pun berhasil, sebuah prototipe kembali dilahirkan, dan rekannya tadi diminta untuk menjadi penguji.

Beberapa umpan balik diberikan, namun solusi yang ditawarkan akhirnya diterima, dan dianggap akan bermanfaat. François memutuskan untuk mempublikasikan prototipenya ke kanal sosial yang dimiliki. Benar saja banyak masukan, terutama terkait UX, dan itu menjadi sebuah materi menarik untuk optimasi layanan. Hingga akhirnya kini petualangan startupnya dimulai, dan rencana bisnis yang solid pun sudah didefinisikan dengan produk barunya tersebut.

Melawan ego untuk terus berfokus pada tujuan awal yang sudah terdefinisi

François turut menyampaikan, di tahap ini ketika ia sudah memiliki rencana yang matang bukan berarti tanpa tantangan. Masih ada ego yang perlu dilawan, karena di tengah perjalanan ada perasaan yang memaksa untuk berhenti mengerjakan produk yang dikerjakan sekarang ini. Ketika bertemu masalah baru, juga egonya meningkat ingin mencoba pivot lagi. Namun François sadar betul, untuk tetap fokus menyelesaikan apa yang sudah dimulai, dan kali ini sudah tervalidasi.

Menentukan Gaji Founder untuk Startup Tahap Awal

Ada sebuah kondisi yang akan selalu dialami oleh founder startup baru, khususnya bagi yang baru saja berhasil membukukan pendanaan pertamanya, baik dalam pre-seed atau seed funding. Kondisi yang dimaksud ialah saat founder harus menentukan nasibnya sendiri di startup yang didirikan, tentang menentukan berapa gaji yang harus ia dapatkan setiap bulannya.

Terkesan sepele namun hal itu kadang membuat bimbang, pasalnya sebagai founder biasanya berpikiran untuk memanfaatkan investasi yang dimiliki sebaik-baiknya untuk pertumbuhan. Namun di sisi lain ia juga butuh memenuhi kebutuhan kesehariannya, pada akhirnya founder tetap harus membayar gajinya sendiri, bernegosiasi dengan diri sendiri untuk menentukannya.

Tapi tenang, umumnya setelah startup berkembang pesat dan memiliki dewan direksi, kebimbangan tersebut akan sirna. Pasalnya di titik tersebut gaji founder sebagai eksekutif pun sudah ditentukan oleh top-level management dalam bisnis berdasarkan perhitungan-perhitungan startegis. Untuk tahap awal, semua masih harus dipikirkan sendiri.

Hal terburuk yang dilakukan ialah menentukan secara tidak terukur gaji yang ia peroleh sendiri. Beberapa lainnya mengikuti tren data yang ada, namun kadang juga tidak bisa menjadi patokan utama, karena masing-masing bisnis memiliki kultur dan kapabilitas berbeda. Yinon Weiss selaku Founder & CEO CarDash –sebuah startup seed stage asal Silicon Valley—menceritakan pengalaman terbaiknya dalam menentukan gajinya sendiri.

Penetapan batas bawah: memastikan tidak mengganggu produktivitas

Yang sangat dibutuhkan oleh founder untuk startup tahap awal adalah kerja keras dan pemikirannya. Jangan sampai konsentrasi untuk dua hal tersebut terganggu dengan urusan finansial pribadi, apalagi bagi yang sudah berkeluarga. Setidaknya titik batas bawah harus bisa mencukupi kebutuhan harian, sehingga pada saat bekerja tidak terganggu kekhawatiran terhadap hal-hal lainnya.

Batas bawah ini adalah tentang nilai minimal yang sebaiknya diterima. Syaratnya harus dapat memenuhi kebutuhan yang paling mendasar untuk kehidupan sehari-hari. Tidak ada ukuran pasti, founder startup dengan berbagai keadaan berbeda harus dapat mengidentifikasi kebutuhannya di sini.

Penetapan batas atas: memastikan tidak berlebihan

Tidak ada salahnya membayar diri sendiri sebagai founder dengan nominal yang terlalu banyak, namun kembali lagi ke semangat awal membangun bisnis, bukankah uang yang ditransfer banyak ke rekening itu tidak lebih baik diputar maksimal untuk pengembangan bisnis? Setiap rupiah yang diinvestasikan adalah motivasi founder untuk membalikkan menjadi sebuah keuntungan yang lebih besar. Jika founder tidak yakin dengan hal itu, sejak awal seharusnya tidak memilih menjalankan startup.

Pada dasarnya, penentuan batas atas dan bawah tadi untuk membuat nominal yang dikeluarkan lebih terukur. Prinsipnya ketika seorang founder mendapatkan gaji yang pas dari usaha yang ia bangun, kebutuhannya tercukupi. Beberapa founder bahkan mengungkapkan ketika di awal gajinya cukup rendah, ia semakin sadar akan pengorbanan, dan memotivasinya untuk lebih sukses.

Pada akhirnya ada sebuah pertanyaan kritis yang perlu dijawab: ketika founder membayar gajinya lebih sedikit dan memasukkan lebih banyak uang untuk modal startupnya, apakah akan meningkatkan peluang kesuksesan? Jika jawabannya iya, maka berjuanglah. Keyakinan tersebut akan membawa startup membahagiakan founder secara lebih baik. Karena sebagai founder keputusannya bukan saja yang terbaik bagi dirinya sendiri, melainkan juga untuk bisnis yang didirikan.

Tiga Cara Lakukan Kegiatan Pemasaran Memanfaatkan “Targeted Ads”

Saat ini sudah banyak brand dan advertiser yang mempromosikan produk mereka secara masal, tanpa melakukan riset dan memanfaatkan data untuk menargetkan konsumen yang tepat. Idealnya adalah produk yang ingin dipasarkan bisa menarik perhatian konsumen dan kemudian langsung membeli, namun jika hal tersebut tidak dijalankan dengan tepat, bisa mengakibatkan pengeluaran yang tidak maksimal dalam jumlah yang besar.

Artikel berikut akan merangkum tiga cara untuk melakukan kegiatan pemasaran dengan memanfaatkan iklan yang tepat sasaran konsumen.

Cari tahu konsumen yang membutuhkan produk

Cara terbaik melakukan kegiatan pemasaran yang efektif adalah, dengan mencari tahu siapa saja konsumen yang saat ini sedang membutuhkan barang, layanan yang dimiliki brand. Lakukan langkah tersebut dengan memanfaatkan Marketing Tools atau layanan lainnya yang menyediakan data tersebut.

Cara lain yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan media sosial dan lakukan pencarian memanfaatkan keywords. Kumpulkan data tersebut sebanyak mungkin, kemudian mulailah sebarkan promo tersebut.

Manfaatkan platform paid marketing tools

Saat ini Google dengan berbagai fitur untuk kegiatan berpromosi sudah menyediakan cara mudah untuk Anda melakukan kegiatan pemasaran dengan menargetkan konsumen yang tepat, demikian juga dan Facebook dan media sosial lainnya.

Jika Anda ingin memasarkan produk baru yang terbilang “niche“, cara ini bisa dilakukan untuk melihat siapa saja konsumen yang tertarik, memanfaatkan kategori yang telah tersedia.

“Facebook is the place to test new ideas and you can get started rather quickly by building a landing page where prospects can sign up to join a waiting list.”

Penyebaran promosi melalui word-of-mouth

Memanfaatkan testimoni dari konsumen yang sudah menggunakan layanan atau produk Anda juga bisa dilakukan untuk mendapatkan konsumen yang tepat, demikian juga dengan rekomendasi atau penyebaran secara word-of-mouth.

Selain lebih relevan dan menarik perhatian konsumen yang tepat, cara seperti ini juga bisa meyakinkan konsumen baru untuk mencoba produk Anda hingga kemudian membelinya.

“Word-of-mouth can be a great tailwind for consumer businesses and this type of activity is a good sign that might take place.”

Tips Menangani Pelanggan yang Kecewa

Pelanggan adalah raja, tapi tidak dengan pelanggan yang tidak memiliki nilai kesopanan. Sebagai bisnis yang berorientasi kepada kepuasan pengguna pengalaman dan kualitas layanan yang diberikan adalah hal yang utama.

Namun sering kali kita bertemu dengan pelanggan yang kadang mengalami pengalaman kurang menyenangkan dengan pelayanan kita, ketemu dengan banyak masalah dan mendapatkan produk tidak sesuai dengan harapan mereka. Pelanggan-pelanggan seperti itu yang wajib diantisipasi untuk tetap menjaga citra bisnis di masyarakat, termasuk mencegah kehilangan pelanggan.

Mengidentifikasi pelanggan yang kecewa

Bisnis jelas membutuhkan pelanggan, selain untuk mendapatkan keuntungan, pelanggan juga berperan dalam memberi masukan untuk menyempurnakan layanan atau produk. Namun tidak semua pelanggan bahagia dengan produk atau layanan yang diberikan, beberapa di antara mereka kecewa. Untuk itu penting untuk membedakan pelanggan yang bahagia dan pelanggan yang kecewa.

Tanda-tanda yang bisa dibaca untuk mengidentifikasi seorang pelanggan kecewa adalah dengan melihat frekuensinya menghubungi layanan pelanggan. Mungkin wajar seorang pelanggan meminta bantuan atau informasi kepada petugas layanan pelanggan, namun jika itu sering dan terus meningkat intensitasnya dari waktu ke waktu bisa jadi mereka adalah pelanggan yang kecewa. Bisnis harus mengetahuinya dengan cepat untuk bisa cepat mengantisipasinya.

Tanda berikutnya adalah pelanggan mulai membanding-bandingkan. Selalu wajar jika pelanggan melakukan komplain, tapi jika mulai membanding-bandingkan mungkin mereka merasa pelayanan atau produk kita di bawah standar atau ekspektasi mereka.

Tanda selanjutnya yang bisa diamati adalah dari internal. Jika karyawan sudah mulai  jengah atau komplain dengan seorang pelanggan bisa jadi pelanggan tersebut kecewa dan mulai mengganggu karyawan kita. Tanda lainnya juga bisa dibaca melalui tagihan yang urung dibayarkan tepat waktu dan selalu diikuti dengan komplain di media sosial.

Memuaskan pelanggan yang kecewa

Tidak mudah untuk menghadapi orang-orang yang kecewa, akan tetapi bersikap wajar dan tetap menghormati mereka adalah keharusan. Ada beberapa cara yang bisa dicoba, salah satunya adalah mendengarkan apa yang mereka keluhkan dengan sepenuh hati, dengan penuh perhatian dan empati. Karena setiap pelanggan yang kecewa pasti mengalami pengalaman yang kurang baik, hal tersebut bisa saja muncul dari pelayanan bisnis yang memang kurang baik atau memang pelayanan yang diberikan jauh di bawah ekspektasi pelanggan.

Di saat penanganan ini peran serta staf pelayanan pelanggan sangat sentral. Mereka harus menjadi pendengar yang baik dengan penuh empati, dan mencari titik permasalahannya untuk bisa diselesaikan dengan segera.

Selain mendengar, bisnis juga wajib melakukan segala hal yang terbaik untuk mengatasi permasalahan yang ada. Selalu komunikasikan dengan sopan dan lakukan segala hal untuk bisa menolong dan mengatasi kekecewaan. Bisa juga dicoba dengan menawarkan promo atau penawaran menarik kepada pelanggan tersebut untuk mengurangi kekecewaan mereka.

4 Penyebab Utama Inovasi Tidak Berkembang

Merujuk pada hasil survei yang diadakan oleh Boston Consulting Group bertajuk “Most Innovation Companies” mengemukakan sebuah fakta menarik. Banyak CEO dari perusahaan teknologi (89 persen) menempatkan inovasi sebagai prioritas tertinggi dalam roda bisnis perusahaan. Alasannya salah satunya dikemukakan pada sebuah penelitian dari GE, yakni kekhawatiran ditinggalkan oleh konsumen. Sederhana, karena konsumen selalu menginginkan pembaruan untuk penyesuaian kebutuhan.

Rasa-rasanya sangat wajar, seperti yang kita rasakan sehari-hari, teknologi berkembang begitu dinamis. Selalu menawarkan cara-cara baru yang lebih menarik dan efektif untuk menyelesaikan permasalahan kita. Hal ini tentu juga berdampak langsung bagi para startup digital, sebagai pengembang solusi pemecahan masalah melalui pendekatan teknologi. Sampai sini kita setuju, bahwa startup digital tidak akan mungkin bisa terlepas dari inovasi produk dan bisnis.

Lantas apa yang diperlukan untuk senantiasa memupuk berbagai unsur dalam tubuh startup untuk terus berinovasi. Tak lain adalah orang-orang yang ada di dalamnya, sebagai penggerak bisnis dan inovasi. Sayangnya sering kali ada beberapa “sikap” yang dilakukan, baik secara sadar ataupun tidak, yang ternyata berdampak buruk bagi produktivitas anggota tim dalam kaitannya dengan inovasi.

Berikut ini empat hal yang perlu dicermati sedini mungkin, agar inovasi di startup tidak terhambat:

Founder membatasi kreativitas hanya pada pemikirannya saja

Kinerja terbaik dari sebuah inovasi bukan dimulai dari arahan untuk pengembangan sebuah produk dari manajemen, melainkan memastikan para pengembang memahami masalah yang ingin diselesaikan. Ketimbang selalu mendikte dalam inovasi produk, founder lebih baik senantiasa melengkapi tim dengan area masalah untuk dijelajahi, termasuk memberikan ruang untuk menemukan dan memvalidasi masalah pelanggan. Kadang pemikiran unik justru datang karena pemikiran baru.

“Jika eksekusi adalah pemecahan masalah , kreativitas adalah pencarian masalah,” Chief Design Officer SAP Sam Yen.

Membatasi “gerak” anggota tim

Setelah permasalahan mampu didefinisikan, langkah selanjutnya ialah mengumpulkan informasi dan sumber daya untuk membangun solusinya. Namun tidak sedikit founder yang memilih terlalu tertutup, dalam artian membatasi sumber daya yang ada di perusahaan saja, baik itu data, laporan atau hal-hal lain yang mendukung pengembangan. Akhirnya cakupan terlalu sempit.

Validasi eksternal sangat diperlukan, karena dalam tahap ini masalah tersebut divalidasi. Berarti perlu mencari pelanggan untuk menguji setiap asumsi yang sudah disusun. Dan cara yang paling tepat ialah dengan membuka pintu selebar-lebarnya bagi para anggota tim untuk keluar, menguji hipotesisnya dan mencari tahu detail yang sebenarnya dibutuhkan untuk pengembangan tim.

Selama tahap validasi solusi, ini berarti menguji pasar. Sambil mensosialisasikan gagasan di dalam perusahaan, meneliti ukuran pasar yang diproyeksikan sangat penting.

“Keluarkan tim Anda dari gedung dan mintalah mereka berbicara dengan setidaknya 20 orang. Anda akan mulai melihat pola dan temuan menarik pada mereka,” Steve Blank, seorang serial-entrepreneur dari Silicon Valley.

Mempertaruhkan dalam satu inovasi besar

Di tahap selanjutnya, setelah masalah ditemukan dan tervalidasi dengan baik oleh pasar, yang biasanya dilakukan ialah memasukkan seluruh kekuatan tim ke dalam proyek tersebut. Semua waktu, anggaran, dan berbagai komponen lainnya difokuskan untuk satu inovasi tersebut.

Namun dari beberapa cerita startup yang pada akhir pivot atau gagal, sering melakukan hal ini. Yang pada akhirnya mereka mengatakan, bahwa ternyata membuat temuan tersebut berproses normal lebih baik, ketimbang harus mengambil risiko untuk memasukkan semua ke dalam satu proyek. Ambillah pendekatan portofolio untuk inovasi.

Mengambil terlalu banyak proyek baru

Hanya berada di satu titik tidak baik, namun terlalu banyak agenda juga tidak baik. Yang terpenting adalah memikirkan bagaimana sebuah proyek inovasi mampu tumbuh secara berkelanjutan. Semua harus memiliki target capaian yang jelas, dan jangan biarkan target tersebut gagal dan molor. Selain tidak efisiensi dari sisi sumber daya, hal tersebut juga menutup berbagai kemungkinan inovasi potensial lainnya.

Ini tidak mudah dilakukan, pasalnya sering kali founder berpikir tentang “kesempatan tidak datang dua kali”. Memang benar, oleh karenanya pengukuran kemampuan dan disiplin terhadap pengembangan inovasi sangat perlu untuk ditegakkan.

Cara Mudah untuk Memvalidasi Ide Produk atau Bisnis

Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk memvalidasi ide pengembangan produk. Selain mendiskusikan dengan ahli atau mentor bisnis, pengembangan MVP (Minimum Viable Product) dinilai menjadi cara yang lebih terukur. MVP menjadi sebuah mekanisme untuk memperkenalkan ide produk dan fungsionalitas intinya sedini mungkin kepada publik. Penting dilakukan untuk mengurangi risiko produk tersebut tidak ada penggunanya.

MVP dapat dirilis dalam berbagai macam metode, di antaranya A/B Testing (peluncuran versi Alpha atau Beta dari aplikasi), penjelasan melalui landing page, survei dan riset, hingga pembuatan video demo produk. Untuk startup di tahap awal yang biasanya memiliki anggota tim yang sedikit dan waktu yang sempit untuk melakukan pengujian –karena jika gagal harus secepat mungkin agar bisa beralih ke ide lainnya, tentu harus mencari cara yang paling cepat dan efisien.

Konten berbasis “Demand Validation Video” bisa dicoba, dipadukan dengan optimasi media sosial untuk publikasi. Hal yang perlu dilakukan ialah buat sebuah desain produk sesuai dengan ekspektasi ide, dan paparkan bagaimana fungsionalitas produk tersebut bekerja. Lebih baik lagi jika sebelumnya sudah dilakukan pengembangan tahap awal, sehingga video tersebut berisi demo produk yang dikembangkan.

Selanjutnya manfaatkan media sosial seperti Twitter atau Facebook untuk mempublikasikan video tersebut. Tambahkan sebuah keterangan yang bersifat “menjual” dalam mempublikasikan video tersebut. Untuk memastikan capaian yang besar, jika perlu gunakan layanan iklan dengan menargetkan pangsa pasar yang ingin dirangkul melalui inovasi tersebut.

Ini ada sebuah contoh menarik, dari sebuah pengembang yang menyampaikan MVP melalui video di Twitter.

Ia memaparkan melalui tulisan di Twitter, bahwa sebuah aksesoris harus multifungsi bisa digunakan untuk pembayaran. Dan video memberikan gambaran tentang contoh bagaimana sistem tersebut bekerja. Sangat jelas dan mudah dipahami. Maka selanjutnya serahkan kepada publik untuk menilai. Terkait apakah akan ada penerimaan atau tidak, itu adalah jawaban yang dibutuhkan dari sebuah MVP.

Dari studi kasus di atas, kebetulan produk mendapatkan penerimaan yang cukup baik. Komentar yang diberikan dalam Reply menunjukkan sentimen baik atas hipotesis yang diunggah. Kemudian jumlah Retweet juga memvalidasi bahwa ide tersebut cocok diaplikasikan, sehingga orang lain ingin berbagi tentang inovasi ini kepada rekannya. Ini sebenarnya serupa dengan video MVP yang cukup legendaris dari Dropbox.

Proposisi nilai telah divalidasi dengan umpan balik yang didapat dari media sosial. Sebenarnya di titik ini sudah bisa ditentukan, apakah pengembangan produk perlu diprioritaskan ke depan atau tidak. Jika masih butuh meyakinkan diri lagi, bisa langsung mewawancara narasumber yang terlibat dalam percakapan di media sosial, tanyakan mengapa mereka tertarik atau mengapa mereka menganggap solusi tersebut kurang penting.

Baca juga:

Alasan Mengapa Founder Harus Memiliki Kemampuan Merekrut

Mempercayai orang adalah perkara yang tak mudah, terlebih untuk mengisi jajaran orang terpercaya yang membawa misi mengembangkan bisnis yang baru dirintis. Untuk itu kemampuan untuk mencari orang yang tepat di saat yang tepat pula menjadi salah satu keahlian yang harus dimiliki dan jika perlu dipelajari dan dilatih untuk mencegah kesalahan dalam membangun tim. Berikut rangkuman dari tulisan Co-founder Codeship Moritz Plassnig mengenai pentingnya kemampuan merekrut bagi seorang founder.

Investor berinvestasi ke pada orang, bukan ide

Banyak orang percaya bahwa ide dan kondisi pasar yang pas merupakan kondisi yang bagus bagi startup, padahal lebih dari itu. Kebanyakan bisnis bisa menyesuaikan diri terhadap perubahan dan keinginan market. Perubahan seperti hanya bisa dilakukan dengan tim yang benar-benar solid.

Tim yang kuat merupakan sekumpulan orang yang dengan luwesnya mengeksekusi ide baru yang sesuai dan sedang dibutuhkan di pasar. Orang yang mampu menerima perubahan dan menerima pelajaran dari masukan-masukan adalah orang-orang yang mampu membangun produk yang baik. Komposisi inilah yang banyak dilirik oleh investor. Jadi tidak hanya soal ide dan pasar, tetapi juga tim yang ada di dalamnya. Tim yang akan menjalankannya.

Dari awal setiap anggota tim sangat penting

Proses membangun tim bukan perkara yang mudah. Karena terkait dengan kemampuan juga terkait dengan kepercayaan. Tidak mudah untuk percaya dengan orang. Untuk itu kepentingan memperhatikan setiap anggota tim yang masuk harus menjadi yang utama. Founder harus jeli memperhatikan siapa yang mereka ajak bergabung, karena membangun tim di periode tidak hanya soal kemampuan, tetapi juga ketepatan. Ketepatan terharap kebutuhan maupun ketepatan dengan tipe atau kultur yang coba dibangun.

Merangkum kesuksesan startup dalam satu kalimat mungkin yang tepat adalah “Great people build great product ”. Tidak mudah memang, terlebih startup di masa-masa sulit, terutama urusan finansial dan sumber daya. Kekurangan anggota tim namun dengan dana yang batas. Di titik ini founder dituntut untuk bijak, tidak hanya mencari yang terbaik dari pelamar, namun harus mencari kandidat yang cocok, mulai dari segi ketrampilan maupun dari segi kultur yang sedang dibangun.

Orang hebat menarik orang hebat

Tidak ada yang lebih menarik bagi seorang pencari kerja berbakat dari pada tim rekan kerja yang sangat terampil. Terlepas dari semua masalah perekrutan salah satu cara terbaik dan menguntungkan bisnis adalah coba memperkerjakan orang-orang yang terampil dan hebat di bidangnya. Dengan orang hebat bergabung dalam tim akan lebih mudah untuk menarik orang hebat berikutnya. Masalahnya ada pada bagaimana

Budaya lebih penting dari setiap anggota

Kultur atau budaya merupakan salah satu yang dipertimbangkan untuk membangun tim. Jadi bukan hanya perkara keterampilan tetapi juga bisa membawa dampak positif bagi tim. Tim yang hebat pada umumnya adalah sekelompok individu yang berbakat dengan komposisi yang pas. Skill atau kemampuan memang wajib diperhatikan tapi kesesuaian melebur dengan tim adalah perkara penting lainnya.

Kiat Menjaga Keutuhan Tim

Salah satu tantangan startup dalam fase berkembang bisa banyak macamnya. Mulai dari modal, perencanaan, hingga persaingan di pasar. Namun tantangan yang tak kalah serius hadir dalam bentuk mempertahankan tim.

Jika produk atau layanan startup beranjak populer, mulai dikenal masyarakat tidak banyak bisnis lain atau pesaing mulai menggoda anggota tim. Baik itu orang-orang teknik seperti developer atau anggota tim di posisi lain seperti marketing atau product developer. Semuanya berpotensi untuk hengkang dan akhirnya meninggalkan lubang yang menjadi tantangan di tim.

Pengelolaan tim bisa sangat tergantung dengan situasi dan kultur di masing-masing startup. Namun ada beberapa garis besar yang bisa dijadikan acuan untuk tetap menjaga tim baik dalam kondisi menanjak bagus maupun dalam kondisi terpuruk.

Work-life balance

Salah satu cara untuk membantu membentuk loyalitas tim adalah dengan memperhatikan keseimbangan kehidupan dalam bekerja atau dikenal dengan work-life balance. Tim memang membutuhkan energi atau usaha untuk mencapai sebuah tujuan namun tidak kalah pentingnya untuk menjaga anggota tim tetap dalam kondisi fokus dan bahagia. Semua itu harus dilakukan atas nama bahagia.

Jika dalam posisi menanjak dan sedang mengejar target deadline yang begitu ketat usahakan atur tempo dalam bekerja agar mereka tetap bisa menjalankan kehidupan mereka secara seimbang. Jangan terlalu dipaksakan untuk memforsir mereka hingga titik jenuh. Namun jangan pula membiarkan fokus mereka hilang. Berikan yang seimbang.

Pengembangan diri

Selain gaji dan bonus-bonus lain bersifat materiil salah satu yang bisa ditawarkan untuk membantu memberikan loyalitas pada anggota tim adalah menyajikan kesempatan untuk mengembangkan diri dan menggali potensi dalam diri masing-masing. Berikan mereka peluang untuk hal-hal baru yang bisa menambah kemampuan-kemampuan mereka. Baik itu kemampuan non teknis atau kemampuan personal.

Di samping bisa membantu bisnis membangun hubungan yang baik dengan para anggota tim pemberian kesempatan untuk berkembang juga membantu bisnis dalam meningkatkan produktivitas.

Kehadiran pemimpin dan keterbukaan

Seorang anggota tim bisa sangat loyal dengan bisnis dan kultur di dalamnya atau sangat loyal dengan pemimpin mereka. Ini yang harus diperhatikan oleh bisnis. Untuk itu sebagai pemimpin dari seluruh anggota tim kehadiran pemimpin sangat diperlukan. Bentuk kehadiran ini semacam kesempatan bagi anggota tim untuk melaporkan dan menceritakan capaian dan kendala mereka.

Sebagai seorang pemimpin yang baik juga sangat dianjurkan untuk tidak anti terhadap kritik. Kritik yang diberikan anggota tim bisa diubah menjadi sesuatu yang positif, misalnya anggapan bahwa anggota tim sangat peduli dengan kinerja dan kestabilan tim. Keterlibatan seperti itu yang harus dibangun sejak dini.

Selain itu keterbukaan juga menjadi hal penting untuk membantu anggota tim memiliki hubungan dengan para pemimpinnya. Keterbukaan ini artinya informasi dibagikan secara seimbang, baik berita buruk maupun berita bagus. Capaian tim yang tengah dicapai perlu disampaikan sebagai bentuk apresiasi kerja bersama, kerja tim. Sebaliknya, penurunan performa juga wajib disampaikan sebagai bentuk evaluasi untuk saling introspeksi diri dan memperbaikinya di kemudian hari.

Fleksibel namun tetap dalam target

Pekerjaan bisa sangat menjenuhkan di beberapa momen. Dan ukuran ini berbeda setiap anggota tim. Untuk tetap menjaga produktivitas bijaknya ada aturan untuk memberikan kebebasan dalam bekerja. Fleksibilitas waktu dan tempat jika memungkinkan, namun tetap pada target yang telah ditentukan.