Kreator Podcast di Spotify Kini Bisa Menawarkan Program Subscription Buat Para Pendengarnya

Perang platform podcasting tengah memanas. Hanya selang beberapa hari setelah Apple memperkenalkan layanan Apple Podcasts Subscriptions, sekarang giliran Spotify yang meluncurkan layanan serupa. Spotify memang sudah merencanakannya sejak Februari lalu, akan tetapi timing peluncurannya bisa dipastikan bukan kebetulan.

Sama seperti yang Apple lakukan, layanan ini pada dasarnya Spotify rancang agar para kreator podcast bisa menawarkan program paid subscription kepada para audiensnya. Harapannya tentu supaya kreator bisa mendapatkan pemasukan tambahan, dan Spotify benar-benar tidak mau main-main soal itu.

Di saat Apple menarik komisi 30% dari total pemasukan subscription yang dihasilkan oleh masing-masing kreator — mulai tahun kedua turun menjadi 15% — Spotify memutuskan untuk tidak mengambil apa-apa. Dengan kata lain, 100% biaya berlangganan yang dibayarkan oleh para pendengar bakal masuk ke kantong masing-masing kreator — kecuali biaya penanganan kecil yang akan dibayarkan ke Stripe selaku pihak yang menangani proses transaksinya.

Kebijakan ini akan terus berlanjut sampai sekitar dua tahun. Di tahun 2023, Spotify berniat untuk menarik komisi sebesar 5%, tetap jauh lebih kecil daripada yang Apple tetapkan. Mengenai tarifnya, kreator bisa memilih satu dari tiga opsi tarif bulanan: $3, $5, atau $8. Untuk sekarang, program ini memang baru tersedia buat para kreator di Amerika Serikat saja, tapi dipastikan menyusul ke negara-negara lain dalam beberapa bulan mendatang.

Semua episode podcast yang hanya bisa diakses oleh para subscriber akan ditandai dengan icon gembok. Untuk berlangganan, cukup disayangkan para pendengar tidak bisa melakukannya langsung dari aplikasi Spotify, melainkan harus lewat situs Anchor, spesifiknya laman profil masing-masing kreator di Anchor. Ini juga berarti kreator hanya bisa mengatur program subscription-nya melalui platform Anchor.

Dalam kesempatan yang sama, Spotify juga mengumumkan bahwa mereka tengah mengembangkan teknologi untuk memfasilitasi kreator podcast yang sudah memiliki program subscription di platform lain. Tujuannya adalah supaya mereka bisa mendistribusikan konten berbayarnya di Spotify selagi melibatkan sistem login-nya sendiri. Berhubung masih dikembangkan, cara kerja pastinya seperti apa pun masih tanda tanya.

Sumber: Spotify dan Anchor. Gambar header: Depositphotos.com.

Apple Luncurkan Layanan Apple Podcasts Subscriptions

Podcast merupakan bagian penting dari bisnis Apple sejak mereka pertama kali menyajikannya via iTunes pada pertengahan tahun 2005. Hal itu masih terus berlaku sampai sekarang. Malahan, Apple baru saja mengambil langkah yang cukup berani dengan meluncurkan layanan baru bernama Apple Podcasts Subscriptions.

Layanan ini pada dasarnya dirancang agar kreator podcast dapat menawarkan program subscription kepada para pendengarnya via platform Apple Podcasts. Tarif berlangganannya bebas mereka tentukan sendiri, asalkan tidak kurang dari setengah dolar per bulan untuk pasar Amerika Serikat.

Di tahun pertama, Apple mengambil 30% dari total pemasukan subcription yang diterima masing-masing kreator. Memasuki tahun kedua dan seterusnya, Apple hanya akan mengambil 15% saja. Layanan ini kabarnya akan tersedia pada bulan Mei di lebih dari 170 negara.

Lalu apa saja manfaat yang bakal didapat oleh para subscriber? Bisa bervariasi, tergantung kebijakan yang ditetapkan oleh masing-masing kreator; bisa akses ke episode-episode bonus, bisa akses lebih awal atau malah akses eksklusif ke seri konten tertentu, atau bisa juga sesederhana sesi mendengarkan tanpa iklan.

Dalam kesempatan yang sama, Apple turut menyingkap versi baru aplikasi Apple Podcasts dengan sejumlah penyempurnaan. Satu yang paling utama adalah fitur Channel, yang pada dasarnya merupakan kumpulan konten yang dikurasi oleh masing-masing kreator. Channel bisa gratis bisa berbayar, sekali lagi tergantung kebijakan masing-masing kreator. Kalau perlu, kreator bisa saja menawarkan Channel khusus yang hanya dapat diakses oleh para subscriber-nya.

Hal yang perlu dicatat oleh para kreator adalah, untuk bisa menawarkan program subscription kepada para pendengarnya, mereka harus terlebih dulu bergabung dalam Apple Podcasters Program, yang sendirinya dipatok tarif $20 per bulan di Amerika Serikat. Untuk mengunggah konten subscription, mereka juga harus memanfaatkan dashboard Apple Podcasts Connect, tidak bisa melalui RSS seperti biasanya.

Berhubung distribusi kontennya melibatkan Apple langsung, kreator pun tidak akan mendapatkan akses ke data-data pribadi milik para subscriber-nya, seperti nama, alamat email, ataupun informasi kontak spesifik lainnya. Singkat cerita, semua insight yang tersaji bersifat anonim dan teragregasi.

Sumber: Apple dan TechCrunch.

“Freemium” vs Berlangganan: Mana yang Cocok untuk Startupmu?

Istilah freemium, gabungan dari free + premium, merupakan salah satu model bisnis populer yang menggabungkan konsep gratis dan berbayar. Tesis freemium memberikan akses gratis bagi pelanggan dengan fitur-fitur dasar dan memberikan fitur lebih banyak bagi mereka yang bersedia membayar.

Di sisi lain, ada pula layanan yang tidak memberikan free lunch, meskipun biasanya tetap menawarkan konsep uji coba gratis. Konsep berlangganan (atau subscription), membayar biaya secara pasti per bulan atau per tahun, menjadi pilihan bisnis untuk mendulang pendapatan.

DailySocial mencoba mencari tahu apakah skema freemium atau skema berlangganan bisa menjadi model bisnis yang tepat bagi startupmu.

Freemium dan pertumbuhan bisnis

Platform yang menyasar pasar ritel (B2C), seperti Linkedin, Spotify, atau YouTube, cenderung menawarkan skema freemium bagi konsumennya. Pelanggan yang enggan berlangganan secara premium akan disuguhkan iklan secara singkat atau dikurangi fiturnya ketika mereka mengakses layanan. Hal ini dianggap solusi win-win bagi semua pihak.

Menurut CEO Mtarget Yopie Suryadi, layanan freemium populer diterapkan perusahaan yang fokus secara B2C. Konsep freemium dianggap mampu meningkatkan stickiness pengguna untuk kemudian dikonversi sebagai pengguna berbayar.

“Di Mtarget sendiri Kami menerapkan [model bisnis] freemium dan juga subscription. Dengan demikian pengguna gratis dapat menggunakan seluruh fitur kami tetapi kuotanyanya terbatas. Setelah masa free berakhir, tim kami akan membuat flow dan strategi untuk mengubah mereka menjadi paid customer,” kata Yopie.

Ia melanjutkan, “[Penerapan konsep] Freemium yang berhasil memerlukan market research dan investasi yang cukup besar. Tapi ini akan sangat menjanjikan dari sisi growth. Strategi freemium sangat tergantung dengan karakter pengguna, aplikasi, dan market region masing-masing platform.”

Pilihan freemium juga banyak dipilih aplikasi permainan sosial. Platform semacam ini merupakan contoh sempurna penerapan model ini.

Mereka umumnya menampilkan mata uang virtual yang dapat digunakan pemain membuat kemajuan melalui berbagai level dalam permainan. Seorang pemain akan diberikan mata uang gratis pada awal permainan dan dapat meningkatkan saldo koin mereka dengan menyelesaikan tugas yang ditetapkan atau hanya dengan masuk setiap hari.

Jika ingin lebih cepat mendapatkan koin virtual atau melakukan kemajuan, konsumen bisa membayar biaya-biaya yang disajikan.

Menurut CEO MainGame Anton Soeharyo, strategi freemium “berhasil” memenangkan pelanggan di berbagai industri, termasuk bagaimana para game publisher mencari model bisnis terbaik bagi konsumennya.

“Pasar gaming di Indonesia mencapai $701 juta. Mereka [konsumen] willing to pay untuk bermain dan mendapatkan pengalaman dalam permainannya,” kata Anton.

Anton mengatakan, untuk permainan sederhana, biasanya berbasis HTML5  untuk menghabiskan waktu dan mungkin bisa mendapatkan hadiah, skema berlangganan adalah pilihan yang tepat. Sedangkan untuk game RPG dan sejenisnya, maka freemium bisa menjadi pilihannya.

“Saya melihat demikian karena setelah pemain mendapatkan ‘rasa’ dan ‘pengalaman’ dalam permainannya, maka mereka condong untuk melakukan pembelian dan kemudian beralih ke premium,” kata Anton.

Skema berlangganan untuk konsumen bisnis

Berbeda dengan skema freemium, pilihan berlangganan lebih lazim ditawarkan oleh mereka yang menyasar konsumen bisnis (B2B). Skema berlangganan memberikan kebebasan penggunaan dan opsi kustomisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan bisnis, misalnya solusi-solusi berbasis SaaS.

Menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, freemium dan berlangganan hanyalah cara perusahaan menangkap lebih banyak permintaan. Ini dapat diterapkan ke berbagai segmen pengguna. Aspek menarik dari perusahaan yang menjual produk piranti lunak (software) adalah biaya marjinal dari pelanggan tambahan terkadang mendekati nol. Biaya marjinal berbeda dengan biaya untuk mendapatkan pelanggan tertentu. Biaya ini serupa dengan Cost of Goods Sold (COGS) di perusahaan brick and mortar.

“Di perusahaan perangkat lunak, biaya paling umum yang terkait dengan biaya marjinal ini adalah biaya server dan kecuali itu adalah perusahaan Artificial Intelligence (AI), biaya ini dapat diabaikan. Jika startup memiliki keunggulan ini, ia dapat menerapkan model freemium di mana mereka dapat menawarkan produk paling basic secara gratis. Ini sejalan dengan konsep pemasaran untuk membawa produk ke tangan pelanggan,” kata Arya.

Tentu saja konsep berlangganan tidak eksklusif untuk konsumen bisnis.

“Menurut saya subscription ini tidak terbatas ke [konsumen] B2B tetapi hampir semua akan masuk ke area ini. Seperti yang CEO Zuora bilang, kita masuk ke masa subscription economy,” kata Yopie.

Hal senada diungkapkan Anton. Dirinya melihat provider TV kabel yang menyasar konsumen perorangan juga menerapkan model berlangganan ke pelanggannya. Set-up box ditawarkan di luar harga langganan paket channel TV dan di dalamnya juga tersedia menu video on demand.

Pada akhirnya, menurut Arya, setiap pelanggan memiliki persepsi sendiri tentang nilai produk. Pengalaman pengguna gratis juga berharga untuk mendorong startup mengembangkan model bisnisnya.

“Contoh yang bagus dari ini adalah LinkedIn. LinkedIn menawarkan LinkedIn Premium untuk menangkap pengguna yang bersedia membayar lebih banyak fasilitas, privasi, dan status. Namun, LinkedIn juga memonetisasi pengguna gratis dengan menawarkan alat perekrutan ke perusahaan,” kata Arya.

Sebagai investor, Arya melihat ke depannya tidak menjadi masalah, apakah startup tersebut menerapkan model freemium atau berlangganan. Yang penting adalah kemampuan startup mempertahankan pelanggannya (dengan tingkat churn rendah) untuk tumbuh secara berkelanjutan dan mendapatkan nilai tambah dari pelanggan.

IFTTT Luncurkan Layanan Berlangganan dengan Sejumlah Kelebihan

Selama bertahun-tahun, IFTTT telah menjadi salah satu layanan yang paling berguna di kalangan pengguna perangkat smart home. Berbekal jutaan ‘resep’ atau applet, pengguna dapat menyambungkan satu perangkat dengan yang lain, maupun memfasilitasi interaksi antar layanan.

Selama ini IFTTT selalu ditawarkan sebagai layanan yang gratis buat konsumen secara umum. Namun baru-baru ini, pengembangnya memperkenalkan sebuah layanan berlangganan bernama IFTTT Pro. Paket berbayar ini akan hadir bersama-sama dengan paket gratisan yang sudah ada sejak lama.

Seperti yang sudah bisa dibayangkan, IFTTT Pro menawarkan sejumlah kelebihan dibanding versi gratisannya. Yang paling utama adalah, satu applet pada IFTTT Pro bisa mengakses data dari beberapa sumber sebelum akhirnya memicu beberapa aksi sekaligus.

Contoh yang paling gampang adalah, pelanggan IFTTT Pro bisa membuat sebuah applet yang akan mengakses data dari Google Calendar dan Slack sekaligus di malam hari, sebelum akhirnya mengirim instruksi ke lampu Philips Hue, serta ke smart speaker untuk memutar playlist Spotify favoritnya.

Sebagai perbandingan, untuk bisa memenuhi skenario di atas, pengguna IFTTT gratisan memerlukan 4 applet yang berbeda; dua untuk menghubungkan data dari Google Calendar dengan aksi di Philips Hue dan speaker, dua lagi untuk menghubungkan data dari Slack.

Sayangnya kehadiran IFTTT Pro juga berarti paket gratisannya ikut di-downgrade. Mulai sekarang, pengguna IFTTT hanya bisa meracik maksimal sebanyak 3 applet saja. Dengan kata lain, skenario yang saya gambarkan tadi cuma bisa diwujudkan hanya dengan berlangganan IFTTT Pro saja. Di samping itu, eksekusi setiap applet juga dipastikan berlangsung lebih cepat buat pelanggan IFTTT Pro.

IFTTT Pro dihargai $10 per bulan. Dalam rangka promosi, pelanggan bisa mendapat potongan harga selama setahun dengan menentukan sendiri tarif berlangganannya, asalkan tidak kurang dari $2 per bulan. Promosi ini hanya berlaku sampai tanggal 7 Oktober 2020.

Sumber: IFTTT via The Verge.

Apple Batalkan Kontrak dengan Developer Game yang Karyanya Dinilai Kurang Menarik untuk Apple Arcade

Kehadiran Apple Arcade sejak September lalu pada dasarnya membuka perspektif baru terhadap industri mobile gaming. Demi menyajikan katalog game yang berkualitas, Apple tidak segan membayar kalangan developer untuk menciptakan game buat layanan berlangganannya tersebut.

Bagi para developer, Apple Arcade bisa dilihat sebagai medium yang tepat untuk mengerjakan game yang ingin mereka buat, bukan yang semata perlu mereka buat demi bertahan hidup. Honor yang mereka terima langsung dari Apple itu sejatinya bisa menggantikan strategi-strategi bisnis umum di bidang game development seperti menyisipkan iklan maupun sederet in-app purchase yang sering kali menjurus ke arah pay-to-win.

Katalog Apple Arcade sejauh ini mencakup lebih dari 120 game, dan sebagian di antaranya adalah judul-judul berkualitas tinggi, macam Where Cards Fall misalnya, yang baru-baru ini dipilih menjadi salah satu pemenang Apple Design Awards; atau Sayonara Wild Hearts, yang di platform mobile cuma tersedia melalui Apple Arcade meskipun game-nya juga dirilis untuk console maupun PC.

120 game boleh dibilang cukup banyak untuk ukuran layanan yang belum berusia satu tahun, akan tetapi tidak terlalu berbeda jauh dari jumlah ketika ia baru dua bulan dirilis. Padahal, sejak awal Apple sudah berjanji untuk menghadirkan game baru buat Arcade setiap minggunya.

Apple Arcade

Salah satu penyebabnya bisa jadi dikarenakan Apple telah membatalkan kontraknya dengan sejumlah developer. Dilaporkan oleh Bloomberg, pada pertengahan April lalu, Apple menghubungi sejumlah developer yang tengah mengerjakan game untuk Apple Arcade, dan menjelaskan bahwa karya mereka kurang memenuhi tingkat engagement yang Apple kehendaki.

Apple pada dasarnya mengincar game yang bisa membuat pelanggan Arcade jadi merasa terikat, dan mereka memakai game berjudul Grindstone sebagai contoh. Grindstone sendiri merupakan sebuah game puzzle kasual, dan seperti yang kita tahu, game seperti ini memang sering kali terbukti cukup adiktif. Lalu apakah itu berarti gamegame petualangan yang cepat tamat tidak punya tempat sama sekali di Apple Arcade?

Kemungkinan tidak sampai seekstrem itu. Bisa jadi katalog Apple Arcade memang kekurangan gamegame kasual yang adiktif macam Grindstone itu tadi. Tanpa gamegame sejenis itu, Apple Arcade mungkin bakal kesulitan mempertahankan konsumen sebagai pelanggan; konsumen mungkin hanya memanfaatkan trial gratis selama sebulan untuk menamatkan beberapa judul dan tidak lanjut berlangganan.

Apple sendiri sejauh ini belum pernah melaporkan seberapa banyak jumlah pelanggan Arcade, namun perubahan strategi ini bisa menjadi indikasi bahwa pertumbuhan pelanggannya terbilang lambat. Ditambah lagi, Apple baru-baru ini juga memberikan trial gratis Arcade yang kedua buat konsumen.

Sumber: Bloomberg.

Lebih dari Sepertiga Pelanggan Layanan Streaming Musik Adalah Pelanggan Spotify

Tahun demi tahun, industri streaming musik terus bertumbuh secara pesat. Jumlah penggunanya terus bertambah, tapi yang lebih penting adalah jumlah pengguna berbayarnya (subscriber) yang juga naik cukup signifikan.

Hasil riset Counterpoint menunjukkan bahwa di tahun 2019, jumlah pelanggan layanan streaming musik secara global naik 32% menjadi 358 juta orang. Ini penting mengingat paket berlangganan alias subscription merupakan sumber pendapatan terbesar platform streaming musik – lebih dari 80% total pendapatan kalau kata Counterpoint.

Lebih dari sepertiga total subscriber itu berasal dari Spotify (35%), disusul oleh Apple Music di peringkat kedua (19%). Di bawahnya lagi, ada Amazon Music (15%), Tencent Music (11%) dan YouTube Music (6%).

Menariknya, 14% sisanya berasal dari layanan yang skala beroperasinya masih dalam tahap regional. Menurut Counterpoint, fokus pada konten lokal menjadikan Gaana (India), Yandex Music (Rusia), dan Anghami (Timur Tengah) sebagai layanan streaming musik paling top di negaranya masing-masing.

Music streaming subscriptions market share

Namun seperti yang kita tahu, konten di Spotify sekarang bukan cuma sebatas musik, melainkan juga podcast. Sebagian dari katalog podcast-nya juga bersifat eksklusif, dan konten eksklusif inilah yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan jumlah subscription. Bukan cuma untuk Spotify, tren yang sama juga berlaku untuk platform yang bersifat regional kalau kata Counterpoint.

Kehadiran podcast juga penting di tengah masa pandemi COVID-19 ini. Pasalnya, berhubung konsumen berada di rumah terus, mereka akan lebih sering menonton TV atau mendengarkan radio untuk mengikuti berita-berita terbaru. Ketimbang musik, podcast jelas lebih cocok menjadi alternatif dari konten berita.

Terlepas dari itu, Counterpoint masih memprediksi pertumbuhan subscription layanan streaming musik secara global bakal melebihi 25% di akhir 2020 nanti, dengan jumlah pelanggan melebihi angka 450 juta.

Sumber: Counterpoint via Engadget. Gambar header: Fixelgraphy via Unsplash.

Nissan Luncurkan Car Subscription yang Sangat ‘Royal’

Tahun demi tahun, semakin banyak pabrikan mobil yang menawarkan layanan car subscription. Seperti halnya bermacam digital subscription yang kita punya, mulai dari Spotify sampai Netflix, car subscription terdengar menarik karena para pelanggannya tidak akan dihantui oleh kontrak jangka panjang.

Salah satu pabrikan terbaru yang menawarkan layanan semacam ini adalah Nissan. Dinamai Nissan Switch, layanan ini pada dasarnya menawarkan fasilitas yang sama seperti car subscription dari BMW, Volvo, Porsche, dan lain sebagainya. Namun yang membuatnya sangat istimewa adalah, pelanggan dipersilakan berganti mobil tanpa batas setiap bulannya.

Kalau mau, pelanggan bisa saja berganti mobil setiap harinya; hari ini sedan, besok crossover, besoknya lagi SUV, dan seterusnya sampai mobil sport di akhir pekan. Semua itu tanpa membayar biaya ekstra di luar tarif bulanan sebesar $699 atau $899 per bulan – well, kecuali jika pelanggan memilih Nissan GT-R, yang akan dikenai tambahan $100 per harinya.

Perbedaan dua tarif bulanannya itu terletak pada pilihan mobil yang tersedia; yang lebih mahal tentu menawarkan lebih banyak opsi. Tarifnya juga sudah mencakup biaya asuransi, pengiriman mobil, dan maintenance rutin – alasan utama mengapa car subscription lebih menarik ketimbang membeli atau menyewa mobil secara tradisional.

Namun seperti halnya mayoritas layanan car subscription lain, Nissan Switch baru akan ditawarkan ke konsumen di Amerika Serikat. Terlepas dari itu, keberanian Nissan memberi kebebasan kepada pelanggan untuk berganti mobil tanpa batas menunjukkan bahwa pabrikan tidak segan bereksperimen meski car subscription belum terbukti menguntungkan bagi mereka.

Sumber: CNET dan Nissan.

Apple Arcade Adalah Layanan Berlangganan untuk Bermain Game Sepuasnya di Perangkat iOS, Apple TV dan Mac

Apple baru saja merilis layanan yang sangat menarik. Namanya Apple Arcade, dan secara mendasar ini merupakan layanan berlangganan untuk bermain game sepuasnya. Sebelum Anda salah tangkap, Apple Arcade bukanlah layanan streaming game seperti Google Stadia.

Konsep yang ditawarkan Apple Arcade adalah menyuguhkan deretan game ekslusif kepada pengguna seluruh platform-nya. Namanya seluruh berarti bukan cuma iOS saja, tapi juga mencakup Apple TV dan Mac. Jadi dengan satu tarif berlangganan saja, pelanggan dapat memainkan koleksi game-nya di iPhone, iPad, Apple TV maupun Mac.

Semua game yang tersaji di Apple Arcade dapat dimainkan secara offline. Apple memastikan tidak ada lagi biaya tambahan yang harus ditebus pelanggan. Singkat cerita, semua game dalam Apple Arcade bebas dari in-app purchase maupun iklan, tidak seperti game di App Store yang mayoritas mengadopsi model free-to-play.

Juga menarik adalah dukungan sinkronisasi cloud. Jadi semisal Anda sedang memainkan suatu game di Apple TV, lalu ketika Anda meninggalkan kediaman, Anda bisa melanjutkan progress-nya di iPhone, demikian pula sebaliknya.

Apple Arcade

Namun yang paling menarik menurut saya adalah katalog game-nya. Pada awal peluncurannya nanti, Apple Arcade menjanjikan lebih dari 100 game baru. Bukan sekadar baru, tapi semua game tersebut juga bersifat eksklusif, alias hanya bisa dimainkan apabila Anda berlangganan Apple Arcade.

Sejumlah developer besar berhasil Apple gandeng, termasuk SEGA, Konami dan Lego. Hironobu Sakaguchi, sosok di balik lahirnya franchise Final Fantasy, juga berhasil Apple gaet untuk menggarap game berjudul Fantasia buat Apple Arcade.

Beyond a Steel Sky / Revolution Software
Beyond a Steel Sky / Revolution Software

Judul lain yang sangat menarik perhatian adalah Beyond a Steel Sky besutan Revolution Software, yang ternyata merupakan sekuel salah satu game adventure legendaris, Beneath a Steel Sky, karya developer asal Inggris yang sama.

Lewat siaran persnya, Apple bilang bahwa mereka juga turut berkontribusi atas biaya pengembangan yang dibutuhkan para developer. Saya pribadi menganggap ini merupakan bentuk investasi Apple agar mereka bisa mengamankan jatah eksklusif atas gamegame yang dirilis di Apple Arcade.

Rencananya, Apple Arcade baru akan tersedia mulai musim gugur mendatang di 150 negara sekaligus. Arcade nantinya dapat diakses lewat sebuah tab khusus di App Store, baik itu di iOS, tvOS maupun macOS. Sayang belum ada informasi terkait berapa tarif berlangganannya, tapi kalau melihat kualitas game yang dijanjikan beserta rekam jejak Apple, semestinya tarifnya bakal cukup mahal.

Sumber: Apple.

Pengguna Perangkat iOS Bakal Bisa Membelikan Konten In-App Purchase untuk Orang Lain

Kalau kita perhatikan, belakangan ini semakin banyak developer aplikasi maupun game mobile yang menerapkan model bisnis freemium. Jadi aplikasi atau game-nya bisa diunduh secara cuma-cuma, akan tetapi ada opsi subscription atau konten yang harus dibeli di dalamnya (in-app purchase) guna membuka fitur lengkapnya.

Model seperti ini jelas lebih sustainable, sehingga wajar apabila Apple kemudian memutuskan untuk mengubah kebijakan di App Store-nya. Berkat perubahan ini, developer dapat menerapkan fitur supaya konsumen bisa membayar subscription atau membeli konten, tapi bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk teman atau keluarganya.

Sebelum ini, fitur gifting semacam ini hanya berlaku untuk aplikasi atau game berbayar saja, bukan konten di dalamnya. Caranya dengan mengklik icon tiga titik di sebelah tombol beli pada halaman aplikasi di App Store, lalu memilih opsi “Gift App…” dan mencatumkan email kontak yang hendak dihadiahi.

Ke depannya, pengguna perangkat iOS juga dapat membelikan in-app purchase maupun subscription untuk orang lain, meski seperti apa mekanismenya masih belum diketahui. Sekali lagi ini merupakan langkah yang wajar mengingat semakin banyak developer yang beralih dari model premium ke freemium.

Sumber: MacRumors.

Sounds.com Adalah Layanan Berlangganan Khusus Music Sample, Loop dan Sound Pack

Dewasa ini kita sudah sangat terbiasa berlangganan konten digital. Contoh yang paling gampang adalah Netflix dan Spotify; ketimbang bingung memilih film atau album musik baru apa yang hendak dibeli, jauh lebih mudah membayar tarif tetap setiap bulannya untuk mendapatkan akses tak terbatas ke semua koleksi yang tersedia.

Model bisnis seperti ini terbukti bisa menguntungkan kedua belah pihak – meski sampai sekarang Spotify masih mengalami kerugian besar, tapi itu lebih dikarenakan ongkos royalti yang harus mereka bayar ke berbagai label musik begitu mahal. Terlepas dari itu, metode berlangganan (subscription) setidaknya bisa menumbuhkan rasa aman bagi penyedia layanan bahwa mereka bakal mendapatkan pemasukan yang pasti setiap bulannya.

Berkaca pada anggapan tersebut, wajar apabila kemudian banyak bermunculan platform distribusi konten digital baru yang mengandalkan metode subscription, contohnya seperti yang dilakukan oleh produsen hardware dan software musik, Native Instruments, baru-baru ini. Mereka memperkenalkan Sounds.com, layanan berlangganan yang ditujukan secara spesifik untuk para musisi.

Sounds.com menawarkan cara yang mudah bagi para musisi untuk mengakses koleksi sample, loop dan sound pack untuk dimanfaatkan dalam karyanya masing-masing, tanpa harus membayar royalti ekstra. Idenya tidak benar-benar baru; sebelumnya sudah ada Splice yang menawarkan layanan serupa, tapi yang berbeda dari Sounds.com adalah pelanggan diberikan akses tidak terbatas dengan tarif tetap setiap bulannya.

Sounds.com

Menurut informasi yang didapat The Verge, Sounds.com setidaknya sudah menyimpan lebih dari 500 ribu sample, loop dan sound pack. Genre-nya juga amat bervariasi, mulai dari orkestra sampai EDM (electronic dance music). Pelanggan dapat melakukan pencarian yang cukup spesifik, atau menyortir berdasarkan genre, BPM, kunci atau jenis instrumen yang digunakan.

Untuk sekarang Sounds.com masih berstatus beta, dan baru tersedia di Amerika Serikat saja, akan tetapi Native Instruments berharap bisa merilisnya ke pasar internasional sesegera mungkin. Tarif berlangganan yang dipatok adalah $10 per bulan, namun konsumen dipersilakan mencoba lebih dulu secara cuma-cuma sebelum mulai membayar.

Tampilan situsnya terbilang modern. Pelanggan dapat terus mengeksplorasi konten yang tersedia selagi mendengarkan suatu sample atau loop. Ke depannya, Native Instruments berencana menyiapkan plugin untuk digital audio workstation (DAW) supaya katalog Sounds.com bisa langsung diakses dari perangkat tersebut.

Sumber: The Verge dan Native Instruments.