Tantangan Yang Perlu Diantisipasi oleh Bisnis di Indonesia

Belum lama ini QBE Indonesia melakukan wawancara dan survei terhadap 300 UKM dan perusahaan skala besar di Indonesia. Dalam wawancara tersebut dibahas tentang risiko, peluang dan tantangan bisnis pada era digital saat ini. Ada beberapa temuan menarik dari survei tersebut, pertama ialah terkait dengan kecenderungan bisnis di Indonesia untuk bersifat reaktif (bukan proaktif) berbagai kejadian terkait dengan insiden di dunia digital.

Dari survei tersebut didapatkan data bahwa persentase insiden digital yang umum terjadi ialah penipuan melalui internet (54%), peretasan sistem komputer (48%), dan pencurian informasi sensitif (38%). Pemaparan responden juga menyebutkan bahwa insiden tersebut memberikan dampak yang nyata bagi bisnis. Dalam 12 bulan terakhir, insiden tersebut setidaknya menghadirkan beberapa masalah krusial dalam bisnis.

Pertama ialah kehilangan pendapatan karena insiden yang mengganggu usaha (32%), rusak dan hilangnya data inventaris (23%), kerusakan peralatan (22%), hingga peretasan sistem komputer yang mengganggu operasional bisnis (20%).

“Risiko-risiko ini dihadapi oleh perusahaan yang berada pada lingkungan dengan tantangan bisnis yang semakin besar. Berdasarkan kajian, kami menemukan bahwa 31% dari perusahaan-perusahaan Indonesia menerima tuntutan hukum karena masalah produk atau layanan mereka pada tahun lalu,” ujar Aziz Adam Sattar selaku Presiden Direktur QBE Indonesia.

Tantangan bisnis di Indonesia tahun 2017-2018

Selain membahas tentang insiden dan risiko yang dihadapi bisnis kaitannya dengan teknis operasional harian, survei juga mencoba mengidentifikasi beberapa tantangan yang dihadapi bisnis dalam berbagai lanskap kategori. Hampir separuh dari perusahaan (46%) menilai bahwa tantangan berasal dari adaptasi atas kemajuan dan inovasi teknologi. Hal ini berdampak pada prakiraan investasi yang dinilai akan meningkat 12 bulan mendatang. Sepertiga dari perusahaan (29%) meyakini bahwa tantangan dan investasi tersebut akan membawakan dampak yang besar.

Tantangan yang dihadapi bisnis Indonesia hingga tahun 2018 / QBE Indonesia
Tantangan yang dihadapi bisnis Indonesia hingga tahun 2018 / QBE Indonesia

Pada dasarnya setiap kategori industri memiliki kekhawatiran yang berbeda, tetapi ada beberapa tantangan serupa yang muncul di berbagai industri seperti perluasan bisnis dan peraturan perundang-undangan yang baru.

Kini penyesuaian terhadap teknologi terbarukan merupakan hal yang dianggap penting bagi bisnis. Menelisik lebih dalam kategori bisnis di bidang IT dan Telekomunikasi (di dalamnya termasuk UKM digital), konsentrasi terbesar saat ini masih pada optimasi dan pengembangan sistem yang dimiliki (45%). Selanjutnya tantangan lain yang dihadapi ialah terkait dengan perundangan baru yang sering membuat bisnis harus menyesuaikan (39%). Eskpansi bisnis (37%) juga menjadi concern yang ambisius untuk banyak perusahaan di kategori ini.

Menariknya 35% dari responden di sektor TI kini mulai memiliki awareness tentang perlindungan data dan informasi bisnis. Hal ini senada dengan ancaman siber yang kian meningkat. Namun angka 35% dinilai masih cukup kecil untuk mayoritas bisnis yang menggunakan pendekatan digital. Ternyata hal tersebut disebabkan oleh banyak hal, mulai dari skala bisnis yang kecil, keterbatasan bisnis hingga anggaran yang terbatas.

Alasan bisnis menghiraukan risiko kemungkinan terjadinya kegagalan / QBE Indonesia
Alasan bisnis menghiraukan risiko kemungkinan terjadinya kegagalan / QBE Indonesia

“Ekonomi Indonesia tumbuh dengan cepat dan telah menjadi anggota penting di komunitas ASEAN. Dengan meningkatnya jumlah masyarakat kelas menengah, kita melihat perubahan pemikiran di kalangan pengusaha dan karyawan karena mereka telah memahami pentingnya pengelolaan risiko – tidak hanya untuk mengurangi kerugian finansial, tetapi yang lebih penting untuk menunjukkan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab sosial. Konsumen Indonesia menjadi lebih paham mengenai hak-hak hukum, yang menghadapkan perusahaan pada kompensasi finansial yang lebih besar jika gagal memberikan layanan atau tidak menyediakan lingkungan kerja yang aman,” jelas Sattar menanggapi kecilnya antisipasi perusahaan terhadap kemungkinan risiko.

Temuan Menarik tentang Startup di Yogyakarta Tahun 2017

Jogja Start-Up sebuah komunitas penggiat usaha rintisan di Yogyakarta baru saja merilis hasil survei mereka terhadap lanskap startup digital periode paruh pertama tahun 2017. Terdapat beberapa temuan menarik, terkait dengan jumlah startup dan kategori bisnisnya. Dari jumlah yang berhasil diidentifikasi, ada sekitar 115 startup digital yang beroperasi di Yogyakarta per tahun ini. Sebanyak 86 di antaranya adalah startup asli, sedangkan sisanya pendatang dari luar kota.

Menilik lebih dalam, persentase pebisnis digital di Kota Gudeg tersebut masih didominasi oleh Software House (21,05%), disusul pemain Commerce (11%), Fintech (10%), dan Digital Agency (8%). Kendati demikian, kategori lain seperti Travel, Education, Game House, hingga IoT masih bisa ditemui. Kemudian terkait dengan ukuran startup, mayoritas digerakkan antar 2-5 orang (36,84%) dan sebagian besar lagi merupakan single player (14.04%).

“Secara umum, ini merupakan tren yang bagus untuk ekosistem digital di Yogyakarta. Dari kuantitas bisnis dan kualitas produk saya pantau terus meningkat, didukung dengan banyaknya pemain yang berasal dari luar kota hadir ke sini. Ke depannya optimis akan terus meningkat dan memberikan dampak positif bagi Yogyakarta dan komunitas startup di dalamnya,” ujar Ketua Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF) Saga Iqranegara.

Selama ini pemain bisnis banyak yang meyakini bahwa Yogyakarta menjadi salah satu sumber talenta berkualitas. Tak salah anggapan tersebut, adanya 121 kampus di dalam provinsi tersebut memang menyumbang salah satu angka lulusan terbanyak. Dari pantauan Jogja Start-Up dapat dipetakan talenta yang mendukung bisnis digital sebagai berikut:

Pemetaan sumber talenta bisnis digital di Yogyakarta / Jogja Start-Up
Pemetaan sumber talenta bisnis digital di Yogyakarta / Jogja Start-Up

Diprediksikan masih akan banyak startup luar yang bersinggah di Yogyakarta

Menilik data temuan di atas, Akbar Faisal salah satu inisiator dari Jogja Start-Up memprediksikan bahwa tren ke depan justru yang akan meningkat ialah jumlah startup dari luar kota yang meramaikan lanskap bisnis di sana. Faktor yang mendorong adalah melimpahnya SDM yang dapat dijangkau oleh bisnis, ditambah dengan “biaya hidup” yang relatif lebih efisien.

Kendati demikian diyakini bahwa hal tersebut akan berimbang dengan peningkatan kualitas talenta dari Yogyakarta yang siap terjun di dunia startup, seiring dengan awareness kampus-kampus tentang bisnis digital yang kian matang.

“Stok talenta akan semakin melimpah jika melihat dari kesiapan kampus saat ini. Beberapa kampus besar seperti UGM hingga AMIKOM bahkan telah memiliki strategi khusus untuk membina talenta dari dalam, salah satunya dengan memiliki pusat pengembangan bisnis digital di lingkungan internal kampus,” ujar Akbar.

Hal lain yang menjadi temuan menarik dari survei adalah tentang tingkatan bisnis digital di Yogyakarta. Temuan survei menyatakan bahwa mayoritas (69%) startup dijalankan menggunakan pendanaan sendiri, mirisnya masih banyak (48%) yang belum berlegalitas dalam bentuk badan usaha. Hal ini bisa jadi berhubungan dengan temuan sebelumnya, masih banyak startup yang dijalankan secara perorangan.

Tentang tingkatan bisnis digital yang ada di Yogyakarta / Jogja Start-Up

Tentang upah kerja bisnis digital di Yogyakarta

Apa yang dikatakan oleh Akbar sebelumnya mungkin mengacu pada temuan berikutnya, yakni tentang rate gaji yang diberikan oleh startup untuk para talentanya. UMR yang masih cukup kecil jika dibanding dengan kota besar lain memang membawa tren standar gaji yang lebih minimalis. Kendati demikian diyakini, persaingan untuk mendapatkan talenta terbaik yang ada saat ini akan terus mendongkrak angka tersebut.

Rerata gaji minimal yang diberikan untuk talenta dalam bisnis digital / Jogja Start-Up
Rerata gaji minimal yang diberikan untuk talenta dalam bisnis digital / Jogja Start-Up

Pada dasarnya startup di Yogyakarta makin kompetitif. Tantangannya bisnis lokal tidak hanya harus bekerja keras memperjuangkan potensi pasar (khususnya millennials) yang melimpah, melainkan harus berkompetisi dengan kompetitor dari luar.

Penerimaan Masyarakat Indonesia terhadap Layanan On-Demand

Ragam jenis layanan on-demand saat ini menjadi sangat akrab bagi masyarakat Indonesia, khususnya di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar dan sebagainya. Debutnya diawali dengan jasa transportasi, namun kini telah merambah ke jenis yang lain seperti kirim paket, pesan makanan, jasa belanja, jasa kebersihan, hingga layanan perawatan diri.

Kendati masyarakat mulai nyaman dengan layanan yang bisa dikondisikan dengan sentuhan di ponselnya, namun berbagai masalah masih dihadapi oleh penyedia layanan on-demand, mulai dari penyesuaian regulasi hingga penerimaan layanan konvensional terhadap kehadirannya. Namun justru yang menarik adalah bagaimana konsumen di Indonesia beradaptasi sangat cepat dengan berbagai jenis layanan on-demand.

Belum ada satu dekade layanan on-demand menjadi populer. Meratanya layanan tersebut salah satunya didukung ekspansi besar-besaran yang dilakukan oleh sang unicorn GO-JEK. Melihat makin meratanya akses layanan on-demand di Indonesia, secara khusus DailySocial bekerja sama dengan JakPat melakukan survei tentang tanggapan masyarakat tentang layanan on-demand.

Dari 1024 responden pengguna ponsel pintar di Indonesia, 71,08 persen mengaku pernah menggunakan layanan ojek berbasis aplikasi, sedangkan 63,10 persen pernah menggunakan taksi online. Aplikasi on-demand yang digunakan didominasi GO-JEK (85,22%), Grab (66,24%), Uber (50,06%), dan sisanya dengan persentase yang sangat minim adalah layanan sejenis yang diinisiasi oleh pemain lokal.

Survei layanan on-demand, tren penggunaan transportasi online / DailySocial
Survei layanan on-demand, tren penggunaan transportasi online / DailySocial

Selain itu ada salah satu temuan menarik lainnya, yakni bagaimana aplikasi on-demand populer mampu menggeser popularitas layanan pesan antar makanan yang sebelumnya ada. Sebut saja layanan GO-FOOD yang memiliki persentase penggunaan lebih banyak dari pada KFC Delivery dan McDelivery. Beberapa layanan lain seperti GrabFood, FoodPanda, Klik-Eat juga mulai mendapatkan perhatian masyarakat ketika ia membutuhkan jasa pemesanan makanan.

Fleksibilitas dan kenyamanan menjadi kunci pertumbuhan

Dalam survei juga ditanyakan tentang apa yang membuat mereka nyaman dengan layanan on-demand, mayoritas menjawab karena fleksibilitas yang ditawarkan. Mereka bisa melakukan pemesanan layanan kapan saja di mana saja. Selain itu alasan yang mendominasi lainnya ialah membantu mereka memenuhi berbagai kebutuhan tanpa harus pergi ke luar, baik dari rumah ataupun kantor. Dan tentu biaya yang lebih efisien turut menjadi daya tarik masyarakat sehingga menggandrungi Grab dan kawan-kawannya.

Faktor yang melandasi popularitas layanan on-demand di Indonesia / DailySocial
Faktor yang melandasi popularitas layanan on-demand di Indonesia / DailySocial

Tanggapan masyarakat tentang dampak sosial yang ditimbulkan layanan on-demand

Pro-kontra tentang penerimaan layanan on-demand masih terus bergulir hingga saat ini. Di beberapa daerah seperti Yogyakarta berbagai penolakan masih santer diserukan para pemain konvensional. Namun menariknya masyarakat justru menilai hadirnya layanan seperti GO-JEK akan membawa dampak sosial yang positif.

Penilaian masyarakat tentang kehadiran layanan on-demand dan dampak sosial yang ditimbulkan / DailySocial
Penilaian masyarakat tentang kehadiran layanan on-demand dan dampak sosial yang ditimbulkan / DailySocial

Sebagian besar responden survei tidak khawatir tentang hadirnya layanan berbasis aplikasi yang akan “mengganggu” model konvensional yang telah ada sebelumnya. Justru mayoritas meyakini bahwa hadirnya layanan tersebut akan memberikan ragam kesempatan baru (khususnya kesempatan kerja) bagi banyak masyarakat. Dari sini dapat disimpulkan, secara umum masyarakat menanggapi baik merebaknya berbagai jenis layanan yang dapat diakses melalui aplikasi mobile.

Selain beberapa fakta data di atas, masih banyak lagi temuan yang ada dalam survei, seperti: (1) persentase penggunaan layanan on-demand lain selain transportasi, (2) metode pembayaran yang digemari, hingga (3) improvisasi yang diharapkan masyarakat untuk penyedia layanan. Untuk selengkapnya, unduh laporan “On-Demand Services Survey in Indonesia 2017”.

Sebagai media yang memberikan wawasan tentang perkembangan bisnis digital di tanah air, DailySocial juga mengabarkan berita, analisis hingga opini tentang layanan on-demand di Indonesia.

Produk Aplikasi Lokal di Mata Masyarakat Indonesia

Secara konsisten, produk aplikasi lokal makin menunjukkan kualitas tatkala menghadapi persaingan dengan para pemain dari luar. Selalu menarik ketika berbicara seputar persaingan produk digital, karena sekat persaingannya sangat tipis dan hampir tidak ada. Juga ditambah riuhnya jumlah aplikasi di mobile marketplace yang kian tak terbendung.

Dalam berbagai pembahasan persebaran produk aplikasi, Indonesia selalu dikatakan unggul dalam kaitannya dengan potensi pasar. Tentu mudah ditebak, hal itu berlandaskan pada adopsi ponsel pintar yang tak kalah santer dengan pertumbuhan penduduk yang kini mencapai seperempat miliar orang.

Namun dengan inovasi yang tak henti, kini pengembang lokal mulai bisa berunjuk gigi memenuhi ragam kebutuhan aplikasi digital masyarakat. Bersama dengan JakPat, DailySocial mencoba melakukan survei kepada 1018 responden pengguna aplikasi ponsel pintar untuk mengetahui minat mereka terhadap aplikasi lokal.

Salah satu temuan pertama dari survei tersebut, bahwa kepercayaan pengguna terhadap aplikasi lokal berangsur terus meningkat seiring dengan kualitas yang ditunjukkan oleh para pengembang. Secara lebih spesifik, pengguna lebih melihat dari sisi manfaat. Selama aplikasi lokal tersebut memiliki daya guna tinggi, maka ia akan menggunakan.

1

Sangat minim pengguna yang mempertahankan penggunaan aplikasi lokal karena faktor lain, seperti brand lokal, aplikasi lebih memiliki taste lokal dan lain sebagainya. Secara lebih lanjut faktor tersebut di atas dapat direpresentasikan pada aplikasi lokal yang banyak diunduh pengguna. Dari survei tersebut, GO-JEK menjadi yang paling favorit, dilanjutkan oleh aplikasi e-commerce dan online marketplace.

2

Jelas saja, jika menghubungkan dengan faktor daya guna, GO-JEK menyajikan banyak fungsionalitas sebagai aplikasi on-demand, sedangkan aplikasi di peringkat selanjutnya memberikan kemudahan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Secara persentase kategori layanan transportasi dan belanja terlihat menguasai, namun demikian secara perlahan kategori lain juga mulai memperlihatkan angkanya. Sebagai contoh di sini aplikasi permainan dan berita lokal yang banyak diminati oleh masyarakat.

3

Beberapa temuan di atas mengindikasikan bahwa terdapat harapan besar dari capaian yang telah ditorehkan oleh aplikasi lokal. Sebut saja GO-JEK yang berada di peringkat pertama, di Indonesia pun ia harus bersaing langsung dengan pemain besar di level global. Adanya angka yang cukup manis untuk kategori aplikasi permainan juga menjadi indikasi menarik, bahwa konten kreatif yang dibuat pengembang lokal berhasil memukau minat pangsa pasar di negerinya sendiri.

Harapannya angka-angka di atas masih akan terus bertumbuh signifikan ke depan, dan makin memperlihatkan kualitas aplikasi yang dihasilkan pengembang lokal.

Untuk mengetahui hasil survei secara lebih mendetail, unduh hasil laporan tentang “Local Indonesian Apps Survey 2017”.

Temukan juga ragam aplikasi dan karya digital dari startup Indonesia.

Laporan DailySocial: Survei Layanan Pelanggan Digital 2017

Layanan Pelanggan (“Customer Service”) di Indonesa adalah sebuah hal yang menarik untuk ditelaah, salah-satunya karena adanya anggapan bahwa kualitas layanan pelanggan tidak terlalu dipedulikan oleh konsumen Indonesia. Ada juga pertanyaan menarik tentang penggunaan “chatbot” yang dikendalikan “Artificial Intelligence” (AI) untuk membantu menangani jaringan layanan pelanggan. Survei ini dilaksanakan DailySocial.id bekerja sama dengan JakPat Mobile Survey terhadap 1018 responden yang disampel dari pengguna smartphone dari seluruh Indonesia.

Beberapa temuan survei antara lain:

  • 79.15% responden menyatakan pernah mengajukan keberatan (komplain) kepada penyedia jasa.
  • 37.36% responden paling suka mengajukan komplain via email; email adalah saluran komunikasi favorit di survei ini.
  • 76.30% responden merasa keberatan bila mengetahui komplain mereka ditangani oleh sebuah chatbot

Untuk laporan selengkapnya, unduh laporan “Digital Customer Service Survey 2017” dari DailySocial.id.

Laporan DailySocial: “Budget Hotel Apps” di Indonesia 2017

Sudah beberapa tahun belakangan ini beberapa aplikasi & web aggregator hotel budget beroperasi di pasar Indonesia. Masyarakat pun semakin akrab menggunakan berbagai apps ini karena telah nyata terbukti menghemat pengeluaran dan waktu konsumen dalam menyiapkan penginapan dan perjalanan mereka.

DailySocial.id bekerja sama dengan JakPat mobile survey platform telah mengadakan survei mengenai aplikasi Budget Hotel, direspon oleh 1005 responden yang adalah sampel diambil dari seluruh pengguna smartphone dari seantero Indonesia.

Beberapa temuan survei antara lain:

  • Lebih banyak responden (65,87%) melaporkan mereka lebih sering bepergian ke luar kota untuk berlibur daripada untuk kepentingan pekerjaan
  • Sebagian besar responden (65,77%) lebih memilih melakukan reservasi hotel, khususnya budget hotel, menggunakan apps ataupun situs web aggregator budget hotel daripada metode lainnya
  • Ternyata aplikasi khusus budget hotel di Indonesia belum populer. Rata-rata hanya digunakan kurang dari 10% responden. Zen Rooms (11,64%) adalah yang paling populer, diikuti RedDoorz (9,65%).

Untuk laporan lebih lengkapnya, unduh laporan “Budget Hotels Survey 2017” secara gratis.

Riset Jana: Grab adalah Aplikasi On-Demand Paling Banyak Dipasang di Indonesia, Go-Jek Paling Aktif Dipakai

Di Indonesia persaingan layanan on demand transportasi mengerucut ke beberapa pemain besar. Nama-nama seperti Go-Jek, Grab, dan Uber menjadi tiga layanan yang paling dikenal dan digunakan masyarakat. Dalam sebuah survei yang dikeluarkan oleh perusahaan pengiklanan asal Amerika Serikat Jana untuk pasar Indonesia per Januari 2017 aplikasi Grab paling banyak diunduh, namun Go-Jek masih menjadi layanan yang memiliki pengguna aktif terbanyak.

Data yang dikeluarkan Jana mengukur perkembangan aplikasi dan pengguna aktif dari tiga layanan on demand transportasi di Indonesia, Uber, Go-jek, dan Grab dari tahun 2015. Dari bulan September 2015 sampai dengan Januari 2017, ketiga layanan tersebut mengalami pertumbuhan instalasi aplikasi. Baik Go-Jek, Uber, maupun Grab tumbuh dengan rata-rata penetrasi berkisar di 2-3% tiap tahunnya.

Statistik Jana soal layanan transportasi online di Indonesia
Statistik Jana soal layanan transportasi online di Indonesia

Untuk pertumbuhan sebenarnya Uber mengalami lonjakan yang signifikan dari Oktober 2016 sampai dengan Januari 2017. Masyarakat yang memasang aplikasi Uber di perangkat mobile mereka tumbuh mencapai 5%, lebih tinggi jika dibanding keduanya. Per Januari 2017 Grab merupakan layanan yang paling banyak di-install dibanding dua yang lain, namun untuk jumlah pengguna aktif harian Go-Jek masih memimpin.

Ramainya diversifikasi layanan Go-Jek

Salah satu alasan banyaknya pengguna aktif harian Go-Jek terdapat pada banyaknya jenis layanan yang ditawarkan. Go-Jek telah melebarkan sayap ke layanan lain seperti jasa pengantaran makanan, jasa pengataran dokumen, dan lain-lain. Jangkau wilayah Go-Jek juga lebih luas jika dibanding yang lain.

Melihat data Jana dan peta persaingan layanan on demand, fokus tidak lagi hanya bagaimana mereka mengantarkan orang. Persaingan mulai mengarah ke bagaimana layanan ini terintegrasi dengan layanan lain untuk semakin memudahkan masyarakat. mulai dari pengantaran makanan, pengataran barang, layanan bersih-bersih rumah, service mobile, hingga layanan pembayaran atau uang digital.

Laporan DailySocial: Kebiasaan Membaca Berita Secara Online di Indonesia

Bagaimanakah pembaca berita Indonesia mendapatkan berita di Internet? Belakangan asumsinya adalah masyarakat pengguna Internet di Indonesia mendapatkan link berita dari Facebook dan Twitter, tapi apakah asumsi ini tepat?

DailySocial.id bekerja sama dengan JakPat mengadakan survei “Indonesian News Reading Habits 2017”. Tujuan survei untuk mendapatkan gambaran umum bagaimana masyarakat Internet Indonesia mengkonsumsi berita dari Internet. Survei diadakan terhadap 1022 responden yang diambil dari populasi pengguna smartphone se-Indonesia.

Beberapa temuan antara lain:

  • Facebook (70,85%) dan LINE Today (50,64%) kini adalah sarana utama untuk mencari berita baru
  • Lebih banyak responden yang percaya berita yang mereka buka langsung di situs web berita (55.04%), daripada yang mendapatkannya dari sumber lainnya seperti dari LINE Today (39.03%), Facebook (22.73%), maupun dari Twitter (10.38%)
  • Responden lebih banyak membagikan link artikel online via Facebook (44.86%) dan WhatsApp Group (28.85%), daripada melalui Twitter (11.76%)

Untuk membaca temuan-temuan selengkapnya, silahkan unduh laporan “Indonesian News Reading Habits 2017” secara gratis.

Laporan DailySocial: Konsumsi Internet Indonesia 2017

Penggunaan Internet telah menjadi kebutuhan vital dalam pekerjaan sehari-hari di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Salah satu keluhan yang sering terdengar adalah bahwa biaya akses Internet terasa mahal bagi konsumen Indonesia, paling tidak demikian persepsi banyak konsumen.

DailySocial.id bekerja sama dengan JakPat Mobile Survey melaksanakan “Indonesian Internet Consumption Habits Survey 2017”. Survei ini bertujuan memetakan persepsi & preferensi konsumen Indonesia perihal konsumsi akses Internet. Survei diadakan terhadap sampel 1066 responden yang berasal dari populasi pengguna smartphone di seluruh wilayah Indonesia.

Beberapa temuan survei antara lain:

  • Konsumsi volume data di Indonesia dapat dikatakan cukup besar. Konsumen melaporkan konsumsi data per bulan antara 1 hingga 20 Gigabyte per bulan, gabungan antara konsumsi Internet Desktop dan Internet Mobile.
  • Pengguna Internet Indonesia dapat dikatakan berjenis “Mobile First”. Dilaporkan 78.91% responden lebih banyak mengakses Internet menggunakan perangkat mobile daripada perangkat desktop/laptop PC.
  • Lebih dari setengah responden (53.44%) mengeluarkan kurang dari Rp100.000 per bulan untuk biaya Internet mobile.

Untuk laporan selengkapnya, unduh “Indonesia Internet Consumption Habits Survey 2017”.

Laporan DailySocial: Penggunaan Aplikasi Buatan Startup Indonesia

Sudah cukup lama startup-startup dari Indonesia membuat aplikasi smartphone untuk melayani berbagai kebutuhan layanan yang khas pasar Indonesia. Beberapa aplikasi ini bahkan dapat bertahan di hadapan gempuran aplikasi serupa yang buatan startup luar negeri. Meskipun demikian, tidak semua aplikasi “Karya Anak Bangsa” bisa bertahan di pasar bebas aplikasi Indonesia. Bagaimanakah tanggapan masyarakat teknologi Indonesia terhadap aplikasi karya anak bangsa?

DailySocial.id bekerja sama dengan JakPat mengadakan sebuah survei yang menanyakan kepada sampel 1018 pengguna smartphone di seluruh Indonesia, bagaimana tanggapan mereka terhadap berbagai aplikasi lokal yang telah diluncurkan. Beberapa temuan survei antara lain:

  • Go-Jek masih merupakan aplikasi lokal yang paling banyak diinstalasi (54.33% dari responden)
  • Mayoritas responden menggunakan aplikasi buatan startup lokal terutama karena memang benar-benar bermanfaat dan digunakan sehari-hari (74.47%)
  • Keluhan terbesar responden tentang kualitas aplikasi buatan lokal adalah masih banyaknya error/bug yang terjadi (41.54%)

Untuk laporan lebih lengkap (dalam Bahasa Inggris), unduh laporan “Local Indonesian Startups Survey 2017” dari DailySocial, secara gratis dengan terlebih dahulu mendaftarkan diri Anda menggunakan akun Facebook atau Linkedin.