Targetkan Segmen B2C, Prosa.ai Luncurkan Produk SaaS “Text-to-Speech”

Setelah sempat mengalami hambatan dalam pertumbuhan bisnis akibat pandemi, pengembang platform Natural Language Processors (NLP) Bahasa Indonesia Prosa.ai mengklaim terus mengalami pertumbuhan yang positif hingga saat ini.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Prosa.ai Teguh Eko Budiarto mengungkapkan, selama ini perusahaan fokus pada segmen B2B dari kalangan pemerintahan, menjadikan proyek yang telah dijalankan harus ditunda karena adanya pengalihan budget. Namun di pertengahan 2021 kondisi sudah semakin pulih dan proyek yang sempat tertunda berjalan kembali.

“Di sisi lain saya melihat pandemi sudah mengakselerasi adopsi digital. Sehingga jika dulunya tidak menjadi fokus, kini sudah banyak perusahaan hingga pemerintahan yang mengadopsi teknologi untuk mempermudah pekerjaan mereka,” kata Teguh.

Dalam implementasinya, Prosa.ai memiliki dua produk utama. Ada Prosa Text untuk layanan rekognisi teks, menyediakan jasa dalam bentuk API dan juga aplikasi kustom. Beberapa di antaranya adalah identifikasi berita hoax, hate speech, ekstraksi opini, klasifikasi jenis dokumen, ekstraksi informasi khusus, alat dasar NLP, dan lain-lain.

“Saat ini kami masih fokus kepada dua produk utama tersebut. Namun saat ini sudah mengalami pengembangan, bukan hanya conversational AI saja kita juga sudah muai merambah ke regulation technology,” kata Teguh.

Salah satu kerja sama strategis yang telah terjalin adalah dengan Bank Indonesia untuk risk analysis. Prosa.ai juga telah menjalin kemitraan dengan DPR untuk pengecekan regulasi. Sementara untuk layanan healthcare yang terbilang high regulated, mereka juga mengklaim turut membantu proses tersebut memanfaatkan analysis tools yang ada.

Disinggung seperti apa persaingan di antara pemain yang menawarkan layanan serupa, menurut Teguh untuk Indonesia sendiri belum terlalu banyak pemain lokal. Selain Prosa.ai, ada pemain lokal lain yang juga menggarap NPL berbahasa Indonesia, antara lain Media Kernels Indonesia, Bahasa.ai, dan Kata.ai.

Kebanyakan pemain yang mencoba menawarkan layanan serupa dengan Prosa.ai adalah perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Microsoft dan lainnya. Namun demikian kapabilitas utama mereka lebih ke Bahasa Inggris untuk produk NLP-nya.

Untuk mempercepat akselerasi bisnis Prosa.ai memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana. Harapannya proses tersebut bisa dilancarkan dalam beberapa bulan ke depan.

Pendanaan terakhir yang diterima oleh Prosa.ai adalah tahun 2019 lalu untuk tahapan seri A. Pendanaan tersebut dipimpin oleh GDP Venture. Investasi tersebut melanjutkan pendanaan awal yang diterima tahun 2018 dari Kaskus (juga merupakan portofolio GDP Venture).

“Target kita tahun ini bisa mencapai pertumbuhan bisnis hingga dua kali lipat dibandingkan tahun lalu,” kata Teguh.

Luncurkan produk di segmen B2C

 

Produk terbaru yang telah diluncurkan menyasar segmen B2C adalah SaaS Text-to-Speech (TTS), sebuah solusi berbasis cloud yang dapat memenuhi kebutuhan dalam mengubah teks menjadi suara.

Prosa TTS dilengkapi dengan berbagai macam fitur yang memudahkan pengguna. Saat pandemi permintaan yang datang justru banyak dari end consumer, terutama mereka konten kreator hingga influencer untuk keperluan pengisian suara video dan sejenisnya.

“Kami menawarkan pilihan freemium kepada pengguna. Secara gratis mereka bisa mencoba namun dengan keterbatasan yang ada. Jika ingin menikmati fitur lainnya mereka bisa berlangganan dengan harga mulai dari Rp50 ribu,” kata Teguh.

Ke depannya Prosa.ai juga memiliki rencana untuk meluncurkan produk menarik lainnya yang bisa dimanfaatkan oleh segmen B2C. Untuk memperluas bisnis, perusahaan saat ini juga telah menjalin kolaborasi dengan publisher besar di Indonesia untuk generating content E-Book secara otomatis. Rencana strategis lainnya yang mulai dilirik oleh Prosa.ai adalah, menyediakan pilihan bahasa Indonesia untuk berbagai platform seperti media sosial.

“Saat ini sudah ada perusahaan asal Tiongkok yang tengah menjajaki kerja sama dengan kami. Mereka memiliki platform text dan speech namun hanya untuk bahasa inggris dan bahasa mandarin. Kita masih melakukan technical due diligence jika proses sudah rampung semoga bisa menjadi mitra agar bisa melakukan request recommendation dengan mereka,” kata Teguh.

Proyeksi ukuran pasar layanan NLP global / MarketsAndMarkets

Menurut laporan, ukuran pasar NLP global telah mencapai $11,6 miliar pada tahun 2020 dan akan tumbuh hingga $35,1 miliar pada 2026 dengan CAGR 20,3%. Pertumbuhan SaaS tersebut dikarenakan kompleksitas pembuatannya. Pengembang aplikasi memiliki kecenderungan layanan siap pakai yang dapat diintegrasikan dengan backend kreasinya.

Peluang lain, saat ini belum banyak platform yang mengakomodasi korpus bahasa Indonesia. Sementara perkembangan ekosistem digital di tanah air menunjukkan traksi luar biasa. Konsumen menuntut layanan aplikasi yang semakin cerdas. Sehingga peluang layanan berbasis kecerdasan buatan seperti TTS tersebut juga semakin besar.

Analyzing Omnibus Law Impact on the Startup Ecosystem

Amid the gloomy situation caused by the coronavirus disease 2019 (COVID-19) outbreak, there is another important issue that will affect the lives of many people. It is the Omnibus Law which is to cover many laws at once.

Since last year, the Omnibus Law has been a polemic and has captured more attention at the beginning of this year. This is because the law will change many laws related to public affairs, such as the SME Bill, the Taxation Bill, and the Job Creation Bill. The last bill was the main trigger for many circles’ disapproval over the making of the Omnibus Law.

The government needs the Omnibus Law to simplify regulations that are considered bulky, therefore it is difficult to make decisions. The government’s motivation is also based on the desire to win competitions with other countries. Everything is in the same corridor: attracting more investment to achieve economic targets.

Impacts on startup

The Omnibus Law clearly has an impact on the domestic startup ecosystem. Some articles on display will clearly trigger changes in the industry. One of the examples is the changes in Article 42 concerning Manpower.

In the current regulation, Article 42 requires foreign workers to obtain written permission to work in Indonesia with the exception of diplomatic and consular staff. In the latest draft, the exemptions were extended to foreign workers in startup activities.

Changes in Article 56 become the highlight since it provides more flexibility for employers because the contract work relationship can last a lifetime. This means that there is no legal obligation for employers to make employment status permanent.

These articles bring their own dilemma for startup workers and founders. Izy.ai CEO & Founder Gerry Mangentang explained that the startup business model always demands working faster and pursuing targets in a relatively short period of time. As a result of these demands, startups prefer to look for local developers or engineers who have matured experience but in fact, their availability is still far from sufficient.

“When startup close funding, it is usually intended for 12-18 months runway. Therefore, we were required to speed up since the very beginning that most people prefer to hire developers who have already experienced or simply outsource,” said Gerry.

Nevertheless, Gerry admits that he still prioritizes local talent. That’s why he often refuses outsourcing offers from foreign talents that always packed in his emails. Indirectly, he considered that foreign workers would not be needed as long as there were pools of domestic talents.

“Unfortunately, it is difficult to find good [local] developers nowadays. It’s because they usually have worked in big startups, and the rates are quite high,” he added.

Prosa.ai’s CEO & Founder, Teguh Eko Budiarto agrees with the spirit of bringing in foreign talents by Article 42. However, Teguh criticizes the absence of requirements in the regulation which shows that the need for foreign workers is important.

“The problem is, there is no requirement to ensure the availability of domestic workers, therefore, the competition for workers at a certain level is getting bigger,” he said.

As for Article 56, Teguh admitted that he did not really see the effect that this article would bring. This is because he thought the startup business model is always full of uncertainty. “It’s different if the startup has passed the scale-up phase and has gotten a sustainable profit,” Teguh said.

Employee’s risks

Chairperson of the Media and Creative Industry Workers Union for Democracy (Syndication) Ellena Ekarahendy highlighted the problem brought by the Omnibus Law is the threat of reducing protection for workers without discrimination. This means that the Omnibus Law is considered a common enemy for all groups of workers and urges the authorities to provide concrete protection.

“After all, there are many Indonesian developers who become foreign workers virtually with the current economic convenience? The important thing is to ask for protection for workers, regardless of their nationality,” said Ellena.

Ellena criticized the government and parliament’s attitude which was being too distinctive for the interests of business owners over some of the articles. An example is the flexibility of the contract system contained in Article 56.

There are also supporting details for the company to terminate the employment relationship (PHK) in Article 154A, which in the future it is feared that startups can simply lay off when there is an acquisition, efficiency, merger, and divestment. For the record, the previous rule only allowed companies to do layoffs only when there was a merger.

“In addition, it needs to be highlighted in Article 90B Cilaka [Job Creation] which states that the wages of MSMEs may not follow the minimum wage as long as they are not below the poverty line,” concluded Ellena. In addition, the poverty line for South Jakarta last year was around IDR 730,000.

Apart from the pros and cons of the Omnibus Law, the process is still ongoing. The government is determined to finish it as soon as possible. Meanwhile, the wave of protests, especially from groups of workers and students to reject this omnibus rule, is yet to end.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Menilik Efek Omnibus Law Bagi Ekosistem Kerja Startup

Di tengah bombardir kabar suram dari wabah corona virus disease 2019 (COVID-19), ada satu isu penting yang akan berpengaruh pada hajat hidup orang banyak. Isu itu adalah rancangan Omnibus Law yang merupakan payung untuk banyak undang-undang sekaligus.

Omnibus Law sudah menjadi polemik sejak tahun lalu dan kian menyedot perhatian bersama di awal tahun ini. Pasalnya hukum sapu jagat ini bakal mengubah banyak undang-undang berkaitan dengan periuk masyarakat seperti RUU UMKM, RUU Perpajakan, dan RUU Cipta Lapangan Kerja. RUU terakhir merupakan pemantik utama ketidaksetujuan banyak kalangan atas pembuatan Omnibus Law.

Pemerintah membutuhkan Omnibus Law untuk menyederhanakan regulasi yang dianggap terlampau gemuk sehingga sulit mengambil keputusan. Motivasi pemerintah ini juga didasari oleh kebutuhan dalam memenangi kompetisi dengan negara lai. Semua masih di dalam koridor yang sama: menarik investasi lebih banyak demi mencapai target perekonomian.

Dampak bagi startup

Omnibus Law jelas juga membawa dampaknya ke ekosistem startup dalam negeri. Sejumlah pasal terpampang jelas bakal membawa perubahan. Contohnya adalah perubahan di Pasal 42 tentang Ketenagakerjaan.

Di beleid yang masih beraku saat ini, Pasal 42 mewajibkan tenaga kerja asing mendapat izin tertulis untuk bisa bekerja di Indonesia dengan pengecualian staf diplomatik dan konsuler. Dalam draf terbaru, pengecualian diperluas hingga tenaga kerja asing di jenis kegiatan startup.

Perubahan di Pasal 56 juga jadi sorotan karena memberi keleluasaan lebih bagi pemberi kerja karena hubungan kerja kontrak dapat berlangsung seumur hidup. Artinya tak ada kewajiban secara hukum bagi pemberi kerja untuk mengangkat status kepegawaian menjadi permanen.

Pasal- pasal ini membawa dilema tersendiri bagi para pekerja dan pendiri startup. CEO & Founder Izy.ai Gerry Mangentang menjelaskan bahwa model bisnis startup selalu menuntut bekerja lebih cepat dan mengejar target dalam jangka waktu relatif singkat. Akibat tuntutan itu, startup lebih suka mencari developer atau engineer lokal yang secara pengalaman sudah matang namun nyatanya ketersediaannya masih jauh dari cukup.

“Pada saat startup closing funding biasanya dimaksudkan untuk runway 12-18 bulan. Jadi dari awal kami dituntut untuk harus bisa ngebut sehingga banyak yang prefer untuk hire developer yang sudah jadi atau akhirnya ya outsource,” ucap Gerry.

Kendati demikian Gerry mengaku tetap mengutamakan talenta lokal. Itu sebabnya saban waktu ia kerap menolak tawaran outsourcing dari luar negeri yang memenuhi surelnya. Secara tak langsung ia menilai kebutuhan akan tenaga kerja asing tak akan dibutuhkan selama sudah terpenuhi di dalam negeri.

“Sayangnya sulit buat cari developer [lokal] bagus sekarang ini karena rata-rata sudah bekerja di startup-startup besar plus ratenya pun sudah tinggi,” imbuhnya.

CEO & Founder Prosa.ai Teguh Eko Budiarto sejatinya sepakat dengan semangat kemudahan mendatangkan talenta asing yang diusung Pasal 42. Namun Teguh mengkritik tak adanya persyaratan dalam beleid itu yang menunjukkan kebutuhan akan tenaga kerja asing itu bersifat penting.

“Permasalahannya, tidak ada persyaratan untuk memastikan tidak adanya tenaga dari dalam negeri terlebih dahulu, sehingga persaingan pekerja pada level tertentu menjadi semakin besar,” sebutnya.

Sementara untuk Pasal 56, Teguh mengaku tak begitu melihat pengaruh yang akan dibawa pasal tersebut. Ini karena menurutnya model bisnis startup selalu penuh ketidakpastian. “Lain halnya apabila startup tersebut sudah melewati fase scale up dan sudah mendapatkan profit yang berkesinambungan,” cetus Teguh.

Risiko pekerja bertambah

Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ellena Ekarahendy menggarisbawahi permasalahan yang dibawa oleh Omnibus Law adalah ancaman berkurangnya perlindungan terhadap pekerja tanpa pandang bulu. Ini artinya Omnibus Law dianggap sebagai musuh bersama bagi seluruh kelompok pekerja dan mendesak pemegang kewenangan memberi perlindungan yang konkret.

“Toh, banyak juga kan developer Indonesia yang menjadi tenaga kerja asing secara virtual dengan kemudahan ekonomi sekarang? Yang penting adalah menagih adanya perlindungan terhadap pekerja, apapun kewarganegaraannya,” tegas Ellena.

Ellena mengkritisi sikap pemerintah dan parlemen yang terlalu menganakemaskan kepentingan pemilik usaha yang tersebar di sejumlah pasal. Contohnya adalah fleksibilitas sistem kontrak yang dimuat di Pasal 56 tadi.

Ada juga penambahan alasan perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) di Pasal 154A, yang nantinya dikhawatirkan startup dapat melakukan PHK begitu saja ketika terjadi akuisisi, efisiensi, merger, dan divestasi. Sebagai catatan, aturan sebelumnya hanya memperbolehkan perusahaan melakukan PHK hanya ketika terjadi merger.

“Selain itu, perlu disoroti di Pasal 90B Cilaka [Cipta Lapangan Kerja] yang mengatakan kalau upah UMKM boleh tidak mengikuti upah minimum selama tidak berada di bawah garis kemiskinan,” pungkas Ellena. Sebagai tambahan garis kemiskinan Jakarta Selatan tahun lalu sekitar Rp730.000.

Terlepas dari poin pro dan kontra dari Omnibus Law ini, proses pembuatannya masih berjalan. Pemerintah bertekad segera merampungkannya secepat mungkin. Sementara itu gelombang protes terutama dari kelompok buruh dan mahasiswa untuk menolak peraturan sapu jagat ini pun tak kunjung padam.

Saat Hoaks yang Dibuat Makin Canggih, Kecerdasan Buatan Jadi Harapan Melawannya

Persoalan berita palsu atau hoaks bukan soal remeh-temeh lagi. Selain muatannya yang berbahaya, sebarannya yang masif melalui media sosial merupakan ancaman nyata bagi siapa pun termasuk sebuah negara.

Seiring berkembangnya teknologi, berita palsu dan hoaks juga menjelma lebih canggih seperti menggunakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk memanipulasi audio atau video. Namun seperti halnya kejahatan itu dibuat, solusi dalam melawan berita palsu dan hoaks juga terletak pada AI seperti yang dijelaskan CEO Prosa.ai Teguh Eko Budiarto dalam #SelasaStartup edisi kali ini.

Produksi dan sebaran hoaks memang tanpa henti. Kementerian Komunikasi dan Informatika mengidentifikasi sekitar 771 hoaks dan 800.000 situs penyebar hoaks sepanjang Agustus 2018 hingga Februari 2019. Chatbot Anti Hoaks, chatbot buatan Kominfo dan Prosa yang ada di Line dan Telegram, menerima 2.103 aduan hoaks dari April-Agustus 2019.

“Untuk menggunakan manusia saja untuk melawan ini tidak cukup. Kita perlu mengotomatisasi deteksinya lalu menetralisasinya,” ujar Teguh.

Seperti yang dikatakan Teguh di awal, dampak hoaks memang sudah tak bisa dianggap remeh. Amerika Serikat dilanda badai berita palsu dan hoaks pada pemilu terakhir, Myanmar mengalami kerusuhan besar antaretnis akibat hoaks di Facebook, hingga Jerman menciptakan peraturan baru untuk menghukum platform media sosial jika gagal mencegah penyebaran hoaks di sana.

Menurut Teguh, sebuah kabar palsu atau hoaks kerap kali difabrikasi dengan tujuan tertentu, entah itu untuk melenyapkan legitimasi targetnya atau untuk menggoyang pemerintahan yang demokratis.

“AI sama manusia beda. Ketika bohong manusia merasa tingling atau seperti merinding tapi AI tidak. Perlu AI untuk mengetahui berita palsu buatan AI,” ucap Teguh.

Hoax Intel buatan Prosa merupakan contoh pemanfaatan AI untuk membasmi berita palsu. Chatbot Anti-Hoaks juga menjadi wujud pemanfaatan lain yang dilakukan bersama Kominfo untuk menjaring hoaks yang lebih banyak di tengah masyarakat.

Cara kerja mesin ini sederhananya dimulai dari memasukkan sebuah kabar yang sudah beredar untuk diverifikasi. Mesin kemudian bakal melakukan analisis terhadap kueri dan memeriksa di pangkalan data untuk menguji apakah kabar itu hoaks atau bukan.

Dari rangkaian proses itu, keterlibatan manusia hanya terletak pada pengaduan yang bisa dilakukan lewat situs web pemerintah, aplikasi Line, dan Telegram; serta diskusi dalam menarik kesimpulan tentang informasi tersebut.

Teguh mengatakan sejauh ini mesin mereka masih terbatas pada teks. namun ia menjanjikan deteksi serupa dapat dilakukan pada hoaks berbentuk gambar dan video serta terintegrasi di media sosial dan mesin pencari sesegera mungkin.

“Ini masih jauh dari sempurna tapi setidaknya kita sudah menemukan titik terang. Ada harapan dengan banyaknya informasi yang tersebar kita punya senjata untuk memeranginya,” pungkas Teguh.

Prosa.ai Dapatkan Pendanaan Seri A dari GDP Venture

Prosa.ai startup pengembang platform artificial intelligence (AI) untuk teknologi pemrosesan teks (NLP – Natural Language Processing) dan pengenalan suara dalam Bahasa Indonesia, hari ini (20/6) mengumumkan perolehan pendanaan seri A yang dipimpin oleh GDP Venture. Tidak disebutkan nominal dana diterima. Investasi tersebut melanjutkan pendanaan awal yang diterima tahun lalu dari Kaskus (juga merupakan portofolio GDP Venture)

“Walaupun jumlah talent AI terbatas termasuk di Indonesia, tetapi para pendiri Prosa.ai menunjukkan bahwa Indonesia mampu untuk mengembangkan teknologi AI dan Prosa.ai pun telah menunjukkan progress yang sangat baik dalam waktu singkat,” sambut CEO GDP Venture Martin Hartono.

Ia juga mengatakan, AI merupakan teknologi yang sedang berkembang dan sangat dibutuhkan untuk menunjang berbagai industri. Sehingga berinvestasi pada teknologi AI merupakan langkah strategis bagi perusahaannya dan diharapkan dapat berpartisipasi dalam kemajuan teknologi di Indonesia.

Prosa.ai didirikan sejak tahun 2018, berawal dari hasil riset para co-founder yakni Ayu Purwarianti, Dessi Puji Lestari dan Teguh Eko Budiarto. Belum lama ini, Prosa.ai bekerja sama dengan Kominfo meluncurkan Chatbot AntiHoaks yang berfungsi untuk mengecek berita, artikel atau tautan yang diberikan oleh masyarakat melalui fitur chat.

“Pendanaan yang kami dapatkan akan kami gunakan untuk memperkuat tim kami, meningkatkan kualitas produk dan data kami menjadi lebih baik lagi. Beberapa produk yang akan kami tingkatkan lagi kualitasnya, seperti Prosa Hoax Intel, NLP Toolkit API, Concept-Sentiment, Chatbot NLP Processing, Text Data Sets, Voice Biometrics, Speech Datasets, Speech-to-Text, Text-to-Speech, Conversational Analytics and Meeting Analytics for Bahasa Indonesia,” ungkap CEO Prosa.ai Teguh Eko Budiarto.

On Lee selaku CTO GDP Venture dan CEO & CTO GDP Labs yang merupakan salah satu Board Directors dari Prosa.ai mengatakan, “GDP Venture sangat senang diberi kesempatan untuk mendanai Prosa.ai karena perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan AI terbaik di Indonesia yang didirikan oleh founders yang kredibel dan mempunyai pengalaman dibidang AI dibarengi dengan tim yang solid dan teknologi yang andal.”

Kemkominfo Perkenalkan “Chatbot Anti Hoaks”, Didukung Teknologi Prosa.ai

Kemkominfo kembali meluncurkan layanan untuk membantu memerangi penyebaran hoaks atau berita bohong. Layanan baru ini berbentuk chatbot yang bisa diakses melalui platform Telegram. Dalam pengembangannya Kemkominfo menggandeng Prosa.ai sebagai penyedia teknologi.

Chatbot ini dinamai dengan “Chatbot Anti Hoaks” dan bekerja mengecek berita, artikel, atau tautan yang diberikan masyarakat melalui fitur chat. Kemudahan pengaksesan chatbot ini diharapkan menjadi salah satu solusi meredam atau mengurangi berita hoaks yang meresahkan masyarakat.

“Chatbot Anti Hoax milik Kominfo ini dapat dikatakan sebagai Enhanced Search Bot untuk Hoaks, karena cara kerjanya seperti search engine, tetapi lebih spesifik untuk hoaks. Enhanced search engine ini memanfaatkan teknologi NLP (Natural Language Processing) yang dibangun terutama untuk bahasa Indonesia yang digunakan pada saat pre-processing dan post-processing pencarian pada database hoaks agar dapat menemukan artikel referensi yang paling relevan dengan artikel yang dicari oleh pengguna,” jelas CEO Prosa.ai Teguh Eko Budiarto.

Chatbot Anti Hoaks ini bekerja jika pengguna mengirimkan pesan ke akun @chatbotantihoaks di platform Telegram. Selanjutnya chatbot akan menampilkan informasi klarifikasi hoaks yang berasal dari database Mesin AIS Kemkominfo.

Dalam keterangan resminya, Dirjen Aptika Kemkominfo Semuel A Pangerapan menyampaikan bahwa Chatbot Anti Hoaks merupakan salah satu cara yang dilakukan Kemkominfo untuk memerangi hoaks.

“Kita menyediakan satu layanan di Telegram. Masyarakat pengguna jika meragukan satu informasi bisa menanyakan dan platform harus bertanggung jawab,” terang Semuel.

Mesin AIS milik Kemkominfo diklaim bekerja 24/7 non stop untuk membantu mengklarifikasi dan memerangi hoaks, informasi menyesatkan, dan ujaran kebencian dengan didukung oleh 100 anggota tim verifikator.

“Database [haoks] tersebut di-update melalui saluran aduan hoaks yang nantinya akan dilakukan investigasi bersama oleh berbagai pihak terkait. Salah satu bagian dari sistem ini adalah sebuah aplikasi forum diskusi internal yang disebut dengan Hoax Verification Platfom yang akan diisi dengan hasil investigasi oleh jurnalis media dan verifikator, seperti Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), dengan dimoderasi oleh tim Kominfo. Jadi, yang berwenang untuk menentukan sebuah berita itu adalah hoaks atau tidak dan meng-update-nya ke database adalah tim Kominfo,” imbuh Teguh.

Platform chat dipilih karena termasuk platform yang mudah dan populer di kalangan masyarakat. Dengan teknologi chatbot yang tersedia, diharapkan masyarakat bisa dengan mudah dan cepat mendapatkan klarifikasi. Ke depannya Chatbot Anti Hoaks juga akan tersedia di platform lainnya, seperti Whatsapp dan Line.

“Kami sangat senang akan kerja sama ini yang dapat meningkatkan peran serta semua pihak dalam memerangi hoaks dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menyampaikan kebenaran dan melakukan ricek sebelum menyebarkan informasi. Kami harap ke depannya akan semakin banyak pihak yang mendukung dan bekerja sama langsung untuk meningkatkan kelengkapan dan keakurasian sistem ini agar semakin bermanfaat pada lebih banyak orang lagi,” imbuh Teguh.