Go-Jek Luncurkan Get Versi Beta di Thailand

Go-Jek melengkapi perjalanan luar biasa di tahun 2018 ini dengan mengumumkan peluncuran versi beta layanan mereka, Get, untuk pasar Thailand. Peluncuran versi beta ini adalah awal dari upaya Go-Jek memenangi pasar di Asia Tenggara di mana saat ini mereka telah beroperasi di Indonesia, Vietnam, Singapura dan Thailand. Strategi yang dibawa Go-Jek masih sama, memanfaatkan keahlian mereka di bidang teknologi untuk menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan “pelokalan”.

Rencana untuk memenangi pasar di Asia Tenggara sudah diumumkan Go-Jek pertengahan tahun 2018 ini. Sasarannya pun cukup jelas, negara-negara dengan permasalahan transportasi, sama seperti Jakarta dan kota-kota padat penduduk lainnya. Di pertengahan bulan Desember 2018 Go-Jek akhirnya meluncurkan versi beta untuk layanan mereka di Thailand, Get.

Di versi beta aplikasi Get akan menawarkan dua jenis layanan, pertama layanan transportasi yang dinamai Get Win dan layanan delivery Get Delivery. Dengan pengalaman Go-Jek di Indonesia yang sudah memiliki banyak jenis layanan, secara berangsur Get juga akan berkembang ke arah yang sama, melihat bagaimana dan apa yang dibutuhkan pasar Thailand.

Penetrasi regional dengan mengandalkan tim lokal

Setelah mendapatkan perkembangan yang cukup luar biasa di tahun 2017, baik dari segi investor dan inovasi sejumlah layanan, Go-Jek memutuskan masuk ke persaingan aplikasi transportasi di Asia Tenggara. Menantang Grab yang saat ini menjadi satu-satunya layanan transportasi online yang beroperasi di Asia Tenggara selepas perginya Uber.

Sejak awal pihak Go-Jek sudah memiliki rencana untuk menyesuaikan diri dengan permasalahan lokal, permasalahan masing-masing negara. Salah satu alasan mengapa Go-Jek selalu memiliki tim lokal dan memiliki ciri khas di masing-masing negera.

Seperti yang kita ketahui Go-Jek memakai nama Go-Viet untuk layanan mereka di Vietnam dan menggunakan warna merah, warna yang berbeda dengan Go-Jek di Indonesia dengan warna dominan Hijau. Sementara untuk Thailand, Go-Jek mengusung nama Get dengan warna kuning.

Di Singapura, Go-Jek menggunakan nama yang sama tetapi ada penyesuaian dari layanan yang diberikan. Tidak adanya armada motor atau ojek.

Get dideskripsikan sebagai “managed and run by Thais for Thais“, Sebuah kalimat yang memperlihatkan dengan jelas bahwa Go-Jek mengusung rencana pelokalan di Thailand. Rencana pelokalan ini memang sudah jauh hari dilontarkan Go-Jek. Salah satunya adalah ketika Go-Jek mengumumkan untuk melakukan ekspansi ke regional Asia Tenggara.

“Strategi kami adalah mengkombinasikan teknologi kelas dunia yang telah dikembangkan Go-Jek, dengan keahlian, pengalaman serta pengetahuan pasar yang mendalam yang dimiliki tim lokal, untuk menciptakan bisnis yang benar-benar memahami kebutuhan konsumen. Kami percaya masing-masing tim lokal memiliki pengetahuan dan keahlian untuk memastikan kesukesan bisnis di Vietnam dan Thailand,” terang Founder Go-Jek Nadiem Makarim.

Tim Go-Jek di Thailand sendiri dipimpin CEO Get Pinya Nittayakasetwat. Dengan keahlian Go-Jek tentang teknologi dan pemahaman lokal tim Get, diharapkan kombinasi keduanya bisa memberikan solusi yang dibutuhkan bagi Thailand.

“Tim Get terinspirasi oleh cara perusahaan (Go-Jek) memutarbalikkan masalah sehari-hari menjadi peluang bisnis yang sekaligus meningkatkan kualitas hidup jutaan orang. Kami bergerak dengan filosofi yang sama, dan kami bersemangat untuk menghadirkan dampak positif bagi masyarakat Thailand,” terang Nittayakasetwat, seperti dikutip dari blog resmi Go-Jek.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

SMDV Leads $20 Million Funding for Eko, Thailand-Based SaaS Business Startup

A Thai-based startup developer for collaboration and communication platform named Eko has just announced $20 million series B funding. It was led by Sinar Mas Digital Ventures (SMDV). Also participated are some other investors, including RedBeat Ventures (AirAsia’s investment arm), East Ventures, and Gobi Partners.

Korawad Chearavanont, Eko’s CEO & Founder said this funding is to be used for market expansion to Europe, England, and the US. In fact, he is part of Thai conglomerate Chearavanont, leading the Charoen Pokphand Group.

Eko‘s app is slightly reminiscing to some other platforms, such as Slack, Microsoft Teams, and Facebook Workplace. However, he said the product was developed to be more than just communication or collaboration tool. Attached also some features to support remote work.

There are some features designed specifically for workflow in Eko’s app. Those include hierarchy approval system, assignment, digital signature, and audit facilities. Eko solution is designed to facilitate various types of business, such as hospitality, retail, corporate, construction, and health sector.

As an SaaS, Eko was introduced as a subscription product – presented in packaged sort by business scale. In IDC’s observation, the collaboration platform has big potential. It’s capable to reach $31 billion by 2022. Due to the latest trend for companies trying to change the internal culture in digital transformation.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

SMDV Pimpin Pendanaan $20 Juta untuk Eko, Startup SaaS Bisnis Asal Thailand

Startup pengembang platform komunikasi dan kolaborasi bisnis asal Thailand bernama Eko baru saja mengumumkan pendanaan seri B senilai $20 juta. Pendanaan tersebut dipimpin Sinar Mas Digital Ventures (SMDV), dengan partisipasi beberapa investor lain termasuk RedBeat Ventures (unit investasi dari AirAsia), Eas Ventures, dan Gobi Partners.

Founder & CEO Eko, Korawad Chearavanont, mengatakan bahwa perolehan modal kali ini akan digunakan untuk melakukan ekspansi pasar ke Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat. Sebagai informasi, Korawad merupakan keluarga dari konglomerat bisnis Chearavanont di Thailand, memimpin Charoen Pokphand Group.

Aplikasi Eko sekilas mengingatkan pada beberapa platform, seperti Slack, Microsoft Teams, juga Facebook Workplace. Namun demikian Korawad menyampaikan, bahwa produk yang dikembangkan lebih dari sekadar alat untuk komunikasi dan kolaborasi. Karena di dalamnya juga didesain berbagai fitur untuk menunjang pekerjaan secara jarak jauh.

Ada berbagai fitur yang didesain untuk alur kerja di dalam aplikasi Eko. Beberapa di antaranya sistem persetujuan hierarki, penugasan, tanda tangan digital hingga fasilitas untuk keperluan audit. Solusi Eko didesain untuk memfasilitasi beragam jenis bisnis, mulai dari perhotelan, ritel, korporasi, konstruksi hingga bidang kesehatan.

Sebagai sebuah SaaS, Eko dijajakan dalam bentuk berlangganan – disediakan dalam paket-paket sesuai ukuran bisnis. Menurut penelitian IDC, potensi platform kolaborasi seperti itu cukup besar. Nilainya akan mencapai $31 miliar pada 2022 mendatang. Hal ini dikarenakan adanya tren perusahaan yang berbondong-bondong mencoba mengubah kultur internal dalam transformasi digital.

Application Information Will Show Up Here

Ralali Amankan Pendanaan 104 Miliar Rupiah, Siapkan Ekspansi Regional

Ralali, perusahaan marketplace B2B, berhasil mengamankan pendanaan Seri B senilai $7 juta atau lebih dari Rp 100 miliar dari sejumlah investor, termasuk SBI Group, AddVentures (perusahaan venture capital SCG), dan Digital Garage. Pendanaan kali ini diharapkan bisa mempercepat misi Ralali untuk bisa melayani 30 juta UKM di Indonesia dan juga ekspansi ke pasar global dengan menyediakan solusi untuk segmen bisnis yang lebih luas.

“Kami telah memperluas jangkauan MRO dan perlengkapan kantor ke segmentasi bisnis lainnya, seperti pasokan makanan, bahanan bagunan dan perlengkapan otomotif,” papar CEO Ralali Joseph Aditya.

Ralali mengklaim saat ini bisnis mereka telah berhasil menghubungkan sekitar 150.000 reseller, pengusaha grosir dan pengecer di lebih dari 10.000 pemasok di 20 kota. Transaksi tahunan Ralali juga disebut meningkat, tumbuh lima kali dari tahun sebelumnya, dengan basket size per transaksi senilai $2000.

Selama empat tahun terakhir, Ralali berusaha memanfaatkan pengalaman yang dimiliki dan berusaha untuk memahami pasar Indonesia. Ralali juga telah membantu spuplier menjual langsung dan bertansaksi online yang langsung mengarah ke profiling pengguna. Data ini kemudian dimanfaatkan Ralali untuk membangun platform pinjaman keuangan yang mendukung kredit modal kerja yang akan didanai oleh investasi ini.

“Kami percaya platform e-commerce B2B akan memiliki pertumbuhan yang menjanjikan dan kami dapat mendukungnya di bidang fintech seperti memperkanalkan platform pinjaman keuangan kepada mereka,” terang Executive Officer of SBI Investment Tomoyuki Nii.

Sementara itu, SCG yang juga terlibat dalam pendanaan kali ini akan mengambil peran membantu perusahaan memperluas potensi pasar secara digital. SCG juga disebut akan ambil bagian di model vertikal Ralali sebagai top tier penyedia kebutuhan bisnis. Ralali dan SCG juga akan berkolaborasi dalam mengembangkan ekosistem digital supply-chain secara Global dan Cross-ASEAN. Salah satu langkah awalnya adalah menyiapkan ekspansi ke Thailand di Q1 2019.

“Platform e-commerce B2B di pasar berkembang masih terfragmentasi dalam hal rantai pasokan. Kami berusaha untuk memungkinkan binsis memiliki integrasi yang lebih baik dalam hal penawaran produk dikombinasikan dengan layanan dalam satu platform. Target kita untuk mencapai $1 miliar dari penjualan kotor pada tahun 2020,” tutup Joseph.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Di Balik Ekspansi Regional Go-Jek

Pasca mengumumkan peresmian kehadiran Go-Jek di Thailand dan Vietnam, Founder dan CEO Go-Jek Nadiem Makarim menuturkan bagaimana strategi perusahaan ke depannya, serta persaingannya dengan pemain ride hailing raksasa di Asia Tenggara, Grab dalam suatu wawancara bersama CNBC.

Nadiem menuturkan strategi yang dipilih Go-Jek untuk bersaing adalah bermitra dengan tim lokal. Menurutnya keberadaan tim lokal diharapkan dapat menerjemahkan konsep yang sudah dijalankan Go-Jek ke dalam konteks lokal. Untuk itu, perusahaan melakukan bimbingan kepada mereka tentang apa saja yang telah dipelajari Go-Jek agar sukses dan hal apa saja yang tidak berhasil di jalankan di Indonesia.

Dengan strategi membimbing dari jarak jauh, harapannya seiring waktu berjalan mereka dapat benar-benar menciptakan strategi yang unik untuk pasarnya masing-masing. Baik itu dalam hal memilih produk yang akan diluncurkan, urutan bagaimana meluncurkannya, dan bagaimana mereka melakukannya, hingga bagaimana ingin memposisikan merek di pasar.

Penamaan merek itu sendiri, sambung Nadiem, seluruhnya diserahkan kepada tim lokal mau diubah ataupun tidak. Beberapa negara yang akan disambangi Go-Jek, bahkan memutuskan untuk tetap memakai nama Go-Jek. Seperti terlihat dari nama resmi yang diumumkan Go-Jek saat mengumumkan peresmian namanya di Thailand dengan nama GET, sementara di Vietnam dengan Go-Viet.

“Tim lokal merasa nama Go-Jek adalah nama yang sangat baik dan memiliki esensi merek yang baik pula,” terangnya.

Dari sisi strategi promosi pun, Nadiem mengungkapkan pihaknya sudah menyiapkan berbagai strategi yang diklaim akan lebih adil dan lebih cerdas, sehingga dapat menguntungkan baik bagi pengemudi maupun pelanggan. Namun cara yang dipakai akan lebih cerdas dan bisa dilakukan secara berkelanjutan.

Cara ini menurutnya bisa didapat dari penyempurnaan yang selama kompetisi berlangsung, lambat laun perusahaan memahami bagaimana cara bermanuver dan menciptakan efisiensi dalam promosi dan mengembangkan pasar. Dia pun memberi perumpamaan, lebih baik pertahankan konsumen yang kurus namun daya konsumsinya lebih banyak daripada mempertahankan konsumen bertubuh gemuk dengan konsumsi yang lebih sedikit dari orang sebelumnya.

“Kami telah berada di masa tersebut sepanjang waktu ini dan sekarang kami bertukar giliran, di mana kami akan melakukan pelanggaran dan menciptakan opsi untuk pengemudi dan pelanggan.”

Dia melanjutkan, jika dalam suatu pasar hanya ada satu opsi maka potensi kemauan konsumen untuk mencoba opsi kedua akan sangat besar sekali. Pasalnya jika dilihat dari dua perspeketif berbeda, setiap pengemudi ingin ada pilihan, setiap konsumen ingin kompetisi. Maka menurutnya hal tersebut adalah pemicu terbesar yang akan memastikan bahwa Go-Jek bisa sukses.

“Itulah yang kami harapkan bisa membuka jalan jadi lebih relatif lancar.”

Di samping itu, memberikan pilihan layanan bagi semua orang adalah inti utama yang ingin diberikan Go-Jek. Dari tim internal, dia dan tim banyak berpikir bahwa Go-Jek telah membangun cukup banyak perusahaan dan layanan di Indonesia, apakah model seperti ini bisa diekspor. Apakah tim bisa menemukan cara baru untuk benar-benar menggerakkan negara berkembang secara digital atau sangat spesifik untuk Indonesia.

“Tingkat keingintahuan itu sangat tinggi bagi semua orang di Go-Jek. Jadi bagi kami itu akan sangat menarik untuk pergi keluar dari Indonesia untuk melihat apakah model ini bisa direplikasi dalam konteks budaya yang berbeda.”

Momen tepat ekspansi

Tak hanya membicarakan strategi, Nadiem juga mengungkapkan terkait tepatnya momen pengumuman ekspansi Go-Jek beberapa saat setelah Uber mengumumkan penutupan bisnisnya di Asia Tenggara. Nadiem bilang bahwa banyak hal yang kebetulan terjadi pada Go-Jek dan itu jadi semacam suatu kekuatan inti utama dari mereka.

Dia melihat pelajaran pertama yang bisa diambil dari Uber adalah sangat sulit dan mahal harganya untuk mempertahankan satu vertikal bisnis saja. Untuk mempertahankan dan melibatkan pengguna, perusahaan perlu melibatkan diri dengan mengambil beberapa momen dalam kehidupan sehari-hari mereka. Makanya, dia menempatkan Go-Jek sebagai rumah, platform, dan hub.

“Untuk menjadi bisnis jangka panjang dan berkelanjutan, harus menjadi platform. Anda perlu memiliki banyak layanan dan mereka harus perkuat satu sama lain. Bagaimana menciptakan sinergi dari sisi suplai, strategi retensi dari sisi demand.”

Hal ini terjadi di Go-Jek, di mana setiap kali meluncurkan layanan, proses akuisisi pengguna Go-Jek terus meningkat karena perusahaan hanya mengonversi pengguna yang sudah ada untuk mencoba hal baru, hal baru, dan hal baru. Ini berdampak pada biaya akuisisi setiap pelanggan baru dalam setiap vertikal baru terus menurun.

Baginya, proses ini adalah siklus yang sangat positif sehingga semakin banyak vertikal yang diciptakan dari platform, semakin banyak monetisasinya, tingkat konsumen yang kembali ke platform pun akan semakin tinggi.

“Tidak masalah dari mana mereka berasal, mungkin dari transportasi ride hailing, atau dari Go-Food, Go-Pulsa atau Go-Tix, yang terpenting ketika pengguna terpaku dengan satu layanan yang bisa menyelesaikan masalah mereka jauh lebih mudah, akan lebih mudah meraih mereka,” pungkas Nadiem.

Go-Jek Introduces Go-Viet in Vietnam and GET in Thailand

Go-Jek officially announces operational in Vietnam (Go-Viet) and Thailand (GET) with local entity for the first batch of its international expansion in Southeast Asia. Both companies are under local founder, supported by insights, skills, technology, and investment from Go-Jek.

Go-Viet will enter a beta testing stage in July. It involves some drivers and consumers, before going fully launched in several months. GET is going to follow, due to consulting process that is on progress with local authorities, including government, driver partners, and consumers.

In the beginning, both companies will provide ride-hailing service and logistics, later to be followed by food ordering & delivery and electronic payment. The next target are Singapore and the Philippines.

Nadiem Makarim, Go-Jek’s CEO and Founder said, the company has a strategy to combine world-class technology developed by Go-Jek through skills, experience, and deep market knowledge of local team to build a business which truly understands what consumers need.

“We believe each local team has the knowledge and expertise to ensure business success in Vietnam and Thailand. They use a different brand, but work in line with the values which brought Go-Jek as the market leader in Indonesia,” he said in the official statement.

Nguyen Vu Duc, Go-Viet’s CEO and Co-Founder added, “Go-Jek’s support is very ideal for us, not only because the technology and skill in this business, but also the same principle we share, it’s the desire to bring positive impact for the public through improving the living standard and income, as well as increasing SMEs business scale.”

Pinya Nittayakasetwat, CEO and Co-Founder of GET added, “Go-Jek succeeded in becoming the first unicorn to grow in Indonesia because they’re capable to use technology as a solution to the most difficult challenge in the country. GET team is inspired by the way companies twist their daily problems into business opportunities, also improving the living standard of millions.”

The international expansion was going through months of planning after the last Go-Jek investment round from Astra International, Warburg Pincus, KKR, Meituan, Tencent, Google, Temasek, and others. $500 million (about Rp7.1 trillion) is allocated for international expansion along with the company’s strategy to expand in Southeast Asia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Go-Jek Resmikan Go-Viet di Vietnam dan GET di Thailand

Go-Jek mengumumkan peresmian operasionalnya di Vietnam (Go-Viet) dan Thailand (GET) dengan badan hukum lokal untuk gelombang pertama ekspansi internasionalnya di negara-negara Asia Tenggara. Kedua perusahaan tersebut dikelola tim manajemen sekaligus pendiri lokal, didukung dengan pengetahuan, keahlian, teknologi, dan investasi dari Go-Jek.

Go-Viet akan memasuki tahap beta testing di bulan Juli mendatang, melibatkan sejumlah pengemudi dan konsumen, sebelum diluncurkan secara penuh dalam beberapa bulan mendatang. GET akan menyusul kemudian, lantaran proses konsultasi yang masih berjalan berbagai pemangku kepentingan setempat, termasuk pemerintah, mitra pengemudi, dan konsumen.

Kedua perusahaan tersebut pada tahap awal akan menghadirkan layanan ride hailing dan logistik, yang kemudian akan diiikuti oleh layanan pesan antar makanan dan pembayaran elektronik. Nnegara berikutnya yang akan disasar Go-Jek adalah Singapura dan Filipina.

CEO dan Founder Go-Jek Nadiem Makarim menuturkan perusahaan memiliki strategi mengombinasikan teknologi kelas dunia yang telah dikembangkan Go-Jek dengan keahlian, pengalaman, serta pengetahuan pasar yang mendalam yang dimiliki tim lokal untuk menciptakan bisnis yang benar-benar memahami kebutuhan konsumen.

“Kami percaya masing-masing tim lokal memiliki pengetahuan dan keahlian untuk memastikan kesuksean bisnis di Vietnam dan Thailand. Mereka memang menggunakan merk yang berbeda, namun tetap beroperasi sejalan dengan nilai-nilai yang telah berhasil menjadikan Go-Jek pemimpin pasar di Indonesia,” kata Nadiem dalam keterangan resminya.

CEO dan Co-Founder Go-Viet Nguyen Vu Duc menambahkan, “Dukungan Go-Jek sangat ideal bagi kami, tidak hanya karena tidak hanya teknologi dan kepiawannya di bisnis ini, tetapi juga karena kita memiliki prinsip yang sama, yaitu hasrat untuk membawa dampak positif bagi masyarakat melalui peningkatan taraf hidup dan penghasilan, serta menumbuhkembangkan bisnis skala UKM.”

CEO dan Co-Founder GET Pinya Nittayakasetwat menimpali, “Go-Jek berhasil menjadi perusahaan unicorn pertama yang tumbuh di Indonesia karena mereka mampu menggunakan teknologi sebagai solusi untuk tantangan tersulit di negaranya. Tim GET terinspirasi oleh cara perusahaan memutarbalikkan masalah sehari-hari menjadi peluang bisnis sekaligus meningkatkan kualitas hidup jutaan orang.”

Ekspansi internasional ini dilakukan dengan perencanaan berbulan-bulan setelah ronde penggalangan investasi Go-Jek terakhir dari Astra International, Warburg Pincus, KKR, Meituan, Tencent, Google, Temasek dan lainnya. Dari investasi yang didapatkan, dana sebesar US$500 juta (sekitar Rp7,1 triliun) dialokasikan untuk ekspansi internasional sejalan dengan strategi perusahaan melebarkan sayapnya di Asia Tenggara.

Application Information Will Show Up Here

Fokus Layanan “Fashion Commerce” Pomelo di Indonesia Tahun Ini

Persoalan logistik hingga kini ternyata masih menjadi faktor kendala bagi layanan e-commerce di Indonesia. Salah satunya layanan fashion commerce asal Thailand Pomelo yang masih kesulitan mengatasi pengiriman barang untuk pelanggan di Indonesia.

Kepada DailySocial, PR & Marketing Manager Pomelo Sandra Wang mengungkapkan, Indonesia termasuk pasar yang kompetitif dan makin sulit untuk dipahami oleh layanan fashion commerce seperti Pomelo.

“Kami dari Pomelo berusaha mengatasi persoalan logistik ini agar lebih efisien lagi. Tantangan lain yang kerap kami hadapi selama menjalankan bisnis di Indonesia adalah perubahan minat dan selera pelanggan.”

Sandra menambahkan perubahan teknologi yang bergerak cepat juga menjadi salah satu kendala yang terus dicermati oleh Pomelo. Sebagai layanan fashion commerce yang menghadirkan desain milik sendiri dan dibuat khusus dari Bangkok, Pomelo selalu berupaya untuk tetap relevan.

“Salah satu strateginya adalah terus menciptakan brand baru dan menjualnya segera secara online. Hal tersebut yang menjadikan kami tampil lebih unggul dari kompetitor, dengan mengedepankan aplikasi dan situs kami,” kata Sandra.

Fokus Pomelo di tahun 2018

Pomelo didirikan tiga orang co-founder, yaitu CEO David Jou, Win Thanapisitikul, dan Casey Liang tahun 2013 lalu. Di Indonesia fokus usaha mereka adalah terus tumbuh sebagai brand dan membuat produk yang disukai pelanggan.

Selain itu Pomelo ingin meningkatkan awareness dan mendorong pemasaran brand dengan menggelar kegiatan offline secara berkala.

“Kami kerap mengadakan kegiatan offline seperti peluncuran koleksi terbaru, merayakan hari istimewa seperti Natal dan Lebaran. Selain cukup ampuh sebagai kegiatan pemasaran, acara offline ini juga memberikan kesempatan kepada kami bertemu langsung dengan pelanggan,” kata Sandra.

Disinggung sudah berapa pengguna aktif di Indonesia, Sandra enggan menyebutkan secara pasti. Namun layanan yang sudah hadir di 50 negara ini menawarkan proses pengiriman cepat, gratis biaya dengan pemesanan minimal Rp 200 ribu dan garansi gratis 365 hari pengembalian.

“Pomelo akan terus menghadirkan produk fesyen yang disukai oleh pelanggan, layanan pelanggan yang baik, pengiriman dan tentunya tampilan situs juga aplikasi kami,” tutup Sandra.

Application Information Will Show Up Here

Kabar Ekspansi Regional GO-JEK Terus Berhembus

Selain serangkaian pendanaan dari banyak pihak yang mengawali tahun ini, GO-JEK juga santer diisukan akan segera melebarkan sayap ke beberapa negara di Asia Tenggara. Setelah Filipina yang menjadi sasaran awal untuk tahun ini, kabar terbaru menyebutkan mereka sedang mempersiapkan diri masuk ke pasar Vietnam.

Dikabarkan DealStreetAsia, GO-JEK mempertimbangkan Vietnam sebagai destinasi ekspansi selanjutnya. Status Vietnam sebagai negara berkembang dengan banyaknya pengguna moda transportasi sepeda motor menjadi pertimbangan. Sejauh ini, kabar tersebut belum mendapat konfirmasi dari pihak GO-JEK.

Sebelumnya Menkominfo Rudiantara malah menyarankan GO-JEK untuk segera beroperasi di Thailand dan Filipina. Wacana GO-JEK berekspansi ke Filipina sudah ditiupkan akhir tahun lalu dalam wawancara CTO GO-JEK Ajey Gore dengan Reuters.

Menerka pertimbangan GO-JEK

Banyak yang memprediksi seharusnya persaingan Grab, Uber dan GO-JEK tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara di kawasan Asia Tenggara. Uber dan Grab sudah merambah negara-negara tersebut, tetapi GO-JEK tampaknya masih menyusun strategi dan menghimpun kekuatan.

Dari berbagai faktor yang bisa menjadi alasan GO-JEK tak kunjung berekspansi, faktor terbesar mungkin terletak pada pelokalan konten. Meskipun serumpun, masalah yang dihadapi di tiap negara tentu tidak sama. Kehadiran tim lokal pun sangat penting untuk memuluskan transfer pengetahuan tentang kebiasaan dan minat masyarakat setempat.

Di Vietnam sendiri juga terjadi kasus penyedia jasa transportasi reguler yang menuntut pemerintah memblokir dan menutup layanan transportasi online. Hal ini tak berbeda jauh dengan yang terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu.

Di sisi lain, GO-JEK saat ini sedang fokus mempersiapkan GO-PAY sebagai platform pembayaran yang ingin diterima berbagai mitra pasca akuisisi terhadap dua platform payment gateway. Tak hanya di dalam ekosistem GO-JEK, nantinya GO-PAY bisa digunakan untuk bertransaksi secara umum di berbagai toko ritel dan platform marketplace online.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Jojonomic Berekspansi ke Thailand

Jojonomic secara resmi telah mengumumkan kehadiran mereka di pasar Thailand. Sebelumnya mereka telah beroperasi di Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Kehadiran Jojonomic di Thailand merupakan salah satu perwujudan komitmen awal layanan ini yang berusaha merangkul pengguna di Asia Tenggara. Jojonomic akan mendirikan kantor di Thailand dan merekrut beberapa talenta lokal.

CEO Jojonomic Indrasto Budi Santoso, akrab dipanggil Asto, mengungkapkan bahwa pihaknya cukup tertarik dengan peluang yang ada di Thailand karena potensi pasar, pertumbuhan pasar, dan momen transformasi digital yang sedang berlangsung di sana. Prospek yang menjanjikan inilah yang coba dimanfaatkan Jojonomic.

“Sebelumnya telah ada konsumen Jojonomic di Thailand, sehingga kami melihat ada peluang di sana. Terlebih di Thailand juga belum ada perusahaan yang melakukan hal yang serupa dengan yang Jojonomic buat,” terang Asto tentang alasan di balik ekspansi kali ini.

Sebagai salah satu layanan teknologi finansial yang mengembangkan sistem manajemen keuangan, Jojonomic diklaim sudah berhasil mendapatkan pengguna yang signifikan. Kepada DailySocial, Asto menyebutkan mereka sudah dipercaya lebih dari ribuan staf perusahaan. Dengan ekspansinya kali ini, Jojonomic berusaha menyediakan dukungan prima utamanya untuk fitur multi-currency. Sekarang tercatat sudah terdapat beberapa mata uang utama yang telah tersedia fitur konversi otomatis di platform yang disesuaikan dengan kurs terkini.

Mengenai rencananya di Thailand, Asto menjelaskan selain membuka kantor operasional di sana, Jojonomic juga berencana untuk merekrut talenta lokal. Menurutnya saat ini tim yang berada di luar Indonesia mayoritas adalah sales representative.

Meski sebelumnya Jojonomic sudah mendapatkan pengguna dari Thailand, ekspansi sepenuhnya ke sebuah negara butuh strategi khusus. Asto menjelaskan bahwa tantangan terbesar mereka saat memasuki negara baru adalah mengenalkan produk. Ini juga tampaknya yang coba diusahakan Jojonomic di Thailand.

“Tantangan terbesar saat memasuki negara baru adalah mengenalkan produk, karena produk ini adalah sesuatu yang baru dan berkaitan dengan perubahan mindset untuk lebih efisien,” imbuh Asto.

Jojonomic sejak tahun 2015 sudah mencita-citakan untuk bisa merangkul pasar di Asia Tenggara. Dengan kondisi saat ini yang sudah beroperasi di empat negara, mereka makin dekat dengan cita-citanya. Asto juga berharap dengan ekspansi ini makin banyak negara lain yang menggunakan aplikasi Jojonomic.

“Selanjutnya diharapkan makin banyak negara lain menggunakan aplikasi Jojonomic. Diharapkan tahun ini dan seterusnya Jojonomic makin berkibar. Dalam waktu dekat akan ada surprise fitur dan inovasi baru Jojonomic. Stay tune,” tutup Asto.

Application Information Will Show Up Here