Memetik Pelajaran Enam Tahun Tiket Berdiri

Pemberitaan beberapa waktu lalu mengenai aksi korporasi yang dilakukan Grup Djarum lewat Blibli dengan mengakuisisi 100% layanan OTA Tiket menjadi suatu pelajaran berharga baik bagi Tiket maupun pengusaha startup lainnya, bahwa pada intinya perusahaan akan selalu membutuhkan kapital yang kuat untuk akselerasi bisnis.

Memilih Blibli, yang notabenenya adalah perusahaan terafiliasi dengan Grup Djarum, menjadi suatu nilai lebih bagi perusahaan. Pasalnya, Tiket hanya baru sekali mendapatkan pendanaan sepanjang enam tahun berdiri, dari angel investor senilai US$1 juta.

Diungkapkan sejak pendanaan tersebut, Tiket mengandalkan kemampuan sendiri untuk memutar uang dari kas perusahaan. Strategi tersebut memang bagus karena sehat bagi keuangan perusahaan. Namun hal ini dinilai jadi kurang relevan karena jarak ketertinggalan perusahaan agak jauh dengan kompetitor. Apalagi, Tiket bermimpi ingin kembali menjadi pemain OTA nomor 1 di Indonesia.

“Valuasi kita sudah triliunan, investasinya jadi susah karena kalibernya sudah sangat beda. Kita maunya [investor] dari lokal karena orang Tiket semuanya dari lokal, yang asing-asing dari Tiongkok itu malah sudah ngobrol-ngobrol. Makanya ini jadi susah. Tapi eventually, ada Grup Djarum yang interest, tapi mereka maunya full akuisisi,” terang Co-Founder dan CTO Tiket Natali Ardianto saat mengisi salah satu sesi di gelaran Ideafest 2017.

Natali melanjutkan, alasan Grup Djarum yang ingin akuisisi penuh Tiket cukup masuk akal. Karena bila dihitung-hitung, jika mereka hanya investasi sekian persen dengan nilai sekian rupiah, artinya Tiket hanya bisa memanfaatkan dana itu saja.

Konsekuensinya bagi founder, mereka akan terus dituntut investor dan harus menggalang pendanaan segar di tahun-tahun berikutnya. Sedangkan bagi perusahaan, ini merugikan karena tidak bisa berlari dengan kencang mengejar ketertinggalannya.

“Ide full akuisisi itu tercetus dan kita 100% setuju. Mereka juga berjanji bahwa semua perusahaan yang ada di bawah Grup Djarum, entah itu masih kecil maupun sudah besar, tidak ada yang dimatikan. Ini membuktikan mereka tidak pernah give up. Kita percaya itu. Lagi pula industri travel itu, menurut saya akan terus berjalan.”

Pelajaran enam tahun Tiket

Menurut Natali, Tiket cukup terlena dengan kondisi saat masih menjadi pemain OTA nomor 1 di Indonesia. Strategi awal yang dilakukan Tiket tidak sehat karena tersandung oleh euforia “Silicon Valley”.

Kondisi yang membuat perusahaan merekrut orang tanpa mempertimbangkan gaji, menyediakan makanan tanpa batas, dan banyak keleluasaan lainnya. Kemudian diperparah oleh keluarnya tiga dari tujuh co-founder Tiket.

“Jujur saja, 1,5 tahun setelah berdiri kami cukup terlena dengan euforia Silicon Valley. Memang produk yang dihasilkan bagus, tapi setelah itu kami kehabisan uang, dan mulai ketar ketir sampai akhirnya memutar dana yang sudah ada untuk operasional.”

Dari sana, Tiket belajar bahwa memberikan saham perusahaan dengan mudah kepada karyawan, itu tidak tepat. Kondisi perusahaan tidak sehat, lantaran pada saat itu harus masih ‘sakit’ di tahun pertama, namun harus tetap memberikan imbal hasil. Dengan kata lain, perusahaan harus membayar sesuatu dengan kondisi produk yang belum mantap.

“Ini jadi tips, jangan gampang kasih saham. Lebih baik bayar dengan gaji yang profesional.”

Berikutnya, mengingat anggaran belanja Tiket yang tidak besar, perusahaan sangat mengedepankan fungsi manajemen keuangan dengan merekrut lebih banyak tim finance daripada tim IT.

Natali mengungkapkan, tim finansial Tiket ada 35 orang, sementara tim IT hanya 30 orang. Akan tetapi, dengan jumlah tersebut mampu mendongkrak kinerja Tiket yang mampu menghasilkan 15 ribu transaksi dalam sehari.

Menurut pandangan Natali, perusahaan startup yang baik itu harus memiliki tim yang kuat di bidang IT, finance, dan marketing. Berbeda dengan pandangan orang pada umumnya yang menganggap startup itu harus memiliki tiga tipe orang yakni hacker, hipster, dan hustler.

Dia beralasan, tim marketing itu adalah sesuatu yang selalu terlewatkan oleh perusahaan teknologi. Padahal, alasan utama yang membuat startup mati adalah kehabisan uang.

“Bila ada co-founder yang tidak perform, ya tinggal pecat ganti yang baru. Kalau sudah tidak ada uang, mau apa pun ya tidak bisa jalan. Makanya kalau di Tiket selalu berbicara tentang revenue, net margin, dan conversion. Bukan dari traffic atau page view.”

Pelajaran terakhir lainnya yang disampaikan Natali adalah memanfaatkan sumber daya yang ada, sesuai dengan budget perusahaan. Pihaknya sadar tidak memiliki banyak biaya untuk mengakuisisi pelanggan baru dengan beriklan di media massa. Maka dari itu, strategi yang dilakukan adalah memanfaatkan basis data yang dimiliki perusahaan dan menjadikannya sebagai spesialisasi.

Tiket fokus pada pelayanan dengan menempatkan tim costumer service secara penuh dari internal. Setiap keluhan yang masuk, tim IT akan mengategorikan masalah untuk diselesaikan.

Terlebih, pelanggan utama Tiket bukanlah generasi anak muda, melainkan kalangan yang sudah berumur, misalnya ibu rumah tangga dan pelancong bisnis. Natali bilang, dari golongan tersebut ada sekitar 75 ribu pelanggan yang melakukan 50 kali transaksi dalam sebulannya. Mereka merupakan pelanggan loyal Tiket.

“Persona orang tua tidak perlu situs yang fancy dan vibrant. Kita memperhatikan hal-hal seperti itu,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Indonesia Flight dan Industri OTA yang Kian Menantang

Persaingan di lanskap OTA (Online Travel Agency) Indonesia masih terbuka lebar, seiring dengan pesatnya inovasi dan berkembangnya pangsa pasar. Memang, babak baru seakan hadir, pasca salah satu pemain terbesarnya Tiket.com diakuisisi Blibli, yang mana sebelumnya para pemain di sektor e-commerce dan online marketplace sendiri sudah memulai menjajakan layanan OTA kepada pelanggannya.

Persaingan tidak hanya vertikal milik pemain OTA murni, artinya perlu strategi yang kuat bagi para pemain untuk mampu bertahan dan berkembang. Kondisi ini tidak menyurutkan Indonesia Flight sebagai salah satu pemain OTA yang sebelumnya merupakan bagian dari Tiket. Pun demikian selepas akuisisi Tiket.com, Indonesia Flight kini berdiri secara independen dengan kepemilikan penuh oleh Co-Founder Indonesia Flight Marcella Einstein dan Yoppy Nelwanto.

Cella sapaan akrab Marcella, kepada DailySocial menceritakan awal mula pendirian startupnya. Pada tahun 2012 Indonesia Flight merupakan sebuah aplikasi pemesanan tiket pesawat yang menggunakan inventori Tiket, bertindak sebagai B2B Offcial Partner. Hal ini dikarenakan pada periode itu hanya Tiket.com OTA di Indonesia yang membuka inventori API secara publik dan bisa dikonsumsi aplikasi pihak ketiga.

Perlahan tapi pasti Indonesian Flight mendapatkan pertumbuhan pengguna dan keuntungan secara organik. Dari data yang disampaikan Cella, hingga tahun 2014 Indonesia Flight mengalami pertumbuhan mencapai 200 persen.

Tiga tahun berjalan, tepatnya pada tahun 2015, Tiket.com menawarkan kerja sama untuk akuisisi Indonesia Flight. Dengan pertimbangan visi dan misi yang sejalan Cella akhirnya menerima pinangan Tiket.com tersebut.

“Dalam perjalanannya, kami melakukan resource sharing di beberapa divisi dengan Tiket.com, contohnya divisi HR, finance, internal control, legal, customer service sampai dengan berbagi security dan office boy. Hal tersebut betul-betul efektif, karena terjadi pengurangan beberapa fixed cost di bagian OPEX untuk Indonesia Flight. Namun untuk tim intinya sendiri, kami melakukan perekrutan secara terpisah, khususnya di bagian IT, sales dan marketing,” ungkap Cella menjelaskan.

Indonesia Flight dalam persaingan OTA di Indonesia

Kini mau tidak mau Indonesia Flight harus bersaingan dengan lebih banyak pemain sektor tikecting di Indonesia, termasuk dengan Tiket.com itu sendiri. Menyikapi hal ini Cella dan tim tengah meyiapkan roadmap yang akan dilakukan Indonesia Flight dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Dinilai efektif dan menjadi upaya mereka untuk tetap bersaing di industri OTA di Indonesia.

To be honest, alasan kenapa saya dan partner mengiyakan untuk diakuisisi oleh Tiket.com adalah selain kesamaan visi misi, tetapi juga karena komitmen Tiket.com yang berjanji tidak akan mengkerdilkan Indonesia Flight, kami akan didukung untuk terus bertumbuh parallel dengan mereka, dan pada kenyataannya Tiket.com memegang janjinya, kami tidak dilebur ke Tiket.com, kami tetap dapat menjalankan apa yang menjadi mimpi kami dengan menyatukan visi misi dengan Tiket.com”

“Untuk konsumennya sendiri, sudah pasti ada irisan antara Tiket.com & Indonesia Flight. Namun yang menarik, irisan tersebut tidaklah besar. Tiket.com membesar ke kiri dan kami ke kanan. Hal tersebut yang membuat kami semakin yakin bahwa pangsa pasar untuk online travel masih sangat luas sekali,” jelas Cella.

Lalu menanggapi persaingan dengan para pemain baru termasuk dari sektor marketplace yang juga kini berjualan tiket Cella masih percaya pemain OTA baru akan membutuhkan waktu (dan investasi) yang signifikan guna menggeser posisi pemain OTA murni yang sudah ada.

Menurut Cella para pemain OTA baru yang memberikan promosi besar-besaran dan initial cost yang tidak murah untuk memulai bisnisnya belum tentu dapat mengalahkan pemain OTA yang sudah dulu ada. Menurutnya kualitaslah yang menjadi tolak ukurnya.

“Nantinya review, bintang, dan rating yang menjadi tolok ukur yang adil. Parameter-parameter ini akan memberikan gambaran seberapa maksimal para pemain melayani dan melakukan improvisasi terhadap barang/jasanya,” pungkas Cella.

Application Information Will Show Up Here

Rencana-Rencana Tiket.com Pasca Diakuisisi Blibli

Sebulan yang lalu DailySocial memberitakan GDP Venture terlibat rencana akuisisi terhadap lebih dari 50% saham startup travel Tiket.com. Hal tersebut akhirnya dikonfirmasi melalui acara pengumuman akuisisi 100% saham Tiket.com oleh Blibli, salah satu perusahaan di bawah naungan Global Digital Prima (GDP) Venture.

Kepada media, Co-Founder dan CMO Tiket.com Gaery Undarsa mengungkapkan akuisisi tersebut merupakan bagian rencana besar Tiket.com yang ingin mencari partner untuk melebarkan usaha dengan layanan dan fitur terbaru.

Selama ini Tiket.com termasuk startup yang tidak pernah mencari pendanaan lanjutan dari investor. Dana awalnya diperoleh dari angel investor tunggal yang kabarnya termasuk keluarga pemilik EMTEK.

“Pertemuan kami dengan Blibli bisa dibilang adalah “love at first sight”. Dari beberapa investor yang kami temui, hanya Blibli yang memiliki visi, misi dan tujuan yang sama dengan kami di Tiket.com, kami pun langsung mendapatkan “chemistry” tersebut. Karena alasan itulah kami memutuskan untuk berkolaborasi lebih mendalam dengan Blibli,” kata Gaery.

Kepada DailySocial Gaery memastikan jajaran C-level Tiket.com tetap akan memegang posisi yang sama pasca akuisisi.

Sebelumnya Blibli telah menjual beberapa layanan travel dan telah tumbuh secara organik. Untuk mempercepat pertumbuhan dari layanan tersebut, Blibli akhirnya memutuskan untuk melakukan akuisisi Tiket.com 100%.

CEO baru Tiket.com

Untuk melancarkan kolaborasi Blibli dan Tiket.com, George Hendrata ditunjuk menjadi CEO baru Tiket.com. Sebagai CEO baru yang bertanggung jawab menjadikan Tiket.com sebagai OTA lokal terbesar, George memiliki pengalaman panjang, terakhir menjadi Direktur Pengembangan / Diversifikasi Bisnis Djarum. George memiliki gelar Bachelor of Science dari Columbia University dan MBA dari Harvard Business School dan menjabat sebagai Presiden Harvard Alumni Club Indonesia.

“Dengan pengalaman selama hampir 6 tahun dan customer base yang telah dimiliki oleh Tiket.com saat ini, diharapkan bisa tumbuh lebih baik lagi melalui akuisisi ini,” kata George.

Nantinya baik Blibli dan Tiket.com akan menjalankan kegiatan oprasional setiap harinya secara terpisah. Tidak ada perubahan dari sisi pegawai, cara kerja dan hal-hal terkait lainnya.

“Sinergi nantinya akan lebih dilakukan dari sisi teknologi, karena Blibli memiliki tim engineer yang lebih banyak dari Tiket.com dalam hal ini Blibli akan membantu dari sisi teknologi. Sementara untuk sinergi lainnya akan kami lakukan melihat kondisi yang ada,” kata CEO Blibli Kusumo Martanto.

Fokus ke pelanggan

Disinggung tentang rencana perdana Tiket.com pasca akuisisi, George menyebutkan fokus dari Tiket.com saat ini adalah lebih kepada kepuasan pelanggan. Bagaimana nantinya melalui akuisisi Blibli, Tiket.com bisa menambah pelanggan baru dari customer base Blibli. Di sisi lain, Tiket.com juga memiliki ambisi untuk menjadi layanan OTA lokal terbesar di Indonesia.

Sejak diluncurkan pada tahun 2011, Tiket.com telah menjadi partner pertama dengan PT KAI untuk pembelian tiket kereta api secara online, memiliki 3,4 juta pengguna dan aplikasi telah diunduh oleh 1,7 juta orang, dan merupakan layanan B2B yang memiliki lebih dari 5 ribu partner.

“Dengan semakin sengitnya persaingan layanan OTA di Indonesia saat ini, diharapkan melalui investasi terbaru ini bisa menjadikan Tiket.com lebih kuat lagi untuk bersaing dengan pemain lainnya di Indonesia,” kata Gaery.


Disclosure: GDP Venture, Blibli, Tiket.com, dan DailySocial berada di bawah naungan induk perusahaan yang sama

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

GDP Venture Dikabarkan Terlibat Rencana Akuisisi Tiket.com

Kami memperoleh informasi dari sumber terpercaya bahwa GDP Venture terlibat rencana akuisisi terhadap lebih dari 50% saham startup travel Tiket.com. Jika benar, Tiket.com akan melengkapi portofolio GDP Venture yang selama ini kebanyakan berhubungan dengan media dan e-commerce.

Hal ini adalah langkah investasi strategis kedua GDP Venture dalam sebulan terakhir. Seminggu yang lalu, GDP Venture diberitakan terlibat pendanaan senilai total 7 triliun Rupiah untuk Sea (yang dahulu bernama Garena). Di Indonesia, Sea dikenal sebagai pengelola layanan mobile marketplace Shopee.

Tiket.com adalah startup yang dibangun Wenas Agusetiawan, Gaery Undarsa, Dimas Surya, dan Natali Ardianto. Sejak awal dibangun di tahun 2011, Tiket.com termasuk startup yang tidak pernah mencari pendanaan lanjutan dari investor. Dana awalnya diperoleh dari angel investor tunggal yang kabarnya termasuk keluarga pemilik EMTEK.

Tiket.com dan Traveloka bisa dibilang merupakan dua pemimpin pasar di sektor online travel. Tiket.com saat ini melayani penjualan tiket pesawat, tiket kereta api, tiket event dan atraksi, reservasi kamar hotel, dan penyewaan mobil.

Portofolio lokal GDP Venture yang high profile di antaranya Blibli dan Kaskus.

Pihak GDP Venture dan Tiket.com yang kami minta keterangannya tidak membantah, meskipun tidak pula membenarkan untuk saat ini.


Disclosure: GDP Venture dan DailySocial berada di bawah naungan induk perusahaan yang sama

Perjalanan Marcella Einsteins, dari Bekerja di Startup hingga Mendirikan Indonesia Flight

Cerita tentang liku-liku founder startup Indonesia di balik kesuksesannya selalu menarik untuk disimak. Di tengah persaingan segmen bisnis Online Travel Agency (OTA), nama Indonesia Flight menjadi salah satu pengusung layanan yang kini patut diperhitungkan.

Startup di bawah naungan PT Globalnet Aplikasi Indotravel ini lahir dari sebuah proses belajar yang unik oleh founder sekaligus CEO-nya, Marcella Einsteins. Kariernya dimulai dari keterlibatannya dalam berbagai job desc di salah satu startup pemimpin OTA saat ini, Tiket.com. Mulai dari menjadi quality assurance (QA), copywriter, tim event, media sosial, partnership, fraud analyst hingga customer service pernah ia kerjakan.

Perempuan lulusan jurusan Teknik Informatika Binus, yang mengambil spesialisasi Artificial Intelligence, dari awal mengenyam karier sudah merasa dan bertekad bahwa menjadi entrepreneur adalah tujuan kariernya. Keyakinan tersebut juga pada akhirnya yang mengantarkannya untuk memilih bekerja di startup, ketimbang di korporasi layaknya teman-teman seangkatannya kala itu. Bagi Marcella, memilih bekerja di startup bukan tanpa alasan. Banyak hal yang melandasi dan menjadi perhitungan, mulai dari produk, visi misi yang jelas, lingkungan kerja, hingga founder.

“Kepribadian pemimpin atau founder dapat memberikan impact positif dan menjadikan saya pribadi yang berkarakter, bukan hanya dalam professional kerja, namun juga dalam kehidupan saya sehari-hari.”

Dari menjadi Quality Assurance hingga Product Manager

Bercerita kepada DailySocial, alasan Marcella menjadi QA di Tiket.com karena lowongan tersebut satu-satunya yang tersedia kala itu di luar job desc yang mengharuskannya coding. Ia merasa kurang nyaman untuk coding, karena lebih suka menjadi “kutu loncat” mencoba segala sesuatu sembari mencari jati diri. Baginya QA hanya sebuah jabatan. Selama di Tiket.com ia mencoba dan mencicipi beragam jenis pekerjaan, hingga pada akhirnya dipercaya untuk menjadi manajer produk untuk sebuah divisi baru.

“Uniknya saya mengenal CEO Tiket.com ketika itu dari game online DOTA, jauh sebelum Tiket.com dibangun […] Di bulan ke delapan bekerja, saya baru mendirikan Indonesia Flight, dengan memanfaatkan peluang penggunaan API Tiket.com dengan dibekali restu dari para founder-nya.”

Intuisi yang memberinya keyakinan bahwa Indonesia Flight akan mampu berdiri survive kendati pasar Online Travel Agency sudah sangat riuh, setidaknya sudah sangat jelas pemimpin pasarnya di Indonesia. Tahun 2012, di saat platform BlackBerry sedang berada di puncak kejayaan, Marcella justru melihat peluang lain untuk mengembangkan aplikasi di platform Android yang masih sedikit sekali peminatnya, pun demikian dengan ekosistem aplikasi lokal di dalamnya, masih sangat minim.

Berbekal belajar otodidak dan bantuan partner bisnisnya, Marcella mengembangkan aplikasi Indonesia Flight, sebagai aplikasi lokal pertama yang mampu memfasilitasi pemesanan pesawat untuk beragam maskapai di Google Play. Setahun kemudian, platform iOS segera disinggahi. Dari awal traksi pengguna menunjukkan angka yang fantastis, dalam guraunya Marcella mengatakan ketika 5 bulan setelah peluncuran pertamanya, komisi yang didapat dari penjualan tiket di Indonesia Flight sudah mampu melebihi gajinya di Tiket.com kala itu.

“Lalu apakah saya keluar dari Tiket.com? Tidak. Karena saya tahu, saya masih belum cukup berpengalaman untuk menjalankan perusahaan saya sendiri, dan dari saya sendiri pun ingin memberikan nilai lebih di Tiket.com, agar tidak menjadi seperti kacang lupa kulitnya,” ungkap Marcella.

Baru setelah 2 tahun Indonesia Flight berdiri, Marcella memutuskan untuk keluar dar Tiket.com, di saat banyak feedback dan permintaan pelanggan yang menuntut Indonesia Flight memacu inovasi dan layanannya. Seiring dengan peningkatan angka pengguna dan kualitas layanan, beberapa investor mulai melirik dan membincangkan investasi di Indonesia Flight. Hal mengejutkan, 2 bulan pasca aplikasi dirilis, jumlah unduhan aplikasi mencapai 10.000 lebih dan semuanya organic download.

Traksi dan capaian Indonesia Flight dan target ke depannya

Dalam menggerakkan roda bisnis, Marcela menekankan pada pemahaman behaviour dari pelanggan dan target pangsa pasarnya. Hal tersebut terbukti dari survei yang pernah ia buat, kendati price sensitive masih menjadi faktor pertama penentu OTA di kalangan konsumen, faktor lain yang mendominasi adalah tentang pilihan favorit, kenyamanan pelanggan dalam melakukan pembelian.

Pemesanan melalui kanal web kini juga dilayani di Indonesia Flight
Pemesanan melalui kanal web kini juga dilayani di Indonesia Flight

“Meski sudah ada raksasa pemain OTA, toh masih banyak pelanggan yang memilih membeli tiket di Indonesia Flight, bahkan kadang mereka membeli tanpa menggunakan kode promo. Demi pelanggan setia itu, membuat saya menjadi lebih semangat melanjutkan bisnis ini,” sahut Marcella menjelaskan prinsipnya dalam berbisnis.

Di bulan ke 9 bisnisnya berjalan, penjualan mencapai angka Rp 65 miliar. Angka yang sangat tinggi, mengingat kala itu Marcella mengelola platform tersebut di waktu luangnya bekerja, 2-3 jam di sela-sela waktu istirahat. Ia membalas feedback dan email sampai batas waktu jam 12 malam untuk menjaga kestabilan fokus keesokan harinya.

Keseriusannya dalam berbisnis membuahkan hasil manis, setiap tahun penjualan naik secara organik 200%, dan tahun 2016 penjualan sudah mencapai lebih dari Rp 432 miliar.

Sejak awal berdiri, Indonesia Flight sudah fokus pada profit. Di tahun pertama berdiri, berbagai kebutuhan operasional seperti membayar gaji karyawan, biaya pemasaran, dan berbagai keperluan lainnya sudah berhasil di-cover dari hasil penjualan tiket pesawat.

“Saat ini Indonesia Flight hanya fokus pada tiket penerbangan. Ke depannya kami akan melebarkan sayap ke hotel dan produk lainnya […]. Target kami tahun 2017 adalah 3x lipat (pertumbuhan) dari tahun sebelumnya.”

Juga mengembangkan aplikasi pemesanan tiket kereta api

Siapa sangka aplikasi Tiket Kereta Api yang sebelumnya banyak dikira sebagai aplikasi resmi PT Kereta Api Indonesia juga karya tim Indonesia Flight. Sampai dengan tulisan ini dibuat, aplikasi tersebut masih menjadi aplikasi #1 untuk reservasi tiket kereta di kategori Travel & Local platform Android. Jumlah unduhannya telah mencapai 2,5 juta dengan growth per tahun mencapai 200%.

“Sering dianggap sebagai aplikasi resmi dari PT KAI, terbukti dengan banyaknya email masuk yang meminta perhatian kami mengenai fasilitas kamar mandi ataupun tiket di stasiun, bahkan ada yang menanyakan nama penjaga loket karena ingin berkenalan dengan petugas wanita yang bekerja di sana.”

April 2016 lalu, aplikasi Tiket Kereta Api menjamah platform iOS. Dari pemaparan Marcella marketing cost yang dikeluarkan untuk pengelolaan aplikasi ini tidak pernah lebih dari Rp 10 juta per bulan, baik untuk digital marketing, paid channel maupun offline marketing.

Untuk pemasaran offline pun baru dilakukan akhir-akhir ini, setelah 3 tahun mengudara. Beberapa waktu lalu aplikasi mulai diperkenalkan melalui aktivitas kampanye di stasiun Pasar Senen.

Salah satu tampilan halaman aplikasi Tiket Kereta Api
Salah satu tampilan halaman aplikasi Tiket Kereta Api

Sebagai aplikasi yang tidak memiliki dan melayani pembelian di web, Tiket Kereta Api berhasil menjadi mitra terbaik kedua sebagai kanal penjual tiket berdasarkan data laporan penjualan mitra PT KAI per 8 Juni 2016.

Perencanaan matang dan keyakinan untuk tujuan cita-cita

Memilih untuk bekerja di startup dan mendirikan startup bukan hanya semata dengan pilihan melempar dadu, itulah keyakinan yang digenggam Marcella di awal kariernya. Keyakinan tersebut harus kokoh.

Di awal memulai pekerjaannya di Tiket.com, iming-iming bekerja di tempat berfasilitas bagus, insentif terjamin, dan tunjangan stabil dari lingkungan pertemanan sering terlihat menggiurkan.

Meskipun demikian ia selalu mengembalikan kepada fitrah hidup bahwa setiap manusia berhak untuk memilih jalannya. Dengan mengenali kepribadiannya sendiri tentang keinginan dan cita-citanya, Marcella selalu merasa kokoh dan yakin dengan pilihannya.

“Tanyakan kepada diri Anda, apakah siap menerima kondisi terburuk apabila startup yang kita dirikan atau startup tempat bekerja ternyata cuma bertahan seumur jagung? Di luar ketidakstabilan perjalanan startup yang ngeri-ngeri sedap, fleksibilitas dalam berinovasi dan peluang untuk menciptakan lapangan kerja bagi orang lain membuat saya memilih untuk bekerja dan membangun startup.”

Application Information Will Show Up Here

 

Application Information Will Show Up Here

Kiat CTO Memilih dan Merencanakan Server untuk Layanannya

Teknologi bagi startup digital bisa dianalogikan sebagai fondasi pada sebuah bangunan. Fondasi berperan besar dalam membuat bangunan terebut berdiri kokoh. Demikian pula teknologi (tentu bentuknya beragam) dalam menumbuhkan bisnis startup. Sebut saja bagi startup yang memberikan pelayanan melalui sebuah website atau aplikasi, maka sistem server di baliknya – selain aplikasinya itu sendiri – harus memiliki kekuatan yang mumpuni dalam memberikan dukungan.

Hal ini juga berlaku untuk layanan yang memiliki intensitas penggunaan yang tinggi, seperti Tiket.com sebagai salah satu pemimpin bisnis Online Travel Agency (OTA) di Indonesia. Dalam sebuah kesempatan wawancara, Co-Founder dan CTO Tiket.com Natali Ardianto memberikan beberapa tips terkait dengan perencanaan sistem server dan tindakan yang perlu dilakukan dalam disaster recovery. Layanan online Tiket.com sangat bergantung dengan keandalan server dalam menyuguhkan performa kepada pelanggan.

Pertimbangan startup dalam memilih server untuk layanannya

Menurut Natali, berdasarkan pengalamannya dalam mengelola teknologi sejenis, prioritas utama dalam memilih layanan hosting atau server adalah besaran pipa bandwidth. Kemudian pertimbangan yang kedua adalah kemudahan dalam scaling server. Dan yang ketiga baru tentang spesifikasi server. Pipa bandwidth menjadi unsur terpenting, karena bandwidth akan berujung pada kecepatan akses oleh pengguna.

Mengapa bukan kemampuan scaling server dulu? Natali mengatakan jika pun sistem dapat melakukan scaling dengan sangat cepat, namun jika pipa bandwidth yang disediakan kecil pengguna tidak dapat melakukan scaling trafik secara cepat. Dan Natali mengatakan bahwa tidak mudah dan murah untuk melakukan scaling network.

Scaling server sangat tergantung pada kemampuan hosting dalam mengelola skalabilitas sistemnya, entah itu virtualisasi atau SOP (Standard Operating Procedure) yang sangat bagus ketika ada demand server yang tiba-tiba banyak. Sedangkan spesifikasi server sangat mudah diputuskan, karena spesifikasi saat ini cukup homogen, tidak terlalu banyak variannya. Prosesor Intel, memory DDR4, harddisk drive SSD. Simple.”

Lalu ketika berbicara tentang startup umumnya dimulai dari kapabilitas sistem yang kecil, namun di tengah proses kadang lonjakan terjadi begitu saja dengan sangat tinggi. Kadang sistem tidak siap untuk menghadapi, akibatnya sistem mengalami down. Kemungkinan paling buruk justru membuat pengguna kecewa, sehingga traksi justru tidak meningkat tajam.

Sebagai langkah antisipasi, menurut Natali, sebuah startup teknologi memang perlu melakukan perencanaan sejak awal, tidak bisa hanya menganggap penggunaan teknologi cloud akan otomatis scaling dengan sendirinya. Ia menceritakan ketika Tiket.com masih di usia yang sangat dini beroperasi.

“Ketika usia Tiket.com baru live selama 6 bulan, kami sempat mengalami spike yang tinggi ketika ada penjualan konser Big Bang, di mana 6.000 tiket konser terjual dalam 10 menit. Ketika itu webserver yang aktif hanya tiga, namun dikarenakan sudah direncanakan sejak awal, dalam waktu kurang dari 5 menit, saya bisa menambah 10 webserver secara instan hanya dengan menggunakan iPad.”

Nyatanya perencanaan ini juga akan menjadi salah satu faktor penentu dalam pemilihan stack teknologi yang akan digunakan dari layanan tertentu. Contohnya pengalaman tersebut kini membawa Tiket.com mampu melakukan skalabilitas sistem dengan baik. Bahkan dikatakan Natali ketika ada 40.000 concurrent user yang mengunjungi situs, seperti ketika penjualan tiket kereta lebaran, tidak terjadi isu dalam sistem karena sudah memanfaatkan teknologi auto-scaling dari provider yang saat ini digunakan Tiket.com.

Perdebatan “klise” yang masih sering terjadi, antara memilih layanan lokal atau internasional

“Jujur untuk saat ini saya memilih provider internasional. Di awal pengembangan Tiket.com, saya pernah meletakkan server di Jakarta. Ketika terjadi DDoS Attack yang massive sebesar 1,1 Gbps selama satu bulan, hosting provider lokal kesulitan untuk mengantisipasi load bandwidth yang besar ini, bahkan akses internasional mereka menjadi mampet karena serangan tersebut. Alhasil ujung-ujungnya situs Tiket.com yang diblokir, agar attacker berhenti.”

Setelah dipindahkan ke provider internasional, permasalahan bandwidth tersebut terselesaikan. Bahkan sempat terjadi serangan DDoS sebesar 3,3 Gbps di tahun 2015, namun dapat ditangani tanpa service disruption di layanan Tiket.com.

“Sebagai gambaran, saat ini saya memiliki server di Jakarta, dengan bandwidth dedicated rasio 1:1 2 Mbps, biayanya Rp 4 juta tiap bulannya. Di Singapura, server saya diberi bandwidth 100 Mbps gratis. Jika di-upgrade menjadi 1 Gbps, cukup menambah biaya kurang lebih Rp 260 ribu tiap bulannya. Bedanya jauh sekali bukan.”

Dan yang lebih ironis bagi Natali, hop count dari Jakarta-Singapura bisa lebih sedikit ketimbang Jakarta-Jakarta. Terjadi mismanage yang cukup kritis di routing network Indonesia saat ini.

Konsep high availability dan scalability sebagai strategi meningkatkan keandalan sistem

Hal ini terkait dengan strategi sebuah sistem online yang sudah mapan dan memiliki traksi pengguna yang tinggi untuk meminimalkan terjadinya down-time atau kegagalan sistem lainya. Perencanaan yang dilakukan oleh CTO Tiket.com ialah menggunakan konsep high availability dan scalability. High availability berarti selalu tersedia setiap saat. Caranya dengan memiliki jumlah lebih dari sepasang untuk masing-masing sistem. Load balancer sepasang, web server sepasang, database sepasang, cache system sepasang dan seterusnya.

Ketika salah satu server mati, masih ada server lainnya yang mengambil alih load server. Bahkan jika perlu, lokasi data center pun dipisah, sehingga jika terjadi disaster, entah itu power outtage, hardware malfunction atau bahkan bom nuklir, masih ada sistem lain di lokasi berbeda.

“Saya bahkan pernah diceritakan oleh teman provider hosting internasional, bahwa jarak antar dua data center dia sekian kilometer. Alasannya? Agar jika ada pesawat menghantam data center yang pertama, maka ledakannya tidak akan mengganggu data center yang kedua.”

Scalability sendiri harus dilakukan oleh kita sendiri sebagai pengguna. Ketika mendesain sebuah sistem, harus bisa distributed, dikarenakan dari server bisa berbeda-beda. Namun walau pun berbeda-beda lokasi, namun datanya sama persis satu dengan yang lainnya. Scalability ini yang paling rumit dan kompleks, umumnya kita belajar berdasarkan pengalaman.

Untuk melakukan duplikasi sistem tersebut kadang terkendala dengan perhitungan investasi dalam bisnis. Seringkali mendengar cerita, bahwa tim teknologi kadang kesulitan meyakinkan kepada CEO (terutama yang memiliki latar belakang non-teknis) untuk mau membayar lebih pada kebutuhan tersebut. Nyatanya ketika tidak terjadi kegagalan sistem, penambahan jumlah server atau pengutusan staf khusus untuk mengelola backup terlihat seperti buang-buang energi dan sumber daya. Tidak terjadi di semua bisnis, namun tak sedikit yang menghadapi.

“Jujur saja, saya juga dulu pernah melaluinya juga, selama dua tahun servernya hanya satu. Waktu itu jumlah server baru ditambahkan ketika saya laporkan ke investor tentang kondisi saya.”

Solusi yang bisa dilakukan berdasarkan pengalaman Natali menghadapi situasi yang sama adalah dengan meminta rekan yang lebih dipandang dan dikenal pula oleh CEO untuk membantu mengingatkan risiko yang sedang dihadapi. Mungkin juga diberikan artikel-artikel terkait mengenai sistem yang down karena tidak scaling.

Cita-cita memiliki data center sendiri untuk startup

CTO Tiket.com mengatakan bahwa pihaknya sama sekali tidak berencana membangun data center sendiri. Ia cukup puas memanfaatkan teknologi cloud computing. Harga lebih murah, pengelolaan mudah, karena hanya mengurus software di masing-masing server, tidak perlu terlalu pusing dengan urusan networking, redundancy network dan lain sebagainya. Dengan pertumbuhan teknologi yang sangat pesat, sistem menjadi semakin kompleks. Jangan sampai kita turut disibukkan dengan hardware yang failing, memory yang corrupt, harddisk yang rusak.

Bayangkan jika kita memiliki server sendiri, dan storage disk-nya rusak, kita harus sudah punya stock untuk mengganti hardware yang lama. Belum lagi kalau kita hendak meng-upgrade server.

“Saya dulu pernah memiliki server fisik sendiri, dan ketika saya hendak meng-upgrade jumlah prosesor saya, ternyata heat sink server tersebut bentuknya khusus dan hanya tersedia di Singapura. Alhasil saya memesan heat sink tersebut ke Singapura, bermasalah di bea cukai karena dianggap barang mewah, dan baru sampai di tangan saya dua bulan kemudian. Bayangkan, hanya untuk upgrade prosesor butuh dua bulan.”

Natali pun turut menegaskan bahwa teknologi cloud itu bukan hanya virtualisasi saja.

“Saya sendiri memanfaatkan teknologi baremetal cloud. Artinya, server saya fisik, tanpa virtualisasi. Namun yang cloud adalah network-nya, dan juga pricing-nya yang diukur per jam maupun per bulan. Bahkan ketika saya matikan server tahun lalu, dan saya memesan server baru, dengan spesifikasi yang lebih tinggi, saya bisa mendapatkan harga yang sama. Kenapa bisa demikian? Karena adanya Moore’s Law. Kemampuan prosesor naik 2 kali lipat tiap 2 tahun.”

Application Information Will Show Up Here

Tiket.com dan Traveloka Kini Sediakan Fitur “Last-Minute Booking”, Apa Kabar HotelQuickly?

Setelah sebelumnya Tiket.com menghadirkan fitur baru di layanannya, yakni last-minute booking untuk pemesanan hotel, baru-baru ini di update aplikasi terbarunya, aplikasi Traveloka juga mengusung fitur yang sama. Lalu bagaimana dengan HotelQuickly, sebagai penyedia layanan yang memang mengkhususkan dirinya sebagai layanan pemesanan kamar hotel dengan mode last-minute booking?

Pembaruan Traveloka dengan Fitur Last-Minute Booking
Pembaruan Traveloka dengan Fitur Last-Minute Booking

DailySocial telah mendiskusikannya dengan Co-Founder dan Managing Director HotelQuickly Indonesia Faustine Tan, terkait dengan tanggapan dan strategi ke depan saat penyedia layanan pesan hotel sudah merambah ke fitur last minute booking. Berikut wawancara kami dengan Faustine.

Tanya (T): Sebagai pemain pertama di Indonesia yang menyediakan layanan last-minutes booking untuk pemesanan hotel, bagaimana tanggapan Faustine dengan makin banyaknya layanan yang menyediakan fitur yang sama?

Jawab (J): Sejak pertama kami launching 3 tahun lalu, kami sudah mengetahui adanya sebuah tren yang terjadi di dunia traveling. Ditambah dengan penggunaan sosial media yang tinggi oleh generasi milenial menjadikan traveling sendiri adalah sebuah lifestyle (bisa disebut urban lifestyle). Dan yang namanya lifestyle itu merupakan gaya hidup, ya bagian dari kehidupan sehari-hari itu sendiri, menjadi sebuah kebutuhan seperti butuh pengakuan masyarakat atau eksistensi. Contohnya kalau tidak upload foto makanan, maka tidak gaul. Sama halnya traveling, kalau tidak weekend getaway lalu foto di kamar hotel, berarti kurang update dan sebagainya.

Jadi semakin banyak yang last-minute ini menandakan memang pangsa pasarnya sangat luas, trennya ada, dan dengan adanya OTA (Online Travel Agency) yang mengikuti tren tersebut justru memudahkan penetrasi pasar last-minute yang sudah bisa dibilang mulai matang. Semakin banyak yang mengedukasi masyarakat urban untuk menjadikan traveling last-minute sebagai sebuah kebutuhan masyarakat perkotaan.

Moto kami dari awal adalah kami percaya bahwa momen-momen spontanlah yang akan memperkaya nilai hidup, karena itu HotelQuickly tetap konsisten dalam bisnis memberikan produk, layanan dan fasilitas penawaran yang terbaik, ini sudah terbukti bahwa harga kami rata-rata lebih murah hingga 30% dari semua jasa layanan online, karena kami sistemnya eksklusif hanya di aplikasi dan untuk member saja.

T: Tentu dari awal HotelQuickly sudah memprediksi bahwa fitur ini akan hadir di berbagai layanan pemesanan hotel, ada kiat khusus untuk menguatkan brand bahwa ketika orang membutuhkan hotel dengan harga terjangkau melalui pemesanan last-minutes maka jawabannya adalah HotelQuickly?

J: Brand kami sudah sangat jelas, the best last-minute hotel booking. Karena ini adalah main-target, main-product kami. Sedangkan kalau kita lihat OTA yang belakangan ini meluncurkan campaign sejenis, hanya merupakan compliment atau tambahan. Jadi jika diibaratkan sama dengan ketika melihat kedai kopi, maka main-product dari OTA adalah kopi semua jenis. Untuk layanan kami khusus kopi luwak atau kopi jenis terbaik yang dipilih dan spesial menjadi produk utama kami.

Di sana kita melihat ada dua kedai kopi berbeda yang menjual benda yang bernama kopi (sama), hanya beda kualitas.

Apakah kedai kopi A akan mengorbankan jenis kopi yang lain apabila sudah tau saat ini kopi luwak menjadi tren lalu semua produknya ganti kopi luwak? Saya rasa tidak, itu hanya tambahan.

Kami curated hanya hotel-hotel pilihan bintang 2-5 dengan rating minimal 7 untuk pelanggan kami. Tujuan yang kami tampilkan di aplikasi adalah tujuan last-minute, dengan harga terbaik hingga 30% lebih murah. Yang terpenting, akurasi kecepatan booking di kami hanya 40-60 detik, itulah kenapa namanya HotelQuickly. It’s fast, a tool that make your life easier while you completing your travel journey/plan.

Kami sudah mengikuti kebutuhan masyarakat lokal juga, contohnya dengan bekerja sama dengan Doku untuk memudahkan pembayaran via ATM untuk hotel-hotel di Indonesia

T: Terkait dengan aplikasi HotelQuickly, adakah update terkini dan fitur-fitur baru yang sudah atau akan segera dirilis?

J: Yang terakhir kami melakukan total rebranding, termasuk membagikan freebies dalam layanan hotel booking (freebies-nya ada di dalam aplikasi). Saat ini kami sudah bekerja sama dengan lebih dari 15.000 hotel di 16 negara, termasuk Jepang, setelah kami akuisisi Tonight App, dan 15.000 hotel tersebut adalah hotel-hotel pilihan terbaik. Jadi kualitas produk dan layanan kami, kami sangat percaya dengan 2 hal tersebut adalah yang utama.

Kembali pada pengalaman pelanggan sampai benar-benar puas dan membuktikan kami yang terbaik itu yang penting.

Application Information Will Show Up Here

Tiket Optimasi Aplikasi Mobile dan Mobile Web

Startup Indonesia penyedia jasa online travel yang berada di bawah payung PT Global Tiket Network, Tiket, hari ini (21/3) mengumumkan pembaruan untuk layanan mobile platform mereka, baik itu aplikasi mobile maupun situs mobile. Pembaruan yang dilakukan Tiket berupa penyegaran tampilan antarmuka layanan dan penambahan fitur Last Minute Hotel Deal.

Langkah Tiket untuk mengoptimalkan mobile platform mereka adalah langkah yang masuk akal, mengingat kini tren akses internet yang berkembang di Indonesia sudah mulai beralih ke mobile. Berdasarkan laporan IPSOS Asiabus, 85 persen dari 88, 1 juta pengguna internet di Indonesia mengakses internet melalui perangkat mobile dengan smartphone sebagai perangkat paling umum.

[Baca juga: Survei JakPat Ungkap Masyarakat Sudah Terbiasa Membeli Tiket Secara Online]

Sementara itu riset yang dilakukan oleh Google menyebutkan bahwa akses internet saat ini yang terbesar adalah melalui perangkat mobile. Data menunjukan penggunaan Google untuk travel query melalui smartphone sebesar 61 persen, melebihi penggunaan tablet dan desktop yang berada di angka 39 persen. Peluang inilah yang coba dioptimalkan oleh Tiket sebagai pelaku e-commerce sektor perjalanan melalui pembaruan mobile platform, baik itu aplikasi mobile maupun mobile web.

Tampilan terbaru mobile web Tiket / DailySocial

Co-Founder dan CTO Tiket Natali Ardianto melalui keterangannya mengatakan, “Kami melakukan perbaikan tampilan pada mobile platform kami yaitu mobile apps dan mobile web agar lebih mudah dipahami dan digunakan. Kami juga menyeragamkan tampilan mobile web maupun mobile apps untuk menciptakan kebiasaan dan kemudahan dalam menggunakan produk kami.”

[Baca juga: DStour #5: Mengunjungi Kantor Tiket.com]

Pembaruan lainnya adalah penambahan fitur Last Minute Hotel Deal yang saat ini baru bisa dinikmati aplikasi Android. Fitur ini menawarkan diskon istimewa, dari 40% hingga 70%. Tiket berjanji fitur ini akan segera hadir dalam aplikasi untuk perangkat iOS beberapa minggu ke depan.

Target yang diharapkan lewat optimasi mobile platform Tiket

Tahun 2015 silam, Tiket mengklaim telah berhasil merangkul hingga tiga juta pengguna dan tumbuh hampir tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Melalui pembaruan mobile platform ini, Tiket memasang target kenaikan performa bisnis hingga 200 persen pada pertengahan tahun 2016. Tiket sendiri memang berniat untuk lebih agresif melebarkan sayap bisnis di tahun 2016 ini.

“Antusiasme tinggi dari masyarakat dan potensi industri yang menjadi tolak ukur kami ke depannya.[…] Hal ini pun kami buktikan dengan upaya kami yang saat ini sedang merancang aplikasi mobile Tiket berikutnya, yakni versi 2.0 yang segera dapat dinikmati,” tutup Co-Founder dan Chief Communication Officer Tiket Gaery Undarsa.

Application Information Will Show Up Here

Tak Selamanya Biaya Operasional Startup Terus-Menerus Berasal dari Pendanaan Eksternal

Pada dasarnya misi sebuah bisnis ialah untuk mengkonversi modal menjadi profit dan menggunakan profit tersebut untuk terus mengembangkan bisnisnya. Begitu pun seharusnya startup digital sebagai sebuah bisnis. Kendati demikian di atmosfer startup lokal masih sangat kental “kepercayaan” bahwa sebuah startup keren akan lebih memfokuskan pada peningkatan investasi dan valuasi sehingga dapat menarik minat pasar terhadap produk/layanan yang dikembangkan .

Anggapan untuk memfokuskan pertumbuhan (growth) menjadi bagian terpenting pada penumbuhan bisnis bukan sebuah kekeliruan. Beberapa startup mampu beroperasi kencang dengan terus mengoptimalkan investasi masuk dan terus memanjakan produk dengan sistem subsidi atau diskon besar. Dari situ banyak startup yang masih (bahkan terus) merugi dari sisi capaian profit bisnis, namun secara finansial masih kuat ditopang hasil investasi yang besar.

Mencoba berbeda

Beberapa startup menunjukkan “gaya hidup” berbeda. Tetap mengawali kiprah dari investasi, namun menyeimbangkan untuk menjadi startup mandiri, terutama dari sisi finansial. Ambil contoh dua startup yang sudah meraih BEP, bahkan profit hingga saat ini, yakni Tiket dan Dinomarket. Keduanya terpantau menjadi startup yang cukup ketat dalam menjaga kontrol terhadap arus keuangan (investasi).

Dinomarket mendapatkan investasi Seri A dari Tiger Global Management dan Michael Van Swaaij dari Silicon Valley sebesar $6 juta pada tahun 2011. Beberapa waktu lalu pihaknya menginformasikan bahwa sudah mencapai Break Even Point (BEP), empat tahun pasca perolehan investasi. Model bisnis yang berfokus pada profit dan finansial yang sehat turut dicerminkan dari manajemen Tiket.com. Bahkan startup ini tercatat sudah mendapatkan profit sejak tahun 2013.

Untuk layanan e-commerce dan marketplace, selama ini memang ada stigma dibutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan profit, atau minimal impas. Startup di bawah naungan Rocket Internet sendiri (Zalora dan Lazada) ditargetkan mencapai BEP setelah 6-9 tahun beroperasi. Ternyata, dengan strategi bisnis dan proposisi investasi yang pas, Tiket dan Dinomarket mampu berdikari, meskipun secara valuasi dan market share tidak sebesar pemimpin pasar.

Mengamati kedua startup tersebut, ada sebuah kesamaan yang bisa disimpulkan, yakni tentang bagaimana mereka memanfaatkan investasi awal dengan baik dan memaksimalkan pengalamannya melakukan bootstrapping. Seperti yang pernah diceritakan salah satu Co-Founder Tiket, di awal mereka menggunakan jurus zero marketing untuk memaksimalkan pemasaran tanpa harus membuang biaya yang besar. Proses tersebut ternyata membawa startup pada posisi terbaik ketika harus meningkatkan skala bisnis secara mandiri.

Berfokus pada profit dan melakukan efisiensi pada investasi  membuat pola pikir punggawa startup untuk jeli dalam menentukan kapan harus “membakar” uang untuk melakukan percepatan bisnis (growth) tanpa menghilangkan keseimbangan pada strategi sustainability bisnis jangka panjang. Tak selamanya operasional startup terpaku pada asupan investasi pendanaan. Pola pikir tersebut, tergantung situasi perlu diubah, dengan mengedepankan strategi bisnis untuk mendapatkan minat pasar yang tinggi.

Tiket dan Dinomarket yang mampu berjalan dan berkembang tanpa investasi baru sejak Seri A-nya memberi contoh bahwa startup ternyata memungkinkan untuk fokus pada pengembangan produk dan profit tanpa membuang banyak uang. Bagaimana dengan startup Anda?

DStour #5: Mengunjungi Kantor Tiket.com

Setelah beberapa kali mengunjungi kantor layanan e-commerce, kini kami berkunjung ke startup travel. Tiket.com menjadi tujuan pertama kami. Tiket.com terdiri menempati dua gedung kantor yang bersebelahan karena cepatnya mereka berekspansi meningkatkan jumlah pegawai. Tiket.com menyediakan makan siang setiap hari untuk para pegawainya plus ada area open space di bagian belakang yang bisa dijadikan tempat berkumpul. Berikut ini liputan kami.