Pendanaan Fintech di Asia Tenggara Merosot Tajam, Terendah Sejak 2020

Indonesia dan Singapura tercatat masih memimpin pendanaan fintech di Asia Tenggara dengan akumulasi 86% dari total pendanaan sebesar $1,3 miliar mengalir ke dua negara ini pada 2023 (year-to-date/YTD).

Namun, pendanaan yang disalurkan ke fintech di Asia Tenggara pada 2023 (YTD) merosot 74% menjadi $1,3 miliar dibandingkan 2022 yang sebesar $5,1 miliar. Demikian juga jumlah transaksi pendanaan yang turun 60% menjadi 94 kesepakatan pada 2023 (YTD). Angka tersebut menjadi pencapaian terendah sejak 2020.

Laporan FinTech in ASEAN 2023 yang diterbitkan UOB bersama PwC dan Singapore FinTech Association (SFA) mengulas tren pendanaan enam negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara (ASEAN-6), antara lain Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Sumber: FinTech in ASEAN 2023

Dari total pendanaan yang diperoleh tahun ini, sebanyak 50% disuntik ke startup awal dan 42% ke startup tahap lanjut. Menurut sejumlah investor yang diwawancarai, fintech tahap awal menarik lebih banyak pendanaan dikarenakan oleh faktor ide-ide baru dan modal yang masih kecil.

“Penurunan yang terjadi pada 2023 dikarenakan ada lonjakan pendanaan yang diperoleh sektor fintech pada 2022 di mana para VC menahan diri selama pandemi. Faktor kedua didorong oleh kebijakan dam kondisi pasar yang baik, startup telah banyak mendatangkan modal dalam satu dekade terakhir. Dengan perubahan kondisi makro, wajar jika perlu mencermati fundamentalnya,” tutur Managing Partner Quest Ventures James Tan.

Pendanaan fintech Indonesia

Merosotnya pendanaan fintech di Asia Tenggara otomatis juga berdampak terhadap pendanaan yang mengalir ke Indonesia. Indonesia menyumbang 27% (sekitar $351 juta) dari total nilai pendanaan fintech $1,3 miliar per 2023 (YTD) di Asia Tenggara. Angka tersebut turun dari porsi sebelumnya 29% (sekitar $1,4 miliar) terhadap total $5,1 miliar pada 2022.

Berdasarkan jumlahnya, sebanyak 16% atau 15 transaksi disuntik ke fintech Indonesia. Jumlah ini turun cukup signifikan dibandingkan tahun 2022 yang sebanyak 22% atau 52 transaksi.

Selain itu, laporan ini menemukan pinjaman alternatif menjadi segmen yang memperoleh pendanaan terbanyak untuk pertama kalinya dengan nilai $408 juta atau sepertiga dari total pendanaan fintech di ASEAN-6. Pada 2022, pendanaan fintech masih didominasi oleh sektor pembayaran (39%), sedangkan pinjaman alternatif hanya 10%.

10 pendanaan fintech terbesar, dipimpin Kredivo

Indonesia tercatat memperoleh pendanaan terbanyak di sektor pinjaman alternatif dengan porsi sebesar 84%, diikuti Filipina (59%), dan Vietnam (48%). Pendanaan seri D yang diterima Kredivo Holdings sebesar $270 juta pada awal 2023, berkontribusi terhadap pendanaan di sektor pinjaman alternatif Indonesia.

Tren green fintech

Laporan ini juga memaparkan temuan terkait pendanaan fintech ke sektor hijau atau green fintech, yang disebut sejalan dengan meningkatnya fokus industri terhadap keberlanjutan (sustainability). Green fintech menawarkan solusi dan peran untuk membantu pelaku bisnis memulai perjalanannya pada aspek keberlanjutan.

Pendanaan yang mengalir ke sektor green tech dan green fintech di Asia Tenggara memang tercatat menurun di 2023 (YTD) menjadi $169 juta dari posisi tahun lalu yang sebesar $300 juta. Namun, para investor melihat ada tren peningkatan green tech, demikian juga pendanaan hijau yang akan menjadi kunci pertumbuhan dari green fintech.

Ada tiga faktor yang akan menjadi pendorong green tech di kawasan ini. Pertama, regulator di mana kini perusahaan dituntut untuk melaporkan dampak aktivitas bisnisnya terhadap lingkungan. Kedua, konsumen gen Z yang menarik perhatian masyarakat karena memiliki kesadaran tinggi terhadap lingkungan.

Gen Z disebut lebih menyukai produk/layanan yang sejalan dengan nilai mereka, dan ini menunjukkan aspek keberlanjutan perlu dilibatkan dalam strategi bisnis perusahaan. Terakhir, pemangku kepentingan. Para investor, lembaga keuangan, dan karyawan menuntut perusahaan untuk mengadopsi strategi keberlanjutan dan melaporkan progresnya.

Dukung Digitalisasi UMKM di Indonesia, UOB Indonesia Meluncurkan Program UOB FinLab

Setelah hadir di Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam UOB Indonesia akhirnya resmi mengumumkan kehadiran UOB FinLab, sebuah program akselerator inovasi bisnis unggulan yang bertujuan untuk mengembangkan dan mendigitalisasi sektor bisnis di Indonesia.

Peluncuran ini menandakan sebuah langkah penting bagi UOB FinLab, mencerminkan ekspansi regional UOB ke dalam lima pasar utama di ASEAN. Ini juga menunjukkan komitmen untuk memperkuat jaringan ekosistem regional untuk pengembangan kapasitas lintas negara, dengan tujuan mendigitalisasi dan memperkaya keterampilan bisnis.

Hendra Gunawan, Presiden Direktur UOB Indonesia, menyampaikan, “Indonesia telah mengalami percepatan pertumbuhan digitalisasi selama bertahun-tahun yang salah satunya didorong oleh kontribusi perusahaan perintis sebagai bagian dari ekosistem digital. Di UOB Indonesia, kami percaya bahwa untuk menciptakan ekosistem digital yang kondusif, diperlukan dukungan dari pihak pemerintah, swasta, serta masyarakat dalam rangka mendukung pertumbuhan industri digital, infrastruktur, dan pelatihan yang tepat. Melalui kehadiran UOB United Overseas Bank Limited Co. Reg. No. 193500026Z FinLab di Indonesia, kami dapat menyediakan perangkat, pengetahuan, dan sumber daya yang dibutuhkan dunia usaha untuk meningkatkan daya saing produk dan layanan digital Indonesia”

Sementara itu menurut Edisono Limin, Country Head of Channels and Digitalisation, UOB Indonesia, “Adopsi digital dapat menjadi tantangan bagi dunia usaha termasuk UKM. Kami hadir untuk mendukung proses digitalisasi mereka dengan menyediakan solusi, jaringan, dan peluang pembelajaran penting yang disesuaikan dengan kebutuhan, dimulai dengan program UKM SUKSES.”

UOB FinLab juga menginisiasi program perdana digitalisasi yang diberi nama UKM SUKSES (Sistem Usaha Kreatif dan Solusi Ekonomi Sejahtera). Program selama dua hari ini dirancang untuk memberikan wawasan, strategi dan saran praktis mengenai penerapan teknologi digital dalam e-commerce, pemasaran digital, dan logistik, sehingga membantu UMKM untuk mendigitalisasi dan mengembangkan usaha mereka.

Bersamaan dengan peluncuran tersebut, UOB FinLab Indonesia juga telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) bersama mitra ekosistem lokal seperti SMESCO, HIPMI, dan APINDO untuk menciptakan sebuah ekosistem yang terintegrasi, saling mendukung, dan dinamis, sehingga memungkinkan bisnis untuk berkembang secara digital dan berkelanjutan.

Kolaborasi ini melibatkan pertukaran wawasan, program, dan keahlian antarnegara untuk mendigitalisasi, mengembangkan keterampilan, dan memberi dukungan kepada 5.000 bisnis di tiga tahun mendatang.

UOB FinLab telah memberikan dukungan kepada lebih dari 23.000 UKM di seluruh ASEAN. UOB FinLab juga memfasilitasi sektor bisnis untuk memanfaatkan ekosistem regional dalam memberikan akses ke berbagai ahli bisnis dan teknologi serta perangkat dan konten untuk mempercepat proses digitalisasi mereka.

Dengan berbagai perspektif dan platform yang terintegrasi, UOB Indonesia berambisi untuk memberikan UKM lokal pemahaman dan strategi yang diperlukan untuk menjelajahi era digital dengan efektif.

Kompetisi Perusahan Tekfin dan Pinjaman Konvensional di Tengah Pasar Asia Tenggara

Raksasa teknologi Asia Tenggara berada dalam pertempuran intensif dengan bank konvensional besar atas layanan perbankan digital yang berkembang di kawasan ini.

Para “superapp” seperti GoTo dan Grab ingin meningkatkan jangkauan layanan perbankan mereka, dan pemain yang ada menggunakan wilayah ini sebagai sandbox untuk eksperimen digital, populasi di daerah yang telah lama diabaikan mungkin akan segera memiliki akses ke beberapa perusahaan keuangan paling maju secara teknologi jasa di dunia.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Google, Temasek Holdings dan Bain & Co., sekitar setengah dari hampir 400 juta orang dewasa di Asia Tenggara tidak memiliki rekening bank. Lebih dari 90 juta lebih “underbanked”: Mereka memiliki rekening bank tetapi tidak memiliki akses yang memadai ke produk investasi, asuransi, atau kredit. Jutaan usaha kecil dan menengah juga menghadapi kesenjangan pendanaan yang signifikan, menurut penelitian tersebut.

Masalahnya sangat pelik di Indonesia, di mana lebih dari 70% orang dewasa—sekitar 140 juta orang—tidak memiliki rekening bank atau unbanked, sebagian karena biaya menawarkan layanan tradisional. Membangun jaringan perbankan fisik, seperti kantor cabang dan ATM, untuk mencakup kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau untuk melayani sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah terbukti hampir mustahil.

Tetapi adopsi smartphone yang cepat di negara ini mengubah lanskap industri. GoTo, konglomerat teknologi terbesar di Indonesia, akan segera menawarkan layanan perbankan terintegrasi penuh dengan mitra lokalnya, Bank Jago, bersaing langsung dengan inovasi digital dari bank-bank konvensional, termasuk DBS Group Holdings Singapura dan United Overseas Bank (UOB).

Grafik oleh Nikkei Asia

Bagi GoTo, yang dibentuk melalui penggabungan dua perusahaan teknologi paling terkemuka di Indonesia, penyedia layanan transportasi online Gojek dan raksasa e-commerce Tokopedia, ekspansi tersebut merupakan perpanjangan alami dari layanan yang telah ditawarkan melalui superapp-nya.

Layanan e-walletnya, GoPay, memungkinkan pelanggan melakukan setoran tunai di toko serba ada dan menggunakan aplikasi untuk melakukan pembelian, mengakses kredit melalui skema “beli sekarang, bayar nanti”, bahkan melakukan investasi mikro dalam dana indeks dan emas AS.

Gojek membeli 22% saham Bank Jago, sebuah bank lokal, pada akhir tahun lalu. Bersama-sama mereka berencana untuk menawarkan berbagai layanan perbankan. Pelanggan GoPay di Indonesia akan segera menerima pesan yang mengatakan, “Buka rekening Bank Jago”, yang dapat mereka atur dengan mudah langsung dari aplikasi. Uang tunai yang sudah ada di dompet elektronik mereka dapat digunakan sebagai setoran pertama mereka. Pelanggan akan segera menerima kartu debit Visa dan akses ke opsi investasi. Ini termasuk keuntungan diskon untuk produk yang dijual di Tokopedia.

Layanan ini terlihat seperti kombinasi Amazon.com, Robinhood, PayPal, dan Citibank, semuanya dalam satu aplikasi. Tujuan utama perusahaan “adalah menjadi inti dari cara pengguna mengelola keuangan mereka,” ujar Budi Gandasoebrata, direktur pelaksana GoPay.

GoTo juga berencana menawarkan layanan perbankan serupa kepada usaha kecil dan menengah yang menggunakan layanan Gojek dan Tokopedia. “Di situlah kita melihat [layanan], mudah-mudahan, dalam lima tahun ke depan,” tambah Budi.

Tidak sulit untuk melihat mengapa Indonesia menjadi fokus inovasi dan persaingan di bidang perbankan. Negara ini merupakan yang terpadat di kawasan dan setengah dari populasinya berusia 30 tahun atau lebih muda, salah satu yang paling cerdas secara digital. Menurut Boston Consulting Group, hal ini mendorong tingkat pembayaran elektronik tertinggi kedua di Asia Tenggara, setelah Singapura, pada akhir 2019. Jumlah konsumen kelas menengah dan kelas atas di Indonesia diperkirakan akan tumbuh hingga 130 % antara 2019 dan 2024. Selama periode yang sama, pendapatan perbankan diperkirakan akan meningkat dari USD 47 miliar menjadi USD 77 miliar.

Awal tahun ini, raksasa internet Sea berbasis di Singapura yang menyediakan layanan e-commerce dan e-wallet yang bersaing langsung dengan GoTo, mengambil kendali mayoritas dari pemberi pinjaman kecil Indonesia bernama Bank Kesejahteraan Ekonomi, yang kemudian berganti nama menjadi SeaBank. Akulaku, sebuah startup fintech Indonesia yang didukung oleh Grup Ant China, juga bergabung dalam kemelut tersebut, menjadi pemegang saham terbesar di Bank Yudha Bhakti, yang kemudian berubah nama menjadi Bank Neo Commerce.

Namun, bank-bank incumbent besar di Asia Tenggara, seperti DBS dan UOB Singapura, telah lebih dulu menyediakan layanan perbankan digital di kawasan ini.

UOB meluncurkan bank digital TMRW di Thailand pada 2019, dan di Indonesia pada tahun berikutnya. Layanan ini telah mengakuisisi lebih dari 400.000 pengguna.

Grafik oleh Nikkei Asia

Janet Young, Head of Group Channels and Digitization UOB, mengatakan perusahaan sangat menyadari persaingan yang semakin ketat dari raksasa teknologi. “Kami melihat mereka sebagai pesaing karena mereka memiliki ekosistem … tetapi memiliki persyaratan peraturan yang lebih sedikit karena mereka bukan bank. Menjalankan bank dengan segala seluk beluknya, semua pedoman regulasi—mengelola neraca berbeda dari sekadar menjadi e-wallet,” katanya.

Berbeda dengan pendatang baru, Janet mengatakan TMRW dirancang untuk melayani para profesional muda di kawasan ini, seperti mereka “yang telah lulus dari perguruan tinggi dan mendapatkan pekerjaan, atau seseorang yang telah bekerja selama beberapa tahun, dan pelanggan yang paham digital terutama yang mengutamakan seluler.”

Janet menekankan bahwa UOB tidak menggunakan layanan perbankan digitalnya sebagai “langkah defensif” untuk menangkis raksasa teknologi. Sebaliknya, katanya, “kami menggunakan TMRW sebagai strategi akuisisi [pelanggan]. Ini adalah akuisisi dengan biaya lebih rendah bagi kami, dibandingkan dengan [bisnis] inti. Bank digital jauh lebih terukur dan hemat biaya.”

UOB juga menggunakan TMRW sebagai laboratorium inovasi, yang diyakini akan memperkuat layanan perbankan inti di pasar negara maju seperti Singapura. Bulan lalu perusahaan mengumumkan rencana investasi sebesar SGD 500 juta (USD 371 juta) dalam layanan digital dan untuk menyatukan kemampuan bank digitalnya dari TMRW dan aplikasi perbankan utamanya yang digunakan di negara-negara seperti Singapura. Bank mengatakan bahwa mereka “berusaha menggandakan pelanggan ritel yang dilayaninya secara digital ke lebih dari 7 juta pelanggan di seluruh ASEAN pada tahun 2026.”

“Perilaku konsumen condong ke digital. Jika kita tidak digital, kita akan kehilangan kemampuan untuk melayani mereka,” tambah Janet.

Kemelut antara bank dan perusahaan fintech juga akan memanas di pasar dalam negeri UOB. Penyedia superapp yang berbasis di Sea dan Singapura, Grab, berencana untuk meluncurkan layanan perbankan digital di kota itu awal tahun depan. Analis mengatakan para pemain membawa kekuatan yang besar tetapi berbeda untuk bertarung.

“Lembaga keuangan incumbent dalam layanan perbankan digital memiliki keuntungan memperoleh pembiayaan untuk investasi, karena mereka memiliki lebih banyak agunan dan reputasi yang lebih baik, dan hubungan dengan kreditur dan investor yang ada,” sebut Gavin Yue, konsultan riset di Kapronasia, konsultan yang berfokus pada fintech. perusahaan.

“Mereka juga memiliki akses yang lebih baik ke dana internal, yang menyiratkan bahwa mereka memiliki permodalan yang lebih baik. Ini dapat berdampak pada, misalnya, inisiatif pemasaran, penetapan harga, dan akuisisi.”

Tetapi “di sisi lain, pemula digital memiliki infrastruktur data yang lebih fleksibel, tidak seperti institusi lama yang harus bergulat dengan lapisan teknologi lama, yang merusak analisis data dan selanjutnya produk, layanan, dan pengalaman keseluruhan yang [mereka] dapat berikan kepada konsumen ,” tambaah Gavin.

“Masuknya para pemula teknologi seperti Grab atau Sea adalah hal yang ambisius, tetapi pada saat yang sama diperhitungkan. Sebagian besar didorong oleh pandemi, konsumen semakin mencari saluran digital untuk melengkapi hampir semua aspek gaya hidup mereka.”

Revolusi fintech di Asia Tenggara memaksa pemain lain di ekosistem keuangan, seperti Visa dan Mastercard, untuk beradaptasi.

“Pada tahun tertentu, kami bermitra dengan 50 hingga 60 perusahaan fintech di Asia-Pasifik,” kata Matthew Wood, yang mengawasi kemitraan digital dan fintech Visa di wilayah tersebut. Tobias Puehse, wakil presiden untuk inovasi dan solusi pelanggan bisnis Mastercard Asia-Pasifik, mengatakan bahwa “pasar yang terus berkembang” — mereka yang pelanggannya mengabaikan struktur perbankan lama dan merangkul aplikasi seluler dan pembayaran digital terlebih dahulu — “akan selalu memberi kita gambaran sekilas tentang perilaku konsumen .”

Kedua perusahaan pembayaran bersaing keras di kawasan ini untuk memperluas kemitraan mereka di luar bank tradisional. Visa berinvestasi di Gojek pada 2019 dan Mastercard adalah mitra Grab. Menurut Visa, kurang dari separuh konsumen di Asia Tenggara melihat uang tunai sebagai metode pembayaran pilihan mereka. “Pada akhirnya, tujuan kami adalah melenyapkan uang tunai, dan fintech dapat dan akan menjadi pendorong besar untuk menggerakkan perdagangan di Asia Tenggara menjadi semakin digital,” kata Matthew.

Serangkaian gangguan komputer yang dihadapi tahun ini oleh bank Jepang Mizuho, ​​termasuk salah satu yang membuat sebagian besar ATM-nya terhenti sementara, adalah pengingat akan sulitnya meningkatkan sistem turunan, sambil menutup cabang inti di pasar yang sudah mapan seperti AS mengeluarkan biaya restrukturisasi jangka pendek, bahkan jika itu menghemat uang dalam jangka panjang.

Tetapi pemain di sektor keuangan baru dan lama di Asia Tenggara menunjukkan bahwa mereka dapat membangun infrastruktur perbankan digital khusus aplikasi, hampir dari awal, di negara-negara seperti Indonesia — contohnya tentang lompatan. Seperti yang dikatakan Yue dari Kapronasia: “Tentu saja persaingan dari pemain baru akan membuat konsumen diuntungkan.”


Artikel ini pertama kali dirilis oleh Nikkei Asia, dipublikasi kembali oleh KrAsia. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Kolaborasi UOB Indonesia dan COCOWORK Dukung Pertumbuhan Startup

Bertujuan merangkul lebih banyak perusahaan rintisan dan UKM, Bank UOB Indonesia umumkan kemitraan dengan COCOWORK menghadirkan UOB X COCOWORK. Dalam sambutannya, Direktur Utama UOB Indonesia Kevin Lam mengungkapkan, coworking space UOB X COCOWORK di gedung UOB Plaza Jakarta diharapkan bisa menjadi platform startup bekerja dan berkolaborasi.

“Kemitraan strategis ini bisa membantu pelaku UKM dan startup agar bisa mendukung perkembangan ekonomi Indonesia. UOB Indonesia berharap bisa menjadi bagian dari ekosistem tersebut.”

Tidak hanya ruangan kerja, di coworking space UOB X COCOWORK semua startup dan pelaku UKM yang bergabung bisa memanfaatkan jaringan UOB di Indonesia dan di negara lainnya. Berbentuk pelatihan hingga konsultasi khusus, UOB Indonesia ingin membantu startup mengembangkan bisnisnya. Saat ini ada sekitar 40 perusahaan yang menjadi tenant di coworking space UOB X COCOWORK.

Meskipun secara khusus menargetkan layanan fintech, UOB Indonesia juga membuka kesempatan untuk perusahaan teknologi, perusahaan pemasaran digital, penyedia layanan profesional seperti kantor pengacara, akuntan dan spesialis properti intelektual untuk bergabung dengan komunitas UOB Indonesia dan COCOWORK.

“Bank UOB telah hadir di 15 negara dan kami siap membantu startup yang berniat mengembangkan usahanya. Nantinya jika diperlukan kami akan memberikan konsultasi hingga mengajak untuk bergabung dalam kegiatan CSR yang kami miliki,” kata Channels Director UOB Indonesia Pardi Kendy.

UOB juga memberikan layanan finansial kepada startup yang ingin mendapatkan tambahan modal usaha.

Rencana ekspansi COCOWORK

Setelah mengumumkan rebranding menjadi COCOWORK (sebelumnya EV Hive) pada bulan Juni lalu, COCOWORK memiliki rencana akhir tahun 2018 untuk ekspansi ke tiga kota baru, yaitu Makassar, Bali, dan Yogyakarta.

Sudah berdiri selama tiga tahun, COCOWORK kini telah memiliki 21 lokasi di Jakarta dan Medan dengan jumlah tiga ribu anggota. Rencana ekspansi COCOWORK diharapkan bisa memperluas kesempatan bekerja bagi startup di kota lainnya.

“Melalui kerja sama dengan UOB Indonesia, anggota kami dapat memiliki peluang untuk mengembangkan bisnis mereka di Asia Tenggara,” tutup Co-Founder & CEO COCOWORK Carlson Lau.