Shinta VR dan Penerapan Metaverse dalam Segmen B2B

Sejak didirikan pada tahun 2016 lalu, bisnis Shinta VR diklaim mengalami peningkatan yang positif. Bukan hanya dari sisi inovasi, namun juga target pasar dan mitra strategis yang makin banyak. Masih fokus menyasar kepada segmen B2B, kini Shinta VR tengah mempersiapkan diri untuk menghadirkan inovasi yang lebih besar kepada virtual reality enthusiast di Indonesia.

“Saya melihat tahun 2022 mendatang akan lebih banyak lagi permintaan perangkat VR di Indonesia. Membuktikan bahwa teknologi VR sudah semakin dikenal dan digunakan oleh semua kalangan,” kata Managing Director Shinta VR Andes Rizky kepada DailySocial.id.

Secara khusus saat ini Shinta VR memiliki tiga produk unggulan, yaitu  produk edukasi untuk sekolah, layanan human development untuk pelatihan pegawai perusahaan, serta platform entertainment/new media. Shinta VR juga telah membantu ribuan sekolah di 34 provinsi di Indonesia menggunakan teknologi 3D dan VR dalam pembelajaran melalui unit bisnisnya, yaitu Millealab.

Dengan strategi ‘community based content’ Millealab berhasil menciptakan dampak luas bagi dunia pendidikan Indonesia dengan mencetak 5200 guru terlatih dan 130 guru ambasador VR sejak 2019, dan sudah digunakan oleh ratusan sekolah di seluruh Indonesia.

“Masing-masing produk memiliki kekuatan tersendiri yang nantinya jika diintegrasikan, bisa memberikan impact yang luas dan relevan. Untuk mempercepat pertumbuhan, perusahaan juga berencana untuk memperluas target pasar,” kata Andes.

Disinggung apakah ke depannya Shinta VR juga akan menggarap gaming, Andes menegaskan tren game memanfaatkan teknologi VR ke depannya adalah lebih kepada multiplayer. Meskipun memiliki potensi untuk bisa dikembangkan namun mereka masih merasa enggan untuk masuk ke sana. Ada dua alasan, pertama dibutuhkan sumber daya besar untuk menciptakan inovasi tersebut. Kedua, pangsa pasar di segmen B2B masih luas dan cenderung lebih mudah dimonetisasi.

Kantongi pendanaan pra-seri A

Tim Shinta VR dengan TigaLapan Investama Group

Akhir Oktober 2021 lalu, Shinta VR mengumumkan telah mengantongi pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh TigaLapan Investama Group dan Investa Syailendra Nuswantara (INSAN) sebagai business/investment aggregator. Pendanaan ini melengkapi perolehan sebelumnya oleh Telkomsel Innovation Centre (TINC), Rentracks, dan beberapa angel investor.

Tahun 2022 mendatang Shinta VR juga memiliki rencana untuk melanjutkan pendanaan ke tahapan seri A.

Rencananya dana segar tersebut bakal digunakan oleh perusahaan untuk merekrut lebih banyak tim engineer dan melakukan riset produk secara internal untuk mendukung misi perusahaan melebarkan bisnis. Dengan investasi ini, Shinta VR berfokus untuk menjadi perusahaan metaverse paling berdampak di Indonesia.

“Perkembangan Shinta VR sejak tahun 2016 hingga saat ini sudah mengalami pertumbuhan yang positif. Setelah menjalankan bisnis secara bootstrap kini kami mampu bermitra dengan investor yang memiliki koneksi strategis untuk membantu bisnis Shinta VR,” kata Andes.

Fokus mereka yang menyasar segmen B2B dengan menghadirkan produk edukasi dan human development dinilai sangat relevan saat ini. Selama ini perusahaan mengklaim telah berhasil mendapatkan revenue dari produk yang mereka hadirkan.

Selain Shinta VR, perusahaan yang mengembangkan teknologi VR/AR di Indonesia adalah Festivo, DCIMAJI, Magnate, ARnCO, Octagon Studio, Primetech, Avergo, Omni VR, Invoya, INVR, DAV, Varcode. Semua perusahaan tersebut saat ini tergabung dalam Indonesian VR/AR Association (INVRA).

Penerapan metaverse di Indonesia

Di Indonesia sendiri saat ini teknologi VR sudah makin dikenal. Dilihat dari makin banyaknya marketplace yang menjual perangkat VR, menjadikan teknologi ini sudah semakin familiar dikalangan masyarakat. Dukungan dari pemerintah diklaim makin besar, dengan semakin banyaknya perusahaan lokal yang bermain di industri VR saat ini.

Apakah saat ini Indonesia sudah siap menerapkan konsep metaverse? Menurut Andes secara umum saat ini metaverse sudah banyak dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Melalui online games yang sifatnya semi-metaverse, secara langsung masyarakat Indonesia sudah terbiasa berinteraksi walaupun tidak langsung masuk ke metaverse yang sebenarnya. Teknologi yang digunakan juga tidak harus 5G, dengan 4G pun bisa didapatkan hasil yang bagus.

Metaverse menurut saya lebih melibatkan koneksi emosional. Jika bermain game seperti Among Us misalnya sudah bisa dikategorikan kepada metaverse, namun belum masuk dalam definisi metaverse yang sebenarnya. Saat ini pun perangkat untuk VR sudah semakin terjangkau harganya dan banyak dijual di berbagai marketplace. Artinya kita sudah siap, tinggal ditambahkan immersive, connection, dan emotional connection,” kata Andes.

Meskipun sangat luas definisi tentang metaverse, namun menurut Andes ada planet-planet kecil yang masih bisa dimanfaatkan untuk mendukung bisnis. Salah satunya adalah fokus kepada edukasi dan human development. Dengan integrasi data dan lainnya, nantinya juga bisa terhubung dengan metaverse lainnya seperti meta-commerce, blockchain, hingga NFT. Ditambahkan olehnya jika bicara soal metaverse hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana caranya bisa melakukan koneksi yang tepat,

“Misalnya untuk edukasi di sekolah bisa mendapatkan data insight untuk mengukur behavior siswa belajar di dunia virtual, demikian juga dengan human development dengan mendapatkan data yang lebih kompleks. Kemudian untuk virtual character system bisa didapatkan juga data koneksi emosional berinteraksi secara virtual,” kata Andes.

Pimax Luncurkan VR Headset Baru dengan Resolusi Display 12K dan Full Body Tracking

Sejak tahun 2016, Pimax terus membuat gebrakan di industri virtual reality (VR) headset, utamanya terkait resolusi display. Yang terbaru, Pimax menyingkap headset bernama Reality 12K QLED, dan sesuai namanya, ia mengunggulkan display berteknologi QLED dengan resolusi total sebesar 12K.

Secara teknis, headset ini mengemas sepasang panel Mini LED berukuran 5,5 inci dengan kepadatan piksel sebesar 1.200 ppi. Tidak cukup sampai di situ saja, display-nya juga menawarkan refresh rate maksimum 200 Hz serta field of view yang sangat luas — 200° horizontal dan 135° vertikal.

Yang mungkin langsung memicu pertanyaan adalah, adakah PC yang sanggup menangani resolusi setinggi itu mengingat 8K saja masih jauh dari kata mainstream? Well, itulah gunanya teknologi foveated rendering. Berbekal eye tracker besutan Tobii, perangkat bisa mendeteksi ke arah mana mata pengguna melihat secara real-time, dan informasi tersebut akan digunakan oleh sistem untuk menentukan bagian mana yang perlu di-render dalam resolusi penuh dan mana yang tidak.

Namun mata bukan satu-satunya bagian tubuh yang bisa dibaca pergerakannya oleh headset ini. Empat buah kamera di bagian depannya mewujudkan tracking 6DoF, dan perangkat pun dirancang agar dapat memonitor pergerakan controller sekaligus tangan pengguna secara langsung.

Di dalam, masih ada dua kamera lagi untuk facial tracking. Pimax bahkan turut menyematkan tiga kamera ekstra yang dihadapkan ke bawah, yang bertugas untuk memonitor pergerakan bibir sekaligus tubuh dan kaki.

Menariknya, Pimax Reality 12K QLED tidak selamanya harus terhubung ke PC, sebab ia sebenarnya juga merupakan headset bertipe standalone yang mampu beroperasi secara mandiri layaknya Oculus Quest 2 maupun HTC Vive Flow. Chipset yang tertanam bahkan sama seperti milik Quest 2, yakni Qualcomm Snapdragon XR2.

Tanpa perlu terkejut, performanya bakal menurun dalam mode standalone. Display-nya pun juga dibatasi di resolusi 8K atau 5K saja dalam mode ini, demikian pula refresh rate-nya di 120 Hz dan field of view di 150°. Suplai dayanya sendiri datang dari baterai 6.000 mAh yang terpasang di sisi belakang.

Di atas kertas, Pimax Reality 12K QLED terdengar amat menjanjikan, sehingga tidak heran kalau harganya tergolong mahal: $2.399. Yang menarik, bagi konsumen yang sudah memiliki headset Pimax lain, mereka bisa mendapat potongan harga sebesar harga asli headset yang dibelinya itu. Pemasarannya sendiri dijadwalkan berlangsung mulai kuartal ke-4 tahun depan.

Sumber: VR Focus.

Bocoran Detail PSVR untuk PS5 Tunjukkan Peningkatan Impresif

Meskipun bukan jadi perangkat wajib, absennya perangkat virtual reality (VR) pada peluncuran PlayStation 5 memang membuat banyak fans bertanya-tanya. Apalagi Sony juga memperlihatkan aksesoris PS5 lain seperti 3D Pulse headset hingga PS Media Remote.

Namun akhirnya keberadaan dari perangkat yang disebut PSVR ini terungkap saat gelaran Sony developer summit. Meskipun tidak diumumkan untuk umum, detail mengenai headset VR ini dibagikan oleh kanal YouTube PSVR Without Parole. Dalam event tersebut, Sony memberikan detail spesifikasi dan fitur untuk perangkat baru ini.

Perangkat yang belum memiliki nama resmi ini sebelumnya juga sempat dibocorkan oleh UploadVR akan memiliki resolusi 4000×2040 pixel atau 2000×2040 pada setiap layar/matanya. PSVR baru ini juga dikatakan akan menggunakan eye-tracking untuk mengoptimalkan performa rendering-nya.

Image credit: Sony

Nantinya, perangkat VR ini akan menggunakan teknologi bernama foveated rendering dan juga flexible scaling resolution. Kedua teknologi ini untuk lebih meningkatkan performa dari game-game PSVR.

Detail lain yang diungkap lewat video tersebut adalah perangkat ini memiliki kode nama NGVR (next-generation VR) dan akan menggunakan layar HDR OLED dengan luas pandangan (FOV) seluas 110 derajat. 10 derajat lebih luas dari PSVR.

Yang unik adalah dikabarkan juga bahwa perangkat kepala dari PSVR ini juga dilengkapi dengan teknologi haptic feedback seperti pada joystick DualSense. Entah bagaimana prakteknya dalam game nanti namun dikatakan bahwa perangkat kepalanya nanti akan dilengkapi dengan rumbling rotary motor.

Berlanjut ke kontrolernya, perangkat VR ini nantinya akan punya kontroler dengan sensor sentuh kapasitif untuk ibu jari, telunjuk, dan juga jari tengah. Sensor ini dikabarkan akan melakukan tracking gerakan terhadap kontroler, namun juga mengetahui seberapa jauh jari-jari mereka berada dari kontroler.

Sony juga dilaporkan telah mengatakan kepada para pengembang untuk memberikan dukungan virtual reality kepada game-game AAA yang tengah mereka kerjakan. Yang nantinya mereka juga akan memberikan pilihan kepada para pemain untuk memilih apakah mereka ingin mengunduh versi untuk monitor atau versi VR.

Mengenai perilisannya, kanal PSVR Without Parole mengatakan bahwa Sony tidak akan merilisnya pada tahun ini. Sehingga kemungkinan besar headset VR PS5 ini akan tiba paling cepat awal tahun depan.

Facebook akan Mulai Coba Pasang Iklan di dalam Game Oculus

Salah satu perangkat virtual reality atau VR Oculus mengumumkan bahwa mereka akan mulai mencoba memasangkan iklan di dalam game-game mereka. Hal ini diumumkan lewat postingan blog resminya.

Iklan-iklan yang nantinya akan muncul merupakan iklan yang sudah disesuaikan lewat profil Facebook para pemain. Oculus memang telah dimiliki oleh Facebook sejak 2014. Dan sebelumnya mereka telah membuat para pengguna Oculus untuk login menggunakan akun Facebook mereka.

Pengembangan yang kini dipegang oleh Facebook Reality Labs (FRL) ini bertujuan untuk mengajak lebih banyak orang ke dalam VR. Pemasangan iklan dalam game ini diklaim merupakan bagian penting agar mereka dapat menciptakan platform yang mandiri.

Oculus Quest (image credit: Oculus)

Facebook awalnya sudah menguji coba iklan ini pada aplikasi mobile Oculus bulan lalu. Sistemnya adalah Oculus menarik data dari aktivitas Facebook pemain dan akan menampilkan iklan yang relevan di slot-slot spesifik dalam game-nya.

Data pengguna ini juga termasuk apa saja yang mereka lakukan di dalam Oculus, seperti aplikasi apa saja yang mereka lihat dan instal. Namun Facebook menjamin kerahasiaan hal-hal sensitif seperti percakapan pribadi baik tulisan maupun pembicaraan — termasuk informasi tinggi, berat badan, dan juga gender dari pemainnya.

Pemain nantinya akan dapat mengklik ikan yang dilihat dan bisa memilih untuk membukanya atau menyimpan tautan iklannya untuk nanti. Pemain juga memiliki kemampuan untuk melaporkan iklan atau menyembunyikannya. Meskipun tidak diketahui apakah ada pilihan atau cara untuk menon-aktifkan iklan tersebut secara penuh.

Pemain bisa menyembunyikan iklan atau bahkan melaporkannya (image credit: oculus)

Berita baiknya adalah dari setiap iklan yang diklik para pemain di dalam game, maka para pengembang game tersebut juga mendapatkan bagian. Meskipun sayangnya tidak dijelaskan berapa persentase yang bisa didapatkan oleh para pengembang ini dari iklan real-time di dalam game-nya.

Pada percobaannya, game yang akan digunakan adalah Blaston buatan Resolution Games. Ke depannya, dikatakan bahwa telah ada beberapa pengembang lain yang akan mengadaptasi fitur ads ini di dalam game-nya. Sayangnya tidak ada informasi game apa sajakah yang dimaksud.

Fokus ke Segmen Enthusiast dan Enterprise, HTC Luncurkan Vive Pro 2 dan Vive Focus 3

Oculus dan HTC memulai kiprahnya di ranah virtual reality pada saat yang hampir bersamaan, akan tetapi masing-masing kini bermain di segmen yang berbeda. Oculus kini berfokus di segmen consumer secara luas dengan Quest 2 sebagai satu-satunya VR headset yang mereka tawarkan, sedangkan HTC lebih condong ke segmen enthusiast dan enterprise.

Keduanya sepertinya sudah cukup nyaman dengan segmentasi seperti itu. HTC belum lama ini memperkenalkan dua VR headset baru, yakni Vive Pro 2 dan Vive Focus 3, dan keduanya tidak ada yang dimaksudkan untuk menjadi pesaing Oculus Quest 2. Vive Pro 2, seperti pendahulunya, ditujukan untuk kalangan enthusiast yang memiliki PC berspesifikasi tinggi, sedangkan Vive Focus 3 adalah penerus Vive Focus Plus yang ditujukan buat kalangan enterprise.

Secara fisik, desain Vive Pro 2 tampak cukup identik seperti pendahulunya. HTC merasa tidak banyak yang perlu diubah, sebab headset tersebut sudah terbukti nyaman digunakan. Yang dirombak adalah jeroannya, spesifiknya panel display-nya, yang kini menawarkan resolusi 5K (2448 x 2448 pixel per mata), refresh rate maksimum 120 Hz, dan field of view seluas 120°.

Lain ceritanya dengan Vive Focus 3. Desainnya sudah banyak diubah demi meningkatkan kenyamanannya secara signifikan. Rangkanya kini terbuat dari bahan magnesium, menjadikannya sekitar 20 persen lebih ringan daripada pendahulunya, dan di saat yang sama jauh lebih tahan banting daripada headset serupa yang bodinya terbuat dari plastik.

Distribusi beratnya pun kini lebih seimbang berkat modul baterai yang diposisikan di belakang. Lebih menarik lagi, baterainya bisa dilepas-pasang dengan mudah, sangat cocok untuk kebutuhan konsumen enterprise yang mungkin mengharuskan headset untuk beroperasi nonstop selama berjam-jam.

Seperti sebelumnya, Vive Focus 3 merupakan headset bertipe standalone, yang berarti ia dapat beroperasi secara mandiri tanpa bantuan PC ataupun smartphone. HTC memercayakan chipset Qualcomm XR2 sebagai otaknya, sedangkan display-nya cukup mirip seperti Vive Pro 2 tadi — 2448 x 2448 pixel per mata dengan field of view 120° — hanya saja refresh rate-nya cuma 90 Hz.

Di Amerika Serikat, HTC Vive Pro 2 kabarnya akan segera dipasarkan dengan harga $749 (headset-nya saja), atau $1.399 untuk paket lengkap yang mencakup dua base station dan dua controller. Vive Focus 3 di sisi lain akan dijual seharga $1.300 mulai akhir bulan Juni mendatang.

Sumber: Engadget dan UploadVR.

Oculus Rift S Resmi Di-discontinue

Dibandingkan HTC Vive, lineup produk virtual reality yang Oculus tawarkan terkesan sangat sederhana. Dalam waktu dekat, portofolio produknya bahkan bakal jauh lebih simpel lagi dengan dihentikannya produksi Oculus Rift S, penerus Oculus Rift orisinal yang diperkenalkan di tahun 2019.

Kalau kita cek di situs resmi Oculus, terpampang status Rift S yang sedang kosong. Kepada UploadVR, Oculus sendiri juga telah mengonfirmasi bahwa mereka tidak berniat menambah stok Rift S, dan ini sejalan dengan rencana awal mereka ketika meluncurkan VR headset baru tahun lalu, yakni Oculus Quest 2. Kala itu, Oculus sempat bilang bahwa Rift S bakal segera di-discontinue.

Keputusan Oculus untuk berfokus pada Quest 2 saja sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Dibanding Rift S, headset tersebut memang menawarkan banyak kelebihan, utamanya adalah kemudahan penggunaan tanpa harus tersambung ke PC. Di saat yang sama, Quest 2 tetap dapat dihubungkan ke PC via kabel seandainya diperlukan (untuk memainkan gamegame yang lebih berat, yang membutuhkan kinerja kartu grafis milik PC).

Oculus Quest 2 / Oculus
Oculus Quest 2 / Oculus

Tidak heran apabila Quest 2 pada akhirnya menjadi produk terlaris Oculus meski baru dipasarkan selama kurang dari enam bulan. Jumlah persis unit yang terjual memang tidak disebutkan, tapi yang pasti lebih banyak ketimbang penjualan headsetheadset lain Oculus digabungkan (Rift, Go, Rift S, dan Quest generasi pertama). Harga yang cukup terjangkau — $299 — tentu turut berkontribusi terhadap kesuksesan Quest 2 di pasaran.

Yang mungkin menjadi pertanyaan adalah, apakah ke depannya Oculus masih akan melanjutkan seri Rift? Pertanyaan ini cukup tricky karena Oculus sendiri sebenarnya sudah pernah mengembangkan Rift 2. Sayangnya produk tersebut tidak pernah terealisasi karena Oculus membatalkan pengembangannya di tahun 2018, padahal tahap produksinya tinggal selangkah lagi kalau kata Palmer Luckey, founder Oculus sekaligus inventor Rift orisinal.

Sebagai gantinya, di tahun 2019 diluncurkanlah Rift S yang merupakan hasil kolaborasi Oculus bersama Lenovo. Dibanding pendahulunya, Rift S menghadirkan penyempurnaan dalam bentuk peningkatan resolusi sekaligus implementasi inside-out tracking, tidak ketinggalan pula banderol harga yang lebih terjangkau di angka $399.

Sumber: UploadVR.

HTC Luncurkan Vive Facial Tracker, Aksesori VR Opsional yang Mampu Mengenali Beragam Ekskpresi Wajah

Virtual reality tidak melulu soal display. Aspek tracking juga sangat penting dalam hal memindahkan pengguna ke sebuah realita buatan, dan itulah mengapa produsen VR headset seperti HTC terus bereksperimen dengan teknologi-teknologi tracking yang inovatif.

Buah pemikiran terbaru mereka adalah Vive Facial Tracker. Sesuai namanya, perangkat ini diciptakan untuk mengenali ekspresi wajah pengguna dengan memperhatikan pergerakan di bagian-bagian seperti bibir, gigi, lidah, rahang, pipi, maupun dagu. Menurut klaim HTC, total ada 38 jenis pergerakan wajah yang dapat diidentifikasi.

Jadi ketika pengguna tersenyum, maka avatar-nya (karakter yang diperankan di dalam VR) juga akan ikut tersenyum, demikian pula ketika pengguna cemberut. HTC mengklaim latency serendah 10 milidetik, yang berarti hampir tidak ada jeda antara pergerakan wajah pengguna dengan pergerakan wajah sang avatar.

Vive Facial Tracker

HTC tidak lupa melengkapi sepasang kamera milik Vive Facial Tracker dengan sebuah infrared illuminator sehingga tracking tetap bisa dilangsungkan meski kondisi pencahayaan di dalam ruangan tergolong minim. Dipadukan dengan headset Vive Pro Eye yang mengemas teknologi eye tracking, aksesori ini pastinya mampu menerjemahkan ekspresi wajah pengguna secara lebih akurat lagi.

Satu hal yang terdengar agak mengecewakan adalah perihal kompatibilitas. Aksesori ini hanya dapat digunakan bersama Vive Pro atau Vive Pro Eye. Lini Vive Cosmos yang bersifat standalone sama sekali tidak didukung, dan Valve Index pun juga tidak kompatibel meski sama-sama merupakan bagian dari ekosistem SteamVR. Di Amerika Serikat, Vive Facial Tracker kabarnya akan segera dipasarkan dengan harga $130.

Dalam kesempatan yang sama, HTC turut memperkenalkan Vive Tracker 3.0, aksesori opsional lain yang pada dasarnya mampu mengubah objek apapun di dunia nyata menjadi sebuah controller VR. Meski desainnya tidak banyak berubah, ukurannya sekarang cuma sepertiga dari ukuran generasi sebelumnya, dan bobotnya pun turun sekitar 15%.

Terlepas dari wujudnya yang lebih ringkas, daya tahan baterainya justru naik sekitar 75%. Dalam sekali pengecasan, Vive Tracker generasi ketiga ini bisa digunakan selama sekitar 7 jam nonstop. Sama seperti Vive Facial Tracker, Vive Tracker 3.0 juga akan dipasarkan dengan banderol $130 per unit.

Sumber: VR Focus dan The Verge.

VR Headset Pimax 5K Super Unggulkan Refresh Rate Setinggi 180 Hz

Di industri virtual reality (VR), nama Pimax memang tidak sepopuler Oculus maupun HTC Vive. Kendati demikian, perusahaan asal Tiongkok tersebut cukup dikenal sebagai yang paling berani mengaplikasikan inovasi terkini di bidang VR, seperti ketika mereka merilis VR headset 4K pertama di tahun 2016.

Sekarang, portofolio produk Pimax tentu sudah bertambah lengkap. Yang terbaru, mereka baru saja memperkenalkan Pimax 5K Super. Namanya itu berasal dari total resolusi display yang diusung, yakni sepasang display yang masing-masing memiliki resolusi 2560 x 1440 pixel.

Label “Super” sendiri menandakan satu fitur unggulannya, yakni refresh rate hingga setinggi 180 Hz dalam mode eksperimental, atau hingga 160 Hz dalam mode standar. Sebagai perbandingan, Valve Index yang bisa dibilang memimpin soal ini hanya mampu menyuguhkan refresh rate maksimum 144 Hz.

Ilustrasi perbandingan efek ghosting pada refresh rate 90 Hz dan 180 Hz / Pimax
Ilustrasi perbandingan efek ghosting pada refresh rate 90 Hz dan 180 Hz / Pimax

Di titik ini, sebagian besar dari kita semestinya sudah paham betul bahwa refresh rate yang tinggi selalu diasosiasikan dengan kinerja yang lebih mulus. Dalam kasus VR headset, semakin tinggi refresh rate, semakin minimal efek ghosting yang dihasilkan oleh display-nya. Dipadukan dengan resolusi yang tinggi, hasil akhirnya adalah pengalaman keseluruhan yang lebih immersive lagi.

Juga tidak kalah penting adalah perihal field of view. Display milik Pimax 5K Super tercatat memiliki sudut pandang diagonal seluas 170°, atau malah bisa dibuat lebih lebar lagi (200°) jika memilih opsi refresh rate di bawah 160 Hz. Tentu saja Pimax juga tidak lupa melengkapinya dengan tuas pengaturan IPD (interpupillary distance), alias jarak antara kedua mata pengguna.

Bundel Pimax 5K Super bersama controller dan base station Valve Index / Pimax
Bundel Pimax 5K Super bersama controller dan base station Valve Index / Pimax

Perbandingannya dengan Valve Index bukan semata soal refresh rate, tapi juga karena Pimax 5K Super kompatibel dengan platform SteamVR. Itu artinya pengguna wajib memiliki base station SteamVR versi 2.0 agar tracking posisi bisa berjalan, serta controller yang memang kompatibel dengan platform tersebut.

Seandainya Anda belum bisa menebak, Pimax 5K Super bukanlah barang yang murah. Unit headset-nya saja dibanderol $749, atau $1.299 jika dibundel bersama sepasang controller dan base station milik Valve Index, jauh lebih mahal daripada harga Valve Index itu sendiri. Itu semua juga belum termasuk PC berspesifikasi high-end yang mampu mengatasi refresh rate setinggi 160 atau 180 Hz.

Sumber: VR Focus.

Microsoft Flight Simulator Dapat Dimainkan Menggunakan VR Headset dalam Waktu Dekat

Dengan game serealistis Microsoft Flight Simulator, memainkannya menggunakan mouse dan keyboard mungkin bakal terasa aneh dan kurang nyaman. Idealnya, permainan simulasi penerbangan seperti ini harus dinikmati dengan menggunakan periferal khusus supaya pengalaman yang didapat secara keseluruhan bisa terasa lebih immersive.

Bicara soal faktor immersive, tentu saja kita otomatis bakal teringat dengan virtual reality (VR). Pertanyaannya, apakah Microsoft Flight Simulator juga dapat dimainkan dalam medium VR? Bisa, per 22 Desember nanti. Berdasarkan keterangan langsung dari pengembangnya, Asobo Studio, dukungan VR untuk Microsoft Flight Simulator bakal hadir secara resmi menjelang hari Natal nanti usai menjalani fase beta sejak Oktober.

Menariknya, Asobo tidak mau pilih-pilih soal platform VR-nya. Sebelum ini Asobo sempat bilang bahwa dukungan VR hanya akan tersedia untuk headset HP Reverb G2, namun sekarang mereka memastikan bahwa keluarga headset Oculus dan HTC Vive pun juga akan kebagian jatah yang sama.

Asobo juga tidak akan menarik biaya tambahan. Dukungan VR ini bisa dinikmati secara cuma-cuma oleh semua pemain Microsoft Flight Simulator. Sebuah kabar yang menggembirakan mengingat dukungan VR sudah menjadi salah satu request terbanyak yang dilontarkan para pemain semenjak game ini dirilis pada bulan Agustus lalu.

Microsoft Flight Simulator

Asobo menjanjikan pengalaman VR yang seamless buat seluruh pemain. Seamless dalam artian tampilan menu sebelum lepas landas pun juga dapat dinavigasikan melalui VR. Dengan kata lain, usai mengklik icon Microsoft Flight Simulator di tampilan desktop, pemain sama sekali tidak perlu melepaskan VR headset-nya.

Dukungan VR ini akan hadir sebagai bagian dari Sim Update 2 untuk Microsoft Flight Simulator. Setelahnya, Asobo bakal merilis World Update 3 pada tanggal 28 Januari 2021 yang membawa segudang update terhadap lokasi-lokasi di dataran Inggris Raya.

Lebih jauh lagi, Asobo juga telah merencanakan sejumlah fitur baru yang akan hadir pada Microsoft Flight Simulator, seperti misalnya fitur replay. Buat yang lebih nyaman menggunakan setup multi-monitor ketimbang VR, Asobo bilang dukungannya akan hadir suatu waktu dalam dua tahun ke depan. Memasuki 2022, Microsoft Flight Simulator kabarnya juga bakal kedatangan jenis kendaraan baru, yakni helikopter.

Sumber: PC Gamer dan Polygon.