Action Per Minute: Semua Hal yang Perlu Anda Ketahui

Dalam dunia olahraga, kemampuan para atlet bisa diukur dengan jelas. Misalnya, kemampuan atlet lari diukur dari kecepatannya. Sementara kemampuan atlet angkat besi bisa diukur dari total berat yang dia angkat. Lalu, apa tolok ukur yang digunakan untuk mengetahui kemampuan atlet esports? Ada berbagai hal yang mempengaruhi kemampuan pemain esports. Salah satu metrik yang bisa digunakan untuk mengetahui kemampuan seorang pemain profesional adalah APM.

Apa Itu APM?

APM merupakan singkatan Action Per Minute. Metrik ini menggambarkan berapa banyak tindakan yang bisa pemain eksekusi dalam satu menit. Semakin tinggi APM seseorang, biasanya, semakin mumpuni juga kemampuannya. Karena, APM tinggi membuktikan bahwa seseorang tidak hanya mengerti apa yang harus dia lakukan dalam game, tapi juga menjadi bukti dia punya ketangkasan untuk mengeksekusi apa yang dia rencanakan. Hanya saja, APM tolok ukur mutlak untuk mengetahui kemampuan seorang gamers profesional. Pasalnya, untuk meningkatkan APM, seseorang terkadang melakukan tindakan yang repetitif.

Istilah APM pertama kali digunakan oleh komunitas StarCraft. Penggunaan APM sebagai tolok ukur kemampuan seseorang menjadi populer setelah komunitas gamers StarCraft membuat sejumlah tools yang memungkinkan audiens untuk mengetahui APM dari pemain profesional StarCraft. Setelah peluncuran StarCraft II: Wings of Liberty, APM menjadi salah satu metrik yang ditampilkan pada antarmuka game.

Biasanya, pemain amatir bisa mencapai 50-60 APM. Hal itu berarti, dalam satu detik, dia bisa mengambil satu atau dua tindakan. Pemain profesional bisa mendapatkan APM yang jauh lebih tinggi. Misalnya, para pemain StarCraft profesional bisa mendapatkan 300 APM, menurut laporan Engadget. Di tengah pertarungan sengit, angka ini bisa naik menjadi 600 APM.

“Kebanyakan pemain profesional bisa mendapatkan 500-600 APM,” kata Philip Hübner, Product Manager untuk Intel Extreme Masters pada NBC News. “Jadi, 10 tindakan per detik.”

Seberapa Penting APM untuk Atlet Esports?

Matt Weber, Director of Operations untuk Team Liquid, mengatakan bahwa APM bisa dibandingkan dengan kecepatan pitching pemain baseball. Tentu saja, kecepatan pitching bukan satu-satunya tolok ukur akan kemampuan pemain baseball. Namun, kecepatan pitching bisa menjadi salah satu faktor yang menentukan apakah seseorang bisa bertanding di liga baseball profesional atau tidak. Bagi pemain esports, APM jadi salah satu tolok ukur tersebut.

Istilah APM memang berasal dari komunias StarCraft. Namun, sebenarnya, kita bisa mengukur APM untuk game lain. Hanya saja, jika dibandingkan dengan game esports lain, game RTS seperti StarCraft memang mengharuskan pemainnya untuk mengambil lebih banyak actions. Misalnya, dalam game MOBA seperti Dota 2 atau League of Legends, Anda hanya akan mengendalikan satu karakter. Jadi, Anda hanya akan fokus pada karakter tersebut. Sementara dalam StarCraft, ada banyak hal yang harus Anda perhatikan, mulai dari mengumpulkan sumber daya, membangun pertahanan, menyiapkan pasukan, dan lain sebagainya. Alhasil, APM punya peran yang lebih penting dalam game seperti StarCraft daripada game esports lain,

Weber mengatakan, untuk mengetahui kemampuan teknis seorang pemain StarCraft II, beberapa faktor yang diperhatikan selain kecepatan adalah keakuratan, efisiensi, dan kemampuan untuk melakukan multitasking. Jadi, kemampuan untuk memilih tindakan yang tepat sama pentingnya dengan kemampuan untuk bisa mengambil action dengan cepat.

“Orang seperti saya bisa mendapatkan 300 APM dengan mudah,” ujar Weber. “Tapi, kebanyakan tindakan yang saya ambil merupakan tindakan sia-sia. Karena, untuk mendapatkan 300 APM, saya hanya melakukan tindakan yang sama berulang kali. Misalnya, untuk menggerakkan unit saya, saya bisa melakukan klik 10 kali untuk meningkatkan APM saya.”

Pemain profesoinal StarCraft, Steve Bonnell II alias Destiny bercerita bahwa dia pernah menawarkan jasa mengajar untuk pemain amatir yang ingin bisa bermain dengan lebih baik. Dia mengungkap, ketika dia mengajarkan pemain yang masih di peringkat Bronze dan Silver, dia akan fokus untuk mengajarkan strategi secara umum. Dia justru menomorduakan cara untuk mengatur unit satu per satu. Padahal, kemampuan untuk mengatur unit satu per satu itu justru bisa meningkatkan APM pemain.

“Ketika Anda sudah ada di tingkat Master, dan Anda ingin bisa masuk ke tahap Grandmaster, barulah Anda mulai memikirkan tentang kemampuan mekanis Anda,” ujar Bonnell pada Engadget. “APM adalah salah satu cara untuk mengukur kemampuan mekanis Anda. Namun, APM tinggi bukan jaminan bahwa seseorang bisa mengendalikan unitnya dengan baik. APM bukanlah segalanya.”

Sama seperti Bonnell, Sean “Day9” Plott, komentator StarCraft, mengatakan bahwa pemain amatir tidak perlu terlalu khawatir akan APM. “Ketika Anda berkompetisi di tingkat profesional, barulah Anda harus bertanya pada diri sendiri: ‘Apa kelebihan saya?'” ujar Plott. “Di kompetisi profesional, semua orang sudah tahu semua strategi yang ada. ‘Strategi baru’ jarang digunakan karena semua orang sudah tahu apa yang akan terjadi. Jadi, pemain profesional biasanya mencoba untuk unggul dari lawannya dengan meningkatkan APM mereka.”

Bagaimana Cara untuk Meningkatkan APM?

“Jika Anda ingin meningkatkan kecepatan APM, ada beberapa latihan yang bisa saya sarankan,” kata Plott. “Pertama, mainkan single-player, buat build order dan eksekusi rencana tersebut dengan sempurna — Anda tidak boleh melewatkan satu pekerja, satu pylon, atau satu building pun. Secara otomatis, tubuh Anda akan beradaptasi untuk mengklik dengan lebih cepat. Hal itulah yang paling penting: membuat tangan Anda ingin bergerak lebih cepat.”

“Latihan lain yang saya rekomendasikan adalah mengklik dan bergerak secepat mungkin ketika bertanding dengan pemain lain,” jelas Plott. “Hal ini akan membuat Anda sering kalah, karena Anda akan fokus untuk mengklik dengan cepat dan bukannya melakukan tindakan secara efektif. Tapi tidak apa-apa. Karena setelah sekitar dua minggu, tindakan yang biasnya memakan waktu selama 6 miliseconds, Anda akan bisa melakukannya hanya dalam 300 miliseconds. Dengan memaksa diri Anda untuk bermain dengan lebih cepat, tubuh Anda akan terbiasa untuk mengklik dengan lebih cepat.”

Plott menambahkan, ketika hendak menaikkan APM, Anda juga harus punya keinginan untuk bermain dengan lebih baik. Karena, jika seseorang ingin bisa ikut turun dalam kompetisi profesional, maka dia harus sering bermain dan menikmati game yang dia mainkan.

“Anda bisa meningkatkan APM dengan cara yang sama sepeti saat Anda ingin bisa melakukan sesuatu dengan lebih baik, yaitu latihan,” tambah Bonnell. “Anda hanya harus terus bermain sampai jari Anda secara otomatis mengingat posisi mereka. Kecepatan APM Anda akan naik dengan sendirinya.”

Sementara itu, Aleksandar “Beastyqt” Krstić, pemain StarCraft II asal Serbia, mengatakan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan APM di StarCraft adalah dengan melakukan spamming pada awal permainan. Dia mengakui, ada banyak orang yang bingung atau justru kesal ketika mereka melihat para pemain profesional melakukan spamming. Namun, Krstić menjelaskan, melakukan spamming di awal permainan merupakan pemanasan untuk jari-jari para pemain.

“Di dunia olahraga, ketika Anda duduk di bangku cadangan, Anda tidak duduk diam. Anda melakukan pemanasan sebelum Anda dipanggil untuk menggantikan pemain lain,” ujar Krstić dalam sebuah video YouTube. “Spamming di StarCraft punya fungsi yang sama seperti pemanasan.” Dia menjelaskan, sulit bagi seseorang untuk mendadak meningkatkan kecepatan jari mereka dari 50 APM menjadi 400 APM. Dengan melakukan spamming klik pada awal game, seseorang bisa perlahan mempersiapkan diri untuk mencapai APM tinggi.

Namun, bagi pemain pemula, Krstić menyarankan, mereka sebaiknya juga tidak melakukan spamming secara berlebihan, yang bisa mengacaukan ritme permainan mereka sendiri. “Spam klik selama mungkin, tapi jangan sampai spamming merusak gaya bermain Anda,” ujarnya. “Jika Anda adalah pemain baru, Anda bisa melakukan spam pada 10 detik pertama. Jika dengan melakukan spamming build order Anda justru menjadi kacau, Anda sebaiknya berhenti melakukan spamming.”

Pasang Surut Dominasi Perusahaan Jepang di Industri Game

Jepang merupakan negara dengan pasar game terbesar ketiga. Menurut data dari Newzoo, nilai industri game di Jepang mencapai US$20,6 miliar. Tak hanya itu, Jepang juga menjadi rumah dari beberapa perusahaan game ternama, seperti Sony dan Nintendo. Jepang bahkan sempat mendominasi pasar game global pada tahun 1980-an dan 1990-an.

Perusahaan-perusahaan game Jepang menguasai 50% dari pangsa pasar game global sekitar 25 tahun lalu. Namun, sekarang, dominasi Jepang telah mulai luntur. Pertanyaannya: apa yang membuat kejayaan Jepang di industri game runtuh?

Era Kejayaan Jepang di Industri Game

Kesuksesan Jepang di dunia game berawal dari arcade. Game arcade pertama, Periscope, diluncurkan pada 1966. Namun, di Jepang, game arcade baru mulai populer pada 1970-an, ketika Atari meluncurkan game arcade pertama mereka, Computer Space, di 1971. Sejak saat itu, mesin arcade menjamur, ditempatkan di berbagai pusat perbelanjaan dan bar. Sebenarnya, saat itu, para gamers sudah bisa membeli konsol untuk memainkan game di rumah. Hanya saja, seperti yang disebutkan oleh Japan Times, game arcade lebih populer karena ia menawarkan grafik yang lebih bagus.

Salah satu perusahaan Jepang yang menuai sukses dari bisnis game arcade adalah Sega. Dan salah satu game arcade Sega yang dianggap sukses adalah Sega Rally Championship. Game itu bahkan dianggap sebagai game balapan revolusioner karena menawarkan fitur berupa gaya gesek yang berbeda untuk setiap permukaan yang berbeda. Tetsuya Mizuguchi adalah salah satu developer yang mengembangkan Sega Rally Championship.

Sega Rally arcade. | Sumber: Wikipedia

Mizuguchi bergabung dengan Sega pada 1990, saat dia berumur 25 tahun. Dia mengaku, alasan dia ingin bekerja untuk Sega adalah karena dia kagum dengan mesin arcade yang Sega buat. Contohnya, R360, mesin arcade yang bisa berputar 360 derajat. Kepada Channel News Asia, dia mengaku bahwa ketika dia mengirimkan lamaran pekerjaan ke Sega, dia tidak berusaha untuk mencoba melamar pekerjaan di tempat lain.

Pada tahun 1990-an, Sega berhasil mendapatkan miliaran dollar dengan membuat dan menjual mesin arcade. Hal ini membuat Sega tidak segan-segan untuk mengucurkan banyak uang bagi divisi riset dan pengembangan. Mizuguchi bercerita, pada awal dia bergabung dengan Sega, perusahaan itu punya atmosfer layaknya startup. Pasalnya, kebanyakan kreator game di sana masih berumur 20-an.

“Kami semua tidak punya pengalaman, tapi kami terus berusaha untuk membuat hal baru. Ketika itu, saya merasa, atmosfer perusahaan Sega sangat menyenangkan. Kami mencoba untuk membuat sesuatu yang baru. Kami percaya, kami bisa mencoba untuk melakukan sesuatu walau kami tidak tahu caranya. Dan jika kami gagal, kami akan bisa mencoba lagi,” cerita Mizuguchi.

Sayangnya, pada 2000-an, bisnis arcade mulai lesu. Hal ini terjadi karena berkembangnya bisnis konsol, yang menurunkan minat para gamers untuk bermain di arcade. Lesunya industri arcade bahkan membuat Sega ada di ujung tanduk. Akhirnya, pada 2004, Sega akhirnya memutuskan untuk melakukan merger dengan Sammy Corporation. Sega selamat dari kebankrutan. Namun, setelah merger, atmosfer perusahaan berubah. Perubahan tersebut mendorong Mizuguchi untuk keluar.

“Tadinya, saya bisa mencoba untuk membuat hal-hal baru dan menantang di Sega. Tapi, atmosfer baru di perusahaan membuat saya kesulitan untuk melakukan hal itu,” ungkap Mizuguchi. “Namun, saya rasa, hal ini terjadi di banyak perusahaan.”

Turunnya minat akan mesin arcade memang merupakan kabar buruk untuk Sega. Namun, meningkatnya popularitas konsol menjadi kabar baik untuk produsen konsol, seperti Sony dan Nintendo. Pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, konsol buatan Sony dan Nintendo mendominasi pasar. Sampai saat ini, daftar lima konsol dengan penjualan terbaik diisi oleh konsol-konsol buatan kedua perusahaan Jepang tersebut.

Runtuhnya Dominasi Jepang

Era 2000-an menjadi awal dari memudarnya dominasi Jepang di industri game. Menurut Matt Alt, penulis, penerjemah, dan penulis yang bermarkas di Tokyo, peluncuran Xbox oleh Microsfot merupakan salah satu alasan di balik runtuhnya dominasi Jepang di industri game. Dengan adanya Xbox, developer di Amerika Utara dan Eropa bisa membuat game untuk konsol berbasis Windows. Selain itu, mereka tidak lagi perlu khawatir akan masalah bahasa, mengingat Microsoft adalah perusahaan Amerika Serikat.

Peluncuran Xbox oleh Microsoft jadi salah satu faktor dari lunturnya dominasi Jepang di industri game. | Sumber: Digital Trends

Senada dengan Alt, Shin Imai, jurnalis IGN Jepang mengatakan, kemunculan Xbox menjadi awal dari menurunnya penjualan game buatan Jepang di pasar global. Alasannya adalah karena game-game dari developer di luar Jepang juga mulai menarik perhatian gamers. Sementara itu, John Ricciardi, localizer game Jepang, menganggap bahwa meningkatnya biaya untuk membuat game menjadi salah satu alasan mengapa game Jepang menjadi kurang populer di pasar global.

“Ongkos untuk membuat game mendadak meroket, dan proses pengembangan game menjadi kaku serta tidak fleksibel. Dan saya rasa, Jepang terjebak di sini,” ujar Ricciardi. “Di Barat, game engine mulai muncul. Para developer game melakukan semua yang bisa mereka lakukan untuk menyederhanakan proses pembuatan game. Jadi, mereka bisa fokus pada sisi kreatif pembuatan game. Namun, hal ini tidak terjadi di Jepang.”

Sementara dominasi Jepang di industri game mulai lutur, pada 2000-an, industri game Korea Selatan justru mulai tumbuh. Menariknya, budaya game Korea Selatan jauh berbeda dengan Jepang. Hal ini terjadi karena pemerintah Korea Selatan melarang impor konsol dan game dari Jepang. Memang, hubungan antara Jepang dan Korea Selatan kurang baik karena Jepang pernah menjajah Korea Selatan.

Larangan pemerintah untuk menjual game dan konsol Jepang mendorong munculnya format game baru yang unik, yaitu game berbasis teks yang disebut Multi-User Dungeon alias TextMUD. Sesuai namanya, “game” TextMUD tidak punya grafik sama sekali. Sebagai gantinya, pemain bisa berinteraksi dengan satu sama lain dalam dunia virtual dengan mengetikkan perintah sederhana. TextMUD biasanya menggabungkan elemen RPG, hack and slash, PVP, dan online chat. Dan format game ini menjadi awal dari kemunculan game online.

“Dengan kata lain, jika konsol game Jepang mendominasi pasar game Korea Selatan, genre inovatif TextMUD tidak akan pernah muncul,” kata Jong Hyun Wi, President of Korean Academic Society of Games. Di masa depan, popularitas game online juga turut berperan dalam membentuk budaya gaming di Korea Selatan. Jika gamers Jepang lebih suka bermain sendiri, gamers Korea Selatan lebih menikmati bermain bersama teman di game online. Dan hal ini akan mendorong kemunculan esports.

Peran Perusahaan Game Jepang di Tiongkok

Korea Selatan bukan satu-satunya negara yang melarang penjualan konsol  buatan Jepang. Pemerintah Tiongkok juga melakukan hal yang sama pada 2000. Ketika itu, alasan Beijing melarang penjualan konsol — baik buatan perusahaan Jepang maupun Amerika Serikat — adalah karena orang tua dan guru khawatir game akan menjadi “heroin digital”. Larangan penjulaan konsol ini juga mempengaruhi pertumbuhan industri game Tiongkok. Karena konsol dilarang, maka di Tiongkok, industri game PC dan mobile tumbuh pesat.

Tiongkok adalah pasar game terbesar di dunia. Lisa Hanson, Games Industry Consultant, Niko Partners mengatakan, Tiongkok menguasai setidaknya 25% pada pangsa pasar game global. “Banyak perusahaan game yang ingin bisa mendapatkan akses ke gamers Tiongkok,” katanya. “Dan halangan pertama yang harus mereka hadapi adalah regulasi. Ada banyak regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk para pelaku industri game. Perusahaan yang ingin bisa masuk ke Tiongkok harus memenuhi regulasi tersebut.”

PS5 terjual habis di Tiongkok. | Sumber: SCMP

Lebih lanjut, Hanson menjelaskan, untuk bisa meluncurkan game di Tiongkok, sebuah perusahaan tidak hanya harus mematuhi semua peraturan yang dibuat oleh Beijing, mereka juga harus bekerja sama dengan perusahaan lokal. “Karena, hanya perusahaan lokal di Tiongkok yang bisa mengakses infrastruktur telekomunikasi,” ujarnya.

Kabar baik untuk perusahaan pembuat konsol, pemerintah Tiongkok menghapus larangan impor konsol pada 2015. Setelah larangan untuk menjual konsol dihapus, Nintendo menggandeng Tencent untuk meluncurkan Switch di Tiongkok. Tak mau kalah, Sony juga meluncurkan PlayStation 5 di Tiongkok pada Mei 2021. Dan PS5 laku keras di Tiongkok, membuktikan bahwa gamers Tiongkok punya minat akan konsol.

“PS5 terjual habis dalam waktu singkat. Konsol itu juga mendapat banyak pujian,” kata Hanson. “Gamers Tiongkok punya minat tinggi akan PS5 dan Switch dan Xbox. Memang, tidak semua gamers Tiongkok ingin bermain di konsol. Tapi, orang-orang yang berminat dengan konsol, mereka sangat senang dengan keberadaan konsol.” Dia menambahkan, di masa depan, dengan keberadaan cloud gaming — yang memungkinkan game-game konsol untuk dimainkan di perangkat lain via cloud — hal ini akan membuka kesempatan baru bagi perusahaan konsol.

Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri, kontribusi segmen konsol di pasar game Tiongkok memang sangat kecil. Menurut Alt, kontribusi konsol pada keseluruhan pasar game Tiongkok hanyalah 2-3$. Dia menjelaskan, “Pangsa pasar konsol di Tiongkok sangat kecil karena game PC dan mobile mendominasi. Jadi, apa yang Nintendo, Sony, dan Microsoft coba lakukan adalah membangun audiens konsol yang setia.”

Industri Game Jepang di Masa Depan

Selera gamers Jepang berbeda dengan gamers dari Amerika Utara atau kawasanlain. Imai mengatakan, gamers dari Amerika Utara biasanya menyukai game dengan grafik yang realistis karena budaya menonton film di bioskop cukup kental di sana. Sebaliknya, gamers Jepang lebih terbiasa mengonsumsi media hiburan selain film, seperti manga dan anime. Perbedaan selera ini berpotensi membuat perusahaan game Jepang bingung: apakah mereka harus fokus pada pasar domestik atau global. Pasalnya, industri game Jepang juga cukup besar sehingga sebuah perusahaan bisa tetap sukses meskipun mereka hanya fokus pada pasar domestik.

Menurut Alt, di masa depan, akan semakin banyak game yang menggunakan karakter atau elemen khas Jepang lainnya, tapi dibuat oleh developer dari luar Jepang. Dia menjadikan Pokemon Go sebagai contoh. Walau menggunakan franchise Pokemon, game AR itu dibuat oleh Niantic, yang merupakan perusahaan Amerika Serikat. Alt bahkan menduga, karakter atau trope khas Jepang bisa menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk mencoba teknologi baru.

Pokemon Go dibuat oleh Niantic, yang berasal dari AS.

Sementara itu, ketika ditanya tentang memudarnya dominasi Jepang di industri game, Mizuguchi menjawab bahwa dia tidak merasa pangsa pasar Jepang di bisnis game menurun. Hanya saja, industri game sudah berkembang menjadi jauh lebih besar. Alhasil, pangsa pasar yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Jepang terlihat menyusut. Selain itu, dia juga merasa, kreativitas developer game Jepang juga masih hidup.

“Kami tidak punya keinginan untuk menguasai pasar game,” ujar Mizuguchi. “Kami lebih mementingkan kreativitas, teknologi, keahlian, dan seterusnya. Saya rasa, developer Jepang akan tetap membuat game sesuai dengan prinsip mereka. Dan jika game tersebut memang sukses, maka jumlah orang yang memainkan game yang kami kuasai akan naik dengan sendirinya.”

Sumber header: Tech Radar

Adu Taunting di MPL ID S8: Profesional atau Banal?

Beberapa hari yang lalu, muncul satu video di Facebook yang menunjukkan para pemain MPL berteriak-teriak memaki lawannya saat bertanding di babak Playoff MPL ID S8. Kebetulan saja yang kala itu direkam dan terdengar jelas suaranya adalah para pemain RRQ Hoshi yang sedang bertanding melawan ONIC Esports di Final Upper Bracket. Salah satu kata yang sempat diteriakkan bahkan kata “ngent*t”. Anda bisa melihat sendiri videonya di bawah nanti.

Karena memang saya tidak berada di lokasi, saya pun mencari tahu kebenaran dari video tersebut dengan bertanya kepada beberapa orang yang memang hadir di venue.

Salah satu yang saya hubungi adalah CEO RRQ, Andrian Pauline (AP). Saat saya hubungi, AP memang mengatakan hal tersebut terjadi. Ia mengatakan memang hampir semua tim peserta MPL saling taunting di Playoff MPL ID S8 kemarin.

“Beberapa pemain akhirnya mungkin terbawa suasana. I am sorry for that. Mohon maaf kalau sudah buat gaduh. Kalau ada kata kasar, itu saya minta maaf. Walaupun bukan berarti kita memperbolehkan kata-kata kasar. Pemainnya juga sudah mendapatkan teguran.” Ujar AP.

Saya juga bertanya kepada beberapa kawan dari media lain yang hadir di lokasi dan mereka juga membenarkan jika kebanyakan pemain yang bertanding di sana memang saling taunting dan berteriak ke lawan, tidak hanya pemain RRQ.

Maka dari itu, kali ini, saya ingin mengalihkan fokus tidak hanya ke para pemain atau tim tertentu. Saya lebih ingin membahasnya secara keseluruhan dalam konteks skena esports profesional.

 

Semua orang juga melakukan taunting?

Apakah cacian atau teriakan taunting ini juga terjadi di skena esports profesional lainnya?

Skena esports profesional yang paling banyak saya tonton dan ikuti adalah League of Legends (LoL). Saya belum pernah melihat kejadian serupa di LoL.

Sedangkan untuk Dota 2, saya pun menghubungi Yudi “Justincase” Anggi, salah satu shoutcaster Dota 2 yang masih aktif sampai hari ini, dan beberapa orang (termasuk pemain Dota 2 profesional) yang pernah terlibat di DPC (Dota 2 Pro Circuit). Semuanya mengatakan belum pernah melihat ada yang berteriak-teriak ke lawan di skena profesional Dota 2.

Salah satu taunting yang terjadi di Dota 2 adalah ketika TORONTOTOKYO mengetikkan “ez game” saat melawan OG di Lower Bracket di The International 10 lalu. Meski memang saya juga tidak suka dengan arogansi semacam itu, mungkin ada juga yang melihatnya tidak seagresif berteriak-teriak sampai kejang otot ke lawan.

Kejadian teriakan ke lawan yang saya temukan di skena profesional lain adalah di VALORANT, yang bahkan terjadi di VALORANT Champions Tour 2021: Stage 3 Master (kejuaraan tingkat dunianya). Anda bisa melihatnya di video di bawah ini.

Meski hal ini juga ternyata terjadi di skena profesional VALORANT atau mungkin yang lainnya, apakah hal tersebut jadi bisa dibenarkan?

Buat saya, argumen “orang lain juga melakukannya” adalah argumen yang sangat lemah. Kita juga masih melihat ada koruptor dan perilaku kriminal lainnya di banyak negara. Apakah hal tersebut jadi bisa dibenarkan?

 

Batas profesionalitas

Sebenarnya, dulu juga saya sering melihat dan mendengar teriakan-teriakan taunting ini di turnamen tingkat warnet. Meski saya juga tidak suka dengan perilaku seperti itu, tapi jika kita berbicara soal tingkat warnet, mungkin memang pihak penyelenggara juga tidak bisa terlalu banyak mengatur soal perilaku pesertanya.

Namun MPL adalah liga profesional. Tim yang ingin menjadi peserta MPL Indonesia saja harus dikelola profesional layaknya perusahaan dengan aturan main yang jelas. Setidaknya, itu yang saya dengar.

Bayangkan jika Anda bekerja di satu perusahaan dan atasan Anda memaki-maki dengan umpatan macam “ngent*t” tadi. Apakah yang Anda rasakan? Apakah hal tersebut yang dinamakan profesional?

Meski demikian, saya tahu beberapa orang memang mungkin punya didikan orang tua yang berbeda-beda yang akhirnya berimbas pada kebijakan perusahaan yang berbeda. Pasalnya, saya juga pernah punya atasan yang mulutnya seperti katalog kebun binatang dan pengendalian emosi yang setara dengan anak SD.

Mungkin memang saya saja yang terlalu lebay namun orang tua saya mendidik saya untuk bertutur kata dengan baik dan sopan ke semua orang, termasuk ke orang-orang yang tidak saya sukai atau tidak menyukai saya.

 

Aturan mainnya seperti apa?

Seperti yang sebelumnya saya tuliskan, harusnya yang namanya skena profesional memang punya aturan main yang jelas, tidak seperti turnamen tingkat warnet. Sebelum kita melihat ke aturan main di MPL Indonesia, saya sempat menggali ke aturan main di skena esports lainnya.

Berkaca dari kasus yang melibatkan pemain Cloud9 di LoL World Championship di tahun 2015, Riot Games punya aturan main yang jelas di skena esports LoL.

A Team Member may not take any action or perform any gesture directed at an opposing Team Member, or incite any other individual(s) to do the same, which is insulting, mocking, disruptive, or antagonistic.” 

Aturan main tersebut juga masih dipakai di World Championship 2021 (aturan nomor 9.1.3) yang bisa Anda lihat sendiri di tautan ini.

Aturan 9.1.2 juga jelas mengatur soal umpatan.

A Team Member may not use language that is obscene, foul, vulgar, insulting, threatening, abusive, libelous, slanderous, defamatory or otherwise offensive or objectionable; or promote or incite hatred or discriminatory conduct, in or near the match area, at any time.

Selain itu, saya juga menemukan aturan main ESL One Dota 2.

All ESL One participants agree to behave in an appropriate and respectful manner towards other participants, spectators, the press, ESL TV, and ESL One administration. Being role models is the occupational hazard of being an ESL One player or organizer and we should behave accordingly.

Dari salah seorang yang terlibat dengan DPC untuk kawasan SEA, saya juga mendapatkan DPC SEA Regional Rulebook. Di aturan main DPC SEA, saya menemukan aturan seperti berikut.

Teams found to be engaging in cheating, unethical behavior, obtaining any form of unfair competitive advantage, or otherwise using unauthorized programs will forfeit all affected matches.

Meski begitu, “unethical behavior” di atas tadi tidak dijabarkan lagi seperti apa batas-batasnya.

Sedangkan di VALORANT Champions Tour – Stage 3 Masters, saya menemukan aturan main ini di bagian Event Conduct.

Credit: Riot Games
Credit: Riot Games

Sayangnya atau untungnya, memang interpretasi dan penegakan aturan main tadi memang sepenuhnya hak penyelenggara. Misalnya, perilaku yang ditunjukkan oleh pemain Sentinel di VCT Master ternyata tidak menyalahi aturan main karena setidaknya saya tidak menemukan berita atau artikel terkait sanksi teriakan taunting yang tadi terekam kamera.

Lalu bagaimana aturan main MPL ID Season 8? Sayangnya, saya tidak bisa menemukan Rulebook ataupun aturan main lengkap yang dapat diakses publik — tidak seperti standar positif yang dilakukan Riot Games ataupun ESL.

Namun kawan saya dari Esports ID sempat mewawancarai perwakilan MPL Indonesia tentang peraturan soal taunting.

“Salah satu yang disanksi dari MPL Indonesia misalnya penggunaan kata-kata kotor dan gestur-gestur yang dilarang. MPL Indonesia berharap para pemain bisa profesional dan menunjukan sikap yang baik karena mereka adalah panutan bagi banyak orang.” Tulis Esports ID.

Pertanyaannya, apakah “ngent*t” itu bukan kata-kata kotor menurut MPL Indonesia? Saya sempat menghubungi Azwin Nugraha, PR & Communication Esports Manager Moonton Indonesia, tentang batasan taunting (dan yang terdengar di video di atas). Namun ia tidak mau berkomentar.

Penegakan aturan memang akhirnya tidak kalah penting dengan aturan tertulis atau apa yang diucapkan. Namun, sekali lagi, mungkin memang setiap orang memang punya standar etika yang berbeda-beda. Mungkin ada juga yang mengartikan “nget*t” sebagai panggilan sayang…

 

Soal psywar dan entertainment

Dua alasan lain yang mewajarkan taunting dan berteriak ke lawan adalah soal psywar dan entertainment.

Buat sebagian orang, mereka membenarkan taunting dengan alasan menganggu mental musuh. Ada juga yang beralasan hal tersebut membuat pertandingan akan semakin seru dan mengundang lebih banyak penonton.

Namun, satu hal penting yang harus disadari adalah soal kondisi objektif taunting, trashtalk, psywar, atau apapun itu namanya. Apakah hal tersebut dilakukan saat bertanding atau di luar pertandingan?

Saling ejek di Twitter atau saat diwawancarai sebenarnya juga sering terjadi di skena esports lain seperti Dota 2 atau LoL. Namun, bagi saya, hal tersebut masih bisa dimaklumi karena memang terjadi di luar pertandingan. Pasalnya, rivalitas semacam itu memang menarik lebih banyak penonton tapi harusnya tidak akan begitu berpengaruh terhadap konsentrasi pemain saat bertanding.

Yah, mungkin memang di zaman konten digital sekarang ini, segala hal jadi dimaklumi dan diwajarkan demi viralitas. Meski saya juga benci dengan perilaku tadi, harusnya esports tidak meniru cara yang sama karena, selain faktor entertainment, ada faktor sportivitas yang harusnya menjadi prioritas utama.

Menariknya, jika berbicara soal sportivitas, taunting di saat pertandingan mungkin memang mengundang polemik yang berbeda dan berlawanan. Mungkin ada yang akan mengatakan jika seorang juara harusnya punya mental yang teruji meski dimaki-maki. Namun saya bisa membalikkannya seperti ini, kalaupun seseorang atau satu tim punya kemampuan yang lebih tinggi dibanding lawannya, bukankah mereka hanya perlu mengandalkan strategi bermain (bukan strategi memaki) dan skill individu?

Jika kita kembali ke profesionalitas, kita juga bisa mengandaikannya ke pekerjaan lain. Shoutcaster misalnya, yang juga dekat dengan esports dan juga sama-sama profesional. Anggap saja ada shoutcaster A yang berteriak memaki-maki shoutcaster B saat ia sedang live dengan harapan shoutcaster A bisa dapat lebih banyak proyek di masa mendatang. Apakah hal tersebut bisa dianggap profesional dan bersaing sportif?

Satu hal yang pasti, salah satu pemain esports profesional terbaik sepanjang masa yang diakui banyak orang adalah Lee “Faker” Sang-hyeok. Ia tidak perlu berkata-kata (apa malah berteriak) ataupun menuliskan apapun di chat in-game namun saya tahu banyak lawannya yang terintimidasi saat bertarung melawannya. Kenapa? Karena semua lawannya juga tahu kalau kemampuannya berbicara lebih nyaring ketimbang urat sarafnya.

Saya sungguh percaya jika Anda memang punya kemampuan yang ada di atas rata-rata, apalagi memang terbaik di bidangnya, lawan atau kompetitor Anda itu harusnya tahu tanpa Anda perlu berkoar-koar atau malah mengintimidasi orang lain.

Namun demikian, kembali lagi, itu tadi pendapat saya saja. Saya tahu banyak orang mungkin juga merasa perlu menindas orang lain untuk menunjukkan nilai dirinya sendiri.

 

Faktor Pandemi?

Saya sebenarnya sungguh terkejut ketika melihat video tersebut. Pasalnya, saya selalu hadir ke babak Playoff MPL Indonesia saat digelar tatap muka (offline) di musim-musim sebelumnya (sebelum pandemi) dan saya tidak pernah menemukan perilaku yang sama di musim-musim sebelumnya.

Apakah mungkin karena sebelum pandemi event-nya terbuka juga untuk publik? Sehingga, para pemain jadi lebih sadar diri untuk menjaga ucapan dan perilaku mereka di hadapan publik? Apakah juga karena saat event offline yang terbuka buat publik sound system-nya jauh lebih keras sehingga percuma juga berteriak-teriak jika ingin mengintimidasi lawan? Atau mungkin jika di esports lainnya, teriakan pemain juga tidak akan terdengar ke lawan karena harus masuk ke boks soundproof?

MPL Indonesia

Ada juga yang beranggapan bahwa harusnya video tersebut tidak tersebar ke publik. Atau ada pula yang mencoba mencari pembenaran karena para pro player itu sudah lama tidak bermain tatap muka jadi terlalu semangat dan mungkin sudah terbiasa dengan gaya bermain online di gaming house masing-masing

Terlepas dari itu semua, bagi saya, berlaku sportif harusnya terjadi di ruang tertutup ataupun terbuka untuk publik. Pasalnya, menggunakan cheat juga dilarang terlepas dari direkam kamera atau tidak. Walaupun, kembali lagi, definisi sportivitas tadi akhirnya bisa jadi berbeda-beda antara masing-masing orang dan sepenuhnya hak penyelenggara.

 

Penutup

Akhirnya, argumen terakhir yang mencoba membenarkan soal teriakan-teriakan taunting tadi adalah hal tersebut terjadi hanya saat mereka bertanding. Sedangkan, katanya, mereka tetap berkawan saat setelah selesai bertanding meski sebelumnya saling berteriak mengintimidasi.

Untuk terakhir kali, saya kembalikan lagi apakah interaksi tersebut dapat dimaklumi atau tidak — terlepas dari segala argumentasi yang mendukung seperti yang terakhir — ke masing-masing orang. Namun, saya kira, saya sudah cukup jelas menunjukkan berada di posisi yang mana. Mungkin saya saja yang terlalu old school.

Ditambah lagi, faktanya, perilaku toxic dan sentimen negatif soal game dan esports itu masih jadi PR besar yang harus diselesaikan oleh para pelaku di industri ini. Tentunya, caci maki dan teriak-teriakan yang dilakukan oleh pro player tadi tidak akan membantu menyelesaikan PR besar itu.

Apakah yang Sebenarnya Bisa Dilakukan Pemerintah untuk Industri Game Indonesia?

Dalam peluncuran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap bahwa nilai industri game di Indonesia mencapai Rp24,4 triliun. Melihat besarnya potensi pasar game di Indonesia, tidak heran jika pemerintah menunjukkan ketertarikan untuk mendorong pertumbuhan industri tersebut. Apalagi karena game development terbukti sebagai salah satu industri yang tetap bisa bertahan di tengah pandemi sekalipun.

Setiap negara punya kebijakan yang berbeda-beda terkait industri game. Belum lama ini, Tiongkok memperketat peraturan terkait waktu main game untuk anak dan remaja di bawah umur. Sebaliknya, pemerintah Korea Selatan justru menghapus pembatasan waktu main untuk anak di bawah umur 16 tahun. Kebijakan yang dibuat pemerintah tentunya akan memberikan dampak besar pada perusahaan game. Karena itu, kali ini, saya akan mencoba membahas tentang kebijakan yang pemerintah Korea Selatan dan Polandia ambil untuk mengembangkan industri game.

Program Pemerintah Korea Selatan untuk Memajukan Industri Game

Korea Selatan adalah pasar game terbesar ke-4 setelah Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang. Dalam 10 tahun terakhir, tingkat pertumbuhan rata-rata dari industri game di Korea Selatan memang mencapai 9,8% per tahun. Tak hanya itu, game juga sukses menjadi komoditas ekspor. Buktinya, nilai ekspor dari game buatan perusahaan Korea Selatan mencapai US$6,4 miliar per tahun. Semua hal ini membuat pemerintah Korea Selatan berkomitmen untuk mendukung industri game.

Dengan sokongan pemerintah — khususnya Kementerian Kebudayaan — industri game diharapkan akan menciptakan 102 ribu lowongan pekerjaan baru. Selain itu, pemerintah juga berharap, industri game akan bisa mendapatkan pemasukan sebesar KRW19,9 triliun (sekitar Rp240 triliun) pada 2024. Sebanyak KRW11,5 triliun atau sekitar Rp139 triliun diharapkan akan datang dari ekspor

“Menurut perhitungan kami, perusahaan kecil dan menengah akan menjadi kunci untuk mendorong industri game dalam mencapai tujuan yang telah kami tetapkan,” ujar Kim Hyun-hwan, Director General of Content Policy Bureau, yang ada di bawah Kementerian Kebudayaan, seperti dikutip dari The Korea Herald.

Menteri Kebudayaan Korea Selatan, Park Yang-woo. | Sumber; The Korea Herald

Untuk mendorong pertumbuhan industri game, salah satu program yang pemerintah Korea Selatan adakan adalah membuka jasa konsultasi. Selain itu, melalui Kementerian Kebudyaan, pemerintah juga akan membuat sistem informasi tentang pasar game global. Keberadaan sistem informasi itu diharapkan akan memudahkan perusahaan game kecil dan menengah untuk melebarkan sayap mereka ke pasar di luar Korea Selatan. Terakhir, pemerintah juga akan mengembangkan Global Game Hub Center.

Didirikan pada 2009, Global Game Hub Center berfungsi sebagai incubator dari perusahaan game. Mereka juga punya tanggung jawab untuk melatih calon pekerja di industri game. Selain itu, fungsi dari Global Game Hub Center adalah untuk mendukung perusahaan game agar mereka bisa menciptakan produk yang berkualitas. Alasan pemerintah Korea Selatan mendirikan Global Game Hub Center pada 2009 adalah karena mereka ingin mendorong perusahaan game lokal untuk melakukan ekspansi ke pasar global. Pasalnya, ketika itu, pasar game di Korea Selatan dikhawatirkan telah mulai jenuh, menurut laporan Korea IT Times.

Tak hanya mendukung industri game, pemerintah Korea Selatan juga akan menyokong industri esports. Salah satu bentuk dukungan yang pemerintah berikan adalah menetapkan sejumlah PC bang alias warung internet sebagai fasilitas pusat esports. PC bang yang telah ditetapkan tersebut kemudian akan menjadi tempat penyelenggaraan berbagai game events. Semua hal itu diharapkan akan membantu tim dan pemain esports amatir.

Sementara itu, untuk pemain profesional, pemerintah berencana untuk membuat standarisasi kontrak. Tujuannya adalah untuk melindungi para pemain profesional. Di tahun ini, pemerintah juga berencana untuk membuat sistem registrasi pemain. Pada November 2021, pemerintah Korea Selatan juga akan berkolaborasi dengan Jepang dan Tiongkok untuk mengadakan kompetisi esports.

Pendekatan Pemerintah Polandia untuk Industri Game

Polandia memang tidak masuk dalam daftar 10 negara dengan pasar game terbesar. Namun, nilai industri game di Polandia hampir mencapai EUR500 juta (sekitar Rp8,3 triliun). Selain itu, Polandia juga menjadi rumah dari CD Projekt Red, salah satu perusahaan game terbesar di Uni Eropa. Selain CD Projekt, Polandia juga punya beberapa perusahaan game sukses, seperti Ten Square Games, PlayWay, dan 11 bit Studios.

Industri game di Polandia cukup matang. Secara total, ada lebih dari 400 studio game di Polandia. Sementara jumlah pekerja di bidang game mencapai 9,7 ribu orang, menurut laporan The Game Industry of Poland. Berdasarkan data dari Game Industry Conference, sebanyak 39% perusahaan game Polandia mempekerjakan lima atau kurang orang. Sementara 40% perusahaan game memiliki 6-16 pekerja, 10% memiliki lebih dari 40 pegawai, dan 10 perusahaan mempekerjakan lebih dari 200 orang.

Menurut Michał Król, analis di PolskiGamedev.pl, setiap tahun, perusahaan-perusahaan game asal Polandia meluncurkan 200 game untuk PC dan konsol, serta 35 game VR. Dari segi pemasukan, dalam beberapa tahun belakangan, industri game Polandia juga menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Pada periode 2016-2019, tingkat pertumbuhan industri game di Polandia selalu hampir mencapai 30%, bahkan tanpa menghitung kontribusi dari CD Projekt.

Pemasukan industri game di Polandia pada 2016-2019. | Sumber: The Game Industry of Poland

Pendidikan jadi salah satu alasan mengapa industri game Polandia bisa tumbuh pesat. Saat ini, universitas-universitas di Polandia menawarkan 60 jurusan terkait pembuatan game. Dari 60 jurusan itu, sekitar 26 jurusan ditujukan untuk programmer, 17 jurusan untuk para artists, 9 jurusan ditujukan untuk orang-orang yang ingin menjadi game designer, dan sisanya merupakan jurusan bagi musisi, sound engineers, narrative designers, atau studi akan game.

Salah satu alasan mengapa pemerintah Polandia ingin mendukung industri game adalah karena faktor ekonomi. Alasan lainnya adalah karena game kini menjadi bagian penting dari diplomasi budaya. Memang, pada 2020, jumlah gamers mencapai 2,7 miliar, menurut laporan dari Newzoo. Sementara di Polandia, jumlah gamers mencapai 16 juta orang, hampir 50% dari total populasi negara tersebut.

Untuk mendukung industri game, pemerintah Polandia melalui Kementerian Budaya dan Warisan Nasional meluncurkan program Creative Industries Development. Sementara itu, National Research and Development Centre memulai inisiatif GameINN, yang menawarkan subsidi tahunan untuk biaya riset dan pengembangan. Terakhir, Polish Agency for Enterprise Development (PARP) menawarkan dukungan finansial untuk mempromosikan produk Polandia ke pasar luar negeri.

Pasar game dan esports di Polandia.

Pasar game global memang jadi incaran perusahaan-perusahaan game Polandia. Faktanya, 96% game Polandia diekspor ke luar negeri. Target ekspor utama dari perusahaan game Polandia adalah Amerika Serikat, yang merupakan pasar game terbesar ke-2 setelah Tiongkok dengan nilai US$42,1 miliar. Dan berbeda dengan Beijing, pemerintah AS tidak menetapkan peraturan yang terlalu ketat terkait game-game asing yang hendak diluncurkan di AS. Selain AS, developer Polandia juga menargetkan pasar Uni Eropa. Sementara Asia bukan prioritas utama developer Polandia. Pasalnya, hanya 10% game Polandia yang diekspor ke Asia.

Tingkat ekspor perusahaan game Polandia begitu tinggi sehingga sejumlah perusahaan mendapatkan pemasukan sepenuhnya dengan mengekspor game mereka, setidaknya dalam satu periode. Ada dua alasan mengapa beberapa perusahaan game Polandia sepenuhnya fokus untuk mengekspor game mereka. Pertama, mereka memang bekerja sama dengan rekan di luar Polandia. Kedua, mereka menganggap, pasar Polandia tidak cukup penting untuk game mereka.

Besarnya volume ekspor dari game-game Polandia menjadi salah satu alasan mengapa industri game dari negara itu bisa hampir mencapai EUR500 juta. Padahal, populasi Polandia hanya mencapai 38 juta orang. Menyasar pasar global memungkinkan developer game Polandia untuk mendapatkan audiens yang lebih luas. Jika dibandingkan dengan Polandia, industri game Indonesia jauh berbeda. Indonesia punya populasi yang jauh lebih banyak, mencapai sekitar 273,5 juta orang. Sayangnya, Average Revenue per User (ARPU) dari gamers di Indonesia relatif rendah, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga sekali pun.

Total belanja gamers biasanya berbanding lurus dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita. Artinya, semakin besar PDB per kapita sebuah negara, biasanya, semakin besar pula besar spending yang gamer habiskan. Menurut Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, ARPU gamer di Indonesia adalah US$4-6 untuk game PC dan US$5-8 untuk mobile game. Sebagai perbandingan, ARPU dari gamers di Malaysia dan Singapura mencapai US$15-20 untuk game PC dan US$25-60 untuk mobile game.

Masalah di Industri Game Lokal: Dana

Dana merupakan salah satu masalah utama bagi developer game di Indonesia. Berdasarkan survei yang diadakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Asosiasi Game Indonesia (AGI) pada 2020, sebanyak 67,8% developer lokal menggunakan dana pribadi untuk mengembangkan game yang mereka buat. Sementara developer yang mendapatkan dana dari angel investor hanya 10%, dari VC 4,8%, dan dari incubator atau accelerator 3,6%.

Kabar baiknya, pemerintah sudah menyadari masalah ini dan berusaha untuk mengatasinya. Salah satu program yang pemerintah adakan untuk mendanai developer game adalah Bantuan Insentif Pemerintah (BIP). Dana tersebut bersifat hibah. Artinya, developer tidak perlu mengembalikan dana tersebut. Hanya saja, developer yang menerika BIP wajib untuk memberikan laporan pertanggungjawaban sesuai dengan proposal mereka di awal.

Pemerintah meluncurkan BIP pada 2017. Ketika itu, jumlah maksimal dana yang bisa didapatkan adalah Rp100 juta. Sekarang, dana maksimal yang pemerintah bisa kucurkan mencapai 2 kali lipat, yaitu Rp200 juta. Satu hal yang harus diingat, BIP sebenarnya ditujukan untuk para pelaku industri kreatif. Artinya, developer game bukan satu-satunya pihak yang bisa mengajukan proposal untuk mendapatkan dana BIP. Pelaku industri kreatif lain juga punya kesempatan yang sama. Industri kreatif yang dicakup oleh BIP antara lain pariwisata, fashion, kriya, kuliner, film dan animasi, serta aplikasi. Jika tertarik, Anda bisa tahu informasi lebih lanjut tentang BIP di sini.

Dalam sebuah sharing session, Mojiken Studio dan GameChanger Studio — yang menerima BIP pada 2019 — mengungkap bahwa sebagian besar dana yang mereka dapatkan dari BIP digunakan untuk membayar pekerja selama proses pengembangan game. Selain memberikan dana secara langsung pada developer untuk membuat game, pemerintah juga bisa membantu publisher mempromosikan game buatan developer lokal, baik melalui media ataupun influencer di dunia game. Pemerintah juga bisa mencoba untuk mengubah persepsi masyarakat, khususnya orang tua, akan game. Pasalnya, masih banyak orang tua yang menganggap game sebagai sesuatu yang buruk.

Soal masalah dana, developer game kini juga bisa mendapatkan pendanaan dari berbagai sumber lain, selain pemerintah. Pada Juni 2021, Toge Productions memperkenalkan Toge Game Fund Initiative, dengan maksimal pendanaan mencapai US$10 ribu atau sekitar Rp142 juta. Sementara pada September 2021, Agate meluncurkan Skylab Fund, yang menawarkan kucuran dana hingga US$1 juta atau sekitar Rp14,2 miliar. Telkom juga bekerja sama dengan Melon Indonesia dan Agate untuk mengadakan Indigo Game Startup Indonesia. Batas maksimal dana yang ditawarkan dari program itu adalah Rp2 miliar. Selain dana, program itu juga menawarkan mentor serta lisensi untuk penggunaan software dan co-working space.

SDM, Internet, dan Penyensoran

Selain masalah dana, masalah lain di industri game Indonesia adalah kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni. Dalam wawancara eksklusif, CEO Agate, Arief Widhiyasa mengatakan bahwa di Indonesia, tidak banyak orang yang sudah bekerja lama di industri game. Alasannya, industri game Indonesia memang relatif lebih muda dari industri game di Jepang atau negara-negara lain yang industri game-nya sudah matang. Untungnya, saat ini, sudah ada universitas dan institusi pendidikan lain yang menawarkan program pendidikan untuk membuat game.

Masalahnya, matematika masih sering dianggap sebagai momok untuk para siswa di Indonesia. Padahal, matematika dan segala ilmu turunannya — seperti vektor, node, dan lain sebagainya — banyak digunakan dalam proses pembuatan game, seperti yang dibahas dalam artikel The Use of Mathematics in Computer Games dari University of Cambridge. Misalnya, untuk membuat agar karakter musuh bisa mengejar karakter pemain menggunakan jarak tersingkat, developer harus menggunakan node, edge, dan graphs. Sementara untuk memperkirakan lintasan lemparan granat, developer harus menggunakan ilmu fisika.

Mengingat tingginya tingkat kompleksitas proses pembuatan game, pemerintah bisa mendorong perusahaan game lokal untuk mulai menjajaki industri game dengan membuat dan menjual aset game. Karena, membuat aset untuk game membutuhkan waktu yang lebih sedikit dan proses pembuatannya pun lebih sederhana. Contoh aset-aset game yang bisa dijual adalah desain karakter, objek, lingkungan, dan kendaraan — baik dalam 2D maupun 3D. Ikon untuk antarmuka pada game juga bisa menjadi aset yang dijual. Untuk para programmer, mereka bisa menawarkan kode untuk AI, special effect, atau  pengaplikasian hukum fisika pada game. Sementara untuk para musisi, mereka bisa menyediakan background music atau sound effect.

Hal lain yang bisa pemerintah lakukan untuk mendorong pertumbuhan industri game — dan industri digital lainnya — adalah membangun infrastruktur internet yang memadai. Untuk mencapai hal ini, salah satu program yang pemerintah sudah laksanakan adalah Palapa Ring, yaitu proyek untuk membangun jaringan fiber optic yang menjangkau 440 kota/kabupaten di 34 provinsi di Indonesia. Ide akan Palapa Ring dicetuskan pertama kali pada 2005. Proyek itu sempat muncul pada 2007 sebelum menghilang dan kembali dimulai pada 2015. Pada Oktober 2019, Presiden Joko Widodo meresmikan Palapa Ring.

Proyek Palapa Ring dapat mendorong penetrasi internet ke kawasan pelosok. Sayangnya, proyek tersebut tidak meningkatkan kecepatan internet di Indonesia. Sialnya, jika dibandingkan dengan negara tetangga, kecepatan internet di Indonesia masih lebih rendah. Berdasarkan data dari Speedtest, kecepatan internet mobile Indonesia adalah 23,12 Mbps. Sementara itu, jaringan fixed broadband di Indonesia memiliki kecepatan 27,83 Mbps. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, Indonesia punya kecepatan internet broadband dan mobile paling rendah.

Kecepatan internet di negara-negara Asia Tenggara. | Sumber data: Speedtest

Internet cepat untuk apa? Pertama, komunikasi. Pandemi memaksa banyak orang untuk bekerja dari rumah. Alhasil, banyak meeting yang dialihkan ke ranah digital. Dan untuk bisa mengadakan meeting virtual yang nyaman, diperlukan internet yang memang mumpuni. Kedua, internet cepat juga bisa memudahkan para pekerja industri game untuk belajar. Ada banyak kelas online tentang membuat game, mulai dari yang gratis hingga berbayar. Namun, sekali lagi, hal itu membutuhkan internet yang memang memadai.

Saat ini, 97% game di Indonesia merupakan game impor. Pemerintah ingin meningkatkan pangsa pasar game lokal di pasar Indonesia. Salah satu hal yang dipertimbangkan oleh pemerintah adalah menetapkan “pembatasan”; membatasi bandwidth untuk mengakses game-game luar sehingga gamers lebih tertarik untuk mengakses game-game lokal. Sebenarnya, kali ini bukan pertama kalinya pemerintah mencoba untuk membatasi ranah dunia maya yang bisa diakses oleh netizen. Kata kunci: mencoba.

Sejak lama, pemerintah Indonesia terus berusaha untuk menghapus konten pornografi. Mesin AIS atau crawling adalah salah satu usaha pemerintah — melalui Kominfo — untuk membatasi “konten negatif”, termasuk pornografi. Mesin itu telah diluncurkan sejak 2018. Untuk mendapatkan mesin itu, pemerintah rela mengeluarkan Rp194 miliar. Idealnya, keberadaan mesin AIS bisa menghentikan netizen Indonesia untuk mengakses konten pornografi.

Namun, kenyataannya, orang-orang Indonesia justru menjadi top fans dari Eimi Fukada, bintang film dewasa asal Jepang. Hal ini menjadi bukti bahwa konten pornografi masih bisa diakses oleh netizen Indonesia, terlepas dari usaha pemerintah untuk memblokir akses ke konten tersebut. Seperti kata pepatah: dimana ada kemauan, di situ ada jalan.

Jumlah fans dari Eimi Fukada. | Sumber: Facebook

Penutup

Di mana ada gula, di situ ada semut. Wajar jika pemerintah Indonesia tertarik untuk dengan industri game setelah menyadari besarnya potensi industri tersebut. Sebagian pihak terlihat sangsi akan keseriusan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan industri game. Namun, sejauh ini, sudah ada beberapa program nyata yang pemerintah realisasikan untuk mendukung developer lokal. Misalnya, tanpa BIP, When the Past Was Around dari Mojiken Studio tidak akan pernah terealisasi. Selain itu, pemerintah juga pernah mengirimkan sejumlah developer game lokal ke ajang internasional bergengsi, seperti Tokyo Game Show dan Gamescom 2021.

Jadi, kali ini, saya rasa, tidak ada salahnya untuk berbaik sangka pada niat pemerintah. Hope for the best and prepare for the worst.

Viewerships Q3 2021, Facebook Gaming Jadi Platform Streaming Game dengan Pertumbuhan Tertinggi

Viewership dari berbagai platform streaming game pada 2020 naik pesat berkat pandemi COVID-19. Namun, sekarang, kehidupan mulai kembali normal di sejumlah negara. Masyarakat pun bisa kembali beraktivitas seperti semula. Meskipun begitu, secara keseluruhan, viewership di berbagai platform streaming game masih menunjukkan kenaikan. Hal ini membuktikan, tingkat konsumsi masyarakat akan konten streaming game memang naik. Berikut laporan viewership dari Stream Hatchet untuk Q3 2021.

Viewership dari 3 Platform Streaming Game di Q3 2021

Pada Q3 2021, total hours watched dari semua platform streaming game adalah 8,2 miliar jam. Angka ini sedikit turun jika dibandingkan dengan total hours watched pada Q2 2021, yang mencapai 9 miliar jam. Menurut Stream Hatchet, salah satu alasan mengapa viewership pada Q3 2021 sedikit turun dari kuartal sebelumnya adalah karena kantor, restoran, dan tempat hiburan telah mulai dibuka. Hal ini mendorong orang-orang untuk pergi dari keluar rumah. Jadi, waktu yang bisa mereka habiskan untuk menonton streamers berkurang.

Meskipun begitu, total hours watched dari semua platform streaming game pada Q3 2021 tetap lebih tinggi daripada Q2 2020, yang hanya mencapai 7,7 miliar jam. Artinya, masyarakat memang mengonsumsi lebih banyak konten streaming dari sebelumnya. Pada Q4 2021, kemungkinan, viewership dari berbagai platform streaming game akan kembali naik. Pasalnya, ada berbagai game baru yang akan diluncurkan dalam beberapa bulan ke depan, seperti Age of Empires 4, Battlefield 2042, dan Halo Infinite.

Sampai saat ini, industri streaming game masih dikuasai oleh tiga platform, yaitu Twitch milik Amazon, YouTube Gaming, dan Facebook Gaming. Di antara ketiga platform tersebut, Twitch masih menjadi platform nomor satu di dunia. Sepanjang 2021, total hours watched yang didapat Twitch mencapai 18,5 miliar, naik 41% jika dibandingkan dengan 2020. Namun, pada Q3 2021, total hours watched dari Twitch menunjukkan penurunan; dari 6,5 miliar jam pada Q2 2021 menjadi 5,7 miliar jam pada Q3 2021.

Total hours watched dari Twitch pada Q3 2021. | Sumber: Stream Hatchet

Tingginya viewership Twitch bukan berarti platform tersebut bebas dari masalah. Pada 1 September 2021, sejumlah kreator konten mengadakan boikot, bertajuk A Day Off Twitch. Tujuan protes itu adalah untuk mendorong Twitch agar mereka menindaklanjuti berbagai harassment yang terjadi pada para streamers. Menggunakan data dari Gamesight, GamesBeat menyebutkan bahwa boikot itu membuat Twitch kehilangan sekitar satu juta penonton mereka. CEO Gamesight, Adam Lieb menyebutkan, pada hari boikot terjadi, jumlah penonton Twitch mencapai titik paling rendah sepanjang 2021.

Tak hanya itu, pada awal Oktober 2021, Twitch harus berurusan dengan kebocoran data. Mereka mengakui, hacker berhasil mengakses data  mereka terekspos ke internet secara tidak sengaja. Mereka menyebutkan, hal ini terjadi karena adanya perubahan konfigurasi pada server. Sejauh ini, hacker membocorkan data berupa source code untuk Twitch, rencana Amazon untuk membuat platform toko game digital layaknya Steam, dan informasi tentang bayaran para kreator, menurut laporan The Verge.

Mari beralih ke YouTube Gaming. Pada 2020, viewership dari platform tersebut meningkat pesat. Secara total, jumlah hours watched untuk YouTube Gaming pada 2020 mencapai 4,3 miliar jam, naik 95% dari tahun 2019. Namun, sekarang, angka itu mengalami penurunan. Hingga saat ini, jumlah hours watched dari YouTube Gaming hanya mencapai 3,8 miliar jam, turun 12% dari tahun lalu.

Sementara itu, dalam tiga kuartal terakhir, jumlah hours watched yang didapat oleh YouTube Gaming juga menunjukkan tren turun. Pada Q3 2021, YouTube Gaming mendapatkan 1,1 miliar jam hours watched, turun 13% dari kuartal sebelumnya. Sementara pada Q2 2021, total hours watched YouTube Gaming adalah 1,3 miliar jam, turun 5% dari Q1 2021. Namun, menurut Stream Hatchet, kemungkinan, viewership untuk YouTube Gaming akan kembali naik pada Q4 2021.

Total viewership dari YouTube Gaming. | Sumber: Stream Hatchet

Walau belum bisa menyaingi Twitch dari segi viewership, YouTube Gaming berhasil mendapatkan kontrak eksklusif dengan sejumlah streamers, seperti DrLupo dan TimTheTatman. Keberadaan streamers populer tidak hanya akan meningkatkan viewership YouTube Gaming, tapi juga mengubah persepsi kreator konten akan platform itu. Jika para kreator konten populer mau menjalin kerja sama eksklusif dengan YouTube Gaming, hal ini menunjukkan bahwa YouTube Gaming adalah platform yang cocok bagi orang-orang yang ingin membangun karir sebagai streamer atau kreator konten.

Sementara itu, total hours watched yang didapat oleh Facebook Gaming pada Q3 2021 adalah 3,5 miliar jam, naik 56% dari tahun lalu. Dengan ini, Facebook Gaming menjadi platform streaming game dengan pertumbuhan paling besar jika dibandingkan dengan Twitch dan YouTube. Dalam tiga kuartal di 2021, jumlah hours watched dari Facebook Gaming juga menunjukkan tren naik, seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah.

Viewership untuk Facebook Gaming. | Sumber: Streat Hatchet

Salah satu alasan mengapa Facebook Gaming menjadi populer adalah karena platform itu menjadi pilihan banyak streamer mobile game. Pada Q3 2021, konten PUBG Mobile dan Mobile Legends: Bang Bang memberikan kontribusi sebesar 75% dari total viewership yang didapat oleh Facebook Gaming. Kedua game tersebut merupakan dua mobile game paling populer saat ini. Seiring dengan semakin populernya mobile game, maka viewership dari konten mobile game pun akan naik.

Konten Streaming Game Terpopuler di Q3 2021

Di Q3 2021, Just Chatting menjadi kategori konten yang paling banyak ditonton. Kategori itu berhasil mengumpulkan total hours watched sebanyak 708 juta jam. Salah satu alasan mengapa kategori Just Chatting populer adalah karena biasanya, para streamers akan menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan para penonton mereka setelah dan sebelum mereka melakukan siaran. Selain itu, tidak sedikit streamers yang berhasil mengumpulkan penonton hanya dengan menyediakan konten Just Chatting.

10 kategori paling populer pada Q3 2021. | Sumber: Stream Hatchet

Dari 10 kategori paling populer pada Q3 2021, tiga di antaranya merupakan mobile game. Free Fire menjadi mobile game dengan konten yang paling banyak ditonton. Game dari Garena itu mendapatkan total hours watched sebanyak 325 jam. Mobile game paling populer ke-2 adalah PUBG Mobile, dengan total hours watched 247 juta jam, diikuti oleh Mobile Legends yang mendapat total hours watched sebanyak 240 juta jam. Mengingat minat akan mobile game masih menunjukkan tren naik, tidak tertutup kemungkinan, viewership dari berbagai mobile game akan tumbuh di masa depan.

Sepanjang Q3 2021, Tencent menjadi publisher terpopuler. Di Twitch, YouTube Gaming, dan Facebook Gaming, total hours watched dari game-game Tencent menembus satu miliar jam pada Q3 2021. Perusahaan asal Tiongkok menjadi satu-satunya publisher yang berhasil mencapai hal tersebut. Dua game yang memberikan kontribusi besar pada viewership untuk Tencent adalah League of Legends dan VALORANT, yang dibuat oleh Riot Games.

Lima publisher yang mendapatkan total hours watched paling banyak pada Q3 2021. | Sumber: Stream Hatchet

Setelah Tencent, Take-Two Interactive menjadi publisher paling populer kedua. Publisher tersebut berhasil mendapatkan 700 juta hours watched. Grand Theft Auto V menjadi kontributor utama dari total hours watched yang didapatkan oleh Take-Two. Pada Q3 2021, sekitar 89% dari total hours watched Take-two berasal dari GTA V.

Streamers Terpopuler di Q3 2021

Dengan total hours watched sebanyak 49 juta jam, xQcOW masih menjadi streamer paling populer pada Q3 2021. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan Q2 2021, total hours watched yang didapatkan oleh xQc lebih rendah 41 juta jam. Tidak heran, mengingat total durasi siaran dari xQc pada Q3 2021 juga turun, 167 jam lebih sedikit dari kuartal sebelumnya. Satu hal yang menarik, empat dari lima streamers paling populer pada Q3 2021 tidak menggunakan bahasa Inggris. Hal ini menunjukkan, audiens untuk konten streaming game tidak terbatas pada negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris, tapi juga negara-negara lain.

Hours watched dan tingkat engagement dari para kreator konten. | Sumber: Stream Hatchet

Meskipun xQc menjadi streamer paling populer, tingkat engagement-nya di media sosial cukup rendah. Dengan tingkat engagement 0,22, jangkauan xQC di media sosial hanyalah 12,5 juta orang. Dari segi engagement, Auronplay merupakan streamer terbaik. Dia memiliki tingkat engagement sebesar 1,03 dengan jangkauan 50,4 juta orang.

Sementara itu, gelar streamer perempuan paling populer jatuh pada Amouranth, dengan total hours watched sebanyak 12,1 juta jam. Setelah memopulerkan tren Hot Tub stream, dia kini menemukan sukses dengan membuat konten ASMR. Dan seperti yang bisa Anda lihat pada daftar di bawah, tiga dari lima streamer perempuan paling populer merupakan kreator di YouTube Gaming. Hal ini mengimplikasikan, YouTube Gaming merupakan platform pilihan untuk para kreator perempuan.

Total hours watched dan tingkat engagement dari lima streamer perempuan terpopuler. | Sumber: Stream Hatchet

Sama seperti xQc, walau Amouranth mendapatkan hours watched paling banyak, tingkat engagement-nya di media sosial rendah, hanya 0,02. Jumlah jangkauannya di media sosial hanya mencapai 4,8 juta orang. Sementara Valkyrae — yang merupakan streamer perempuan paling populer ke-3 dengan total hours watched 5,8 juta jam — memiliki tingkat engagement paling tinggi, mencapai 3,3. Total jangkauan Valkyrae di media sosial mencapai 9,9 juta orang. Satu hal yang harus diingat, selain viewership, tingkat engagement menjadi salah satu metrik yang menjadi perhitungan bagi perusahaan untuk menjalin kerja sama dengan seorang streamer.

Bekerja di Organisasi Esports, Apa yang Bisa Diharapkan?

Sekarang, menjadi pemain esports memang bukan hanya mimpi di siang bolong. Gaji pemain profesional bisa mencapai lebih dari Upah Minimum Region (UMR) Jakarta. Sayangnya, kesempatan untuk menjadi pemain profesional juga sangat kecil, kurang dari satu persen. Kabar baiknya, jika Anda tertarik untuk masuk ke dunia esports, ada berbagai pekerjaan lain yang bisa Anda lakukan, mulai dari manajer, videografer, sampai psikolog. Dan meskipun game dan esports sering dielu-elukan sebagai dunia laki-laki, bahkan perempuan juga punya tempat di industri ini.

Sebelum ini, Hybrid pernah membahas tentang apa saja yang diperlukan jika Anda ingin melamar pekerjaan di bidang esports. Sekarang, kami akan membahas tentang apa yang bisa Anda harapkan ketika menjadi staf, bekerja di tim esports.

Bagaimana Tim Esports Mencari Pegawai?

Demi mencari tahu tentang bagaimana organisasi-organisasi esports besar Indonesia mencari staf baru, Hybrid.co.id menghubungi dua narasumber yang pernah bekerja di dua organisasi esports Indonesia. Keduanya memilih untuk tidak disebutkan namanya. Satu hal yang pasti, dua organisasi esports tempat narasumber kami bekerja pernah memenangkan turnamen esports di tingkat nasional dan internasional.

Ketika ditanya tentang bagaimana mereka bisa menjadi bagian dari organisasi esports besar, dua narasumber kami mengungkap, karir mereka di esports berawal dari ajakan teman. Meskipun begitu, salah satu narasumber kami mengatakan, saat ini, proses penerimaan karyawan di organisasi esports besar sudah sama seperti proses penerimaan kerja di perusahaan-perusahaan dari industri lain.

“Sebenarnya, kalau sekarang, proses penerimaan pegawai sudah mirip kayak job vacancy pekerjaan lain,” ujar narasumber kami saat dihubungi melalui pesan singkat. “Cuma, waktu aku ditawarin, memang masih pakai asas kepercayaan dan ajak-ajak orang yang sudah dikenal.”

Tawaran lowongan kerja di esports tidak berbeda dengan perusahaan biasa.

Hal serupa diungkapkan oleh Yohannes “Joey” Siagian, CEO Morph Team. Dia menjelaskan, ketika hendak mencari pegawai baru, Morph akan membuka lowongan. Setelah itu, mereka akan meninjau CV yang dikirimkan oleh pelamar. Dari sana, mereka akan memilih pelamar yang akan diwawancara. Untuk jabatan tertentu, pelamar akan diberikan tes atau diminta untuk menunjukkan portofolio mereka.

“Tapi, apabila kita melihat ada orang yang menurut kita memiliki talent, kita akan approach, meskipun mungkin saat itu, tidak ada posisi kosong di Morph,” ujar pria yang akrab dengan panggilan Joey ini. “I’m a firm believer that you don’t waste talent. So, if you see it, see how it can fit in your organization.”

Tidak heran jika proses penerimaan kerja di organisasi esports tidak berbeda dengan perusahaan lain. Pasalnya, sekarang, esports sudah menjadi industri. Jadi, orang-orang yang bekerja di dalamnya pun dituntut untuk bersikap profesional. Setelah seseorang diterima untuk bekerja di organisasi esports, mereka juga harus melalui masa probasi. Waktu probasi di setiap organisasi esports berbeda-beda.

Dua narasumber anonim kami mengungkap, saat pertama kali diterima bekerja, mereka harus melalui masa probasi selama 3 bulan. Sementara di Morph, Joey mengatakan, masa probasi adalah sekitar 2-3 bulan. BOOM Esports memiliki masa probasi paling singkat, yaitu hanya sekitar 1-2 bulan. Waktu probasi yang ditetapkan oleh organisasi esports tidak jauh berbeda dengan masa probasi di perusahaan lain. Sebagai perbandingan, pada awal bekerja di Hybrid.co.id, saya juga harus melalui masa probasi selama 3 bulan sebelum diangkat sebagai pegawai tetap.

Pegawai Tetap, Pegawai Kontrak, dan Beban Kerja

Pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Hubungan Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja pada Februari 2021. Dengan itu, maksimal durasi kontrak antara pekerja dan perusahaan bertambah, menjadi 5 tahun. Sebelum PP No. 35 disahkan, maksimal durasi kontrak antara pegawai dan perusahaan hanyalah 3 tahun.

Meskipun begitu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan bahwa perlindungan yang didapat oleh pekerja kontrak alias Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sama dengan pekerja tetap, khususnya terkait kompensasi setelah hubungan bekerja berakhir, menurut laporan Bisnis.

Pada prakteknya, dalam sebuah perusahaan, sebagian pegawai akan memegang status pegawai tetap dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dan sebagian yang lain menjadi pegawai kontrak. Misalnya, Di Merah Cipta Media, sebanyak 91% karyawan merupakan pegawai tetap dan 9% sisanya pegawai kontrak.

Sebagian organisasi esports hanya mempekerjakan pegawai kontrak. | Sumber: Hukum Online

Arif Hardiyanto sebagai GM Operations, DailySocial.id. menjelaskan, untuk diangkat sebagai pegawai tetap, seseorang yang terikat dengan PKWTT harus lolos masa probasi. Sementara jika seseorang terikat dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dia harus mendapatkan penilaian kontrak yang bagus.

Salah satu perbedaan antara pegawai kontrak, pegawai tetap, dan freelancer adalah jatah cuti. Pegawai tetap mendapatkan 14 cuti dalam 1 tahun, sementara pegawai kontrak tergantung pada lama kontrak kerja. Dan pegawai freelance tidak mendapatkan cuti atau pun benefit kesehatan, seperti asuransi. Selain itu, freelancer juga tidak harus bekerja setiap hari. Jadi, gaji yang diberikan akan tergantung pada kesepakatan perjanjian bersama.

Perusahaan punya alasan tersendiri untuk mempekerjakan seseorang sebagai pegawai tetap atau pegawai kontrak. Masing-masing status punya keuntungan tersendiri untuk perusahaan. Ketika ditanya tentang hal ini, Arif menjawab, “Keuntungan karyawan tetap adalah karyawan lebih loyal. Keuntungan karyawan kontrak adalah ketika pekerjaan sudah selesai, maka manpower tidak besar. Dan keuntungan freelancer adalah tidak ada biaya untuk tambahan benefit lain.”

Satu hal yang membedakan organisasi esports dengan perusahaan biasa adalah kebanyakan organisasi esports tidak punya pegawai tetap. Jadi, semua pekerja yang mereka pekerjakan merupakan pegawai kontrak. Tentu saja, ada beberapa organisasi esports yang menawarkan status sebagai pegawai tetap, seperti BOOM Esports.

Dua narasumber anonim kami mengatakan, organisasi esports tempat mereka bekerja hanya menggunakan sistem kontrak. Dan kontrak mereka ditinjau setiap tahun. Salah satu dari mereka menyebutkan, terkadang, tugas yang dia dapat di lapangan berbeda dengan kontrak. “Namanya juga startup yang lagi berkembang jadi perusahaan. Tapi, itu biasa sih. Soalnya, gaji naik sesuai dengan beban kerja,” ujarnya. “Pas naik gaji, dapat kontrak baru.”

Bagi manajer tim, kontrak mereka juga akan ditinjau setiap musim. Salah satu narasumber kami mengatakan, jika performa tim turun, maka pihak manajemen organisasi esports akan mencoba untuk mencari tahu sumber dari masalah penurunan performa.

“Kalau memang ada masalah, akan selalu diusahakan untuk diselesaikan secepatnya,” ujar sang narasumber. “Hal-hal itu yang akan dilihat dari manajer juga.” Di atas kertas, tugas seorang manajer “hanyalah” mendampingi para pemain yang menjadi tanggung jawabnya. Namun, dia menjelaskan, seorang manajer biasanya akan tinggal di gaming house, yang juga merupakan kantor mereka. Hal itu berarti: “Bangun dan tidur adalah penanda jam kerja,” ceritanya sambil tertawa. Kabar baiknya, durasi jam kerja yang lebih panjang berarti para manajer bisa mendapatkan benefit lain selain gaji.

Kebanyakan turnamen esports digelar saat akhir pekan. | Sumber: International Mobile Gaming Awards

Mengingat kebanyakan turnamen esports digelar pada akhir pekan dan tugas manajer adalah mendampingi tim, maka biasanya, manajer tim esports tidak libur pada akhir pekan. Narasumber kami menjelaskan, hari libur para manajer biasanya disesuaikan dengan jadwal dari tim, baik ketika musim pertandingan berlangsung atau setelah musim kompetisi usai.

“Kalau untuk manajer tim, pas season ada satu hari libur. Biasanya hari Senin atau Selasa karena weekend dipakai tanding,” ujar sang narasumber. “Kalau lagi offseason, biasanya mengikuti jadwal persiapannya. Libur panjang juga bisa tapi, ya tergantung jadwal season depannya bagaimana. Biasanya, jeda season itu 2 bulanan. Ada libur sekitar hampir satu bulan bagi tim. Jadi, manajer libur juga di situ. Tapi, jadwal liburnya kalau offseason dikurangi 2 hari. Karena, manajer adalah orang terakhir yang meninggalkan GH dan orang pertama yang datang ke GH sebelum pada datang.”

Bagi organisasi esports, popularitas tidak kalah pentingnya dengan prestasi. Karena itu, banyak organisasi esports yang punya divisi khusus untuk menangani streamer atau brand ambassador. Menurut salah satu narasumber kami, orang-orang yang bekerja di bagian manajemen talenta biasanya punya kesempatan untuk mendapatkan status sebagai pegawai tetap.

BOOM Esports adalah salah satu organisasi esports yang mempekerjakan pegawai kontrak dan pegawai tetap. Gary Ongko Putera, CEO BOOM Esports mengatakan, salah satu hal yang menentukan apakah seseorang menjadi pegawai tetap atau pegawai kontrak di BOOM adalah tugas yang dia emban. Orang yang duduk di posisi manajemen punya kesempatan untuk menjadi pegawai tetap.

“Kalau manajemen, seperti office work, lebih aman dan tidak terlalu ada kaitannya dengan performa tim,” ujar Gary. “Kalau manajer tim kan sebenarnya ada kemungkinan tidak cocok. Sementara untuk videografer atau tim kreatif, sebagian full-time dan sebagian proyek-based. Tergantung dengan senioritas dan job description mereka sih.”

Admin dari media sosial adalah salah satu staf non-atlet di organisasi esports. | Sumber: Tokopedia

“Yang penting buat saya, kita di BOOM Esports nggak punya niat buruk,” kata Gary. “Jadi sebenarnya, lebih ke formalitas.” Dia mengungkap, kontrak antara BOOM dan pegawainya dibuat untuk mencegah tentang masalah di masa depan. Pasalnya, di esports, kontrak yang bermasalah memang sesuatu yang masih terkadang terjadi. Misalnya, untuk pemain di bawah 18 tahun, kontrak tidak ditandatangani oleh orang tua. Anda bisa membaca lebih lanjut tentang masalah bursa transfer dan kontrak pemain esports di Indonesia di sini.

Terkait cuti, Gary menjawab bahwa cuti atau libur staf dan pemain di BOOM biasanya disesuaikan dengan jadwal mereka. “Kalau tim, ya pas tim libur. Kalau tim kreatif, ya menyesuaikan jadwal,” ujarnya. “I’m not rigid. Saya tipe orang yang, you do you, but get your job done good. Lumayan banyak freedom di BOOM.”

RRQ adalah organisasi esports lain yang menggunakan sistem kontrak dan tetap. CEO RRQ, Andrian Pauline alias AP mengatakan, RRQ punya sekitar 50 staf yang bukan atlet. Sebagian dari mereka merupakan pegawai tetap, dan sebagian yang lain pegawai kontrak. AP menjelaskan, performa menjadi kriteria utama untuk menentukan status ketenagakerjaan seseorang. Namun, dia juga mengungkap, pegawai kontrak dan pegawai tetap mendapatkan benefit dan perlakuan yang sama.

Morph hanya menerikan pegawai kontrak. | Sumber: Facebook

Sementara itu, Morph adalah salah satu organisasi esports yang hanya menggunakan sistem kontrak untuk semua pegawai mereka. Joey menjelaskan, di Morph, salah satu kriteria yang mereka cari dari pelamar kerja adalah potensi.

“Kadang memang ada tugas yang memerlukan skillset yang sudah baku, seperti psikolog atau pengacara. Tapi, secara umum, saya lebih memilih untuk mencari staf yang mungkin masih kurang pengalaman atau masih ada yang perlu dipelajari, tapi punya potensi besar daripada mempekerjakan staf yang sudah punya jam terbang, tapi tidak banyak berkembang lagi,” ujar Joey.

Overall yang saya biasa cari di staf adalah potensi berkembang, skill, kreativitas, dan kemampuan berkomunikasi yang baik,” katanya. “Saya juga sangat mempertimbangkan niat dan antusias yang ditunjukkan oleh calon staf. Mungkin ini alasannya kenapa bagi saya wawancara merupakan salah satu bagian terpenting dari proses hiring staff di Morph. CV yang penuh, ijazah dari kampus ternama, atau referensi itu semua bisa memberikan informasi yang bagus, tapi until you sit across from a candidate and talk for awhile it’s hard to know if its a potential good fit or not.

Sementara itu, bagi Gary, salah satu kesulitan yang biasa dihadapi oleh organisasi esports ketika hendak mencari pegawai baru adalah mencari orang yang tidak hanya punya pengetahuan tentang industri esports, tapi juga punya pengalaman. “Biasanya, kita bisa mendapat orang yang punya pengalaman atau orang yang mengerti esports, tapi tidak punya pengalaman,” ungkapnya sambil tertawa. Untuk posisi seperti manajer, masalah yang biasa ditemukan adalah kecocokan dengan tim.

Kesimpulan

Pada awalnya, orang-orang yang bekerja di dunia esports adalah mereka yang memang punya passion di bidang competitive gaming. Namun, sekarang, esports sudah semakin diterima oleh masyarakat luas. Walau, tak bisa dipungkiri, akan selalu ada orang-orang yang memandang industri esports sebelah mata atau menganggap game sebagai pengaruh buruk pada anak dan remaja.

Seiring dengan semakin populernya esports, semakin banyak pihak yang tertarik untuk menjajaki dunia ini, bahkan perusahaan-perusahaan yang tidak punya kaitannya dengan industri esports, seperti bank. Karena esports kini sudah menjadi industri, maka orang-orang yang bekerja di dalamnya pun dituntut untuk bersikan profesional. Jadi, tidak heran jika organisasi esports sekali pun mencari pegawai baru dengan metode yang sama seperti perusahaan konvensional.

Tentu saja, bekerja di industri esports akan menawarkan tantangan tersendiri, khususnya bagi orang-orang yang terlibat langsung dengan para pemain profesional. Misalnya, jam kerja yang tidak tentu atau harus bekerja di akhir pekan. Pada akhirnya, jika Anda memang senang dengan dunia esports dan siap untuk bekerja sesuai ritme para pelaku dunia esports, Anda bisa mencoba untuk menjadi bagian dari ekosistem esports, walau tidak sebagai pemain.

Sumber header: VentureBeat

Perbandingan Popularitas MPL Indonesia dengan Dua MPL Baru: MPL BR dan MPL KH

Sebelum ini, Hybrid pernah membandingkan viewership antara Mobile Legends Professional League (MPL) di empat negara, yaitu Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Singapura. Tahun ini, Moonton mengadakan beberapa perubahan pada MPL. Salah satunya, mereka menyelenggarakan dua MPL baru, yaitu MPL Brasil (MPL BR) dan MPL Kamboja (MPL KH). Selain itu, mereka juga tidak lagi mencampur liga Malaysia dan Singapura. Sekarang, MPL MY/SG terbagi menjadi MPL MY dan MPL SG.

Kali ini, Hybrid akan membandingkan MPL ID Season 8 dengan dua MPL terbaru, yaitu MPL KH dan MPL BR Season 1. Selain itu, kami juga akan membandingkan viewership dari MPL ID dengan MPL MY Season 8 dan MPL SG Season 2. Data viewership yang kami gunakan berasal dari Esports Charts versi Pro.

Durasi Siaran dan Hours Watched

MPL ID S8 dimulai pada 13 Agustus 2021. Sampai saat ini, total durasi siaran dari liga tersebut mencapai 133 jam. MPL BR S1 digelar satu hari setelah MPL ID S8 dimulai, pada 14 Agustus 2021. Namun, total air time dari MPL BR S1 jauh lebih sedikit, hanya mencapai 75 jam. Ada kemungkinan, alasan mengapa air time MPL BR S1 jauh lebih rendah dari MPL ID S8 adalah karena MPL BR baru digelar untuk pertama kalinya. Memang, jika dibandingkan dengan MPL KH S1, yang dimulai pada 28 Agustus 2021, total air time MPL BR S1 tidak jauh berbeda. Sejauh ini, total durasi siaran MPL KH S1 adalah 75 jam.

Sekarang, mari kita beralih ke MPL MY S8 dan MPL SG S2. Meskipun MPL MY sudah memasuki Season 8, liga tersebut sebenarnya baru diselenggarakan secara eksklusif untuk tim-tim Malaysia selama dua musim terakhir. MPL MY S8 dimulai pada tanggal yang sama dengan MPL ID S8. Namun, MPL SG S2 diadakan hampir satu bulan kemudian, yaitu pada 11 September 2021. Karena itu, tidak aneh jika total durasi siaran MPL MY S8 jauh lebih lama. Total air time MPL MY S8 adalah 138 jam, sementara MPL SG S2 hanya 63 jam.

Durasi siaran dari MPL ID, MY, SG, BR, dan KH.

Dengan air time selama 133 jam, MPL ID S8 berhasil mendaaptkan 43,9 juta jam hours watched. Sementara itu, MPL MY S8 — walau memiliki durasi siaran yang lebih lama — hanya mendapatkan 3,87 juta jam hours watched. Satu hal yang harus diingat, populasi Indonesia jauh lebih besar dari Malaysia. Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar ke-4 yang memiliki jumlah penduduk sebanyak lebih dari 271 juta orang. Sementara Malaysia ada di peringkat 44 dengan jumlah penduduk 32,7 juta orang.

Dalam debutnya, MPL BR berhasil mendapatkan 262 ribu hours watched. Jika dibandingkan dengan MPL BR S1, MPL KH S1 memiliki viewership yang jauh lebih tinggi. Total hours watched dari MPL KH S1 mencapai 1,36 juta jam. Sementara itu, MPL SG S2 mendapatkan total hours watched paling rendah, hanya 81,9 ribu jam.

Total hours watched dari lima MPL.

Tidak aneh jika MPL SG memiliki total hours watched paling rendah. Pasalnya, jika dibandingkan dengan empat negara lainnya, Singapura memang memiliki populasi paling sedikit, hanya 5,7 juta orang. Brasil menjadi negara dengan populasi terbanyak setelah Indonesia, dengan jumlah penduduk sebanyak 213,8 juta orang dan Kamboja memiliki populasi sebanyak 15,6 juta orang.

Peak Viewers dan Average Viewers

Selain hours watched, dua metrik lain yang sering dijadikan sebagai tolok ukur untuk menghitung kesukesan sebuah kompetisi esports adalah peak viewers dan average viewers. Dari lima liga yang dibandingkan di sini, MPL ID S8 menjadi kompetisi dengan average viewers dan peak viewers paling tinggi. Jumlah penonton rata-rata MPL ID S8 mencapai 329,1 ribu orang, dengan peak viewers mencapai 1,72 juta orang.

Average viewers dan peak viewers dari empat MPL lainnya — MY, SG, BR, dan KH — jauh lebih rendah dari MPL ID S8. Karena perbedaan yang sangat jauh itulah, saya memutuskan untuk tidak menyertakan MPL ID S8 dalam tabel perbandingan average viewers dan peak viewers di bawah.

Perbandingan average viewers dan peak viewers dari empat MPL.

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, jika MPL ID S8 tidak disertakan, MPL MY S8 memiliki peak viewers dan average viewers paling tinggi. Pada puncaknya, MPL MY S8 mendapatkan penonton sebanyak 92,6 ribu orang. Sementara jumlah rata-rata penonton dari liga itu adalah 28 ribu orang. Setelah MPL MY, MPL KH memiliki jumlah penonton rata-rata dan peak viewers paling tinggi, dengan peak viewers sebanyak 66,1 ribu orang dan average viewers sebanyak 18,26 ribu orang.

Menariknya, walau populasi Singapura jauh lebih kecil dari Brasil, jumlah peak viewers dan average viewers dari MPL SG S2 tidak jauh berbeda dari MPL BR S1. MPL SG S2 memiliki average viewers sebanyak 1,3 ribu orang dengan peak viewers 7,6 ribu orang. Sebagai perbandingan, MPL BR S1 memiliki average viewers sebanyak 3,46 ribu orang dan peak viewers sebanyak 8,56 ribu orang.

Platform Siaran dan Statistik YouTube

Moonton menyiarkan MPL ID S8 di tiga platform streaming, yaitu YouTube, NimoTV, dan Facebook. Sama seperti liga di Indonesia, MPL MY S8 juga hanya disiarkan di tiga platform streaming, yaitu Facebook, YouTube, dan TikTok. MPL SG S2 disiarkan di tiga platform streaming yang sama dengan liga Mobile Legends di Malaysia. Hanya saja, di Singapura, Anda juga bisa menonton MPL SG di Twitch. Sementara itu, MPL KH S1 hanya disiarkan di dua platform streaming, yaitu Facebook dan YouTube. MPL BR S1 merupakan liga yang disiarkan di paling banyak platform streaming. Moonton menyiarkan liga tersebut di YouTube, TikTok, Facebook, Twitch, NimoTV, dan BooYah.

Tampaknya, alasan Moonton menayangkan MPL BR S1 di banyak platform adalah karena mereka berusaha untuk mencari platform favorit para penonton Brasil. Memang, penonton di Indonesia, Malaysia, Singapura, Kamboja, dan Brasil punya platform streaming favorit masing-masing. Di Indonesia, Singapura, dan Brasil, YouTube menjadi platform streaming utama. Sementara di Malaysia dan Kamboja, Facebook menjadi platform streaming pilihan para penonton.

Meskipun begitu, versi Pro dari Esports Charts tetap menunjukkan data viewership dari semua MPL untuk YouTube.

Data viewership lima MPL di YouTube. | Sumber: Esports Charts

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Esports Charts. Sumber header: IndoEsports

Genetics and Gaming: are Gamers Born or Made?

One of the things that I used to love about gaming is its accessibility. You can play video games no matter who you are, tall or short, thin or fat, ugly or good-looking; video games are for everyone. Unfortunately, this notion is often misleadingly extended to the esports or the professional scene.

Many gamers, including myself, have always believed that, with enough practice, grinding, and grit, all of us have the potential to become a pro. This belief, whether it is true or not, is perfectly understandable due to gaming’s accessibility when compared to other sports. If you aren’t born tall, you will probably never be a professional basketball player. If you are naturally thin, the chances of you becoming a weightlifter is incredibly slim (pun intended). On the other hand, most of us are inclined to believe that pro gamers don’t have any of these genetic prerequisites that separate them from the normal population. However, what if I tell you that this notion is not true? What if I tell you that being a pro is in our genes?

In this article, we will be exploring the evidence that supports each side of the argument and investigating the genetic traits that make up an esports professional. We will also be taking into account the perspectives of pro players themselves. As a side note and a minor spoiler, there is currently not much scientific data or research about the correlation between genetics and gaming. So yes, some speculation might be needed, and a full-fledged answer to our question might not be feasible to produce. Nevertheless, let’s see if gamers are born or made.

What the Pros are saying

To answer our question about the correlation between genetics and gaming, why not ask the individuals who are already been there. Here is what current VALORANT pro, Steel, has to say about the topic.

Although the video is over 5 years old and is from his CS:GO days, I think that Steel’s points still stand. He believes that gaming is in the genes. “Being good at CS is genetics,” Steel said. “Any player who can be pro today needs to be Global Elite (CS:GO’s highest rank) in one year after they pick up CS even if is their first FPS.” If you have 3000 hours on CS and never got Global, you will most likely never be a pro, according to Steel. Of course, his comment received both positive and negative responses. Fortnite pro, NRG Zayt, agrees with Steel, as seen from his tweet below.

Calc from BBG also seems to have the same opinion.

Many of the comments who challenged Steel’s perspective usually goes along with the belief that you can do anything you set your mind to”. Indeed, this is what we are constantly thought in school by our teachers or parents. However, Steel argues that this idea is rather naive and is only suited for encouraging us to explore the different career options we might have in life. In reality, some people are innately better or worse at certain activities than others.

On the other side of the coin, ShahZaM, IGL of Sentinel’s VALORANT roster and winner of VCT 2021: Stage 2 Masters in Reykjavík, had an opposing opinion in this matter. ShahZaM said that he and most of his pro teammates actually believed that being a pro is a learned skill. “Everyone of us in the CS:GO pro teams said it is not genetics, while everyone that worked in the (esports) industry said it’s genetics,” ShahZaM mentioned in one of his stream clips.

Shahzeb “ShahZaM” Khan | Source: Dot Esports

He argues that nobody is predisposed to being good at certain activities, contrary to what Steel mentioned. Instead, ShahZ believes that some people simply learn certain things faster, which is what most people refer to as talent or genetics. A player can be a pro in 2 years while others might take 4 or more years, but there is no gap in skill ceiling or skill level that is purely determined by genetics.

But what about reaction time? Well, ShahZaM thinks that the reaction time argument is overrated. “The spread in reaction time is never significant enough to make a change in the game,” he said. “I promise you.” In contrast, game sense or practicing to become aware and anticipate specific situations is far more impactful in affecting the speed at which we react. Of course, all of these are trained and not predetermined by talent.

Furthermore, ShahZaM also emphasized the importance of being critical to improve our gameplay. Some players may have 10 000 hours of experience in a game and never reach pro-level just because they never play to improve. If we can’t be productive of the time we put into games and mindlessly play for fun, then we will hardly ever get better. Unfortunately, a lot of gamers fall into this traphole and consequently blame their genes for not being to carry them to the pro scene.

Reaction time

Powerlifters or boxers need big muscles. Sprinters like Usain Bolt have fast-twitch muscle fibers. Basketball players are somewhat generally tall and above 6 ft. But what do gamers need? Intelligence, motor skills, quick decision-making, hand-eye coordination, and reaction time (in particular) are some of the traits that will affect your in-game skill.

To test out your reaction time, you can visit humanbenchmark.com. On the website, you can also see the statistics of reaction times from all the data that the site has collected. The average or median reaction time, according to humanbenchmark.com, is around 273ms. We can presume that professional FPS players are more likely to have reaction times of 200ms. The basic logic behind the assumption adds up: if you have a slow reaction time, you will simply never be able to out aim a pro in CS or VALORANT, and they will always have a slight edge.

Reaction time statistics | Source: humanbenchmark.com

Indeed, there is some evidence that shows that you can improve reaction time by constantly practicing. Many different factors, such as sleep quality, also affect reaction time. But practicing can only go so far.

For instance, age is highly correlated to reaction time, which is why most FPS players are incredibly young. Most old players simply retire because the young guys out-aim them significantly. Sure, there are some outliers like the boomer himself, Hiko, from the 100 Thieves VALORANT roster. But you get the point. Note that all these old pros have the all mechanical and knowledge prowess of the game and used to have fast reaction times in their primes. However, just because their reaction time is getting slightly worse, their careers soon fall out. What about normal people like us? Well if you are currently having 290ms reaction time, you will most likely never be a pro FPS player. You can train every day to get 250ms, but you’ll probably lose out on time at this point.

Hiko is still able to compete in VALORANT at the highest level despite being 31 years old | Source: Dot Esports

However, the argument of reaction time is often flawed as it we cannot measure how impactful the 50ms difference of reaction time plays out in a game. As we have previously seen, ShahZaM thinks that reaction time rarely makes a difference. But again, it is not easy to quantify, prove, or disprove all of these hypotheses.

Pro Siblings

Yawar “YawaR” Hassan and Syed Sumail “SumaiL” Hassan are siblings who are both Dota 2 pros | Source: VP Esports

A prevalent argument to “prove” the effects of genetics in gaming is the prevalence of professional player siblings in esports. Indeed, there is a fair share of pro siblings that may be can attune to the fact some families simply have innate gaming genes. In DotA 2, we have SumaiL and YawaR. In CS:GO, we have Freakazoid and Cooper. We also got ScreaM and Nivera, who recently reunited in Team Liquid’s VALORANT roster. These are just some famous examples of siblings who were able to thrive in the esports scene. In truth, however, the list is incredibly long. Therefore, there must be some genetics that runs in the bloodline of these pros that causes their whole family to be good at gaming.

Does Practice make Perfect?

Source: imgflip

Obviously, when we constantly train, we will eventually get better. Some may even argue that we can practice up to the point where we exceed or be up to par with talented individuals. However, this is not always the case. As Steel previously puts it: skill = practice + talent. Yes, you can practice for 10 hours a day, but talented players can perhaps have the same or better results with 2 hours. If you force the same talented individual to practice 10 hours a day, they will undoubtedly surpass the normal person.

But again, this means that there is still some hope for untalented individuals to shine or perhaps go pro. However, they need to carefully select their games and suspend the mindset that “you can be anything” or “hardwork beats talent” mentality. If you aren’t good at something, realize it sooner and find another game that might be more suited for you.

On the other side of the coin, there is also the assumption that everyone has the same skill ceiling. Therefore, given enough time, you can be a pro. At some point in a pro player’s career, they will reach their peak (also referred to as skill ceiling) and not be able to improve anymore. Some players reach their skill ceiling in 2 years, while it may 5 years for others due to the difference in natural talent. As a result, the 3 years headstart would not really matter in the end since both individuals end up being a pro.

The other skills required to be pro

It’s safe to say that going pro is not all about being cracked or mastering the game mechanics. If you can’t work with other people, you will never make it to pro play. Comms and teamwork can be more beneficial skills to have at the pro level than you might think. Sure, you need the master the fundamental mechanics, but fostering your team is also equally important. After all, most esports out there are team-based games. Most orgs will pick up team players than cocky individuals. These communication skills might be somewhat genetic since they are tied to our personalities, but they can still be trained or learned regardless.

Accessibility and Early Exposure to Gaming

Source: Freepik

It goes without saying that a majority of the pros out there were able to reach their peak because they start playing at an early age. If you have ever watched an interview that asks pros how they get started with gaming, most of them have the same cliche answer: parents have a computer lying around in the house and maybe have an older sibling that introduces them to games. Simply put, being able to learn the basic mechanics and the grand logic behind all games from a very young age will, without a doubt, help you mold into a skilled gamer in the future.

We can prove this point by observing the unfortunate lack of PC-esports pros in the SEA region. If you didn’t know, most of the countries in SEA are not classified as first-world and a majority of the children do not have access to PCs. Instead of conveniently playing games in their homes, they have to scramble their way to the nearest internet cafe and use their lunch money to play games. Even so, they only have access to mediocre quality PCs, keyboards, and mouse. Don’t even get me started with the internet stability that Pinoys refer to as peso net or cheap internet. And no, I am not making this up because I experience all of this first-hand.

Some ghetto internet cafe in Indonesia | Source: kaskus

To recap, most SEA players need to run to an internet cafe to play and have underperforming PCs, setups, and internet. With all of this information, do you really think that there is any viable competitive opportunity to arise in local communities? Do you think that young talents in this environment can be nurtured to be the best in the world? Maybe, but it is highly unlikely. Therefore, having easy or constant access to gaming at a very young age is key to planting the seeds of greatness as an esports pro and is outside of what we define as being part of genetics.

Environment and Culture

Source: Pexels

Tying closely to the previous point, the environment in which are brought up can also affect the development of our gaming mindset (not necessarily skill). Take the example of the pro siblings. We previously discounted our reason for the prevalence of pro siblings in esports as genetics. However, it could also be argued that having brothers or sisters who love playing games can form a competitive environment that fosters the growth of skill. If your siblings continuously trash you at CS, you’ll probably start to watch tips and tricks on YouTube and train your aim in the hopes of getting revenge. This back-and-forth sibling rivalry is perhaps what causes players like SumaiL and YawaR to be an expert in their craft instead of merely concluding that Dota 2 runs in their family’s genes.

Culture also plays a part in affecting our environment and growth as a gamer. Each major culture in the world has its own unique view when it comes to gaming and esports. Most European parents might have less of a problem when their child says that they will play games for a living. In contrast, children discussing their dream of becoming an esports professional might not have the same amount of luck when confronting the stricter perspective of Asian parents and culture. And no, I am not being stereotypical. Take a look at the different approaches Denmark takes towards gaming in contrast to China. While Denmark is constructing esports schools to cultivate their young potential talents, China is limiting children under 18 to play only three hours a week.

Denmark’s prime minister visiting Astralis shows the willingness of the country to accept and participate in esports | Source: Red Bull

I, myself, have experienced a fair share of conventional Asian views towards gaming. I was constantly told that gaming is bad for the brain, that it is addicting, has no future, and whatnot. As a result, I never strive to seek a career as a pro player and became an esports writer. Close enough, I guess.

Conclusion

So, is it genetics? Well, for now, no one couldn’t say for sure. There are several pieces of evidence and aspects in our genes that may play a part in our gaming skills. After all, each of us is born unique, making it very likely that some of us are just inherently better at gaming. Faster reaction time, hand-eye coordination, and decision-making are all key genetically ingrained skills to have as a pro.

However, it is not easy to determine the genetics will make a difference when competing at the highest level. Are milliseconds of faster reaction time going to be the game-changer in a match? Furthermore, many other elements affect our journey and outcome as a player, such as our environment, accessibility to gaming hardware, and mindset. Even if we are born with all the traits of being a skilled gamer, we will never be a pro if we are not brought up to be a pro.

Until there is a scientific breakthrough in this matter, whether or not you think that some people are built differently for gaming is up to you to decide. I personally think that genetics will always play some part in everything we do in life. However, it is always in our power to cultivate, train, and use our talents for the better.

Featured Image: Freepik

10 Game dengan Penghasilan dan Angka Penjualan Terbesar Sepanjang Sejarah

Popularitas game datang dan pergi. Biasanya, popularitas sebuah game akan memudar seiring dengan berjalannya waktu. Namun, ada beberapa game yang tetap dapat relevan bertahun-tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun sejak ia diluncurkan. Kali ini, saya akan membahas game-game yang berhasil mencetak rekor di dunia. Dua tolok ukur yang saya gunakan adalah total pendapatan dan total penjualan.

10 Game dengan Pemasukan Terbesar Sepanjang Masa

Daftar ini dibuat menggunakan data dari Video Games Sales Wiki. Angka penjualan dari game disesuaikan dengan tingkat inflasi menggunakan kalkulator inflasi.

1. Space Invaders (1978) – per 2021 – US$34 miliar

Percaya atau tidak, Space Invaders — game yang diluncurkan pada 1978 — memegang gelar game dengan pemasukan terbesar sepanjang masa. Game shooting buatan developer Jepang ini bisa dimainkan di arcade dan juga konsol Atari. Dari penjualan mesin arcade, total pemasukan Space Invaders mencapai US$7,5 miliar pada 1982 atau sekitar US$21,26 miliar pada 2021.

Selain dari penjualan arcade, Space Invaders juga mendapatkan pemasukan dari coin drop. Pada 1983, pemasukan Space Invaders dari coin drop mencapai US$4,4 miliar. Jika Anda menghitung inflasi, angka itu setara dengan US$12,47 miliar pada 2021. Sementara itu, dari konsol Atari, Space Invaders mendapatkan pemasukan sebesar US$151 juta pada 1990, sekitar US$316 juta pada 2021. Jadi, secara total, pemasukan yang didapat oleh Space Invaders adalah US$34 miliar.

2. Pac-Man (1980) – per 2021 – US$27,50 miliar

Peringkat kedua masih diisi oleh game klasik, yaitu Pac-Man, yang diluncurkan pada 1980. Game ini tersedia di arcade dan konsol. Dari penjualan mesin arcade, Pac-Man mendapatkan US$9,34 miliar pada 1982, yang setara dengan US$24,68 miliar. Masih di tahun 1982, Pac-Man mendapatkan US$319,2 juta (sekitar US$905 juta pada 2021) dari penjualan game untuk konsol.

Sementara itu, per 1987, penjualan Pac-Man di PC menyumbangkan US$2 juta (setara dengan US$4,82 juta pada 2021). Nantinya, Pac-Man juga diluncurkan untuk mobile. Dari mobile, Pac-Man mendapatkan US$84 juta per 2012, sekitar US$100 juta jika Anda menghitung inflasi. Jadi, secara total, pemasukan Pac-Man mencapai US$27,5 miliar.

3. Street Fighter II (1991) – per 2017 – US$21,3 miliar

Street Fighter II diluncurkan pertama kali pada 1991 sebagai game arcade. Satu tahun berikutnya, Capcom meluncurkan beberapa versi baru dari Street Fighter II, seperti Street Fighter II: Champion Edition, Street Fighter II Turbo, Super Street Fighter II, dan Super Street Fighter II Turbo. Keempat game itu masih merupakan game arcade. Masih di 1982, Capcom merilis Street Fighter II: The World Warrior untuk Super Nintendo Entertainment System (SNES). Game itu terjual sebanyak 6,3 juta unit.

Pada 1993, Capcom meluncurkan Street Fighter II Turbo untuk SNES dan Street Fighter Special Champion Edition untuk Mega Drive. Setahun kemudian, Super Street Fighter II diluncurkan untuk SNES. Setelah itu, Capcom berhenti untuk meluncurkan Street Fighter II untuk platform apa pun selama 12 tahun. Baru pada 2006, Capcom merilis Street Fighter II untuk PlayStation Portable (PSP) sebagai bagian dari Classics Collection Reloaded. Dua tahun kemudian, pada 2008, Capcom merilis Super Street Fighter II Turbo HD Remix untuk PlayStation 3 dan Xbox 360.

 

Super Street Fighter II Turbo HD Remix. | Sumber: GameSpot

Nintendo meluncurkan Switch pada Maret 2017. Di tahun yang sama, Capcom merilis Ultra Street Fighter II: The Final Challengers untuk konsol Nintendo tersebut. Di tahun yang sama, Capcom juga sempat meluncurkan Super NES Classic Edition untuk SNES. Secara total, pemasukan yang Capcom dapat dari Street Fighter II adalah US$10,61 miliar pada 1991. Dengan inflasi, angka itu naik menjadi US$21,3 miliar.

4. Dungeon Fighter Online (2005) – per 2020 – US$15 miliar

Sejak diluncurkan pada 2005, Dungeon Fighter Online berhasil mendapatkan total pemasukan sebesar US$15 miliar, berdasarkan laporan keuangan Nexon untuk Q1 2020. Game beat-em up 2D action ini sangat populer di Tiongkok. Meskipun begitu, ia tidak terlalu populer di tingkat global. Buktinya, walau game itu tersedia di Steam, jumlah rata-rata dari concurrent players Dungeon Fighter Online di Steam hanya mencapai 450 pemain. Padahal, menurut laporan MMOS, pada puncaknya, jumlah concurrent players di Tiongkok bisa mencapai 3 juta orang.

Meskipun begitu, spending dari para gamers di Tiongkok sudah cukup untuk membuat Dungeon Fighter Online masuk dalam daftar game dengan pemasukan terbesar sepanjang masa. Setiap bulan, game ini juga sering masuk dalam daftar game PC dengan pemasukan terbesar, menurut data dari Superdata Research.

Dungeon Fighter Online sering masuk dalam daftar game dengan pemasukan terbanyak. | Sumber: Superdata Research

5. CrossFire (2007) – per 2019 – US$14,2 miliar

CrossFire merupakan game FPS buatan Smile Gate yang dirilis pada 2008. Pada 2008-2009, pemasukan game itu hanya mencapai US$213 juta atau setara dengan US$250 juta pada 2021. Namun, pada 2010, pemasukan CrossFire meningkat pesat, mencapai US$1,2 miliar. Sejak saat itu, setiap tahun, pendapatan dari CrossFire tidak pernah kurang dari US$1 miliar. Per 2019, total pemasukan yang didapat oleh CrossFire mencapai US$14,2 miliar.

6. World of Warcraft (2004) – per 2017 – US$12,05

Menurut data dari Video Games Sales Wiki, pemasukan World of Warcraft pada 2005 mencapai US$250 juta. Angka ini naik menjadi US$597 juta pada 2006 dan menjadi US$843 juta pada 2007. Pemasukan World of Warcraft menembus US$1 miliar untuk pertama kalinya pada 2008. Sampai 2011, pemasukan World of Warcraft terus ada di atas US$1 miliar.

Namun, pada 2012, pendapatan dari game MMORPG ini mulai turun, menjadi US$901 juta. Angka ini kembali turun pada 2013 — menjadi US$805 juta — dan pada 2014, menjadi US$728 juta. Pada 2015, pemasukan World of Warcraft memang sempat naik, menjadi US$814 juta. Namun, pada 2017, total pemasukan World of Warcraft kembali turun, menjadi US$472 juta. Secara total, jika Anda menghitung inflasi, pemasukan World of Warcraft dalam periode 2005-2017 mencapai US$12, 02 miliar.

7. League of Legends (2009) – per 2020 – US$11,866 miliar

Diluncurkan pada 2009, League of Legends adalah game pertama buatan Riot Games. Selama 10 tahun ke depan, League of Legends menjadi satu-satunya game besutan studio asal Los Angeles tersebut. Fokus Riot untuk mengembangkan game MOBA itu tidak sia-sia. Per 2020, total pemasukan yang Riot Games dapatkan dari League of Legends hampir mencapai US$12 miliar. Jika Anda penasaran bagaimana Riot bisa fokus pada League of Legends selama bertahun-tahun, Anda bisa membacanya di sini.

Pemasukan League of Legends pada 2015-2020. | Sumber: Statista

Pada 2012, pemasukan dari League of Legends mencapai US$200 juta. Perlahan tapi pasti, angka ini terus naik. Dalam satu tahun, pada 2013, pemasukan League of Legends melonjak menjadi US$624 juta. Pada tahun berikutnya, pemasukan game itu kembali naik, menjadi US$964 juta. Dan sejak 2015 sampai 2020, pemasukan League of Legends tidak pernah kurang dari US$1 miliar, menurut data Statista. Pada 2017, pemasukan dari League of Legends bahkan menembus US$2,1 miliar.

8. Honor of Kings (2015) – per 2021 – US$10 miliar

Minggu lalu, pemasukan Honor of Kings mencapai US$10 miliar. Dengan begitu, game MOBA tersebut menjadi mobile game pertama yang mendapatkan pencapaian tersebut. Ironisnya, Honor of Kings hanya membutuhkan waktu 6 tahun untuk bisa mendapatkan US$10 miliar. Padahal, League of Legends — yang menjadi inspirasi dari Honor of Kings — membutuhkan waktu 10 tahun untuk mendapatkan US$10 miliar.

9. Lineage (1998) – per 2019 – US$9,635 miliar

Lineaga dirilis pada September 1998. Per 2019, total pemasukan yang didapat game MMORPG asal Korea Selatan ini mencapai US$9,7 miliar, menjadikannya sebagai salah satu game dengan pemasukan terbesar sepanjang masa. Faktanya, Lineage merupakan salah satu franchise game paling populer di Korea Selatan.

Berkat kesuksesan Lineage, franchise itu menelurkan banyak game lain. Misalnya, pada 2003, Lineage II dirilis. Game itu merupakan prekuel dari Lineage, dengan setting waktu 150 tahun sebelum Lineage. Pada 2017, tiga game Lineage diluncurkan sekaligus, yaitu Lineage 2 Revolution, Lineage 2 M, dan Lineage Red Knights. Ketiganya merupakan mobile game. Lineage 2 M — yang merupakan versi mobile dari Lineage II — diluncurkan pada 2019.

10. Monster Strike (2013) – per 2021 – US$9,3 miliar

Monster Strike menjadi mobile game kedua yang masuk dalam daftar game dengan pemasukan terbesar sepanjang masa. Diluncurkan pada 2013, Monster Strike dengan cepat menjadi populer di Jepang. Per Oktober 2018, total pemasukan dari game itu mencapai US$7,2 miliar. Ketika itu, Monster Strike berhasil menjadi mobile game dengan pemasukan terbesar, menggeser Puzzle & Dragons yang sebelumnya memegang gelar tersebut.

Monster Strike. | Sumber: VentureBeat

Dari daftar di atas, saya mencoba untuk menarik beberapa kesimpulan. Pertama, di era sebelum konsol, penjualan mesin arcade menjadi sumber pemasukan terbesar untuk game. Dan walau tiga peringkat teratas diisi oleh game klasik, hal itu bukan berarti industri game menyusut. Data dari berbagai perusahaan riset menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun, industri game terus berkembang.

Lalu, kenapa tidak ada game modern yang pemasukannya mengalahkan game klasik? Kemungkinan, hal ini terjadi karena banyaknya game yang tersedia di pasar. Jadi, total belanja yang dihabiskan oleh pemain juga terbagi ke jauh lebih banyak game. Sehingga, tidak ada satu game yang berhasil mendapatkan pemasukan yang sangat besar.

Kesimpulan kedua, pemasukan mobile game tidak kalah besar dari pemasukan game-game PC atau konsol. Buktinya, Honor of Kings dan Monster Strike berhasil masuk dalam daftar 10 game dengan penghasilan terbesar sepanjang masa, walau kedua game itu baru diluncurkan pada era 2010-an.

Kesimpulan lain yang bisa ditarik dari kesuksesan Honor of Kings dan Monster Strike adalah jika sebuah game berhasil sukses di pasar game yang besar, maka developer bisa fokus pada satu pasar itu saja. Honor of Kings sangat populer di Tiongkok dan Monster Strike di Jepang. Namun, keduanya tidak terlalu populer di dunia internasional. Meksipun begitu, keduanya tetap dapat meraup penghasilan miliaran dollar. Hal ini bisa terjadi karena Tiongkok merupakan pasar game terbesar, dan Jepang pasar game terbesar ketiga.

Kesimpulan terakhir, 6 dari 10 game dalam daftar di atas merupakan game free-to-play. Hal ini menunjukkan besarnya potensi dari model bisnis ini. Jadi, tidak heran jika sejumlah perusahaan game merombak model bisnis dari franchise lama mereka, seperti Konami yang meluncurkan eFootball sebagai game free-to-play.

Bagi developer game, salah satu daya tarik model bisnis free-to-play game adalah game tetap bisa memberikan pemasukan bertahun-tahun sejak game itu diluncurkan. Sementara jika developer menggunakan model bisnis game premium — jadi Anda cukup membeli game itu sekali dan Anda bisa memainkannya selamanya — mereka hanya punya dua kesempatan untuk mendapatkan pemasukan. Pertama, ketika mereka pertama kali meluncurkan game mereka. Kedua, saat mereka meluncurkan DLC.

10 Game dengan Angka Penjualan Terbesar

Selain total pemasukan, metrik lain untuk mengukur kesuksesan sebuah game adalah menghitung angka penjualan game tersebut. Berikut 10 game dengan angka penjualan tertinggi.

1. Tetris – 500+ juta unit

Menghitung angka penjualan Tetris tidak mudah, mengingat game ini pertama kali diluncurkan pada 1984. Menurut Digital Trends, penjualan fisik dari Tetris mencapai 70 juta unit. Sekitar 35 juta unit berasal dari paket bundling Tetris dengan Nintendo Game Boy. Setelah itu, Tetris diluncurkan di mobile, yang mendorong angka penjualan. Pada 2014, VentureBeat melaporkan bahwa game Tetris yang berbayar telah diunduh sebanyak 425 juta kali. Angka ini tidak mencakup versi gratis dari Tetris. Jadi, kemungkinan,  total penjualan Tetris bahkan lebih tinggi dari 500 juta unit.

2. Minecraft – 238+ juta unit

Ketika pertama kali diluncurkan pada 2009, Minecraft bisa dimainkan dengan gratis. Beberapa bulan kemudian, Minecraft dijual dengan sistem pre-order. Sekarang, Anda bisa memainkannya dengan gratis. Namun, jika Anda ingin memainkannya di PC atau konsol, Anda harus membelinya. Total penjualan dari Minecraft dari PC, konsol, dan mobile diperkirakan mencapai lebih dari 200 juta unit.

Total penjualan Minecraft. | Sumber: Statista

3. Grand Theft Auto V – 150+ juta unit

Berdasarkan laporan keuangan Take-Two pada Q1 2020, sejak diluncurkan pada 2013, Grand Theft Auto V telah terjual sebanyak 135 juta unit. Sebanyak 15 juta unit terjual pada 2020. Per Agustus 2021, total penjualan GTA V menembus 150 juta unit. Angka ini mencakup penjualan GTA V di semua platform.

4. Wii Sports – 82,9 juta unit

Total penjualan Wii Sports mencapai 82,9 juta unit, menjadikannya sebagai salah satu game paling laris sepanjang masa. Namun, angka penjualan itu tidak menggambarkan kesuksesan game tersebut. Pasalnya, game itu memang dijual bersamaan dengan konsol Wii. Jadi, setiap orang yang membeli Wii akan mendapatkan game Wii Sports, tidak peduli apakah dia ingin membeli game tersebut atau tidak.

5. PUBG – 70+ juta unit

PlayerUnknwon’s Battlegrounds (PUBG) pertama kali diluncurkan pada 2017.  Hanya dalam waktu 4 tahun, game tersebut berhasil terjual sebanyak 70 juta unit. Dan angka penjualan PUBG masih menunjukkan angka naik. Tak hanya itu, PUBG juga cukup populer di mobile. Versi mobile dari PUBG telah diunduh sebanyak lebih dari 1 miliar kali. Hal ini menjadikan PUBG Mobile sebagai salah satu mobile game terpopuler sepanjang masa.

6. Super Mario Bros. – 48,24 juta unit

Super Mario Bros. diluncurkan pertama kali untuk Nintendo Entertainment System (NES). Ketika itu, game tersebut berhasil terjual sebanyak 40 juta unit. Setelah itu, game ini juga dirilis untuk beberapa konsol buatan Nintendo lainnya, seperti Game Boy Color, Game Boy Advance, dan Wii Virtual Console. Di ketiga platform tersebut, Super Mario Bros. terjual sebanyak 8 juta unit.

Super Mario Bros. untuk NES. | Sumber: Digital Trends

7. Pokemon Gen. 1 – 47,52 juta unit

Game Pokemon generasi pertama hadir dalam empat versi: Red, Blue, Yellow, dan Green. Di Jepang, ada dua game Pokemon generasi pertama, yaitu Red dan Green. Namun, untuk peluncuran global, Nintendo merilis tiga varian, yaitu Red, Blue, dan Yellow. Secara total, keempat game Pokemon generasi pertama terjual sebanyak 47,52 juta unit. Menurut Digital Trends, sekitar 46 juta unit dari game Pokemon generasi pertama terjual di Game Boy. Sementara sekitar 1,5 juta lainnya terjual melalui Nintendo 3DS Virtual Console.

8. Mario Kart 8/Deluxe – 45,53 juta unit

Mario Kart 8 adalah game Wii U dengan angka penjualan tertinggi. Meskipun begitu, total penjualan Mario Kart 8 di Wii U hanyalah 8,45 juta unit. Hal ini tidak aneh, mengingat Wii U hanya terjual sebanyak 13,56 juta unit per Desember 2019. Angka penjualan Mario Kart 8/Deluxe naik ketika Nintendo meluncurkan game itu di Switch. Di konsol itu, Mario Kart 8 Deluxe terjual sebanyak 37,08 juta unit, menurut Nintendo.

9. Wii Fit dan Wii Fit Plus 43,8 juta unit

Wii Fit dijual bersama aksesori Balance Board. Sesuai namanya, Wii Fit mengintegrasikan kegiatan olahraga ke dalam game, mendorong para pemilik Wii untuk menggerakkan badan mereka. Dan ternyata, “gameplay” ini terbukti populer. Wii Fit terjual sebanyak 22 juta unit. Sementara Wii Fit Plus — yang memiliki lebih banyak olahraga — terjual sebanyak 21 juta unit. Dengan begitu, Wii Fit menjadi game terpopuler ke-2 di Wii, hanya kalah dari Wii Sports.

10. Red Dead Redemption 2 – 38 juta unit

Red Dead Redemption 2 adalah salah satu game paling ambisius buatan Rockstar. Dan Rockstar berhasil membuat game open world dengan karakter yang realistis dan detail visual yang fantastis. Menurut ScreenRant, per Agustus 2021, game itu telah terjual sebanyak 38 juta unit.

Red Dead Redemption 2. | Sumber: Polygon

Dari daftar kali ini, salah satu hal yang bisa saya simpulkan adalah game klasik sekali pun tetap bisa populer jika ia diluncurkan di platform yang sesuai. Selain itu, angka penjualan sebuah game bisa didorong jika game tersebut diluncurkan di banyak platform, seperti yang dibuktikan oleh Minecraft dan Grand Theft Auto.

Selain menjadi salah satu game dengan angka penjualan terbanyak, GTA V juga merupakan salah satu game yang paling laris dalam waktu paling singkat. Ketika diluncurkan untuk PlayStation 3 dan Xbox 360, game itu terjual sebanyak 11,21 juta hanya dalam waktu 24 jam. Menariknya, Monster Hunter Rise menjadi salah satu game yang terjual dengan cepat. Dalam waktu 3 hari, game itu terjual sebanyak 4 juta unit. Padahal, game tersebut hanya tersedia untuk Switch, setidaknya untuk saat ini.

10 Mobile Game dengan Pemasukan Paling Besar

Jika dibandingkan dengan jumlah gamers PC dan konsol, jumlah mobile gamers jauh lebih banyak. Namun, spending yang dikeluarkan oleh para mobile gamers belum tentu sebesar total belanja dari gamers konsol dan PC. Karena itu, di segmen ini, saya ingin fokus pada mobile game untuk melihat berapa banyak pemasukan yang bisa didapat oleh mobile game.

1. Honor of Kings (2015) – US$10 miliar

Seperti yang sudah saya sebutkan, Honor of Kings merupakan mobile game pertama yang mendapatkan pemasukan lebih dari US$10 miliar. Saat ini, game itu merupakan game paling sukses dari Tencent. Dan ke depan, Honor of Kings akan tetap berkontribusi pada pemasukan Tencent. Pasalnya, sampai saat ini, game tersebut masih punya 100 juta pemain aktif harian.

Honor of Kings sangat sukses di Tiongkok. Pada 2018, 98% pemasukan dari game ini berasal dari gamers di Tiongkok. Begitu suksesnya Honor of Kings sehingga ia disebut sebagai sebagai “candu”. Dan hal ini mendorong pemerintah Tiongkok untuk memperketat regulasi terkait waktu bermain anak dan remaja di bawah umur.

2. Monster Strike (2013) – US$9,3 miliar

Monster Strike diluncurkan pada Agustus 2013 oleh developer Jepang Mixi. Game ini merupakan game RPG dengan elemen puzzle serta fitur multiplayer. Monster Strike sangat populer di Jepang. Selain di Jepang, game ini juga diluncurkan di Amerika Utara, Taiwan, dan Korea Selatan. Hanya saja, Monster Strike tidak begitu populer di negara-negara itu.

Namun, spending dari para gamers di Jepang sudah cukup untuk membuat Monster Strike menjadi salah satu mobile game dengan pemasukan terbesar speanjang masa. Faktanya, pada 2014, game itu menjadi mobile game dengan pemasukan terbesar. Mixi — yang dulunya dikenal dengan nama XFLAG —  bahkan mengaku bahwa Monster Strike menyelamatkan mereka dari kebangkrutan.

3. Clash of Clans (2012) – US$7,7 miliar

Clash of Clans pertama kali diluncurkan untuk iOS pada Agustus 2012. Satu tahun kemudian, Supercell meluncurkan game ini di Android. Clash of Clans adalah game buatan Supercell yang paling sukses. Faktanya, kesuksesan Clash of Clans yang membuat nama Supercell menjadi sangat dikenal seperti sekarang. Setelah sukses dengan Clash of Clans, Supercell meluncurkan empat game spin-off dari game tersebut, yaitu Clash Royale, Clash Mini, Clash Quest, dan Clash Heroes.

4. Candy Crush Saga (2012) – US$6,4 miliar

Pada awalnya, Candy Crush Saga diluncurkan sebagai broswer game. Kemudian, game ini diluncurkan di iOS pada November 2012 dan di Android pada Desember 2012. Candy Crush dianggap sebagai salah satu mobile game dengan model freemium yang paling sukses. Memang, Anda bisa memainkan game match-three puzzle ini tanpa harus mengeluarkan uang. Namun, para pemain tetap terdorong untuk membeli item dalam game karena item membantu membantu mereka untuk melalui level yang sulit.

5. PUBG Mobile (2018) – US$6,2 miliar

PUBG adalah salah satu pelopor genre battle royale. Versi PC dari PUBG dirilis pada 2017. Satu tahun kemudian, pada Maret 2018, PUBG Mobile diluncurkan. Pada awalnya, PUBG menghadapi persaingan ketat dengan Fortnite, yang juga mengadopsi genre battle royale. Namun, PUBG berhasil bertahan dan menjadi salah satu game battle royale paling sukses di mobile.

Di Tiongkok, Tencent menjadi publisher dari PUBG. Pada awalnya, mereka juga menghadapi masalah. Pasalnya, regulator Tiongkok tengah memperketat peraturan terkait peluncuran dan monetisasi game baru. Tencent dilarang untuk memonetisasi PUBG Mobile karena game itu dianggap melanggar peraturan terkait kekerasan dalam game. Pada akhirnya, PUBG Mobile ditarik dari Tiongkok dan diluncurkan kembali dengan nama Peacekeeper Elite atau Game for Peace.

Battleground India Mobile adalah versi India dari PUBG Mobile.

Tak hanya di Tiongkok, PUBG Mobile juga mengalami masalah di beberapa negara lain, termasuk India, yang merupakan salah satu pasar terbesar untuk PUBG Mobile. Alasan pemerintah India menarik PUBG Mobile dari App Store dan Play Store adalah karena mereka khawatir akan keamanan siber dari game itu. Selain itu, mereka juga khawatir Tiongkok akan menyadap data pemain PUBG Mobile, mengingat game itu dinaungi oleh Tencent sebagai publisher. Hal ini mendorong Krafton untuk menjadi publisher dari PUBG Mobile di India. Setelah PUBG Mobile dilarang, Krafton meluncurkan kembali game itu dengan nama Battlegrounds India Mobile.

6. Puzzle & Dragons (2012) – US$5,6 miliar

Sejak diluncurkan pada Februari 2012, Puzzle & Dragons itu telah diunduh sebanyak 80 juta kali. Tidak hanya itu, game ini juga merupakan mobile game pertama yang berhasil mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 miliar. Jepang memberikan kontribusi terbesar pada pemasukan dari Puzzle & Dragons. Saat ini, pemasukan game ini memang menunjukkan tren turun. Namun, setiap bulan, pemasukan Puzzle & Dragons tetap mencapai puluhan juta dollar.

7. Fate/Grand Order (2015) – US$5,4 miliar

Fate/Grand Order adalah game RPG buatan Aniplex yang didasarkan pada franchise Fate/stay night dari Type-Moon. Game ini pertama kali diluncurkan untuk Android di Jepang pada Juli 2015. Dua minggu kemudian, game tersebut dirilis untuk iOS. Versi bahasa Inggris dari game ini diluncurkan pada Juni 2017.

Game Fate/Grand Order sangat populer di Jepang. Faktanya, gamers Jepang memberikan kontribusi 82% dari total pemasukan game itu. Pemasukan Fate/Grand Order mencapai lebih dari US$5 miliar, menjadikannya sebagai salah satu mobile game Sony yang paling populer. Pasalnya, Aniplex merupakan bagian dari Sony Music Entertainment di Jepang.

8. Pokemon Go (2016) – US$5,2 miliar

Diluncurkan pada Juli 2016, Pokemon Go dengan cepat menjadi fenomena di seluruh dunia. Salah satu daya tarik dari game ini adalah elemen Augmented Reality yang developer Niantic integrasikan pada game ini. Gameplay Pokemon Go juga mendorong para pemainnya untuk berjalan-jalan dan menjelajah di dunia nyata. Hal ini berkebalikan dengan kebanyakan mobile game, yang  biasanya membuat para pemainnya duduk diam.

9. Fantasy Westward Journey (2015) – US$4,7 miliar

Fantasy Westward Journey merupakan mobile game yang diadaptasi dari game MMORPG untuk PC dengan judul yang sama. Versi PC dari game itu diluncurkan pada Desember 2001. Sementara versi mobile dari Fantasy Westward Journey dirilis untuk iOS dan Android pada Maret 2015.

Fantasy Westward Journey 3D bakal diluncurkan dalam waktu dekat. | Sumber: Twitter

Pada 2016, Fantasy Westward Journey berhasil menjadikan developer NetEase sebagai perusahaan mobile game dengan pemasukan terbesar. Sampai sekarang, game itu tetap memberikan kontribusi besar pada pemasukan NetEase. Faktanya, di Tiongkok Fantasy Westward Journey sering masuk ke dalam daftar game dengan players spending setiap bulan. Biasanya, game ini ada di peringkat 2, kalah dari Honor of Kings.

10. Lineage M (2017) – US$3,5 miliar

Lineage M diriliis pada 2017. Game ini merupakan versi mobile dari MMORPG Lineage yang diluncurkan pada 1998. Di Korea Selatan, Lineage adalah salah satu franchise paling populer. Jadi, tidak heran jika hanya dalam waktu tujuh jam sejak ia diluncurkan, Lineage M berhasil menjadi game paling populer di App Store Korea Selatan.

Dalam waktu sebulan sejak peluncuran, Lineage M berhasil mendapatkan US$233 juta. Pemasukan game itu menembus US$1 miliar pada Juni 2018. Seperti yang disebutkan oleh Pocket Gamer, sampai sekarang, Lineage M adalah salah satu game paling menguntungkan untuk developer NCSoft.

Dalam daftar mobile game dengan pemasukan terbesar sepanjang masa, umur mobile game yang masuk dalam daftar tersebut relatif lebih singkat jika dibandingkan dengan game-game dalam daftar game dengan pemasukan terbesar. Tidak heran, mengingat mobile adalah platform yang relatif baru dari konsol atau PC. Meskipun begitu, semua mobile game itu memiliki pemasukan lebih dari US$1 miliar.

Hal menarik lainnya yang dapat disimpulkan dari daftar mobile game dengan pemasukan terbesar adalah beragamnya genre dari game yang masuk daftar tersebut. Di satu sisi, game-game seperti Honor of Kings, PUBG Mobile, dan Lineage M merupakan game dengan gameplay yang ditujukan untuk hardcore gamers. Di sisi lain, game-game kasual — seperti Monster Strike, Candy Crush Saga, dan Puzzle & Dragons — juga berhasil masuk dalam daftar. Hal ini menjadi bukti bahwa game kasual pun punya pasar yang tidak kalah besar.

Sumber header: PC Mag

Review Kitaria Fables: Petualangan Sederhana di Dunia yang Imut

Ada banyak kabar baik dari industri game lokal di Indonesia tahun ini, mulai dari program pendanaan developer lokal dan regional dari Agate dan Toge Productions sampai kehadiran puluhan game Indonesia di Gamescom. Di tahun ini, juga ada sejumlah game lokal yang diluncurkan. Salah satunya adalah Kitaria Fables.

Kitaria Fables dibuat oleh developer asal Yogyakarta, Twin Hearts. Melalui Kitaria Fables, Twin Hearts berusaha untuk menggabungkan elemen RPG Adventure dengan farming simulation. Salah satu hal yang membedakan Kitaria Fables dengan game farming simulation lainnya — seperti Stardew Valley atau Story of Seasons — adalah semua karakter yang hadir dalam game tersebut merupakan binatang antropomorfik. Faktanya, Anda akan bermain sebagai kucing.

Oke, sebelum saya membahas tentang pengalaman saya memainkan Kitaria Fables, saya harus membuat sebuah pengakuan. Saya adalah pecinta kucing. Saya berusaha untuk membuat review yang cenderung objektif, tapi saya tidak mungkin menutupi bias saya sepenuhnya.

Now, without further ado… 

Grafik dan Cerita

Kesan pertama yang saya dapat ketika saya memainkan Kitaria Fables adalah imut. Dan kesan ini bertahan bahkan setelah saya memainkan game ini selama belasan jam. Grafik 3D dari Kitaria Fables terlihat unyu, begitu juga dengan custcene 2D yang hadir di game tersebut.

Di Kitaria Fables, Anda bisa mengubah skin dari Nyanza Von Whiskers — sang tokoh utama. Dan jika Anda puas dengan skin yang tersedia, Anda bisa membeli DLC untuk mendapatkan skin ekstra. Walau Anda bisa memilih skin Nyanza, Anda tidak bisa memilih binatang lain sebagai karakter utama. Sebagai pecinta kucing, saya tidak menganggap hal ini sebagai masalah. Toh, saya tetap bisa mendandani Nyanza dengan armor, headgear, dan aksesori.

Anda bisa mengubah penamilan Nyanza.

Dari segi cerita, Kitaria Fables menawarkan plot yang sederhana dan straightforward. Nyanza adalah seorang tentara yang dikirim dari ibukota ke  desa bernama Paw Village. Alasan Nyanza dikirim ke desa itu adalah karena monsters di sekitar Paw Village menjadi semakin agresif, yang membahayakan keselamatan para warga desa. Tugas utama Anda adalah melawan para monsters dan menjaga keamanan Paw Village. Tidak lama setelah kedatangan Anda di Paw Village, Anda juga akan diberitahu bahwa para monsters menjadi lebih agresif karena relic misterius. Dan Anda diminta untuk menyelidiki tentang relic tersebut.

Walau tugas utama Anda adalah untuk melindungi desa dan mencari tahu tentang relic misterius, Anda juga akan mendapatkan side quests untuk membantu para warga desa yang membutuhkan. Satu kali, Anda akan diminta oleh kepala desa untuk mengawasi cucu angkatnya yang pergi ke hutan sendirian. Di kali lain, Anda akan diminta oleh sang cucu untuk mencari blueberry karena ulang tahun sang kakek sudah dekat dan dia ingin membuat kue untuknya.

Satu hal yang saya sayangkan, progress dari misi utama di Kitaria Fables terkadang terasa sangat lambat. Ada kalanya saya hanya ingin fokus pada quest utama dan mencari tahu tentang apa yang menyebabkan monsters menjadi lebih agresif. Namun, saya tetap harus menyelesaikan quest sampingan, seperti membantu warga desa tetangga untuk menemukan resep makanan yang cocok untuk musim dingin.

Gameplay: Combat

Kitaria Fables menggabungkan elemen RPG adventure dan farming simulation. Namun, elemen RPG adventure terasa lebih kental di game ini. Sebagai perbandingan, di Stardew Valley, Anda hanya akan menemukan monsters di tempat-tempat tertentu, seperti tambang. Namun, jika Anda mau, Anda bisa fokus mengurus lahan pertanian Anda dan meminimalisir waktu yang Anda habiskan di tambang sehingga Anda tidak perlu menghadapi monster.

Namun, Anda tidak bisa menghindari monsters di Kitaria Fables. Pasalnya, begitu Anda keluar dari Paw Village atau kota lain, Anda akan langsung disambut dengan monsters. Memang, sebagian monsters tidak akan menyerang Anda jika Anda tidak menyerang terlebih dulu. Namun, sebagian yang lain agresif dan akan menyrang Anda, tidak peduli apakah Anda menyerangnya terlebih dulu atau tidak.

Anda bisa menggunakan busur jika memang lebih suka bertarung dari jarak jauh.

Kabar baiknya, Kitaria Fables menawarkan combat real-time, yang membuat pertarungan dengan monster terasa cukup menyenangkan, walau mekanisme combat di game ini cukup sederhana. Di awal game, Anda akan dipersenjatai dengan sebuah pedang. Namun, nantinya, Anda akan mendapatkan busur dan bisa menggunakan sihir. Jadi, Anda bisa menyesuaikan skills dan spells yang Anda pilih berdasarkan gaya bertarung yang Anda sukai.

Jika Anda senang dengan gaya bertarung melee, Anda bisa menggunakan pedang, yang memang memberikan damage lebih besar. Namun, jika Anda lebih suka menjaga jarak — seperti saya — Anda bisa menggunakan busur. Keunggulan lain busur adalah karena ia menawarkan crit rate yang lebih tinggi. Tentu saja, Anda juga bisa menggunakan busur dan pedang secara bergantian. Hanya saja, proses mengganti senjata terkadang terasa clunky. Jadi, biasanya, saya memilih untuk fokus menggunakan satu senjata saja. Selain itu, slots untuk skill/spell yang bisa Anda pilih terbatas. Anda hanya memiliki empat slots. Karena itu, Anda memang harus memilih skills atau spells yang sesuai dengan gaya bertarung Anda.

Ketika Anda menggunakan busur, begitu Anda cukup dekat dengan monsters, anak panah akan secara otomatis mengarah ke monsters terdekat. Masalahnya, ketika Anda menghadapi lebih dari satu monster, maka bidikan Anda akan terus berubah. Untungnya, Anda bisa menentukan target secara manual. Hanya saja, jika Anda “mengunci” satu monster sebagai target, tembakan Anda akan terus mengarah ke monster itu, bahkan ketika ada monster lain yang mendekat.

Spell es bisa membekukan musuh.

Untuk menghadapi mob, Anda bisa menggunakan skills atau spells yang memberikan Area Damage. Spell tertentu bahkan bisa memberikan efek tertentu pada musuh. Misalnya, Howling Wind bisa membuat musuh terkena stun, sementara Frost Nova atau Blizzard bisa membuat musuh menjadi beku. Fireball juga bisa mendorong musuh mundur, yang sering saya gunakan ketika musuh sudah menjadi terlalu dekat.

Tidak ada sistem level di Kitaria Fables. Jadi, jika Anda ingin meningkatkan damage atau HP dari Nyanza, satu-satunya cara yang bisa Anda lakukan adalah meng-upgrade senjata, armor, dan peralatan Anda. Anda bisa melakukan upgrade di blacksmith kota. Untuk itu, Anda harus mengumpulkan sejumlah material. Sebagian orang mengeluhkan tentang mekanisme ini.

Namun, bagi saya, mengumpulkan material yang dibutuhkan untuk meng-upgrade senjata atau armor atau membuat aksesori baru bukan hal yang sulit. Pasalnya, monsters akan kembali muncul ketika Anda kembali ke satu area setelah pergi dari area tersebut. Berdasarkan pengalaman saya, hal ini memungkinkan saya untuk mengumpulkan material yang dibutuhkan dalam waktu singkat. Satu kali, saya mengumpulkan 40 Obsidians dalam satu hari dalam game. Walau tak bisa dipungkiri, melawan monster yang sama terus-menerus memang bisa membuat jenuh.

Karena tidak ada sistem level, jika ingin mendapatkan spells baru, Anda harus “membuatnya”. Cara untuk membuat spells sederhana. Anda hanya harus mengumpulkan Vengeful Souls — yang bisa didapatkan dari monster apa saja — dan menukarnya dengan elemental spheres.

Anda bisa membuat spell sendiri.

Di Kitaria, sihir terbagi ke dalam empat elemen: api, es, angin, dan tanah. Masing-masing spell akan membutuhkan elemental sphere yang berbeda-beda. Misalnya, untuk mendapatkan Fire Wall, Anda memerlukan dua fire spheres. Sementara untuk mendapatkan Blizzard — spell es paling kuat — Anda membutuhkan 5 water spheres, 2 earth spheres, dan satu moonstone, yang bisa Anda dapatkan setelah mengalahkan boss. Selain itu, Anda juga harus sudah memiliki Frost Nova untuk bisa mendapatkan Blizzard.

Untuk menggunakan spells dan skills, Anda memerlukan mana, yang digambarkan dengan 10 kotak di bagian bawah bar HP. Setiap Anda menggunakan skill atau spell, mana Anda akan berkurang sesuai dengan mana yang dibutuhkan. Tapi, mana Anda akan secara otomatis bertambah ketika Anda menyerang musuh dengan pedang atau busur. Artinya, Anda tidak perlu repot membawa item untuk memulihkan mana karena mana Anda akan secara otomatis teregenerasi. Sistem ini juga tidak memungkinkan Anda untuk melakukan spam dari skill/spell favorit Anda.

Kitaria Fables menawaran musuh yang cukup beragam. Biasanya, musuh itu akan memiliki tema yang sesuai dengan tempatnya berada. Sebagai contoh, ketika Anda berada di gua, Anda akan menemukan kelelawar dan jamur. Atau pada malam hari, Anda akan menemukan monster yang menyerupai hantu. Meskipun begitu, sesuai dengan vibe Kitaria Fables, para monster memiliki desain yang imut.

Terkadang, boss di Kitaria seolah-olah tidak menyadari keberadaan Anda.

Setiap monsters punya gaya bertarung yang berbeda-beda. Namun, menghindari serangan musuh di Kitaria cukup mudah. Karena, ketika area serangan musuh ditandai dengan warna merah. Anda cukup melakukan roll sesaat musuh menyerang. Walau, jika tidak hati-hati, Anda tetap bisa mati. Apalagi jika Anda terkena poison. Untungnya, walau Anda kalah melawan monsters sekali pun, Anda tidak akan kehilangan apapun. Anda hanya akan terbangun di rumah Anda pada keesokan harinya.

Salah satu hal yang saya keluhkan adalah saya tidak bisa mengganti suduh pandang kamera. Hal ini membuat proses eksplorasi menjadi lebih sulit. Alasannya, terkadang, saya tidak menyadari keberadaan chest atau musuh. Masalah lain yang saya temukan adalah terkadang, para monsters — khususnya boss — seolah-olah tidak menyadari keberadaan saya. Jadi, walau saya menyerang dengan sihir dan menembakkan panah dari jarak jauh, musuh yang saya hadapi tetap diam selama beberapa saat. Memang, hal ini memudahkan Anda untuk membunuh para boss, tapi apa serunya menyerang musuh yang tidak melawan?

Bercocok Tanam

Oke, setelah membahas bagian combat dengan panjang lebar, mari beralih ke bagian farming simulation dari Kitaria Fables. Mengingat developer Twin Heart lebih menitikberatkan elemen RPG Adventure, sistem bercocok tanam di Kitaria memang tidak sekompleks game farming simulation lainnya. Di Kitaria, Anda tidak perlu menyesuaikan tanaman yang Anda tanam dengan musim. Pasalnya, di game ini, tidak ada sistem empat musim. Jadi, sepanjang permainan, daftar tanaman yang bisa Anda tanam tidak berubah.

Fungsi utama lahan pertanian adalah sebagai sumber pendapatan.

Tujuan utama dari bercocok tanam di Kitaria Fables adalah untuk mendapatkan uang. Untuk melakukan upgrade senjata dan armor, Anda akan memerlukan uang yang tidak sedikit. Memang, Anda bisa menghajar monsters yang menjual hasil looting yang Anda dapatkan. Namun, menjual hasti tani bisa memberikan keuntungan yang lumayan. Selain itu, mengurus ladang juga bisa menjadi kegiatan selingan ketika Anda bosan membunuhi monsters.

Ada beragam tanaman yang bisa Anda tanam di Kitaria Fables, mulai dari gandum, wortel, kol, sampai stroberi dan anggur. Pada awalnya, hanya beberapa bibit tanaman saja yang bisa Anda beli. Namun, seiring dengan waktu, Anda akan mendapatkan jenis bibit yang beragam — setelah Anda mau melakukan quest yang diperlukan. Setelah tanaman siap dipanen, Anda bisa langsung menjualnya dengan meletakkannya di kotak di samping rumah. Selain itu, Anda juga bisa menggunakan hasil panen Anda untuk membuat makanan, yang bisa Anda jual atau Anda gunakan untuk memulihkan HP.

Bijih mineral yang ditemukan di salah satu map.

Sama seperti kebanyakan game farming sim lainnya, di Kitaria Fables, Anda bisa meng-upgrade peralatan berkebun Anda. Untuk itu, Anda perlu mendapatkan bijih mineral yang Anda perlukan: tembaga, perak, atau emas. Masalahnya, bijih mineral cukup sulit untuk ditemukan, setidaknya pada awal permainan. Bijih mineral hanya muncul di tempat-tempat tertentu secara random. Kabar baiknya, setelah Anda membuka area tertentu pada pertengahan game, menambang bijih yang Anda perlukan jadi jauh lebih mudah.

Kesimpulan

Setiap orang punya alasan yang berbeda-beda untuk bermain game. Sebagian orang ingin game yang menantang. Sebagian yang lain justru ingin game yang santai. Kitaria Fables adalah game yang cocok untuk gamers tipe ke-2. Game ini cocok untuk dimainkan jika Anda ingin bersantai tanpa harus terlalu memikirkan cara membangun karakter atau cara mendapatkan good ending. Memang, Kitaria Fables tidak sempurna. Ada beberapa bagian yang terasa membosankan atau mekanisme yang clunky, tapi secara keseluruhan, saya menikmati game ini.


Hybrid.co.id hadir juga di berbagai media sosial. Temukan konten yang menarik di Instagram atau follow akun Twitter kami. Jangan lupa juga untuk Likes Fanpage Facebook Hybrid.