Pelaku Industri P2P Lending Bicara Peluang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di 2023

Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia tengah melambat. Resesi yang terjadi di global diprediksi bakal menghampiri Indonesia pada tahun depan. Apa artinya situasi ini bagi industri P2P lending dan dampaknya bagi pelaku usaha di Tanah Air?

Sesi #SelasaStartup kali ini mengulas cukup dalam mengenai keyakinan pelaku industri P2P lending dan perannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Simak selengkapnya, rangkuman dari sudut pandang Yolanda Sunaryo sebagai Wakil Ketua Klaster Multiguna Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sekaligus CEO RupiahCepat dan Betania Jezamin selaku CEO GandengTangan.

Peluang pertumbuhan

AFPI mengaku optimistis Indonesia dapat keluar dari masa resesi pada tahun depan. Menurut Yolanda, mungkin yang akan terjadi di Indonesia bukan resesi, melainkan kontraksi. Apa yang terjadi saat ini sebetulnya sudah pernah dirasakan ketika pandemi awal terjadi di 2020. Saat itu, TKB90 sejumlah P2P naik, karena borrower mengalami kesulitan keuangan.

Namun, situasi saat ini maupun ke depan dapat menjadi momentum bagi pemberi pinjaman atau lender untuk menyalurkan pinjaman. Platform P2P lending memfasilitasi penyaluran pinjaman dengan return hingga 21%. Imbal hasil ini tidak mungkin diberikan oleh lembaga keuangan konvensional. Tinggal bagaimana lender harus selektif dalam memilih sektor sesuai risiko yang dipahami.

Dari sisi peminjam atau borrower, banyak dari mereka sebetulnya belum terlayani lembaga keuangan. P2P dapat menjadi opsi alternatif apabila pengajuan mereka tidak diproses oleh lembaga keuangan, baik untuk kebutuhan mendesak atau modal usaha.

“Kami memprediksi penyaluran pinjaman di 2023 dapat naik hingga 25%. Pandemi tidak menyurutkan masyarakat untuk mencari berbagai peluang yang ada. Demikian juga peluang UMKM semakin tinggi. Kami optimistis pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 5%,” paparnya.

Sementara, Betania (Jezzy) Jezamin menilai faktor perang Ukraina-Rusia memang berdampak besar ke sejumlah negara di dunia, tetapi tidak terlalu signifikan bagi Indonesia. Ia membandingkan resesi global yang terjadi di 2008 kala itu juga serupa.

Salah satunya dikarenakan Indonesia sedang mempersiapkan Pemilu 2009. Di samping itu, Indonesia tidak terlalu bermain pada instrumen sekuritas atau mortgage. Yang menarik, tuturnya, tahun politik akan dimulai di 2023. Mesin-mesin penggerak milik partai politik akan mulai bergerilya.

Jezzi menyebut setiap interaksi politik tersebut akan membutuhkan dukungan logistik. Dengan kata lain, situasi tersebut berpotensi menjadi stimulus ekonomi tidak langsung. Ia meyakini peluang pertumbuhan ekonomi masih besar di tahun depan. “Saya melihat [situasi] di 2023 akan sama seperti 2008 di mana Indonesia tidak terlalu terdampak,” katanya.

Langkah mitigasi

Yolanda menyebutkan sejumlah poin penting terkait upaya mitigasi dalam menekan potensi risiko kredit macet tahun depan. AFPI yang memayungi para pelaku industri terus memantau aktivitas penyaluran pinjaman.

Salah satunya memanfaatkan Fintech Data Center (FDC) atau pusat data nasabah untuk mencegah penyaluran pinjaman secara berlebih. “Apabila ada calon peminjam yang mengajukan lebih dari dua atau tiga, itu akan memengaruhi credit rating,” ucapnya.

Dari aspek bisnis, Yolanda menyarankan pelaku P2P agar lebih selektif dalam memfasilitasi penyaluran pinjaman. Misalnya, P2P di segmen produktif fokus pada sektor usaha yang tidak terdampak dari resesi atau tidak terlalu bergantung pada bahan baku impor.

“Dari sisi penyaluran pendanaan, kami tidak terlalu khawatir selama tingkat mitigasi risiko penyaluran sudah aman. Yang utama itu mengamankan risiko yang akan terjadi. Pertumbuhan akan tetap ada, tetapi melambat. Kami juga mendorong masyarakat agar lebih bijak dalam menentukan mana kebutuhan dan keinginan sebelum meminjam,” tambah Yolanda.

Peran P2P dan kolaborasi

Mengutip data AFPI, Yolanda mengungkap bahwa kebutuhan pinjaman/kredit di Indonesia mencapai Rp2.600 triliun. Sementara, lembaga keuangan konvensional, termasuk perbankan, pegadaian, dan pembiayaan, hanya mampu menyalurkan sekitar Rp1.000 triliun. Artinya, masih ada gap 650 triliun.

Maka itu, ia menilai kehadiran P2P lending punya peran besar dalam membantu memperkecil gap tersebut. “Banyak masyarakat yang pengajuan pinjamannya tidak dapat diproses oleh lembaga keuangan karena mereka tidak memenuhi persyaratan, seperti memiliki rekening bank. Demikian juga dengan hampir 50 juta UMKM yang tidak punya akses ke pinjaman,” ujar Yolanda.

Di sisi lain, Jezzi menyebut bahwa P2P sebagai bagian dari sektor keuangan masih terbilang muda di Indonesia. Sektor ini baru mengalami pertumbuhan di 2016. Namun, P2P telah mengalami ‘ujian’ pertamanya di 2020 ketika pandemi terjadi. Apa yang akan terjadi di tahun ini akan menjadi semacam ujian kedua.

Dari sudut pandang perusahaan, pemain P2P harus berhati-hati mengambil langkah agar dapat bertahan di tengah gejolak ekonomi. Namun di sisi lain, pemain P2P memiliki moral obligation untuk ambil peran dalam pemulihan ekonomi Indonesia.

“Kunci utama adalah kolaborasi dengan pemangku kepentingan terkait. Pemulihan ekonomi tidak bisa dilakukan sendiri. Bagi GandengTangan, kami fokus bikin Open API sehingga memudahkan siapa pun bermitra dengan kami, bisa langsung terintegrasi dengan cepat dan transparan,” tambahnya.

Sebagaimana mandat OJK menuntut sektor P2P menjadi pelaku industri keuangan yang sehat, Jezzi juga menyebut pentingnya untuk menjadi self-sustaining company. Mentality ini perlu dibangun agar startup dapat fokus menghasilkan pendapatan, dan tak melulu bergantung pada modal investor.

“Kecuali, ada rencana pengembangan inovasi baru, tentu butuh biaya besar. Artinya, fokus menyehatkan perusahaan itu utama karena OJK menuntut pelaku industri menjadi lembaga keuangan yang sehat,” tutupnya.

Cerita Rupiah Cepat di Tengah Persaingan Ketat Industri Fintech Lending Indonesia

Tren penggunaan layanan pinjaman online kian berkembang pesat, baik untuk kebutuhan konsumtif (personal) atau bisnis (UMKM). Dengan kemudahan pencairan dana dan persyaratan sederhana yang ditawarkan, masyarakat lintas generasi semakin tertarik untuk bisa menggunakan platform tersebut.

Salah satu pemain yang menawarkan layanan pinjaman online adalah Rupiah Cepat. Startup ini berawal dari diskusi Yolanda Sunaryo dengan investor asal Tiongkok terkait industri fintech yang juga sedang menjamur di sana pada 2018. Rupiah Cepat adalah hasil piloting project mereka di Indonesia. Sejak awal berdiri hingga saat ini, fokusnya masih pada cashloan atau pinjaman konsumtif.

Yolanda yang saat ini menjabat sebagai CEO mengungkapkan, “Pada tahun 2018, belum ada banyak pemain fintech lending yang terdaftar. Rupiah Cepat menjadi salah satu dari 20 perusahaan pertama yang memiliki inisiatif ini. Pasarnya juga masih sangat luas dengan tingginya permintaan. Sementara masih banyak masyarakat yang belum terjangkau oleh akses perbankan atau unbankable.”

CEO Rupiah Cepat, Yolanda Sunaryo

Tepat pada tanggal 19 Desember 2019, perusahaan berhasil mendapat lisensi dari OJK. Meskipun begitu, operasional perusahaan sudah dimulai sejak Maret 2018. Rupiah Cepat menawarkan pinjaman tunai mulai dari 400 ribu – 1 juta Rupiah. Jika pengguna memiliki riwayat bersih, maka kredit yang ditawarkan bisa mencapai 10 juta Rupiah.

Hingga awal tahun 2021, pinjaman yang disalurkan oleh Rupiah Cepat berasal dari “super lender”, yaitu investor dari Tiongkok. Namun sejak bulan Mei 2021 lalu, perusahaan mulai membuka peluang untuk pendanaan publikMasyarakat yang punya dana lebih untuk investasi melalui platform Rupiah Cepat.

“Pandemi cukup memberi dampak bagi operasional perusahaan. Kami memiliki ekosistem close-loop dengan selective lender dari Tiongkok. Nah, ketika pandemi bermula dari Tiongkok, pendanaan dari lender sempat menurun cukup signifikan. Hal ini juga yang mendorong perusahaan untuk melakukan diversifikasi. Komposisinya masih 90% super lender dan 10% public lender.” ujar Yolanda.

Selama kurang lebih tiga tahun beroperasi, perusahaan telah menyalurkan hampir 11 triliun Rupiah kepada sekitar 3,5 juta total peminjam, 380 ribu di antaranya merupakan peminjam aktif. Timnya menyebutkan bahwa demografi pengguna masih terpusat di pulau Jawa dan Sumatra, namun tidak menutup kemungkinan akan berkembang seiring penetrasi pasar yang semakin luas.

Dari sisi monetasi, Rupiah Cepat mengambil untung dari platform fee yang ditagihkan kepada peminjam. Yolanda juga menambahkan ada 2 komponen biaya di luar total pinjaman yang harus dibayarkan, yaitu bunga dan platform fee, biaya untuk penggunaan platform. Hal ini disebut karena sebagai fintech lending, perusahaan dilarang melakukan usaha lain selain mempertemukan lender dan borrower.

P2P lending konsumtif di Indonesia

Dalam pasar P2P lending di Indonesia, beberapa pemain yang juga menawarkan solusi serupa termasuk Kredifazz (terafiliasi Kredivo), Asetku, Kredit Pintar, TunaiKita, Akulaku, dan masih banyak lagi. Disinggung mengenai diferensiasi layanan, Yolanda mengungkapkan bahwa sebagai salah satu dari 20 perusahaan pertama yang mendapat lisensi, Rupiah Cepat telah memiliki basis pengguna yang kuat untuk mendukung keberlanjutan bisnis.

Fintech Cashloan Populer di Indonesia

Dari sisi pendanaan, perusahaan hingga saat ini masih bertahan dengan modal awal atau bootstrap. Terkait fundraising, Yolanda menyebutkan bahwa belum ada rencana untuk penggalangan dana eksternal dalam 1-3 tahun ke depan. Hal ini bisa berubah jika ada diskusi dengan pihak pemodal yang sudah ada. Timnya saat ini sudah hampir mencapai 800 orang dengan komposisi 80% divisi operation, 50% collection, 30% lainnya customer service dan phone verification.

Maraknya pemberitaan terkait pasar UMKM yang semakin besar mendorong beberapa P2P lending untuk memperluas jangkauan produknya ke ranah pinjaman produktif. Salah satunya Akulaku yang mulai membidik para mitra UKM yang berjualan di platform e-commerce. Namun, saat ini Rupiah Cepat masih fokus pada pinjaman konsumtif karena pasarnya sendiri masih sangat banyak.

OJK secara rutin selalu mengumumkan penyelenggara Fintech Lending yang
terdaftar/berizin di OJK dan dapat diakses di website OJK dan/atau diumumkan
melalui media sosial resmi OJK. Belum lama ini, OJK sempat mengeluarkan daftar 7 pinjaman online yang dibatalkan izinnya.

Dilansir dari laman ojk.go.id, hingga 8 September 2021, jumlah pinjol resmi ada 107 penyelenggara yang terdiri dari 85 pinjol berizin dan 22 pinjol terdaftar OJK.

Tantangan yang dihadapi

Disinggung mengenai tantangan dalam menjalankan bisnis P2P lending, Yolanda mengungkapkan yang pertama terletak pada kebiasaan peminjam, “malah yang minjam bisa lebih galak” sebutnya. Hal ini berdampak pada cara kita kita menagih, bagaimana untuk bisa melakukannya dalam koridor yang beretika dan menghasilkan pengembalian.

Rupiah Cepat sendiri saat ini berhasil mempertahankan nilai TKB atau Tingkat Keberhasilan Pengembalian di angka 100%. Di samping itu, untuk meminimalkan pengaduan penagihan tidak beretika, perusahaan juga bekerja sama dengan jasa penagihan pihak ke-3 dan beberapa kuasa hukum.

Selanjutnya, isu terkait data pribadi. Meskipun saat ini masih RUU, bukan berarti hanya bisa menunggu. Timnya juga melakukan pembinaan terkait data pribadi.  Adapun aturan yang berkaitan dengan perlindungan data Pribadi tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan, sehingga mengakibatkan pemahaman akan perlindungan data Pribadi menjadi kabur. Hal ini mendorong perlunya aturan perundang-undangan yang spesifik sehingga bisa mengakomodasi semua kebutuhan yang ada pada era teknologi saat ini.

“Industri fintech lending akan semakin bertumbuh, sekarang baru 5 tahun. Harapannya bisa bertahan hingga 10-15 tahun ke depan. Begitu juga dengan regulasi yang akan diterbitkan, semoga bukan menghambat, melainkan mendukung industri ini secara keseluruhan,” tutup Yolanda.

Application Information Will Show Up Here