Begini Cara Menggunakan Fitur Studio Effect Saat Rapat di Zoom

Sejak pandemi melanda, banyak perusahaan yang merasakan bisnisnya terpukul. Namun ada pula yang merasakan berkah keuntungan akibat perubahan kebiasaan baru, aplikasi rapat virtual Zoom satu diantaranya.

Sempat diterpa isu keamanan, pada akhirnya Zoom berhasil meningkatkan keamanan konferensi videonya dan penggunanya pun melonjak drastis. Meski awalnya dirancang untuk rapat serius bicara bisnis, Zoom juga telah menambah lebih banyak fitur yang menyenangkan.

Mulai dari fitur virtual background dan video filter yang aneh-aneh untuk pertemuan yang lebih kasual dan yang terbaru studio effect yang masih dalam tahap beta. Lewat fitur ini, kita bisa bersenang-senang dengan mengganti bentuk alis, kumis dan jenggot, serta lipstik dengan warna dan ketebalan warna yang bisa diatur.

Fitur studio effect beta bisa ditemukan pada aplikasi Zoom versi desktop, cara menggunakannya sebagai berikut:

  • Buka aplikasi Zoom di laptop, pastikan telah memperbaruinya ke versi terbaru.
  • Kemudian pilih setting, pergi ke opsi background & filter.
  • Lalu pilih studio effect (beta) di pojok kanan bawah.
  • Saat ini tersedia tiga opsi yang tersedia yaitu eyebrow, mustache & beard, dan lip color.

Itulah cara menggunakan studio effect di aplikasi Zoom, tentunya fitur ini sebaiknya digunakan untuk rapat yang bersifat santai misalnya pertemuan internal bersama rekan satu tim. Jangan coba-coba menggunakannya di rapat serius, apalagi ketika ketemu dengan klien baru. Meski tidak bertemu secara langsung, penting untuk menjaga penampilan setidaknya bagian atas, dan juga yang tak kalah penting jangan sampai telat.

Otter.ai Sajikan Transkrip Audio Real-Time untuk Google Meet

Pandemi yang tak kunjung berakhir berarti kita masih harus berkutat dengan Zoom, Google Meet, maupun layanan video conference lain untuk bekerja maupun belajar setiap harinya. Itulah mengapa tool seperti Otter.ai jadi terasa semakin esensial setiap harinya.

Buat yang tidak tahu, Otter.ai merupakan tool berbasis kecerdasan buatan yang fungsinya adalah untuk membuatkan transkrip dari sebuah sesi video conference secara real-time. Anggap saja seperti menonton film dengan subtitle, hanya saja ini untuk video conference. Sejauh ini yang didukung memang baru bahasa Inggris, akan tetapi AI-nya cukup pintar untuk mengenali aksen dari negara-negara yang berbeda.

Otter.ai sudah lama menawarkan integrasi dengan Zoom. Jadi cukup dengan mengklik satu tombol saja, transkrip percakapan akan langsung muncul di layar dengan sendirinya. Kabar baiknya, Otter.ai sekarang juga sudah punya integrasi dengan Google Meet.

Bukannya Google Meet sendiri sudah punya fitur live caption? Benar, akan tetapi Otter.ai yakin mereka bisa memberikan nilai lebih karena transkrip yang dihasilkannya bersifat interaktif, alias dapat diedit dan dijadikan medium berkolaborasi ketika sesi rapat sudah selesai. Isi transkripnya juga dapat dicari berdasarkan kata kunci sehingga pengguna bisa langsung lompat ke bagian-bagian tertentu dengan mudah.

Juga unik adalah bagaimana pengguna dapat mencantumkan sejumlah kata kunci yang spesifik sehingga AI milik Otter.ai bisa bekerja dengan lebih optimal, menghasilkan transkrip yang lebih akurat dan tidak dibuat bingung oleh istilah-istilah khusus yang umumnya dipakai di bidang pekerjaan tertentu.

Untuk menggunakan Otter.ai di Google Meet, Anda perlu terlebih dulu mengunduh extension Chrome-nya (juga kompatibel buat Microsoft Edge). Setelah login menggunakan akun Otter.ai, pengguna bisa mengklik tombol record pada extension-nya setiap kali sesi Google Meet berlangsung, lalu klik tombol berlabel “CC” untuk menampilkan teksnya secara langsung.

Pada versi gratisannya, Otter.ai hanya bisa dipakai untuk membuat transkrip audio dengan durasi total 600 menit per bulan (maksimum 40 menit per sesi). Ke depannya, integrasi dengan Google Meet ini bakal dijadikan salah satu fitur untuk paket berlangganannya yang dipatok seharga $20 per bulan.

Sumber: Engadget dan Forbes.

Microsoft Teams Kini Tawarkan Video Chat Gratis Selama 24 Jam via Browser

Pandemi masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir dalam waktu dekat, dan itu artinya Zoom masih menjadi salah satu aplikasi terlaris yang digunakan oleh seisi Bumi setiap harinya. Juga masih relevan adalah fakta bahwa sejumlah aplikasi video chat lain masih terus mencoba untuk ‘mencuri’ sebagian dari pengguna Zoom.

Salah satunya adalah Microsoft Teams, yang sekarang bisa kita pakai untuk video conference dengan 299 orang lainnya melalui aplikasi desktop maupun web app-nya. Ya, total bisa ada 300 partisipan dalam satu sesi, dan Teams sendiri bisa menampilkan sebanyak 49 orang sekaligus di satu layar, baik dalam format gallery view maupun format unik yang dinamai Together Mode.

Yang istimewa, satu sesi dengan orang sekampung itu bisa berlangsung sampai 24 jam nonstop, tidak harus berhenti dulu dan disambung lagi setelah 40 atau 60 menit seperti ketika menggunakan Zoom maupun Google Meet. Yang perlu menggunakan akun Microsoft juga cuma sang pembuat room, dan sisanya bisa bergabung secara langsung lewat browser tanpa harus mengunduh apa-apa terlebih dulu.

Kalau fasilitas yang ditawarkan terdengar familier, mungkin itu dikarenakan sebelumnya Anda sudah pernah tahu tentang Skype Meet Now, yang notabene juga merupakan produk milik Microsoft. Kendati demikian, pamor Skype mungkin sudah tidak setenar dulu, dan lagi Microsoft Teams juga sudah bisa digunakan untuk kebutuhan personal sejak bulan Juni lalu. Apakah ini termasuk kanibalisasi produk? Saya rasa tidak salah apabila Anda berpikir begitu.

Terlepas dari itu, langkah berani ini Microsoft ambil demi menyambut hari raya Thanksgiving yang akan berlangsung pada tanggal 26 November 2020, sebab di hari tersebut bisa dipastikan bakal ada banyak keluarga di negara-negara barat yang saling bertatap muka via video chat. Zoom sendiri sudah mengumumkan bahwa mereka bakal meniadakan batasan durasi 40 menit khusus di hari Thanksgiving.

Dalam kesempatan yang sama, Microsoft juga mengumumkan sejumlah fitur baru untuk aplikasi Teams di smartphone, dan salah satu yang paling menarik adalah kemampuan untuk mengirim dan menerima pesan sebagai SMS, berguna saat hendak menghubungi daftar kontak yang bukan merupakan pengguna Teams. Sayangnya fitur ini untuk sementara baru tersedia di Amerika Serikat dan Kanada saja.

Sumber: The Verge dan Microsoft.

Olympus Juga Umumkan Kehadiran Lensa Zoom Super Telephoto M.Zuiko Digital ED 100-400mm F5.0-6.3 IS

Selain memperkenalkan kamera mirrorless OM-D terbarunya, E-M10 Mark IV. Olympus juga mengumumkan kehadiran lensa zoom super telephoto M.Zuiko Digital ED 100-400mm F5.0-6.3 IS.

Mengingat crop factor sensor Micro Four Thirds dengan full frame sebanyak 2x, maka 100-400mm ekuivalen dengan 200-800mm. Lensa ini juga kompatibel dengan teleconventer MC-14 1.4x dan MC-20 2.0x sehingga bisa zoom lebih jauh lagi, ideal untuk memotret subjek yang sulit didekati seperti burung dan satwa liar.

Misalnya bila menggunakan teleconventer MC-20 2x, artinya 100-400mm menjadi 200-800mm yang setara dengan 400-1.600mm. Bila menggunakan bodi kamera Olympus terbaru, lensa ini mendukung focus stacking dan punya image stabilization bawaan hingga tiga stop.

Lensa M.Zuiko Digital ED 100-400mm F5.0-6.3 IS ini tahan debu dan cipratan air dengan berat 1.120 gram. Jarak fokus minimum adalah 1,3 meter di seluruh rentang zoom dan memiliki filter berdiameter 72mm menggunakan lapisan ZERO (Zuiko Extra-low Reflection Optical) untuk mengurangi flare dan ghosting.

Untuk ketersediaannya, Olympus M.Zuiko Digital ED 100-400mm F5.0-6.3 IS dijadwalnya akan dikirim pada 8 September 2020. Harganya dijual US$1.500 atau sekitar Rp21,8 jutaan.

Sumber: DPreview

Sony Umumkan Lensa Zoom Ultra Wide FE 12-24mm F/2.8 G Master

Sony telah resmi mengumumkan lensa FE 12-24mm f/2.8 G Master. Lensa zoom ultra wide 12-24mm pertama di dunia untuk sistem full frame dengan aperture konstan f/2.8.

Mengantongi label “G Master”, lensa ini dirancang dengan filosofi “tanpa kompromi”. Secara optik, lensa premium ini terdiri dari 17 elemen dalam 14 grup untuk mengatasi aberration, distortion, flare, dan ghosting.

sony-umumkan-lensa-zoom-ultra-wide-fe-12-24mm-f2-8-g-master-4

Termasuk tiga elemen extreme aspherical (XA), satu aspherical reguler, tiga extra-low dispersion (ED), dua elemen Super ED, dan lapisan baru Nano AR Coating II. Kombinasi ini menjanjikan kualitas foto yang tajam dari sudut ke sudut di seluruh rentang zoom.

Untuk autofocus-nya, Sony menggunakan desain “floating focus” khusus menggunakan dua focusing group yang ditenagai empat Extreme Dynamic (XD) linear motor. Hal ini memberikan minimum focusing distance konstan hanya 28mm tanpa mengorbankan kecepatan atau presisi.

Meski dirancang untuk sensor full-frame dengan aperture besar, dimensi lensa ini terbilang cukup compact dan punya bobot ringan 874 gram. Build quality yang premium ini tentunya sudah weather-sealed, tahan terhadap debu dan kelembaban dengan tudung lensa terintegrasi. Selain itu, lensa ini punya tombol focus-hold yang dapat diseuaikan dan switch focus mode.

Sony mengatakan lensa ini merupakan pilihan yang ideal untuk fotografi landscape, astrophotography, architecture, dan fotografer olahraga aktif yang ingin menangkap perspektif secara ultra wide. Berapa harganya? Sony FE 12-24mm f / 2.8 GM akan tersedia pada bulan Agustus dengan harga US$3.000 atau mencapai Rp43 jutaan.

Sumber: PetaPixel

The Adoption of Enterprise Communication Platform in Startup

One thing that supports the productivity of working in an office is enterprise communication platforms. In Indonesia, platforms such as Slack, Google Meet, Workplace from Facebook, and Microsoft Teams are quite familiar to startup enthusiasts. However, WhatsApp, which is not specifically aimed at corporate communication, is also very popular.

DailySocial has summarized the most popular enterprise communication platforms among startups and whether startups have a special budget for premium features. On the other hand, this also invites local players to present their products and to compete.

Essential platform

When the Covid-19 began to spread and the work-from-home system is widely applied, the use of communication platforms surged. Zoom is inevitably become the most popular platform, both globally and in Indonesia. Zoom monthly active users have reached 12.9 million in February 2020. This indicates the essential function of the communication platform to support productivity.

“The use of communication tools is clearly determined by the needs of the company and the habits or main communication channels used by each country,” AnyMind Group Indonesia’s Head of Operations, Yuwanda Fauzi said.

This communication platform helps employees break down tasks and discuss constraints and workloads. On the other hand, supervisors and managers also monitor employee performance using this platform.

“In DANA, ideas for innovation, problem-solving, and value creations must be well communicated and synergized on a daily operational scale for employees. This step needs to be done to ensure all communication among team members work well, given the many functions of each department or different divisions and individuals in a company. Message and communication are key to ensuring that different teams and individuals can work together in the same direction. The goal is for DANA to achieve its shared goals and vision in the most effective and efficient way,” DANA’s CTO Norman Sasono said.

Achieving aligned goals and ensuring collaboration work well is the main focus of startups to utilize a variety of existing communication platforms. The use of applications is also crucial when allowing employees to do other things online, such as meetings, giving presentations, and creating surveys.

“In fact, choosing an application that can safely facilitate employee activities is also important to maintain the privacy of all employees and the security of company information that is confidential,” Head of Corporate Communication Bukalapak Intan Wibisono said.

As a digital payment and financial services company, OVO is demanded to constantly develop and adapt so that OVO services can continue to be accepted and able to support the daily lives of its users. In order to stay agile, there needs to be good communication, coordination, and relations between employees, therefore, they can work together and discuss optimally.

“The platform is easy to use, fast, and practical in supporting daily activities such as discussion and coordination. Especially in a startup environment where speed and practicality are substantial in working,” OVO’s Head of PR Sinta Setyaningsih said.

Slack and WhatsApp as the most popular apps

Based on a survey conducted by DailySocial to 16 startups, most of them chose a foreign platform to support their daily activities. Although the options are quite varied, apparently the two platforms are more dominant than the other platforms.

The first platform is Slack founded by Stewart Butterfield and the second is WhatsApp founded by Brian Acton and Jan Koum. WhatsApp is now under the auspices of Facebook.

In global, Slack as of March 2020 has more than 12 million active daily users. WhatsApp, on the other hand, with wider adoption, as of February 2020 claims to have had two billion users worldwide.

Hasil survei DailySocial
DailySocial’s survey on enterprise communication platform in startup

The interesting thing is, WhatsApp and Slack are perceived differently by users.

“WhatsApp as a communication tool focuses on chat experience and its simplicity and already has a very large number of users from various industries. While Slack as a communication tool focuses on productivity supported by bots and integration tools, making it look more complex and getting large support, especially from technology-based industries,” DOKU’s Chief of Innovation Officer Rudianto said.

The attractive UI/UX display and comfortable user experience make DANA choose Slack and WhastApp as a platform to support daily activities. The company is also willing to allocate a budget to provide premium features for employees.

“There are some factors that cause the instant messaging platform to become popular, such as habits, good user experience (UI / UX), features for productivity and efficiency, and also security aspects,” Norman said.

Slack’s excellent features are to create coordinating groups openly (anyone can join to discuss) and closed (limited to a few people), make voice calls, start and finish work (clock in and clock out), create and fill out forms, and polling on the same platform. In addition, Slack can also provide reports on the results of measurements of communication effectiveness by the team on the platform.

While WhatsApp allows employees to communicate via chat, exchanging documents and photos, and conducting group conferences (in limited numbers) with guaranteed data encryption.

Most startups are willing to pay subscription fees and allocate special funds to support employee productivity.

“Working in a tech company and startup requires fast, efficient, and safe coordination with fellow employees, therefore, a communication channel to fulfill those needs, such as Slack and WhatsApp, is required,” Intan said.

Analyzing opportunities for local platforms

For local platforms in the communication sector, the challenge lies in how they can convince consumers and compete with global platforms. Although most startups in Indonesia use foreign platforms, when the local products provided are more competitive in terms of functionality and price, they are willing to try.

“Local communication tools have the potential to compete with foreign platforms, because in terms of technology, creating communication tools is not complicated. The main challenge is that local platforms must be able to answer the basic question: ‘Why should I move from WhatsApp to the local platform?’. If there is a startup capable to answer this question, it is most likely to become the next unicorn, Indonesia’s first national communication tool, as happened with WeChat, KakaoTalk, and Line in their respective countries,” Rudianto said.

Those with a unique proposition to solve user problems can also attract certain users. In addition to exciting new features, local providers must also really be very well aware of the basics of B2B services, such as UX, SLA for performance and availability and reliability and security.

“Every instant messaging instrument/platform provider can compete in the industry, if it provides a solution or product that is better than the options that are already available in the market,” Norman said.

Seeing the development and trends in this matter, began to emerge several local platforms that try to provide this enterprise communication service.

“The higher the demand for communication tools in work activities, the developers will be more creative and innovative in making products that can meet the needs of a dynamic market. We will certainly always support Indonesian developers to compete with other developers from around the world in creating tools of the highest quality,” Intan said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Menyimak Adopsi “Enterprise Communication Platform” di Startup

Salah satu penunjang produktivitas bekerja di kantor adalah enterprise communication platform. Di Indonesia, platform seperti Slack, Google Meet, Workplace from Facebook, dan Microsoft Teams sudah familiar digunakan penggiat startup. Meskipun demikian, WhatsApp, yang tidak secara khusus ditujukan ke komunikasi korporat, juga sangat populer penggunaannya.

DailySocial mencoba merangkum enterprise communication platform apa yang paling familiar di kalangan startup dan apakah startup memiliki budget khusus untuk menikmati fitur premium. Di sisi lain, potensi ini mengundang pemain lokal untuk menunjukkan produknya dan bisa bersaing.

Platform esensial

Saat Covid-19 mulai merebak dan aturan bekerja di rumah mulai banyak diterapkan, penggunaan communication platform melonjak. Zoom adalah platform yang bisa dibilang paling populer, baik secara global maupun di Indonesia. Tercatat pengguna aktif bulanan Zoom mencapai 12,9 juta di bulan Febuari 2020. Hal tersebut menandakan esensialnya fungsi communication platform membantu kegiatan produktivitas.

“Penggunaan alat komunikasi jelas ditentukan oleh kebutuhan perusahaan itu sendiri dan kebiasaan atau saluran komunikasi utama digunakan oleh masing-masing negara,” kata Head of Operation of AnyMind Group Indonesia Yuwanda Fauzi.

Platform komunikasi ini membantu pegawai mengurai tugas dan mendiskusikan kendala dan beban kerja. Di sisi lain, para supervisor dan manager juga melakukan monitoring terhadap kinerja pegawai memanfaatkan platform ini.

“Di DANA, ide untuk berinovasi, problem solving, serta value creations harus bisa dikomunikasikan dan tersinergi dengan baik dalam skala operasional harian bagi para karyawan. Langkah ini perlu dilakukan untuk memastikan semua komunikasi anggota tim bisa berjalan dengan baik, mengingat banyak fungsi setiap departmen atau divisi serta individu yang berbeda di sebuah perusahaan. Pesan dan komunikasi menjadi kunci untuk memastikan tim dan individu yang berbeda bisa bekerja bersama dalam jalur yang terarah. Tujuannya adalah DANA bisa mencapai tujuan dan visinya bersama dengan cara yang paling efektif dan efisien,” kata CTO DANA Norman Sasono.

Mencapai tujuan yang selaras dan memastikan kolaborasi berjalan baik menjadi fokus utama startup untuk memanfaatkan beragam communication platform yang ada. Pemanfaatan aplikasi juga krusial saat memungkinkan pegawai melakukan hal-hal lain secara online, seperti rapat, memberikan presentasi, dan membuat survei.

“Tentunya memilih aplikasi yang dapat memfasilitasi kegiatan pegawai dengan aman juga tidak kalah pentingnya demi menjaga privasi seluruh pegawai serta keamanan informasi-informasi perusahaan yang bersifat rahasia,” kata Head of Corporate Communication Bukalapak Intan Wibisono.

Sebagai perusahaan pembayaran digital dan layanan finansial, OVO dituntut senantiasa berkembang dan beradaptasi agar layanan OVO dapat terus diterima dan mampu menunjang kehidupan sehari-hari para penggunanya. Agar tetap tangkas, perlu adanya komunikasi, koordinasi, dan relasi yang baik antar pegawai agar dapat bekerja sama dan berdiskusi dengan maksimal.

“Platform tersebut mudah untuk digunakan, cepat, dan praktis dalam menunjang aktivitas sehari-hari seperti berdiskusi dan berkoordinasi. Terlebih pada lingkungan startup di mana kecepatan dan kepraktisan merupakan hal yang substansial dalam bekerja,” kata Head of PR OVO Sinta Setyaningsih.

Slack dan WhatsApp paling populer

Berdasarkan survei yang dilakukan DailySocial ke 16 startup, kebanyakan  memilih platform asing untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Meskipun pilihannya cukup bervariasi, dua platform tampil lebih dominan di antara platform lainnya.

Platform pertama adalah Slack yang didirikan oleh Stewart Butterfield dan yang kedua adalah WhatsApp yang didirikan Brian Acton dan Jan Koum. WhatsApp kini berada di bawah naungan Facebook.

Secara global, Slack hingga bulan Maret 2020 memiliki lebih dari 12 juta pengguna aktif harian. WhatsApp, di sisi lain, dengan adopsi yang lebih luas, per bulan Febuari 2020 mengklaim telah memiliki dua miliar pengguna di seluruh dunia.

Hasil survei DailySocial
Hasil survei DailySocial tentang penggunaan enterprise communication platform di startup

Yang menarik, WhatsApp dan Slack, oleh penggunanya, dipersepsikan dengan peruntukkan yang berbeda.

“WhatsApp sebagai communication tools fokus kepada chat experience and its simplicity dan telah memiliki jumlah pengguna yang sangat besar dari berbagai industri. Sedangkan Slack sebagai communication tools fokus kepada productivity yang didukung oleh bot dan integration tools, membuatnya terlihat lebih kompleks dan mendapat dukungan yang besar, khususnya dari industri berbasis teknologi,” kata Chief of Innovation Officer DOKU Rudianto.

Tampilan UI/UX yang menarik dan pengalaman pengguna yang nyaman juga membuat DANA memilih Slack dan WhastApp sebagai platform penunjang aktivitas sehari-hari. Perusahaan pun bersedia mengalokasikan budget untuk memberikan fitur premium bagi pegawai.

“Ada sejumlah faktor yang menyebabkan platform pesan instan menjadi populer, seperti kebiasaan dalam menggunakannya, pengalaman pengguna (UI/UX) yang baik, memiliki banyak fitur yang membuat pengguna produktif dan efisien, dan juga memiliki aspek keamanan,” kata Norman.

Fitur unggulan Slack adalah membuat grup koordinasi secara terbuka (siapapun dapat bergabung untuk berdiskusi) dan tertutup (terbatas untuk beberapa orang saja), melakukan voice call, melakukan absen mulai dan selesai bekerja (clock in dan clock out), membuat dan mengisi form, dan membuat polling di satu platform yang sama. Selain itu, Slack juga dapat memberikan laporan hasil pengukuran efektivitas komunikasi yang dilakukan tim di platform tersebut.

Sedangkan WhatsApp memungkinkan karyawan berkomunikasi lewat chat, saling berkirim dokumen dan foto, serta melakukan group conference (dengan jumlah terbatas) dengan jaminan enkripsi data.

Kebanyakan startup bersedia membayar biaya berlangganan dan mengalokasikan dana khusus untuk mendukung produktivitas pegawai.

“Bekerja di tech company dan startup membutuhkan koordinasi yang cepat, efisien, dan aman dengan sesama karyawan sehingga dibutuhkan communication channel yang dapat memenuhi kebutuhan itu, seperti Slack dan WhatsApp,” kata Intan.

Melihat peluang platform lokal

Bagi platform lokal di sektor komunikasi, tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mereka bisa meyakinkan konsumen dan bisa bersaing dengan platform global. Meskipun sebagian besar startup di Indonesia menggunakan platform asing, jika produk lokal yang disediakan lebih kompetitif dari sisi fungsi dan harga, mereka bersedia untuk mencoba.

Communication tools lokal memiliki potensi untuk bersaing dengan platform asing, karena dari sisi teknologi, membuat communication tools bukanlah sesuatu yang rumit. Tantangan utamanya adalah platform lokal harus dapat menjawab pertanyaan dasar: ‘Mengapa saya harus berpindah dari WhatsApp ke platform lokal?’. Jika ada startup yang mampu menjawab pertanyaan ini, sudah dipastikan mereka akan jadi the next unicorn, Indonesia’s first national communication tools, seperti yang terjadi dengan WeChat, Kakao Talk, dan Line di negara mereka masing-masing,” kata Rudianto.

Mereka yang memiliki proposisi unik untuk menyelesaikan masalah pengguna juga dapat menarik pengguna tertentu. Selain fitur-fitur baru yang menarik, penyedia lokal juga harus benar-benar sangat memahami dengan baik dasar-dasar layanan B2B, seperti UX, SLA untuk kinerja dan ketersediaan (Performance and Availability) dan keandalan dan keamanan (Reliability and Security).

“Setiap penyedia instrumen / platform pesan instan bisa berkompetisi di industri, jika menyediakan solusi atau produk yang lebih baik daripada opsi yang sudah tersedia di pasar,” kata Norman.

Melihat perkembangan dan tren pada hal ini, mulai muncul beberapa platform lokal yang mencoba memberikan layanan enterprise communication ini.

“Semakin tinggi demand untuk communication tools dalam aktivitas kerja, para developer akan semakin kreatif dan inovatif juga dalam membuat produk yang dapat memenuhi kebutuhan pasar yang dinamis. Kami tentunya akan selalu mendukung para developer Indonesia untuk bersaing dengan developer-developer lainnya dari seluruh dunia dalam menciptakan tools dengan kualitas terbaik,” kata Intan.

Menengok Aplikasi Penunjang Produktivitas Populer Selama Pandemi

Imbauan karantina di rumah selama masa pandemi membuat naiknya berbagai aktivitas yang dilakukan secara online. Sejumlah penggunaan aplikasi di berbagai vertikal menunjukkan kenaikan eksponensial, semisal aplikasi belanja online, hiburan, penunjang kerja, pendidikan, dan pesan antar makanan.

DailySocial dan startup riset pasar Populix membuat survei untuk melihat produktivitas online selama pandemi berlangsung. Survei ini mengambil 966 responden, mayoritas responden berada di Jakarta (50%), sisanya tersebar di Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, Semarang, dan Palembang.

Profil responden didominasi oleh laki-laki (60%) dan perempuan (40%). Usia terbanyak adalah kelompok 25-29 tahun (43%), 30-34 tahun (30%), 35-39 tahun (18%), dan 40-45 tahun (9%).

Responden juga menyatakan bahwa mereka sepenuhnya bekerja dari rumah (WFH) sebanyak 42%, semi-WFH (masuk kantor beberapa hari saja dalam seminggu, selebihnya kerja dari rumah) ada (36%), dan sisanya menjawab masih tetap masuk seperti biasa (22%).

Pertanyaan pertama yang kami ajukan adalah mengenai kategori aplikasi yang digunakan selama karantina. Menariknya, responden paling banyak menjawab aplikasi produktivitas (seperti video konferensi, platform chat untuk bisnis, dan sebagainya) sebanyak 68%. Lalu disusul aplikasi hiburan (66%), aplikasi belanja (52%), aplikasi layanan pesan antar makanan (53%), dan aplikasi pendidikan (32%).

Tulisan ini akan khusus mendalami temuan kami dalam penggunaan aplikasi produktivitas, termasuk edukasi online, yang mendukung responden selama karantina. Aplikasi terpopuler yang paling banyak dipilih responden untuk bekerja adalah WhatsApp (68%), Zoom (16%), Google Meet/Hangout (4%), Facebook Messenger (4%), Skype (3%), Teams (2%), Slack (1%), dan lainnya (3%).

Jawaban yang paling banyak diberikan untuk durasi yang dihabiskan responden setiap harinya dalam mengakses aplikasi populer tersebut adalah lebih dari 5 jam (42%), 3-5 jam (26%), 1-3 jam (25%), dan kurang dari 1 jam (7%).

Pemanfaatan aplikasi edukasi online, turut disertakan untuk menambah tambahan informasi dari responden. Aplikasi yang paling banyak dipilih adalah Skill Academy by Ruangguru (66%), Arkademi (5%), Udemy (4%), Coursera (2%), Dicoding (2%), Hacktiv8 (2%), RevoU (2%), Udacity (2%), dan HarukaEdu (2%), Codepolitan (1%), Edx (1%), dan lainnya (12%).

Mereka memilih aplikasi tersebut karena ingin menambah pengetahuan (45%), konten lengkap (35%), harga murah (15%), dan lainnya (5%). Durasi yang dipakai setiap harinya saat mengakses aplikasi adalah 1-3 jam (49%), kurang dari 1 jam (25%), 3-5 jam (20%), dan lebih dari 5 jam (6%).

Menurut rangkuman GDP Venture bertajuk “The Impact of Covid-19 Pandemic”, dikutip dari Shift in the Low Touch Economy dan Board of Innovation, dipaparkan utilisasi aplikasi konferensi video tidak lagi sekadar untuk produktivitas kerja dan belajar, tetapi bergeser sebagai kegiatan sosialisasi.

Tercatat secara global, kenaikannya drastis sejak awal Januari sebesar 2% hingga awal Maret 2020 menjadi 55%. Data lain dari Brandwatch dan DW Report menyatakan Hangout dan Zoom mendominasi sebagai aplikasi konferensi video terpopuler. Bahkan basis pengguna Zoom disebutkan tumbuh dua kali lipat.

Minim partisipasi lokal

Satu poin yang terlihat dari hasil survei di atas adalah minimnya awareness responden terhadap kehadiran pemain lokal yang ikut menjajal kue bisnis yang sama.

Menurut SimilarWeb, WhatsApp menempati posisi pertama untuk aplikasi yang paling banyak dipakai orang Indonesia, khususnya di Google Play Store. Sementara, Zoom menempati posisi ke 11, menurut data termutakhir (diakses 3/5/2020).

Cerminan yang sama juga ditemukan Statista untuk aplikasi messaging terpopuler berdasarkan jumlah pengguna terbanyak di global. Pemenangnya tak lain adalah WhatsApp, lalu disusul Facebook Messenger, WeChat, QQ Mobile, Telegram, dan Snapchat, per Oktober 2019.

Diklasifikasi lebih jauh oleh SimilarWeb menurut kategori aplikasi bisnis, Zoom ada di urutan teratas, lalu disusul Hangouts Meet (2), Cisco Webex Meetings (3), Microsoft Teams (5), dan Video Conference – TeamLink (14).

Tidak nampak satupun platform konferensi lokal di peringkat ini.

DailySocial menemukan beberapa platform konferensi lokal yang hadir dan memberikan solusi yang sama, di antaranya Qiscus Meet, Biznet Gio Meet, dan liteMeet (milik liteBIG). Ketiganya menawarkan layanan secara gratis dan sebenarnya punya kemampuan yang tidak jauh berbeda dengan aplikasi populer.

Dari level korporasi, ada Telkomsel dengan layanan serupnya diberi nama Cloud X. Layanan tersebut sebenarnya dirilis sejak awal tahun ini, namun tersedia untuk konsumen korporasi.

Perwakilan Telkomsel mengklaim peningkatan pengguna begitu terasa drastis sejak pemberlakuan kerja di rumah, naik 5000%, atau mencapai lebih dari 2000 akun. Dengan penjualan silang, pelanggan korporasi yang telah menjadi mitra dan pengguna operator seluler Telkomsel mendapat sejumlah keuntungan, misalnya harga paket yang jauh lebih murah.

Dari kalangan startup, ada Synergo yang mencoba jadi payung utama untuk seluruh kebutuhan kerja remote. Mereka membuat sistem Workflow Management System berfungsi untuk mengubah berbagai aplikasi penunjang kerja yang biasa dipakai perusahaan seperti Trello, Slack, Salesforce Asana, dan Dropbox menjadi satu payung saja.

Perusahaan sedang mengembangkan fitur video dan voice call yang masih dalam tahap beta untuk melengkapi layanannya tersebut. Mereka juga mengklaim jumlah pengguna Synergo yang melakukan sign up mandiri naik 10 kali lipat sejak Maret 2020.

Kesempatan pemain lokal untuk bersaing akan semakin kecil bila model bisnis yang diterapkan langsung ke end-user. Ironi tersebut bisa dilihat dari perjalanan pivot liteBIG. Sejak 2016, perusahaan masuk ke ranah korporasi menawarkan solusi private messenger platform.

Kini mereka memosisikan diri sebagai superapp untuk chat messenger dengan menambahkan fitur Timeline, SocioCommerce, Pembayaran PPOB, Transfer, Donasi, Kulbig, Event dan Qurban.

Kondisi tersebut juga dialami oleh Qiscus, awalnya mereka adalah penyedia solusi multiplatform messenger untuk korporat. Kini, mereka beralih sebagai penyedia multichannel chat untuk meningkatkan consumer experience buat pelanggan korporasi. Salah satu bentuknya adalah solusi in-app chat.

Dari dua contoh di atas memberikan gambaran jelas bahwa kesempatan pemain lokal agar bisa bersaing dengan aplikasi global, apabila bisnisnya langsung ke end user, bisa dipastikan kurang memiliki kesempatan untuk bersaing secara sejajar. Mengombinasikan ekosistem atau khusus menyasar pelanggan korporat seperti yang dilakukan Telkomsel dan Synergo bisa menjadi strategi bertahan.

Lantaran, aplikasi konferensi video diposisikan sebagai nilai tambah yang diberikan buat pelanggan dari semua rangkaian ekosistem layanan penunjang produktivitas kerja dan berbisnis.


Disclosure: Artikel ini didukung oleh platform market research Populix

Telegram Bakal Hadirkan Fitur Group Video Call yang Aman

Berbagai celah keamanan yang dialami Zoom memicu pengembangnya untuk berbenah. Langkah tersebut sangatlah rasional mengingat popularitas Zoom tiba-tiba melonjak drastis selama pandemi COVID-19, dan momen ini rupanya juga dimanfaatkan platform lain untuk mencuri kesempatan.

Bahkan platform niche seperti Telegram pun tak ingin melewatkan kesempatan ini. Bersamaan dengan pengumuman bahwa jumlah pengguna bulanannya sudah mencapai 400 juta orang, Telegram mengumumkan bahwa mereka bakal menghadirkan fitur group video call di tahun ini juga.

Bukan sembarang group video call, melainkan yang aman sekaligus mudah digunakan. “Video call di tahun 2020 mirip seperti messaging di tahun 2013. Ada aplikasi yang aman, ada juga yang mudah digunakan, tapi tidak keduanya,” tulis Telegram di blog-nya.

Sebagai pengingat, 2013 merupakan tahun Telegram menjalani debutnya. Selama berkiprah, Telegram memang dikenal selalu mengutamakan aspek keamanan. Bicara soal group video call yang aman, sudah pasti maksud mereka adalah yang dibekali fitur enkripsi end-to-end.

Sejauh ini, salah satu kelemahan Zoom memang seputar enkripsi. Investigasi mendalam yang dilakukan The Intercept belum lama ini menunjukkan bahwa Zoom tidak menerapkan enkripsi end-to-end pada platform-nya, melainkan jenis enkripsi lain (transport encryption alias TLS) yang masih memungkinkan Zoom untuk mengakses konten video dan audio dari para penggunanya.

Sayangnya Telegram masih enggan menjabarkan fitur group video call yang bakal mereka hadirkan. Berapa banyak jumlah partisipan yang bisa ditampung juga belum diketahui. Semestinya lebih dari 8 orang kalau Telegram ingin mendapat perhatian ekstra, sebab WhatsApp baru-baru ini telah memperbarui fitur video call-nya agar bisa menampung 8 orang, dan WhatsApp juga sudah menerapkan enkripsi end-to-end sejak lama.

Sumber: Telegram dan Engadget.