Alibaba Cloud Membangun Ekosistem Digital dengan Menggelar Pelatihan Talenta

Lihat artikel ini dalam tampilan baru DailySocial.id

Cloud, big data, machine learning adalah jenis teknologi paling sering disebut di era serba digital seperti sekarang. Dapat dikatakan menguasai ketiga teknologi tersebut, merupakan modal mutlak untuk memenuhi kebutuhan industri saat ini.

Dari ketiga jenis teknologi di atas, cloud merupakan salah satu yang paling krusial. Ia memudahkan konsumen, baik individu maupun korporasi, untuk menganalisis data dari mana pun dan kapan pun. Khusus untuk korporasi, mereka tidak perlu repot-repot membangun sendiri infrastruktur penyimpanan yang rumit dan mahal.

Alibaba Cloud adalah salah satu penyedia layanan cloud terbesar di dunia dengan sekitar 61 availability zone di 20 kawasan yang tersebar di seluruh dunia. Mereka mendirikan pusat data pertamanya di Indonesia pada Maret 2018, disusul yang kedua pada Januari 2019, menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar terpenting bagi Alibaba Cloud di Asia Pasifik.

Dari beberapa tonggak-tonggak penting tersebut, cukup membuat Alibaba Cloud memahami bahwa Indonesia sedang bergerak menuju (sepenuhnya) digital. Menjamurnya startup dan transformasi digital oleh banyak korporasi, menciptakan permintaan layanan digital, seperti cloud, lebih tinggi dari sebelumnya.

Namun apa yang dilakukan oleh Alibaba Cloud untuk mendukung transformasi digital di Indonesia lebih mengedepankan pendekatan yang holistik.

Salah satunya dengan menggelar “Digital Talent Empowerment Program” dengan menggandeng perguruan tinggi dan institusi. Tujuan dari program tersebut adalah melatih 2.000 mahasiswa dalam bidang teknologi digital, khususnya teknologi cloud dan intelijen.

Empowerment partnership ini merupakan bagian dari komitmen Alibaba Cloud untuk pemberdayaan talenta. Selain itu yang dilatih juga tidak hanya mahasiswa, tapi juga para trainer, agar mereka dapat memberdayakan teknologi Alibaba Cloud yang terbaru,” jelas Head of Alibaba Cloud Indonesia, Leon Chen.

Leon menjelaskan keinginan Alibaba Cloud menggelar program ini bukan tanpa alasan. Ia melihat sumber daya manusia di Indonesia punya potensi dan keinginan belajar yang besar. Potensi tersebut dapat dimaksimalkan apabila didukung dengan akses pengetahuan yang memadai untuk masyarakat luas.

Alibaba Cloud memandang ini sebagai kesempatan untuk berbagi pengetahuan. Sebagai pihak yang memiliki teknologi, Alibaba Cloud membantu publik menjembatani mereka untuk dapat memiliki akses terhadap pengetahuan teknologi teranyar.

“Sebenarnya tidak ada isu SDM di Indonesia, tapi saya rasa mereka hanya belum menemukan caranya mencari pengetahuan tersebut. Dan itu yang mendorong Alibaba Cloud membuat startup program, pelatihan, karena yang terlihat SDM di sini sangat mau belajar, berpotensi besar, serta menyerap pengetahuan dengan cepat,” imbuh Leon.

Inisiatif Alibaba Cloud ini melibatkan beberapa universitas terkemuka seperti Universitas Bina Nusantara dan Universitas Prasetia Mulya, Di sisi lain Alibaba Cloud juga menggandeng Trainocate, PT Inovasi Informatika, dan BLOCK71 Jakarta untuk melengkapi rangkaian inisiatif pengembangan bakat digital ini. Diah Wihardini, Direktur BINUS Global di Universitas Bina Nusantara, mengatakan kolaborasi dengan Alibaba Cloud ini menguntungkan para mahasiswanya. Dengan kemitraan seperti ini maka kesempatan mereka untuk mengakses pengetahuan teknologi teranyar dari pelaku industrinya langsung.

“Kami berharap mahasiswa yang belajar di Binus ini bisa terserap, cepat mendapat pekerjaan, cepat tanggap, sehingga mereka dapat bekerja untuk kemajuan bangsa. Melalui kerja sama ini, Binus terbantu dengan resources dari Alibaba Cloud dengan materi pengajaran yang up-to-date,” sambung Diah.

Dalam program ini Alibaba Cloud akan turut memberi pelatihan bagi 60 pengajar dari Binus dan Prasetia Mulya. Dari pengajar ini nantinya ilmu yang diperoleh akan disebarluaskan kembali ke 2.000 mahasiswa dari kedua kampus. Leon menambahkan, Alibaba Cloud tak menutup kemungkinan untuk bekerja sama dengan perguruan-perguruan tinggi lainnya di masa mendatang.

Keberlangsungan industri akan lebih baik ketika ekosistemnya sudah terbentuk. Membangun jaringan sumber daya manusia yang unggul merupakan langkah yang tepat untuk menciptakan ekosistem yang baik.

Namun Alibaba Cloud menganggap inisiatif mereka tak hanya akan menguntungkan industrinya sendiri. Bakat-bakat yang mengikuti pelatihan mereka nantinya akan tersebar luas ke banyak tempat dan mengimplementasikan ilmu yang diperoleh dari Alibaba Cloud. Apalagi sudah umum diketahui, penggunaan cloud computing sudah merentang luas ke berbagai sektor, seiring dengan menjamurnya bisnis digital.

“Dari program empowerment ini, yang terbantu bukan Alibaba Cloud sendiri, dampaknya bahkan bisa dirasakan seluruh negeri ini. Cloud sangat cocok, terutama untuk market seperti Indonesia yang populasinya banyak, sehingga butuh solusi teknologi yang dapat cepat beradaptasi,” pungkas Leon.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh Alibaba Cloud.

Optimizing Passion and Digital Platform as Money Machine

Business through social media has made everything possible, including “self commercialize”. This kind of business is highly related to one’s passion. Those who are diligent and passionate about certain activities are very likely to make the money rain through it.

In #SelasaStartup’s first week of 2020, Rade Tampubolon as the CEO of SociaBuzz taught us to take a peek at opportunities and tips on turning what we love into a source of livelihood.

The internet, especially the massive use of social media, has become a crucial bridge of connection. People used to do a hobby for their own satisfaction, nowadays, other people can appreciate it through digital platforms. Thus, it is not surprising whether they’d be willing to reach into their pocket to support their favorite creators.

Tampubolon called the people who enjoy the content as true fans. They are the ones who will be loyal to the creator’s works and willing to contribute financially in order to keep the work continue. This is what he refers to as a passion economy.

With Dailysocial, Rode has shared some tips to do for those who interested in living the passion economy.

“Passion and technology are getting connected. There’s a money velocity within the association. There’s a market for any kind of passion,” he said.

Find your passion

Most people have at least one favorite activity or hobby. This is the very beginning of everything. Finding something we love, something we’ll keep doing whether it provides us no income yet wasting our time.

As previously mentioned, almost every activity has its market. For example, content creator, writer, photographer, illustrator, make up artist, podcaster, musician, and many more.

Rode has advice for those who already find their passion to not afraid to explore. Exploration is needed for their works to have its own uniqueness. The more unique, the easier his work to be discovered by the public.

Building a tribe

After finding passion, the next step is to introduce their work. The digital platform has allowed people to share their hobbies with the public. Tampubolon also said to not hesitate to show off their respective works on various platforms, such as Twitter, Instagram, whatsoever.

When the creation is unique and has such quality, then the audience will gather. The second step is to begin. He called this phase as gathering community or building a tribe.

“This one is essential because it’s the economy. I’ve heard a quote saying ‘with only 1000 true fans, one can live in prosper’. From those 1000, if only each would give 100 dollars every year, you can count the result,” he added.

By true fans, he referred to the people who do not hesitate to provide financial support as a form of appreciation for the creator.

However, to maintain a loyal audience, Tampubolon thought social media alone is not enough. He said it’s important for passion economy players to use a platform that can ensure the audience for easy access to the content.

“For example, I have 1 million followers on Vine. Then, Vine goes down, my followers is gone and I gotta start anew. Another example is a campaign on social media, once the algorithm changed, it can reduce the engagement. The algorithm doesn’t view junk content, with no benefits, we are finally trapped in the insensitive algorithm,” he said.

Therefore, he advised maintaining good relations with the true fan community in the additional platform like Sociabuzz or Patreon. On the platform, the creator can directly connect with the true fans and let the works be appreciated.

Another essential detail

Besides the two main tips, there are some things that seem trivial but cannot be ignored by creators if they want to succeed in this passion economy. First, the way to value the works.

Tampubolon advised creators not to label their work too cheap or too expensive. The way to work it out is by fixing an expensive price at first. When the price is too high for the other party, simply adjust it for a cheaper price.

“Therefore, when they get cheaper prices they will be more satisfied.”

Another tip is basic business ethics. He said there are cases when influencers who are merely interactive with service users. The stuff like writing emails properly and correctly, reading briefs carefully, responsive in communicating about business, and other stuff.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengoptimalkan Passion dan Platform Digital sebagai Pencetak Uang

Bisnis melalui media sosial memungkinkan segalanya terjadi, termasuk “mengkomersialkan diri”. Bisnis semacam ini berkaitan erat dengan passion yang dimiliki seseorang. Mereka yang tekun dan mencintai suatu kegiatan secara disiplin sangat mungkin menjadikannya sebagai sumber penghasilan.

CEO SociaBuzz Rade Tampubolon dalam #SelasaStartup minggu pertama Februari 2020 mengajak kita mengintip peluang dan kiat mengubah apa yang kita cintai menjadi sumber penghidupan.

Internet, terutama media sosial, yang masif digunakan saat ini merupakan jembatan penghubung krusial. Jika dulu seseorang melakukan hobinya untuk kepuasan dirinya saja, maka melalui platform digital orang lain dapat ikut menikmati. Dan bukan hal yang aneh saat ini orang lain yang ikut menikmati rela merogoh uangnya untuk mendukung kreator favoritnya.

Rade menyebut penikmat karya tersebut sebagai true fans. Mereka adalah orang-orang yang akan setia dengan karya seorang kreator dan tak sungkan memberi dukungan finansial agar kreator itu terus berkarya. Inilah yang Rode sebut sebagai passion economy.

Bersama DailySocial, Rade memberi kiat yang perlu dilakukan mereka yang berminat menjalani passion economy.

Passion dan teknologi saat ini sudah mulai bertaut. Ada perputaran uang di sana. Passion apa pun ada market-nya,” ucap Rade.

Menemukan passion

Hampir setiap orang memiliki aktivitas favorit atau hobi. Ini adalah titik awalnya. Menemukan apa yang kita cintai, sesuatu yang tetap dilakukan kendati itu tak menghasilkan uang dan tanpa mengenal waktu.

Seperti yang disebut sebelumnya, hampir segala jenis kegiatan memiliki pasarnya. Sebut saja konten kreator, penulis, fotografer, ilustrator, make-up artist, podcaster, musisi, dll.

Rade menyarankan mereka yang sudah menemukan passion-nya untuk tak takut mengeksplorasi. Eksplorasi itu diperlukan agar karya yang mereka hasilkan memiliki kekhasan tersendiri. Semakin unik, semakin mudah karyanya untuk dikenal publik.

Membangun “suku”

Setelah menemukan passion tersebut, langkah berikutnya adalah memperkenalkan karya mereka. Platform digital memungkinkan setiap orang berbagi hobi mereka dengan orang banyak. Rade bahkan mengatakan agar tak sungkan memamerkan karya masing-masing di berbagai jenis platform seperti Twitter, Instagram, apa pun.

Jika karya tersebut cukup unik dan berkualitas, maka audiens pun akan bermunculan dengan sendirinya. Di sini langkah kedua dimulai. Rade menyebut fase ini sebagai membangun komunitas atau menciptakan “suku”.

“Ini penting karena ekonominya di sini. Saya pernah dengar ada kutipan yang mengatakan cukup dengan 1000 true fans, seseorang bisa hidup cukup makmur. Misalkan dari 1000 true fans itu masing-masing mau memberikan 100 dolar setiap tahun sudah dapat berapa coba,” lanjutnya.

True fans yang dimaksud oleh Rade adalah orang-orang yang tidak ragu memberikan dukungan finansial sebagai bentuk apresiasi terhadap seorang kreator.

Namun untuk memelihara audiens loyal seperti itu menurut Rade tak cukup aktif di media sosial. Menurutnya penting bagi pelaku passion economy menggunakan platform yang dapat memastikan audiens mereka tetap bisa mengakses karyanya dengan mudah.

“Misal saya punya satu juta follower di Vine. Lalu Vine tutup, follower saya hilang dong jadi mulai dari nol lagi. Atau cuma campaign di media sosial, begitu algoritmanya berubah, yang bisa melihat konten kita pun bisa berkurang. Algoritma itu tidak melihat konten receh yang tidak jelas atau bermanfaat, akhirnya kita terjebak di dalam algoritma yang tidak berperasaan,” sambung Rade.

Maka menurutnya penting untuk memelihara relasi dengan komunitas penikmat karya di platform tambahan seperti SociaBuzz atau Patreon. Karena dengan platform itu kreator dapat terhubung langsung dengan penikmatnya serta mempermudah proses apresiasi karyanya.

Detail lain yang tak kalah penting

Selain dua kiat utama di atas, ada beberapa hal yang terlihat sepele tapi tak bisa diabaikan oleh para kreator jika ingin menekuni passion economy ini. Pertama adalah cara memberi harga karya.

Rade menyarankan para kreator agar tidak melabeli karyanya terlalu murah ataupun terlalu mahal. Caranya dengan mematok harga yang lebih mahal terlebih dulu. Ketika pihak lain merasa harga itu terlalu tinggi maka tinggal menyesuaikannya agar tak terlalu mahal.

“Jadi ketika mereka dapat harga yang lebih murah mereka akan lebih puas.”

Kiat lainnya adalah etika dasar dalam berbisnis. Rade menyebut tak jarang ada kasus influencer yang masih gagap dalam berinteraksi dengan pengguna jasanya. Hal itu seperti menulis email secara baik dan benar, membaca brief dengan cermat, kecepatan merespons dalam berkomunikasi perihal bisnis, dan semacamnya.

Ambisi Travalal Menjadi Platform Perjalanan Ramah Muslim

Terungkapnya kasus penipuan First Travel dua tahun lalu membuka banyak cerita pahit terutama mereka yang tercatat sebagai calon jemaah umrah. Begitu halnya dengan Alki Adi Joyo Diharjo. Ia menjadikan kisah kegagalan berangkat umrah kerabatnya menjadi bekal bisnis berharga dan mendirikan platform marketplace umrah dan perjalanan ramah muslim, Travalal.

Dari kasus First Travel ia mempelajari bahwa informasi seperti tarif keberangkatan umrah dan edukasi untuk manajemen travel agent sangat minim.

“Selain sebagai marketplace umrah, Travalal juga mengkurasi restoran halal dan hotel ramah muslim di seluruh dunia,” ucap Joyo kepada DailySocial.

Travalal berdiri sejak 2018 namun mulai beroperasi secara komersial sejak tahun lalu melalui situsnya. Produk yang mereka jajakan merentang dari paket perjalanan umrah hingga direktori pemesanan restoran halal dan penginapan ramah muslim.

Untuk saat ini baru marketplace umrah yang sudah bisa diakses secara komersial, sementara direktori restoran dan penginapan segera meluncur dalam waktu dekat. “Akhir Februari ini sudah bisa diakses,” imbuh Joyo.

Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia jelas adalah pasar yang sangat menarik pelaku bisnis umrah dan perjalanan ramah muslim. Pada 2018 saja jumlah jemaah umrah asal Indonesia mencapai 1 juta dengan nilai pasar sekitar Rp20 triliun dan diprediksi akan terus bertambah setiap tahun.

Model bisnis

Sebagai marketplace umrah, Travalal bekerja sama dengan agen perjalanan umrah sebagai penyedia jasanya. Joyo menyebut saat ini sudah ada 85 agen perjalanan yang menawarkan paket umrah dengan kisaran Rp18,5 juta hingga Rp40 juta ke atas. Dari setiap transaksi yang terjadi, Travalal mengambil margin keuntungan.

Di samping itu, Travalal menyediakan platform Software as a Service (SaaS) kepada agen perjalanan untuk Sales Data Management, Data User Management, dan pengolahan data lainnya. Menurut Joyo, produk ini dibuat karena sistem yang dipakai agen perjalanan di Indonesia masih terlampau konvensional.

“SaaS ini untuk mengelevasi bisnis mereka agar sistematis dan lebih efisien.”

Melalui sistem manajemen tersebut, ungkap Joyo, agen perjalanan dapat menyuplai informasi yang dibutuhkan oleh pelancong muslim mulai dari paket umrah terbaik, hotel, restoran halal, wifi portabel, tiket transportasi publik. Travalal mewajibkan mitra agen perjalanan mereka berlangganan sistem tersebut.

Target

Dengan model bisnis yang mengedepankan profit, Travalal tetap mencari jalan untuk meraih pendanaan. Joyo menyebut saat ini pihaknya sudah terlibat pembicaraan dengan sejumlah calon investor untuk fase pendanaan awal mereka.

Di samping soal pendanaan, Joyo menargetkan tahun ini Travalal bermitra dengan total 200 agen perjalanan, 4.000 restoran halal, dan 2.000 hotel ramah muslim.

“Sejauh ini belum ada platform untuk Muslim traveler yang selengkap kita di Indonesia. Lagipula untuk marketplace umrah belum ada market leader dan pasarnya masih sangat besar,” pungkas Joyo.

Transfez Introduced as a Local Online Remittance Startup

The remittance business is still lucrative to this day. Especially startups that touch this niche are still a handful. A brand new startup named Transfez appeared trying to reap a fortune in the remittance business.

Transfez CEO Edo Windratno said that the initiative to establish a startup appeared in 2018. The experience of sending money in conventional remittance services that takes time and high costs is the reason Windratno makes similar services more efficient. In December 2019 Windratno and his team finally released the Transfez application on Android and iOS.

“Our goal is to make cross-region transfer in this country as easy as a domestic transfer,” Windratno said when being interviewed at his office.

Even though it has been only a month, Transfez developed quickly. The remittance services now reach 37 countries across Asia and Europe. This service is claimed to have sent money of up to 220 billion with users mostly come from students and importers. However, Transfez is currently available to send money from Indonesia abroad.

As a reference, TransferWise is the most popular global remittance startup that currently supports sending funds to Indonesia, including various local e-money platforms.

Mechanism

Fast and cheap are the two things that Edo highlighted from Transfez. The average time required for Transfez to transfer funds is around one day. However, for some destinations, such as South Korea and India, they only need 5 minutes. While the cheap factor is due to transaction costs they charge starts from Rp 50,000 to Rp 100,000.

In each destination, Transfez holds at least one financial or banking institution as partners. The Transfez system requires users to send to their account first. Next, their partners will send money with an equivalent value of the nominal transferred.

“We eliminate various parties involvement which applies in conventional remittances, therefore, we can compete in terms of speed and price,” he added.

Transfez gains income from every transaction that occurs. The inclome also comes from margin exchange as well as the remittance business in general.

Target

Transfez has obtained a license from Bank Indonesia (BI), and its ambition is to expand to 80 destination countries this year. They are targeting some areas, such as the United States, South America, and Africa. In terms of features, they are determined to facilitate sending money from abroad to Indonesia.

Eventually, Transfez has passed the bootstrap phase, which indicates they’re moving towards a funding round. Nevertheless, they are yet to reveal more about this. “There is [plan], but can not be revealed,” Windratno said.

Opportunities in the remittance market are currently wide open in Indonesia. The World Bank (2018) noted that the amount of remittances to Indonesia has reached US$ 11 billion or around Rp150 trillion. While the amount of remittances out was around US$ 5 billion or Rp68.5 trillion. With a relatively small number of players, the opportunity to reap profits in this business is wide open for Transfez.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Transfez Hadir Sebagai Startup Remitansi Online Lokal

Bisnis remitansi masih menggiurkan hingga saat ini. Terlebih startup yang menyentuh ceruk ini masih segelintir. Startup anyar bernama Transfez muncul mencoba memetik peruntungan di bisnis remitansi ini.

CEO Transfez Edo Windratno becerita inisiatif mendirikan startup ini muncul pada 2018. Pengalaman mengirim uang di jasa remitansi konvensional yang memakan waktu dan biaya transaksi yang besar jadi alasan Edo membuat layanan serupa yang lebih efisien. Di bulan Desember 2019 akhirnya Edo dan tim merilis aplikasi Transfez di Android dan iOS.

Goal kita membuat transfer dana lintas negara ini semudah transfer domestik,” ucap Edo saat ditemui di kantornya.

Meski baru berumur sebulan lebih, Transfez bergerak cepat. Layanan remitansi mereka sudah bisa menjangkau 37 negara yang tersebar di Asia dan Eropa. Layanan ini diklaim sudah mengirimkan uang hingga Rp220 miliar dengan pengguna paling banyak dipakai dari pelajar dan importir. Meski begitu, Transfez saat ini baru bisa digunakan untuk mengirim uang dari Indonesia ke luar negeri.

Sebagai referensi, TransferWise adalah startup remitansi global paling populer saat ini yang telah mendukung pengiriman dana ke Indonesia, termasuk ke berbagai platform e-money lokal.

Cara kerja

Cepat dan murah merupakan dua hal paling dibanggakan oleh Edo dari Transfez. Rata-rata waktu yang dibutuhkan Transfez untuk tranfer dana sekitar satu hari. Namun untuk beberapa negara tujuan, seperti Korea Selatan dan India, mereka hanya butuh 5 menit. Sementara faktor murahnya karena biaya transaksi yang mereka kenakan berkisar Rp50.000-Rp100.000.

Di setiap negara tujuan, Transfez memegang setidaknya satu institusi keuangan atau perbankan sebagai mitra kerja. Sistem Transfez mengharuskan pengguna mengirim ke rekening mereka dahulu. Setelahnya mitra mereka akan mengirimkan uang dengan nilai setara dari nominal yang ditransfer.

“Kita mengeliminasi keterlibatan berbagai pihak yang mana berlaku di remitansi konvensional makanya kita bisa bersaing dari segi kecepatan dan harga,” imbuh Edo.

Transfez memperoleh pendapatan dari setiap transaksi yang terjadi. Mereka pun juga mendapat pendapatan dari margin exchange sebagaimana bisnis remitansi pada umumnya.

Target

Transfez yang telah mengantongi izin dari Bank Indonesia (BI) berambisi memperluas negara tujuannya menjadi 80 negara di tahun ini. Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan Afrika, merupakan kawasan yang jadi bidikan mereka. Dari segi fitur, mereka bertekad dapat memfasilitasi pengiriman uang dari luar negeri ke Indonesia.

Terakhir, Transfez yang sudah melewati fase bootstrap ini mengindikasikan sedang bergerak menuju putaran pendanaan. Kendati begitu mereka masih sungkan bercerita lebih banyak mengenai hal ini. “Ada, tapi belum bisa diceritakan,” pungkas Edo.

Peluang di pasar remitansi memang masih terbuka lebar di Indonesia. World Bank (2018) mencatat uang remitansi yang masuk ke Indonesia mencapai US$11 miliar atau sekitar Rp150 triliun. Sementara remitansi yang terjadi keluar berkisar US$5 miliar atau Rp68,5 triliun. Dengan jumlah pemain yang terbilang masih sedikit, peluang meraup untung di bisnis ini terbuka lebar bagi Transfez.

Application Information Will Show Up Here

Increase in Living Cost to Affect Startup Verticals

The government presents a “reward” of increasing rate on some products and services after the turn of the year. The public, particularly those with middle to low income is certainly the most affected.

The increase rate and services become highlighted issues by Indonesia’s digital service providers. The question is how much the increase in living costs will affect the business and consumers.

The increasing rate and costs

The contribution rate of the Social Security Organizing Agency (BPJS) for Health is the most highlighted issue. Based on Presidential Regulation (Perpres) Number 75 of 2019, BPJS Health contribution rate increased by around 65% – 115% for three different classes.

The cigarette excise tax is another issue for some Indonesian people. With the number of smokers reaching 65.19 million people, the increase in cigarette excise at 21.55% is pressuring for smokers who are mostly come from the middle class.

In the transportation sector, rates on some toll roads are also increasing this year. The Jakarta-Cikampek Toll Road, Surabaya-Gempol, Belawan-Medan-Tanjung Morawa, are some of the toll roads with increasing rates. The rising price is to be followed by the government’s plan to revoke the 3 kg LPG subsidy. It’s still under discussion, however, if it’s true, the price per bottle estimated to reach Rp 35,000 according to market prices.

Above all, the current global economic situation expected to remain depressed along 2020. The neverending trade war between US and China and the global recession create another external issue in the local economy.

Impact on digital service providers

Bima Yudhistira, an INDEF economist, agrees that this year will be a difficult year for owners of digital services. The first thing he highlighted was the flow of funding for tech companies would rather difficult given the most funding came from the US, Europe, China, and Japan, where the global recession effect is projected to hit severely than in Indonesia.

In terms of demand, the increase rate of products and services will make people think twice to spend money. “In 2020 they will probably save some money because the increase in living costs is not followed by a significant increase in income, therefore, I thought the demand will not be as high as in the previous years,” said Bima.

This kind of situation will encourage investors in the digital ecosystem to be more aware of their investment. Bima believes the “money-burning contests” often performed by the on demand platforms, such as Gojek and Grab, e-commerce, online travel applications (OTA), and peer-to-peer lending will be much reduced this year.

MDI Ventures’ Head of Strategist, Aldi Adrian has a rather different opinion. He said the global economic slowdown had no effect on the domestic digital business ecosystem. Aldi actually sees what happened to WeWork and Uber as factors that will influence the startup business, especially in terms of acquiring new customers using unrealistic discounts.

“The outside sentiment, from the US in particular, such as WeWork and Uber, is much greater. That is a sign that they must change methods and cannot depend much on discounts, yet to have a more sustainable strategy, must be more positive, a business which capable of cashcow,” he added.

Moreover, Aldi also predicts that there will be types of startups that can grow better in this difficult year. He mentioned startups in the category of software as a service (SaaS), B2B2C e-commerce, and social commerce.

From the consumer’s perspective, in this case, those people who have been spoiled with discounts, the situation forced them to spend money wisely. Bank Indonesia (BI) has projected this year’s inflation to grow at 3.1%, and the food supply chain rate will be a shock. The combination of the economic situation with the demand for a new method has created a conclusion that the digital service providers will act more rationally.

“In 2019, the inflation rate is low because there’s no increase in living cost, while this year everything is significantly increasing, people should think twice to spend in order to save money,” Bima said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Agate Gaet CIAYO Pelopori Gim Visual Novel Pertama di Indonesia

Agate selaku studio pengembang gim melakukan gebrakan dengan meluncurkan gim berbalut visual novel. Alasan konten permainan ini diciptakan salah satunya untuk memberi pilihan yang lebih beragam untuk pemain dari kalangan perempuan, mengingat jumlahnya yang sangat tinggi di Indonesia.

Agate bekerja sama dengan CIAYO, platform komik berbasis web, dalam menciptakan platform gim visual novel. Dalam proyek ini, Agate yang menggarap gim, sementara CAIYO yang mengembangkan intellectual property (IP). Hasilnya adalah aplikasi Memories yang memuat sejumlah judul gim visual novel.

Kepada DailySocial, CEO Agate Arief Widhiyasa menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang memutuskan mereka membuat Memories. Pertama adalah besarnya potensi pasar. Potensi pasar yang ia maksud adalah jumlah gamer di Indonesia yang ternyata didominasi oleh perempuan.

“Sebenarnya saat ini 66% gamer di Indonesia adalah perempuan tapi tidak banyak game khusus untuk mereka,” ujar Arief.

Dalam sebuah riset, gamer perempuan, khususnya di kelas casual game, memang tercatat mencapai 66%. Persentase cukup mewakili seberapa besar potensi yang bisa dipetik oleh para pengembang untuk meramu gim yang lebih ramah untuk selera perempuan.

Alasan berikutnya menurut Arief adalah nihilnya platform gim yang menitikberatkan storytelling yang interaktif juga imersif. Sekalipun ada gim bergaya seperti itu, semuanya adalah ciptaan pengembang luar negeri dengan muatan cerita yang belum tentu sejalan dengan selera pasar di sini.

Memories yang saat ini baru bisa diperoleh di PlayStore sudah ada sekitar 15 judul gim visual novel di dalamnya. Ada yang ceritanya bergenre romantis, misteri hingga chat story. Chat story artinya penuturan cerita dibalut dalam tampilan aplikasi percakapan. Selain itu ada juga Dilan 1990 dan Dilan 1991 ciptaan Pidi Baiq yang menjadi judul andalan di platform ini.

Bungkus demikian dinilai lebih efektif dalam menyampaikan cerita dan membuat pengguna berlama-lama membaca. “Seperti kita tahu tingkat literasi kita kan peringkat kedua dari bawah,” imbuh Arief.

Memories saat ini sudah diunduh oleh 500 ribu kali di PlayStore. Dengan sifatnya yang gratis, gim ini juga menyediakan fitur-fitur tambahan yang berbentuk in-game purchases dengan kisaran Rp9.000 hingga Rp300.000.

Arief berharap aplikasi ini dapat berjalan dalam waktu panjang sehingga mampu menstimulasi minat baca yang akhirnya menghasilkan bacaan yang menarik untuk pembaca, wadah bagi penulis cerita, dan para pengembang gim. Agate pun berencana menggelar lomba berhadiah bernilai Rp100 juta untuk para penulis guna menggairahkan gim visual novel ini.

“Ke depan kita akan membuat ini sebagai platform terbuka untuk semua penulis sehingga nanti semua orang bisa membuat game di atas platfrom kita,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Kenaikan Biaya Hidup Akan Berdampak ke Sejumlah Vertikal Industri Startup

Pemerintah memberikan ‘hadiah’ berupa kenaikan tarif dan harga sejumlah barang dan jasa selepas pergantian tahun baru kemarin. Masyarakat luas, terutama mereka yang berpenghasilan menengah ke bawah tentu yang paling terdampak akibat kebijakan itu.

Kenaikan tarif dan jasa ini turut menjadi perhatian para penyedia layanan digital di Indonesia. Pertanyaannya adalah seberapa jauh peningkatan biaya hidup tersebut berpengaruh terhadap bisnis dan pelanggan mereka.

Tarif dan harga yang mengalami kenaikan

Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah komponen yang paling ramai dibicarakan. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019, iuran BPJS Kesehatan naik sekitar 65% – 115% untuk tiga kelas berbeda.

Kenaikan cukai rokok juga jadi catatan penting untuk sebagian masyarakat Indonesia. Dengan jumlah perokok mencapai 65,19 juta orang, kenaikan cukai produk rokok rata-rata 21,55% merupakan tekanan bagi para perokok yang mayoritas berasal dari kelas menengah.

Di sektor perhubungan, tarif sejumlah ruas tol pada tahun ini juga naik. Tol Jakarta-Cikampek, Surabaya-Gempol, Belawan-Medan-Tanjung Morawa, adalah adalah contoh ruas tol yang mengalami kenaikan tarif. Gempuran kenaikan harga ini masih disusul dengan rencana pemerintah mencabut subsidi elpiji 3 kg. Pencabutan subsidi ini memang masih dalam pembicaraan, namun jika akhirnya terjadi diperkirakan harga per tabung mencapai Rp35.000 sesuai harga pasar.

Terlepas dari itu semua, masih ada situasi ekonomi global yang diperkirakan akan tertekan sepanjang 2020 ini. Perang dagang antara Amerika Serikat-Tiongkok yang berlarut-larut dan resesi global merupakan ancaman eksternal bagi perekonomian dalam negeri.

Pengaruh terhadap penyedia layanan digital

Bima Yudhistira, ekonom INDEF, mengamini bahwa tahun ini akan menjadi tahun yang sulit bagi pemilik layanan digital. Hal pertama yang menjadi sorotan Bima adalah aliran pendanaan bagi perusahaan teknologi akan terganggu mengingat kebanyakan institusi pendanaan berasal dari Amerika Serikat, Eropa, Tiongkok, dan Jepang, di mana efek resesi global diperkirakan mengguncang lebih hebat ketimbang di Indonesia.

Sementara dari aspek permintaan, kenaikan harga sejumlah barang dan jasa akan membuat masyarakat berpikir dua kali dalam membelanjakan uangnya. “Maka 2020 mungkin mereka akan lebih banyak ikat pinggang karena kenaikan biaya hidup tidak disertai kenaikan pendapatan yang signifikan jadi menurut saya demand tidak akan setinggi tahun-tahun sebelumnya,” ucap Bima.

Situasi seperti ini yang nantinya mendorong para investor di ekosistem digital lebih awas terhadap dana yang mereka kucurkan. Bima meyakini “kontes bakar uang” yang kerap dilakukan oleh platform on demand, seperti Gojek dan Grab, e-commerce, online travel application (OTA), dan peer-to-peer lending akan jauh berkurang di tahun ini.

Head of Strategist MDI Ventures Aldi Adrian punya penilaian agak berbeda. Aldi menilai pelambatan ekonomi yang terjadi secara global tak berpengaruh pada ekosistem bisnis digital dalam negeri. Aldi justru melihat apa yang terjadi pada WeWork dan Uber sebagai faktor yang akan lebih banyak memengaruhi bisnis startup terutama dalam hal akuisisi pelanggan baru dengan potongan harga gila-gilaan.

“Sentimen luar, terutama dari US seperti WeWork dan Uber, jauh lebih besar. Itu jadi pertanda mereka harus ganti metode dan tidak bisa bergantung banyak dengan diskon, tapi harus punya strategi yang lebih sustain, harus lebih positif, bisnis yang bisa cashcow,” tegas Aldi.

Lebih dari itu Aldi memperkirakan akan ada jenis startup yang dapat tumbuh baik di tahun yang sulit ini. Ia menyebut startup yang masuk di kategori software as a service (SaaS), e-commerce B2B2C, dan social commerce.

Keadaan ini menuntut konsumen, terutama mereka yang lama dimanjakan  potongan harga, untuk menggunakan uangnya lebih bijak. Bank Indonesia (BI) sendiri memperkirakan inflasi tahun ini akan meningkat menjadi sekitar 3,1%, naik dengan komponen harga pangan yang diprediksi akan paling bergejolak. Gabungan antara situasi ekonomi dengan tuntutan metode baru menghasilkan satu kesimpulan bahwa penyedia layanan digital akan lebih rasional.

“Tahun 2019 itu inflasinya rendah karena tidak ada kenaikan biaya hidup. sedangkan tahun ini langsung naik banyak sekali sehingga orang jadi berpikir dua kali agar bisa berhemat,” pungkas Bima.

Tambahan Rp150 Miliar Genapkan Pendanaan Seri A untuk Waresix

Startup logistik Waresix melengkapi pendanaan seri A mereka di angka US$25,5 juta atau sekitar Rp348,7 miliar. EV Growth dan Jungle Ventures menjadi entitas penting dalam putaran ini.

Nominal tersebut merupakan akumulasi babak pendanaan yang sudah dimulai sejak Juli 2019 lalu. Saat itu, startup yang dipimpin CEO Andree Susanto ini, mendapatkan kucuran dana US$14,5 juta dari para investor yang dipimpin oleh EV Growth. Tambahan US$11 juta dari EV Growth dan Jungle Ventures menggenapkan putaran pendanaan seri A ini.

“Dana tambahan ini semakin mempertegas kepercayaan para investor utama dan akan membantu kami memperkuat dominasi pasar sambil mempersiapkan putaran pendanaan seri B pada 2020,” ucap Andree dalam rilis resmi mereka.

Waresix adalah startup bidang logistik yang berfokus menghubungkan layanan pengiriman dengan jasa pengangkutan termasuk truk pengangkut dan gudang penyimpanannya. Platform mereka kini tercatat sudah beroperasi dengan 30.000 truk dan 300 operator gudang di seluruh Indonesia.

Semenjak beroperasi pada kuartal IV 2018, Waresix diklaim mengalami pertumbuhan cepat. Salah satu indikatornya adalah mereka berhasil membukukan EBITDA (earnings before interest, tax, depreciation, and amortization) positif.

“Waresix dengan jelas merupakan pemenang di segmen first dan middle-mile dalam bidang logistik. Kami fokus kepada laju pertumbuhan perusahaan yang pesat dan keberhasilannya mengakhiri 2019 dengan profit. Ini merupakan bonus kecil bagi kami sebagai growth-stage investor,” ujar Co-Founder East Ventures & Managing Partner EV Growth Willson Cuaca.

Kabar tambahan pendanaan untuk Waresix ini menandakan geliat industri logistik di Indonesia akan kembali cemerlang tahun ini. Pasalnya sepanjang 2019 kemarin, industri ini diwarnai dengan kemunculan pemain baru dan pendanaan yang jumlahnya cukup banyak.

Startup Logistik di Indonesia

Platform logistik B2B Ritase memperoleh pendanaan seri A senilai US$8,5 juta pada Juli. Ada juga Kargo Tecnlogies yang mendapat kucuran pendanaan awal US$7,6 juta dari Sequoia Capital India. Lalu ada SiCepat Express, Triplogic, Logisly, Shipper, dan Crewdible yang mengalami hal serupa. Pendanaan yang diterima oleh perusahaan rintisan tersebut rata-rata di level seed dan seri A.

Kian membesarnya pasar e-commerce (juga social commerce) di Indonesia tak bisa dipungkiri menjadi angin segar industri logistik. Laporan McKinsey pada 2018 lalu memproyeksikan nilai pasar e-commerce di Tanah Air akan menyentuh US$65 miliar atau Rp910 triliun pada 2022. Tak heran jika pelaku industri logistik percaya diri bisnis ini dapat tumbuh lebih dari 30% pada tahun ini.