Kerja Sama EVOS dan LinkAja, Tawarkan Diskon dan Promosi di Metazone

EVOS Esports baru saja mengumumkan kerja sama dengan institusi digital payment, LinkAja. Melalui kerja sama ini, kedunya berharap bisa mendorong pertumbuhan industri esports di Indonesia, yang memang tengah menarik perhatian banyak orang.

Salah satu hasil kerja sama antara EVOS dan LinkAja adalah penawaran diskon dan promosi untuk pembelian menggunakan LinkAja di Metazone milik EVOS. Semua penggemar esports akan bisa mendapatkan manfaat tersebut. Namun, EVOS dan LinkAja juga menawarkan promosi eksklusif  bagi anggota membership EVOS Fams.

“Tujuan EVOS bekerja sama dengan LinkAja adalah untuk memberikan solusi pembayaran digital bagi fans EVOS dan audiens esports,” ujar Michael Wijaya, Chief Marketing Officer, EVOS Esports. Lebih lanjut dia menjelaskan, Metazone adalah voucher gateway yang memungkinkan Anda untuk membeli voucher untuk game serta Google Play. “Anggota EVOS Membership akan mendapat kemudahan lebih serta manfaat eksklusif.”

Sementara itu, Chief Marketing Officer LinkAja, Wibawa Prasetyawan menjelaskan alasan mengapa LinkAja tertarik untuk menggandeng EVOS sebagai rekan. “Kita tahu bahwa beberapa tahun belakangan, khususnya dalam tiga tahun terakhir, industri game dan esports berkembang pesat di Indonesia,” ujarnya.

Konferensi pers kerja sama EVOS dan LinkAja.

“Pada 2021, akan ada 17 juta orang yang bermain game online dari 116 juta gamers aktif di Indonesia,” ujar pria yang akrab dengan panggilan Iwan ini, dalam konferensi pers yang diadakan pada Kamis, 30 September 2021. “Komunitas game sudah menjadi sebuah movement. Dan dalam satu movement, tentunya ada aliran jasa dan uang. Kami ingin bisa memfasilitasi semua itu.”

Ketika ditanya mengapa LinkAja memiliih EVOS sebagai rekan, Iwan menjawab, “Siapa yang tidak kenal dengan EVOS di industri game? Mereka punya ekosistem yang kuat dan fanbase yang besar. Dan fanbase EVOS itu berisi anak-anak muda, generasi milenial dan Gen Z. Kami juga ingin bisa menjangkau generasi milenial dan Gen Z. Sehingga ketika mereka tumbuh dewasa, mereka akan tetap menggunakan LinkAja.”

Strategi LinkAja serupa dengan strategi JD.id ketika mereka memutuskan untuk menjadi sponsor dari High School League. Dengan mensponsori HSL, JD.id berharap bahwa gamers yang masih duduk di bangku SMA akan mengenal situs e-commerce itu dan akan tetap setia ketika mereka beranjak dewasa.


Hybrid.co.id hadir juga di berbagai media sosial. Temukan konten yang menarik di Instagram atau follow akun Twitter kami. Jangan lupa juga untuk Likes Fanpage Facebook Hybrid.

Harga Diri Gamers: Jadi Alasan untuk Lakukan Gatekeeping?

Dulu, jumlah gamers tidak sebanyak sekarang. Bermain game menjadi hobi bagi segelintir orang saja. Selain itu, dulu, gamers juga punya konotasi negatif. Sekarang, memang masih ada stigma buruk yang melekat pada game, tapi, semakin banyak orang yang sadar bahwa game tidak melulu membawa efek negatif. Game telah tumbuh menjadi industri yang nilainya mengalahkan industri perfilman dan musik. Industri game bahkan mendorong munculnya industri baru, seperti streaming game dan juga esports.

Namun, seiring dengan bertambahnya jumlah gamers, muncul segregasi. Biasanya, gamers dikelompokkan berdasarkan platform yang mereka gunakan — PC, konsol, atau mobile — atau berdasarkan dedikasi mereka saat mereka bermain game — kasual atau hardcore. Mengelompokkan gamers berdasarkan preferensi mereka sebenarnya bukan masalah. Hanya saja, ketika sebagian gamers mulai membatasi sebagian orang untuk bergabung dengan komunitas game, hal inilah yang menjadi masalah.

Gatekeeping: Definisi dan Penyebab

Mencegah seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan akses akan sesuatu, begitulah pengertian gatekeeping secara sederhana. Sebenarnya, gatekeeping tidak hanya terjadi di industri game. Namun, karena Hybrid.co.id adalah media yang membahas soal game dan esports, artikel ini hanya akan membahas tentang fenomena gatekeeping di dunia game.

Lalu, bagaimana cara seorang gatekeeper mencegah orang lain untuk masuk ke dunia game? Memang, siapapun bisa membeli game dan memainkannya. Namun, gatekeepers punya cara untuk mencegah seseorang atau sekelompok orang untuk masuk ke dunia game.

Salah satu caranya adalah harassment. Misalnya, stereotipe gamers adalah laki-laki muda. Jadi, orang-orang yang tidak masuk dalam kategori ini bisa jadi korban dari harassment. Gangguan itu bisa membuat seseorang berhenti main game atau enggan untuk ikut aktif dalam komunitas.Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Reach3 Insights dan Lenovo, 59% perempuan merahasiakan gender mereka untuk menghindari harassment. Gender tidak selalu menjadi pemicu dari harassment. Terkadang, pemicunya adalah ras dan warna kulit.

Contoh harassment yang ditujukan pada perempuan. | Sumber: HuffPost

Menurut IGN, biasanya gatekeepers punya alasan kenapa mereka mencegah kelompok tertentu untuk masuk ke komunitasnya. Salah satu alsaannya adalah karena mereka menganggap komunitas gaming sebagai “safe space” mereka. Dan ketika ada orang lain di luar kelompoknya — alias outsider — mencoba untuk masuk, mereka menganggap hal itu sebagai ancaman akan ruang yang dia miliki. Apalagi karena dulu, gamers sering mendapat cap buruk.

Sementara itu, menurut Kotaku, harga diri bisa jadi awal dari gatekeeping. Banyak gamers yang merasa bangga menjadi gamers. Dengan mengklaim diri sebagai gamers, mereka ingin agar orang lain tahu akan kecintaan mereka pada game dan menghargai identitas mereka sebagai gamers. Masalah muncul ketika gamers mengelompokkan orang-orang berdasarkan apakah mereka bermain game atau tidak, yang menciptakan pertikaian antara “kita” dan “mereka”.

Di satu sisi, membuat komunitas eksklusif untuk gamers ini bisa mempererat hubungan antara para gamers. Karena, mereka akan merasa seolah-olah mereka ada di komunitas yang memiliki pemikiran yang serupa. Di sisi lain, pengelompokkan gamers dan non-gamers ini bisa membuat gamers secara otomatis mengasingkan orang-orang yang dianggap bukan bagian dari kelompok mereka.

Masalah menjadi semakin keruh ketika industri game tumbuh pesat dan jumlah gamers meroket. Orang-orang tidak lagi dikelompokkan berdasarkan apakah mereka bermain game atau tidak, tapi juga berdasarkan platform yang mereka gunakan atau genre yang mereka mainkan. Sebagian gamers akan dianggap “gamers sejati”, sementara yang lain tidak. Sebagian akan menjadi bagian dari kelompok, dan sebagian lagi tidak. Dan orang-orang yang bukan bagian dari kelompok akan diasingkan — atau didiskriminasi.

Dampak Gatekeeping

Salah satu masalah yang muncul karena gatekeeping adalah diskriminasi. Pada awalnya, game merupakan media hiburan yang ditujukan untuk laki-laki. Hal ini bisa terlihat dari tipe-tipe game yang muncul pada awal industri game. Namun, sekarang, jumlah gamers tidak hanya bertambah pesat, tapi juga menjadi semakin beragam. Di Asia, sekitar 38% gamers merupakan perempuan. Sayangnya, meningkatnya jumlah gamers perempuan tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan diperlakukan dengan baik. Banyak gamers perempuan yang mengalami diskrimasi berdasarkan gender.

Selain diskriminasi, masalah lain yang mungkin muncul karena gatekeeping adalah ableism. Masalah ini muncul ketika sekelompok gamers memandang rendah orang-orang yang bermain game dengan mode easy. Memang, tidak semua game harus punya easy mode. Beberapa game memang didesain untuk menawarkan tantangan, seperti Dark Souls. Meskipun begitu, hal itu bukan berarti bahwa para gamers yang memainkan game kasual atau bermain game di easy mode pantas untuk dihina dan direndahkan.

Kabar baiknya, sekarang, developer mulai memperhatikan masalah accessibility dari game mereka. Sehingga, penyandang disabilitas pun tetap bisa memainkan game tersebut. Salah satu contoh fitur accessibility yang ada pada game adalah fitur text-to-speech atau pengaturan warna bagi penyandang buta warna, lapor TechRadar. Difficulty settings juga merupakan bagian dari fitur accessibility dalam sebuah game, karena keberadaannya membuat semakin banyak orang bisa memainkan game itu.

Terakhir, masalah terbesar yang bisa muncul akibat gatekeeping adalah mematikan kreativitas pelaku industri game. Tujuan utama dari gatekeeping adalah mencegah sekelompok orang memasuki dunia game. Jadi, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa ikut aktif dalam komunitas game. Pada akhirnya,  komunitas game menjadi homogen, karena hanya terdiri dari orang-orang yang berasal satu kelompok saja. Padahal, keberagaman justru bisa menguntungkan ekosistem game. Seperti yang disebutkan oleh Kotaku, tanpa ide baru yang berbeda di dunia game, maka game sebagai media hiburan akan menjadi stagnan dan akhirnya, mati.

Sumber header: InvenGlobal

Indonesia Jadi Pasar Game Mobile Terbesar Kedelapan, Menurut Laporan Ini

Pada 2021, nilai industri mobile game akan naik 4,4% dari tahun lalu. Angka pertumbuhan industri mobile game tahun ini memang lebih kecil Jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan tahunan (CAGR) pada periode 2019-2024, yang mencapai 11%. Diperkirakan, hal itu terjadi karena pada 2020, industri mobile game berkembang sangat pesat berkat pandemi. Jadi, tahun ini, pertumbuhan industri mobile game tidak terlalu signifikan.

Selain itu, pada tahun 2021, developer mobile games juga harus menyesuaikan diri dengan regulasi privasi yang lebih ketat dari Apple dan Google. Padahal, salah satu kunci kesuksesan developer mobile game adalah kemampuan mereka untuk menargetkan audiens berdasarkan data yang mereka dapat dari pelacakan konsumen.

Berikut laporan terbaru terkait industri mobile game dari Newzoo.

Nilai Industri Mobile Game

Menurut data dari Newzoo, nilai industri game mobile pada 2021 akan mencapai US$90,7 miliar. Namun, angka itu hanya mencakup total belanja konsumen, tanpa menghitung pemasukan dari iklan. App Store masih menjadi kontributor terbesar. Sekitar US$41,1 miliar atau 45,3% dari total pemasukan industri mobile game berasal dari App Store. Sementara itu, Google Play menyumbangkan US$28,2 miliar atau sekitar 31,1% dari total pemasukan industri mobile game. Sekitar 23,% sisanya, senilai US$21,3 miliar, berasal dari toko aplikasi pihak ketiga. Laju pertumbuhan industri mobile game pada 2019-2024 adalah 11,2%. Jadi, pada 2024, industri mobile game diperkirakan akan bernilai US$116,4 miliar.

Pemasukan industri mobile game dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo

Tiongkok masih menjadi negara dengan industri mobile game terbesar. Nilai industri mobile game di negara itu mencapai US$31,4 miliar. Sementara itu, peringkat dua dipegang oleh Amerika Serikat, dengan industri mobile game bernilai US$14,8 miliar, diikuti oleh Jepang (US$12,4 miliar).

Posisi ke-4 diisi oleh Korea Selatan dengan pemasukan industri mobile game sebesar US$4,2 miliar dan posisi ke-5 oleh India, dengan nilai industri mobile game US$2,2 miliar. Indonesia ada di posisi ke-8 dengan nilai industri mobile game US$1,5 miliar. Di Indonesia, sebanyak US$1,3 miliar pemasukan industri mobile game berasal dari Google Play. App Store hanya menyumbangkan US$210 juta dan toko aplikasi pihak ketiga US$35,8 juta.

Daftar 10 negara dengan industri mobile game terbesar. | Sumber: Newzoo

Salah satu hal yang mendorong pertumbuhan industri mobile game adalah meningkatnya jumlah pengguna smartphone di dunia. Semakin banyak orang yang menggunakan smartphone, semakin besar pula pasar mobile game. Selama periode 2019-2024, laju pertumbuhan rata-rata (CAGR) dari jumlah pengguna smartphone di dunia adalah 6,1%. Pada 2021, diperkirakan, jumlah pengguna smartphone di dunia akan mencapai 3,9 miliar orang, naik 6,1% dari tahun lalu. Sementara pada 2024, jumlah pengguna smartphone diduga akan mencapai 4,5 miliar orang.

Pada tahun 2021, jumlah pengguna smartphone yang sudah bisa menggunakan jaringan 5G (5G-Ready) juga naik. Sebanyak 703,5 juta smartphone — atau sekitar 15,4% dari total jumlah smartphone — sudah 5G-Ready. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, jumlah smartphone 5G-Ready tahun ini naik 230,9%. Ke depan, jumlah smartphone yang bisa mengakses 5G diperkirakan akan masih bertambah. Dengan CAGR sebesar 83,4% pada periode 2020-2024, jumlah pengguna smartphone 5G-Ready pada 2024 diperkirakan akan mencapai 2,4 miliar unit atau sekitar 45,4% dari jumlah total smartphone di dunia.

Dampak Pengetatan Regulasi Privasi dari Apple dan Google

Tahun ini, Google dan Apple memperketat peraturan terkait data pengguna. Pada April 2021, Apple meluncurkan framework bernama App Tracking Transparency (ATT) sebagai bagian dari update iOS 14.5. Dengan adanya ATT, developer aplikasi tidak bisa melacak data pengguna iOS. Jika pengguna iOS rela datanya dilacak, mereka harus memberikan izin secara manual.

Menurut Fyber, aplikasi yang mengkhususkan diri pada monetisasi, sebanyak 85% pengguna iOS telah menggunakan versi 14.5 atau yang lebih baru. Namun, pada pertengahan September 2021, hanya 17% pengguna iOS yang setuju untuk membiarkan datanya dilacak. Hal ini menunjukkan, ATT akan membuat developer semakin kesulitan untuk mendapatkan data pengguna.

Salah satu dampak peluncuran ATT adalah para pengiklan mengurangi dana marketing mereka di iOS. Sebagai gantinya, mereka mengalihkan dana tersebut ke Android. Meskipun begitu, Newzoo menyebutkan, besar total dana marketing yang dikeluarkan untuk iOS tetap signifikan. Tak hanya itu, jumlah spending marketing untuk iOS juga masih menunjukkan tren naik, walau tingkat pertumbuhannya tidak sebesar Android.

Dengan ATT, pengguna harus memberikan izin secara manual bagi aplikasi untuk melacak data mereka.

CRO dan Global Head of Revenue Operations, Fyber, David Simon mengatakan bahwa peluncuran framework ATT dari Apple mengharuskan industri mobile game untuk beradaptasi. “Privasi konsumen akan menjadi lebih terjaga. Namun, mobile marketing menjadi semakin sulit,” ujarnya. “Begitulah kenyataannya. Baik developer aplikasi maupun pengiklan sebaiknya mengubah pola pikir mereka dan mencoba untuk memahami audiens mereka tanpa harus mengetahui informasi pribadi para konsumen.”

Bagi developer mobile game, ungkap Simon, hal ini berarti mereka harus bisa menggunakan data yang mereka punya dengan lebih baik. Karena, selama ini, developer mobile game menggantungkan diri pada insight yang mereka dapat dari melacak data konsumen. Jadi, di masa depan, salah satu tren yang akan muncul adalah perushaan-perusahaan mobile game akan fokus untuk mengembangkan jaringan iklan internal mereka sendiri. Dengan begitu, perusahaan mobile game akan bisa mempromosikan game yang mereka buat di dalam game mereka yang lain.

Contoh iklan mobile game. | Sumber: Android Central

“Publisher akan fokus untuk membuat teknologi iklan internal agar mereka bisa memanfaatkan data yang mereka punya untuk mempromosikan game mereka di game-game mereka yang lain,” ujar Tianyu Gu, analis Newzoo, seperti dikutip dari VentureBeat. “Dengan begitu, publisher akan bisa mempertahankan user base mereka agar para pemain tidak keluar dari ekosistem mereka. Pada saat yang sama, mereka tetap akan mematuhi peraturan baru dari Google dan Apple.”

Pada tahun ini, tren lain yang muncul di industri mobile game adalah model monetisasi hybrid-casual. Sebenarnya, tren ini telah muncul sejak industri hypercasual game menjadi terlalu ramai. Demi menghadapi kompetisi yang semakin ketat, game hypercasual tidak lagi bisa menggantungkan diri pada model monetisasi iklan sepenuhnya. Jadi, selain memasang iklan pada game, developer hypercasual game juga harus menambahkan opsi in-app purchase atau bahkan subscription. Mengingat sekarang melacak data pengguna menjadi semakin sulit — yang juga akan mempersulit targeted marketing — maka kemungkinan besar, di masa depan, jumlah developre hypercasual game yang menggunakan model monetisasi hibrida akan bertambah.

Sumber header: Sensor Tower

Esports Jadi Olahraga Profesional di Thailand, Kreator Angry Bird Buka Studio Baru

Kabar baik untuk pelaku industri esports di Thailand. Minggu lalu, esports dinyatakan sebagai olahraga resmi. Sementara itu, Misfits Gaming baru saja mendapatkan kucuran dana sebesar US$35 juta. Rovio, developer dari Angry Bird, juga telah membuka studio baru di Kanada.

Esports Jadi Olahraga Resmi di Thailand

Esports telah diakui sebagai olahraga profesional di Thailand. Hal itu berarti, baik organisasi maupun pemain esports kini akan mendapatkan dukungan dari Sports Authority of Thailand (SAT). Popularitas esports di Thailand bisa meroket berkat kerja keras Thailand E-Sports Federation (TESF) dalam mengadakan kompetisi, seminar, dan workshop secara berkala.

Nilai industri esports diperkirakan akan mencapai US$1,5 miliar pada 2023. Mengetahui besarnya potensi esports, pemerintah Thailand bekerja sama dengan TESF untuk mengadakan sejumlah proyek pelatihan. Proyek tersebut ditujukan untuk melatih para pekerja agar bisa memahami esports lebih baik. Orang-orang yang mengikuti latihan juga akan diajarkan tentang cara menggelar kompetisi esports, menurut laporan Inside the Games. Sementara di Indonesia, esports diakui sebagai cabang olahraga prestasi pada tahun lalu.

Misfits Gaming Dapat Investasi Sebesar US$35 Juta

Misfits Gaming Group baru saja mendapatkan kucuran dana segar sebesar US$35 juta. Ronde pendanaan kali ini dipimpin oleh The E.W. Scripps Company.  Scripps sendiri akan memberikan investasi sebesar US$10 juta ke organisasi esports Misfits. Dengan investasi ini, Scripps punya hak untuk mendistribusikan konten media esports dari Misfits melalui platform Over-the-Top (OTT) mereka di Amerika Serikat.

Tim yang dibawahi oleh Misfits Gaming. | Sumber: ESTNN

Ke depan, Misfits mengungkap bahwa mereka akan fokus untuk mendapatkan penghasilan dari konten esports. Mereka memperkirakan, di masa depan, penjualan hak siar media dan konten berdurasi panjang akan memberikan kontribusi lebih besar pada pemasukan mereka daripada sponsorship dan hadiah turnamen, lapor VentureBeat.

NASCAR Buat Server Resmi di Discord

NASCAR baru saja mengumumkan kerja sama mereka dengan Discord. Dengan ini, NASCAR menjadi kompetisi olahraga pertama yang meluncurkan server resmi di Discord. Server tersebut didedikasikan untuk para fans agar mereka bisa saling mengobrol tentang ketertarikan dengan dunia balapan. Tak hanya itu, server NASCAR juga akan menawarkan akses gratis ke siaran live audio dari NASCAR Cup Series Championship.

“Kami dan Discord punya komitmen yang sama untuk membangun komunitas yang terdiri dari kalangan yang sangat beragam,” kata Branden Williams, Senior Manager, Gaming & Esports, menurut laporan Nascar.com. “Kerja sama ini akan mendorong para penggemar — baik fans lama atau fans baru — untuk saling berkomunikasi dengan satu sama lain.”

Amazon Bakal Menjadi Publisher untuk Game Buatan Glowmade

Amazon Games mengumumkan bahwa mereka akan merilis game yang dibuat oleh Glowmade. Bermarkas di Inggris, Glowmade berisi pekerja veteran dari Lionhead Studios, studio di balik Fable, Fable II, dan Fable Legends. Game yang akan dirilis oleh Amazon Games merupakan game yang didasarkan pada intellectual property (IP) baru dari Glowmade. Fokus dari game tersebut adalah co-op play.

Wonderworlds, salah satu game dari Glowmade. | Sumber: Glowmade

“Tim Glowmade telah bekerja keras untuk membuat IP baru kami, dan Amazon Games adalah rekan yang cocok untuk kami,” kata Jonny Hopper, Glowmade Studio Head, seperti dikutip dari VentureBeat. “Kami mengagumi komitmen tim Amazon Games dalam membantu kami dalam merealisasikan visi kami. Kami tidak sabar untuk menunjukkan game yang sedang kami buat.”

Rovio Buka Studio Baru di Toronto

Minggu lalu, Rovio mengumumkan bahwa mereka akan membuka studio baru di Toronto, Kanada. Rovio mengungkap, tim Toronto akan fokus untuk membuat mobile game kasual free-to-play. Namun, mereka juga akan tetap punya tugas untuk mengembangkan game-game lama Rovio dari studio lain. Jabatan Head of Studio untuk studio Toronto akan diisi oleh Julie Beaugrand. Dia juga akan menjabat sebagai Vice President. Sebelum ini, dia menduduki jabatan sebagai Head of Studio Gameloft Toronto dan VP of North American Studios untuk Gameloft, menurut laporan GamesIndustry.

Kompetisi Esports Candy Crush Digelar, Mineski Philippines Adakan Turnamen Dota 2 dan PUBG Mobile

Kebanyakan, game esports adalah game kompetitif dengan genre MOBA, FPS, atau battle royale. Namun, belakangan, mulai muncul kompetisi yang mengadu game kasual. Candy Crush menjadi game kasual terbaru yang memiliki turnamen esports. Selain itu, pada minggu lalu, Mineski Global mengungkap keberadaan Mineski Masters, seri turnamen yang mengadu Dota 2 dan PUBG Mobile. Sementara itu, LG Electronics bekerja sama dengan Evil Geniuses untuk mengadakan kompetisi esports bagi mahasiswa.

Mari Takahashi Jadi Salah Satu Pemilik Spacestation Gaming

Mari “AtomicMari” Takahashi resmi menjadi co-owner dari Spacestation Gaming (SSG). Bersama rekan bisnisnya, Peter Kitch, Takahashi akan bekerja sama dengan pendiri Spacestation, Shaun “Shonduras” McBride dan Spacestation Integrations Co-founder, Sean Holladay untuk mengembangkan SSG sebagai tim esports. Selain mendorong SSG untuk memenangkan lebih banyak kompetisi esports, Takahashi akan berkolaborasi dengan McBride untuk mengembangkan bagian komunitas dan kreator konten dari SSG.

Mari “AtomicMari” Takahashi. | Sumber: Spacestation Gaming

Takahashi dikenal sebagai salah satu pendiri SMOSH Games. Dia juga pernah masuk dalam daftar “Top Influencers in Gaming” versi Forbes pada 2017. Dia punya pengalaman lebih dari 10 tahun di berbagai bidang hiburan dan konten gaming. Dia bahkan pernah masuk dalam seri Survivor dari CBS. Sepanjang karirnya, dia pernah menjalin kerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar, seperti Ericsson, Microsoft, dan Samsung, lapor Esports Insider.

Kompetisi Candy Crush Saga Bakal Digelar di Amerika Serikat

Setelah Stardew Valley, sekarang giliran Candy Crush yang dibawa ke ranah esports. Candy Crush memang merupakan game kasual. Namun, fakta itu tidak menghentikan Candy Crush All Stars U.S. untuk diselenggarakan. Sesuai namanya, Candy Crush All Stars U.S. bakal mempertemukan para pemain Candy Crush Saga terbaik di Amerika Serikat.

Candy Crush All Stars U.S. telah dimulai pada 23 September 2021 dan bisa diikuti oleh semua pemain Candy Crush di AS yang memiliki level setidaknya 25 di Candy Crush Saga. Pemain yang menang akan mendapatkan suplai Gold Bars selama satu tahun, menurut laporan Polygon. Khloé Kardashian akan menjadi host dari Candy Crush All Stars U.S. Dia akan memberikan komentar selama pertandingan berlangsung.

Mineski Philippines Adakan Kompetisi PUBG Mobile dan Dota 2

Minggu lalu, Mineski Global mengumumkan keberadaan seri turnamen esports baru yang akan berlangsung selama dua bulan. Diselenggarakan oleh Mineski Philippines, Mineski Masters merupakan seri turnamen yang terdiri dari kompetisi invitational untuk Dota 2 dan turnamen nasional untuk PUBG Mobile. Mineski Masters diadakan dengan dukungan perusahaan telekomunikasi Converge.

Kompetisi PUBG Mobile di Mineski Masters dinamai Battle of Ages: Forging New Realms. Turnamen itu bisa diikuti oleh 256 tim. Total hadiah yang ditawarkan adalah P500 ribu (sekitar Rp141 juta). Kompetisi tersebut akan dimulai dengan group stages, yang bakal digelar setiap akhir pekan pada Oktober 2021. Tim yang lolos dari group stage bakal maju ke babak Playoffs, yang diadakan pada 6-7 November dan 13-14 November 2021.

Mineski Masters bakal adakan kompetisi untuk Dota 2 dan PUBG Mobile. | Sumber: AFK Gaming

Sementara itu, Dota 2 Regional Invitational menawarkan total hadiah sebesar P1 juta (sekitar Rp281 juta). Turnamen ini akan diikuti oleh delapan tim profesional dari Asia Tenggara, empat di antaranya akan diisi oleh tim Filipina. Babak kualifikasi dari kompetisi regional itu akan digelar pada 21 dan 28 November 2021. Sementara sesi Playoff akan diadakan pada 2-5 Desember 2021, lapor ABS CBN.

Balapan Pertama Le Mans Virtual Series Diadakan di Sirkuit Monza

Daftar peserta untuk Le Mans Virtual Series, 4 Hours of Monza, telah diumumkan. Kompetisi sim racing itu akan diikuti oleh pembalap dan juga sim racer. Beberapa peserta yang akan ikut serta dalam balapan virtual tersebut antara lain pemenang 24 Hours of Le Mans Virtual tahun lalu, Louis Deletraz, pembalap Formula E, Sergio Sette Camara, mantan pemenang DTM Bruno Spengler, dan lain sebagainya. Balapan 4 Hours of Monza telah digelar pada pekan lalu, menggunakan platform rFactor 2.

Secara total, ada 38 pembalap yang beradu di 4 Hours of Monza. Sebanyak 21 pembalap bertanding di Le Mans Prototype 2 (LMP2). Sementara 17 pembalap lainnya akan bertanding di Le Mans Grand Touring Endurance (LMGTE), menurut laporan Motor1.

LG Electronics Gandeng Evil Geniuses untuk Adakan Kompetisi Tingkat Universitas

LG Electronics dan Evil Geniuses akan bekerja sama untuk menggelar Collegiate Showcase Series Invitational. Kompetisi itu ditujukan untuk universitas-universitas terbaik di bidang esports. Turnamen tersebut telah digelar pada 25-26 September 2021 dan disiarkan secara langsung di channel Twitch Evil Geniuses. Total hadiah dari turnamen Invitational ini adalah US$10 ribu (sekitar Rp143 juta).

Evil Geniuses dan LG Electonics gelar kompetisi di tingkat mahasiswa. | Sumber: LG Electronics

“Evil Geniuses percaya, kompetisi esports di tingkat mahasiswa punya peran penting dalam menyokong ekosistem esports,” kata Sabrina Wong, Culture Programme Specialist and Lead of the Genius League Collegiate Program, seperti dikutip dari Esports Insider, “Dengan Collegiate Showcase Series Invitational, kami dan LG berkomitmen untuk memberikan produk terbaik pada atlet esports di tingkat perkuliahan agar mereka bisa memberikan performa terbaik mereka di kompetisi.”

Sumber header: Polygon

Teknologi di Esports dan Olahraga: Cheat dan Regulasi

Bidang sports engineering terbukti bisa menghasilkan peralatan yang dapat meningkatkan performa atlet olahraga tradisional. Seiring dengan semakin populernya esports, maka semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk membuat peralatan bagi para gamers profesional. Dan perangkat itu tidak terbatas pada smartphone, mouse, keyboard, atau peripheral elektronik lainnya, tapi juga kursi gaming, sepatu gaming, smartwatch, dan perangkat yang bisa dikenakan lainnya.

Perusahaan sepatu ternama — seperti Nike, Puma, dan adidas — juga pernah membuat sepatu untuk gamers. Seperti Air Jordan 1 Zoom dari Nike atau X9000 dari adidas. Puma bahkan meluncurkan “Active Gaming Footwear”, kaos kaki yang diklaim bisa memberikan kenyamanan yang diperlukan oleh gamers profesional. Dan tampaknya, di masa depan, akan ada semakin banyak produk yang ditujukan untuk gamers atau atlet esports profesional.

Adakah Regulasi untuk Peralatan yang Digunakan oleh Pemain?

Fairness adalah bagian penting dari kompetisi olahraga, tidak terkecuali esports. Karena itu, penyelenggara turnamen atau game esports biasanya akan membuat regulasi terkait peralatan yang boleh digunakan oleh para peserta. PUBG Mobile adalah salah satu game yang tidak hanya mengatur peralatan yang bisa digunakan oleh pemain, tapi juga regulasi terkait seragam yang dikenakan oleh peserta.

Dalam PUBG Mobile Rulebook V1.2.1 yang dirilis pada Juni 2021, disebutkan bahwa semua pemain yang ikut serta dalam kompetisi hanya boleh menggunakan perangkat berbasis Android dan iOS. Untuk PUBG Mobile Pro League (PMPL) Indonesia Season 4, bahkan sudah ada smartphone resmi yang digunakan, yaitu realme GT Master Edition. Selain itu, peserta juga tidak boleh menggunakan aksesori tanpa izin dari pihak penyelenggara turnamen. Contoh aksesori yang disebutkan dalam buku regulasi itu adalah adapter, controllers, keyboard Bluetooth, dan mouse.

PUBG Mobile punya rulebook tersendiri.

Rulebook PUBG Mobile juga membahas tentang pakaian yang boleh dikenakan oleh para peserta kompetisi. Di buku itu, tertulis bahwa semua anggota tim esports yang bertanding harus menggunakan seragam tim, yang terdiri dari jersey, jaket, topi, dan celana. Khusus untuk jaket dan topi, pemain dibebaskan untuk mengenakan atau melepasnya sepanjang turnamen. Di PUBG Mobile Rulebook, juga disebutkan bahwa pihak penyelenggara punya hak untuk melarang peserta menggunakan pakaian tertentu jika pakaian itu melanggar Regulasi Umum.

Selama kompetisi, peserta juga diharuskan untuk mengenakan celana panjang dan sepatu. Avatar pemain dalam game juga diwajibkan untuk mengenakan pakaian. Pemain juga dilarang untuk mengganti pakaian dari avatar mereka, demi kepentingan estetika atau comic effect. Sementara itu, pelatih tim diharuskan mengenakan pakaian resmi.

Terkait smartphone yang digunakan dalam kompetisi esports, Herry Wijaya, Head of Operation Mineski Global Indonesia mengatakan, dua hal yang harus diperhatikan daalah touchscreen dan WiFi.

“Dulu, ada banyak smartphone yang touchscreen-nya tidak bisa sensitif saat digunakan dengan lebih dari dua jari. Sekarang, kebanyakan sudah responsif bahkan dengan lebih dari tiga jari,” ujar Herry saat dihubungi oleh Hybrid. Sementara untuk masalah WiFi, yang harus diperhatikan adalah apakah performa smartphone akan mengalami penurunan ketika ia terhubung ke WiFi serta charger secara bersamaan. Herry mengaku, Mineski biasanya akan menguji smartphone yang akan digunakan di kompetisi, untuk memastikan ponsel itu memang punya performa yang mumpuni.

Di sisi tim esports, ketika ditanya tentang smartphone yang digunakan oleh tim RRQ, CEO Andrian Pauline alias AP mengungkap bahwa mereka selalu menggunakan smartphone yang disarankan oleh publisher game. Alasannya adalah agar pemain sudah terbiasa menggunakan smartphone itu. Sehingga mereka tidak kagok ketika bertanding di kompetisi resmi.

Sekarang, mari beralih ke skena fighting game. Jika dibandingkan dengan mobile esports, fighting game menawarkan opsi perangkat yang lebih beragam, mulai dari gamepad, arcade stick, sampai hit box. Faktanya, komunitas fighting game sempat terbelah menjadi dua: kubu arcade stick dan kubu gamepad. Hybrid pernah membahas tentang perbedaan antara keduanya di sini.

Pada September 2019, EVO — turnamen fighting game terbesar di dunia — mengeluarkan peraturan terkait controllers yang bisa digunakan oleh para peserta. Mereka membuat regulasi ini sebagai jawaban dari banyak pertanyaan terkait controller dan modifikasi yang dibolehkan dalam kompetisi resmi. Pertanyaan itu datang dari peserta dan manufaktur controllers.

“Para pemain tidak tahu controllers apa yang boleh digunakan di turnamen, sehingga mereka memilih untuk menggunakan gamepad dan fightstick tradisional. Hal ini membatsi opsi controller yang bisa dipilih oleh pemain, membuka kemungkinan bahwa pemain tidak memilih controller yang paling sesuai dengan gaya mereka,” tulis EVO dalam Google Docs. “Manufaktur controllers juga menjadi bimbang apakah produk mereka bisa digunakan di turnamen resmi, yang bisa menghambat inovasi. Untuk menjawab ketidakpastian ini, EVO telah membuat peraturan terkait controller buatan pihak ketiga.”

Secara garis besar, ada tiga peraturan yang EVO tetapkan. Pertama, satu mekanisme input dalam controller tidak boleh mengaktifkan beberapa input sekaligus. Pengecualian dari aturan ini adalah input arah (atas, bawah, kiri, dan kanan). EVO membolehkan penggunaan lever yang bisa memasukkan input Bawah+Kanan sekaligus. Namun, EVO melarang penggunaan tombol dengan makro yang bisa mengaktifkan sekumpulan input dalam game. Selain itu, penggunaan tombol analog yang bisa memasukkan input A atau input B — tergantung pada seberapa keras tombol itu ditekan — juga dilarang.

Peraturan kedua, controller bisa mengirimkan input game dari mekanisme input analog atau digital, selama ia tidak melanggar peraturan pertama. Peraturan terakhir, controller tidak boleh memasukkan input arah yang berlawanan secara bersamaan (Simultaneous Opposite Cardinal Direction alias SOCD), seperti Atas+Bawah atau Kanan+Kiri. Ketika EVO mengumumkan akan regulasi itu, penggunaan PlayStation 4 DualShock masih diizinkan. Karena, controller itu dianggap sebagai controller standar dan tidak punya fitur ekstra. Namun, peraturan itu ditinjau ulang pada 31 April 2021, seperti yang disebutkan oleh Dot Esports.

Sebagai penyelenggara turnamen esports, ESL juga punya peraturan sendiri. ESL tetap membuat sejumlah regulasi, bahkan ketika mereka menggelar turnamen dari game yang sudah punya rulebook sendiri, seperti PUBG Mobile. Biasanya, peraturan yang ditetapkan oleh ESL akan disesuaikan dengan game yang diadu. Namun, memang, mereka tidak membuat peraturan spesifik tentang aksesori atau pakaian yang digunakan oleh pemain. ESL hanya menegaskan, jika ada pemain yang ketahuan berbuat curang, maka dia akan dikenakan sanksi dan akan secara otomatis dikeluarkan dari turnamen.

Contoh Aksesori di Dunia Esports

Herry bercerita, saat ini, kebanyakan aksesori yang digunakan oleh pemain esports mobile adalah in-ear earphone. Memang, sudah muncul berbagai aksesori wearable, seperti gaming gloves. Namun, kebanyakan — jika tidak semua — pemain profesional di Indonesia bermain tanpa bantuan aksesori tersebut. Karena itu, tidak heran jika belum ada regulasi yang mengatur tentang penggunaan gaming gloves atau aksesori wearable lainnya. Ke depan, apakah aksesori seperti gaming gloves boleh digunakan, Mineski akan menyerahkannya pada pihak publisher.

Pendiri dan CEO BOOM Esports, Gary Ongko Putera mengatakan, peripheral seperti mouse, headphone, atau keyboard memang punya pengaruh pada performa pemain game esports PC. Alasannya karena aksesori yang digunakan akan mempengaruhi pada kenyamanan dan response time dari para pemain. Namun, sekarang, peralatan yang bisa digunakan oleh pemain esports tak terbatas pada aksesori untuk smartphone, PC, atau konsol saja. Aksesori seperti compression sleeves, sarung tangan, dan celana pun mulai bermunculan.

POINT3 adalah salah satu perusahaan apparel yang membuat pakaian untuk gamers. Mereka bahkan punya gaming collection yang dibuat menggunakan DRYV, teknologi manajemen keringat yang sudah dipatenkan. Sebelum membuat koleksi pakaian untuk gamers, POINT3 telah membuat pakaian untuk atlet olahraga tradisional.

Celana POINT3 yang bisa menyerap keringat. | Sumber: Inven Global

Michael Luscher, pendiri dan CEO POINT3 mengatakan bahwa setelah memperhatikan komunitas esports, POINT3 menemukan, atlet esports membutuhkan pakaian yang nyaman dan menghilangkan segala gangguan. Tangan yang berkeringat adalah masalah yang ingin POINT3 selesaikan dengan pakaian berteknologi DRYV mereka. Pada 2020, mereka sempat mengirimkan contoh produk ke para influencers di industri esports. Hal ini berujung pada kontrak endorsement antara POINT3 dan Nidal “MamaImDatMan” Nasser, pemain NBA2K League, menurut laporan Inven Global.

Nasser bercerita, tangannya sering berkeringat saat menggenggam controllers. Saat mengenakan celana dari POINT3, dia bisa dengan mudah mengelap keringat itu di celananya. “Sejujurnya, pada awalnya, saya juga skeptis,” kata Nasser, seperti dikutip dari Washington Post. “Tapi, semakin sering saya mengenakan celana ini, semakin saya sadar bahwa saya mengelap tangan saya ke celana ini setiap hari.”

Luscher merasa, saat ini, memang belum banyak inovasi yang ada untuk membuat “performance wear” — pakaian yang diklaim bisa meningkatkan performa atlet — untuk bidang esports. Namun, dia percaya, pasar performance wear untuk esports masih akan berkembang dalam beberapa tahun ke depan. Gamers akan memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan pasar tersebut.

Selain Nasser, sejumlah pemain esports profesional lain mengatakan bahwa memang ada pakaian yang membuat mereka merasa nyaman dan meningkatkan performa mereka, walau sedikit. Ialah Audric “JaCkz” Jug, pemain Counter-Strike: Global Offensive untuk G2 Esports. Dia mengatakan, compression sleeves adalah hal wajib untuk pemain game esports PC yang sering mengistirahatkan lengan mereka di meja.

“Fungsi compression sleeves adalah untuk mengurangi gesekan,” kata Jug. “Lengan saya terkadang menempel ke permukaan meja. Saya tidak perlu mengkhawatirkan hal itu ketika saya menggunakan compression sleeve.” Jug mengaku bahwa dia tidak disponsori oleh perusahaan manufaktur compression sleeves. Namun, dia telah menggunakan compression sleeves selama bertahun-tahun. Belakangan, dia menyadari bahwa semakin banyak pemain profesional yang mengenakan compression sleeves. Dia memperkirakan, ada setidaknya satu atau dua pemain dari setiap tim yang dia lawan yang mengenakan compression sleeve atau gaming gloves.

Atlet esports lain yang mengenakan compression sleeves adalah Mohamed “Revenge” Kaddoura, pemain League of Legends untuk Immortals. Tim esports itu punya kerja sama dengan POINT3. Biasanya, Kaddoura menggunakan compression sleeve dan sweater dari POINT3. Salah satu keunggulan sweater POINT3 adalah karena ia terbuat dari bahan yang menyerap keringat. Kaddoura mengungkap, dia mengenakan compression sleeve dan sweater demi kenyamanan. Dia ingin memastikan bahwa dia tidak merasa kedinginan ketika bertanding di arena esports, yang biasanya memang bersuhu rendah.

Tak hanya performance wear, sekarang, juga ada smartwatch khusus untuk gamers, seperti Garmin Instinct Esports Edition. Dalam Instinct Esports Edition, Garmin mencoba untuk menggabungkan fitur-fitur karakteristi smartwatch — seperti GPS dan fitur pelacak kesehatan — dengan tools untuk streamers dan pemain profesional. Salah satu fitur yang ada di Instinct Esports Edition adalah tracker kegiatan esports. Fitur ini memungkinkan Instinct untuk melacak detak jantung pengguna layaknya ketika dia berolahraga. Dari detak jantung pengguna, smartwatch itu akan menunjukkan indeks stres pengguna.

Garmin Instinct Esports Edition.

Menurut The Gamer, data dari Instinct Esports Edition bisa membantu para pelatih atau bahkan pemain profesional sendiri tentang bagaimana stres mempengaruhi performa gaming seseorang. Setelah mengetahui informasi ini, pemain atau pelatih diharapkan akan bisa menemukan cara untuk mengatur stres. Fitur lain yang ada di Instinct Esports Edition adalah STR3AMUP, yang memungkinkan pengguna untuk melihat data yang dilacak oleh smartwatch di PC secara langsung. Sehingga, pengguna bisa langsung mengetahui kapan dia mulai merasa stres, yang bisa terlihat dari detak jantungnya.

Ketika ditanya apakah wearable seperti smartwatch akan bisa mempengaruhi performa pemain, Gary mengaku sangsi. “Memang ada waktu untuk lihat jam saat main? Saya rasa, fungsinya lebih ke arah kesehatan saja deh,” ujarnya.

Sementara itu, AP mengatakan bahwa untuk para pemain mobile esports, belum diketahui apakah aksesori seperti sarung tangan bisa meningkatkan performa atlet esports. “Earphone-pun, beberapa pemain pakai, dan beberapa tidak,” katanya. “Untuk lebih tepatnya, belum ada studi khusus sih… Masih di-explore.” Lebih lanjut dia menyebutkan, saat ini, dia belum ada percobaan yang menunjukkan apakah wearable seperti smartwatch memang akan bisa membantu pemain untuk bermain dengan lebih baik.

Chuck Tholl adalah seorang Research Associate di German Sport University Cologne. Selama enam tahun terakhir, dia dan timnya meneliti tentang beban mental dan fisik yang dihadapi oleh para atlet esports. Mereka juga berusaha untuk mengembangkan program pelatihan dan pemulihan bagi pemain profesional yang cedera.

Tholl mengaku tidak heran jika nantinya, semakin banyak performance wear yang muncul untuk pemain esports. Dia berkata, sekarang, memang semakin banyak tim esports profesional yang memperlakukan para pemain layaknya atlet tradisional. Tim-tim tersebut tidak hanya mempekerjakan psikologis, tapi juga ahli nutrisi. Jadi, menurutnya, kemunculan produk performance wear adalah langkah berikutnya.

Meskipun begitu, Tholl juga mengakui bahwa, saat ini, masih belum diketahui apakah performance wear memang akan dapat meningkatkan performa pemain profesional. Satu hal yang pasti, dia menyebutkan, produk performance wear setidaknya bisa memberikan dampak psikologis positif.

Compression sleeves dari ASUS ROG. | Sumber: ASUS

“Sekarang, belum ada bukti fisik yang menunjukkan bahwa produk-produk itu — seperti compression sleeves dan lain sebagainya — memang bisa meningkatkan performa pemain,” ujar Tholl. “Tapi, efek placebo sering kita bahas. Jika Anda pikir produk itu bisa membantu Anda, bisa jadi, kepercayaan itu bisa menjadi nyata. Mengenakan pakaian tertentu bisa membantu Anda menjadi lebih fokus.”

Di dunia kesehatan, placebo effect didefinisikan sebagai efek semu ketika seseorang mengonsumsi “obat palsu”. Jadi, walau seseorang mengonsumsi obat kosong (tanpa zat aktif tertentu), otaknya akan meyakinkan tubuh bahwa dia telah mendapatkan pengobatan sehingga tubuh akan terpicu untuk melakukan proses penyembuhan.

Placebo effect bukan sekadar berpikir positif bahwa sebuah metode pengobatan akan bekerja,” kata Ted Kaptchuk dari Beth Israel Deaconess Medical Center, seperti dikutip dari blog Harvard. “Placebo effect adalah upaya untuk membuat ikatan yang lebih kuat antara tubuh dan pikiran.”

Terlepas dari apakah aksesori wearable bisa memberikan efek placebo, Herry mengatakan, fairness tetap menjadi hal yang paling harus diperhatikan oleh pihak penyelenggara turnamen. Dia menambahkan, jika penyelenggara turnamen ingin memperbolehkan penggunaan aksesori/alat bantu seperti gaming gloves dan compression sleeves, maka ada dua hal yang harus dipastikan. Pertama, aksesori tidak meningkatkan performa pemain secara signifikan. Kedua, semua pemain bisa menggunakan aksesori itu, untuk memastikan pertandingan tetap berjalan dengan adil.

Teknologi Majukan Olahraga Tradisional, Juga Bakal Terjadi di Esports?

Seiring dengan berjalannya waktu, industri olahraga terus berubah. Pada awalnya, raket tennis terbuat dari kayu. Kemudian, raket metal mulai populer untuk digunakan pada 1970-an. Setelah itu, material baru digunakan untuk membuat raket tennis, seperti aluminium dan graphite. Perubahan material ini membuat raket tennis menjadi lebih ringan.

Tak hanya material, desain raket tennis juga mengalami perubahan. Sekarang, bagian kepala raket menjadi lebih besar. Dalam sebuah video, Sports Engineering Research Group menjelaskan bagaimana raket dengan ukuran kepala yang lebih besar akan meningkatkan momen inersia. Dengan begitu, ketika raket digunakan untuk memukul bola, rotasi yang terjadi pada raket bisa diminalisir. Hal ini memungkinkan petenis untuk mengarahkan bola yang dia pukul.

Teknologi juga bisa meningkatkan performa atlet olahraga tradisional. Faktanya, sports engineering merupakan jurusan yang mengkhususkan diri untuk mengaplikasikan bagian teknis dari matematika dan fisika untuk memecahkan masalah di dunia olahraga. Masalah yang sports engineering coba pecahkan  beragam, mulai dari desain peralatan olahraga, memastikan keamanan atlet di olahhraga berbahaya, regulasi standar, sampai menganalisa performa atlet.

Salah satu manfaat sports engineering adalah kemunculan peralatan olahraga yang bisa meningkatkan performa atlet. Contohnya adalah baju renang polyutherane. Material polyutherane bersifat hidophobic, sehingga pemakainya bisa mengapung lebih tinggi. Jika atlet renang bisa mengapung lebih tinggi, dia akan bisa meminimalisir resistensi yang dia hadapi. Alhasil, perenang yang mengenakan baju renang polyutherane bisa berenang dengan lebih cepat. Inovasi baju renang polyutherane sukses meramaikan dunia renang. Buktinya, setelah atlet renang mulai menggunakan baju renang dari polyutherane, banyak rekor baru di dunia renang. Pada World Swimming Championship 2009 saja, ada 20 rekor dunia di olahraga renang yang dipecahkan.

Hanya saja, baju renang polyutherane mahal (US$500 per baju renang) dan hanya bisa digunakan beberapa kali. Jadi, tidak semua atlet renang bisa menggunakannya. Hal ini berujung pada larangan untuk menggunakan baju renang polyutherane pada 2009. Karena, pakaian renang tersebut bisa meningkatkan performa atlet secara signifikan. Dan hal ini dianggap membuat pertandingan menjadi tidak adil bagi atlet yang tidak bisa menggunakan baju renang polyutherane.

Baju renang polyutherane. | Sumber: Deutsche Welle

Dua contoh di atas menunjukkan bagaimana peralatan yang digunakan oleh atlet olahraga tradisional bisa berubah seiring dengan waktu. Dan teknologi yang dipakai pada peralatan atlet bisa mempengaruhi performa mereka. Saat ini, industri esports masih sangat muda. Ada beberapa hal yang industri esports tiru dari industri olahraga tradisional, seperti kompetisi franchise dan format kompetisi home-away. Ke depan, tidak tertutup kemungkinan, esports akan meniru bagian lain dari olahraga. Misalnya, penggunaan performance wear oleh atlet esports.

Namun, Herry percaya, esports tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan olahraga tradisional. Menurutnya, keberadaan mobile esports hanya akan mendorong perkembangan teknologi smartphone. Pasalnya, smartphone adalah satu-satunya perangkat yang diperlukan untuk memainkan mobile game. Dan saat bermain mobile game, atlet esports hanya perlu menggunakan tangan dan jari. Jadi, para pemain profesional tidak membutuhkan boost dalam kekuatan fisik.

“Anggap saja esports seperti catur. Keduanya tidak menggunakan equipment yang bakal mempengaruhi fisik peserta,” kata Herry. “Berbeda dengan olahraga tradisional, yang memang sangat mengutamakan kekuatan fisik. Misalnya, basket. Kalau pemain basket memang perlu peralatan yang bisa mendorong performa, seperti sepatu.”

Kesimpulan

Esports memang tengah naik daun. Sekarang, esports juga semakin diakui oleh masyarakat. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa industri esports masih muda. Banyak pelaku esports yang masih melakukan “coba-coba”. Mengingat esports punya kesamaan dengan industri olahraga, tidak heran jika sebagian pelaku esports memutuskan untuk meniru beberapa aspek dalam dunia olahraga. Misalnya, format kompetisi.

Sekarang, teknologi merupakan bagian penting bagi olahraga tradisional. Sports engineering sukses mendorong para atlet kelas dunia untuk memberikan performa yang lebih baik. Seiring dengan meningkatnya popularitas esports, mulai bermunculan peralatan dan aksesori yang dibuat untuk meningkatkan performa gamers atau pemain esports.

Saat ini, memang masih belum ada studi yang menunjukkan apakah performance wear untuk gaming dan esports bisa meningkatkan performa penggunanya. Namun, di level global, jumlah pemain profesional yang mengenakan performance wear mulai bertambah. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, di masa depan, pasar performance wear untuk gamers dan atlet esports memang akan menjadi semakin besar.

Sumber header: Trend Hunter

Naming Rights Agreements in Esports

In recent years, more and more non-endemic brands have decided to support esports players and esports organizations. One of the perks the esports sponsors usually receive is the installation of the company logo or name on the pro jersey. 

Unfortunately, broadcasting esports matches is vastly different from traditional sports competitions. When you watch sports broadcasts, you can clearly observe the athletes and their jerseys. However, most esports matches usually only show in-game events, which of course does not include the player. Players are rarely highlighted, and so their jerseys are also not often displayed. To work around this problem, most companies looking to sponsor an esports team opt to use naming sponsorships. As a result, the company’s name will be integrated and clearly displayed in the team name.

The History of Naming Rights Contracts in Esports

By 2020, the esports industry’s revenue is estimated to be nearly $1 billion USD. Sponsorships and media rights contribute to almost 75% of this total revenue. Furthermore, for most esports organizations, sponsors often contribute to almost all of their income and finances. According to Gaming Street, on average, about 90% of an esports organization’s total revenue comes from sponsorships.

Of course, all these sponsoring companies have their own set of goals they want to achieve from the collaboration. Based on the study called Sponsorship in Esports, most companies that sponsor esports organizations usually seek long-term goals such as building a reputation among esports fans. Short-term goals like increasing sales are usually not the primary motive behind these esports sponsors.

Indeed, being an esports sponsor will boost their popularity among the millennials and Gen Z, which are the large majority of the demographic of esports followers. According to another study titled Sponsoring Esports to Improve Brand Image, one-third of esports fans will usually prefer and perceive sponsoring brands more positively over non-sponsoring ones. Considering that today’s esports audience approximately reaches 474 million, sponsorship companies can effectively attract 158 million potential customers into their business.

The growth of esports viewership. | Source: Newzoo

Generally speaking, there are four types of sponsorship: media sponsors, promotional sponsors, in-kind sponsors, and financial sponsors. Media sponsors deal with secure advertising for an event through television, newspapers, or digital channels (such as websites and blogs). Promotional sponsors are similar to media sponsors. However, promotional sponsors usually involve only a single person with a large network of followers rather than a whole media outlet.

In-kind sponsors are usually businesses which can provide goods or services. Beverage brands, for instance, can become an in-kind sponsor by providing drinks to the viewers, tournaments officials, players, etc. The last and perhaps the most common form of sponsorship is financial sponsorship. As the name implies, financial sponsors will provide direct financial support or funds for the tournament, event, or organization they sponsor.

As mentioned previously, one of the perks that esports teams can offer to their sponsors is displaying the sponsor’s logo or name on the players’ jerseys. But, of course, we already knew the limitations of this approach. Therefore, some companies prefer to become name sponsors (or sometimes called title sponsors) and combine their brand name with the esports team name. After all, the name of the esports team will always be mentioned and displayed in the esports competition broadcast. So, by becoming the naming sponsor of the esports team, companies can exponentially increase their exposure towards consumers — especially esports audiences. So far, there are several esports organizations that have signed naming rights contracts with brands, both endemic and non-endemic.

Kia Motor is the name sponsor of DAMWON Gaming. | Source: Esports Insider

An example of an esports organization with a name sponsor is DAMWON Gaming, a South Korean organization that won the League of Legends World Championship in 2020. In December 2020, DAMWON announced its naming rights deal with Kia Motor starting in 2021, changing its team name to DWG MCH. DAMWON also introduced a new logo and jersey for their League of Legends team. Hyugho Kwon, Head of Korea Business Division in Kia Motors, explained that they wanted to “revitalize” the global esports ecosystem through the partnership with DAMWON. Kia Motors also wishes to promote and expose the brand to esports fans around the world.

Another esports organization that recently signed a naming rights contract is JD Gaming. The organization is part of the esports division of Jing Dong, an e-commerce company from China. The company that sponsored JD Gaming is Intel. The naming rights agreement, which lasts for two years, effectively changes JD Gaming’s brand name to JDG Intel Esports Club. Unfortunately, we have no information about the cost of purchasing JD Gaming’s name contract. 

Team SoloMid (TSM) has also just signed a naming rights contract in early June 2021 with a cryptocurrency exchange company from Hong Kong called Future Exchange (FTX). The partnership between TSM and FTX is reported to last for 10 years and is valued at US$210 million. TSM now undergoes with the brand name of TSM FTX. Again, FTX conducted this partnership in the hopes of marketing the brand to the American public.

Aerowolf’s partnership with Genflix. | Source: Twitter

In Indonesia, there is also an esports team that has signed a naming rights contract. The esports organization is Aerowolf. In May 2019, Aerowolf announced that Genflix, a local video streaming platform, had officially become their naming sponsor and changed its brand name from Aerowolf Roxy to Genflix Aerowolf. Just like FTX and most other name sponsors, Genflix’s goal behind collaborating with Aerowolf is to increase its brand awareness, especially towards the younger esports audience.

Advantages and Disadvantages of Naming Rights Agreements

Every company wants to have a popular and good brand reputation. In the midst of intense competition, having a positive brand image can be a massive game-changer in terms of generating revenue. And, of course, sponsorship is an easy and effective method to boost a brand’s reputation. Thus, many companies today who look into marketing their brand towards the younger demography will more often than not turn into sponsorships in esports.

According to Winnan, sponsoring events and teams are currently the best option in esports sponsorships. However, out of all of the aforementioned types of sponsorships, which one should you pick if you are looking to be an esports sponsor?

Naming or title sponsorships does look like the best option. After all, we already discussed why naming rights contracts are considered a far more superior form of sponsorship in esports. Other than the increased exposure in tournament broadcasts, naming sponsorships usually have a higher chance of capturing the loyalty of the fans. In a book entitled The eSports Market and eSports Sponsoring, author Julian Heinz Anton Stroh states that most esports fans are aware that companies that sponsor their favorite teams have goals of their own self-interest, such as increasing sales. However, fans also know that the esports industry needs sponsors to survive, which is why they often appreciate and care deeply about the support that sponsors provide.

Esports fans have high enthusiasm. | Source: ESTNN

Various studies also show that fans still gladly welcome non-endemic brands (companies that are not related to esports or gaming) to support the competitive gaming scene. Although most esports followers do slightly prefer sponsorships from endemic brands, the study by Stroh shows that 70% of esports fans still hope that more and more non-endemic brands will enter the esports scene.

Being an esports sponsor does improve the brand image in the eyes of esports fans. However, several other factors also affect the company’s reputation in a sponsorship deal, such as the activation method used by sponsors, the target audience, and the products offered by the company.

It is undeniable that the esports community is incredibly enthusiastic. If a sponsor can successfully “win the hearts” of esports fans, its brand will be vastly promoted on social media. Unfortunately, the enthusiasm of esports fans can also act as a double-edged sword. A slight fault or mistake in a sponsor’s message towards fans can spread bad reputation like wildfire. This fact also applies to naming rights contracts.

Naming rights contracts a form of partnership with the highest associativity since brand names are effectively combined together. Therefore, if either party is exposed to a scandal, the other will also be extensively affected. For example, if an esports team is caught in a cheating accusation, both the esports organization and the name sponsor will suffer from reputation damage.

The primary goal of name sponsor brands is often to get fans to associate their brand with the team. However, naming rights contracts sometimes don’t last long. And if the team name frequently changes, fans will eventually feel indifferent towards name sponsors. Another possibility that might occur is that fans will only remember the old name sponsor over new ones.

According to a Chron report, this exact scenario has occurred at Candlestick Park, the stadium of the San Francisco 49ers and San Francisco Giants. The stadium was initially named Candlestick Park in 1960. In 1995-2002, the stadium’s name was changed to 3Com Park. The name of the stadium changed again in 2004-2008 to Monster Park. However, today, most fans still associate the stadium name as Candlestick Park despite the two name modifications that took place. A simple solution to this problem that name sponsors can employ is to extend the name contract duration, similar to the partnership between TSM and FTX. 

Team SoloMid has just signed a naming rights agreement with FTX. | Source: Dot Esports

Naming rights partnerships are similar to company takeovers in the business world. Both of them have the potential to be profitable or yield extreme losses for both parties. A company acquisition or takeover is considered successful when the acquired company can contribute revenue greater than the initial purchase value. Take Facebook’s acquisition of Instagram in 2012 as an example. Although Facebook initially bought Instagram for $1 billion USD, Instagram today has more than 1 billion users and contributes over $20 billion to Facebook’s revenue each year.

However, startups or small companies do not always want to accept takeover offers. Sometimes, these companies may believe that they can independently grow into a business with a larger value than the acquisition price. An example of a company that resisted large corporate takeovers is Discord. Microsoft had offered $12 billion USD to acquire Discord. However, according to a Bloomberg report, Discord refused and instead look into the opportunity to go public in the future.

All these plus and minuses in company takeovers are also present in naming rights contracts. The deal between TSM and FTX, for instance, lasts for 10 years and is worth $210 million USD. Therefore, we can assume that the TSM brand is currently valued at $210 million USD. However, TSM might become more popular in the future, and their brand value might increase, favoring FTX. However, there is also a possibility that the performance and popularity of the TSM organization might decline over the next 10 years, which will cause FTX huge losses since their contract value decreases.

Naming Rights Contracts in Conventional Sports

Naming rights agreements are also a common occurrence in the conventional sports world. For example, several basketball teams in Indonesia have sold their naming rights to sponsors. One of these Indonesian basketball teams with a name sponsor is Satria Muda. 

Since its establishment in 1993, Satria Muda has signed naming rights contracts with several brands. In 1997, Coca-Cola Company’s AdeS brand became the first name sponsor of this Jakarta-based basketball team. As a result, the team name was changed to AdeS Satria Muda. A year later, in 1998, the team name changed again to Mahaka Satria Muda after signing a deal with PT Abdi Bangsa Tbk owned by Erick Tohir. In 2004, BRI through BritAma became the next name sponsor of the Satria Muda team, altering the team name to Satria Muda BritAma. The Satria Muda headquarters was also named The BritAma Arena as a result of the agreement. However, in 2015, Satria Muda signed their last and current name sponsor with Pertamina. Along with this change, the basketball team’s name was changed to Satria Muda Pertamina.

Another national basketball team that also has a name sponsor is Amartha Hangtuah. When it was initially founded in 2003, the basketball team undergoes by the name Hangtuah and only modified it to Hangtuah Sumsel Indonesia Muda five years later. This name was used until 2019 when Amartha decided to become the name sponsor of HangTuah. After the partnership, the basketball team became known as Amartha Hangtuah.

Amartha is currently HangTuah’s name sponsor. | Source: Kompas

Of course, not all sports teams are willing to sell the exclusive naming rights of their team. European football clubs, for instance, rarely sell the club’s naming rights and instead opt to sell the naming rights of their stadiums. For example, the Emirates airline bought the naming rights to Arsenal’s stadium in 2004. It is estimated that this 15-year contract between the two parties is worth £100 million. The deal also includes the installation of Emirates’ logo in the Arsenal player jerseys since the 2006-2007 season. Last year, Barcelona also just sold the naming rights of their stadium, Camp Nou, and donated the funds they receive to COVID-19 related charities. 

The main reason why most top-tier football clubs almost never give up their naming rights is that their club name is already “too well-known” to people around the world. Their club names, in some sense, are considered to be formally established. In contrast to the relatively new esports teams, most European football clubs are more than 100 years old. Four famous clubs in the UK were founded before 1900: Arsenal in 1886, Liverpool in 1892, Manchester City in 1880, and Manchester United in 1878. Therefore, it is very unlikely that these clubs will surrender the longevity of their brand name to sponsors. And if they were to open up a naming sponsorship deal, the price that they would set would be incredibly expensive. Most sponsors can perhaps already get a reasonable amount of exposure in regular sponsorship agreements with football clubs and thus would never opt to become title sponsors even if there is an opportunity to do so.

Naming rights contracts are not limited to sports teams or esports organizations. Some companies are also willing to become naming sponsors of sports events or esports competitions. Toyota, for instance, became the naming sponsor of Thailand’s national football league called Toyota League Cup. In the realm of esports, Intel is undoubtedly one of the most well-known tournament name sponsors. Intel Extreme Masters and Intel Grand Slam are two examples of Intel-sponsored esports tournaments. In Indonesia, JD.id has also conducted a name sponsorship agreement with Yamisok’s esports league called the High School League. Like all other name sponsors, JD.id’s goal behind this partnership is to increase brand awareness among high school esports players and viewers

Conclusion

The world of business is full of intense competition as hundreds of brands try their best to win the market and rise to the top. One of the most effective methods for a company to beat its competitors is building a good brand reputation and image, which is why many of them opt to become sponsors of popular sports or esports teams.

Placing a logo or company name on a player’s jersey is one of the most basic forms of sponsorship in conventional sports or esports. However, companies can further increase their exposure by conducting a naming sponsorship deal with the organization. By becoming a name sponsor, fans will immediately associate the brand name with their favorite team. But, of course, name sponsorship agreements can have potential repercussions for both parties as well. If one of the sides is affected by an issue, the other might also be severely affected. Like all business decisions, there are always pros and cons that must be carefully considered. Nevertheless, when it comes to esports sponsorships, the current hot trend and deals are happening in naming rights agreements.

Featured image: Freepik. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Kenapa Dota 2 Tidak Populer di Korea Selatan?

Banyak pemain esports yang berasal dari Asia, khususnya Tiongkok dan Korea Selatan. Selain jumlahnya yang banyak, pemain dari Asia juga dikenal berkualitas. Tidak sedikit pemain Asia yang menorehkan prestasi di kancah internasional. Sebelum ini, Hybrid.co.id juga pernah membahas korelasi antara etnis dan budaya dengan kemampuan seseorang dalam bermain game.

Salah satu alasan mengapa Korea Selatan dapat menelurkan banyak pemain esports yang sukses adalah karena budaya di negara tersebut yang memang mendukung. Tidak bisa dipungkiri, pemain Korea Selatan cukup mendominasi dalam beberapa game esports, seperti League of Legends, StarCraft, dan Overwatch.

T1 dianggap sebagai tim League of Legends terhebat sepanjang masa. Pasalnya, tim tersebut berhasil membawa pulang trofi League of Legends World Championship (LWC) sebanyak tiga kali. Selain itu, mereka juga pernah memenangkan League of Legends Champions Korea (LCK) sebanyak tiga kali berturut-turut. Satu-satunya tim esports lain yang berhasil membawa trofi LCK tiga kali berturut-turut adalah DAMWON KIA, yang juga memenangkan LWC 2020. Selain itu, Lee “Faker” Sang-hyeok, pemain T1, juga dianggap sebagai pemain terbaik League of Legends sepanjang masa.

Menariknya, walau League of Legends sangat dominan di Korea Selatan, Dota 2 — yang juga memiliki genre yang sama — justru kurang populer. Tanya: kenapa?

Awal Mula Dota 2 di Korea Selatan

Dota 2 diluncurkan di Korea Selatan pada 2013. Ketika itu, Valve menyerahkan tanggung jawab untuk merilis dan mempromosikan Dota 2 di Korea Selatan pada Nexon. Saat Dota 2 diluncurkan di Korea Selatan, League of Legends sudah populer. Agar Dota 2 bisa bersaing dengan game buatan Riot Games tersebut, Nexon bahkan membuat dan memberikan compendium khusus untuk akun dan pemain baru, seperti yang disebutkan oleh GosuGamers. Sayangnya, Dota 2 tidak pernah meraih popularitas yang sama seperti League of Legends.

Nexus bahkan membuat compendium sendiri. | Sumber: GosuGamers

Kabar baiknya, walau Dota 2 kurang populer di Korea Selatan, tetap ada organisasi esports yang tertarik untuk membuat tim Dota 2. Pada September 2013, tim MVP menandatangani kontrak dengan tim Dota 2 pertama mereka. Dua bulan kemudian, pada November 2013, MVP membuat tim Dota 2 kedua mereka. Pada 2014, Korean Dota League (KDL) mulai digelar. Keberadaan KDL memberikan harapan bahwa skena esports Dota 2 akan bisa tumbuh di Korea Selatan.

MVP.Phoenix berhasil meraih gelar juara dua di Korean Dota League Season 1. Di Season 2, mereka dapat menyabet gelar juara. Sementara di StarLadder StarSeries Season IX, mereka harus puas dengan peringkat 7-8. Pencapaian terbaik dari MVP.Phoenix adalah keberhasilan mereka untuk masuk ke The International 4. Mereka dapat lolos ke TI4 setelah mereka menjadi runner up dari TI4 Southeast Asia Qualifiers. Namun, performa MVP.Phoenix di TI4 kurang memuaskan. Dari lima pertandingan, mereka hanya bisa memenangkan satu babak, menempatkan mereka di posisi terakhir.

Meskipun ada tim Korea Selatan yang berhasil masuk TI, ketertarikan gamers akan Dota 2 tetap rendah. Hal ini diperburuk oleh keputusan Nexon untuk menutup server Dota 2 di Korea Selatan pada Desember 2015. Tutupnya server itu berarti, jika gamers Korea Selatan ingin bermain Dota 2, mereka harus bermain di server Asia Tenggara atau Tiongkok. Alhasil, mereka harus bermain dengan ping tinggi.

Kabar baiknya, MVP bersikukuh untuk mempertahankan kedua tim Dota 2 mereka, walau perjalanan karir kedua tim itu tidak mulus. Dan pada 2015, kedua tim MVP — MVP.Phoenix dan MVP.Hot6 — berhasil lolos ke The International. Sebelum maju ke TI, MVP.Phoenix telah memenangkan berbagai kompetisi di skena esports lokal dan regional Asia Tenggara. Mereka tidak hanya sukses memangkan semua turnamen Dota 2 di Korea Selatan, mereka juga menjuarai dua kompetisi regional SEA, yaitu IeSF Asian Championship dan Nexon Sponsorship Leagues.

MVP.Hot6. | Sumber: GosuGamers

Sementara itu, MVP.Hot6 terdiri dari empat pemain Korea Selatan dan satu pemain veteran asal Finlandia, Jesse “JerAx” Vainikka. Nantinya, JerAx akan masuk ke OG, yang memenangkan TI dua kali berturut-turut. Sama seperti MVP.Phoenix, MVP.Hot6 juga cukup sukses di skena esports Dota 2 Korea Selatan. Sayangnya, di TI5, MVP.Hot6 berakhir pada peringkat terakhir. Kabar baiknya, MVP.Phoenix dapat meraih peringkat 7-8.

Setelah TI5, MVP lalu membuat satu tim yang semua pemainnya berasal dari Korea Selatan. Tim itu merupakan gabungan dari Phoenix dan Hot6. Tim tersebut dapat memenangkan sejumlah kompetisi. Mereka menduduki peringkat 4 di Singapore Major, peringkat 5-6 di Manilla Major, dan merangkak ke peringkat 5-6 di The International 6.

Pada 2016, MVP.Phoenix memenangkan penghargaan “Best overseas activity award of the year”. Tahun itu merupakan kali kedua mereka mendapatkan penghargaan tersebut. Pada 2015, kedua tim MVP — Phoenix dan Hot6 — juga berhasil meraih gelar tersebut. Mereka mendapatkan gelar tersebut karena kesuksesan mereka untuk masuk ke TI. Kegigihan MVP menunjukkan bahwa mereka tetap bisa bertanding di kancah internasional, walau skena esports Dota 2 di Korea Selatan tidak ramai.

TI Membuat Tim Dota 2

Walau Phoenix dan Hot6 punya prestasi, kedua tim itu tetap dibubarkan oleh MVP pada 2016. Sejak saat itu, tidak ada lagi tim Dota 2 Korea Selatan yang berhasil menorehkan prestasi di skena Dota 2 global. Angin segar bertiup pada Agustus 2019. Saat itu, T1 — organisasi esports yang dikenal dengan tim League of Legends-nya — mengumumkan bahwa mereka akan kembali menjajaki Dota 2.

Sayangnya, tidak peduli seberapa keras usaha T1, mereka tetap kesulitan untuk menorehkan prestasi di Dota 2. Padahal, mereka telah bolak-balik mengganti roster tim Dota 2. Mereka juga pernah mencoba untuk mengembangkan talenta muda Dota 2 dari nol dengan membuat tim berisi tiga pelatih. Tim pelatih itu dipimpin oleh Choi “cCarter” Byoung-hoon, kepala pelatih tim League of Legends T1 yang pernah memenangkan Worlds Championship tiga kali. Meskipun begitu, usaha T1 tetap berujung pada kegagalan. Prestasi terbaik dari tim Dota 2 T1 ketika itu adalah masuk peringkat enam besar di ESL One Thailand 2020: Asia.

ESL One Thailand 2020: Asia.

Tim Dota 2 dari T1 baru mulai sukses setelah mereka menunjuk Park “March” Tae-won untuk membangun tim dari nol. Dia dianggap sebagai “mastermind” di balik MVP.Phoenix dan juga pernah menjadi pelatih dari TNC Predator. Setelah itu, tim Dota 2 mulai meraih berbagai gelar. Mereka berhasil menjuarai Dota Pro Circuit 2021: S2 – Southeast Asia Upper Division dan juga ESL One Summer 2021. Pada WePlay Major, DPC 2021: S1 – SEA Upper Division, serta BTS Pro Series Season 4: Southeast Asia, mereka berhasil menduduki peringkat tiga.

Apa yang Bisa Meningkatkan Popularitas Dota 2 di Korea Selatan?

Di Korea Selatan, Dota 2 tidak pernah bisa bersaing dengan League of Legends dari segi popularitas. Padahal, total hadiah dari turnamen Dota 2 lebih besar dari game buatan Riot tersebut. Selain itu, kesuksesan tim-tim Dota 2 Korea Selatan juga tidak menarik minat Valve untuk turun tangan langsung mengembangkan ekosistem esports Dota 2 di Korea Selatan.

Dalam wawancara dengan Dota Blast pada 2016, Kim “QO” Seon-yeop menceritakan tentang masalah yang ada di ekosistem esports Dota 2 di Korea Selatan. “Skena esports Dota 2 di Korea telah mati. Nexon tidak lagi mau campur tangan dan hanya beberapa ribu gamers saja yang masih bermain Dota 2,” ujarnya. “Saya rasa, jika ada pemain yang bisa bermain dengan baik dan memenangkan hadiah yang besar, media akan tertarik untuk meliputnya. Dan mungkin, hal ini akan membuat ekosistem esports Dota 2 kembali tumbuh.”

Sementara itu, Yongmin “Febby” Kim — yang dikenal senang bercanda — pernah berkata bahwa alasan mengapa Dota 2 kalah populer dari League of Legends adalah karena jumlah pemain perempuan yang meminkan game itu tidak sebanyak jumlah pemain League of Legends perempuan. Alasannya, skin dari Riot Games terlihat lebih lucu, membuat gamers perempuan lebih senang memainkan League of Legends. Dan jika tidak banyak perempuan yang memainkan Dota 2, maka para pemain laki-laki juga tidak tertarik untuk memainkan game tersebut.

Tentu saja, masalah ekosistem esports Dota 2 di Korea Selatan tidak sesederhana itu. Lee “Forev” Sang-don mengungkapkan pendapatnya tentang hal ini. Dia pernah menjadi bagian dari MVP sejak November 2013 sampai Agustus 2016. Dia juga pernah menjadi bagian dari tim T1 pada Agustus 2019 sampai Juli 2020.

Lee “Forev” Sang-don.

Forev mengaku, dia sebenarnya memainkan Dota 2 dan League of Legends. Namun, dia lebih menyukai Dota 2 karena game itu lebih sulit. Dia menceritakan, alasan mengapa dia memutuskan untuk berkarir sebagai pemain esports Dota 2 dan bukannya League of Legends adalah karena dia mendapatkan tawaran dari MVP setelah dia menyelesaikan wajib militer. Ketika itu, MVP tertarik dengan Forev karena dia pernah bertanding di AWCG Jakarta 2011.

Ketika ditanya apa yang membuatnya terus bertahan sebagai pemain Dota 2 saat Nexon mematikan server Korea Selatan, Forev menjawab, “Sejujurnya, tanpa bantuan organisasi MVP, kami tidak akan bisa melakukan apapun. Saat itu, kedua tim MVP berhasil masuk ke TI. Dan MVP memperlakukan kami para pemain dengan cukup baik. Jadi, saya tetap bisa mempertahankan karir saya di Dota 2 walau server Korea telah mati.”

Lebih lanjut Forev mengatakan, dia berharap, keberadaan tim MVP di TI5 akan membuat Valve menaruh minat pada Korea Selatan dan mendorong para gamers untuk mulai bermain Dota 2. Memang, mantan pemain League of Legends dan Heroes of the Storm sempat tertarik untuk memasuki skena esports Dota 2. Hanya saja, pada akhirnya mereka menyerah. Pasalnya, mempelajari dan menyesuaikan diri dengan mekanisme gameplay Dota 2 memakan waktu yang terlalu lama.

Forev juga mengaku pesimistis bahwa keputusan T1 untuk terjun ke ekosistem esports Dota 2 akan membuat komunitas game MOBA itu kembali tumbuh. Dia berkata, “Saya tidak tahu apa yang bisa membuat Dota 2 mengalahkan popularitas League of Legends di dunia. Tapi, saya cukup mengenal gamers Korea Selatan. Mereka menginginkan waktu tunggu yang lebih singkat, gameplay kasual, skin yang imut, dan sistem surrender. Saya percaya, keberadaan semua itu akan membuat gamers Korea Selatan menyukai Dota 2.”

Sumber: WePlay Holding via GosuGamers

Berbincang dengan Bos Agate tentang Skylab Fund dan Industri Game Indonesia

Pada awal September 2021, Agate memperkenalkan program pendanaan untuk developer game lokal, bernama Skylab Fund. Melalui program tersebut, Agate menawarkan investasi sebesar US$100 ribu hingga US$1 juta. Tujuan Agate untuk mengadakan Skylab Fund adalah untuk mendorong pertumbuhan industri game di Indonesia.

Hybrid.co.id mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan CEO Agate, Arief Widhiyasa, tentang Skylab Fund dan juga industri game di Indonesia secara keseluruhan.

Bagaimana animo akan Skylab Fund?

Sudah heboh bahkan di H-1 sebelum Skylab Fund diumumkan. Di hari H dan H-1, semua orang di industri game Indonesia ngomongin tentang Skylab Fund. Which is good animo for us. Karena target market kita kan memang developer game lokal Indonesia. Biar kita bisa maju bersama dengan fund ini.

Apa target Agate untuk Skylab Fund?

Kita nggak punya target. Karena dari segi fund, kita bisa naikkan jumlah dananya. Yang kami takutkan adalah dananya ada, tapi nggak ada developer untuk diinvestasikan. Kami juga nggak ada target jumlah developer yang harus diinvestasikan. Maunya sebanyak-banyaknya. Saat ini, di pipeline sudah ada satu.

Animo Skylab Fund bagus, tapi Agate tetap khawatir tidak ada developer yang bisa menerima dana. Apa karena jumlah developer lokal sedikit?

Ini masalah ayam dan telur. Kalau nggak ada investasi untuk buat industri game, wajar jika tidak ada orang yang mau menjadi developer game. Selama 10-15 tahun terakhir, investasi di industri game kecil, otomatis, jumlah developer/tim yang ada juga kecil. Makanya, sekarang kita berusaha untuk mengadakan investasi. Biar bisa scale up industri game lokal.

Apa memberikan investasi adalah cara terbaik untuk mengembangkan industri game lokal?

Salah satunya, iya. Jadi, ada dua cara untuk membangun industri game lokal. Pertama, tarik dari atas, yaitu dengan mengucurkan dana. Kedua, dorong dari bawah. Untuk itu, Agate juga punya program akademi. Kita mengajarkan para pelajar yang mau buat game. Kami juga kerja sama dengan universitas yang ingin mengajarkan game sebagai mata kuliah atau sudah punya fakultas khusus game. Kita bantu mereka. Apa yang mereka butuh, kita pasti kasih. Sejauh ini, kita sudah bekerja sama dengan 50-60 universitas.

Agate punya akademi untuk orang-orang yang tertarik dengan pembuatan game. | Sumber: Agate

Kita sudah mulai kerja sama dengan universitas sejak 2011. Saat ini, kita masih melakukan kerja sama dengan universitas. Dan kita bisa menghasilkan sekitar 2-3 ribu alumni per tahun. Kalau mereka sudah lulus dan mau masuk industri game, mereka perlu safety net. Karena itu, kami bekerja sama dengan Telkom untuk membuat Indigo Game, yang menawarkan funding sampai Rp2,7 miliar. Skylab Fund itu ada di atasnya.

Adakah syarat bagi developer game yang ingin mengajukan proposal di Skylab Fund?

Nggak ada. Saat sebuah developer membuat pitch untuk game X, yang perlu kami pastikan adalah di atas kertas, game X memang bagus. Kedua, developer memang bisa membuat game X. Mereka nggak harus punya track record. Bisa saja mereka fresh graduate. Tapi, selama mereka bisa deliver game X, kenapa tidak? Tapi tentu saja, kami akan adakan assessment.

Misalnya, developer mengklaim bahwa game mereka buat bisa dimainkan oleh seribu orang secara bersamaan karena menggunakan teknologi cloud terbaru. Ya sudah, buktikan. Bagaimana caranya? Kita akan mencari seribu orang untuk memainkan game itu secara bersamaan. Kalau hang, ya langsung game over.

Adakah preferensi platform dari Agate?

Multiplatform. Tapi model bisnisnya, kemungkinan besar game-nya harus free-to-play. Seperti Fortnite, revenue-nya kan lebih besar dari PlayStation, walau ia game free-to-play.

Membuat game multiplatform memang pasti lebih sulit. Tapi, semakin sulit endeavor-nya, semakin sedikit saingannya. Kita sengaja cari yang sulit, biar sedikit pesaingnya. Ngapain kita masuk ke space yang sudah banyak pesaingnya?

Hal-hal yang Agate cari melalui Skylab Fund. | Sumber: Agate

Untuk Skylab Fund, Agate akan lebih memilih game multiplayer PVE, kenapa?

Kita memilih itu (multiplayer PVE) setelah riset selama 9 bulan. Sampai sekarang, kita lumayan percaya diri dengan hipotesa tersebut. Tapi, industri game itu kan hit driven. Jadi, kita juga sebenarnya nggak yakin kalau hipotesa kita benar. Namun, kita punya chance-lah.

Kenapa Agate enggan menyentuk game PVP?

Membuat game PVP sulit, tidak banyak yang berani melakukan. Salah satu masalah di game PVP adalah matchmaking problem. Misalnya, kamu punya tim berisi tiga orang, levelnya sudah jago. Saya bermain berdua dengan teman, tapi kita masih cupu. Kita berlima nggak boleh di-pair. Karena nanti, experience-nya jelek. Kalian bakal marah terus ke kita berdua karena kita cupu.

Artinya, agar game bisa tetap terus berjalan, developer harus bisa mempertahankan sejumlah pemain yang ada di game. Kalau nggak bisa tahan users-nya, jumlah pemain dari game PVP bisa turun drastis. Contohnya, kita janjian untuk main. Setelah tunggu 15 menit, nggak dapat tim. Kesal, kan? Atau dapat tim, tapi dua orang langsung leave atau AFK (Away From Keyboard). Harus ada sistem ban. Sangat kompleks masalahnya.

Masalah teknis, seperti server, malah justru lebih solvable. Karena buat kita, masalah yang bisa diselsaikan pakai uang justru lebih gampang. Tapi, kita kan nggak mungkin bisa membayar users supaya mereka mau main dan nggak AFK. Memang, ada beberapa game yang bisa maintain users base. Tapi, nggak bisa hanya dengan community management.

Lokapala adalah game MOBA buaatan developer Indonesia.

Apa tolok ukur Agate untuk mengukur kesuksesan game yang didukung via Skylab Fund?

Revenue per tahun. Saat ini, target utama kami adalah agar ada game yang mendapat pemasukan per tahun sebesar US$1 miliar. Semoga bisa tercapai dalam 10 tahun.

Jika targetnya adalah pemasukan US$1 miliar per tahun, target pasarnya pasti gamers global. Apa kita bisa bersaing di sana?

Harus bisa. Kalau nggak, ngapain ada industri game Indonesia? Ngapain kita investasi umur sekian tahun kalau kita nggak berani maju ke global. Memang, kita seperti tim sepak bola yang mau masuk World Cup. Hampir nggak mungkin. Tapi ya, nggak apa-apa, kita mau mencoba. Karena itu, kita percaya kita bisa.

Kenapa industri game di Indonesia sulit maju?

Kita kalah ekosistem. Industri game kita baru dimulai sekitar 10-15 tahun. Jepang sudah dimulai dari sekitar 40 tahun lalu, dan Amerika Serikat 50-60 tahun lalu. Masalah lainnya adalah kita punya kebiasaan untuk tidak membangun industri sebagai sebuah negara. Kita lebih suka menjual diri sebagai konsumen. Satu-satunya produk Indonesia yang laku di global adalah mi instan. Sisanya, kita hanya menjual raw materials. Soal industri produk yang kompleks, seperti smartphone dan mobil, kita hanya merakit.

Apa kita bisa mengejar ketertinggalan di industri game?

Mudah-mudahan bisa. Tesis terakhir kita itu adalah Skylab Fund. Begitu program ini nggak jalan, kita akan buat studio di luar. We try our best. Analoginya, tim sepak bola kita isinya pemain naturalisasi semua.

Kita memang punya 2-3 ribu dari alumni program akademi kita, tapi mereka levelnya masih mahasiswa. Kalau kita butuh orang yang punya pengalaman 10 tahun… Dari 3 ribu orang yang lulus pelatihan, yang memutuskan untuk masuk ke industri game mungkin hanya 100 orang dan yang keterima bekerja di industri game mungkin hanya 50 orang per tahun. Berapa banyak orang yang tetap bertahan selama 10 tahun dan bisa menjadi semakin jago?

Bagaimana dengan transfer knowledge?

Kita sudah lakukan itu sejak beberapa tahun lalu. Cuma ada masalah di speed. Misal, kita butuh 100 orang yang sudah ahli. Tapi, dalam setahun, kita cuma bisa menghasilkan 5 orang ahli. Masa kita harus menunggu 20 tahun?

Untuk orang yang hendak memulai karir di dunia game, apa sebaiknya dia bekerja di developer game dulu atau langsung mencoba membuat game sendiri?

Tergantung seberapa kuat safety net-nya. Kalau orang itu terlahir sebagai anak orang super kaya, dikasih modal Rp100 miliar dari orang tua untuk buat game, saran saya adalah langsung nyebur, langsung buat game. Terus, cepat-cepat rilis game-nya. Jangan sampai game pertama baru dirilis setelah 3-5 tahun.

Saya lihat, ada beberapa pelaku industri game yang datang-datang bawa modal. Tapi, kesalahan terbesarnya adalah merilis game terlalu lama. Game pertamanya dirilis setelah tiga tahun. Setelah game dirilis, gagal, perusahaannya tutup. Kalau punya modal, sebaiknya dalam 3-6 bulan, langsung rilis game pertama, entah bagaimana caranya. Kalau nggak punya modal, tapi punya ide dan memang prodigy, boleh langsung pitch ke venture capital, biar bisa dapat fund. Kalau nggak, ya opsi terbaik adalah kerja di tempat lain dulu.

Sumber header: Facebook

Exclusive Interview: Strategi Tencent Kembangkan PUBG Mobile di Asia Tenggara

Pada 2020, keseluruhan hours watched yang didapatkan oleh semua kompetisi PUBG Mobile adalah 134,5 juta jam, menurut data dari Esports Charts. Hal ini menjadikan PUBG Mobile sebagai mobile esports paling populer pada 2020.

Dalam wawancara dengan Hybrid.co.id, James Yang, Director, PUBG Mobile Global Esports, Tencent Games, mengatakan bahwa Tencent memang punya tujuan untuk menjadikan PUBG Mobile sebagai mobile esportstier-one” di tingkat global. Dia mengatakan, untuk merealisasikan tujuan itu, Tencent harus bisa menjadikan PUBG Mobile populer secara global.

Mobile esports paling populer pada 2020, menurut hours watched. | Sumber: Esports Charts

“Tencent menggunakan strategi yang berbeda untuk masing-masing region, tergantung pada budaya esports, penerimaan masyarakat akan mobile esports, ukuran pasar gaming, dan lain sebagainya,” ujar Yang. Lalu, apa strategi Tencent di Asia Tenggara, yang merupakan salah satu pusat pertumbuhan industri mobile esports di dunia?

Keunikan Pasar Esports Asia Tenggara

Asia Tenggara bisa disebut sebagai salah satu pusat pertumbuhan industri mobile esports karena laju pertumbuhan industri competitive gaming di kawasan tersebut melebihi laju pertumbuhan industri esports global. Salah satu karakteristik Asia Tenggara adalah sebagian besar netizen-nya mengenal internet pertama kali dari perangkat mobile. Alhasil, mobile esports lebih populer di Asia Tenggara daripada game esports PC dan konsol.

“Asia Tenggara punya populasi besar, budaya esports yang kuat, dan sudah terbiasa dengan mobile esports. Jadi, kami akan menggelar turnamen esports lebih banyak dan memproduksi lebih banyak konten agar kami bisa menembus rekor di viewership,” kata Yang ketika ditanya tentang strategi Tencent untuk mengembangkan ekosistem PUBG Mobile di Asia Tenggara. “Kami juga mencoba sistem atau struktur baru di Asia Tenggara, seperti liga profesional baru atau regulasi baru.”

Walau kebanyakan negara di Asia Tenggara merupakan negara mobile-first, mereka tetap punya bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Keragaman budaya dan bahasa ini layaknya pedang bermata dua. Di satu sisi, publisher harus membuat konten esports dalam bahasa ibu masing-masing negara untuk menarik perhatian para fans esports. Di sisi lain, negara-negara Asia Tenggara cukup kompetitif dengan satu sama lain.

Viewership PMPL SEA Championship bisa didorong sikap kompetitif negara-negara Asia Tenggara.

“Setiap negara di Asia Tenggara punya budaya dan bahasa yang unik. Jadi, mereka punya kebanggaan nasional yang cukup kuat,” ujar Yang. “Dan hal ini bisa meningkatkan jumlah penonton dari kompetisi regional, seperti PMPL SEA Championship.”

Yang mengungkap bahwa laju pertumbuhan industri esports di Asia Tenggara bahkan mengalahkan laju pertumbuhan industri esports di Tiongkok dan Korea Selatan. Mengutip Newzoo, dia menyebutkan, laju pertumbuhan industri esports di Asia Tenggara pada 2019-2024 akan mencapai lebih dari 20,8%. Pada 2024, nilai industri esports di Asia Tenggara diperkirakan akan mencapai US$72,5 juta pada 2024.

Pentingnya Komunitas Esports

Yang mengatakan, salah satu kunci pertumbuhan industri esports di Asia Tenggara adalah kompetisi terbuka. Sementara itu, tiga hal yang bisa mendongkrak popularitas mobile game esports adalah mobilitas, aksesibilitas, dan gaya hidup.

Game yang bisa populer di tingkat global biasanya adalah game free-to-play,” ungkap Yang. “Karena, jika pemain harus membeli sebuah game untuk bisa memainkannya, hal ini memperkecil lingkup pasar dari game itu sendiri. Di kawasan negara-negara berkembang dengan populasi besar — seperti Asia Tenggara — dampak dari model bisnis yang digunakan akan menjadi semakin besar.” Dia menambahkan, hal lain yang bisa membuat sebuah game populer adalah jika game itu bisa dimainkan di smartphone dengan spesifikasi rendah sekalipun. Semakin rendah spesifikasi yang diperlukan oleh sebuah game, semakin tinggi tingkat penetrasi di pasar.

James Yang. | Sumber: Tencent

Selain itu, komunitas juga punya peran penting dalam kesuksesan sebuah game. Karena itulah, Yang mengatakan, Tencent berusaha keras untuk mengembangkan ekosistem esports yang lengkap untuk PUBG Mobile. “Kami punya ekosistem mobile esports dengan hirearki yang paling lengkap, mulai dari amatir, semipro, hingga profesional,” ujar Yang. “Kami juga terus mendukung tim developer, operasional, marketing, komunitas, serta tim regional kami.”

Yang menambahkan, selama ini, kebanyakan publisher fokus pada game PC dan konsol. Karena itu, sekarang, tidak banyak publisher yang siap untuk mengubah fokus mereka dan menginvestasikan sumber daya mereka untuk mengembangkan ekosistem mobile game.

Namun, hal itu bukan berarti Tencent puas diri dengan apa yang telah mereka capai. Untuk memastikan PUBG Mobile tetap relevan di masa depan, Yang mengungkap, Tencent akan terus melakukan inovasi. “Misalnya, kami akan meningkatkan total hadiah turnamen, terus memperbarui sistem poin dan regulasi yang digunakan, menggunakan aset art serta konten untuk komunitas yang berbeda,” kata Yang. “Kami akan kalah dari pesaing kami jika kami berdiam diri saja.”

Peran Pemerintah di Esports

Seiring dengan semakin besar nilai industri esports, semakin banyak pihak yang tertarik untuk ikut serta, termasuk pemerintah. Di Indonesia, salah satu bukti ketertarikan pemerintah dengan dunia esports adalah pembentukan Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI). Selain itu, pemerintah juga menyatakan esports sebagai cabang olahraga berprestasi. Sama seperti Indonesia, pemerintah dari negara-negara tetangga pun menunjukkan ketertarikan pada dunia esports.

Ketika ditanya apakah ketertarikan pemerintah negara-negara ASEAN akan memberikan dampak positif atau negatif pada industri esports, Yang menjawab, “Mendapatkan pengakuan adalah langkah positif untuk industri esports. Pengakuan itu tidak hanya bisa mendorong potensi ekonomi industri esports, tapi juga memberikan dampak positif di sisi sosial.” Dia menambahkan, esports telah tumbuh menjadi industri bernilai miliaran dollar. Karena itu, sudah pasti, pemerintah juga akan tertarik dengan esports.

“Pertanyaannya bukan lagi tentang ‘baik’ atau ‘buruk’, esports memang sudah pasti akan menarik perhatian banyak pihak karena popularitas esports yang terus naik,” kata Yang. Satu hal yang pasti, dia menegaskan, Tencent akan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh masing-masing negara. “Dan kami juga senang jika pemerintah mau berinvestasi dan menumbuhkan industri esports di negara mereka. Esports adalah industri yang sangat menjanjikan.”