Untuk sebagian orang awam, istilah desain UX mungkin masih terdengar sangat asing. Desain memang identik dengan seni, warna dan keindahan, namun jika kita gali lebih dalam lagi, pengertian desain secara umum dapat diartikan sebagai perancangan untuk membangun suatu obyek.
Bagaimana Dengan Desain UX?
Desain UX (User Experience) bukan hanya berbicara tentang desain dan keindahan. UX berbicara tentang bagaimana kita membuat suatu produk yang bermanfaat, mudah dan nyaman digunakan.
Dengan teknologi smartphone dan tablet yang sudah mendominasi eksistensi desktop, desain website dan UX pun juga harus mampu menyusul perkembangan tersebut. Mulai dari klik sebuah tombol, masuk ke dalam sebuah halaman sampai proses sebuah fungsi yang dibuat terasa flow-nya agar membuat user merasa terikat dengan produk kita.
Tren Desain UX
Apabila Anda memiliki website yang terintegrasi dengan UX yang baik, maka otomatis akan banyak pengunjung yang berpotensi menjadi pelanggan. Terlebih lagi jika pelanggan tersebut puas dengan produk atau jasa yang Anda tawarkan, besar kemungkinan mereka akan merekomendasikannya kepada orang banyak.
Hal ini tentunya sangat baik untuk impresi user saat menggunakan website dan keuntungan bisnis yang sedang Anda jalankan. Sebelum Anda mulai mendesain, sebagai designer ataupun pebisnis yang ingin memberikan pengalaman terbaik kepada pengunjung website, 5 trend desain UX berikut ini wajib untuk diketahui dan dijadikan referensi.
1. Infinite scrolling layout
Seperti yang sudah kita ketahui, generasi millennial sangat mendominasi angka pengguna internet, oleh karena itu kita juga harus mengetahui perilaku mereka saat mengunjungi sebuah website.
Mereka lebih suka mencari scrollbar yang biasa terdapat di sisi kanan layar dan tidak akan sungkan untuk tetap scrolling sampai halaman paling bawah hanya demi mendapatkan informasi yang mereka butuhkan.
Dengan begitu pengunjung akan mendapatkan informasi lebih cepat dan secara tidak langsung Anda juga sudah mendapatkan engagement mereka.
Contoh desain bertipe infinite scrolling [speckyboy]Website yang menggunakan tampilan infinite scrolling juga memiliki keuntungan teknis. User dapat dengan mudah mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan tanpa harus berpindah-pindah halaman, yang biasanya memakan banyak waktu untuk loading.
Beberapa contoh website yang menggunakan infinite scrolling layout: tumblr, 9gag, flickr, dan behance.
2. Ubah tampilan slider/carousel menjadi hero shot
Pernah melihat gambar bergerak dan berubah-ubah seperti animasi atau flash saat mengunjungi sebuah website? Itulah slider/carousel. Meskipun terlihat bagus, menarik dan cool, studi dari ConversionXL menunjukkan bahwa fitur tersebut mengganggu kenyamanan pengunjung bahkan berdampak buruk untuk SEO.
Daripada memperberat loading website dengan slider, akan lebih baik jika Anda menggunakan hero shot. Mungkin banyak dari Anda yang belum familiar dengan istilah ini. Hero shot adalah sebuah gambar yang membantu pengunjung website untuk membayangkan hasil dari produk yang Anda tawarkan.
Seperti gambar wanita cantik dengan rambut indah dan bergelombang pada website Luxury Hair berikut.
Contoh tampilan hero shot [Klientboost]Secara otomatis pengunjung website tersebut bisa dengan mudah mengerti manfaat dari produk yang ditawarkan.
Sudah banyak website yang menggunakan tampilan ini karena terbukti tidak memperlambat browser seperti slider/carousel.
3. Jangan berfokus pada gambar wajah (lihat buktinya dengan studi eye-tracking)
Dalam mendesain UX, tentunya kita diharuskan untuk fokus dalam menganalisa apa yang ada di dalam pikiran pengguna agar menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Dengan begitu strategi dalam mendapatkan engagement dari mereka akan berjalan dengan mudah.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan meminta live feedback dari pengguna website yang aktif melalui studi eye-tracking. Anda bisa menggunakan heat maps dengan SumoMe atau CrazyEgg untuk mengetahui di mana letak pengguna banyak menghabiskan waktunya di halaman website Anda.
Eye-tracking dapat menunjukkan kita seberapa efisien fitur dan konten yang di dalam sebuah website.
Sebagai gambaran, Anda bisa melihat studi kasus di bawah ini.
Bagaimana orang melihat suatu tampilan situs [StartupBisnis]Studi tersebut menunjukkan kepada kita bahwa pengguna website lebih suka melihat teks headline atau search bar dibandingkan gambar wajah yang mencolok.
Anda boleh saja menggunakan wajah seseorang untuk menarik perhatian user, namun yang terpenting adalah memiliki headline yang dapat memikat hati mereka untuk menggunakan produk atau jasa Anda.
4. Ask (and answer) questions
Mengerti maksud dari pengguna saat mengunjungi website Anda sangatlah penting ketika mendesain UX. Setelah mengetahui prospek-prospek apa saja yang membawa mereka mengunjungi website Anda, langkah selanjutnya adalah memberikan teks headline dalam bentuk pertanyaan (sekaligus jawabannya) pada homepage website, seperti yang dilakukan perusahaan agency Interactive Strategies ini:
Tampilan berbasis ide dan jawaban [Wordstream]Dalam teks tersebut, agency Interactive Strategies paham betul pertanyaan paling umum yang dilontarkan para pengunjung websitenya, yakni “Apa yang membedakan agency ini dengan agency lainnya?”. Itulah sebabnya mereka menanyakan hal tersebut di halaman homepage sekaligus memberikan jawaban yang terbaik.
Dengan mengetahui persoalan yang ada di dalam pikiran user, website Anda akan memiliki connection yang kuat dengan pengunjung sehingga potensi visitor to be customer pun akan terealisasi.
5. Implementasi AI (Artificial Intelligence)
Hidup pada era big data yang melaju pesat seperti sekarang ini sangat mempermudah kita untuk mengetahui behavior masing-masing pengunjung website. Jika Anda tidak mengambil data tersebut, Anda akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan engagement mereka.
Sebagai contoh, Anda bisa kunjungi website Netflix. Salah satu cara mereka mendapatkan engagement yang sangat baik kepada user adalah dengan mengoptimalkan sistem AI untuk mengumpulkan data mengenai masing-masing user.
Tiap kali user menonton sebuah film, otomatis film tersebut masuk ke dalam database dan film dengan judul terkait akan muncul pada halaman berikutnya.
Tampilan Netflix yang berbasiskan implementasi AI [filmtrooper]Goals Netflix adalah memastikan user untuk selalu memiliki film-film yang cocok dengan interest mereka.
Kesimpulan
Jika Anda ingin tim lain ikut terlibat dalam project pembuatan desain website (copywriter dan marketer), pastikan terlebih dahulu desain yang akan dihasilkan sesuai dengan kesepakatan awal bersama designer dan ambilah data valid dari pengunjung serta user. Dengan begitu pembuatan desain website akan berjalan lancar dan Anda akan mendapatkan banyak happy clients.
– Disclosure: Artikel tamu ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan Sribulancer
Uji coba sistem pembayaran melalui messenger yang dilakukan Facebook di Thailand menandakan semakin bertumbuhnya potensi social commerce di Asia Tenggara. Seiring dengan dominasi messaging sebagai bentuk interaksi sosial, tidak mengherankan apabila bisnis juga mulai beralih ke platform ini untuk memberi informasi, memahami, dan berjualan kepada pelanggan mereka. Tahap berikutnya dari revolusi teknologi ini jelas: robot otomatis yang bisa berinteraksi dengan pelanggan untuk mendorong dan memfasilitasi penjualan, menirukan percakapan manusia dan melakukan tugas berulang-ulang.
Butuh bantuan untuk menemukan sepatu yang cocok dengan sebuah pakaian? Bayangkan bisa mengetik “sepatu apa yang cocok dengan pakaian ini?” diikuti dengan foto pakaian yang Anda kenakan, dan hanya tinggal menunggu algoritma yang bisa langsung menganalisis dan memberikan tiga pilihan berbeda sesuai dengan kriteria Anda. Bayangkan bisa menyelesaikan pembelian Anda tanpa harus meninggalkan aplikasi messaging tersebut. Bisnis menyediakan pelanggan sebuah layanan yang nyaman, hemat waktu, dan mudah digunakan. Win win.
Di mana posisi chatbot saat ini?
Ada banyak tipe chatbot di lingkungan ecommerce saat ini yang dibuat untuk melayani kebutuhan yang berbeda seperti; menjawab pertanyaan pelanggan, menyediakan rekomendasi produk, dan menyederhanakan proses pembelian. Di bawah ini adalah beberapa contoh yang tersedia saat ini:
Facebook Messenger
Saat Facebook mengumumkan integrasi kemampuan ecommerce ke dalam aplikasi messenger populer mereka pada konferensi developer F8 di bulan April lalu, CEO Mark Zuckerberg mendemonstrasikan bagaimana mudah dan cepatnya proses mengirimkan bunga. Menggunakan 1-800-Flowers, pengguna diberikan saran memilih bunga untuk berbagai macam acara (“Terima Kasih”, “Ulang Tahun” dan “Cinta dan Romantis”), dan semua detail didapatkan langsung melalui tampilan chat.
Contoh tampilan bot Facebook
Banyak bisnis sudah menginvestasikan nominal yang besar dari anggaran marketing mereka untuk memiliki halaman Facebook yang engaging dan personal untuk melengkapi brand mereka dan mendorong trafik ke website. Ini juga merupakan transisi yang logis bagi mereka bagi mereka untuk juga mengadopsi chatbot dalam aplikasi nativemessaging milik Facebook.
Kik
Kik adalah platform sosial media lainnya yang telah menjadi semakin populer di AS dengan lebih dari 270 juta pengguna. Layanan chatbot-nya telah menarik perhatian banyak perusahaan terkenal – salah satunya adalah makeup retailer, Sephora. Layanan chatbot mereka tidak saja menyediakan metode bagi pengguna untuk berbelanja produk, tetapi juga memungkinkan mereka untuk bertanya apapun tentang kecantikan, ulasan makeup, rekomendasi produk, dan tips. Interaksi ini juga dihiasi oleh emoji yang membuat balasan otomatisnya terlihat seperti dilakukan oleh perwakilan manusia sebuah brand.
Chatbot Sephora di Kik. [Sumber]WeChat
Dengan lebih dari 760 juta pengguna aktif bulanan, WeChat telah memposisikan dirinya sebagai aplikasi messaging yang dominan di Cina. Namun, fitur-fitur yang tersedia dalam WeChat telah jauh melampaui chatting. Tanpa harus meninggalkan aplikasi, beberapa hal yang bisa dilakukan pengguna adalah; memesan makanan, memesan taksi, membuat janji dengan dokter, mengikuti akun brand favorit mereka dan membayar tagihan. Melalui WeChat, Nike menciptakan chatbot yang menyediakan berita dan update perusahaan kepada penggemar, serta secara konsisten berkomunikasi dengan pengguna.
Pertumbuhan Penetrasi Internet
Faktor utama yang mendorong ecommerce dan revolusi chatbot di Asia Tenggara adalah pertumbuhan jumlah orang yang menggunakan internet. Pengguna internet yang berjumlah 199 juta di tahun 2014 diprediksi akan meningkat menjadi 294 juta pengguna pada 2017. Dari 150 juta konsumen digital yang mencari produk secara online, dua pertiga dari mereka akan melanjutkan melakukan pembelian di sana.
Penetrasi pengguna internet di beberapa negara Asia Tenggara [Frost & Sullivan]Mobile adalah Raja
Bagi para pengguna, metode tradisional ecommerce – membuka browser, menavigasi melalui banyaknya halaman dan barang, dan memilih detail barang untuk check out – terasa membosankan dan tidak alami di mobile karena ukuran layarnya yang kecil dan kemampuan multitask yang terbatas. Bisnis perlu mencari solusi alternatif yang bisa memastikan bahwa proses pembelian bisa dilakukan sesederhana mungkin di perangkat seperti ini. Tampilan chatbot memanfaatkan prilaku pengguna yang telah mengadopsi telepon seluler: melakukan percakapan, di mana saja, kapan saja.
Penetrasi pengguna smartphone di beberapa negara Asia Tenggara [Frost & Sullivan]Pertempuran Aplikasi
Berkat pengenalan iPhone pada tahun 2007 lalu, aplikasi memainkan peran besar dalam membentuk teknologi serta berkontribusi terhadap ketergantungan kita pada ponsel. Yang kemudian menjadi masalah adalah konsumen tidak lagi ingin mencoba aplikasi baru dan menyadari bahwa mereka tidak memerlukan begitu banyak aplikasi.
Bukan saja memerlukan biaya yang mahal untuk membangunnya, memerlukan biaya mulai dari $50.000 sampai $1.000.000, namun juga diperlukan investasi untuk memasarkan aplikasi tersebut dan membuat pengguna mau mengunduh dan menggunakan aplikasi tersebut secara teratur. Dengan kejenuhan aplikasi baik pada iOS maupun Android serta terbatasnya aplikasi alat pencarian, semakin sulit pula bagi para pemain baru untuk muncul ke permukaan.
Pengguna smartphone menghabiskan kebanyakan waktunya di satu aplikasi, yang berarti, sebagai bisnis, di sanalah Anda harus berada.
Messaging: Sebuah platform baru
Membuat chatbot di dalam sebuah aplikasi messaging menjadi menarik karena sudah ada pihak lain yang melakukan sebagian besar dari kerja kerasnya untuk Anda. Di Asia Tenggara, ada lebih dari 73 juta orang yang menggunakan aplikasi LINE. Chatbot yang terintegrasi memberikan bisnis kesempatan untuk langsung menjangkau jumlah pengguna yang besar ini tanpa memaksa pelanggan potensial untuk mengunduh aplikasi lain lagi.
“Messaging apps are the platforms of the future, and bots will be how their users access all sorts of services.” — Peter Rojas, Entrepreneur in Residence at Betaworks
“Aplikasi messaging adalah platform yang akan digunakan di masa depan dan bot akan menjadi cara penggunanya mengakses semua layanan yang ada.” – Peter Rojas, Pengusaha di Betaworks
Lebih lanjut lagi, perusahaan-perusahaan ini juga menyediakan developer API sehingga lebih mudah bagi para perusahaan untuk membuat bot mereka sendiri karena kebanyakan tidak memiliki kemampuan teknis atau sumber daya yang dibutuhkan untuk membangun chatbot cerdas dari awal. Sebagai gantinya, platform ini dipenuhi dengan data pelanggan; mimpi bagi semua marketer.
Dengan keserbagunaan yang jelas terlihat melalui iklan Facebook yang memungkinkan perusahaan untuk menargetkan penerimanya berdasarkan apa pun, mulai dari lokasi hingga ke minat, bayangkan tingkat personalisasi dan segmentasi yang bisa dimungkinkan melalui ekstensi Messenger mereka.
Membangun masyarakat social commerce
Ekonomi Asia Tenggara sudah sangat terlibat dalam sosial commerce, marketplace yang dibangun dalam dinding-dinding media sosial. Menurut sebuah studi dari Bain & Company yang dirilis tahun ini, lebih dari 80% dari konsumen digital menggunakan media sosial atau aplikasi messaging untuk meneliti produk dan berhubungan dengan penjual. Selain itu, penjualan sosial menyumbang hingga 30% dari keseluruhan transaksi online.
Thailand memiliki pasar C2C terbesar di dunia dengan lebih dari 50% responden penelitian mengatakan bahwa mereka membeli barang-barang yang melalui jaringan sosial seperti Facebook dan Instagram.
Keajaiban chatbots adalah bahwa mereka mampu meniru esensi percakapan perdagangan. Diatur dalam tampilan yang sama, pengguna dapat berbicara dengan bot dengan cara yang sama dengan ketika mereka berbicara dengan penjual manusia melalui serangkaian pertanyaan dan jawaban. Dalam situasi seperti ini, algoritmanya bahkan bisa diciptakan untuk mensimulasi dialog tawar menawar yang terjadi dalam transaksi sehari-hari.
Jalan Masih Panjang
Melalui chatbots, bisnis memiliki kesempatan untuk memulai pembicaraan langsung dengan target konsumer mereka dengan sangat personal. Interaksi brand-to-customer adalah sesuatu yang belum pernah benar-benar scalable sampai sekarang. Meskipun chatbot tidak dapat menggantikan tampilan dengan beragam fitur seperti yang disediakan oleh sebuah situs web, mereka menjembatani kesenjangan antara fungsionalitas dan kenyamanan.
“Every brand is going to move into the mobile commerce space very quickly. In the next years, we will probably see 20-30% of the big brands having their own bots in chat apps, starting with Facebook’s messenger platform.” — Pat Wattanavinit, Product Manager at aCommerce
“Setiap brand akan pindah ke ruang mobile commerce dalam waktu yang singkat. Kita akan melihat 20-30% brand besar akan memiliki bot-nya sendiri di berbagai aplikasi chat, di mulai dari platform Messenger milik Facebook.” – Pat Wattanavinit, Product Manager di aCommerce
Keadaan fungsi chatbot saat ini masih cukup linear dan kaku, terlalu dini bagi perusahaan untuk benar-benar menggantikan customer representatives mereka. Beberapa pengguna melaporkan bahwa percakapan yang terjadi saat ini memfrustasikan dan lambat karena pemahaman dan kemampuan bot yang terbatas, bayangkan ini seperti interaksi Anda dengan Siri.
Chatbot tidak akan benar-benar menjadi sangat berharga dan memuaskan sampai AI (artificial intelligence) mampu mencapai tingkat pemahaman manusia, namun hal itu adalah sebuah cerita yang berbeda.
– Disclosure: Tulisan ini dibuat Shirley Liu & Alexandre Henry dan disadur oleh Rara Kinasih setelah melalui penyuntingan. Artikel aslinya bisa diakses di sini.
Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.
Banyak orang yang berpikir bahwa membuat startup adalah sesuatu yang keren, dapat membuat mereka terlihat hebat, dan bahkan membuat mereka berani bermimpi untuk mengubah dunia termasuk dirinya sendiri. Harapan untuk memiliki hidup dan masa depan yang lebih baik pun muncul ketika mereka memulai berkiprah di dunia startup.
Banyak perusahaan startup bermula dari seseorang atau sekelompok orang yang visioner. Mereka mencoba untuk menciptakan solusi yang dirasa mampu untuk memenuhi permasalahan umum yang ada. Beberapa ide memang sesuai dengan kebutuhan, ada yang cukup sesuai dan ada pula beberapa ide cukup bombastis tapi tidak mampu untuk menyelesaikan permasalahan. Tipe yang manakah kamu?
Singa ini mungkin tidak mengerti sedang diberi umpan hampa / Thinkfresh
Seperti sektor usaha lainnya, beberapa perusahaan startup harus memiliki biaya operasional untuk menjalankan usahanya. Beberapa mendapatkannya dari investor, beberapa sudah memikirkan cara untuk mendapatkan uang ketika mereka memulai startup, dan beberapa mendapatkan rumus tepat untuk mendapatkan uang sambil menjalaninya.
Mendapatkan pengalaman saat ide diapresiasi dalam bentuk modal oleh investor merupakan hal yang menciptakan perasaan bahagia melebihi apapun. Di saat yang bersamaan, tubuh memproduksi hormon serotonin dan dopamine secara berkesinambungan. Hal tersebut, tanpa disadari akan meningkatkan ego seseorang. Hampir seluruh pendiri startup gagal karena mereka tidak menyadari ego mereka menjadi penghambat untuk kemajuan perusahaan baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Beberapa orang yang kerapkali mendapatkan kesuksesan terus menerus akan memiliki ego syndrome. Mereka berpikir mereka adalah sosok yang terpintar, terhebat dan mampu melakukan apapun. Akibatnya mereka kerap kali mengacuhkan pendapat dari pegawainya yang justru memiliki kemampuan di sisi tersebut. Mereka menjadi sosok yang selalu benar dan menuding pihak lain salah ketika bertukar pikiran atau mengambil keputusan. Coba diingat, apakah kamu juga termasuk sosok seperti itu?
Sindrom ini dapat menjadi wabah yang menjangkitkan orang sekitar. Hal ini berpengaruh pada tingkat akurasi dan performa tim.
Seperti yang saya jabarkan di buku saya, don’t let your ego blind you. Kita harus lebih peka untuk menyadari fase jika ego mulai merasuki dan mengontrol diri. Kita dapat mencegah hal tersebut dengan cara selalu merefleksikan diri.
Memperhatikan apa saja tindakan kita, apa saja yang kita katakan dan bagaimana cara kita memperlakukan orang lain diberbagai kesempatan yang kita miliki. Kita harus berupaya untuk melakukannya. Memiliki pemahaman diri bahwa kita bukan sosok yang sempurna dan masih selalu membutuhkan sosok lain untuk menolong kita untuk mencapai sukses bersama merupakan hal yang penting.
Jangan sampai ego membutakanmu / Thinkfresh
– Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh Danny Oei Wirianto, CMO GDP Venture dan penulis buku Thinkfresh.
DailySocial mendukung peluncuran Thinkfresh yang akan terbit tanggal 27 September 2016
About Thinkfresh book:
Daily inspiration and reminder for readers about what is important in life & career, and give a self-assurance toward themselves. Simple and easy to understand writing. And also full of wonderful illustrations!
Sebagai negara mobile-first dengan jumlah pengguna koneksi mobile lebih banyak dibanding penduduknya, 326 juta pengguna vs. 255 juta penduduk, para penyedia telekomunikasi Indonesia sedang berada di posisi terbaik untuk membentuk masa depan e-commerce dan mobile commerce di Indonesia.
Namun meski sektor telekomunikasi menyumbang 3,14% dari total GDP di Indonesia pada tahun 2014, menempatkan pasar mobile di Indonesia sebagai yang terbesar keempat dan masuk ke dalam 10 besar pasar 3G, bagaimanakah posisi raksasa telekomunikasi di tengah maraknya belanja online di kawasan ini?
Kondisi masyarakat digital Indonesia 2016
Dari telekomunikasi ke ‘telecommerce’
Secara tradisional, perusahaan telco dulunya adalah satu dari sedikit pihak yang memiliki akses langsung ke pelanggan. Namun seiring dengan booming-nya e-commerce, hal ini perlahan berubah. Sektor telekomunikasi di Indonesia didominasi oleh tiga pemain besar; Telkom, Indosat Ooredoo dan XL Axiata, yang meraup 80% dari total market share di Indonesia.
Tiga perusahaan ini pun tidak melewatkan kesempatan untuk membantu membangun sektor e-commerce di nusantara, baik melalui investasi ataupun strategic partnership. Di bawah ini adalah snapshotlandscape perusahaan telco di Indonesia dan partisipasi mereka dalam membangun perusahaan telecommerce.
Telkom x eBay: Blanja.com
Dimiliki negara sebesar 52.6%, Telkom memiliki jaringan dan merupakan penyedia layanan telekomunikasi terbesar di Indonesia. Telkomsel, subsidiary untuk penyedia layanan mobile, memiliki kontrol sebesar 46% dari total market share di Indonesia dengan lebih dari 152 juta pengguna.
Sejak tahun 2009, perusahaan ini telah menjelajah ke ruang e-commerce lokal dengan menginvestasikan $5 juta di sebuah perusahaan e-commerce bernama Plasa.com. Plasa.com kemudian berubah menjadi proyek di bawah MetraPlasa dan merger dengan Blanja.com, sebuah usaha bersama dari Telkom dan eBay yang diluncurkan pada tahun 2012.
Setelah kerjasama terjalin, eBay menyuntikkan dana sebesar $9.2 juta ke marketplace ini, memberikan eBay kepemilikan sebesar 49% dan 51% untuk Telkom. Sebagai tambahan, partnership ini juga mengizinkan merchant di Blanja bisa dengan mudah memasarkan produk mereka dalam skala global dan dengan harga yang lebih murah melalui koneksi eBay.
Sebagai tanda dari komitmen mereka untuk berpartisipasi di industri ini, bulan April lalu Telkom melalui subsidiary-nya, TelkomMetra, dan eBay menginvestasikan dana segar sebesar $25 juta ke Blanja. Pendanaan ini akan dipimpin oleh Telkom yang akan berkontribusi sebesar 60% atau sekitar $15 juta. Blanja telah mencatatkan nilai transaksi sebesar $35 juta pada tahun 2015 dan saat ini ada di peringkat #198 untuk web traffic di Indonesia berdasarkan data dari SimilarWeb. Blanja saat ini dipimpin oleh CEO Aulio Marinto.
Namun demikian, bahkan dengan segala sumber daya tersebut di jangkauan mereka, pertumbuhan situs marketplace ini masih tertinggal jika dibandingkan dengan kompetitornya seperti Tokopedia dan Lazada. Hal ini diperkirakan juga disebabkan oleh pembatasan yang ditetapkan untuk para vendornya seperti keharusan memiliki izin resmi pemerintah untuk mendaftar di website dan larangan menjual barang second-hand.
Indosat Ooredoo: Cipika Store
Perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Indonesia ini memiliki 69.8 juta pengguna dalam database nya. Berdiri sebagai perusahaan milik negara, Indosat diakuisisi oleh perusahaan telekomunikasi asal Qatar, Ooredoo Group, pada tahun 2009 dan kemudian berubah nama menjadi Indosat Ooredoo pada tahun 2015. Saat ini pemerintah hanya memegang 14.29% saham di Indosat. Awal tahun ini, perusahaan ini juga mengumumkan kemitraan dengan IBM untuk mengembangkan dan memberikan solusi pada platform IBM, Bluemix.
Melalui anak perusahaannya, IM2, Indosat pernah meluncurkan sebuah marketplace yang disebut TokoOn pada tahun 2012. Di tahun 2014, marketplace ini kemudian berpindah ke sebuah platform e-commerce dengan nama baru, Cipika Store, yang menjual kuliner dan kerajinan lokal Indonesia. Sejak itu, beberapa kategori baru juga telah ditambahkan di marketplace ini; gaya hidup, gadget, rumah dan hiburan, buku, dan permainan. Platform ini juga memungkinkan orang untuk membeli produk grosir dengan harga lebih murah.
Situs ini berada di peringkat #4166 di Indonesia berdasarkan data SimilarWeb, tertinggal jauh dengan dua perusahaan “telecommerce” lainnya. Meskipun tidak menjual produk yang sama persis, situs ini menghadapi persaingan dari Qlapa dan KedaiKuka dalam kategori produk lokal Indonesia dan pemain seperti Lazada dan Tokopedia dalam kategori lain.
XL Axiata x SK Planet: Elevenia
XL adalah perusahaan swasta pertama di Indonesia yang menyediakan layanan telepon seluler yang awalnya merupakan sebuah perusahaan perdagangan dan jasa umum. Pada tahun 2009 perusahaan ini dibeli oleh Axiata Group dan sejak saat itu berganti nama dan logo menjadi XL Axiata. Per Maret 2016 XL Axiata memiliki 42.5 juta pengguna, turun 19% dari 52.1 juta pengguna pada Maret 2015.
Pada tahun 2013, Elevenia diluncurkan sebagai perusahaan patungan antara XL Axiata dan SK Planet, operator telekomunikasi Korea. Investasi awal yang dilakukan adalah $18.3 juta, dengan kedua perusahaan berbagi kepemilikan fifty-fifty. Dipimpin oleh James Lee sebagai CEO, total investasi yang telah dikantongi oleh marketplace ini sampai saat ini adalah $110 juta, menempatkannya sebagai salah satu dari lima startups paling didanai di Indonesia.
Sejak awal keberadaannya hampir tiga tahun yang lalu, Elevenia telah berusaha untuk membedakan dirinya dari marketplace yang lain dengan sistem poin dan rewards untuk penjual dan pembelinya. Penjual dapat menggunakan poin yang dikumpulkan untuk meningkatkan penjualan mereka dengan hal-hal seperti penempatan iklan dan memberikan diskon untuk pembeli. Elevenia juga menyediakan fasilitas edukasi untuk penjual di seksi ‘Seller Zone’ mereka.
Dibandingkan dengan perusahaan “telecommerce” yang disebutkan di atas, Elevenia memiliki kinerja terbaik sejauh ini dengan pendapatan sebesar $95 juta (1.3 triliun IDR) di tahun 2015. Situs ini ada di peringkat #21 di Indonesia dan mereka memproyeksikan potensi pertumbuhan penjualan lima kali lipat di tahun 2016.
Statistik perusahaan telecommerce di Indonesia
Membangun ekosistem
Masuk ke ranah e-commerce hanyalah satu cara bagi para perusahaan telekomunikasi ini untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya yang ada di ujung jari mereka. Terbukti bahwa memiliki akses langsung ke pengguna tidak cukup untuk memastikan keberhasilan mereka dalam dunia ritel online.
Telco perlu memanfaatkan jaringan mereka lebih lagi untuk meningkatkan keberhasilan bisnis e-commerce mereka. Kabar terbaru tentang partisipasi MDI, modal ventura milik Telkom, dalam pendanaan terbaru bagi e-commerce-enabler aCommerce adalah salah satu cara membangun ekosistem e-commerce yang berkelanjutan.
Masih banyak perubahan yang perlu dilaksanakan agar peralihan ke ‘telecommerce’ dapat berhasil. Mengingat pasar yang ditargetkan Cipika Store adalah niche, akan sulit untuk memperbesar bisnis (scale up) tanpa menghabiskan banyak uang untuk mendapatkan lebih banyak pengguna. Pembatasan yang dilakukan karena asosiasinya dengan pihak pemerintah menjadi salah satu alasan pertumbuhan Blanja tidak optimal, meskipun Telkom memiliki lebih dari tiga kali lipat pengguna dibanding XL Axiata. XL Axiata sementara itu memiliki portofolio e-commerce yang paling sukses dari tiga e-commerce di atas, kemungkinan karena nilai unik yang ditawarkan marketplace ini kepada para penjual maupun pelanggannya.
E-commerce di Indonesia masih berada pada tahap awal dari sebuah “lomba marathon” yang panjang, dan meskipun sekarang berposisi di belakang pemain besar seperti Lazada dan Tokopedia, masih banyak putaran selanjutnya bagi perusahaan-perusahaan ini untuk meningkatkan posisi mereka sebelum mencapai garis finish.
– Disclosure: Tulisan ini dibuat oleh Rara Kinasih setelah melalui penyuntingan. Artikel aslinya bisa diakses di sini.
Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.
Sembunyi di balik semak-semak dan pepohonan, menggunakan coret-coretan di wajah, dan melakukan baku tembak dengan musuh negara di medan pertempuran. Agaknya, gambaran itu menjadi hal umum yang ada di benak masyarakat mengenai TNI Angkatan Darat (AD). Harus diakui, sejak awal pelatihan militer, TNI AD memang membentuk para prajurit untuk melaksanakan pertempuran konvensional. Sebelum era digital seperti sekarang ini, ancaman militer masih bersifat tradisional.
Nyatanya, bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara semakin berkembang dari hari ke hari. Jika sebelumnya bertarung dengan senjata api, kini ancaman yang bersifat non-tradisional mulai menunjukkan batang hidungnya.
Perkembangan ancaman terhadap kedaulatan negara, baik yang bersifat tradisional maupun non tradisional, saat ini semakin dinamis. Ada yang dilakukan oleh state actor, tapi tak jarang juga ada peran non-state actor. Yang pasti, mereka melakukannya dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Merujuk pada UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI, disebutkan bahwa TNI bertugas menjaga kedaulatan negara dari ancaman dan gangguan melalui operasi militer perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP). Dalam melaksanakan tugasnya, saat ini TNI AD menghadapi ancaman yang semakin kompleks, yang merupakan gabungan dari ancaman tradisional dan non tradisional, atau biasa disebut ancaman hibrida.
Implementasi Teknologi untuk Mengimbangi Perkembangan Ancaman
Perlahan tapi pasti, ancaman-ancaman siber mulai terdengar gaungnya di dunia pertahanan internasional, yang hampir menyamai serangan konvensional. TNI AD, sebagai garda terdepan dalam menjaga keutuhan Republik Indonesia, merasa terpanggil untuk melakukan penyesuaian diri agar lebih melek terhadap dunia teknologi informasi dan komunikasi.
Untuk mencapai tujuannya, state actor dan non state actor sudah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai media dan didukung dengan peralatan dan persenjataan teknologi tinggi. TNI AD dengan sigap segera memenuhi kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang memiliki spesifikasi teknologi tinggi pula untuk mengimbangi perkembangan ancaman, baik saat ini maupun yang akan datang.
Sejauh ini TNI AD secara bertahap sudah mengimplementasikan teknologi melalui peremajaan peralatan dan alutsistanya berbasis komputerisasi. Mekanisme kerja sehari hari di satuan jajaran TNI AD sudah menggunakan sistem informasi melalui pembangunan aplikasi untuk mempermudah dan mempercepat tugas serta dapat memberikan data yang lebih akurat.
Sebagai contoh termutakhir, TNI telah memaksimalkan teknologi informasi menggunakan pesawat tanpa awak (drone) untuk menghadapi kasus terorisme di Poso. Kala itu, prajurit berhasil mendapatkan data-data tentang keberadaan makhluk hidup melalui sistem informasi yang ditangkap dan diolah oleh drone, sehingga mereka lebih mudah dalam mencari target.
Menyikapi tantangan di Era Digital
Tantangan TNI AD yang perlu mendapat perhatian serius sebenarnya selain peremajaan peralatan dan alutsista berbasis komputerisasi, namun tidak kalah pentingnya yaitu pengembangan SDM prajurit dalam menghadapi era digital.
Perubahan teknologi itu bisa terjadi dalam hitungan bulan. Di sisi lain, prajurit TNI AD siap pakai dalam bidang TI perlu dilatih secara intensif kurang lebih di atas tiga tahun. Nah, antara pengembangan SDM yang perlu waktu hingga tiga sampai empat tahun ini tidak sebanding dengan perubahan teknologi yang dalam satu tahun bisa terjadi hingga dua kali.
Pengadaan alutsista berbasis komputerisasi dapat terealisasi selama anggaran tersedia, sedangkan ketersediaan SDM yang kompeten di era digital perlu waktu cukup lama. Ada tahapan proses yang perlu dilalui untuk menghasilkan SDM prajurit yang kompeten di bidang TI.
Pernah dengar ungkapan “man behind the gun”? Istilah ini sangat tepat dalam menyikapi kemajuan TI. Dengan kata lain, alutsista berbasis komputerisasi maupun sistem informasi akan berfungsi dengan baik bila manusia yang mengawakinya paham betul dengan teknologi informasi.
Menyikapi hal ini, TNI AD telah melakukan terobosan-terobosan melalui pelatihan, kursus dan pendidikan TI secara terus menerus. Pihak TNI AD juga sudah melakukan kerja sama dengan Universitas Gunadarma berkaitan penyediaan dosen TI.
Dalam waktu dekat akan dilangsungkan perlombaan hackathon yang berkaitan dengan sistem informasi kemiliteran. Ini adalah salah satu terobosan TNI AD untuk menyikapi keterbukaan informasi dan akses digital. TNI AD memanggil generasi muda bangsa yang ahli di bidang TI untuk memberikan sumbangsih pemikirannya untuk membangun TNI AD yang kokoh dan kuat sebagai wujud kecintaannya terhadap TNI dan NKRI.
TNI punya semboyan “Bersama rakyat TNI kuat”. Inilah salah satu implementasi TNI AD terhadap semboyan tersebut. TNI AD menyikapi tantangan digital ini dengan mengundang masyarakat sipil untuk bahu-membahu menjaga negara dari segala bahaya, dan ancaman baik yang bersifat tradisional maupun non tradisional.
Perkembangan teknologi adalah sesuatu yang harus diterima. Semua pihak tidak bisa menghindar apalagi bersikap resisten. Hal tersebut justru akan merugikan baik secara pribadi maupun organisasi. Perkembangan teknologi tentu memiliki dampak positif dan negatif. TNI AD telah menyiapkan prajuritnya sebagai generasi penerus calon pemimpin TNI di masa depan untuk dapat mengembangkan dampak positif dan meminimalisasi dampak negatif perkembangan teknologi agar TNI AD tetap jaya di darat.
– Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh Brigadir Jenderal Nugraha Gumilar, Kepala Dinas Informasi dan Pengolahan Data (Kadisfolahtad) TNI Angkatan Darat.
Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan TNI Angkatan Darat sebagai artikel awal kegiatan Hackathon Cipta Yudha Kartika Eka Paksi TNI AD.
Sebagai pendatang baru, e-commerce di Asia Tenggara memiliki keuntungan untuk belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah terjadi di pasar e-commerce yang lebih berkembang seperti AS dan Tiongkok. Kita sudah melewati lebih dari 20 tahun setelah Amazon (1994) dan eBay (1995) didirikan. Jack Ma memulai Alibaba di apartemennya di Hangzhou pada 1999, persis sebelum era internet 1.0 berakhir.
Banyak hal yang telah terjadi di industri e-commerce global sejak itu, termasuk pergerakan yang perlahan tapi pasti dari Amazon, naik dan turunnya kehadiran situs daily deals dan flash sale, serta IPO Alibaba yang menakjubkan di tahun 2015. Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya? Ulasan sejarah ini menciptakan dua kerangka; Siklus Kehidupan E-commerce dan E-commerce 1.0/2.0, untuk membantu memprediksi kesempatan bagi e-commerce di Asia Tenggara di masa depan.
(1) Siklus Hidup E-commerce – Bagaimana Model E-commerce Berevolusi dari Waktu ke Waktu
Ada pola berbeda yang telah muncul dari evolusi pasar e-commerce yang lebih dewasa yang menawarkan sejumlah perkiraan bagi e-commerce di Asia Tenggara. Hal ini mengikuti perkembangan dari Iklan Baris dan C2C ke B2C hingga kemudian Brand.com. AS memulai dari Craiglist, eBay dan Amazon ke situs brand seperti Nike, J.Crew dan Gap. Tiongkok memulai dari Taobao, Tmall dan JD hingga ke banyak situs brand dan marketplace seperti Estée Lauder, Burberry dan Coach.
Asia Tenggara saat ini mengikuti pola yang serupa namun dengan langkah yang lebih cepat karena “1 to n,” kemajuan horisontal, dan hasil dari prilaku leapfrogging. Di Asia Tenggara, kita memiliki Iklan Baris (OLX), C2C (Tarad, Tokopedia, Shopee), B2C (Lazada, Zalora, MatahariMall) dan Brand.com (L’Oreal, Estée Lauder, Adidas) semua terjadi bersamaan dalam rentang waktu yang sangat singkat.
E-Commerce Lifecycle Model
Ciri khas lokal memberikan jalan bagi model bisnis e-commerce unik
eBay hanya bisa diciptakan di AS karena model lelangnya cocok bagi budaya konsumerisme yang ditandai oleh barang yang berlebihan dan banyaknya pengkolektor (contohnya kolektor kartu baseball dan Pez dispenser). Di sisi lain, eBay tidak berhasil di Tiongkok karena banyak alasan, salah satunya karena model lelang tidak menarik bagi pengguna di Tiongkok yang lebih suka membeli barang baru dan bernegosiasi secara langsung via chat.
Model B2B2C Tmall berasal dari Tiongkok karena bentuknya yang seperti bazaar, situasi belanja yang hiruk-pikuk yang sudah biasa dialami oleh orang Tiongkok di dunia offline mereka.
Asia Tenggara adalah hybrid dari AS dan Tiongkok
Lazada, platform e-commerce yang dominan di Asia Tenggara, adalah gabungan dari Amazon dan Tmall. Didirikan pada tahun 2011 oleh Rocket Internet sebagai “Amazon dari Asia Tenggara”, Lazada saat ini mendapatkan 70% GMV (Gross Merchandise Value)-nya dari pihak ketiga, transaksi marketplace, dengan sisa 30% didapatkan dari ritel “tradisional” langsung ala Amazon. Setelah akuisisi Alibaba, besar kemungkinan bahwa Lazada akan mengikuti model Tmall dan bergerak sebagai 100% marketplace dengan segala keuntungan scaling yang terkait dengan model ini.
Bandingkan ini dengan Amazon, yang secara tradisional dulunya 100% bergerak di model retail langsung namun kini beralih ke model marketplace. Saat ini, Amazon mendapatkan 59% GMV-nya dari B2B2C.
B2B, B2B2C, dan Brand.com terjadi secara bersamaan
Di Cina, brand berproses dari berjualan di Tmall sebagai batu loncatan untuk kemudian mengoperasikan situs brand.com mereka sendiri. Salah satu contohnya adalah Uniqlo yang memulai berjualan melalui toko flagship Tmall lalu kemudian menambah webstore brand.com mereka sendiri.
Di Asia Tenggara, kita melihat banyak brand melakukan kedua hal tersebut dalam waktu yang bersamaan, berjualan melalui Lazada dan juga toko brand.com mereka sendiri, sebagai tambahan dari pendistribusian melalui e-tailor seperti Central Online dan MAP. Hal ini didorong oleh teknologi yang membuat brand semakin mudah untuk berjualan melalui channel yang berbeda-beda namun juga seolah menjadi keharusan karena fragmentasi yang tinggi di pasar e-commerce saat ini. Konsolidasi diprediksi akan terjadi secepatnya.
Asia Tenggara adalah mobile-first, C2C e-commerce beralih langsung ke mobile marketplace
Jika di pasar e-commerce yang sudah matang, C2C melalui desktop masih memainkan peran yang sangat penting, di Asia Tenggara loncatan ke mobile mengacaukan marketplacedesktop-first tradisional. Mobile-only C2C marketplace seperti Carousell dan Shopee sedang membuat gerakan agresif melawan rival desktop mereka yang telah muncul terlebih dahulu seperti Tarad di Thailand dan Tokopedia di Indonesia.
Dengan estimasi 85% dan 79% dari transaksi belanja online di luar area metro besar di Thailand dan Indonesia terjadi di mobile, tidak mengherankan apabila perusahaan seperti Facebook juga bertaruh pada C2C mobile. Raksasa iklan ini baru saja meluncurkan pembayaran mobile di Thailand di mana 50% dari transaksi C2C diestimasi terjadi di jaringan sosial.
(2) E-commerce 1.0 ke E-commerce 2.0: Empat Strategi untuk Menghindari ‘Pertumpahan Darah’ E-commerce di Asia Tenggara
Asia Tenggara adalah e-commerce goldrush yang selanjutnya. Karena alasan ini juga, di kawasan ini terjadi pertarungan e-commerce yang sengit. Kita telah melihat banyak korban, terutama di ruang B2C yang menjual brand pihak ketiga. Seperti yang telah kami perkirakan sebelumnya, Zalora yang didirikan oleh Rocket Internet harus menjual operasi mereka di Thailand dan Vietnam kepada retailer lokal Central Group.
Di tahun ini pula, Cdiscount Thailand, bagian dari konglomerat ritel asal Prancis, Groupe Casino, terjual sebesar $31.5 juta (28 juta EUR) kepada TCC, perusahaan lokal asal Thailand yang juga memiliki brand bir populer, Chang.
E-commerce 1.0: Menjual barang orang lain ke publik dengan margin rendah
E-commerce guru Andy Dunn mengadopsi sebuah strategi yang membuat bisnisnya memiliki kesempatan bersaing dengan Amazon di pertarungan di AS.
“If you’re selling other people’s brands, you are competing not via a local group of competitors but with everyone. In this type of market, you might imagine having one large national winner. You might imagine that winner is ruthless about scale and cost, and is run by a visionary leader who with an extreme long-term focus. Such a company might not make real money for a long time — but when it does — it will be incredibly powerful.”
“Jika Anda menjual merek milik orang lain, bukan saja Anda berkompetisi dengan satu grup kompetitor lokal namun juga semua orang. Pada tipe pasar seperti ini, Anda bisa membayangkan munculnya satu pemenang di skala nasional. Anda bisa membayangkan pemenang tersebut tidak peduli tentang skala dan uang (yang dikeluarkan) dan dijalankan oleh seorang pemimpin yang memiliki fokus jangka panjang. Perusahaan seperti itu mungkin tidak menghasilkan uang dalam waktu yang lama — namun saat mereka melakukannya — mereka akan menjadi sangat kuat.”
Dengan masuknya Alibaba di wilayah ini melalui akuisisi Lazada senilai $1 miliar, ‘Alizada’ semakin nampak sebagai ancaman besar bagi para retailer lainnya di pasar ini, baik di ruang pemain e-commerce murni atau pun omni-channel. Pertarungan ini akan semakin intensif dan semakin banyak konsolidasi akan terjadi di beberapa tahun mendatang.
Saat ini, belum ada pemain B2C atau e-commerce 1.0 di ASEAN yang mendominasi market share.
Perlu diakui bahwa Lazada memiliki awal yang bagus dengan dugaan 20%market share di tahun 2014, namun angka ini masih sedikit bila dibandingkan dengan Amazon yang mendominasi 60% di AS, atau Tmall dengan 50.6% dan JD dengan 51.9% (pasar ritel langsung B2C) di Tiongkok.
Raksasa e-commerce 1.0
Selama lima hingga enam tahun ke depan, B2C di Asia Tenggara akan melalui konsolidasi lebih lanjut yang bisa berakhir dengan satu sampai dua pemain.
Tidak ada cara yang lebih baik untuk memvisualisasikan konsolidasi terus-menerus di E-commerce 1.0 selain dengan data ‘search interest’ di Google Trends. Grafik untuk Thailand menunjukan naik turunnya desktop C2C dan daily deals, fragmentasi di kategori B2C dan kenaikan pesat Lazada.
Pencarian Google menunjukkan konsolidasi E-commerce 1.0
Di sinilah semuanya menjadi menarik. Di mana E-commerce 1.0 adalah sebuah permainan “fisik” yang murni mengandalkan kekuatan, E-commerce 2.0 mengeksploitasi celah 1.0 dengan banyak cara kreatif untuk menghindari permainan zero-sum melawan pemain seperti ‘Alizada’.
“This next generation of e-commerce companies is as much about what you exclude as what you include. It is a paradox that excluding some things takes more time than including everything. The new models are fundamentally — whether the merchandise is proprietary or not — about merchandising.” — Andy Dunn on E-commerce 2.0
“Generasi perusahaan e-commerce saat ini adalah tentang apa yang kecualikan dan anda sertakan. Sebuah paradoks dimana mengecualikan beberapa hal memakan lebih banyak waktu dibanding menyertakan semuanya. Model-model baru yang ada secara fundamental — baik produk hak milik atau bukan — adalah tentang mendagangkannya.” — Andy Dunn tentang E-commerce 2.0.
Konsep E-commerce 2.0 dan 4 strategi menghindari “pertumpahan darah”
Gilt, salah satu contoh nyata dari E-commerce 2.0, bangkit dari abu pada krisis 2008 dengan sebuah bisnis model unik yang menawarkan barang mewah dengan harga yang jauh lebih murah dari harga aslinya melalui flash sales terbatas. Satu dari unicorn pertama di New York ini, Gilt kemudian harus berjuang saat ekonomi mulai pulih dan brand tidak lagi memerlukan channel distribusi untuk barang stok lama.
Sementara Gilt bermain dengan harga, pemain lainnya seperti Birchbox dan Rent the Runway berinovasi di sisi produk dengan menawarkan pengalaman belanja yang unik. Birchbox memulai tren perdagangan langganan kecantikan dan menginsiprasi kloning “Birchbox for X” yang tak terhitung jumlahnya. Rent for Runway pada dasarnya adalah fashion on-demand yang menyediakan akses untuk menyewa rancangan busana high-end bagi para penggunanya.
E-commerce 2.0 di Asia Tenggara: Sekilas Harapan Bagi Calon Pengusaha E-commerce?
Dengan masih terjadinya pertumpahan darah di e-commerce 1.0 di Asia Tenggara sampai saat ini, beberapa pengusaha telah menyadari bahwa adalah sia-sia untuk bersaing melawan pemain sejenis Lazada dan MatahariMall tanpa kantong yang dalam atau strategi lainnya. Sebaliknya, mereka fokus pada peluang yang muncul di e-commerce 2.0 dan memposisikan diri mereka dengan cara yang unik.
Perbandingan industri e-commerce 2.0, antara global dan Asia Tenggara
(3) Masa Depan E-commerce di Asia Tenggara
Jika kita menerapkan baik kerangka Siklus Hidup E-commerce atau E-commerce 1.0/2.0, kita akan lebih mudah melihat ke mana e-commerce di Asia Tenggara mengarah.
Perang B2C akan terus berlangsung empat sampai lima tahun ke depan hingga para pemain kehabisan uang dan menyerah. Di Cina, proses ini memakan waktu hampir satu dekade dengan Tmall berkembang dari market share 0% hingga 50.6% selama periode 2008-2014. Di ruang ritel B2C langsung, JD berkembang dari 15% menjadi 51.9%. Pada periode yang sama, pemimpin sebelumnya seperti Dangdang (16.2%) dan Amazon China (15.4%) perlahan menjadi tidak relevan dengan sisa market share sebesar 4% dan 3.5% pada 2014.
Selama periode waktu ini, kita juga akan melihat lebih banyak startups dan venture capital memasuki ruang E-commerce 2.0. E-commerce 2.0 bukanlah hal yang baru untuk Asia Tenggara — banyak yang telah mencoba untuk membawa model Birchbox ke wilayah ini namun gagal karena kondisi pasar yang belum siap. Namun, beberapa tahun ke depan mungkin menjadi waktu yang tepat, terbukti dari traksi yang didapatkan perusahaan seperti Pomelo Mode, Sale Stock, dan Motif.
Apakah ini berarti kita bisa langsung maju dan menyalin sesuatu seperti Gilt ke Asia Tenggara? Jawabannya sangat tergantung. Sebuah model bisnis seperti Gilt membutuhkan akses ke inventori lama brand-brand premium, di mana di pasar seperti Thailand dan Indonesia dimonopoli oleh satu atau dua distributor seperti Central dan MAP. Ini adalah masalah yang sama yang menyebabkan kejatuhan Zalora di pasar yang sama. Setiap model E-commerce 2.0 yang diluncurkan di Asia Tenggara perlu disesuaikan dengan pasar lokal.
E-commerce di Asia Tenggara masih relatif baru dengan hanya 1% kontribusi online pada total GMV ritel, jauh tertinggal bila dibandingkan dengan 7.1% dan 15.9% di AS dan Cina. Namun demikian, wilayah ini sudah banyak disebut sebagai pemimpin pasar e-commerce terbaru, dan penelitian terbaru memprediksi pasar ini akan tumbuh sebesar 32% year-on-year dan mencapai $88 miliar pada tahun 2025 (penetrasi 6.4%), naik dari angka $5.5 miliar saat ini (penetrasi 0.8%). Seperti yang ditunjukkan dalam analisis kami, ada banyak peluang di e-commerce bagi mereka yang berkantong tebal juga bagi mereka yang mengadopsi strategi unik dan lokal.
“Don’t always go through the tiny little door that everyone is trying to rush through… maybe go around the corner and go through the vast gate that no one’s taking.” — Peter Thiel
“Jangan hanya pergi melewati pintu kecil yang dilalui oleh semua orang.. coba pergi ke sudut yang lain dan pergi melalui pintu besar yang tidak ada dilalui orang.” — Peter Thiel
– Disclosure: Tulisan ini dibuat oleh Sheji Ho dan disadur ke bahasa Indonesia oleh Rara Kinasih setelah melalui penyuntingan. Artikel aslinya bisa diakses di sini.
Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.
It was Friday night and I was at home watching the Wimbledon semifinal between Roger Federer and Milos Raonic. A huge Federer fan that I am, I usually try not to miss any of his matches, especially Wimbledon.
Federer has just broken the Raonic serve with that commanding single handed backhand of his. It was his turn to serve now and the camera, as they so often do, zoomed into Fed’s shoes to showcase the engraved letters RF and of course the Nike brand to the entire world glued to their television sets.
As I wondered how cool it must be to have your name engraved on your shoes, I also got reminded of the running shoes I needed to buy for myself. Of course no one’s going to engrave my initials on my shoes, I had to be content with the regular shoes at the retailer.
I opened the fashion app that I frequently bought from on my phone. But, it’s been a while since I bought anything online, let alone the app. The app had a new UI and looked cool. I browsed through few shoes of Nike, Adidas and Puma.
There were some nice ones and were up for great discounts too. I was in a dilemma whether I must buy a pair right away or do I go to a store the next day, try out a few pairs and then buy. Just then, I heard a massive cheer from the audience in the TV. Federer had held his serve to win the third set and take a 2 sets to 1 lead.
This is going to be good. I closed the app and turned my attention back to the TV.
Federer ended up losing the match in the deciding set and he even cried during the presentation. I was upset. I had forgotten about the shoe I wanted to buy. The weekend went by. I woke up Monday morning and realized that I hadn’t bought my shoes when I wanted to go out for a run. I should have bought it then, now I wouldn’t have time the whole week.
But hold on. I forgot, but how could the fashion app forget? I’m a marketing professional, so I got to a bit of thinking.
The fashion app must have tens of thousands of users logging into their app each day looking for various products. Not all of them are buying. At best, 2-3% of them would buy. What about the rest?
Why couldn’t the fashion app send me a push notification reminding me about the shoe that I wanted to buy? ‘Hey Dharshan here’s the shoe you almost bought!’ – simple isn’t it. This would have been the best thing. They could have sent me a push notification during the weekend and I would have made the purchase right there.
Why not an email? I have brought from the fashion app before and they send me several emails with promotions and offers. In fact I got an email from the fashion app on Sunday about their new home furnishing category of products. How did they miss out on the fact that I visited shoes on the app. An email with a reminder on the subject line would have definitely gotten my attention. I would have bought my shoes.
And then there’s Facebook. I’m not the most active person on facebook but I did spend a few minutes over the weekend. There were other ads on my timeline but the fashion app didn’t bother showing me an ad of the shoe I wanted.
Of course there’s display ads on other websites I visit. An ad would have probably reminded me but I still had to take my phone and open the app and make the purchase.
There is the option of SMS too. Personally I don’t prefer getting spammed by brands with text messages. But I should admit, if I had gotten a text message with a link to ‘shoes’ page of the app I would have gone ahead and done it. But alas, I never got an SMS anyways.
I’m not an expert but I’m pretty sure people like feeling important. If I had received even one of the above mentioned communications from the fashion app, I would have felt valued and I would have certainly gone onto make that purchase. But now, I feel ignored.
If I find some time after work today, I will walk into a retail store and buy a sports shoe. There, fashion app, you just lost $50 revenue. Moreover, you just lost a customer. Who knows what would have been the life time value of me as a customer for you.
If you’re still wondering, I didn’t go on that run today morning.
– Disclosure: This is a guest post by Dharshan Chandran, a growth marketer at Vizury, a multi-channel mobile marketing platform. He can be contacted at [email protected]
Seiring dengan adanya pergeseran gaya hidup, maka akan membawa dampak pada tradisi pemasaran brand, tidak terkecuali bagi para startup.
Iklan konvensional melalui saluran televisi bisa jadi saat ini menjadi kurang efektif karena banyak perhatian mulai teralihkan pada media sosial, portal berita online, dan video YouTube. Hal ini membuat Anda yang memulai bisnis dengan budget kecil (startup) memiliki kesempatan melakukan pemasaran menggunakan content marketing.
Apa kelebihan content marketing dari iklan konvensional?
Budget bukan penentu kesuksesan
Untuk iklan konvensional, semakin besar budget Anda, semakin besar kemungkinan kesuksesan Anda dalam menjangkau konsumen. Dengan content marketing, kreativitas menjadi penentu kesuksesan. Semakin kreatif content Anda, berarti semakin besar pula kemungkinan konsumen Anda akan share atau berbagi dengan network di linimasa mereka.
Drive traffic to website
Jika Anda memfokuskan content marketing melalui digital, berarti Anda berbicara soal lalu lintas bríand Anda di dunia maya. Semakin sering braínd ‘disebut-sebut’, akan semakin cepat braínd tersebut mendapatkan eksistensinya.
Anda dapat memberdayakan media sosial, situs/blog, atau bahkan video YouTube untuk selalu membahas tentang brand Anda. Selain itu yang paling penting, Anda dapat membawa konsumen Anda langsung ke situs Anda, di sini mereka bisa melakukan tindakan, misalnya membeli atau memesan produk atau jasa Anda. Dengan proses ini, kemungkinan Anda untuk kehilangan potential customers akan semakin kecil.
You buy loyalty
Membuat content marketing tidaklah harus panjang dan bertele-tele. Kuncinya hanyalah isi yang berbobot, dalam artian yang bermanfaat bagi konsumen Anda dan mampu memberikan inspirasi.
Content marketing yang Anda jalankan tidak melulu hanya membahas tentang brand Anda, namun fokus pada apa yang bisa diberikan brand Anda kepada target konsumen Anda. Dan jangan lupa untuk membuat konten secara konsisten, karena kalau tidak konsisten, maka akan menjadikan konten Anda tidak memiliki identity.
Membutuhkan kesabaran? Ya, pada setiap strategi pemasaran tidak ada yang instan. Namun, konten yang kreatif dapat membantu Anda secara maksimal.
Tidak perlu terlalu menekan target konsumen Anda di tahap awal. Lakukan dengan berkala agar audiences Anda tidak merasa diarahkan apalagi dipaksa. Saat ini orang semakin diberi kebebasan untuk memilih, tapi siapa yang dapat menolak konten-konten kreatif yang ‘berkeliaran’ di dunia maya?
Ingin tahu brand mana yang berhasil menerapkan kick ass content marketing? Anda kenal dengan LEGO? Perusahaan pembuat mainan anak dari Denmark ini sudah ada sejak 1949. Mereka menciptakan content yang orisinil dengan mengeluarkan film berjudul The Lego Movie di tahun 2014.
Melalui film tersebut, LEGO mengingatkan konsumen mereka bahwa penting untuk selalu memiliki imajinasi, tidak peduli berapa pun usia Anda. Posisi anak-anak dan orang dewasa disetarakan sebagai kelompok orang yang sama-sama mencintai LEGO. LEGO berhasil memasarkan kembali mainan mereka dengan menciptakan konten yang inspiratif. Setelah The Lego Movie dikeluarkan, penjualan LEGO naik 11% di awal 2014.
Namun memang pemasaran melalui konten saat ini masih dalam tahap awal di Asia. Joe Pulizzi, pendiri dari Content Marketing Institute memprediksi bahwa bisnis di Asia saat ini hanya menghabiskan rata-rata 25% dari anggaran pemasaran dalam pembuatan dan distribusi konten.
Mungkin Anda bertanya, untuk menjalankan content marketing harus dimulai dari mana? Visi dan Misi perusahaan Anda bisa dijadikan tema awal untuk membuat content marketing.
Tidak ada ruginya beralih ke content marketing yang memiliki sejuta manfaat. Terlebih dengan minimum budget, content marketing bisa menjangkau audiens yang akan setia dengan brand Anda.
Tahun 2016 ini menjadi sebuah puncak dari keramaian usaha rintisan (startup) dalam bidang transportasi dan jasa logistik instan. Berita terakhir bahkan Go-Jek membukukan pendanaan sebanyak $550.000.000,00 atau dengan kurs 1 USD = 13197.6 IDR; nilainya sekitar Rp 7.258.652.500.000,00. Iya digitnya sebanyak itu. Sangat luar biasa.
Uang sebanyak itu tentunya bisa digunakan untuk mengembangkan produknya menjadi lebih baik dan lebih aman. Saya berharap bagian sangkalan (disclaimer) ini tidak ada lagi dan saya mau pakai Go-Jek lagi.
Kami tidak menjamin keamanan database kami dan kami juga tidak menjamin bahwa data yang anda berikan tidak akan ditahan/terganggu ketika sedang dikirimkan kepada kami. Setiap pengiriman informasi oleh anda kepada kami merupakan risiko anda sendiri. Anda tidak boleh mengungkapkan sandi anda kepada siapa pun. Bagaimanapun efektifnya suatu teknologi, tidak ada sistem keamanan yang tidak dapat ditembus.
Tapi kali ini saya tidak membahas itu tentunya karena melenceng jauh dari judul. Saya akan bahas apa untungnya untuk pemrogram/pengembang di Indonesia.
Adanya Kebutuhan Memecahkan Masalah
Saya sangat senang akhir-akhir ini usaha-usaha rintisan yang ada di Indonesia mulai dengan masalah yang nyata. Go-Jek sendiri sudah dimulai tahun 2011, tetapi baru mulai mendapatkan traksi tahun 2015. Permasalahan kemacetan dan harga ojek yang mahal diatasi dengan adanya Go-Jek ini.
Masalah lain yang juga diatasi oleh Go-Jek adalah soal logistik. Go-Jek mengatasi permasalahan pengiriman instan. Dulu tidak ada seperti ini. Kita perlu harus mengirim surat dan barang sendiri atau meminta tolong kurir. Akses orang terhadap kurir terbatas, tetapi sekarang semua orang punya kurir, tinggal di-Go-Jek-in aja.
Masalah logistik instan ini juga baru ada di beberapa tahun terakhir karena mulai banyaknya platform dagang daring horisontal C2C (consumer to consumer) maupun dari pedagang-pedagang di Facebook. Sekarang mereka punya pilihan untuk mengirimkan barangnya dalam waktu kurang dari sehari.
Keberadaan Masalah Membentuk Talenta
Keberadaan masalah-masalah besar inilah yang membentuk talenta-talenta teknologi. Kemampuan talenta diasah dari perusahaan-perusahaan di mana dia bekerja. Banyaknya e-commerce beberapa tahun belakangan melahirkan talenta-talenta teknologi seperti pemrogram, perancang, dan pemasar digital yang mengerti tentang keperluan e-commerce dari sisi teknologi dan operasinya karena mereka terpapar dengan masalah tersebut setiap hari. Saat ini sudah banyak talenta yang mengerti cara memecahkan masalah seperti inventori, gudang, pembayaran, pemasaran digital dan sebagainya.
Manusia adalah makhluk yang selalu belajar. Jika terpapar permasalahan yang sama setiap hari, maka kita makin ahli dalam mengatasi masalah tersebut. Google awalnya juga mesin cari sederhana, tetapi dengan banyak iterasi, kesempatan, dan modal bisa jadi seperti sekarang ini. Mungkin Indonesia belum sampai ke level pemodal ventura mendanai proyek-proyek eksperimental seperti di Amerika. Tetapi, kabar baiknya kita punya masalah yang mungkin hanya bisa diatasi orang yang hidup di Indonesia.
Demikian pula dengan e-commerce, dengan tercurahnya modal ke e-commercemaka terbuka kesempatan talenta di Indonesia untuk semakin paham, ahli, dan efektif tentang e-commerce. Logistik adalah permasalahan besar selanjutnya yang harus diatasi. Dengan tercurahnya modal ke Go-Jek saya harapkan terbuka kesempatan pengembang-pengembang di Indonesia untuk terpapar dengan permasalahan logistik. Permasalahan logistik ini bukan permasalahan sederhana, cukup kompleks. Yang tidak instan saja sudah berat, apalagi yang instan.
Masalah Logistik Adalah Masalah Algoritmik
Jika e-commerce domain masalahnya rata-rata bersifat CRUD (Create Read Update Delete) dan stateless, permasalahan dalam logistik, terutama yang instan adalah permasalahan yang stateful dan berat di algoritma. Masalah yang solusinya algoritmik harus bisa diselesaikan secara deterministik dan yang penting cepat. Berikut mungkin hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pengembang jika mau terjun ke perusahaan digital yang mencoba mengatasi masalah transportasi dan logistik:
Proyeksi — Bumi itu bulat, tetapi dalam perhitungan jarak, mau tidak mau kita harus “mendatarkan” bumi terlepas Anda percaya atau tidak dengan teori flat earth. Garis lintang dan bujur tidak bisa digunakan untuk menghitung jarak kecuali diproyeksikan terlebih dahulu. Banyak sekali bentuk proyeksi ini, dan kita harus tau mana yang pas.
Teori Graf — Jika ketika kuliah, Anda pernah mempelajari tentang graf dan tree beserta berbagai macam algoritma graph traversal seperti BFS, DFS, Djikstra, dan A*, percayalah pengetahuan tentang algoritma tersebut sangat diperlukan dalam memecahkan masalah logistik. Lalu lintas dan perutean itu cara membuat abstraksi modelnya adalah dengan graf.
Aljabar Linier — Semua yang berhubungan dengan koordinat akan berurusan dengan aljabar linier sudah suatu keniscayaaan. Jadi buka-buka lagi jika masih punya buku aljabar linier yang berdebu di pojok ruangan.
Jaringan dan Protokol — Sudah saatnya pemrogram membuka diri kalaudi dunia ini yang namanya protokol tidak hanya HTTP dan tidak semuanya RESTful. Pemrogram harus mulai membuka diri bagaimana memakai protokol yang pas. HTTP mempunyai payload yang cukup besar. Payload yang besar akan cepat menghabiskan kuota pelanggan, apalagi harus mengirim posisi setiap menit.
Konkurensi — Dengan masalah yang stateful, pemrogram akan berhubungan dengan masalah konkurensi. Bagaimana mempertahankan dan mengatur state dan mengatasi kondisi seperti deadlock dan race condition.
Selain itu ada masalah-masalah di dunia ilmu komputer yang belum ada solusinya. Ya betul, Anda tidak salah baca. Ada beberapa permasalahan dalam logistik yang belum ada solusi algoritmiknya yang artinya harus memakai solusi non-deterministik maupun brute-force.
Satu permasalahan yang sangat menarik adalah Travelling Salesman Problem. Masalahnya cukup sederhana, jika kita punya misalnya 5 lokasi, bagaimana membuat urutan dari titik awal dan kembali lagi ke titik semua sehingga jarak yang ditempuh minimal. Semakin banyak titik kemungkinannya akan jadi (n-1)!. Artinya kalau menambah satu titik lagi naiknya kemungkinan yang harus dicoba jadi tambah banyak. Jika kita punya 5 lokasi, ada sekitar 24 kemungkinan, tetapi jika kita menambah satu lagi maka kemungkinannya akan naik jadi 120 demikian seterusnya.
Jika meruntut ke Wikipedia kita dihadapkan ke kenyataan kompleksitas algoritma ini:
In the theory of computational complexity, the decision version of the TSP (where, given a length L, the task is to decide whether the graph has any tour shorter than L) belongs to the class of NP-complete problems. Thus, it is possible that the worst-case running time for any algorithm for the TSP increases superpolynomially (perhaps, specifically, exponentially) with the number of cities.
Banyak pemecahan masalah, tapi belum ada yang deterministik dan cepat. Jadi pemrogram yang biasa berpikir “ah ini gampang, besok pasti bisa” sebaiknya berpikir ulang jika dihadapkan dengan permasalahan TSP.
Pada akhirnya saya berharap dengan dipaparnya mereka dengan permasalahan di dunia nyata, kemampuan pemrogram di Indonesia terasah dalam mengatasi permasalahan-permasahan dalam bidang logistik. Semakin banyak yang bisa dan menularkan ilmunya ke timnya, semakin bagus. Semoga pendanaan bertriliun-triliun Go-Jek bisa membuka kesempatan yang mungkin akan jadi efek halo untuk usaha-usaha lainnya yang bergerak di bidang logistik.
– Disclosure: artikel tamu ini telah dipublikasi ulang dengan penyuntingan dan izin dari Didiet Noor. Artikel ini pertama kali diterbitkan di halaman Medium-nya.
Didiet adalah seorang software engineer dan tech advocate. Ia bisa dikontak via @lynxluna.
Dalam dua tahun ke belakang, jargon “smart city” sedang jadi tren di kalangan pemerintahan di Indonesia. Beberapa kota sudah mulai menginisiasi program “smart city” ini dengan berbagai pendekatan dan eksekusi yang juga beragam. Smart city menjadi nilai jual para pemimpin daerah karena menjanjikan suatu hal yang baru dan membuat orang bebas berkreasi. Namun setelah dua tahun, ada beberapa hal yang menjadikan program smart city di beberapa tempat di Indonesia menjadi salah kaprah: Smart city bukan masalah teknologi.
Ada beberapa daerah yang sudah menginisiasi program smart city secara eksplisit maupun tidak, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Semarang, Bogor, Bekasi, dan kota-kota lain sedang bersiap diri, seperti Banjarmasin, Manado, dan lainnya. Saya mencoba mengambil beberapa sampel pendekatan berdasarkan pengetahuan yang saya dapatkan dari beberapa kota yang sudah dan sedang berinisiasi.
Semua berawal dari keinginan membuat pemerintahan yang memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada warganya: kemudahan dalam pengurusan surat atau izin, kemudahan pengaduan masyarakat, transparansi pelayanan, meningkatkan kecepatan pelayanan publik, angkutan umum yang lebih dapat diandalkan, peningkatan keamanan, dan lainnya. Cara yang dilakukan untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik ini adalah dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Simpelnya, kata kunci smart city di Indonesia: IT, pelayanan publik, efisiensi, efektif, transparansi.
Namun ada hal yang terlewat dari pendekatan eksekusi smart city di Indonesia: Inisiasi berfokus pada apa yang terlihat.
Aplikasi, CCTV, ruang command center, pembangunan area berjudul technopolis/technopark, dan hal yang terlihat lainnya menjadi pendekatan yang biasanya dilakukan pemerintah daerah.
Padahal untuk melancarkan program smart city di Indonesia, ada banyak PR yang tak terlihat. Hal ini adalah fenomena gunung es. Ada banyak persyaratan dan kondisi yang harus dicapai sehingga teknologi dan pembangunan ruangan atau area fisik bisa membantu kinerja dari program smart city.
Berdasarkan pengalaman, ada beberapa hal penting yang biasanya terlewat oleh para inisiator smart city di pemerintahan: Standard operating procedure dan tata kelola IT dan data.
Standard operating procedure
Smart city bukan tentang teknologi. Smart city bukan cuma aplikasi, punya CCTV banyak, command center yang mewah, free Wi-Fi, atau bentuk teknologi kekinian lainnya yang selalu digembar-gemborkan.
Jika dengan program smart city teknologi dianggap solusi. maka program itu pasti gagal. Teknologi bukanlah solusi, namun hanya berbentuk enabler sehingga suatu problem bisa diselesaikan dengan lebih efisien dan efektif.
Yang paling penting justru proses bisnisnya. Jika sepakat bahwa smart city dijalankan untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik, maka PR-nya adalah bagaimana standard operating procedure (SOP) dalam pelayanan publik dapat diselesaikan dengan lebih baik menggunakan teknologi.
Contohnya begini, Bandung Command Center pernah mendemokan penanganan aplikasi pelaporan kedaruratan. Pertanyaannya, sejauh mana prosedur penanganan ini bisa bantu menyelesaikan masalah. Seberapa cepat petugas bisa langsung datang ke tempat kejadian perkara setelah seseorang melaporkan ada kondisi darurat di kota? Siapa saja stakeholder yang terkait dengan penanganan hal ini? Bagaimana pihak polisi terlibat dalam penanganan ini, sedangkan polisi adalah pihak di luar Pemerintah Kota.
Contoh lain, saat kejadian bom Sarinah di Jakarta. Karena belum ada prosedur yang terkait dengan kondisi serangan bom, tim di Jakarta Smart City tidak bisa melakukan apa-apa karena tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan secara terstruktur. Pada akhirnya semua berjalan menurut insting dan sebagai evaluasi diperkuatlah SOP sehingga tidak terulang lagi kasus ketidaktahuan ini.
Contoh lain lagi, saat kota punya command center, apa saja yang bisa dilakukan di sana, monitor besar yang ada di ruangan tersebut mau diisi oleh apa? Fungsinya apa saja?
Seharusnya semua ini berawal dari pembuatan SOP. Misalkan dalam pembuatan izin, dibutuhkan 3 proses: proses A, B, dan C. Keseluruhan proses ini membutuhkan waktu 10 hari kerja karena proses B memakan waktu 80% dari total. Lalu dengan adanya teknologi, proses B dapat selesai dalam hitungan menit, sehingga 3 proses ini bisa selesai dalam 1 jam. Baru di sini teknologi masuk sebagai enabler dari proses yang ada. Ini baru cerdas.
Tata kelola IT dan data
Problem klasik pemerintah adalah silo. Belum ada integrasi dan interoperabilitas di level sistem IT dan juga data di pemerintahan yang sudah terstandarisasi.
Data inti pembangunan hanyalah dua. Jika dua data ini sudah dikelola dengan baik, maka data lain yang mereferensi pada data ini juga akan lebih baik dari sisi kualitas. Data inti pembangunan itu: data kependudukan dan data geospasial. Data pendidikan, ekonomi, perpajakan, perizinan, dan lainnya pasti harus punya referensi ke data kependudukan dan geospasial.
Permasalahannya, bahkan dua data inti saja belum dikelola dengan baik. Bagaimana penggunaannya, bagaimana data ini disimpan, bagaimana jika terjadi duplikasi, siapa saja yang boleh mengakses data ini dan sejauh mana sistem IT pemerintahan harus mereferensi data ini. Hal ini biasanya belum ada jawabannya di pemerintah daerah.
Integrasi antar sistem IT yang ada di pemerintahan juga masih sangat minim. Contoh carut marutnya di antara lain: Dinas A membuat Peta X, dinas B membuat peta Y, kedua peta ini ternyata saling konflik karena me-refer pada data yang berbeda. Ada juga kasus suatu sistem informasi pemerintahan mengumpulkan NIK sendiri, sedangkan NIK ini seharusnya mereferensi pada data kependudukan yang dikelola oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Selama belum diatur tata kelola IT dan data di pemerintahan, mau buat 1000 aplikasi sekalipun, aplikasi itu juga tidak akan bermanfaat karena tidak ada integrasi dan interoperabilitas di antara sistem dan data yang ada.
Dua hal ini menurut saya adalah PR besar dari semua pihak yang terlibat dalam inisiasi smart city di Indonesia. Prinsip yang harus selalu dipegang adalah teknologi hadir untuk membantu meningkatkan kualitas proses bisnis, bukan proses bisnis yang mengikuti teknologi. Jangan sampai daerah-daerah lain yang memulai program smart city hanya terpaku pada teknologi kekinian saja. Harus dimulai dari pertanyaan mengapa saya harus menjalankan program ini dan apa tujuan saya harus mencanangkan program smart city.
Saya melihat dinamika inisiasi smart city di Indonesia akan lebih berwarna lagi. Makin banyak pemimpin daerah yang ingin memperbaiki kualitas pelayanan publiknya khususnya dan secara umum memperbaiki kualitas hidup daerahnya. Jangan lupa untuk jangan sampai salah kaprah dan terbuai dengan kecanggihan teknologi semata.
– Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh Prasetyo Andy Wicaksono dan pertama kali dimuat di laman Medium-nya dengan penyuntingan.
Prasetyo adalah Head of IT Development di Jakarta Smart City, unit pengelola kota pintar pemerintah provinsi DKI Jakarta. Ia bisa dikontak via LinkedIn.