Indonesia Fintech Festival and Conference 2016 Siap Digelar!

Sebagai salah satu negara dengan potensi pasar unbanked yang luar biasa, Indonesia menjadi sasaran banyak pebisnis fintech baik dari dalam maupun luar negeri. Data dari Bank Mandiri tahun 2015 mengatakan total pemilik rekening di Indonesia hanya sekitar 60 juta orang dari total populasi penduduk di Indonesia yang berkisar 250 juta jiwa.

Berdasarkan data ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kamar Dagang Indonesia & Industri (KADIN) bekerjasama dengan beberapa rekanan mengadakan konferensi, eksibisi dan festival bertemakan fintech pertama di Indonesia yang dinamakan Indonesia Fintech Festival and Conference 2016 (IFFC 2016). Bertempat di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, IFFC 2016 bertujuan untuk menjadi ajang kolaborasi antar semua stakeholder fintech mulai dari korporasi-korporasi keuangan, akademisi, asosiasi, regulator dan juga startup-startup fintech yang makin menjamur di Indonesia.

Acara bergengsi ini akan diadakan pada tanggal 29 – 30 Agustus 2016 dan akan dibuka oleh Bapak Presiden RI Joko Widodo, serta akan menghadirkan beberapa jajaran pengambil keputusan dari korporasi perbankan & finansial serta institusi pemerintahan selaku regulator. Hanya dengan Rp. 100 ribu, para audiens akan dimanjakan dengan pembicara-pembicara yang dengan senang hati berbagi dengan para audiens.

Startup competition

Tidak hanya konferensi, IFFC 2016 juga memberikan fokus tersendiri untuk startup-startup fintech yang ingin bersaing untuk mendapatkan kesempatan untuk melakukan pitching di panggung utama di hadapan juri terpilih. Kompetisi ini bertujuan untuk dapat memfasilitasi pitching yang dilakukan oleh pelaku e-commerce dengan para investor maupun pihak-pihak terkait lainnya.

Informasi lebih lanjut mengenai kompetisi, silahkan baca di situs resmi IFFC 2016.

Speed dating

Speed Dating merupakan salah satu event dari IFFC 2016 yang bertujuan untuk mem- pertemukan pelaku industri e-commerce dengan para ahli dalam rangka berkonsultasi dan berdiskusi. Dengan adanya speed dating ini, diharapkan makin banyak entrepreneur muda yang terbantuk validasi ide dari para pakar baik dari latar belakang penjualan, pemodal, maupun founder.

Informasi lebih lanjut mengenai speed dating, silahkan baca di situs resmi IFFC 2016.

Writing competition

Lomba menulis artikel merupakan salah satu event dari rangkaian kegiatan IFFC 2016 sebagai bentuk persembahan penyelenggara untuk mencerdaskan bangsa dengan pengetahuan terkait bidang industri terbaru yakni Financial Technology. Lomba ini dibuka untuk umum sehingga semua orang dapat menyalurkan ide, pengetahuan, dan kemampuannya untuk berpartisipasi dalam IFFC 2016.

Tema yang dipilih untuk Lomba Menulis Artikel IFFC 2016 adalah Financial Technology. Pemenang Lomba Menulis Artikel IFFC 2016 akan mendapatkan hadiah berupa uang tunai dengan total 26 juta rupiah, trophy, dan sertifikat, serta tulisannya akan dipublikasikan di dalam website IFFC 2016.

Informasi lebih lanjut mengenai kompetisi menulis, silahkan baca di situs resmi IFFC 2016.

Disclosure: DailySocial adalah salah satu anggota komite dari Indonesia Fintech Festival 2016.

Uninstall vs Breakup

A famous app marketer recently said ‘Relationships are too valuable to let them break away’. We couldn’t agree more.

In a time where app marketers are running intensive install campaigns to win new users, there is a serious problem going unnoticed – uninstalls.

Studies have shown that if a user doesn’t come back to your app within the first 7 days of install, he might probably never come back. Now that is alarming.

So why do users uninstall an app? Taking an unusual look at the app and user relationship, in several ways, it is strikingly similar to the relationship between a guy and a girl.

Let’s compare:

For simplicity purposes, I’m going to set the guy as the protagonist in our little story here.

In the beginning…

A guy meets a girl through a dating site. He likes her. He think she’s beautiful and funny. The first few months are a bliss. They are madly in love with each other. Romantic gestures, expensive gifts and long hours on the phone. They spend so much time with each other.

In a parallel universe, a user discovers an app. A friend might have recommended it or he could have found it on social media or an ad on the TV or on the app store. User installs the app. He likes the way it looks so cool, easy to navigate and also, it’s free. The first few days are great. The user spends tons of time on the app. He checks out all the features, plays around in the app and even makes some transactions or two!

Somewhere along the line…

Uninstall vs breakup
Uninstall vs breakup

After about 2 months, flaws begin to get noticed, boredom sets in, love isn’t expressed anymore. They don’t have anything new to offer each other. In the app world, around the 6th day, the user gets bored with the app, there’s nothing new in it for him, nothing exciting.

5th month onwards, they stop meeting or talking. They don’t even miss each other anymore. In parallel, during the 7th – 15th day, time spent by the user on the app is almost zero. By the 20th day, he has forgotten this app on his phone.
6th month. They decide it doesn’t make sense to drag it. It’s time to see other people. They decide to break up! 30th day on the app, the user accidentally comes across this app on his phone he once used to like. He doesn’t like it or use it anymore. It didn’t make sense to waste space. He decides to uninstall it!

The boy finds a new girl. The user finds a new app.

If you are an app marketer with an ambitious e-commerce company, you can’t let this be your story. I don’t have to remind you that retaining existing users is much more cost effective than acquiring new users.

It’s time you had the pulse of your users. What do they like in your app? What do they not? When was the last time a user visited your app? Why are they not spending time on your app? Your users are sending you signals all the time. Making sense of those signals is the first step towards retaining them.

Predict those who are about to uninstall your app. Drive retention campaigns with personalized messaging across channels – push, email, display, social. Prevent uninstalls and boost user retention.

The next time you are in the same room with your CEO and he asks you ‘Hey Mark, where’s the RoI on the marketing budget?’ you get to say ‘Here it is John. I’m your hero’.


Disclosure: This is a guest post by Dharshan Chandran, a growth marketer at Vizury, a multi-channel mobile marketing platform. He can be contacted at [email protected] or his Twitter account at @Random_Rhapsody

Tahukah Bahwa Pokemon Go Bagus untuk Pemasaran Bisnis Anda?

Pokemon Go baru saja diluncurkan di Indonesia. Untuk yang belum tau mengenai Pokemon Go, it’s a locations based augmented reality game yang merupakan franchise dari permainan Nintendo tahun 1990-an.

Untuk bermain, Anda hanya perlu mengunduh di smartphone iOS atau Android Anda, and unlike other virtual game, Anda tidak hanya bisa duduk manis untuk bermain. Anda harus keluar mencari Pokemon di berbagai lokasi di sekitar Anda.

In addition to make you ditch your couch (and potentially, get healthier!), Pokemon Go is a great news for your brand.

Why, you ask? Well, it’s another marketing tool on your hand! And lucky you, we have quick tips for your brand to ride on this #PokemonGo craze:

Start simple

Take photos of Pokemon you find at your office or shop dan sebarkan di media sosial. Tunjukkan bahwa Anda berpartisipasi dalam game ini dan mengundang players lainnya untuk datang!

Nah, untuk Anda yang mempunyai bisnis yang bergerak dalam bidang Business-to-Business (B2B), jangan khawatir, Anda juga tetap bisa berpartisipasi dan menggunakan #PokemonGo untuk menjalankan strategi pemasaran.

Misalnya bisnis Anda menawarkan service cloud computing dan ingin boosting your lead generation melalui Pokemon Go.

Sounds like a hard sell? Not really! Anda bisa mengumumkan di media sosial bahwa tim Anda di kantor menyambut pemain Pokemon Go yang tertarik soal cloud computing, to meet your team and catch #Pokemon at your office.

That’s a fun way to meet your potential customers, encourage your team to have fun and put your ‘elevator pitch’ to use!

I hear lead generation!

If you have a shop, lure them in!

How about if you want to bring more people to visit your shop? Anda bisa membeli Lure Module yang merupakan salah satu fitur game Pokemon Go yang bisa menarik karakter Pokemon dan potentially other Pokemon trainers yang sedang berada di sekitar Anda.

Anda juga bisa mendapatkan Lure Module ini ketika Anda sudah ada di level tertentu.

Menjadikan tempat Anda #PokeStop bisa membuat mereka “singgah” setidaknya untuk 30 menit. Sebagai pemanis dan insentif, Anda juga bisa memberikan special discount untuk pemain Pokemon yang datang ke tempat Anda.

#PokeSelfie, anyone?

Kemampuan game ini yang bisa menampilkan gambaran sebenarnya dari kondisi di sekitar kita bisa dimanfaatkan untuk foto selfie bersama figur Pokemon yang kita temui. Apalagi jika figur yang kita dapatkan adalah figur langka.

Nah ini cara jitu jika Anda ingin scale up your marketing efforts. Kenapa tidak mengajak players yang sedang berada di shop atau di sekitar café Anda untuk take a selfie with their Pokemon, lalu unggah dengan tag your shop or brand Anda di Instagram atau Twitter.

Kalau Anda mau, Anda juga bisa adakan competition for the most creative #PokeSelfie.

Push #PokeContent

Hampir setiap hari kita dibanjiri email marketing dari banyak brand. Then, why not be different and ride on this Pokemon craze dengan mengirimkan special email marketing atau targeted ads untuk konsumen Anda yang berkaitan dengan #Pokemon.

Misalnya untuk brand yang bergerak di bidang technology security, you can use a topic something along the line with: How to keep your #Pokemon safe from virtual fraud.

Remember, marketing is not always selling, but also building connection with your audiences. Membuat konten yang berkaitan dengan #Pokemon akan membuat brand Anda terlihat lebih relevan dan up to date.

Wabah Pokemon GO yang sudah mulai menyerang banyak orang ternyata bukan sekedar game yang asik untuk dimainkan. As a brand, you can ride your marketing on it! You never know, one of those #Pokemania can be your loyal customer!


Disclosure: Tulisan tamu ini ditulis oleh Gina Dwi Prameswari. Gina adalah Content Consultant di BBOX Consulting. Ia bisa dihubungi melalui blog BBOX 

5 Game of Thrones Characters That are Using Your E-Commerce App

When people aren’t talking about Brexit or getting used to the fact that Trump isn’t some elaborate extra-terrestrial prank, they’re probably watching the Game of Thrones season finale on loop trying to wrap their minds around the sheer awesomeness of all the bloodshed and gore. If the ‘Battle of the Bastards’ made up for an otherwise underwhelming season, ‘Winds of Winter’ did all that and much more, a true return to the kind of intense storytelling the TV show has formed a cult around. Several seemingly muddled plot lines fell into place, setting up perfectly for the great war next season.

Walking into work on Tuesday morning, our mind was playing the episode over and over again so much that there was a metaphorical spilling over of sorts. We imagined dragons were delivering office memos, and there was something in the cafeteria kitchen that looked suspiciously like wildfire. Anyway, we decided to put this bizarre train of thoughts to productive use. Here’s a comparison of e-commerce app users to characters on our favorite show on HBO. After all, all men must buy!

Ned Stark:

Honest, righteous always stood up for what’s right.

The Ned Stark from the App world is a frequent app visitor, engages with your emails, clicks on your Push but never buys. What will it take to make Ned buy at least once?

Jon Snow:

He’s the braveheart! King of the North, he inspires others. Loved by all, just the thought of his death was heart breaking, wasn’t it?

Your Jon Snow user is extremely engaged and inspired his friends to get your app as well. How we wish he never uninstalled the app…

Petyr Baelish:

The ever-scheming, self-made Lord. He never does anything without hidden benefits and you couldn’t guess what’s on his mind.

Petyr Baelish is forever scouting for new offers. He downloads your app, avails the offer and then he hits the UNINSTALL button!

Can you identify your customer? Are most of them Ned Stark, Petyr Baelish, or Tyrion Lannister?
Can you identify your customer? Are most of them Ned Stark, Petyr Baelish, or Tyrion Lannister?

Arya Stark:

Confused and always on the run. The Starks, the Lannisters and many others have been trying to find her but in vain.

Arya downloads your app and visits so many different pages within an hour. Apparels, Networking Devices, Home Furnishings, Men’s Shoes, Books, Games, Mountain Climbing Gear and Fragrances! What does she want really? You’re confused, aren’t you?

Tyrion Lannister:

Clever, always vocal about his feelings and has as a fine taste for the pleasures of the world. But remember, he always pays his debts.

Your Tyrion Lannister is no less. From coolers to shirts, everything he buys is premium and just wow. He’s almost always loyal; but that one delayed delivery and you must face his Twitter-wrath.

Every user on your app is different and it takes a lot of personalization to connect with all of them. Tell us how you engage with these GoT characters that are using your app? Also, check out this story of a typical app user – everything that happens from the day a user installs an app till he hits the uninstall button.


Disclosure: This is a guest post by Akshatha Kamath & Naren Madan, growth marketers at Vizury, the first multi-channel mobile marketing platform.  They can be contacted at [email protected], LinkedIn, @Akshatha_K, @WaitroseEggs or VizuryBlog

Jaring-Jaring Startup

Membaca judul atas mungkin mengingatkan Anda seorang tokoh superhero fiksi yang judulnya kurang lebih mirip “Jaring-Jaring Spiderman”. Jaring-jaring atau orang menyederhanakannya dengan jejaring adalah ikatan yang bersifat semi terstruktur yang menghubungkan satu node (titik) dengan node yang lain. Sebelum kita mulai artikel ini, mari kita anggap node atau titik ini sebagai startup untuk memudahkan pemahamannya.

Pilar pertama: diri

Pada suatu hari saya mengikuti sebuah kegiatan bertema membangun technopreuner. Sebuah tema yang tengah ‘ngehits’ di masa itu. Acaranya sederhana, pada dasarnya panitia mengundang beberapa orang yang berhasil membangun startup, entah itu berhasil karena ekspansi pasar, berhasil karena mendapatkan funding dari VC (Venture Capital), atau berhasil menggandeng perusahaan besar multinasional dalam menjual produknya. Singkat cerita, pada sesi istirahat ada peserta yang berdiskusi dengan peserta yang lain.

“Ah buat startup di masa kini perlu modal besar tampaknya, saya lihat beberapa pembicara yang menjadi narasumber memiliki latar belakang yang berasal dari keluarga mampu, mantan pekerja berprestasi di perusahaan multinasional ternama, atau para pekerja luar negeri yang kembali dan memiliki kecukupan modal.”

Saya jujur terpaku. Yang dia kemukakan benar adanya. Saya jadi ingat Sang Pemilik Hidup Yang Maha Kaya, kemudian teringat salah satu quote dari salah seorang mentor motivasi pada saat saya kuliah:

“Jika kita harus memilih uang 500 juta dengan salah satu tangan kita, apakah kita mau menukarnya, jika kita harus memilih uang 1 miliar dengan kehilangan satu mata kita, apakah kita juga mau menukarnya untuk modal startup kita.”

Silahkan Anda jawab dengan hati. Saya yakin jika Anda sungguh-sungguh menjawabnya, jawabannya akan sama persis dengan yang dikatakan tersebut.

“Tidak… mata, tangan, kaki, hidung kita tidak bisa ditukarkan dengan uang modal untuk sebuah startup.”

Anda melihatnya? Secara natural kita sebagai umat manusia sudah cukup kaya. Semua yang kita miliki dan dalam tubuh kita sudah sangat canggih dan dapat digunakan. Jadi mari kita sepakati sebuah aturan pertama bahwa Tuhan sudah memberikan modal awal kita untuk membangun startup dan ini adalah pilar utama membentuk jaring-jaring startup. Modal memang perlu tetapi semangat kita membuat produk yang baik lebih diperlukan.

Pilar kedua: persaudaraan dan kerja sama

Pilar selanjutnya? Mari saya pindah Anda ke cerita selanjutnya. Pada saat itu saya tengah di sebuah kegiatan seminar e-government. Saya datang lebih pagi karena memenuhi undangan. Pada saat itu saya kaget bukan kepalang bertemu teman seangkatan saya yang saat ini bukan hanya memiliki bisnis software sebatas startup garasi tetapi memiliki gedung bertingkat dengan lebih dari dua puluh pegawai di bawah komandonya. Terus terang saya sedikit cemburu, tetapi saya yakin konsep Sang Pencipta bahwa rezeki itu sudah diatur berdasar ikhtiar (usaha), istiqomah (kesungguhan) dan tawakal (kesabaran).

Coba tebak, kenapa saya cemburu? Tidak, saya tidak cemburu karena dia berlimpahan harta atau keamanan finansial. Yang membuat saya sangat cemburu adalah semua nama teman yang saya kenal dan yang saya ketahui membuat startup bersama dia masih ada, masih di sana, masih berkarya, dan masih membangun kekaisaran startup mereka di tengah badai keuangan, badai sepi pekerjaan, atau bahkan badai hutang. Itu yang membuat saya salut!

Banyak di antara kita, founder sebuah startup, tidak tahan untuk mencari pekerjaan yang lebih mapan, tidak sanggup untuk bertahan dari badai sehingga berpindah pekerjaan, hingga tidak tahan untuk membuat startup sendiri karena startup yang dia ikuti sudah tidak sejalan dengan kebebasan atau pola pikirnya. Itu memang bukan kesalahan, karena memang sangat mudah membuat startup dibandingkan mempertahankan.

Tetapi apakah Anda melihatnya? Membuat startup bukanlah mencari orang yang cerdas, ber-IPK 3.8, berasal dari universitas ternama, atau bahkan berpendidikan S2/S3 untuk mengakselerasi pertumbuhan startup Anda. Tidaklah selalu penting dengan atribut tersebut rekan di samping Anda, tetapi sangatlah penting untuk Anda tahu siapa yang bisa berada di samping Anda selama startup itu ada.

Jadi izinkan kita ungkapkan pilar jaring-jaring startup berikutnya yang kita sebut ukhuwah atau persaudaraan. Membuat startup adalah membentuk persaudaraan baru, ibarat kaki yang tertusuk jarum, maka mulut berteriak, ibarat startup itu terkena musibah maka orang-orang sebenarnya adalah yang tetap ada untuk membangunnya kembali bukan yang pergi meninggalkannya.

Pilar ketiga: power of people

Lalu bagaimana dengan pilar ketiga dari jaring-jaring startup? Ambil contoh kembali ketika Saya melihat bagaimana kolega saya bekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain, kemudian membuat startup, membuat produk, memperoleh hibah sebegitu besar tetapi tetap hidup sederhana. Saya melihatnya sendiri bagaimana seseorang yang mampu membeli Porsche tetapi tetap menggunakan mobil yang sederhana. Sampai pada suatu saat saya mencoba memahami ke mana semua keberhasilan itu? Ternyata pegawainya yang suka nonton bola dia belikan tiket untuk mendukung timnya di luar sana. Seorang tangan kanannya yang gemar beribadah dia belikan tiket umroh sekeluarga, hingga anak SMK yang ikut dia semenjak startup itu berdiri dia pinjamkan rumah tinggal. Luar biasa! Saya hanya tertegun.

Anda tahu kenapa saya tertegun? Pertama, saya melihat kepercayaan dia kepada setiap orang yang sudah berjuang, setiap orang yang tidak pernah mengeluh pada saat tidak gajian, dan tidak mengeluh pada saat pekerjaan yang berat atau perubahan manajemen startup. Kita semua tahu bahwa salah satu ciri sebuah startup yang akan menjadi perusahaan menengah ke atas akan mengalami transformasi kebebasan dan mengarah keberaturan dan kedisiplinan yang kita sebut dengan manajemen. Dari yang meeting tidak terjadwal menjadi terjadwal, dari yang bisa masuk kapan saja akhirnya harus disiplin.

Pada saat itu mungkin ‘kebebasan’ yang diimpikan oleh kaum muda pengembang startup akan mulai bergeser ke ‘ala enterprise’ yang membosankan, tetapi pada tahap itu bergembiralah karena artinya startup tempat Anda bekerja itu tumbuh dan orang-orang yang sampai ke tahap tersebut dan itu layak kita sebut sebagai para pejuang .

Jadi apakah implikasinya? Tidak usah ragu jika suatu saat Anda sebagai founder harus mencairkan dana simpanan perusahaan untuk kesejahteraan para pejuang di sana. Sungguh uang yang Anda sebut sebagai keberhasilan yang tidak lain adalah ‘meta-success’. Inti startup bukan seberapa banyak yang disimpan di pundi perusahaan, tetapi seberapa besar startup tersebut dapat memberi manfaat kepada para pejuang. Ingat startup adalah ‘the  power of people’.

Pada suatu saat keterbatasan melanda Anda, yakinlah dan tetap tersenyum karena Startup Anda berisi orang hebat! Inilah yang saya sebut pilar ketiga jaring-jaring startup. “The Power of People”, slogan yang sama persis ketika Steve Ballmer ex-CEO Microsoft, mengubah Microsoft dari kegalauan enterprise menjadi enterprise yang tumbuh dan berani lewat Cloud dan Office 365-nya.

Sebagai penutup mari kita simpulkan tiga pilar utama jaring-jaring startup. Pertama adalah selaku founder, Anda harus memiliki komitmen untuk menggunakan yang Tuhan berikan terutama tenaga dan sebagian besar waktu Anda untuk membuat inti dari jaring-jaring startup ini. Pilar kedua adalah membangun ukhuwah dan silaturahim antara founder, rekanan, dan pelanggan, walau terbilang sederhana inilah yang membuat jaring-jaring startup makin luas dan besar. Selanjutnya pilar ketiga adalah bagaimana sebuah startup berpikir lebih jauh agar jaring-jaring startup yang dibuat lebih kuat solid dan tidak mudah patah, rahasianya adalah ‘the power of people‘ utamakan pengembangan personal dibanding hal lain yang ada di startup Anda. Memang mudah berkata, tetapi tidak ada salahnya mencoba.

Selamat berpuasa dan tetap berkembang untuk jaring-jaring startup Anda.


Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh Ridi Ferdiana melalui sejumlah penyuntingan

Dr. Ridi Ferdiana adalah pemerhati di bidang teknologi pendidikan dan juga rekayasa perangkat lunak. Saat ini berperan sebagai research and education advisor di Microsoft Innovation Center dan juga sebagai peneliti di Universitas Gadjah Mada.

Berikut Ini 5 Strategi Pemasaran Startup Menggunakan Instagram

Media sosial memberikan pilihan bagi perusahaan untuk berinteraksi dengan komunitas dan mempromosikan produknya. Tetapi dari sekian banyak pilihan, media sosial manakah yang tepat bagi target konsumen Anda?

Jika Anda menarget konsumen di kalangan muda Indonesia, maka Instagram adalah jawaban yang tepat. Menurut survei We Are Social, 32% dari pengguna media sosial di Indonesia menggunakan Instagram. Sedangkan riset JakPat menunjukkan jika lebih dari 70% pengguna Instagram berusia antara 16-25 tahun.

Dengan potensi active users sebesar itu, Instagram menjadi platform yang paling diincar banyak brand atau perusahaan di Indonesia. Lalu, sebagai startup, how to kick ass on Instagram?

Connect and scale!

Dengan Instagram dan Facebook terkoneksi satu sama lain, itu menjadi kesempatan bagi brand Anda untuk tampil di dua media sosial dengan user base terbesar. Jadi ketika Anda membuat Facebook Page untuk bisnis Anda, make sure to add Instagram tab. Ketika Anda mempublikasi foto atau video di Facebook, otomatis bisa tampil juga di laman Instagram Anda.

Salah satu keunggulan dari linking Facebook dan Instagram adalah pengguna Instagram biasanya lebih terbuka untuk like atau follow akun Instagram lainnya dibandingkan dengan pengguna Facebook. Jadi kalau potential audiences Anda tertarik untuk follow akun Instagram Anda, bukan tidak mungkin mereka juga akan tertarik untuk menyukai Facebook Anda.

Use the power of hashtag but don’t go too crazy

Keajaiban hashtag untuk mempublikasikan sebuah brand telah teruji. Semakin konsisten dan semakin sering hashtag digunakan, akan semakin banyak pula audience yang relevan dengan brand atau produk Anda terjaring.

Kunci dari pemakaian hashtag # adalah pilih yang sesuai dengan produk, brand atau bahkan deskripsi produk Anda. Kombinasikan antara hashtag yang berkaitan dengan produk Anda dengan hashtag yang sedang populer, sehingga ketika orang mencari konten dari hashtag populer, mereka juga dapat menemukan konten Anda.

Tapi yang harus diingat, jangan menggunakan hashtag terlalu berlebihan. Sebaiknya gunakan maksimal 5 hashtag dalam setiap post.

Revamp your business profile

Lihat lagi profile dari akun bisnis Instagram Anda, apakah sudah menarik atau kreatif? Ingat, tidak hanya foto saja yang harus menarik, tapi juga profil akun Anda juga harus mengundang perhatian

Pemilihan photo profile atau background photo pun harus sesuai dengan brand atau produk Anda, but don’t be too cheesy! Misalnya startup Anda menawarkan layanan cleaning service on demand. Mungkin Anda bisa memilih profile photo seorang Ibu yang terlihat bahagia karena hidupnya sudah terbantu dengan layanan Anda.

Selain itu, setiap bisnis dan brand punya identitas, dari logo hingga warna yang identik dengan brand tersebut. Karena itu ketika Anda punya akun Instagram, jangan lupa untuk memasukkan unsur tema dari perusahaan atau bisnis Anda.

Email Marketing with Instagram Content

Great, your customers receive an email marketing every month but, why don’t you spice it up! Selain promosi produk atau servis, Anda juga bisa bermain dengan konten-konten yang kreatif dari Instagram Anda.

Anda juga bisa crowdsource foto-foto menarik dari followers Anda di Instagram lho. Hitung-hitung selain menjadi lebih kreatif, dengan menggunakan photo-photo dari follower Anda bisa menjadi cara untuk Anda melibatkan komunitas Anda.

Make it local

Gunakan geotag untuk setiap post Anda sehingga Anda bisa mentarget konsumen yang relevan dan tepat pada sasaran. Dengan begitu akan dapat meningkatkan engagement rate Anda karena Anda mempublikasi content yang sesuai dengan audiences yang berada di wilayah tersebut.

Misalnya Anda sedang berada di Surabaya untuk event promosi produk Anda, kenapa tidak mempublikasi foto event tersebut dan geotag Surabaya. Jadi Anda bisa gunakan post tersebut sebagai cara untuk reaching out to the targeted audiences with targeted messages.

Itu 5 cara yang dapat Anda lakukan dalam mempromosikan startup Anda di Instagram. Yang paling penting dalam media sosial adalah selalu engage atau berinteraksi dengan followers Anda. Remember, building connection means building loyalty.


Disclosure: Tulisan tamu ini ditulis oleh Gina Dwi Prameswari. Gina adalah Content Consultant di BBOX Consulting. Ia bisa dihubungi melalui blog BBOX 

Who Exactly is in Indonesia’s Startup Community?

As many locals know, Indonesia has a fast growing startup scene with many interesting people. In partnership with the EV Hive we wanted to learn more about the people that are apart of the community and its periphery, so we launched a survey.

There were 124 responses, which is just the right sample size we would need if the total tech population in Indonesia is 500,000 and we needed an 80 percent confidence level with a margin of error of 8%. In truth, we don’t actually need an accurate sample size since for many of the responses the data was significant.

The results were fascinating and all the data is available for anyone to peruse. Here are the most important insights we discovered.

  • 75% of respondents have run their own business but only 56% are still running it.
  • On the question of whether entrepreneurship is a good career choice 94% said yes
  • The biggest motivation for starting a new company is to help others while “flexibility” was only the 4th most popular reason. This is most surprising since when asked why people thought entrepreneurship was a good career choice, freedom was the most commonly stated reason as free form comment.
Benefit that mostly motivating startup founder
Benefit that mostly motivating startup founder

 

  • On the opposite side, the biggest discouragement from launching a startup is “unstable income” with “fear of failure” a close second. 35% chose not having a co-founder which means there’s a need to help people find co-founders to start businesses.
Factors that may discourage a founder
Factors that may discourage a founder
  • Another big surprise was how many people said they were going to start a new company in the next 12 months with 96% choosing some degree of likelihood.
  • As a non-Indonesian, the most surprising answer to me was how many stated that eCommerce was the hottest category for a startup. With so many existing ecommerce companies, I would think that this space would be quite crowded already. I would propose a service business like Seekmi as the kind of business that achieves the objective of helping people while also catering to a strong business need; however, only 2% chose service business as an interesting startup space.

In addition, to these key insights there are also notable datapoints on who actually is a part of the startup scene in Indonesia.

  • Only 84% of the survey respondents considered themselves to be entrepreneurs
  • According to our survey, the community is 80% male in the 18-29 age group, with college degrees
Most respondents on startup survey in Indonesia are male
Most respondents on startup survey in Indonesia are male
  • The current employment status of respondents was also unexpected since only 51% actually work for a startup.

Key takeaways

Surveys are always great tools for learning about a target audience, but they are only truly useful if there is something you can learn from the data to improve your life or business.

  • There appears to be a very high percentage of males which means that there is a female population that is significantly underrepresented in the startup space
  • The startup community consists of many people that want to be involved in startups, but have not yet taken the plunge to either join a startup or create their own. Help with finding co-founders and addressing fears of income (lessons on budgeting, maybe?) could go a long way to supporting people in their startup journey
  • Respondents want to be a part of startups to help people, but they think e-commerce is the best way to do that. Meetups and events to brainstorm ways to help people across the economy might spawn ideas that are not just e-commerce companies
  • On a question about whether it was easy or difficult to create a startup in Indonesia, respondents were neutral. On a question about whether the government is supportive of startups, more stated that the government was supportive than unsupportive. This indicates that the government support may not be making it truly easy to create a startup and the support can possibly be redirected.

Here’s a link to all the survey results, so feel free to come up with your own insights and share them in the comments below! You can even take this one step further by launching your own survey by copying and/or modifying our questions. Good luck researching!


Disclosure: This article is written by Eli Schwartz, Director of Marketing APAC at SurveyMonkey, the world’s largest online survey platform, in collaboration with EV Hive, East Ventures’ co-working space

ASEAN Property Giants Buy Insurance Against Digital Disruption

We live in a digitally disrupted world where the best business ideas coupled with great execution can reorder the existing world order. If you need some convincing, think of what is happening to the hotel industry. It used to have that you have to develop a piece of land before you can rent out your rooms on a daily and large scale basis.

Proven Formula

Today, anyone that has a spare room can form their own boutique hotel with AirBnB. AirBnB disrupted the traditional hotel industry and forced them to lower their rents and improve their services to compete with the sudden supply of short stay hotel rooms.

For the past decade, established companies had been ambushed by technology startups that dared to be different. At the mid point of this decade, we are seeing a reversal of trends. There is a saying, ‘If you can’t beat them, join them.’

The success AirBnBs, Ubers and Lazadas of the world had proven that technology startups provide a strong formula for success. This is provided that you can find the right startup. In Singapore, Temasek linked companies are partnering with Microsoft to find the next startup that would shine in this disruptive environment.

Win-Win Situation

If these technology start-ups can prove themselves to be worthy of creating the next disruption, established companies such as Ascendas and Capitaland would invest in them. So instead of having to raise funds with business loans, these startups can give out equity instead.

Capitaland is the largest listed developer in Southeast Asia with properties in Indonesia, Singapore, Vietnam and Malaysia. It had also developed a significant presence in China. While Capitaland is more focused on malls and residential areas, Ascendas is in the business of developing entire townships, industrial parks and mixed used developments with its Singbridge partnership. It has a presence in 29 Asian cities with private funds focused on ASEAN, Korea, China, and India.

Beside the financing advantage, startups can also access the network and mentorship of these successful competitors. They wouldn’t have to employ SEO consultants to rank them highly on Google to be noticed by their clients or future investors. These companies can be their clients and investors. In addition, they can vouch for the successful startups, which can lend them more clients and investors.

If you think of it, this is a win-win situation where both the startups and established companies. If these startups were to disrupt their industry, they know who to buy over wholesale.

Conclusion

After all, it is relatively easy to engage a web developer to create your web presence. The hard part is to create your product that would attract the critical mass of users to make it a success. The startup would do the heavy lifting and the established companies reap the benefits and insure themselves against digital disruption.


Disclosure: This article is contributed by Ong Kai Kiat. He is a professional freelance writer who enjoys the process of discovering and collating new trends and insights for an article. He adds value to society through his articles especially those related to finance and technology. He is reachable at [email protected]

Hadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, 57 Juta UKM di Indonesia Memperkuat Dirinya dengan SaaS

Lima puluh tujuh juta UKM Indonesia belum pernah mendapatkan kesempatan yang begitu besar dan juga belum pernah menghadapi persaingan seperti sekarang ini. Karena adanya persatuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), hampir 600 juta masyarakat Asia Tenggara sudah dapat dijangkau oleh perusahaan-perusahan Indonesia. Para ekonom dan investor percaya bahwa teknologi akan menjadi kunci dalam membuka berbagai potensi lokal.

MEA juga menjadi suatu tanda kemudahan bagi perusahaan asing untuk memasuki Indonesia. Founder Moka Haryanto Tanjo, startup mobile point-of-sale yang berbasiskan di Jakarta, menjelaskan, “Untuk tetap dapat bersaing, pebisnis UKM dituntut untuk menjalankan bisnis mereka secara lebih efisien dan juga dapat mengakses informasi secara real-time.”

Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menjelaskan bahwa di dalam era transparansi, di mana informasi menjadi sangat mudah di akses, akan ada banyak persaingan antar UKM yang memiliki kesamaan dalam model bisnis, pelanggan dan cara berbisnis. Menurutnya, kelebihan kompetitif yang dimiliki setiap bisnis yang ada terletak pada kemampuan dalam menjalankan bisnis tersebut.

Cuaca mengatakan, “Perusahaan kami terus mencari kunci pertumbuhan di Indonesia yang juga meningkatkan perkembangan teknologi. Inilah saat di mana software dapat membantu mereka dalam menjalankan bisnis secara lebih efisien dan kami percaya bahwa UKM yang dilengkapi dengan software akan muncul sebagai pemenang. Kami mengelompokkan grup pemenang ini sebagai ‘UKM pintar’.”

Senjata Pertahanan Regional

“Saya percaya bahwa hanya perusahaan besar dan multinasional yang dapat memiliki kemampuan dan sumber daya dalam menggunakan software seperti SAP dan Oracle, “ jelas Joshua Kevin, co-founder Talenta, startup SaaS yang bergerak di bidang human resources di Indonesia.

Dalam triwulan pertama di tahun 2016, Talenta melaporkan ada lebih dari 75 perusahaan pengguna dan 10.000 karyawan yang aktif dalam software-nya. Startup ini memproyeksikan di akhir tahun akan ada peningkatan 50.000 karyawan aktif.

Selain Talenta, juga ada startup tenaga kerja lokal lainnya yang dibantu dengan adanya pendanaan dari kapitalis ventura. Ketika Talenta membantu perusahaan dalam mengurus karyawan yang sudah ada, Rekruta membantu usaha bisnis dalam melacak pelamar kerja baru.

“Lokalisasi adalah kuncinya,” jelas Silvia Pratama, founder Rekruta, yang startupnya menawarkan suatu sistem yang dapat membantu proses perekrutan kerja bagi perusahaan menengah ke atas secara otomatis. Ia berkata, “Salah satu contoh lokalisasi di Indonesia dan Asia Tenggara adalah fitur resume parsing.”

Walaupun Rekruta masih tergolong baru, perusahaan ini menargetkan 100 pengguna aktif pada tahun 2017 yang Pratama harap adalah perusahaan e-commerce lokal.

Di bagian akunting, perusahaan seperti Jurnal dan Jojonomic telah menjadi salah satu pemainnya di Indonesia. Jurnal membuat suatu software bookkeeping yang interaktif sedangkan Jojonomic adalah suatu software manajemen keuangan pribadi gratis. Dalam versi premiumnya, Jojonomic Pro, adalah suatu solusi SaaS untuk mengatasi reimbursement yang ditargetkan kepada bisnis-bisnis. Produk ini menggunakan kamera smartphone untuk dengan mudah memindai dan menyimpan kuitansi. Founder Jojonomic Indrasto Budisantoso mengatakan
bahwa penggunaan mobile phone adalah tenaga penggerak di balik kemajuan SaaS dalam UKM di Asia Tenggara.

“Sekarang, semua smartphone memliki kamera dan hampir seluruh jajaran karyawan pasti memiliki smartphone. Hal ini belum terjadi untuk tiga sampai empat tahun yang lalu,” jelasnya.

Jojonomic Pro melaporkan adanya lebih dari 40 perusahaan berlangganan dan pertumbuhan 100 persen setiap bulannya sejak Desember 2015.

CEO dan co-founder SIRCLO Brian Marshal mengatakan bahwa platform pembuatan website toko online-nya yang berbasiskan cloud ini telah memiliki lebih dari 10.000 user aktif. Marshal menyatakan bahwa SIRCLO akan segera melewati pendapatan tahunan US$200.000. Ia percaya bahwa perusahaannya adalah salah satu dari banyak SaaS startup di Indonesia yang telah berhasil mencapai angka tersebut. SIRCLO sampai saat ini telah memfasilitasi lebih dari US$4.000.000 dalam GMV (gross merchandise volume).

“Kami telah melihat berbagai kisah sukses belakangan ini,” jelas Marshal. “Hari ini, bukanlah suatu kasus yang jarang untuk melihat bisnis perseorangan dalam platform kami yang mendapatkan revenue bulanan dari US$0 hingga US$5000.”

Waktu Keemasan SaaS (Software as a Service)

Tercatat ada lebih dari 140 startup SaaS yang tersebar di seluruh Asia Tenggara. Karena banyaknya bisnis yang mulai berpindah kepada solusi cloud-based untuk distribusi produk, software tradisional akan semakin tertinggal di belakang. Riset menjelaskan bahwa sekitar 60 persen dari startup SaaS yang ada di Asia Tenggara telah mendapatkan funding senilai sekitar US$90 juta per Mei tahun lalu.

Golongan menengah Indonesia diperkirakan akan terus meningkat dan bertumbuh sekitar 70 juta penduduk dan mencapai 141 juta pada tahun 2020. Hal ini terus mengindikasikan bahwa akan ada lebih banyak UKM yang akan bergabung ke dalam ekonomi digital ini. Ini juga menjadi faktor bahwa SaaS akan memiliki peran yang sangat signifikan dalam pertumbuhan di Asia Tenggara dalam beberapa tahun ke depan.


Disclosure: artikel tamu ini ditulis oleh East Ventures setelah melalui proses penyuntingan

Pembahasan RPM Menkominfo tentang Kewajiban Layanan OTT di Indonesia

Akhir Maret lalu, Menkominfo menerbitkan Surat Edaran Menkominfo No. 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten melalui Internet (Over The Top) yang bermaksud memberikan para penyedia layanan OTT waktu untuk bersiap-siap menyambut rancangan peraturan Menkominfo mengenai layanan OTT di Indonesia.

Rancangan Peraturan Menkominfo tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten melalui Internet (RPM Menkominfo) telah tersedia untuk uji publik akhir April lalu. Pada kesempatan ini, kita selaku penyedia atau penikmat layanan OTT dapat mengkritisi RPM Menkominfo dan memberikan masukan. Sayangnya, masa uji publik ini sangat terbatas dan jadwalnya bakal berakhir 12 Mei besok.

Melalui artikel ini, kami bermaksud untuk menerangkan isi RPM Menkominfo tersebut. Dalam RPM Menkominfo, dinyatakan bahwa dokumen ini diperlukan supaya:
a. tercipta iklim usaha yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi;
b. mengembangkan industri kreatif dalam negeri di tengah iklim usaha global;
c. memberikan kepastian hukum; dan
d. menciptakan kompetisi yang sehat.

Lebih lanjut, RPM Menkominfo ini juga menyatakan bertujuan melindungi kepentingan masyarakat, penyelenggara telekomunikasi, dan kepentingan nasional. Apa benar demikian?

Kewajiban Layanan OTT sesuai dengan RPM Menkominfo

Dalam RPM Menkominfo tersebut, Layanan Aplikasi adalah penggunaan perangkat lunak yang memungkinkan terjadinya layanan komunikasi dalam bentuk pesan singkat, panggilan suara, panggilan video, surat elektronik, dan chatting/instang messaging, serta layanan transaksi finansial, transaksi komersial, penyimpanan dan pengambilan data, mesin pencari, game, jejaring dan media sosial, termasuk turunannya dengan memanfaatkan akses internet.

Sementara Layanan Konten adalah penyediaan informasi digital yang dapat berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, game atau kombinasi darinya, termasuk dalam bentuk yang streaming atau download dengan memanfaatkan akses internet.

Yang disebut sebagai Layanan OTT adalah Layanan Aplikasi dan/atau Layanan Konten, jadi baik pembuat aplikasi maupun pembuat konten bisa dikategorikan sebagai layanan OTT.

Penyedia Layanan OTT lokal dapat berbentuk perorangan atau badan usaha. Sementara penyedia Layanan OTT asing wajib berbentuk setidaknya Bentuk Usaha Tetap (BUT). Sebelumnya, kami sudah pernah membahas soal BUT terkait dengan usaha OTT.

Bagaimana kewajiban layanan OTT di Indonesia? Layanan OTT disebutkan wajib melakukan perlindungan dan kerahasiaan data. Kemudian, Layanan OTT juga wajib menggunakan nomor protokol internet Indonesia dan menempatkan sebagian server dalam data center di Indonesia. Data rekaman transaksi dan trafik juga harus disimpan selama minimal 3 bulan. Jika data rekaman tersebut digunakan dalam proses peradilan, maka harus disimpan hingga terdapat putusan pengadilan berkekuatan tetap.

Dalam kegiatannya, Layanan OTT wajib melakukan filter konten dan mekanisme sensor sesuai dengan peraturan di Indonesia. Selain itu, Layanan OTT dapat dilakukan dengan meminta pembayaran atau tidak. Apabila berbayar, Layanan OTT wajib menggunakan payment gateway nasional yang berbadan hukum Indonesia.

Selanjutnya, segala informasi dan/atau petunjuk penggunaan Layanan OTT harus ditampilkan dalam bahasa Indonesia. Dalam rangka melindungi kepentingan konsumen, Layanan OTT juga harus menyediakan pusat kontak informasi, dan setiap pertanyaan dan/atau pengaduan harus ditanggapi dalam 1 x 24 jam.

Terdapat beberapa hal yang dilarang disediakan dalam muatan Layanan OTT, di antaranya muatan yang mengandung hate speech, menimbulkan konflik SARA, bertentangan dengan peraturan, menodai agama, kekerasan, penyalahgunaan narkoba, pornografi, dan lain-lain.

Layanan OTT juga wajib menjamin akses penyadapan informasi secara sah dan pengambilan alat bukti dalam rangka keperluan perkara pidana oleh aparat penegak hukum. Kemudian, penyedia Layanan OTT juga wajib menyampaikan laporan tahunan ke BRTI yang setidaknya memuat informasi jumlah pelanggan dan statistik trafik layanan.

Sehubungan dengan fungsi telekomunikasi Layanan OTT, RPM Menkominfo belum dapat mengambil keputusan dan memiliki beberapa opsi:
a. Penyedia Layanan OTT dapat bekerjasama dengan penyelenggara telekomunikasi.

b. Dalam hal Layanan OTT memiliki fungsi sama atau substitutif dengan layanan jasa telekomunikasi, penyedia Layanan OTT wajib bekerja sama dengan penyelenggara jasa telekomunikasi.

c. Dalam hal Layanan OTT memiliki fungsi sama atau substitutif dengan layanan jasa telekomunikasi, penyedia Layanan OTT wajib menjadi penyelenggara jasa telekomunikasi.

Tidak dijelaskan seluas apa lingkup dari kerja sama yang dimaksud. Apakah termasuk penentuan profit sharing dan penentuan tarif? Bagaimana jika layanan OTT tersebut tidak memungut biaya, seperti yang ditawarkan oleh layanan messaging saat ini?

Jika RPM Menkominfo disahkan menjadi peraturan yang berlaku secara nasional, Layanan OTT yang sudah ada diberikan waktu 9 bulan untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan baru ini. Pendirian badan usaha atau BUT di Indonesia tentunya melibatkan instansi pemerintah selain Kementerian Komunikasi dan Informatika. Alangkah baiknya apabila seluruh instansi tersebut dapat bekerja sama supaya kewajiban penyesuaian di atas dapat selesai dalam 9 bulan saja.

RPM Menkominfo ini masih berstatus uji publik dan kita berhak untuk menyampaikan kritik serta saran kepada Menkominfo. Masukan dan tanggapan kita dapat dilayangkan ke [email protected] atau telepon 0815-1898881 hingga 12 Mei 2016.

Komentar

Menurut kami, berdasarkan kajian hukum dan teknologi, apa yang diminta oleh Pemerintah cukup tidak masuk akal. Bayangkan sebuah layanan OTT, misalnya WhatsApp yang merupakan layanan messaging terpopuler di Indonesia saat ini, harus mengakomodasi semua hal yang dicetak tebal di atas. Mereka harus menyediakan data center di Indonesia, membuka akses ke pemerintah ketika dibutuhkan, dan bekerja sama dengan operator seluler lokal karena memiliki fitur menyerupai layanan telekomunikasi. Sesuatu hal yang kemungkinan besar sulit dipenuhi secara keseluruhan oleh WhatsApp sekalipun.

Mungkin yang dimaksud oleh Pemerintah adalah kehadiran aplikasi lokal, yang bisa menyaingi WhatsApp, dan bisa digdaya di negeri sendiri. Jika ternyata WhatsApp tidak mampu, atau tidak mau mengakomodasi semua yang disyaratkan Pemerintah tersebut, apakah WhatsApp akan diblokir? Apakah pengembang lokal, dalam waktu 9 bulan ke depan, mampu menghasilkan sebuah platform messaging dengan kualitas sekelas WhatsApp?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harusnya disampaikan ke pihak pemerintah sebelum masa uji publik berakhir besok.


Klikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.

Amir Karimuddin berkontribusi dalam pembuatan artikel ini.