Edy Sulistyo: “Menyelesaikan Isu Fundamental dalam Industri Hiburan bukanlah Perkara Instan”

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Belum lama ini ditunjuk sebagai CEO Gojek Entertainment, perjalanan Edy Sulistyo sebagai pebisnis tidaklah selalu mulus. Ia membangun beberapa bisnis lalu menuai exit sebelum membuka babak baru bersama startup decacorn Indonesia.

Edy memulai karir bisnisnya sejak masih duduk di bangku SMA. Ia mulai dikenal saat mendirikan layanan manajemen event bernama eEvent.

Setelah eEvent diakuisisi oleh perusahaan lokal Amerika, Ia pulang ke Indonesia untuk membangun Loket.com. Ia memutuskan untuk fokus dalam industri hiburan tanah air. Bisnisnya berjalan lancar sampai pada akhirnya Gojek datang dengan mengusung visi yang sama.

DailySocial membahas lebih lanjut mengenai lika-liku kehidupan berbisnis Edy Sulistyo dalam sesi Q&A. Berikut penggalan kisahnya:

Bagaimana pengalaman pertama Anda sebagai seorang pebisnis?

Saya mulai mengembangkan situs (dulu belum ada terminologi startup) bernama Kamus Online. Hal ini didorong kebutuhan akan kamus yang lengkap. Saya harus belajar untuk tes dan tidak ada pilihan lain kecuali membuat versi online kamus cetak. Ternyata, teknologi ini berguna bagi banyak orang. Yang saya lakukan adalah crowdsourcing kosakata dari kamus, ketika ada kata yang belum terdaftar, siapa saja bisa menambahkan dalam database. Situs ini akan terus berkembang dan semakin pintar. Pada saat itu, saya baru menyadari bahwa sedang membuat teknologi yang saat ini disebut machine learning. Seiring berjalannya waktu, Kamus Online menjadi semakin berkembang dan menjadi pilihan utama. Situs ini berjalan selama 8 tahun dari 1999 hingga 2007.

Apa yang terjadi selanjutnya? Apakah langsung terpikir untuk memulai eEvent?

Belum, saya mengembangkan beberapa situs lain seperti Files upload yang berfungsi hampir seperti dropbox saat ini. Saya membuat itu karna seringkali mengalami kesulitan dalam mengirimkan data yang berukuran besar. Dalam menjalankan situs ini, hampir setiap hari saya berkutat dengan email dari institusi keamanan karena banyaknya yang meng-upload konten ilegal, belum lagi cease and desist letter yang menumpuk. Hal ini sangat megganggu, email datang bertubi-tubi, dimana ketika tidak dibalas akan semakin sering masuk dan beresiko menyudahi bisnis. Ini bertahan selama 6 sampai 8 bulan dengan 300 ribu pengguna sebelum saya memulai proyek baru bernama circlemail.com. Secara fundamental, situs ini diciptakan untuk mengatasi masalah keterbatasan ruang penyimpanan. Circlemail.com memiliki konsep unlimited storage menggunakan referensi dilengkapi dengan drive dan galeri foto.

Bertahun-tahun membangun dan menjalankan bisnis, apa saja yang Anda pelajari?

Kebanyakan hal-hal teknis, tapi yang tak kalah penting adalah kerasnya hidup sebagai seorang founder. Saya harus menjalankan layanan end-to-end sembari menyelesaikan studi. Itu adalah saat-saat tersulit untuk bisa fokus. Dari sisi Files upload, saya belajar bagamana mengatasi grey area. Sebuah hal yang kompleks mencakup pelanggaran hak cipta. Bahkan layanan komputasi awan sekelas Dropbox mengalami isu yang sama, namun teknologi masa kini semakin berkembang. Saat itu, kami hanya menggunakan teknologi yang ada.

Langsung saja memasuki pembahasan tentang eEvent, bagaimana awal mula Anda mengembangkan layanan ini?

Sederhana saja, co-founder saya sedang mengelola salah satu festival terbesar di Asia. Ia meminta bantuan, lalu kami dengan senang hati ikut berkontribusi. Ternyata, mereka masih menggunakan cara-cara konvensional untuk mengelola event dengan penonton tidak kurang dari 350.000 orang di akhir minggu. Lalu, kami pun berinisiatif untuk mengembangkan teknologi demi mempermudah prosesnya, saat itulah lahir eEvent. Kami turut mengelola beberapa acara di sekitar Columbus sebagai validasi bisnis sebelum memulai penggalangan dana.

eEvent adalah proyek pertama Anda yang melibatkan pendanaan VC. Mengapa butuh banyak dana? Coba ceritakan pengalaman pertama Anda dalam menggalang dana.

Bisa dikatakan, eEvent adalah startup pertama saya yang bukan single man show. Saya harus mempekerjakan orang, yang berarti memiliki tanggung jawab lebih besar. Pertimbangannya adalah model bisnis B2B2C membutuhkan banyak SDM untuk berkembang. Saat itulah saya rasa waktu yang tepat untuk penggalangan dana. Pendanaan pertama kami adalah sebuah keberuntungan. Seorang angel investor, ahli bedah plastik ternama di dunia dari Indonesia. Namun, memiliki investor yang tidak relevan ternyata bisa menjadi boomerang. Kami belajar banyak, bahwa untuk bisa berkembang juga harus strategis dalam memilih investor. Tidak lama setelah itu, kami mengadakan putaran awal dari institusi. Putaran ini lebih strategis karena pihak investor juga mengadakan semacam program inkubator. Kebetulan, kami juga memiliki kemitraan strategis dengan investor lokal bernama Ideasource.

Sebagai seorang mahasiswa Ilmu Komputer tanpa latar belakang finansial bisnis, bagaimana Anda bisa bertahan?

Ini adalah sebuah proses sebagai individu. Sebagai mahasiswa Ilmu komputer, saya cenderung introvert. Saya tidak suka berbincang dan lebih memilih duduk di depan layar komputer. Hal-hal ini menurut saya tidak signifikan, namun ketika membangun bisnis, semua menjadi berbeda. Yang menurut saya menarik, belum tentu menyenangkan di mata orang lain. Saya berfikir untuk menyederhanakan prosesnya tapi tidak semua orang peduli. Pelajaran terbesar adalah, kami membuat banyak kesalahan dalam desain program karena merasa tau apa yang diinginkan konsumen.

Apa yang membuat Anda berfikir untuk memperkenalkan eEvent di Indonesia?

Sekitar tahun 2009 adalah masa kejayaan startup lokal. Sesungguhnya, kami tidak pernah berniat untuk ekspand ke Indonesia. Namun, karna besarnya exposure dari startup lokal, Indonesia menjadi negara dengan pengguna kedua terbesar setelah US. Lalu, kami mulai bolak balik untuk merencanakan ekspansi. Sayang sekali, pasar yang berbeda memiliki budaya yang berbeda juga. Sistem kerja, pola pikir, segala proses yang kami atur menurut pasar US tidak bisa diimplementasikan di pasar Indonesia. Kami mencoba segala macam modifikasi, tapi pasarnya memang belum siap. Maka dari itu kami memutuskan untuk kembali dan fokus di pasar US.

Apa yang terjadi sebelum proses akuisisi? Mengapa Anda memutuskan untuk menjual bisnis ini?

Pada saat itu, kami sedang berkembang dan menjadi salah satu pemain terdepan di area midwest, terutama Ohio. Namun, segment B2B2C ini sangat tricky dari segi monetisasi dan tingginya burn rate. Meski mendapat keuntungan, dibandingkan dengan banyaknya uang yang dibakar, masih jauh dari positif. Kami harus mengadakan penggalangan dana di Silicon Valley, Los Angeles, bertemu dengan beberapa mentor ternama. Pada saat itu, pasar Amerika sedang dikuasai Evenbrite, dan ada satu waktu kami sangat dekat dengan kemungkinan akuisisi oleh Evenbrite. Tanpa diduga, salah satu perusahaan lokal bernama Envision Point datang dengan penawaran yang jauh lebih menarik. Saat itu kami exit sepenuhnya.

Sebagai seorang Founder, pastilah banyak pertimbangan dalam menjual bisnis. Apa yang menjadi visi Anda pada saat itu?

Kami selalu memiliki misi untuk melakukan sesuatu bagi Indonesia. Semua founder di US adalah orang Indonesia dengan pegawai lokal. Walaupun kita sudah bisa memasukkan Indonesia ke dalam peta dunia, masih terasa ada yang kurang. Jatuh bangun berkompetisi di pasar US demi apa? Uang mungkin salah satunya, tapi mimpi kami adalah membuat sesuatu yang lebih bermanfaat bagi Indonesia. Banyak hal yang jauh lebih besar di Indonesia bisa diatasi dengan teknologi. Sayang sekali kalau kita hanya melihat tanpa bertindak. Jika kita bisa membuat bisnis yang sukses di Amerika, alangkah lebih baik kita melakukannya di Indonesia. Visinya adalah untuk mempercepat penjualan. Mengadakan event yang sukses menjadi sulit karena kurangnya publikasi dan proses pemasaran yang masih jadul. Melihat ke depan, ada isu yang lebih besar daripada itu. Dalam hal keamanan, korupsi tiket, dan isu fundamental lainnya. Daripada hanya fokus menjual tiket, kami merasa tertantang untuk membuat disrupsi di industri hiburan keseluruhan.

Mengapa memilih industri hiburan / event?

Saya tidak pernah bermimpi menjadi raja event. Satu-satunya hal yang kami pedulikan adalah bagaimana menyelesaikan isu fundamental dalam event itu sendiri. Lalu, kami memutuskan untuk mengembangkan layanan end-to-end dalam industri ini, melibatkan TMS (Layanan Manajemen Tiket), sistem keamanan, untuk memastikan tidak ada celah untuk kecurangan. Kami menyadari bahwa solusinya bukanlah dengan mempercepat penjualan tiket tapi meningkatkan kualitas acara itu sendiri. Hal itu yang membuat sebuah bisnis bertahan dan mengembangkan industri keseluruhan.

Pastinya ada banyak pengalaman dalam menjalani bisnis, apakah Anda pernah melakukan kesalahan?

Jangan berasumsi dan utamakan validasi. Sebagai seorang dengan latar belakang teknisi, saya merasa harus berkomunikasi lebih banyak. Menyadari bahwa apa yang kita pikirkan ternyata salah adalah eureka moment bagi saya. Ketika saya membuat Loket, bisa saja mencontek dari eEvent. Namun, saya sadari hal itu tidak akan berhasil melihat budaya yang berbeda di sini. Masyarakat Indonesia lebih suka dilayani daripada melakukan self-service. Daripada memaksakan pemikiran kami, lebih baik menjalankan semua proses agar mereka bisa terima beres.

Bagaimana hari pertama Anda di Loket?

Kami memulai dengan tiga orang founder dan beberapa karyawan. Sesungguhnya kami melakukan proses pemasaran sebelum produknya jadi. Setelah melakukan berbagai analisis, kami menemukan bahwa orang rela mengeluarkan kocek lebih untuk hal ini. Bukan sesuatu yang menguatkan, tapi sebagai peredam.

Adalah suatu keharusan bagi seorang founder untuk terus menggalang dana, adakah yang bisa dibagikan dari pengalaman kedua Anda?

Sesungguhnya, kali kedua adalah penggalangan dana internal. Kami memiliki model bisnis B2B, pada dasarnya tergantung pada proyek dan sangat sederhana. Strategi bakar uang tidak lebih baik daripada fokus membangun bisnis yang bertumbuh. Pada akhirnya, yang kita inginkan adalah membangun bisnis yang nyata. Mimpi kami adalah untuk menyelesaikan masalah dan membuat disrupsi dalam industry dengan cara yang paling fundamental. Hal ini mengharuskan kami untuk memiliki sustainable business demi bisa menyelesaikan isu fundamental di Indonesia.

Apa yang menjadi mimpi paling buruk selama menjalankan Loket?

Pada awalnya, kami sangat frustrasi setiap kali menjalankan event. Situs tidak bisa diakses, miskomunikasi di mana-mana, pemesanan ganda, dan banyak lagi masalah yang menuai keluhan tak henti-henti. Seringkali terjadi pada acara besar, membuat sakit telinga dan pusing kepala. Selain itu, dari segi keamanan tidak luput dari cela, barang hilang, keterbatasan sinyal mengacaukan segalanya, adalah hari yang paling menyedihkan. Semua pengalaman menjadikan kami lebih baik, kami belajar banyak dari sisi bisnis dan teknologi. Dari segi sosial, kami belajar mengatasi masalah dengan cara yang paling manusiawi.

Bagaimana pendapat Anda tentang competitor?

Bagi saya, kompetitor tidak pernah menjadi masalah. Selama fokus kami adalah untuk memberikan pengalaman terbaik bagi konsumer, semua akan baik-baik saja.

Membahas hal yang lebih personal, bagaimana Anda bisa mengatur waktu bekerja dan berkeluarga?

Sangat sulit. Beruntung, saya bekerja di industri teknologi yang memungkinkan semua orang bekerja dimana saja. Hal baik dari melakukan pekerjaan yang Anda suka dan kagum adalah pekerjaan dan kehidupan menjadi dua hal yang sama. Terlebih, sangat penting memiliki pendamping yang sangat mendukung. Segala sesuatu yang terjadi baik dalam finansial atau manajemen waktu, selama melakukannya bersama-sama, bisa dihadapi.

Apakah Anda punya support system selain keluarga?

Teman-teman gereja. Menjadi founder startup sangatlah melelahkan. Seringkali timbul momen di mana saya ingin berteriak dan menyerah saja. Terkadang, beban terberat yang dihadapi bukanlah masalah personal tapi mencoba mengerti permasalahan orang lain. Beruntung, saya punya banyak orang yang berdoa untuk saya.

Bagaimana dengan cerita dibalik akuisisi Gojek?

Saat itu, Loket sudah siap untuk menyasar segmen B2C, kami mencoba melakukannya sendiri dan sangat sulit karena belum punya pengalaman. Sementara itu, Gojek memiliki platform B2C bernama Gotix yang juga adalah reseller kami. Kedua perusahaan saat itu sedang dalam zona aman, setelah menyelesaikan putaran pendanaan dari East Ventures. Setelah mengalami perbincangan serius dengan Founder dan CEO Gojek Indonesia Nadiem Makarim, kami menemukan satu visi yang sama. Untuk bisa mempercepat prosesnya, saya setuju untuk menjual dan bergabung dengan Entertainment unit Gojek Indonesia.

Bagaimana kelanjutan dari proses akuisisi sampai tercipta Gojek Entertainment? Apakah Anda puas dengan hasilnya?

Semua masih dalam progress, tapi secara personal, saya bahagia. Dalam percobaan disrupsi industri hiburan, kami menemukan banyak hal yang hilang, bukan hanya dari segi acara tapi juga dari industri perfilman. Mereka sudah mendapat dukungan dari pemerintah. Tetap hal ini mendorong kami untuk melakukan sesuatu. Sampai ada akhirnya memutuskan untuk memasukan industri perfilman dalam payung entertainment unit. Semua itu adalah proses belajar, tidak ada yang paling mengerti, industri ini sangat rumit. Pekerjaan kami tidak selesai sampai di sini, tapi kami bisa melihat kemana arahnya. Saya juga mendapat banyak antusiasme masyarakat dan pelaku industri.

Bagaimana tentang Go-Play dan kaitannya dengan visi Anda?

Dalam hal industri film, kami menempatkan Go-Play sebagai platform dimana kami menyediakan kanal untuk content creator. Sebagai sebuah platform, kami berharap bisa meningkatkan kualitas industri. Kebanyakan orang menganggap film Indonesia tidak layak. Sementara, beberapa terbilang cukup bagus dan bisa bersaing di kancah internasional. Sangat disayangkan jika tidak terekspos, kami mencoba memfasilitasi dan mendukung industri perfilman Indonesia.

Pada level Anda sekarang, apakah ada hal terkait rencana Gojek yang bisa dibagikan disini?

Gojek selalu fokus untuk memberi dampak dari sisi teknologi. Memasuki industri entertainment, misi tersebut menurun. Saat ini Go-Play masih dalam versi beta, kami ingin memastikan pengalaman yang tepat untuk konsumen. Ini adalah sebuah proses validasi.

Apa yang menjadi goal anda dalam beberapa tahun ke depan?

Saya sangat ingin menjadi bagian dari sesuatu yang berdampak besar daripada uang semata. Kita sekarang berada di masa dimana ada sesuatu yang lebih besar untuk dicapai. Saya personal merasakan hal ini sebagai salah satu cara memuaskan diri. Meninggalkan sebuah warisan, sesuatu yang membuat orang-orang di sekitar saya bangga dan bahagia.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Edy Sulistyo: “Fixing Fundamental Issues in The Entertainment Industry is not an Overnight Process”

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Recently appointed as the CEO of Gojek Entertainment Unit, Edy Sulistyo’s journey wasn’t just a walk in the park. He started multiple businesses and had some valuable exit before taking a big step with Indonesia’s decacorn.

Sulistyo started his entrepreneurial journey since he was still in high school. He began to get recognized by his online event management service called eEvent.

After exiting his previous business to the local company in the US, he traveled back to Indonesia to start Loket.com. He decided to go all-in for the entertainment industry. The business grew up well up to the point Gojek came offering a new future.

DailySocial decided to have a Q&A session to dig further on his journey up to this point. Hereby the transcript:

What is your first entrepreneurial experience?

It was far back then in Surabaya. I started a website (back then we didn’t call it startup) called Kamus Online. It was out of necessity, due to lack of a complete dictionary. I need to learn for the test and had no choice but to create the online version of the printed dictionary. Apparently, it turns out useful for most people, a lot of people are using it. What I did was actually crowdsource-ing the vocabulary, and if there’s something that is not in our database, people can start added new terms. The website becomes smarter every day and then. At that time, I didn’t realize I just built what we called machine learning today. Time flies, Kamus Online grows even bigger. It has become ‘the dictionary’ and lasted for 8 years from 1999 to 2007.

What happened afterward? Did you create eEvent right away?

Not really, I started many other websites, such as Files upload, it’s similar to dropbox today. I make it simply because it was difficult to transfer files in large size at that time. During the operation, I have to deal almost every day with security services due to many uploads of illegal contents, not mentioning the cease and desist letters. It’s super annoying, dealing with dozens of letters, which when you didn’t reply, it’ll become stronger and continue to shut down your company. It lasted for 6 to 8 months, with more than 300 thousand users before I started another project named circlemail.com. It was created fundamentally to answer the lack of storage in mail services. I build this with the concept of unlimited storage by referral and it comes with drive and photo gallery.

During the years of running a business and creating another, what have you learned?

A lot of technical skills, but mainly the tough life of being a founder myself. I have to handle end-to-end services while earning my degree at the university. It’s really a hard time to focus. In terms of Files upload, I learned how to dealing with the grey area. Something very complicated involving violation of rights. Even the biggest online cloud is facing the same issue, but today’s technology is getting better. Back then, we worked with what we have.

Fast forward to eEvent, how did you come up with the idea?

It’s quite simple. My co-founder was organizing one of the biggest Asian festivals in town. He asked for help, so we give a hand. Apparently, they’re using the conventional way in order to manage at least 350,000 people over the weekend. Then, we come up with the idea to build a technology to simplify the process, and there it goes, eEvent. We handled some more event around Columbus to validate our business before starting to fundraise.

eEvent is your first project with venture capital funding. Why did you think you need that? Tell me more about your first fundraising.

I would say, eEvent is my first startup that is not a single man show. I need to hire people which means I have more responsibility. Considering our business model as B2B2C, we need many resources in order to scale up. That’s when I think it’s time for fundraising. My first funding was lucky. It was an angel, a highly recommended plastic surgeon in the world from Indonesia. Having an irrelevant investor did not turn out well. We’ve learned that in order to scale up, we should be strategic in choosing our investors. Not long after that, we raise a seed round from the institutional investors. This one is better because they held some kind of incubator program which is more related. We also happened to have a strategic partnership with a local investor named Ideasource.

As a Computer Science student with no financial business background, how could you manage to survive?

It’s a process as an individual. As a computer science (CS) student, my nature is always introvert. I don’t like to talk to people, I like to stay behind the computer screen. It was something I thought not sufficient, but when we run a business, it’s different. The thing that interests me might not very relevant to the customers. My brain tried to optimize things but turns out no one really cares. The biggest lesson is, we made a lot of mistake in program design because we think we know what the customers want.

What makes you think you can bring eEvent to Indonesia?

It was around 2009 that the rise of the local startups. We never aim to expand to Indonesia. Somehow, due to the startup local exposure, Indonesia has become our second biggest user base after the US. Then, we started to go back and forth to expand this business. However, the different market runs a different culture. The workflow, mindset, all the process we designed for the US market aren’t working as well as we thought it would be in Indonesia. We tried a lot of modification, but the market wasn’t ready. We decided to go back and focus in the US.

What happened before the acquisition and why did you decide to sell it?

Basically, at that time, we were growing and becoming number 1 in the midwest area, especially in Ohio. However, B2B2C is very tough because the burn rate is high and monetization is hard. We gain revenue, but given the money we burnt, it’s far from positive. We need to fundraise more from many investors in Silicon Valley, Los Angeles, met with a couple of high-profile mentors. At that time, the market was dominated by Eventbrite, and at some point, the discussion was getting very close to the possible acquisition by Eventbrite. Somehow, we get a surprise offer from a local company named Envision Point. It’s more attractive given the strategic value the company brings. It’s a pure exit.

Being a founder myself, there must be much consideration for you to sell this business.  What was your vision?

We always had the vision to do something for Indonesia. Our company in the US has all Indonesian founders with local employees. Although we’re already making something to put Indonesia on the map, there’s something missing. We took this competition all the way in the US for what? Money is one thing, but we aim to make something more impactful to Indonesia. There are much bigger problems in Indonesia to solve with technology. It’s unfortunate to just let it slide. If we can make a successful business in the US, might as well do it in Indonesia.
The vision was to make event sell out faster. It’s hard to make a successful one due to lack of exposure and the conventional way of marketing. However, when we see further, the issue is much bigger than that. In terms of security, ticket corruption, and many more fundamental issues. Instead of only focused to sell faster, we feel encouraged to make disruption in the entertainment industry overall.

Why did you choose the event industry?

I never dreamed to be the king of events. The only thing we care is to fix the fundamental issue within the event itself. Then, we decided to go end-to-end in this industry, involving the TMS (Ticket Management Service), security system, making sure there’s no loophole in the event. We realize that the solution is not only to sell tickets but to improve the quality of the event. Because that is what makes a sustainable business and increase the overall industry.

There must be lots of experience you’ve got from the previous business, have you made any mistakes?

Don’t assume and validate. As someone with a very technical background, I should’ve talked more to customers. Realizing that mostly what we think is wrong is the eureka moment for me. When I created Loket, I can just copy from eEvent. However, I realize that it’s not going to work due to the different culture. Indonesian people prefer to be served than to do self-service. Instead of forcing our idea, we decided to take the wheel and make it happened for them.

What was it like your first day in Loket?

We started with 3 founders and some early employees. Actually, we’ve been selling out the product before it’s even developed. After quite a hard work, we realized that this is a problem people willing to pay for. It’s a painkiller, not a vitamin.

Part of being a founder, you have to constantly fundraise. Care to share some insights on the second time?

It’s internal fundraising. We have a B2B business model, it’s basically project-based and very lean. In terms of burning money, we better ensure the sustainability of the company. At the end of the day, we want to build a real business. Our dream is to solve and disrupt the industry in fundamental ways. That would require us to have a sustainable business, so we can go to fix the issue in Indonesia.

What is the darkest nightmare you’ve experienced in Loket?

It was very frustrating at the beginning, every time we run an event. Website down, miscommunication everywhere, double booking, and many more reasons for customers to make complaints. Especially when doing big stage events, it’s really earful and crushing our mind. Moreover, the security wasn’t without flaws, there are missing items, signal lost ruined everything, it was really a heartbreaking experience. All of them really makes us better, we learn so much in terms of business and technology. In terms of social factor, we learned how to handle people in the most human way.

What do you feel about a competitor?

For us, competitors are irrelevant. As long as we can focus to deliver the best experience to our customers, we’re fine.

Talking about personal life, how did you manage to work and take care of your family?

It’s super tough. Luckily, I’m working on the technology industry that allows you to work from anywhere. The good thing about doing something you really like and you fascinate about, there’s no difference between work and life. Also, it’s really important to have a spouse that supports you. With everything going on in financial or time management, as long as you’re doing it together, it’s bearable.

Do you have support system aside from your family?

My church friends. Being a startup founder is very stressful. There are many times I strive to scream and give up. Somehow, the biggest burden is not about me personally, but trying to understand other people’s problems. Thank God I have so many people praying for me.

What was the story behind Gojek’s acquisition?

At that time, Loket was ready to get into B2C, we’ve tried to build it ourselves and it’s hard because we have no expertise at all. Meanwhile, Gojek has a B2C platform called Gotix, it was also our reseller. At that time, we’re both in a really comfortable seat, just after East Ventures.  After having a thorough conversation with the Founder and CEO of Gojek Indonesia, Nadiem Makarim, we happened to share the same vision. In order to make things faster, I decided to sell and join the Entertainment unit of Gojek Indonesia.

You might want to share the journey, what happened after the acquisition to the Gojek entertainment unit? Are you happy with the result?

It’s still a working progress, but personally, I’m happy. In terms of disrupting the entertainment industry, we started to realize missing pieces, not only from the event but also the filming industry. They already got a lot of support from the government. Still, it encourages us to do something about this. We decided to add the filming industry under the entertainment unit. It’s all learning process, nobody understands the industry and it’s very fragmented. Our work is not done, but we can see the growth. I also receive a lot of enthusiasm from the public and industry players.

What about Go-Play and how is it related to to your vision?

In terms of the film industry, we positioning Go-Play as a platform, where we provide content creator to have its own channel. The thing is we want to give them space to be creative. As a platform, we aim to improve Indonesia’s film industry. Lots of people might still consider Indonesian films not worthy. While in fact, some of them actually quite good to meet the international movie standard. It’s unfortunate to keep it hidden, we tried to be a platform that can also support the Indonesian film industry.

On a Gojek level you are now, is there any agenda you can share in the near future?

Gojek always focused on technology to make an impact. While we entering the entertainment industry, the mission derived. Go-Play is currently in beta version because we want to make sure the experiences are fit to customers. We really want to deliver the best value for customers, it’s a validation step for us.

What is your goal in the next few years?

I really want to be part of something that will make a really powerful impact instead of just money.  We’re all at the point where we thought there’s something greater to achieve. Personally, for me, it’s self-gratifying. It’s like leaving a legacy, something that makes people around me proud and happy.

Ritase Announces Series A Funding Worth of 120 Billion Rupiah

Management logistics startup for trucks, Ritase announced the Series A funding worth $8.5 million (more than Rp120 billion) led by Golden Gate Ventures. New investors include Jafco Asia and QWC, followed by previous investors Insignia Ventures, Beenext, and Skystar Capital.

Fresh money will be used to tighten up Ritase position in Indonesia, while debuting in the Southeast Asian market.

Ritase‘s CEO, Iman Kusnadi said on this funding, the company is committed to empowering more local logistics on its platform through supply chain finance. Also, greater access to affordable spare parts and trucks through Group Buy features.

“Sustainable and platform improvement are their continuous plan for that will be eventually become a channel to introduce semi-autonomous trucks in Southeast Asia,” he said in an official statement.

Golden Gate Ventures Partner, Hall Justin explained his interest in funding Ritase. For him, when the Indonesian economy grows, a digitalized logistics infrastructure is necessary to meet the couriers and truck drivers demand.

“Ritase will be the cornerstone of digital logistics infrastructure in Indonesia and we are glad to work with Iman [Ritase’s CEO] and his team,” Justin said.

In a previous interview with DailySocial, Iman said this funding will be used to build an R&D office for the autonomous trucking technology development. The Japanese truck manufacturer partner will be involved to realize this ambition.

The business growth is said to be rapid since its debut two years ago. The company is said to facilitate hundreds of deliveries each month using more than 7,500 trucks, 500 transporters, and 7 thousand driver-partners connected to the Ritase app.

A number of company partners who have been using Ritase include Nestle, Unilever, Universal Ribena Corporation (URC), Japfa, Signify, and Lotte. For Nestle, Ritase partnered to fulfill the FMCG industry demand, such as transparency for senders and couriers, digital order processing management, cargo planning, and route optimization.

Ritase provides an open API platform and cloud-based software that allows the sender to access the real-time information from the truck marketplace and the delivery flow.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Traveloka Leads Series B Funding for PouchNATION , a Singapore-Based Digitization Platform

PouchNATION today (6/26) announced the series B funding led by Traveloka with undisclosed value. SPH Ventures also involved in this round. The Singapore-based startup is developing digitization platform for various event, the leading product is NFC-based innovation for access.

“We’re very impressed with PouchNATION achievement in disrupting the entertainment industry. And we are proud to support the team to develop their products, especially to have synergy with Traveloka’s main business, as to provide end-to-end solutions related to travel and lifestyle,” Traveloka Xperience’s VP of Revenue & Growth, Sylvia Gunawan.

She also said that this investment is a part of company’s strategy to tighten its position as the discovery platform. Recently, Traveloka has been strongly introducing Xperience, a new channel allowing users to discover various events in the cities and countries. Including to sell the tickets online.

“The company demand business growth, from just providing events and venues to an entertainment platform that connects dozens of people in Asia with e-commerce, brands, and other players searching for visibility and exposure to their target market,” PouchNATION’s CEO, Ilya Kravtsov said.

In its debut in 2014, PouchNATION was developing an NFC-based bracelet that allows visitors to make cashless transactions. Along the route, they evolve into an all-in-one platform for event organizing through some products, such as PunchEvent, PunchVenue, and to be introduced PouchDigital; consist of a registration system, ticketing, security control, brand activation, data collecting and management, etc.

“We are very excited to launch a new vertical for new client segments which currently using the traditional system to manage places and events. By digitizing and collecting more consumer data, our mission is to create a very new user acquisition channel in the region,” PouchNATION’s COO, David Rapaport said.

Currently, PouchNATION system has been handling various events worth $5 million monthly transactions on average. The product distribution has reached Singapore, the Philippines, Indonesia, Malaysia, Vietnam, and Thailand market. In Indonesia, they’re operating under PT Easy Touch Group based in Jakarta.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mapaya Develops Online Catering Platform, Available in Medan

The rise the internet era has changed the perspective of Indonesian society, both consumers and businesses.  Technology plays a role in the process, not only about service but also business models. Mapaya is one of the startups trying to combine a catering business with internet technology. They want to provide a platform to order catering online. They’re offering high-quality food at affordable prices.

The company specifically targeting users who demand easy lunch. Mapaya is currently reached more than 2000 users.

“Mapaya concept is an online-based catering platform targeting Medan population with the demand for delicious food at affordable prices yet the quality meets the restaurant standard,” Mapaya’s CEO, William said to DailySocial.

The concept is similar to Kulina in Jakarta. As one of the developing startup in Medan, Mapaya offers some benefit, such as personalized subscription feature, various kinds of menu every day, and easy payment using Ovo and Go-Pay, also free delivery all around Medan.

As a business, Mapaya is supported by angel investor with undisclosed value.

Mapaya is one of many startups with an opportunity to make pitching at Startupfest 2019 Medan. This year, they’re focus to develop a mobile app for Android and iOS platform. They also plan to reach the suburban area and form partnerships with more companies.

The next plan is to increase user growth by approaching the potential users, improving system and service quality, and educate people to optimize lunchtime through its services.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tokopedia Catat GMV Tertinggi dalam Sebulan, Senilai 18,5 Triliun Rupiah

Tokopedia mencatat rekor total transaksi tertinggi sepanjang bulan Mei di angka US$1,3 miliar atau setara 18,5 triliun Rupiah melalui momentum Ramadan Ekstra di tahun 2019. Hal ini turut meningkatkan nilai GMV (Gross Merchandise Value) per bulan yang kini menembus angka diatas US$1 miliar atau setara 14 miliar Rupiah. Pencapaian ini mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat dari Ramadan tahun lalu.

Selain itu, Tokopedia juga berhasil mencatatkan rekor transaksi harian di tanggal 17 Mei 2019 yang melampaui akumulasi transaksi di 6 tahun pertama mereka berdiri. Transaksi ini terjadi di 97% kecamatan di Indonesia dan melibatkan 5,9 juta penjual dari berbagai penjuru nusantara.

Co-Founder dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya mengatakan, “Sebagai perusahaan teknologi Indonesia, Tokopedia memiliki misi untuk mencapai pemerataan ekonomi secara digital. Ramadan Ekstra menjadi momentum validasi dampak pemerataan dan pertumbuhan ekonomi baru di Indonesia lewat sektor digital.”

Tokopedia telah berkembang menjadi super ekosistem yang bukan lagi hanya memfasilitasi transaksi jual beli online, namun juga melakukan banyak digitisasi baik layanan publik maupun donasi. Ada lebih dari 7 miliar Rupiah donasi dan zakat terkumpul selama bulan Ramadan tahun ini.

Selain itu, terdapat inovasi lain seperti Tokopedia Play yang memungkinkan pengguna berinteraksi dengan idola mereka secara real-time. Berbagai inovasi yang diciptakan Tokopedia telah mengundang 2500 kunjungan per detik pada puncak Semarak Ramadan Ekstra 2019.

Disinggung mengenai rencana untuk masuk ke pasar global, William mengaku masih fokus untuk memperkuat posisi di pasar domestik. Salah satu usahanya adalah dengan meluncurkan TokoCabang sebagai gudang mandiri untuk mempermudah merchant dalam menjangkau konsumen lokal. Tokopedia sendiri mememiliki merchant yang 100% berasal dari domestik.

William mengungkapkan bahwa targetnya adalah Tokopedia agar menjadi perusahaan teknologi yang fokus di Indonesia terlebih dulu, yang ikut bergerak menumbuhkan perekonomian Indonesia, sebelum memikirkan ekspansi secara global.

“Untuk bersaing secara ekspor, otomatis harus kuat di domestik. Bagaimana bisa bersaing di pasar global jika tidak bisa jadi tuan rumah di negara sendiri,” tambahnya.

Application Information Will Show Up Here

Bermitra Dengan Alamat.com, Gojek Hadirkan Solusi Mudik “Go-Ngaso”

Memasuki pekan libur hari raya Idul Fitri di tahun 2019, Gojek bekerja sama dengan Alamat.com menghadirkan Go-Ngaso, posko yang menyediakan layanan terpadu dan informasi lengkap untuk melancarkan perjalanan mudik lebaran. Layanan ini akan hadir selama satu minggu di tanggal 29 Mei hingga 4 Juni 2019 di delapan titik rest area sepanjang jalur mudik trans Jawa.

Disinyalir, ada sekitar 18 juta pemudik yang akan memadati jalanan di pulau Jawa. Melalui Go-Ngaso, Gojek berinisiatif menjembatani para mitra di dalam ekosistem untuk ikut berpartisipasi mendampingi para pemudik, sekaligus mendukung program pemerintah untuk memastikan kelancaran perjalanan mudik. Posko ini akan menyediakan beberapa layanan terpadu dari Gojek seperti Go-Food, Go-Massage, dan Go-Auto.

“Hal ini menjadi langkah awal kami dengan membawa ekonomi digital dan ekosistem umkm untuk mengambil peran dalam kelancaran perjalanan mudik di tahun ini. ” ujar VP Public Policy & Government Relation Gojek Panji W. Ruky.

Marsela Renata, Senior Marketing Manager Go-Food, menyebutkan bahwa hal ini adalah wujud dari komitmen mereka untuk terus mendukung umkm mitra dalam pengembangan bisnis.

“Dari sisi merchant, Go-Ngaso bisa meningkatkan value transaksi. Sementara itu, pengguna juga bisa mendapatkan pelayanan maksimal ,” tambahnya.

Rencananya, dalam satu rest area, Go-Ngaso akan menghadirkan kurang lebih lima varian merchant, serta menyiapkan setidaknya 250 paket. Targetnya sebanyak 50 ribu transaksi bisa terjadi dalam periode libur lebaran tahun ini.

Kolaborasi dengan Alamat.com

Delapan titik rest area sepanjang rute jalur mudik pulau Jawa
Delapan titik rest area sepanjang rute jalur mudik pulau Jawa

Sebagai bagian dari batch pertama program akselerator Digitaraya, Alamat.com baru mengadakan soft launching pada tanggal 15 April lalu. Pada bulan Januari lalu, platform penyedia layanan direktori informasi lokal dan fasilitas publik ini juga telah menerima pre-seed funding dalam jumlah yang tidak disebutkan.

Bentuk kolaborasi Alamat.com dan Gojek adalah dengan menyediakan platform direktori secara real time yang bisa digunakan para pemudik untuk menemukan rangkaian informasi terkait rest area dan fasilitas yang bisa dinikmati selama perjalanan. Co-Founder dan CEO Alamat.com Daniel Cahyadi mengungkapkan bakal ada rencana integrasi selanjutnya bersama Gojek.

Selain direktori, Alamat.com juga membantu para UKM di sektor gaya hidup dan jasa yang belum memaksimalkan penggunaan teknologi digital. Seiring kehadiran Google My Business, pihaknya mengaku memiliki layanan lebih lengkap dengan memberikan fasilitas situs dan e-commerce. Pengguna bisa mengakses informasi, melakukan transaksi, serta menikmati keuntungan lainnya dalam aplikasi.

“Sejauh ini sudah 35 ribu bisnis yang terjangkau layanan kami, sekitar 50-100 dari jumlah tersebut telah menggunakan fasilitas penuh. Mulai dari transaksi online, komunikasi promosi, serta pemasaran secara digital,” ungkap Daniel.

Saat ini, Alamat.com masih fokus di wilayah Jabodetabek, tapi akan segera menyasar kota lainnya. Pihaknya masih dalam tahap observasi, namun sudah ada tiga kota yang menjadi target ekspansi. Ketiganya masih dalam lingkup pulau Jawa.

Priceprice Targetkan Milenial, Hadirkan Perbandingan Harga Investasi Emas

Platform penjualan emas sedang ramai diminati, terutama bagi para milenial yang kian sadar akan pentingnya investasi. Layanan pembanding harga Priceprice mencoba menawarkan solusi untuk mendapatkan deal terbaik dengan menghadirkan kategori perbandingan harga investasi emas.

Untuk mengeksekusi fitur ini, Priceprice berafiliasi dengan Interspace sebagai third party dalam pembaruan harga di platform. Pihaknya juga memberikan garansi bahwa harga yang tertera di platform mengalami pembaruan secara real time.

Bersaing ketat dengan layanan sejenis, Account Manager Priceprice Indonesia Laras mengakui timnya sedang berusaha meningkatkan kualitas pengalaman pelanggan pada situs mereka.

“Tampilan website kita memang masih cenderung classified dan tidak terlalu milenial, tapi bulan depan kita akan mulai proses reframe,” tambahnya.

Mulai beroperasi di awal tahun 2018, Priceprice mengklaim telah mengalami peningkatan signifikan. Hal ini terlihat dari rata-rata unique user sebanyak 10 juta, naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya, dan sudah dilihat sebanyak 55 juta kali, meningkat hampir delapan kali lipat selama kurang lebih satu tahun.

Priceprice telah membandingkan total tiga juta produk dari dua ribu toko dalam 50 kategori. Dari segi monetisasi, pihaknya mengaku selama ini mendapatkan penghasilan dari brand yang memasang native ads serta afiliasi dengan platform e-commerce.

Application Information Will Show Up Here

GrabBajay Resmi Beroperasi, Coba Gaet Wisatawan Asing dengan Moda Transportasi Ikonik

Grab meresmikan layanan terbaru mereka, GrabBajay. Bekerja sama dengan Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, perusahaan on-demand yang berpusat di Singapura ingin memberikan pengalaman berkendara dengan kearifan lokal menggunakan bajaj, kendaraan roda tiga yang menjadi ikon di ibukota. Hal ini juga bertujuan untuk menggaet para wisatawan asing yang kerap berlalu-lalang di area Jakarta Pusat.

Dalam menjalankan GrabBajay, Grab bekerja sama dengan 12 operator penyelenggara angkutan lingkungan untuk perekrutan dan perizinan. Sekitar 60 armada sudah terdaftar dan siap melayani di 5 titik utama yang tersebar di Jakarta Pusat, yaitu Stasiun Jakarta Kota, ITC Mangga Dua, Stasiun Mangga Besar, Stasiun Sawah Besar, dan Pasar Baru. Kelima daerah yang disebut merupakan kawasan ramai turis dan kendaraan.

Untuk menikmati layanan ini, pengguna hanya perlu memasukkan titik penjemputan yang masih berada dalam lima kawasan yang telah disebut. GrabBajay akan muncul di pilihannya. Tarif dasar yang dikenakan untuk sekali perjalanan adalah sekitar 9 ribu rupiah untuk jarak 4-5 kilometer, selanjutnya akan dikenakan Rp3,000 per km. GrabNow juga berlaku untuk GrabBajay dengan ketentuan yang sama ketika memesan GrabBike dan GrabCar.

Populasi bajaj yang dikenal sebagai angkutan lingkungan atau angli kini semakin berkurang, seiring kehadiran transportasi online yang semakin marak. Saat ini, terdapat sekitar sepuluh ribu armada yang masih beroperasi. Data terkini BPS menunjukkan dari jumlah tersebut, terdapat kurang dari 7 ribu bajaj yang terdaftar.

Dalam acara ini, Kepala Bidang Angkutan Jalan Perhubungan Provinsi DKI Jakarta Massdes Aroufy menghimbau para pengemudi, melalui operator yang bekerja sama dengan Grab, untuk meningkatkan pembinaan serta kesadaran perizinan.

“Kami mengapresiasi inovasi Grab yang mau merangkul para pengemudi bajaj dan mengenalkan teknologi dalam transportasi. Kami harap ini bisa jadi momentum untuk kita bisa menata lebih baik registrasi dan pendataannya,” tambahnya.

Saat ini, bajaj yang terdaftar merupakan bajaj dengan bahan bakar gas yang ramah lingkungan, sehingga diklaim mendukung program Langit Biru dari pemerintah untuk mengurangi pencemaran udara dari kendaraan bermotor.

Selain GrabBajay, aplikasi Tron juga berupaya mendigitalkan angkutan umum seputar Jakarta, termasuk bajaj.

Application Information Will Show Up Here

AI Data Labeling Startup Datasaur Announces Seed Round from GDP Ventures

Datasaur, a startup for data labeling, has announced their seed round from GDP Venture. The development of this new service was due to the rise of AI. Behind every AI algorithm are thousands of human-labeled training examples. Organizing and labeling such data today is tedious, time-consuming and expensive.

Datasaur develops smart tools to make labeling more productive and efficient. It emphasizes a policy of privacy and data safety – previously, labeling was often outsourced and data could end up in the wrong hands. Based on the announcement by Datasaur’s Founder & CEO, Ivan Lee, the system will use AI-based models and Natural Language Processing (NLP) to proactively suggest labels and save time.

Project management tools are included for organizing data and assuring accuracy. Labels that do not match previous labels or do not make sense contextually will be submitted to another labeler for verification. In the first phase, Datasaur is focused on text-based data. It has plans to expand to audio in the near future.

“We have secured a seed round of funding. Since announcing last week, several investors have reached out and we are keeping the round open for a select few we think would make for good strategic partners,” the Datasaur team said to DailySocial.

Ivan Lee is the CEO and Founder of Datasaur.ai. He graduated with a Computer Science B.S. from Stanford University in 2009. He took a leave of absence from pursuing his Computer Science Master’s degree to co-found Loki Studios with three other Stanford students. After raising institutional funding and building a profitable game, Loki was acquired by Yahoo in 2013.

Ivan went on to participate in Yahoo’s inaugural Associate Product Manager program. He spent two years as a Product Manager defining and re-building mobile search using artificial intelligence. Ivan went on to serve as VP of Product at GoButler, working to define a new genre of virtual personal assistant. He most recently spent two years working on AI Products at Apple.

He currently lives in Silicon Valley. Aside from thinking about technology and its application to products, he enjoys playing Ultimately Frisbee on warm California days.

“Datasaur is co-located in California and Indonesia. We believe Indonesia’s rich tech ecosystem and abundance of data provide excellent opportunities for us to help out growing startups and established companies working on AI. We are very grateful to be partnering with GDP, a well-connected and respected firm. We see ourselves as a global company from the very start, and are happy to democratize access to AI worldwide,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian