Ojesy Siap Tambah Layanan Shuttle Car untuk Siswi Sekolah

PT Ojesy Syari Indonesia (Ojesy), platform layanan transportasi khusus perempuan, siap menambah satu layanan baru sebagai langkah diversifikasi bisnis perusahaan, yakni antar jemput (shuttle service) siswi sekolah dengan memakai mobil. Pada tahap awal, Ojesy akan melakukan analisis pasar selama dua bulan di Surabaya dengan menyediakan 10 mobil berkapasitas 7 penumpang.

Reza Zamir, CEO Ojesy, mengatakan analisis pasar menurutnya penting dalam proses validasi pasar sebelum layanan tersebut benar-benar diaplikasikan.

Rencananya dalam satu komplek perumahan setiap orang tua melakukan pemesanan dengan sistem ride sharing. Pengemudi akan mengantar dan menjemput penumpang sesuai tujuan masing-masing.

Dari hasil survei sementara yang dilakukan Ojesy, ungkap Reza, secara rerata jarak antara rumah dengan sekolah sangat bergantung dari tingkatan pendidikannya.

Untuk tingkat SD jaraknya tidak jauh dari rumah, bisa kurang dari 5 kilometer, sementara SMP sedikit lebih jauh jarak SD, SMA biasanya jaraknya terjauh dari SD dan SMP. Untuk masalah penghitungan tarif, sambungnya, saat ini masih dikaji perusahaan. Begitu pula untuk mobil yang akan digunakan pengemudi nantinya.

Menurut Reza, ada dua opsi yang bisa dipakai. Pertama, melakukan kerja sama dengan pihak penyedia jasa penyewaan mobil atau menyewa mobil dari orang yang memiliki mobil namun jarang memakainya.

“Alasan kami menambah pelayanan ini karena hampir separuh dari konsumen kami adalah siswi sekolah. Hal ini juga memicu kami untuk lebih variatif dalam memberikan pelayanan untuk mereka. Dalam dua bulan ini kami masih analisis pasar, diharapkan setelah itu sudah bisa diterapkan secara nyata,” terang Reza.

Layanan baru Ojesy dengan konsep shuttle service sebelumnya telah dilakukan beberapa pemain startup transportasi, sebut saja ada UberPOOL, Ompreng, Karpul, dan Nebengers. Hanya saja, Ojesy lebih mengerucut sasaran bisnisnya untuk siswi sekolah saja.

Butuh dana segar

Untuk akselerasi bisnis Ojesy, Reza mengungkapkan saat ini pihaknya sedang membutuhkan dana segar baru. Dana tersebut menurut rencana akan digunakan untuk menambah armada pengemudi sehingga target pengguna sebanyak 9 juta perempuan di 22 kota, yang menjadi target konsumennya, bisa tercapai.

Selama setahun Ojesy berdiri, dana yang telah dikucurkan mencapai kurang dari 100 juta Rupiah. Ojesy sudah merambah ke 20 kota besar di Indonesia, seperti Makassar, Malang, Bandung, Surakarta, Semarang, Bogor, Jabodetabek, Sidoarjo, dan lainnya. Selain itu, jumlah order dia mengklaim sudah menyentuh angka 12 ribu.

“Budget kami selama setahun ini cukup tipis, tapi dengan itu kami sudah bisa jangkau ke 20 kota. Kami butuh kucuran dana segar agar kami bisa bergerak lebih cepat untuk menyentuh angka target 9 juta wanita dari hasil riset kami tersebut.”

Dia menambahkan, selama ini kebanyakan investor yang sudah menghampiri Ojesy belum benar-benar berkomitmen penuh sebab bisnis Ojesy beririsan dengan pesaing utamanya, yakni Go-Jek. Padahal semangat yang ditawarkan Ojesy berbeda. Mereka ingin menjadikan perempuan sebagai pahlawan bagi perempuan lainnya.

Sejauh ini, layanan transportasi online yang sama-sama secara khusus hanya menyasar perempuan sebagai pengemudi dan penggunanya hanyalah Ojesy dan LadyJEK yang didirikan pada Oktober 2015.

“Pendekatan kami untuk mendapatkan pengguna dan driver berbeda, karena kami memanfaatkan kekuatan dari komunitas wanita. Kami banyak masuk ke sana. Hal ini yang menjadikan dana tipis bisa sangat dimanfaatkan dengan baik. Namun, belum sepenuhnya para investor sepaham dengan semangat yang ingin kami deliver,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Tiket Jalin Kemitraan dengan Anak Usaha Visa CyberSource

CyberSource, perusahaan manajemen pembayaran anak usaha dari Visa Inc., menjalin kerja sama dengan salah satu agen perjalanan online Indonesia (OTA) Tiket. Langkah strategis ini sebelumnya telah dilakukan oleh OTA lainnya yakni Traveloka pada akhir tahun lalu.

Perlu diketahui, CyberSource adalah perusahaan manajemen pembayaran yang menyediakan jasa lengkap untuk menyederhanakan dan mengotomatisasi operasi sistem pembayaran. Di sisi lain, Tiket termasuk salah satu OTA terbesar di Indonesia. Perusahaan ini menyediakan dan memfasilitasi pemesanan tiket online dengan berbagai sistem pembayaran.

Dengan adanya kemitraan ini, seluruh transaksi online yang dilakukan dalam situs maupun aplikasi Tiket diharapkan lebih terjamin keamanannya dari serangan dunia maya. Industri perjalanan online menjadi salah satu industri yang cukup rentan terkena serangan tersebut.

Sejauh ini, dengan berbagai jenis pembayaran yang disediakan, Tiket mengklaim angka penjualan yang bisa diperoleh perusahan meningkat dua kali lipat dibanding tahun lalu.

Chew Ann Wee, Senior Regional Manager CyberSource, mengatakan pada 2019 diperkirakan pasar e-commerce di Indonesia mencapai $16,4 miliar yang dipicu oleh kehadiran OTA. Selain itu, pemesanan kamar hotel lewat jalur OTA diperkirakan meningkat antara 200%-300% menjadi $149 juta di tahun yang sama.

Kemitraan ini diharapkan bisa membantu Tiket untuk memanfaatkan semua peluang yang muncul sekaligus memperluas cakupan wilayah operasionalnya. “Perusahaan juga harus mendapatkan benefit dari kepuasan pelanggan dengan membuktikan proses transaksi yang lancar,” ujar Wee, Selasa (23/8).

Application Information Will Show Up Here

Strategi Marketplace Azzam Trade Pasarkan Produk Muslim Lokal ke Mancanegara

Ceruk potensi marketplace di Tanah Air cukup melimpah, namun belum seluruhnya secara khusus menyediakan jasa pembelian dalam jumlah besar atau grosir. Apalagi yang secara khusus memberi jalur ke pemasaran mancanegara. Situs e-commerce lokal asal Bandung, Azzam Trade, hadir mencoba memberi solusi atas seluruh permasalahan tersebut.

Azzam Trade didirikan oleh dua orang founder, Dayang Melati dan Rizal Basofa, pada awal tahun ini. Startup ini mencoba membantu memasarkan produk muslim lokal ke ranah mancanegara dengan cara penjualan grosir dan konsep business-to-business (B2B). Dayang menerangkan ada dua segmen pelaku yang menjadi perhatian Azzam Trade.

Pertama, segmen pemasok (supplier) produk dari pasar Indonesia. Menurut dia, hingga kini ada 100 pemasok yang sudah bergabung di bawah bendera Azzam Trade. Lokasinya mayoritas ada di Bandung, sebagian lagi berdomisili di Jakarta dan Tangerang.

Kedua, segmen pembeli internasional (importir) yang membeli barang dalam jumlah grosir. Azzam Trade sudah memiliki masing-masing satu representative ambassador di Amerika Serikat, Bahrain, Australia, Malaysia, Turki, dan Singapura.

“Azzam Trade berbentuk situs marketplace yang bisa menghubungkan international buyer dengan supplier lokal. Semangat kami adalah membawa pengusaha Indonesia bisa ekspor produknya ke mancanegara,” ujar Dayang.

Dia melanjutkan Azzam Trade menjadi pihak yang bertanggung jawab atas seluruh transaksi dalam situs, mulai dari sistem pembayaran, quality control, hingga pengirimannya. Ada beberapa kesepakatan kontrak yang perlu disetujui dengan supplier. Kurang dari tiga minggu mereka harus mampu memenuhi bila ada order yang masuk.

Pembayaran hanya tersedia satu pintu di Azzam Trade guna menjaga kepercayaan antara importir dengan supplier. Setelah proses pemesanan diselesaikan, pihak importir diwajibkan membayar uang muka (down payment/DP) sebesar 50% dari total transaksi ke rekening Azzam Trade.

Lalu, Azzam akan mengirim pembayaran tersebut ke supplier tetapi hanya 30%-nya saja. Hal ini berguna untuk memastikan ke supplier bahwa pemesanan tersebut tidak fiktif.

Setelah itu, Azzam akan bertugas memeriksa kualitas produk sebelum barang dikirimkan ke negara tujuan. Bila barang sesuai, Azzam akan meminta importir untuk melunasi pembayarannya ditambah dengan biaya pengirimannya. Bila barang tidak sesuai akan dikembalikan kembali ke supplier.

“Dengan cara itu, menjadi jaminan kami untuk menjaga kepercayaan dengan pembeli internasional bahwa produk yang dijual adalah yang sesuai dengan apa yang tertera di situs,” tambah Rizal Basofa, COO dan Co-Founder Azzam Trade.

Tindakan tersebut sekaligus meminimalisir segala bentuk tindakan kejahatan yang mungkin terjadi. Rizal mengungkapkan, alasan pihaknya menempatkan representative ambassador di beberapa negara karena masih banyak importir yang meragukan kestabilan kualitas produk barang Indonesia.

Ada pula persepsi negatif yang masih menjadi benalu di benak para supplier lokal, yakni sulitnya prosedur mengekspor barang. Padahal, kenyataan saat ini pemerintah sudah memudahkan persyaratannya. Untuk itu, Azzam Trade juga rutin mengadakan seminar dan pelatihan ke berbagai komunitas mengenai cara ekspor secara grosir dan bagaimana meningkatkan produksi dan kualitas bahan.

“Dengan melakukan kegiatan tersebut, ada efek yang bisa menggiring supplier untuk bergabung ke Azzam Trade.”

Butuh suntikan dana

Startup yang pernah dimentori Inkubator.co ini mengungkapkan sedang membutuhkan dana investasi untuk pengembangan bisnisnya. Dayang mengatakan bila sudah mendapatkan dana tersebut, pihaknya berencana akan menggunakan dananya sebagian besar untuk pengadaan latihan guna menjaring lebih banyak supplier lagi.

Menurut Dayang, kekuatan utama suatu marketplace adalah ramainya penjual yang bertebaran menawarkan produknya. Bila masih sepi, tentunya akan mengurangi minat calon pembeli. Ditargetkan sampai akhir tahun ini jumlah supplier bisa menyentuh angka 250, dari posisi sampai saat ini sebanyak 100 supplier.

“Selama ini kami bootstrapping. Sekarang kami sedang mencari investor untuk mendukung percepatan bisnis agar bisa lebih banyak dikenal di mancanegara. Asalkan visi misi mereka sesuai, kami sepakat.”

Selain itu, Azzam Trade juga sedang berusaha menggaet desainer muslim individual yang sudah memiliki line fesyen sendiri untuk turut bergabung menjadi mitra perusahaan. Indonesia, lanjutnya, sudah memiliki banyak designer muslim dengan kualitas produk yang berkelas hingga mampu melakukan ekspor sendiri.

“Bila dilihat dari kompetitor dengan lini bisnis yang sama dengan kami belum ada, namun sudah banyak designer muslim di sini yang mampu melakukan ekspor. Kami ingin gandeng mereka untuk masuk ke wadah Azzam Trade.”

Tantangan lainnya, akibat dari musim yang dimiliki di Indonesia hanya dua, menjadikan koleksi produk baju muslim kurang variatif bila dipasangkan dengan negara yang memiliki empat musim tiap tahunnya.

“Perlu ada solusi untuk masalah ini, agar penjualan barang bisa terus berjalan tanpa terganggu musim,” pungkasnya.

Ahlijasa Jadi Pemenang Regional Startup World Cup Indonesia 2016

Fenox Venture Capital dan Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (BEKRAF) memilih Ahlijasa sebagai pemenang regional dalam kontes Startup World Cup (SWC) Indonesia, semalam (23/8). Ahlijasa akan menjadi wakil Indonesia sekaligus Asia Tenggara untuk maju dalam kompetisi SWC babak akhir di Silicon Valley pada Maret 2017.

Di sana, Ahlijasa akan bertarung dengan startup dari berbagai negara seperti India, Cina, Jepang, Taiwan, Israel, Australia, Inggris, Republik Ceko, Luxembourg, Afrika Selatan, Amerika Selatan (Chili), dan Amerika Utara. Dalam kesempatan ini, sekaligus membuat Ahlijasa berkesempatan untuk memenangkan hadiah utama beruap uang sebesar $1 juta atau sekitar 13 miliar Rupiah berbentuk investasi dan hadiah lainnya.

Semalam, Ahlijasa merupakan kontestan terakhir yang melakukan presentasi di hadapan ratusan penonton dan lima juri terpilih. Mereka adalah Ricky Pesik (Wakil Kepala BEKRAF), Khailee Ng (Managing Partner 500 Startups), Kevin Aluwi (Co-Founder dan CFO Go-Jek), Patrick Walujo (Co-Founder dan Managing Partner Northstar Group), dan Leon Hermann (Associate Global Founders Capital).

Sebelumnya ada sembilan startup terpilih lainnya yang melakukan presentasi. Mereka adalah Taralite (layanan pinjam uang online), Kashmi (alat pembayaran virtual asal Singapura), Talenta (platform pengelola human resource berbasis cloud), Klikdaily (aplikasi penyedia kebutuhan rumah tangga), U-Hop (layanan booking shuttle online asal Filipina), Prosehat (aplikasi kesehatan tanya dokter dan apotek online), Qlue (aplikasi berbasis media sosial), Recomn (startup jasa on demand asal Malaysia), dan Kioson (platform e-commerce O2O untuk kios).

Ahlijasa merupakan aplikasi on-demand untuk jasa laundry yang berdiri sejak awal tahun 2017 yang didirikan oleh Jay Jayawijayaningtyas dan Dimas Wijaya. Sementara ini, Ahlijasa baru bisa melayani pelanggan yang berlokasi di Jakarta, Tangerang Selatan, Bekasi dan Depok. Secara rerata, kebanyakan pengguna Ahlijasa adalah penghuni kos dan apartemen.

[Baca juga: Ahlijasa Umumkan Perolehan Pendanaan dan Kehadiran Aplikasi untuk Android]

Jay menerangkan adanya kesempatan ke Silicon Valley membuat pihaknya harus gencar dalam memperbaiki seluruh operasional perusahaan, mulai dari menambah karyawan, pengembangan aplikasi untuk iOS, memperbaiki sistem penjaminan barang, dan memperluas layanan ke seluruh cakupan daerah Jabodetabek.

“Sistem pelayanan kami masih kurang karena belum bisa bekerja 24 jam secara penuh. Sekarang masih bekerja sesuai slot saja karena pengemudinya baru puluhan. Maka dari itu kami belum bisa melayani seluruh wilayah Jabodetabek. Kami perlu perbaiki seluruh operasional agar nantinya bisa lebih matang dan siap saat berkompetisi di Silicon Valley tahun depan,” ujarnya.

Pemenang Startup Wild Card

Selain Ahlijasa, ada tiga startup asal Indonesia lainnya yang terpilih untuk ikut diboyong Fenox VC dan BEKRAF ke Silicon Valley. Mereka adalah Ojesy (Ojek Syariah, Surabaya), Azzam Trade (partner dagang online untuk grosir pakaian muslim, Bandung), dan Paprika (platform cashback online, Medan).

Ketiga startup tersebut terpilih setelah melewati pitching di hadapan empat juri yang terdiri dari Arya Ariotedjo (Founding Partner Grupara Inc.), Fadjar Hutomo (Deputi II Bidang Akses Permodalan BEKRAF), Jeff Quigley (SEA Regional Manager Fenox VC), dan Anton Soeharyo (CEO Touchten).

Di Silicon Valley, ketiga startup tersebut akan menjadi partisipan untuk meramaikan booth perwakilan Indonesia. Mereka bisa mendapat kesempatan untuk bertemu calon investor dan pitching bisnis.

Dayang Melati, CEO dan Co-Founder Azzam Trade, mengatakan dalam kesempatan tersebut pihaknya akan memanfaatkan sebaik mungkin untuk mendapatkan mitra dagang dari berbagai negara. “Saat ini mitra dagang kami di luar negeri belum banyak. Dengan adanya kesempatan berharga ini kami akan memperbanyak jumlah mitra dagang dari berbagai negara mulai dari supplier, partner hingga re-seller agar Azzam Trade dapat menjangkau seluruh dunia,” terang dia.

Sementara itu, Reza Amir, CEO Ojesy, mengatakan kesempatan ini menjadi peluang bagi Ojesy untuk mendapatkan pendanaan baru dari calon investor yang bisa ditemuinya. Hal ini sekaligus menjadi langkah Ojesy untuk ekspansi demi meraih target 9 juta wanita calon pengguna Ojesy ke depannya.

“Dari riset yang kami kumpulkan, secara potensial ada 9 juta wanita yang butuh perlindungan dari tindak kejahatan lalu lintas di 22 kota besar di Indonesia. Angka itu adalah target kami. Dengan adanya kesempatan di Silicon Valley, kami berharap bisa mendapatkan bantuan dari investor untuk mengakselerasi target tersebut,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

5 Tips Memulai Bisnis Startup Tanpa Investor

Tidak bisa dipungkiri kebutuhan dana yang cukup besar menjadi kekhawatiran utama seluruh pengusaha saat pertama kali memulai bisnis. Banyak kisah pengusaha startup yang memulai usahanya dengan dana dari kantong sendiri atau bootstrap. Namun, ada juga yang sudah mendapat sokongan dari investor.

Alisdair Woodbridge, pendiri dan CEO Heat Genius, berbagi tips bagaimana dirinya bisa membangun Heat Genius tanpa bantuan dari investor sama sekali. Berikut tipsnya:

1. Berkomitmen untuk mewujudkannya

Ide hanyalah sebatas ide bila tidak ada tindakan untuk mewujudkannya. Heat Genius pertama kali didirikan karena ide sederhana yang muncul dibenak Woodbridge. Mengapa kita tidak bisa hanya menggunakan teknologi yang sudah ada untuk kebutuhan rumah kita sendiri. Mengapa kita hanya bisa mengendalikan pemanas rumah dalam satu kendali saja sedangkan setiap rumah ada kamar masing-masing dengan kebutuhan panas yang berbeda.

Dari ide tersebut, lanjutnya, Anda tidak harus langsung memulai bisnis bila menemukan suatu ide baru. Akan tetapi, Anda perlu memiliki komitmen penuh bila hendak merealisasikan ide tersebut agar hasilnya saat eksekusi bisa sempurna dan maksimal.

Woodbridge menceritakan dirinya pertama kali membuat Heat Genius sebagai hobi pribadi. “Kami membangun Heat Genius setiap akhir pekan selama dua tahun. Kami simpan uang sedikit demi sedikit, pinjam uang ke sana ke sini. Bahkan kami menjadikan basemen rumah kami sebagai tempat kerja. Setelah itu, akhirnya kami memutuskan untuk mengambil risiko,” ujar dia.

2. Pilih lokasi kerja yang tepat

Founder tidak hanya memikirkan pengembangan produk saja, tetapi juga bagaimana meminimalisirkan pengeluaran. Mulai dari menggaji karyawan, biaya operasional, hingga sewa ruangan. Bila diperlukan, Anda mungkin harus mengambil risiko untuk menahan lapar. Sebab bila Anda memilih kenyamanan, akan sulit untuk memutuskan risiko mana yang akan diambil, sekalipun pahit.

Woodbridge pun bercerita, saat Heat Genius pertama kali berdiri pihaknya memilih untuk merelokasi tempat yang lebih murah di Birmingham. Menurut dia, secara lokasi cukup strategis namun sewanya hanya dua pertiga atau tiga perempat lebih murah dari London. Begitu pula dengan standar gaji karyawannya.

3. Mendapatkan nasihat dari setiap orang yang Anda temui

Bagi founder, nasihat dan masukan sebanyak-banyaknya dari konsumen, mitra kerja, dan setiap orang yang ditemui dapat menjadi sesuatu yang berharga. Kendati demikian, Anda tidak perlu menyetujui seluruh masukan itu.

Paling tidak, dengan masukan tersebut melatih Anda menjadi pribadi yang baik dan terbuka. Siapa yang tahu bila orang yang memberi nasihat ke depannya bisa menjadi mitra kerja mengembangkan perusahaan bersama.

4. Selalu dengarkan konsumen

Saat Anda mendapat pelanggan, godaan yang sering didapat adalah fokus melakukan eksekusi produk yang sempurna dan tanpa cela. Padahal, konsumen yang Anda dapat pada tahap awal itu sangat penting. Pastikan Anda menanyakan kepada mereka bagaimana pengalamannya setelah memakai produk Anda.

Cari tahu hal apa yang bisa membawa mereka ke tempat Anda, lalu tanya kembali apakah mereka akan memakai produk Anda lagi atau tidak. Bila Anda tidak menanyakan hal ini, sudah banyak uang yang disimpan selagi masih dalam tahap beta.

5. Siap multitasking

Membangun bisnis startup, terutama tanpa seorang rekan sangat membutuhkan fleksibilitas, sebab Anda dituntut untuk menjadi seorang multitasker. Dalam waktu singkat, Anda akan banyak beralih peran dari seorang founder, menjadi pemasar, manajer, penjual, dan terus berputar-putar.

Hal ini pun dirasakan oleh Woodbridge. Saat kantornya masih di basement, dia dan rekannya dalam waktu singkat beralih peran. Awalnya membicarakan bagaiamana progres pengembangan produk, kemudian mengenai penjualan, dan terakhir mendapatkan pendanaan tambahan.

Aplikasi Gaya Hidup On-Demand Fitnesia Usung Konsep O2O Untuk Gaet Konsumen

Aplikasi gaya hidup on-demand Fitnesia hadir mengusung konsep bisnis online-to-offline (O2O) sebagai dasar bisnis sekaligus untuk menggaet konsumen baru. Fitnesia menyediakan jembatan fasilitas booking online di seluruh merchant, dalam bentuk gym, studio, spa, massage, dan pusat kecantikan. Fitnesia sudah tersedia dalam melalui situs dan aplikasi mobile untuk platform Android dan iOS.

Bobby Simon, founder Fitnesia, berharap hadirnya Fitnesia bisa menciptakan sharing economy yang bisa membantu perekonomian antar kedua belah pihak lebih maju dan berkembang.

“Kami menghubungkan bisnis lifestyle skala kecil menengah dengan cara membantu menjual spot kosong yang mereka miliki layaknya Airbnb. Menjual kamar kosong yang sebelumnya tidak menghasilkan revenue,” terangnya kepada DailySocial, Selasa (23/8).

Konsep aplikasi Fitnesia, lanjut dia, sebenarnya terinspirasi dari Go-Jek yang memiliki berbagai jenis layanan Go-Ride, Go-Send, Go-Food, Go-Massage, dan lain-lain. Berangkat dari situ, terciptalah beberapa lini bisnis vertikal di bawah bendera aplikasi, seperti Fitnesia, Beautynesia, Spanesia, dan Funesia.

Tak hanya booking online, Fitnesia juga memberikan tawaran harga booking yang lebih murah dibandingkan saat membayar langsung di tempat. Perbedaannya bisa lebih murah antara 30%-60% dari harga biasa.

Fitnesia juga memberikan keleluasaan fleksibilitas membership for all gym untuk penggunanya. Selama ini kebanyakan gym yang beroperasi memiliki kontrak dan komitmen yang harus disepakati oleh membernya. Mereka tidak boleh menggunakan gym di tempat lain dan ada cancellation fee bila member memutuskan kontrak di tengah jalan.

“Kami berusaha memberikan solusi dari ketidaknyamanan itu dengan menghadirkan Fitnesia. Semua orang bisa [ke] gym di mana mereka berada tanpa harus menjadi member.”

Sementara ini, Fitnesia sudah memiliki sekitar 100 merchant yang lokasinya tersebar di Jabodetabek. Bobby menargetkan sampai akhir tahun ini jumlah merchant di seluruh Indonesia bisa mencapai angka 1.200-1.500. Dari sisi pengguna, diharapkan konsumen Fitnesia bisa menyentuh 15 ribu-20 ribu. Untuk mencapai angka tersebut, pihaknya akan berekspansi ke beberapa kota besar lainnya, seperti Bandung, Surabaya, Medan, dan kota-kota di Pulau Bali.

Ke depannya Fitnesia tengah mengembangkan sistem pembayaran sendiri, sama halnya dengan Go-Pay yang dimiliki Go-Jek. Selain itu Fitnesia juga telah bermitra dengan DOKU.

Sempat lakukan pivot

Berkat inspirasi dari berbagai sumber, Bobby bersama tiga orang temannya berhasil mendirikan Fitnesia selama kurang lebih empat setengah bulan yang lalu. Dia mengungkapkan Fitnesia awalnya memiliki fasilitas membership yang bisa digunakan untuk seluruh gym.

Akan tetapi, pada bulan ketiga akhirnya tim memutuskan untuk melakukan pivot. Hal ini didasarkan konsep bisnis tersebut terbilang kurang sustainable, mengingat tidak seluruh member menggunakan fasilitas keanggotaannya untuk gym setiap harinya.

“Pada bulan ketiga kami lakukan pivot, karena itulah kami agak delay dari jadwal untuk perilisan Fitnesia. Kami lihat dengan konsep membership all gym saja kurang sustainable ke depannya. Perlu ada perluasan lagi.”

Kini ada empat lini bisnis vertikal yang menjadi fokus utama. Fitnesia memiliki fokus untuk booking online di gym dan sport center. Beautynesia untuk salon kecantikan dan make up artist. Spanesia untuk kebutuhan spa, massage, therapy. Terakhir, Funesia untuk wahana hiburan, paint ball, trampoline park dan lainnya.

Menurut Bobby, Fitnesia tidak hanya berhenti di lini bisnis vertikal itu saja. Ke depannya, bakal ada lini lainnya. Misalnya, Foodnesia, Artnesia, Clubnesia, dan lain-lain. “Artnesia untuk memudahkan booking online ketika ada calon siswa yang ingin bergabung, sementara Clubnesia ingin membantu klub bisa lebih ramai lagi sebab biasanya saat weekdays kan sepi.”

Mencari investor

Untuk mencapai angka pengguna dan merchant sesuai target pada akhir tahun ini, tim Fitnesia berencana melirik investor baru. Menurutnya, seluruh dana apabila sudah mendapatkan investor yang cocok, akan menggunakannya untuk kebutuhan pemasaran dan akuisisi user.

Meski tidak menyebutkan angkanya, namun Bobby memastikan investor itu diharapkan bisa sekaligus jadi partner strategis dan bisa membantu Fitnesia untuk pengembangan ke depannya.

Potensi bisnis Fitnesia, sambungnya, dengan mengusung konsep O2O terbilang cukup baik untuk berkembang lebih besar lagi. Pasalnya, di Indonesia belum banyak aplikasi lifestyle all on-demand yang memiliki konsep serupa dengan Fitnesia.

Yang memiliki fitur paling mendekati Fitnesia adalah KFIT. Aplikasi ini secara head to head memiliki fitur yang hampir sama dengan Fitnesia. KFIT sendiri baru-baru ini masuk ke Indonesia dengan mengakuisisi Groupon Indonesia

“Semangat yang ingin disampaikan Fitnesia adalah setiap orang Indonesia yang keluar rumah bisa memakai Fitnesia untuk segala aktivitasnya,” pungkas Bobby.

Application Information Will Show Up Here

Pengalaman yang Bisa Diambil Setelah Startup Bubar

Arthur Attwell, mantan pendiri Paperight, mengungkapkan pelajaran apa saja yang bisa ia petik setelah memutuskan untuk membubarkan startup yang ia dirikan yakni Paperight pada awal tahun silam. Dia menceritakan, startup kini telah menjadi salah satu komoditas dalam industri. Kendati demikian, sambungnya, jangan pernah untuk menyebut suatu proyek sebagai startup.

Hal ini terbilang sedikit ‘tricky’ karena mengandur unsur semantik, namun cukup memberikan pengaruh bagi prospek bisnis ke depannya. Attwell mengatakan, pada saat itu banyak hal yang ia lakukan mulai dari kegiatan yang cukup membuang-buang waktu untuk menghadiri berbagai seminar, pertemuan, dan lainnya.

Dari pengalaman tersebut, dia mengambil ada lima hal yang bisa dijadikan pelajaran seperti dimuat dalam laman Medium-nya.

Jangan hadiri lagi event startup

Maksud yang ingin disampaikan Attwell adalah sebaiknya pendiri startup harus lebih selektif dengan kegiatan yang hendak ia hadiri. Jangan sampai waktu terbuang percuma saja. Acara bertema startup, sambungnya, umumnya berisi orang-orang potensial yang bisa dijadikan sebagai partner, bukan sebagai calon konsumen.

Bila ingin mencari konsumen potensial, sebaiknya hadiri acara dengan tema yang lebih senada, terutama bila Anda hendak ‘menjual’ nama perusahaan.

Tidak ada lagi kompetisi antar startup

Kompetisi yang ketat antar startup tidak hanya berupa inovasi, pitching produk, rencana bisnis, atau suntikan dana dari investor saja. Tetapi ada juga kompetisi berupa hadiah atau penghargaan.

Attwell mengungkapkan banyak tipuan yang berkedok penghargaan pada saat itu. Misalnya, mendapat penghargaan inovasi terbaik dari sebuah perusahaan konsultan internasional, akan tetapi pihaknya harus membayar sejumlah uang ke perusahaan tersebut.

Penipuan lainnya, Attwell mendapat wawancara langsung dengan sebuah program acara yang mendukung perkembangan startup di radio. Di sana, dia diharuskan untuk menandatangani sebuah lembaran yang menyatakan pihak radio telah memberikan sejumlah uang. Padahal sebenarnya itu sama sekali tidak terjadi.

Dari kejadian ini, Attwell menyarankan agar Anda lebih selektif memilih hadiah yang bertebaran. Pilihlah penyelenggara yang benar-benar memberikan hadiah uang secara gratis dan yakin startup Anda akan menang.

Hati-hati pada gemerlap media

Saat Paperight masih beroperasi, banyak artikel yang berisi pujian-pujian dari berbagai media menuliskan pencapaian-pencapaian yang sudah diraih Paperight. Seperti, mendapatkan penghargaan inovasi terbaik di London, Frankfurt, dan New York, dan ucapan selamat dari parlemen nasional Afrika Selatan.

Bahkan Paperight, pernah diulas sebagai ‘startup to watch’ di situs portal berita CNN, Forbes, dan lainnya. Juga pernah masuk dalam rubrik majalah inovasi bisnis. Akan tetapi dari berbagai ulasan tersebut, ternyata tidak memberikan lonjakan penjualan bisnis yang siginifikan atau tawaran baru dari calon investor.

Padahal, dalam menjalani bisnis unsur penjualan adalah kunci utama ketahanan suatu perusahaan apapun itu. Menurutnya, penghargaan hanya semata-mata memberikan motivasi kepada karyawan dan memberikan kepercayaan tambahan untuk investor, tapi itupun hanya permanen sifatnya.

Jangan beritahu konsumen bahwa Anda itu startup

Dari pengalaman sebelumnya di Paperight, menurut Attwell, kebanyakan perusahaan skala besar lebih menyukai perusahaan dengan skala yang sederajat dengan bisnis yang lebih stabil. Mereka, lanjut dia, ingin perusahaan startup yang bakal tetap ada berdiri sampai beberapa tahun ke depan, dengan nama perusahaan yang lebih familiar untuk diingat.

Saat itu, Paperight berusaha membangun kepercayaan dari pihak penerbit buku untuk menjaga hak kekayaan intelektual (HKI) mereka dapat terjaga. Untuk mendapatkan kepercayaan tersebut, Paperight bahkan harus menyerahkan pipeline bisnis mereka sampai 10 tahun mendatang.

Dapat bantuan yang nyata

Industri startup itu menarik karena butuh bantuan emosional, intelektual, dan finansial. Tapi untuk beberapa kasus tertentu, akan mengalihkan perhatian Anda jadi lebih buruk. Sebaiknya, Anda cari bantuan dari perusahaan sejenis, namun memiliki kredibilitas yang tinggi. Karena bila tidak, semua bantuan yang masuk akan sia-sia belaka saja.

Pentingnya Membangun Kerangka Validasi Ide Startup

Memvalidasi ide startup lebih penting untuk dilakukan oleh seorang founder dan timnya, bahkan lebih penting daripada hal lainnya. Tanpa hal itu orang-orang tidak akan ada yang mau membeli produk. Hasil kerja keras Anda bersama tim akan terbuang percuma apabila hal itu sampai terjadi.

Dalam tulisannya di laman Medium, Michell Harper berbagi tips langkah-langkah apa yang perlu dilakukan saat membangun sebuah kerangka untuk validasi ide pasar sebelum mengucurkan dana. Menurutnya, tips ini sama persis dengan apa yang pernah ia dan timnya lakukan saat pertama kali membangun Bigcommerce di 2009 silam.

1. Tulis masalah, bukan solusi secara spesifik

Anda ingin mengutarakan dengan jelas permasalahan apa yang setiap orang rasakan setiap harinya. Untuk itu, fokuslah pada masalahnya, bukan solusinya. Anda bisa menuliskan masalah dalam sebuah pernyataan sederhana.

Contohnya: Tidak mungkin untuk melakukan follow up terhadap pelanggan yang sudah meninggalkan restoran atau terlalu sulit untuk merancang grafis berkualitas profesional di media sosial.

Intinya, Anda mendapatkan ide, tapi haruslah masalah yang sangat dasar, sehingga Anda perlu terus perbaiki sampai terbentuk satu kalimat permasalahan yang sudah utuh.

2. Tentukan apakah itu termasuk masalah tier 1 atau bukan

Mencari masalah itu pekerjaan mudah, tapi menentukan apakah itu masalah tier 1 (utama) atau bukan adalah pekerjaan yang tidak mudah karena artinya Anda sedang berusaha menyelesaikan satu dari tiga tingkat masalah yang dihadapi konsumen potensial Anda.

Bila Anda tidak memberikan solusi terhadap masalah tier 1 mereka, berarti apapun produk yang ditawarkan tidak akan berguna. Untuk tahu bagaimana memvalidasi masalah Anda itu adalah masalah tier 1 atau bukan, pertama-tama Anda perlu memetakan jenis konsumen. Caranya dengan membuat profil dasar.

Mulai dengan membuat skala perusahaan, jabatan yang dituju, jenis industri, dan lokasinya. Ini bisa dicari lewat LinkedIn. Berikutnya, membuat janji telepon lewat email. Bentuknya harus to the point, jangan sampai waktu calon konsumen terbuang percuma. Anda bisa langsung menuliskan tujuan menghubungi mereka sebagai penelitian awal, sebutkan dengan rinci kapan waktunya, dan durasinya.

Dalam proses ini, berlaku hukum probabilitas. Artinya, dari sekian banyak orang yang Anda hubungi hanya sekian persennya akan membalas pesan. Jadi, bila Anda ingin mendapat 20 responden paling tidak perlu hubungi sekitar 60 orang.

3. Menentukan solusi yang ada

Setelah mendapat koresponden, Anda akan mendapat bayangan ide baru bagaimana strategi mereka menyelesaikan masalah tier 1. Ada baiknya, menurur Harper, untuk tidak menanyakan produk apa yang membantu mereka menyelesaikan masalah itu, karena sudah pasti mereka tidak akan memberi tahu. Sebaliknya Anda tanyakan bagaimana caranya.

Seringkali, ketika Anda ingin menyelesaikan masalah, ada perusahaan lainnya yang sedang melakukan hal yang sama. Akan tetapi, hal ini juga bisa jadi bumerang. Apabila tidak ada perusahaan yang berusaha memecahkan masalah yang juga sedang Anda selesaikan bisa jadi ini dikarenakan tidak ada pasar atau masalah Anda terlalu spesifik bagi sedikit orang saja.

Oleh karena itu, Anda perlu menyeimbangkan antara masalah yang spesifik dengan kondisi pasar.

4. Cari kelemahan dari solusi yang ada

Entah koresponden menggunakan produk yang ada di pasaran atau tidak. Anda perlu identifikasi apakah ada kelemahan dari produk tersebut. Tanyakan ke mereka, apakah suka dengan produk yang ada saat ini, bila tidak apa yang mereka inginkan.

Ini berguna agar produk yang Anda luncurkan tidak memiliki solusi dengan kesamaan yang identik dengan kompetitor. Kira-kira dengan persentase perbedaan minimal 20% adalah ambang batas terbaik bagi produk Anda untuk dipilih calon konsumen dibandingkan produk lainnya.

5. Cek kembali budget

Jika Anda memiliki kompetitor dengan tujuan memecahkan masalah yang sama, perhatikan traksi mereka. Apakah berkembang pesat? Bagaimana volumenya? Apakah mereka sudah mendulang profit? Coba Anda cari petunjuk dari semua pertanyaan itu.

Kebanyakan, bila kompetitor tidak memiliki produk yang baik tapi memiliki profit dan ada pembelinya, ini menandakan ada orang yang yang memiliki alokasi budget untuk membelanjakan produk yang sama seperti Anda.

Dari responden yang Anda hubungi, tanyakan ke mereka bila ada produk yang lebih baik dari yang sudah ada diluncurkan ke pasar berapa harga yang pantas mereka rela bayarkan. Bila responnya tidak akan membeli, Anda perlu gali lebih dalam alasannya.

6. Gunakan responden sebagai penentu roadmap Anda

Dengan memakai asumsi Anda sudah memecahkan masalah tier 1 dalam produk yang sedang Anda buat, artinya akan ada orang yang akan membeli produk Anda. Setelah Anda menyelesaikan keenam langkah ini, secara harafiah Anda belum mengeluarkan uang sepeser pun.

Grab Indonesia dan Mandiri E-Cash Jalin Kemitraan Strategis

Grab Indonesia dan PT Digital Artha Media, perusahaan pengembang Mandiri E-Cash, meresmikan kemitraan strategis. Kini pelanggan Grab sudah bisa menggunakan Mandiri E-Cash sebagai alternatif pembayaran elektronik. Sebelumnya Grab dan Lippo juga telah menjajaki pengembangan produk pembayaran mobile non-tunai.

Seperti diketahui, Mandiri E-Cash merupakan produk keuangan digital yang dikeluarkan oleh bank pelat merah Bank Mandiri dan menunjuk Digital Artha sebagai pihak pengembang. Digital Artha merupakan anak usaha dari perusahaan firma lokal PT Kresna Graha Investama Tbk.

Pelayanan terbaru ini, menurut Indra Suryawan, CEO Digital Artha, menjadi opsi terbaru pembayaran cashless yang dapat dipilih pengguna Grab Indonesia selain menggunakan kartu kredit atau debit. Sekaligus membantu pengemudi Grab dalam mengelola keuangannya secara elektronik.

“Kemitraan ini adalah bagian dari inisiatif kami untuk mewujudkan mimpi sebagai pemain infrastruktur pembayaran terkemuka di kawasan regional,” ujar Indra seperti dikutip dari Jakarta Globe.

[Baca juga: Grab dan Lippo Garap Pembayaran Mobile Non-Tunai]

Bagi Grab, kemitraan ini akan memberikan akses jaringan ke bank terbesar di Indonesia. Bank Mandiri memiliki jaringan ATM sebanyak 17 ribu dan kerja sama dengan lebih dari 25 ribu outlet Indomaret, Alfamart, dan Alfamidi di seluruh Indonesia. Pengumudi Grab dapat mencairkan uangnya ke seluruh tempat tersebut.

Dari sisi pengguna kartu Mandiri E-Cash telah menembus angka sebesar 2 juta orang. Sepanjang tiga tahun terakhir, Mandiri E-Cash terus berekspansi menjalin kemitraan tidak hanya untuk pembayaran transportasi umum saja, tetapi sudah merambah minimarket, dan tol.

[Baca juga: Mandiri E-Cash Ditargetkan Miliki 100 Juta Pengguna di Tahun 2020]

Ridzki Kramadibrata, Managing Director Grab Indonesia, mengatakan inisiatif ini didukung karena teknologi yang kuat dan luasnya jaringan perbankan. “Kami percaya dengan Mandiri E-Cash akan menjadi langkah baru bagi Grab dalam memberikan pelayanan yang lebih aman, nyaman, bagi pengguna maupun mitra pengemudi,” ujar dia.

Langkah ini, sambungnya, merupakan jawaban Grab atas ketatnya persaingan bisnis transportasi online antara Uber dan Go-Jek. Pada April lalu, Go-Jek mengumumkan Go-Pay sebuah platform digital yang memungkinkan pelanggannya untuk menyimpan uangnya di dalam aplikasi Go-Jek sebagai alat pembayarannya.

Go-Pay disebut-sebut sebagai ide yang cerdas, mengingat jumlah pengguna kartu kredit di Tanah Air baru mencapai sekitar 4% dari total penduduk.

Sementara ini, Mandiri E-Cash baru bisa digunakan oleh pengguna Grab yang menggunakan smartphone berplatform Android. Kehadiran solusi ini di platform iOS masih dalam tahap pengembangan.

Application Information Will Show Up Here

3 Halangan Terbesar Saat Mengembangkan Produk

Jika membicarakan dunia entrepreneurship, tidak ada peta jalan/roadmap yang pasti. Sebab, setiap entrepreneur punya roadmap masing-masing saat mereka hendak melangkah dari titik A ke titik B.

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh JD Albert, Direktur Teknik Bresslergroup, diungkapkan ada halangan yang sama dan terus menerus diulangi oleh para pendiri startup. Kebanyakan dari mereka lebih peduli tentang hal-hal yang berkaitan kesempurnaan daripada eksekusinya. Tentu saja, hal tersebut berdampak tidak hanya pada lebih lamanya waktu peluncuran produk, tetapi juga efek samping lainnya seperti produk fit yang lemah. Menurut Albert, ada tiga halangan terbesar dan tips bagaimana menghadapinya:

1. Tahu kapan harus berhenti menambahkan fitur

Selama proses pengembangan produk dan prototipe, seringkali pendiri menambahkan banyak fitur baru entah itu dari keinginan diri sendiri atau saran orang lain. Tapi sebagai pendiri, penting untuk mengatakan tidak atas setiap saran yang masuk. Sebab setiap fitur yang anda masukkan berarti ada tambahan kompleksitas, artinya hal itu akan membuat waktu pengembangan jadi lebih lama.

Sebaliknya, bila produk anda tidak laku tanpa ada penambahan fitur artinya itu bahaya. Itu berarti Anda mungkin belum paham sepenuhnya apa yang bisa membuat produk sukses. Sebaiknya Anda kembali tahap awal yaitu mengembangkan produk yang sederhana dan belajar dari kesalahan sebelumnya. Untuk itu, Anda perlu memposisikan diri sebagai konsumen dan cari tahu apa yang konsumen butuhkan dan apa yang akan mereka beli.

Intinya, Anda tidak perlu memenuhi semua kebutuhan pengguna saat awal produk diluncurkan. Lakukan penambahan fitur bila memang dirasa penting. Perlu Anda ingat bahwa momen terpenting bagi startup adalah saat produk mulai diluncurkan, kemudian berkembang lebih besar lagi ke depannya.

2. Menyeimbangkan pembelajaran produk antara masa pra-peluncuran dan pasca-peluncuran

Anda perlu ketahui apakah mencari produk yang tepat perlu diselidiki secara internal atau perlu bantuan dari pasar. Kemudian, apakah dengan meluncurkan produk yang tidak sempurna bisa membawa pengaruh negatif bagi perusahaan?

Dalam kenyataannya, Anda perlu ketahui ketika produk sampai di tangan konsumen, besar kemungkinannya produk akan disalahgunakan. Banyak produk yang jadi lebih baik setelah diluncurkan di pasar, biasanya terjadi pada versi kedua atau ketiga.

Oleh karena itu, Anda perlu mengembangkan dan meluncurkan produk versi pertama, sekaligus mengatur strategi bagaimana memperbaikinya.

Intinya, yang paling penting ialah bagaimana Anda tahu proses dan memilah seluruh masukan apakah bisa diterapkan ke produk atau tidak. Seluruh proses ini bisa Anda lakukan saat proses pengembangan dari penelitan user atau pasca-peluncuran dari bantuan pasar.

3. Membuat hal-hal jadi benar

Mungkin Anda sering mendengar rencana sebuah startup untuk membuat produknya di luar negeri karena ada pertimbangan biaya yang lebih murah, sehingga solusi tersebut dirasa lebih tepat. Anda perlu tahu, sebenarnya keputusan bisnis itu justru lebih banyak makan waktu karena butuh banyak waktu untuk memastikan selalu kualitasnya. Padahal jarak Anda dengan pabrik jauh sekali. Tentu saja hal ini akan sulit dilakukan.

Solusinya, anda perlu meminimalisir segala detil yang berkaitan dengan kualitas produk. Anda perlu menyediakan uji fungsional untuk memastikan hasil pekerjaan mereka.

Intinya gunakan desain dan spesifikasi. Kedua hal ini selalu bekerja. Selain itu Anda perlu menyediakan metrik sebagai bahasa komunikasi utama. Dengan melakukan hal tersebut, peluang keberhasilan dalam membimbing pabrik untuk bekerja sesuai kemauan Anda akan semakin tinggi.