Mengenal TapTalk.io, Mudahkan UKM Kelola Pesan dari Berbagai Aplikasi

TapTalk.io mulai peruntungan di industri SaaS di Indonesia dengan mengusung dua produk andalan mereka, yakni PowerTalk sebagai sebuah Chat SDK dan OneTalk sebagai platform OmniChannel Customer Engagement. Mereka secara spesifik menyasar para bisnis dan UKM yang membutuhkan sebuah alat untuk meningkatkan pengalaman pengguna, terutama dalam hal layanan pelanggan.

TapTalk.io sendiri mulai dikembangkan sejak tahun 2017 oleh Ritchie Nathaniel, salah satu developer yang sudah 10 tahun berkecimpung di dunia startup. Ia juga pernah bergabung dengan Traveloka, Weekend Inc, Moselo, dan pada akhirnya memutuskan untuk mengembangkan TapTalk.io.

Kepada DailySocial Founder & CEO TapTalk.io Ritchie Nathaniel menceritakan bahwa sejauh ini platform OneTalk sudah bisa mengintegrasikan beberapa aplikasi chat seperti WhatsApp, Telegram, LINE, Facebook Massenger, dan Twitter DM ke dalam dasbor terpusat.

Tak hanya it, dasbor OneTalk juga memiliki beberapa fitur untuk mengelola agen customer service, lengkap dengan fitur rating bagi pengguna yang ingin memberikan penilaian terhadap kinerja customer service yang melayani mereka.

“TapTalk.io berkomitmen untuk membangun platform omni-channel terbaik yang terhubung dengan berbagai kanal sosial dan memiliki fitur integrasi dengan third party seperti CRM, chatbot, dan internet automation; juga mengembangkan Inbox yang sangat powerful untuk membantu bisnis dalam melayani customer,” terang Ritchie.

Solusi chat di Indonesia dan ambisi TapTalk.io

Di Indonesia saat ini sosial media menjadi salah satu tulang punggung kanal penjualan bagi social commerce, termasuk juga aplikasi pesan instan atau chat. Tak hanya untuk media promosi layanan, pesan instan juga mulai lazim digunakan sebagai kanal pelayanan pelanggan.

Inovasinya pun sudah semakin beragam. Ada yang mengombinasikan layanan pesan instan dengan teknologi NLP dan AI sehingga hadir chatbot. Ada juga yang membangun sebuah platform integrasi sehingga memudahkan pengelolaan seperti yang dilakukan TapTalk.io dengan OneTalk. Beberapa nama yang melakukan inovasi terkait dengan layanan pesan instan antara lain Kata.ai, Vutura, Botika, Qisqus, Halosis, Balesin, TokoTalk, dan lain-lainnya.

Cerita HepiCar Berusaha Bertahan di Tengah Pandemi

HepiCar, layanan on-demand untuk bengkel dan cuci mobil asal Yogyakarta menceritakan bagaimana mereka menyikapi pandemi. Kendati melakukan beberapa penyesuaian, baik secara operasional dan organisasi, mereka mantap berekspansi ke area Solo dan Semarang.

CEO HepiCar Nurhadiyanto kepada DailySocial menceritakan, di tengah pandemi mereka tetap beroperasi dengan menyediakan lebih dari 30 layanan perbaikan dan perawatan mobil dan motor bagi penggunanya, berkolaborasi dengan lebih dari 450 mitra.

“Keputusan untuk tetap melakukan ekspnasi ini bukan sekedar hanya mengejar jadwal. HepiCar telah mengkaji lima kondisi: kesiapan pasar setelah dilakukan riset 6 bulan, telah tervalidasinya sistem layanan on-demand service, tervalidasinya model bisnis dan revenue stream, telah siapnya sistem dan strategi ekspansi, dan telah siapnya tim ekspansi,” ujar Nur.

HepiCar mengklaim faktor banyaknya jenis layanan yang mereka miliki berpengaruh terhadap ketahanan bisnis mereka di masa pandemi. Seperti layanan tambal ban panggilan, ganti battery mobil, ganti oli, cek mesin dan perbaikan AC mobil yang masih cukup banyak menarik peminat untuk menggunakan layanan HepiCar.

Penyesuaian yang dilakukan

Nur mengaku, meski masih bertahan dan melakukan ekspansi HepiCar tetap merasakan dampak dari pandemi. Untuk itu mereka melakukan beberapa penyesuaian, baik dari segi organisasi maupun operasional.

“Secara organisasi, manajemen HepiCar melakukan pemangkasan sumber daya. Dua pertiga dari jumlah personilnya dilepas. Sehingga tersisa tim kecil yang diharapkan bisa lincah bergerak. Keputusan yang sangat berat memang. Namun langkah organisasional ini dipandang mutlak perlu dilakukan. Untuk memastikan tetap tercapainya target-target pokoknya bisnisnya, meski berada dalam atmosfer krisis,” jelas Nur.

Ia juga menambahkan, karyawan yang terdampak memahami langkah yang ditempuh perusahaan karena termasuk dalam skenario penyelamatan bisnis. Sementara itu dari segi operasional, mereka mengadopsi kebijakan WFH. Hanya bagian administrasi yang bekerja dengan datang ke kantor.

“Terhadap mitra operator layanan diberlakukan protokol layanan yang ketat, seperti wajib menggunakan masker dan sarung tangan ketika bekerja, selalu menjaga jarak aman, selalu mencuci tangan sebelum dan setelah selesai mengerjakan layanan, dan aktif berkomunikasi dengan konsumen terkait pembatasan masuk wilayah-wilayah tertentu,” lanjut Nur.

HepiCar
Mitra spesialis HepiCar / HepiCar

Fokus dan target

Dengan dimulainya petualangan HepiCar di kota baru, mereka saat ini tengah fokus pada menyempurnakan layanan di Solo dan Semarang. Terutama untuk jaringan mitra spesialis yang luas dan berada di seluruh area. Selain itu, mereka juga memastikan untuk bisa diterima masyarakat di ara baru ini. Termasuk dalam hal edukasi dan sosialisasi terhadap masyarakat.

“Target dari ini semua adalah HepiCar dapat melalui masa pandemi ini dengan baik. Tak hanya bertahan dan selamat, namun juga bertumbuh dengan pasti. Apa yang dikerjakan selama masa pandemi ini menjadi pola acuan yang penting untuk melakukan perluasan operasi di kota-kota lain. Pola yang telah tervalidasi dengan baik,” jelas Nur.

Industri jasa dan on-demand saat ini tidak luput dari dampak pandemi. Gojek, sebagai startup “raksasa” pun terpaksa merampingkan bisnisnya dengan menutup layanan GoLife mereka.

Application Information Will Show Up Here

Optimisme BorongBareng Usung Konsep “E-commerce Sosial”

BorongBareng, e-commerce yang berada di bawah naungan PT Digital Imagination Space meresmikan kehadirannya di Indonesia pada Juni 2020. Mereka usung konsep e-commerce sosial, mengoptimalkan keterlibatan banyak pengguna di beberapa fitur/programnya. Dalam debutnya, dihadirkan sejumlah program menarik untuk akuisisi pengguna seperti Slash-it (program game menurunkan harga), Super Deal (program diskon), dan Group-Buy (program beli rame-rame).

BorongBareng dari awal memfokuskan diri menyasar pengguna mobile. Hal ini terlihat dari mereka yang langsung menyuguhkan interface khas mobile pada situs webnya. Aplikasi BorongBareng sendiri sedang dalam proses pengembangan, segera diluncurkan dalam waktu dekat.

Sebagai pemain baru di industri e-commerce, tampaknya founder cukup optimis dengan konsep dan strategi yang diagendakan. Fitur Slash-It misalnya, merupakan salah satu fitur yang diharapkan bisa mengundang banyak pengguna, karena semakin banyak pengguna lain yang diundang maka harga produk bisa semakin murah.

“Tiga minggu setelah soft launching, kami memiliki 50 ribu pengguna yang sudah terdaftar di platform. Ini adalah prestasi luar biasa dan kami bersemangat untuk melayani pelanggan di Indonesia dengan layanan dan kualitas produk yang baik dan harga yang terjangkau,” terang CEO BorongBareng Peter Zhou.

Optimisme di tengah pandemi

Industri e-commerce menjadi penggerak ekonomi terbesar di Indonesia, dengan dinamika dan persaingan bisnis yang cukup ketat. Beberapa pemain muncul dan menghilang, beberapa masih berusaha bertahan dengan susah payah. Tugas semakin berat bagi BorongBareng mengingat kondisi pandemi seperti sekarang ini. Daya beli masyarakat menurun, arah konsumsinya pun berubah ke arah makanan pokok, kesehatan, dan sejenisnya. Kendati demikian, mereka mengklaim cukup optimis untuk berkembang.

“Meskipun menghadapi kuartal yang sulit karena pandemi, hari ini kami dengan bangga memperkenalkan BorongBareng ke masyarakat Indonesia. BorongBareng hadir di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan pandangan yang berfokus pada pertumbuhan populasi digital. Kami ingin semua orang memiliki akses ke produk yang lebih baik, dengan harga terbaik dan memiliki kekuatan untuk memperoleh kualitas hidup yang lebih baik,” terang Peter.

BorongBareng di awal kemunculannya menawarkan berbagai macam jenis kategori produk. Produk-produk ini merupakan hasil kerja sama atau kemitraan dengan beberapa produsen. Seperti untuk buah dan sayuran segar mereka bermitra dengan Eden Farm. Kerja sama in diklaim akan terus dijajaki terutama untuk mengembangkan pertumbuhan bisnis lokal di Indonesia.

Tim juga menjelaskan bahwa semua barang yang dijual di dikirim langsung oleh BorongBareng untuk memastikan harga barangnya sudah cukup terjangkau untuk para pelanggannya.

Untuk saat ini BorongBareng tengah fokus pada pertumbuhan bisnisnya. Dengan modal dari beberapa angle investor mereka menargetkan setidaknya bisa mendapatkan 300 ribu pengguna di penghujung tahun ini, juga merampungkan pendanaan pra seri A.

Bagaimana Layanan Startup Membantu UMKM

Jumlah UMKM di Indonesia saat ini lebih dari 60 juta. Kendati untuk ukuran bisnis mereka masih tergolong kecil, tetapi secara bersama mereka mendukung ekonomi Indonesia. Dalam lima tahun terakhir kita lihat bersama bagaimana startup teknologi mencoba membantu UMKM bertumbuh dan berkembang cepat. Potensi ini terus belanjut, bahkan memasuki babak selanjutnya.

Di awal meledaknya implementasi teknologi digital, banyak startup yang menawarkan serangkaian solusi untuk membantu bisnis UMKM berkembang. Bulakapak, Tokopedia, dan Gojek adalah tiga dari banyak startup dengan semangat tersebut.

Tokopedia dan Bukalapak saat ini telah berhasil mengubah kebiasaan banyak masyarakat Indonesia dalam hal belanja online. Di sisi lainnya, efek meledaknya volume transaksi di dua layanan e-commerce top Indonesia tersebut adalah banyaknya penjual, yang kebanyakan UMKM, menikmati hasilnya. Platform Bukalapak dan Tokopedia terbukti menjadi etalase bisnis digital yang mampu menjangkau jutaan orang sekaligus.

Selain etalase online, Tokopedia dan Bukalapak juga menawarkan pengelolaan bisnis, integerasi dengan layanan logistik, dan sistem pembayaran yang sekarang semakin banyak pilihannya. Jadi tidak berlebihan jika menyebut Tokopedia dan Bukalapak adalah salah satu alasan UMKM bertahan dan berkembang, bahkan memicu banyak munculnya pebisnis baru.

Di periode yang sama Gojek berinovasi dengan GoFood. Layanan ini kemudian meledak, memicu pesaingnya Grab, meluncurkan layanans serupa, GrabFood. Meledaknya penggunaan layanan pesan antar makanan ini adalah berkah bagi mereka yang berjualan makanan. Tak hanya melayani pelanggan yang mampir ke warung, kini mereka bisa melayani pelanggan dari mana saja, asalkan terjangkau cakupan layanan pengiriman makanan.

Modal dan digitalisasi yang lebih baik

Setelah banyak bukti startup bisa bersinergi dengan UMKM, kemudian ramai-ramai bermunculan layanan dengan niat baik serupa. Mereka menghadirkan berbagai macam layanan yang ditujukan untuk membantu UMKM untuk “naik kelas”. Salah satu yang paling krusial adalah akses permodalan yang lebih mudah.

Nama-nama seperti KoinWorks, Investree, Modalku, Akseleran, Amartha adalah beberapa di antaranya. Mereka menawarkan akses ke pinjaman produktif. Tren mengembangkan layanan permodalan pun juga masuk ke area peternakan dan pertanian. Semuanya melalui kanal digital.

Modal adalah salah satu bagian penting perjalanan bisnis. Tidak hanya untuk memulai bisnis, modal juga diperlukan untuk melakukan inovasi lanjutan–ekspansi misalnya. Lahirnya banyak startup yang membantu UMKM mengakses permodalan ini penting untuk menyelesaikan salah satu permasalahan klasik UMKM secara digital.

Di fase ini juga muncul banyak bentuk layanan yang ditujukan untuk membantu UMKM. Misalnya, munculnya penyedia dashboard yang mampu mengelola beragam toko online di media sosial, lahirnya berbagai macam bentuk chatbot, pengleola stok, dan semacamnya.

Menyasar UMKM lebih banyak lagi

Tak berhenti pada pemodalan, masih banyak startup yang muncul untuk bisa memberikan solusi bagi bisnis UMKM untuk berkembang. Tidak hanya UMKM Go Online, tetapi terkait dengan manajemen dan pengelolaan. WarungPintar, Wahyoo, Mitra Bukalapak, Mitra Tokopedia, dan GrabKios lahir di fase ini.

Fokusnya tidak hanya bagaimana bisnis bisa dipasarkan lebih luas, tapi lebih ke bagaimana pengelolaan bisnis UMKM itu sendiri. Selain “menyulap” bisnis dengan tampilan yang kekinian, Platform ini menyediakan aplikasi yang bisa membuat pengusaha offline, dalam hal ini warung makan atau retail perorangan, untuk bisa berdaya.

Mitra Bukalapak, Mitra Tokopedia, dan Grab Kios misalnya. Mereka membuat para pedagang retail tak hanya menjual barang dagangannya, tetapi juga menjual tiket, pulsa, paket data, dan pembayaran lainnya. Wahyoo dan Warung Pintar pun demikian, hanya fokus ke kategori UMKM yang berbeda.

Inovasi selanjutnya tampaknya akan mengarah pada perbaikan disribusi pasokan barangnya atau supply chain. Jadi semua barang yang dijual akan mampu dipesan melalui aplikasi-aplikasi yang ada. Akan menjadi rantai pasok distribusi yang efisien jika startup-startup ini mampu menyediakan gudang atau tempat pemasok yang terjangkau. Tentunya dengan rantai pasokan yang lebih efisien harga juga bisa menjadi lebih baik. Belum lagi penawaran-penawaran menarik lainnya, seperti pilihan pembayaran dan semacamnya.

Yang terbaru, Ula, startup yang mencoba memberikan disrupsi di sektor supply chain, berhasil mendapatkan pendanaan awal sebesar Rp148 miliar dari sejumlah investor.

Pertumbuhan Marketplace Furnitur Selama Pandemi

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diambil pemerintah disikapi banyak perusahaan atau instansi dengan keputusan WFH atau bekerja dari rumah. Kondisi ini berimbas positif pada permintaan furnitur atau perlengkapan rumah di layanan marketplace furnitur. Pertama, karena banyak orang merasa harus mulai mempercantik rumah atau membuat rumah senyaman kantor dan, yang kedua, harus belanja dari rumah atau online.

Sebelumnya, industri marketplace furnitur terbilang cukup jauh dari sorotan. Sejumlah nama pada akhirnya menutup layanan, seperti Livaza, Decadeco, Vurnisio, dan beberapa lainnya. Di sisi lain, beberapa startup masih tetap bertahan dan bahkan mulai merancang inovasi bisnis mereka.

Fabelio tahun ini genap berusia 5 tahun. Klaim mereka, ada beberapa pertumbuhan yang cukup signifikan pada penjualan furnitur ritel dan jasa design & build. Jangkauan pengiriman yang lebih luas, mencakup 750 kecamatan di seluruh pulau Jawa dan ketersediaan showroom yang lebih banyak membuka peluang ke lebih banyak pelanggan. Saat ini, secara total, ada 20 showroom Fabelio di Jabodetabek dan Bandung.

“Untuk pertumbuhan, kami mencapai angka yang signifikan yaitu berupa kenaikan sebesar lebih dari 450% semenjak 2017. Hingga kini, sudah ada lebih dari 1000 projects yang ditangani oleh Fabelio Projects, mulai dari hunian seperti rumah dan apartemen, kantor hingga retail,” terang Co-Founder Fabelio Christian Sutardi.

Hal serupa juga dialami Ruparupa. Chief of Many Things Ruparupa Teresa Wibowo menjelaskan bahwa mereka mengalami pertumbuhan selama empat tahun beroperasi.

“Kami senang dengan pencapaian yang kami dapatkan selama 4 tahun terakhir. itu menunjukkan tren penjualan yang sehat yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Terutama ketika pandemi Covid-19 dimulai, kehadiran online Ruparupa diuji lebih lanjut karena hanya dalam beberapa hari, penjualan lebih dari tiga kali lipat,” terang Teresa.

Kondisi pertumbuhan juga dialami Dekoruma. Empat tahun beroperasi, mereka mengklaim sudah mampu menyuguhkan layanan end to end untuk mendapatkan rumah atau hunian idaman ke pelanggan. Tidak hanya jasa ritel dan design & build, tetapi juga membantu property developer memasarkan apartemen atau rumah.

“[..] Dengan produk yang kita buat sekarang, kita bisa menjalankan project dengan baik tanpa terpengaruh corona dan PSBB. Meeting masih bisa diselenggarakan, diskusi dengan ribuan kontraktor dengan digital,” cerita Co-Founder Dekoruma Dimas Harry Priawan.

Co-Founder & CEO Dekoruma Dimas Harry Priawan
Co-Founder & CEO Dekoruma Dimas Harry Priawan

Cerita tentang pertumbuhan dan tantangan

Layanan marketplace furnitur di Indonesia sedikit berbeda dengan barang-barang kebanyakan. Ukuran atau dimensi yang cukup besar menjadi permasalahan serius membuat pengirimannya terbatas ke jarak atau jangkauan tertentu. Belum lagi pengalaman membeli perabotan online dan offline cukup berbeda karena banyak yang kurang puas hanya melihat display dalam bentuk gambar. Pandemi dan PSBB memaksa masyarakat untuk terbiasa berbelanja dari rumah, termasuk untuk urusan perabotan. Hal ini yang pada akhirnya meningkatkan adopsi pelanggan pertama.

“Penjualan secara online pun mengalami kenaikan sebesar hampir dua kali lipat dibandingkan dengan penjualan sebelum masa pandemi. Selain itu, kami juga menerapkan protokol kesehatan dan kebersihan yang menyeluruh untuk semua titik interaksi mulai dari warehouse, showroom, hingga pengantaran produk sampai ke rumah customer. Seluruh langkah keselamatan ini kami lakukan untuk memastikan keamanan dan kenyamanan dari seluruh stakeholders Fabelio; baik untuk customer ataupun karyawan kami,” terang Christian.

Demikian juga dengan Dekoruma. Dimas menyampaikan,”Untuk pandemi kita mengalami peningkatan dari segi retail. Untuk misalnya untuk perabot rumah tangga. Mengalami peningkatan yang cukup baik, selama tiga bulan terakhir masih growing month-of-month. PSBB mencerminkan potensi [layanan] e-commerce sebagai sebuah industri.”

Lonjakan pertumbuhan juga dialami Ruparupa. Di masa pandemi ini mereka meningkat hingga 3 kali lipat dalam kurun waktu dua hari. Sempat merasa kewalahan di awal lonjakan kini Ruparupa sudah mulai mampu mengantisipasi lonjakan.

“Melalui pengalaman inilah kami menyadari bahwa kami tidak dapat berhemat untuk terus membangun infrastruktur dan berinvestasi kembali di dalamnya. Platform omnichannel kami sangat teruji selama periode ini karena lebih dari sebelumnya pelanggan kami berbelanja dengan cara omnichannel. Mereka tidak lagi berlama-lama di store untuk browsing. Browsing dilakukan di website dan bahkan mengirimkan link-link produk yang tersedia ke toko terdekat untuk mengecek kesediaannya (jika itu adalah produk Ace / Informa, barang tersebut dapat diambil di toko),” terang Teresa.

Chief of Many Things Ruparupa Teresa Wibowo
Chief of Many Things Ruparupa Teresa Wibowo

Meskipun demikian, pertumbuhan tidak dialami semua pemain di industri. Andoleto, layanan marketplace yang sudah beroperasi sejak tahun 2016 mengklaim penurunan di tengah pandemi.

“Kami telah lama menerapkan online business, maka pada praktiknya bekerja secara remote sudah menjadi hal biasa bagi kami. Kami tentunya merasakan daya beli yang menurun di pandemi ini. Namun kami optimis dengan mulainya new normal, semua akan bangkit kembali secara perlahan,” papar CEO Andoleto Aty Samadikun.

Mengenai tantangan untuk  bertahan di industri semuanya sepakat. Fabelio, Dekoruma, maupun Andoleto menilai kepercayaan, pengalaman, dan pengiriman masih menjadi tantangan yang dihadapi, setidaknya untuk bisa tetap bertahan.

Dimas misalnya, melihat isu logistik di luar Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya, seperti Bandung dan Surabaya, cukup berat dan menjadi tantangan. Selain itu masih ada masalah kepercayaan dari pelanggan.

“Kembali ke empat tahun lalu, orang tidak membayangkan bagaimana membeli sofa tanpa melihat barangnya. Kendala ini yang dialami semuanya dan menurut saya itu kendala yang wajar. Butuh waktu, butuh edukasi. Jadi with or without pandemi, itu masalah yang dialami,” papar Dimas.

Sementara Christian menceritakan, “Kebutuhan customer untuk touch and feel [menjadi tantangan], di mana customer masih perlu untuk melihat langsung dan merasakan furnitur yang akan dibeli. Namun tantangan ini bisa kami overcome lewat fitur virtual assistant. Kami berusaha mengedukasi customer dengan layanan yang lebih personalized lewat layanan ini. Tantangan lainnya yang kami miliki adalah distribusi. Dengan ukuran barang yang lebih besar, kami harus mempersiapkan distribusi yang baik untuk menjangkau lebih banyak pelanggan.”

Co-founder Fabelio Christian Sutardi
Co-Founder Fabelio Christian Sutardi

Pendanaan

Tidak banyak yang diceritakan Aty tentang rencana Andoleto selanjutnya. Ia mencoba mengenalkan Andoleto ke lebih banyak masyarakat untuk calon pengguna. Sementara Rupapa berusaha terus untuk meningkatkan pengalaman pengguna dan sistem omnichannel mereka. Sedangkan untuk Fabelio dan Dekoruma. tahun ini keduanya sama-sama berhasil mengamankan pendanaan baru.

Dekoruma mengamankan pendanaan Seri C dari InterVest Star SEA Growth Fund 1, Foundamental, OCBC NISP Ventura, dan Skystar Ventures. Investor di putaran sebelumnya juga turut berpartisipasi. Sementara Fabelio menerima pendanaan Seri C sebesar US$20 juta atau setara 283,4 miliar Rupiah yang dipimpin oleh AppWorks, Endeavour Catalyst, dan MDI Ventures, dengan keterlibatan investor sebelumnya, Aavishkaar Capital.

Dekoruma mulai mengembangkan platform baru untuk memudahkan pelanggannya mendesain rumah idaman, termasuk platform untuk mempromosikan hunian, baik itu rumah maupun apartemen. Sementara Fabelio sudah merencanakan untuk ekspansi untuk bisa menjangkau lebih banyak daerah, agar bisa hadir ke lebih banyak orang.

Update: Penambahan informasi dari Ruparupa

Jenius Kenalkan Fitur Moneytory, Berambisi Jadi Solusi Finansial Menyeluruh

BTPN mulai membentuk Jenius tak hanya sebagai realisasi visi bank digital, tetapi juga sebagai aplikasi finansial yang mudah bagi masyarakat. Mereka menyebutnya sebagai solusi “life finance”. Sejumlah fitur sudah ditambahkan sejak kemunculan pertamanya, yang paling baru mereka memperkenalkan fitur Moneytory. Fitur yang disiapkan untuk bisa membantu masyarakat digital savvy dalam mengelola cash flow mereka.

Pengelolaan cash flow atau pencatatan pengeluaran dan pemasukan dilakukan secara otomatis melalui aplikasi Jenius. Fitur Moneytory akan mencatat pemasukan dan pengeluaran dari transaksi uang masuk dan uang keluar di Saldo Aktif dan Kartu Debit Utama. Kemudian pengguna bisa mengetahui ringkasan kondisi finansial mereka.

Digital Banking Head Bank BTPN Irwan Tisnabudi menjelaskan, “Dalam mewujudkan kondisi finansial yang sehat, hal mendasar yang perlu dilakukan adalah mengetahui cash flow yang dimulai dengan pencatatan finansial. Moneytory hadir sebagai personal financial management tool yang membantu para pengguna mencatat pengeluaran dan pemasukan secara otomatis melalui aplikasi Jenius. Fitur ini kami kembangkan berdasarkan masukan dan feedback dari proses ko-kreasi dan kolaborasi dengan masyarakat digital savvy Indonesia.”

Jenius dan inovasi bank digital di Indonesia

Jenius saat ini merupakan ujung tombak BTPN dalam hal inovasi digital. Sejumlah fitur yang datang belakangan ini tak hanya membuat nyaman penggunanya dalam hal akses layanan perbankan seperti menyimpan uang, berkirim uang, jual beli valuta asing, tapi juga sejumlah fitur lain yang melengkapi kegiatan finansial, seperti Moneytory salah satunya.

Di Indonesia sendiri layanan bank digital menjadi salah satu topik yang hangat untuk dibahas. Melihat bagaimana industri digital di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir bukan tidak mungkin suatu saat nanti bank akan berlomba-lomba dalam inovasi digitalnya. Tercatat, selain Jenius dan DigiBank nama-nama seperti BRI dan BCA sudah mulai ancang-ancang dalam menggarap bank digital mereka.

BRI tahun lalu memperkenalkan BRI Mobile yang diklaim sebagai produk digital banking mereka. Melalui aplikasi, masyarakat bisa membuka rekening dan melakukan berbagai macam kegiatan perbankan lainnya seperti transfer dan top up. BCA pun punya rencana yang sama. Setelah mengakuisisi PT Bank Royal Indonesia, mereka akan segera masuk ke ranah bank digital. Direncanakan bank digital ini akan hadir 2020. Terbaru bank digital ini diberi nama Bank Digital BCA.

Persaingan bank digital di Indonesia segera dimulai. Dilihat dari sederet inovasi yang ada, bank digital ini tidak hanya menyasar masyarakat unbanked, tetapi juga masyarakat yang mencintai kemudahan banking tetapi juga mendambakan keamanan dalam transaksinya.

Application Information Will Show Up Here

WowBid to Discontinue Service Due to Shrinking Revenue During Pandemic

WowBid, an auction-concept marketplace had to discontinue its services at the end of June 2020. Pandemic caused revenue to shrink down significantly. Recently adapted to various strategies, but eventually, the shutdown was inevitable.

WowBid’s Founder & CEO, Rafli Ridwan shared stories on WowBid’s previous journey. One thing causing WowBid’s struggle during the pandemic was because the marketplace sold tertiary goods, while the majority of people allocated their spending funds to basic needs and health. Sales are going further down.

“Wowbid is actually an auction, we sell items such as smartphones, clothes, etc. We don’t sell basic items at all. During this pandemic, people were reluctant to buy smartphones, not interested in buying clothes. They are more interested in buying rice or APD [health uniform],” explained Rafli.

Before the pandemic, they were quite optimistic about their achievements. Statistics submitted, they already have 720 thousand registered users, with 180 thousand active monthly users. However, when the pandemic began to enter Indonesia WowBid services suddenly became quiet. The peak will be in March and April 2020.

“Before closing the service there are considerations to temporarily stop the service, to be able to operate again after the pandemic. After a long discussion with shareholders and recalculating the results we will still find it difficult to enter the top five marketplaces in Indonesia. Then, we make a decision (closing the service),” Rafli explained.

Employees affected by the shutdown were mostly transferred to other companies owned by the founder. The others were dismissed with agreed compensation.

“There is compensation agreed between the employee and the company,” Rafli said.

It was doing well at first

WowBid is one business marketplace that is brave enough, choosing the auction concept in the midst of fierce competition in the e-commerce industry. Rafli claims, within one-year, WowBid has managed to get 1 million downloads.

In 2019 WowBid managed to secure US$ 5 million Pre Series A funding or equivalent to Rp70 billion from PT Envy. Funding was then used to accelerate business growth. With a different concept than most, WowBid has the ambition to become an online shopping choice for Indonesian people, of course by prioritizing more attractive price offers.

“The reality is, to succeed as a marketplace in Indonesia, we need huge funds to compete. Wowbid customers are the same customers as Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Lazada, and others. They are the same people. The difference is, they have the opportunity to buy cheaper goods. It’s hard to compete with other businesses with more capital,” Rafli concluded.

Update: We added information from the founder regarding the employees condition post-shutdown.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pendekatan Teknologi Efektif Diterapkan Elio untuk Jajakan Produk Kesehatan Pria

Elio mendefinisikan dirinya sebagai perusahaan consumer health berbasis teknologi yang menawarkan produk dan layanan khusus pria. Sentuhan teknologi ditambahkan dalam rangka memberikan kemudahan akses kepada produk-produk perawatan yang telah direkomendasikan dokter.

Beberapa produk yang ditawarkan Elio fokus pada kesehatan pria, seperti halnya kerontokan rambut, pengobatan jerawat, dan juga disfungsi ereksi.

Untuk membantu mengenali keluhan dan permasalahan pelanggannya, Elio memberikan konsultasi online gratis, juga beberapa pertanyaan kuesioner yang harus dijawab. Setelah itu dokter akan menganalisis keluhan pelanggan tersebut dan merekomendasikan produk yang cocok.

“Elio mengimplementasikan teknologi telehealth dengan menyediakan konsultasi dokter secara online di website. Selain itu Elio menggunakan media sosial untuk berkomunikasi secara intens dengan pelanggan,” ujar Co-Founder  & Co-CEO Elio Walton Hartanto.

Walton lebih jauh menjelaskan, teknologi digital bagi Elio bisa menunjang komunikasi dengan pelanggan. Konsultasi secara online diyakini sebagai salah satu sarana paling tepat bagi para pelanggan Elio untuk mendapat produk perawatan dan kesehatan yang sesuai.

“Hal itu tentunya didukung oleh riset internal Elio bahwa kurang dari 20% pria belum atau tidak pernah melakukan konsultasi secara langsung kepada dokter. Selain itu juga terus mencari formulasi yang tepat dengan inovasi produk baru,” imbuh Elio.

 

Perjalanan Elio

Adopsi teknologi di bidang kesehatan memang mengalami akselerasi pertumbuhan. Kehadiran layanan pembelian obat online dan telemedicine semakin memasyarakatkan pengalaman akses layanan kesehatan dengan teknologi di Indonesia. Elio adalah salah satu yang mencoba memanfaatkan peluang tersebut.

Dimulai sejak tahun 2019, Elio mengklaim sudah berhasil mendapatkan 10 ribu pelanggan aktif. Mereka juga berhasil menjadi salah satu dari 11 startup lokal yang mengikuti Gojek Xcelerate.

“Elio berkomitmen untuk meningkatkan layanan pelanggan dan juga melakukan inovasi seamless user interface dan user experience sehingga memudahkan pelanggan untuk berkomunikasi aktif dengan Elio. Selain itu, Elio juga telah mengenkripsi seluruh data pelanggan terdaftar untuk memastikan keamanan privasi pelanggan,” terang Walton.

Selanjutnya, Elio juga berencana untuk melakukan inovasi dengan memperluas ke berbagai lini produk baru untuk perawatan kesehatan pria. Selain itu secara grup perusahaan, Elio juga akan berinovasi untuk produk-produk kesehatan wanita dan kesehatan umum.

“Pada implementasi teknologi digital, Elio akan terus meningkatkan infrastruktur digital untuk memperluas lini layanan pelanggan,” tutup Walton.

Pandemi Surutkan Omzet, WowBid Tutup Layanan

WowBid, marketplace dengan konsep lelang memutuskan untuk menutup layanannya di akhir Juni 2020 ini. Pandemi menyebabkan omzet bisnis turun drastis. Sempat menyesuaikan diri dengan berbagai strategi, tapi pada akhirnya penutupan layanan tak bisa dihindari.

Founder & CEO WowBid Rafli Ridwan berbagi cerita mengenai perjalanan WowBid sebelumnya. Salah satu yang menyebabkan perjuangan WowBid terasa berat di masa pandemi karena marketplace tersebut menjual barang-barang tersier, sementara masyarakat kebanyakan mengalokasikan dana belanja mereka ke kebutuhan pokok dan kesehatan. Penjualan pun anjlok.

“Wowbid itu kan aplikasi lelang ya, kami menjual barang-barang seperti smartphone, baju, dan lain-lain. Nah kita tidak menjual sama sekali barang-barang pokok. Di saat pandemi ini orang-orang enggan membeli smartphone, tidak tertarik beli baju. Mereka lebih tertarik beli beras atau APD,” terang Rafli.

Sebelum pandemi mereka cukup optimis dengan apa yang mereka capai. Statistik yang disampaikan, mereka telah memiliki 720 ribu pengguna terdaftar, dengan 180 ribu pengguna aktif bulanan. Namun, ketika pandemi mulai masuk Indonesia layanan WowBid mendadak menjadi sepi. Puncaknya pada Maret dan April 2020.

“Sebelum menutup layanan ada pertimbangan untuk memberhentikan sementara layanan, untuk bisa beroperasi lagi setelah pandemi. Setelah diskusi panjang dengan para pemegang saham dan menghitung ulang hasilnya kita tetap akan susah masuk top five marketplace di Indonesia. Sehingga kita ambil keputusan (menutup layanan),” jelas Rafli.

Karyawan yang terdampak penutupan WowBid sebagian besar dipindahkan ke perusahaan lain milik founder. Yang lainnya, diberhentikan dengan diberikan kompensasi.

“Ada kompensasi yang disetujui antara karyawan dan perusahan,” terang Rafli.

Sebelumnya semua tampak baik-baik saja

WowBid adalah salah satu bisnis marketplace yang cukup berani, memilih konsep lelang di tengah persaingan yang cukup ketat di industri e-commerce. Rafli mengklaim, satu tahun berjalan WowBid sudah berhasil mendapatkan 1 juta unduhan.

Pada tahun 2019 silam WowBid berhasil mengamankan pendanaan pra-seri A sebesar US$5 juta atau setara Rp70 miliar dari PT Envy. Pendanaan itu kemudian dimanfaatkan untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis. Dengan konsep yang berbeda dengan kebanyakan, WowBid berambisi untuk menjadi salah satu pilihan berbelanja online masyarakat Indonesia, tentunya dengan mengedepankan penawaran harga yang lebih menarik.

“Kenyataannya adalah untuk sukses sebagai marketplace di Indonesia kita butuh dana yang besar untuk bersaing. Pelanggan Wowbid itu adalah pelanggan yang sama dengan pelanggan Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Lazada, dan lainnya. Mereka orang yang sama. Jadi yang membedakan adalah, mereka berkesempatan membeli barang lebih murah. Berat untuk berkompetisi dengan bisnis lain yang lebih banyak modalnya,” tutup Rafli.

Update: Kami menambahkan keterangan dari founder mengenai kondisi para karyawan pasca-penutupan perusahaan

Startup “Payment Gateway” Duitku Masih Jadikan UKM sebagai Pelanggan Utama

Co-founder & CEO Duitku Rheza Budiono menceritakan, sejak awal berdiri mereka menyasar UKM sebagai pangsa pasar utama dan konsisten hingga saat ini.

Dukungan Duitku terhadap UKM tercermin dari fokus mereka saat ini yang aktif menyediakan plugins untuk platform e-commerce yang memudahkan merchant dalam mengimplementasikan layanan Duitku dan mengintegrasikannya ke situs resmi mereka.

Untuk saat ini fokus Duitku dibedakan menjadi dua jenis. Pertama untuk payment gateway, dan yang kedua pengiriman dana atau disbursement. Duitku sendiri sudah mendapatkan izin dari Bank Indonesia sebagai Perusahaan Transfer Dana (PTD) sejak Agustus 2018 dan saat ini dalam tahap akhir menunggu terbitnya izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP).

“Dari sejak terbentuknya hingga saat ini, Duitku sudah memfasilitasi sistem pembayaran untuk lebih kurang 2000 merchant dari berbagai jenis dan skala usaha yang beragam. E-commerce, event, donasi, travel, hingga ke jenis usaha modern seperti platform iklan, layanan via aplikasi, maupun peer to  peer lending, dari UKM, hingga perusahaan multinasional,” terang Rheza.

Sebagai salah satu layanan payment gateway yang sudah lebih dari tiga tahun beroperasi di Indonesia, Duitku sejauh ini cukup percaya diri dengan posisinya di industri. Mereka cukup optimis dengan potensi yang ada di Indonesia. Rheza juga menyatakan tidak menutup peluang kerja sama dengan sistem pembayaran lain baik dari dalam maupun luar negeri.

“Kami menyadari dengan luasnya potensi pasar di Indonesia ini Duitku tetap dapat memberikan kontribusi terbaik sekaligus membesarkan industri sistem pembayaran online ini bersama-sama,”ujar Rheza.

Payment gateway di Indonesia

Saat ini UKM di Indonesia sudah memiliki banyak pilihan untuk menjalankan bisnisnya secara digital, termasuk pilihan pembayaran. E-commerce misalnya, memberikan sistem yang lebih utuh dalam proses jual beli barang. Belum lagi adanya aturan QRIS yang memungkinkan pedagang dari segala level bisa menerima pembayaran melalui e-money atau transfer bank dengan mudah.

Kondisi tersebut tidak menggoyahkan semangat Duitku untuk tetap menyasar UKM sebagai pelanggan potensial utamanya. Karena menurutnya industri payment gateway masih dalam tahap pertumbuhan dan mereka cukup yakin bisa berkontribusi dalam perkembangan ekonomi Indonesia secara makro di era digital.

Marketplace secara umum lebih dirancang untuk penjualan tangible goods, sementara masih banyak intangible goods atau produk digital lainnya yang membutuhkan tempat penjualan namun belum terfasilitasi secara memadai. Untuk jenis-jenis usaha tersebut, Duitku berharap dapat memberi dukungan agar mereka dapat berjualan di platform/situs mereka sendiri secara independen, karena sebuah produk yang berkualitas, pada akhirnya akan memiliki platformnya sendiri,” tutup Rheza.