Film Adaptasi Game Ni no Kuni Akan Tayang di Layar Lebar Tahun Ini

Sebelum tiba di console, Ni no Kuni telah lebih dulu dikenal oleh gamer di Nintendo DS serta memantik rasa penasaran penikmat anime Jepang. Alasannya, game kreasi Level-5 ini bukan hanya mengadopsi artwork dari karya-karya Studio Ghibli, namun developer juga berkolaborasi langsung bersama studio film legendaris itu dalam menggarap aspek animasi serta sinematiknya.

Belum lama, Level-5 juga baru menikmati kesuksesan sekuel terbaru Ni no Kuni, Revenant Kingdom. Ia menjadi salah satu game yang berhasil memukau gamer serta media di tahun 2018, dan berhasil masuk di daftar finalis di sejumlah ajang gaming award bergensi. Hal paling menarik dari Revenant Kingdom ialah, Studio Ghibli malah tidak berpartisipasi dalam pengerjaannya. Developer sendiri tampak tak buru-buru untuk mengembangkan penerusnya karena perhatian mereka sedang tertuju pada proyek berbeda.

Proyek tersebut terungkap minggu lalu. Level-5 mengumumkan rencana penayangan film animasi Ni no Kuni di layar lebar. Sebagian besar pengerjaan film ditangani oleh tim developer sendiri, meski beberapa bagian dibantu pula oleh beberapa talenta punya hubungan dengan Studio Ghibli. Selanjutnya, Level-5 memberikan kepercayaan pada Warner Brothers untuk menekel proses distribusi.

Ninokuni 1

Level-5 sepertinya sedikit memodifikasi penulisan judul film ini – dari Ni no Kuni di game menjadi Ninokuni. Anda tak perlu memainkan game-game-nya aga bisa menikmati film tersebut. Ninokuni kabarnya akan menyajikan karakter dan jalan cerita baru, mengisahkan petualangan anak laki-laki bernama Yu di dunia magis, meski sebetulnya ia berasal dari dunia yang kita tinggali ini.

Eksistensi dua dunia yang berbeda merupakan tema utama Ni no Kuni, dan kembali diangkat di sana. Judul film/game itu punya arti ‘negeri kedua’, ‘dunia kedua’, atau ‘realita kedua’.

Film Ninokuni disutradarai oleh Yoshiyuki Momose. Ia adalah director of animation di Wrath of the White Witch dan Revenant Kingdom, dahulu pernah bekerja sebagai desainer karakter di Studio Ghibli. Kemudian, bagian musik dipercayakan pada talenta yang juga akrab di telinga fans Ghibli, yakni Joe Hisaishi – komposer film Spirited Away dan Princess Mononoke. Yang terakhir, CEO Level-5 Akihiro Hino turun tangan langsung untuk membuat screenplay dan jadi produser.

Ninokuni rencananya akan tayang secara terbatas di wilayah Jepang pada ‘musim panas’ tahun ini. Belum ada informasi soal apakah film juga akan didistribusikan secara global atau tidak.

Via Polygon.

Apex Legends Tembus 10 Juta Pemain, Lebih Cepat dari Fortnite dan PUBG

“Apex Legends keren sih, tapi apa bisa mengalahkan dominasi Fortnite?” Demikian pertanyaan yang muncul di benak banyak orang ketika melihat game ini dirilis tiga hari lalu. Sekarang Respawn Entertainment punya jawabannya. Ya, Apex Legends bisa mengalahkan Fortnite, setidaknya dalam hal kecepatan meraih angka 10 juta pemain unik.

Walau masih seumur jagung, Apex Legends telah berhasil mencatatkan milestone yang luar biasa:

  • 1 juta pengguna unik dalam 8 jam
  • 2,5 juta pengguna unik dalam 24 jam
  • 10 juta pengguna unik dalam 72 jam

Apex Legends telah menjadi game battle royale tercepat yang sampai di angka 10 juta pemain! Sebagai perbandingan, Fortnite: Battle Royale butuh waktu dua minggu untuk meraih angka yang sama, sementara PlayerUnknown’s Battlegrounds butuh enam bulan. Perbandingan lain yaitu Overwatch perlu tiga minggu, masih jauh dibandingkan Apex Legends yang hanya butuh tiga hari.

Apex Legends - 10 Million Players
10 juta pemain dalam 3 hari! | Sumber: Respawn Entertainment

Pada saat yang bersamaan, jumlah concurrent player (banyaknya pemain yang online bersamaan) Apex Legends telah mencapai angka 1 juta pemain. Bila kita bandingkan denga kondisi sekarang, Fortnite memang masih memimpin jauh dengan lebih dari 200 juta pemain dan 10 juta conccurrent player. Tapi setidaknya dengan membandingkan rentang waktu awal, Apex Legends telah menunjukkan taring mereka sebagai rival yang patut diperhitungkan.

Untuk menjaga momentum tersebut, Respawn Entertainment telah mengumumkan rencana mereka untuk mendukung game ini selama satu tahun ke depan. Respawn menerapkan sistem “Season”, yaitu periode tiga bulanan yang menjadi milestone pengadaan konten baru. Di setiap Season, akan ada Battle Pass yang berisi berbagai macam imbalan, termasuk kosmetik eksklusif dan Apex Pack.

Apex Legends - Year 1 Roadmap

Perlu diingat bahwa Respawn memiliki prinsip bahwa tidak boleh ada kosmetik yang hanya bisa didapat dengan cara membayar. Artinya, semua item dalam Battle Pass juga bisa didapatkan dengan cara biasa (membeli dengan Legend Tokens, atau lewat Apex Pack). Tetapi pemilik Battle Pass bisa langsung mendapatkan semua imbalan tersebut, jumlahnya kurang lebih sekitar 100 item.

Battle Pass pertama akan diluncurkan pada bulan Maret, kemudian Juni, September, dan Desember. Tentu saja, Respawn juga berencana merilis karakter baru, senjata baru, serta loot baru. Mereka ingin mendukung game ini untuk waktu yang lama, bahkan dalam situsnya mereka mengaku ingin mengerjakan konten hingga tahun 2027. Melihat tingginya minat gamer terhadap Apex Legends, dan potensi esports yang dimilikinya, rasanya impian itu tidak mustahil, asalkan Respawn dapat konsisten menjaga mutu game ini agar tetap memuaskan penggemar.

Sumber: Respawn Entertainment, PC Gamer, Dexerto

Apex Legends Raih 1 Juta Pengguna Unik dalam 8 Jam, Akankah Jadi Esports Baru?

Ada yang unik dari peluncuran game terbaru Respawn Entertainment, Apex Legends. Beda dari perusahaan lain yang biasanya membangun hype dengan segudang trailer dan pengumuman, Respawn justru diam-diam saja dan tiba-tiba langsung merilisnya ke pasaran. Sebuah keputusan yang sebetulnya nekat, karena di era modern ini game AAA tanpa marketing apalah jadinya.

Alasan di balik keputusan itu adalah karena Respawn tidak ingin game ini meluncur dengan dibebani citra negatif free-to-play dan loot box. Sejak perusahaan ini dibeli oleh Electronic Arts (EA) di akhir tahun 2017, kasus loot box dalam Star Wars: Battlefront II telah meledak sehingga membuat kepercayaan masyarakat terhadap EA menurun. Respawn ingin agar para pemain langsung mencoba Apex Legends sendiri, baru menilai apakah game ini layak diterima secara positif atau tidak.

“Kami membuat game free-to-play, yang pada dasarnya mengandung loot box, setelah kami dibeli oleh EA, dan game-nya bukan Titanfall 3. Ini adalah resep sempurna untuk rencana marketing yang runyam, jadi untuk apa melakukannya? Ayo kita luncurkan saja game-nya dan biar para pemain memainkannya,” kata Lead Producer Apex Legends, Drew McCoy, kepada Eurogamer.

Rencana tersebut rupanya berhasil. Tanpa marketing besar yang mengumbar janji-janji manis, reputasi Respawn serta kualitas Apex Legends itu sendiri sudah cukup untuk menarik minat gamer dari seluruh dunia. Bahkan game ini telah mencatatkan pencapaian yang cukup luar biasa, yaitu menggaet 1 juta pemain unik dalam waktu delapan jam saja sejak dirilis. CEO Respawn Entertainment, Vince Zampella, bahkan berkata dalam cuitannya di Twitter, bahwa angka tersebut telah meningkat dua kali lipat hanya sehari setelahnya!

Laporan dari VP Esports juga memberi tahu kita bahwa Apex Legends sangat meroket di dunia streaming. Sebagai game yang sangat baru, dan tanpa hype apa pun, Apex Legends sanggup mencapai jumlah viewer puncak sekitar 495.000 orang di Twitch. Ini angka yang sangat bagus, bahkan dibandingkan dengan sesama game battle royale lainnya. Call of Duty: Black Ops 4 misalnya, hanya mencapai jumlah viewer 449.000 orang, bahkan PlayerUnknown’s Battlegrounds saja butuh waktu berbulan-bulan untuk mendekati angka 500.000 viewer.

Drew McCoy juga mengatakan bahwa ia ingin Apex Legends menjadi game yang “mendalam, strategis, serta dapat dikuasai”. Karena itulah Respawn tidak memasukkan kemampuan wall-run meskipun Apex Legends memiliki latar dunia yang sama dengan Titanfall 2. Robot-robot yang disebut Titan pun tidak muncul, karena semua itu akan membuat pertarungan memiliki terlalu banyak aspek yang tak dapat diprediksi.

Dengan sistem permainan yang begitu seimbang, taktis, serta berbasis tim, Apex Legends seolah dirancang dengan formula untuk menjadi salah satu cabang esports. EA dan Respawn memang belum mengumumkan apakah mereka berencana membawa game ini ke ranah esports atau tidak. Tapi melihat besarnya antusiasme pemain sejauh ini, serta desain game itu sendiri, rasanya sayang sekali bila potensi tersebut tidak dicapai. Di Twitter dan Discord saja sudah muncul komunitas tak resmi yang menamakan diri mereka Apex Legends Pro League (ALPL), jadi minat ke arah esports dari penggemar bisa dibilang memang ada.

Saya pribadi sudah mencoba Apex Legends di PS4, dan hasilnya, game ini sukses membuat saya melek semalam suntuk. Padahal saya biasanya bukan penggemar first-person shooter, apalagi battle royale. Ada sesuatu yang unik dari game ini, yang membuatnya ini terasa begitu seru dan adiktif, apalagi bila mendapat squad yang kompak. Dari sekian banyak game yang sudah terbit di pasaran, Apex Legends adalah game battle royale pertama yang saya sukai, dan saya harap game ini bisa terus sukses dalam waktu yang lama.

Sumber: VP Esports, Esports Observer, Eurogamer, Apex Legends

Game Battle Royale Baru Respawn Akan Jadi Hidangan Pembuka Sebelum Titanfall 3 Meluncur?

Sejak E3 2018 berlangsung, studio pencipta Titanfall tak malu-malu lagi mengungkap apa yang tengah mereka kerjakan. Sang CEO Vince Zampella telah mengonfirmasi eksistensi dari Star Wars Jedi: Fallen Order. Kemudian di bulan Desember kemarin, mereka membuka lowongan pekerjaan di posisi Senior Technical Animator untuk proyek yang berkaitan dengan franchise Titanfall.

Ketika itu, saya sempat mempertanyakan apakah dalam menggarap sekuelnya, Respawn akan mempertahankan tradisi game shooter tersebut atau mereka malah bereksperiman dengan mode multiplayer populer – misalnya battle royale. Jawabannya ternyata adalah iya dan tidak. Di akhir minggu kemarin, mulai beredar rumor di Twitter mengenai permainan anyar Respawn yang akan tersedia sebelum Titanfall 3 tiba. Tak lama, Zampella dan Geoff Keighley (host sekaligus produser acara The Game Awards) mengumumkan judulnya: Apex Legends.

Berdasarkan info dari bocoran-bocoran itu, Apex Legends merupakan game battle royale free-to-play yang menyajikan arena tempur untuk 60 pemain. Aspek unik dari Apex Legends adalah, kemungkinan game akan mengusung latar belakang dunia Titanfall tanpa menyertai robot-robot mecha Titan. Langkah tersebut tampaknya ialah realisasi dari keinginan Respawn buat memperluas jagat Titanfall (meski kita belum mendengar soal kelanjutan pengembangan serial TV-nya).

Kepada Kotaku, seorang informan menyampaikan bahwa gameplay Apex Legends bisa diibaratkan seperti perpaduan antara Titanfall, Overwatch dan mode Blackout di Call of Duty: Black Ops 4. Pemain disodorkan pilihan karakter berbeda, masing-masing memiliki kemampuan ‘super. Anda dapat berpartisipasi di medan tempur seorang diri, atau dalam tim berisi tiga pemain.

Developer berencana untuk melepas Apex Legends di tiga platform, yaitu PC, Xbox One dan PlayStation. Segala detail mengenainya akan disingkap dalam acara live stream via channel Play Apex di Twitch setelah Super Bowl berakhir, tepatnya pada tanggal 4 Februari jam 8:00 pagi waktu Pasifik, atau pukul 23:00 malam WIB. Channel Play Apex sendiri baru Respawn luncurkan, dan walaupun saat artikel ini ditulis statusnya masih offline, belasan ribu gamer sudah mulai mengawasinya.

Tingginya minat terhadap Apex Legends terbilang menarik. Titanfall 2 memang berhasil memenangkan sejumlah penghargaan di 2016 berkat kombinasi aspek  multiplayer adiktif dan single-player unik, tapi karena waktu perilisannya diapit oleh Battlefield 1 dan Call of Duty: Infinite Warfare, penjualannya tidak setinggi harapan Respawn. Update buat permainan berakhir pada Desember 2017, sebulan sesudah developer diketahui diakuisisi oleh Electronic Arts.

Via GamesRadar & PC Gamer.

Ikuti Jejak The Division 2, Metro Exodus Tersedia ‘Eksklusif’ di Epic Games Store

Walaupun Epic Games sempat menjelaskan bahwa platform distribusi digital barunya bukan dibuat sebagai pesaing Steam, persentase pembagian keuntungan yang besar untuk developer  mendorong mereka berbondong-bondong pindah ke layanan itu. Awalnya studio yang bermigrasi merupakan para pengembang independen, namun belakangan diikuti oleh publisher seperti Ubisoft.

Beberapa minggu lalu, perusahaan game Perancis itu mengumumkan keputusannya untuk memasarkan Tom Clancy’s The Division 2 secara eksklusif di Epic Games Store. Langkah ini ternyata diikuti pula oleh Deep Silver dalam memublikasikan sekuel kedua seri Metro garapan 4A Games, Metro Exodus. Peralihan storefront dilakukan secara mendadak oleh publisher Deep Silver, dan bisa kita pahami jika gamer meresponsnya secara negatif.

Usia Epic Games Store masih sangat belia (kurang dari dua bulan), dan berbicara soal fitur, layanan ini masih berada jauh di belakang Steam. Yang lebih membuat konsumen kesal adalah, awalnya Metro Exodus ditawarkan lewat Steam dan gerbang pre-order telah dibuka cukup lama. Tiba-tiba, game tidak lagi bisa dipesan di platform punya Valve itu, dan hanya dapat dibeli di Epic Games Store.

Di laman Steam Metro Exodus, Valve menjelaskan bahwa pemindahan game ke layanan lain ‘tidak adil’ buat konsumen. Namun di sisi positifnya, harga game mengalami penurunan dari US$ 60 di Steam menjadi US$ 50. Tapi jangan terlalu senang dulu. Steam sudah lama mendukung mata uang rupiah dan user di Indonesia dimanjakan oleh penyesuaian harga. Dengan mengusung dolar, harga game di Epic Games Store masih tergolong tinggi dan fluktuatif.

Metro Exodus ialah permainan shooter ketiga di seri Metro yang diadaptasi dari novel Dmitry Glukhovsky. Kisahnya kembali difokuskan pada petualangan Artyom di dunia pasca bencana, dengan gameplay yang lagi-lagi mengedepankan formula stealth, horor serta survival. Berbeda dari dua game sebelumnya, Anda tak cuma bisa menjelajahi lorong-lorong bawah tanah, tapi dipersilakan pula buat mengeksplorasi area permukaan secara lebih leluasa. Selain elemen sandbox, tim 4A Games turut menerapkan sejumlah fitur baru seperti sistem cuaca dinamis, perputaran siang dan malam, serta perubahan musim.

Waktu peluncuran Metro Exodus sendiri tidak berubah, yaitu tanggal 15 Februari 2019. Selain di PC via Epic Games Store, game tersedia pula buat PlayStation 4 dan Xbox One. Kabar gembiranya, kesepakatan ‘eksklusif di Epic Store’ antara Deep Silver dan pemilik layanan tidak berlangsung selamanya. Metro Exodus nantinya juga akan meluncur di Steam, pada tanggal 15 Februari 2020.

Uniknya lagi, mereka yang sudah melakukan pre-order di Steam tetap bisa menikmati permainan via platform itu…

Via PC Gamer.

Agate Akuisisi Ekuator Games, Jamin Masa Depan Seri Celestian Tales

Agate yang merupakan perusahaan developer dan penerbit game terbesar di Indonesia baru saja mengumumkan langkah akuisisi terhadap sebuah perusahaan game lain, yaitu Ekuator Games. Menurut siaran pers yang dirilis Agate, bergabungnya dua perusahaan yang sama-sama bermarkas di Bandung ini telah resmi berlaku sejak tanggal 5 Januari 2019, dengan total nilai akuisisi senilai Rp5 miliar.

Akuisisi ini merupakan salah satu bentuk kolaborasi talenta-talenta game developer lokal, juga usaha untuk meningkatkan kualitas karya anak bangsa. CEO Agate, Arief Widhiyasa, mengatakan bahwa ia ingin mempersatukan kekuatan milik Agate dengan talenta para kru Ekuator Games, dengan harapan mereka bisa bersama-sama mendorong perkembangan industri game Indonesia ke ranah global.

Celestian Tales: Old North | Screenshot 1
Celestian Tales: Old North | Sumber: Steam

Rumor tentang bergabungnya kedua perusahaan ini sudah beredar sejak sekitar perempat akhir 2018, namun pengumuman resminya baru diluncurkan sekarang. Ekuator Games pun sebenarnya telah bekerja sama dengan Agate sejak lama sebelum terjadinya akuisisi. Penggabungan ini bisa dibilang sebuah acara “pulang kampung”, karena Ekuator Games sendiri sebenarnya didirikan oleh kru yang sebagian besar adalah mantan karyawan Agate.

“Sebelum merger Ekuator udah co-dev sama Agate buat project baru. Di project ini Ekuator practically bergerak sebagai divisi sendiri yang terpisah dari Agate. Setelah merger kita masih jadi divisi sendiri, tapi integrated dengan Agate,” jelas Cipto Adiguno, eks-CEO Ekuator Games yang kini menjabat sebagai Vice President of Consumer Games di Agate.

Selain proyek baru yang belum bisa diumumkan tersebut, sebagian kru Ekuator Games juga sempat terlibat dalam pembuatan Valthirian Arc: Hero School Story. Sementara dalam game bikinan Ekuator Games, yaitu Celestian Tales: Old North, pengerjaan soundtrack digarap oleh para komponis dari divisi musik Agate yang dulunya disebut sebagai Agate Simfonia.

Salah satu manfaat langsung yang muncul dari merger antara Agate dan Ekuator Games ini adalah jaminan atas masa depan franchise Celestian Tales. Ketika proyek Celestian Tales dimulai, Ekuator Games merencanakan agar game tersebut menjadi sebuah trilogi. Celestian Tales: Old North merupakan bagian pertama, dan Ekuator telah merilis DLC cerita tambahan berjudul Howl of the Ravager. Akan tetapi game keduanya, yaitu Celestian Tales: Realms Beyond, mengalami hambatan sehingga belum bisa diselesaikan.

“Sebagai bagian deal merger Agate akan funding sisa development Celestian Tales sampai memenuhi semua kewajiban Kickstarter-nya. IP-nya jadi milik Agate,” demikian ungkap Cipto kepada Hybrid. Menurut jadwal yang mereka cantumkan di situs Kickstarter, Celestian Tales: Realms Beyond seharusnya dirilis pada bulan Desember 2017. Dengan adanya merger ini para penggemar Celestian Tales bisa tenang karena petualangan Lucienne, Reynard, dan kawan-kawan pasti akan diceritakan sampai selesai.

Selain merger dengan Ekuator Games, Agate juga tengah mempersiapkan diri untuk melakukan relokasi markas. Saat ini kru Agate sudah mencapai 170 orang, dan kantor Agate yang berada di Bandung wilayah Gegerkalong kurang memadai untuk jumlah tersebut. Semoga saja semua perubahan ini dapat terus membawa dampak positif, dan Agate bisa menciptakan produk yang melampaui kesuksesan Valthirian Arc: Hero School Story nantinya.

Menyusul Yakuza 0, Yakuza Kiwami Juga Akan Hadir di PC

Melihat peluang untuk mendistribusikan game secara lebih luas, developer Jepang berbondong-bondong menyerbu Steam. Saat ini tersedia banyak sekali pilihan permainan Jepang bisa diakses lewat platform distribusi digital tersebut, dari mulai Bayonetta sampai Catherine Classic. Walaupun begitu, tak selamanya publisher atau pemegang IP dengan mudah melepas seluruh kreasinya di PC.

Salah satu franchise lawas yang bary melakukan pendaratan di Windows belum lama ini ialah Yakuza. Yakuza melakukan debutnya pada tahun 2005 di PlayStation 2, tetapi baru 12 tahun setelahnya versi port Yakuza 0 tersedia di Steam. Saat versi PC dari prekuel Yakuza itu disingkap tahun lalu, Sega juga mengungkap agenda peluncuran Yakuza Kiwami (remake dari Yakuza pertama) di Windows, namun baru di hari Senin kemarin tanggal pelepasannya ‘diketahui’.

Menariknya, Sega malah tidak melakukan pengumuman secara besar-besaran. Publisher bahkan tidak memublikasikan trailer baru. Laman Yakuza Kiwami tiba-tiba muncul di Steam, meski di sana belum ada tanggal peluncuran jelas serta daftar kebutuhan hardware. Sega hanya mencantumkan sejumlah screenshot, menuliskan dua paragraf sinopsis, plus satu paragraf lagi yang menjabarkan fitur-fitur baru secara singkat.

Tanggal rilis malah bersembunyi dalam animasi GIF bertajuk ‘Majimaaaa!’. Tentu saja Anda tidak bisa melihatnya langsung. Info hanya muncul sepersekian detik sebelum animasi diulang. Anda harus mengunduh GIF, kemudian memecahnya jadi gambar satu per satu, baru terungkap sebuah tanggal: 19 Februari 2019. Sega memang belum mengonfirmasi apapun, namun banyak orang yakin (termasuk saya) bahwa 19 Februari adalah momen tersedianya Yakuza Kiwami di PC.

Yakuza Kiwami tetap mengusung gameplay action-adventure yang dipadu elemen role-playing seperti versi orisinalnya. Dunia permainan disuguhkan secara terbuka, diadaptasi dari lokasi sesungguhnya, yaitu distrik Kabukichō di kota Tokyo. Game punya sejumlah kesamaan dengan permainan open world lain, tetapi Yakuza Kiwami difokuskan pada aksi pertarungan jarak dekat. Di sana Anda mengendalikan karakter Kazuma Kiryu dalam perspektif kamera orang ketiga.

Yakuza Kiwami PC 1

Edisi Kiwami ini turut dibekali fitur baru, salah satunya bernama Majima Everywhere. Lewat fitur ini, tokoh Goro Majima yang menjadi rival Kazuma akan muncul secara acak untuk menantang Anda, baik lewat pertarungan serta mini-game (misalnya permainan dart atau boling). Jika berhasil melewati tantangan ini, Kazuma berkesempatan untuk membuka kemampuan bertarung baru.

Di PC, Yakuza Kiwami dilengkapi berbagai upgrade terutama pada aspek grafis dan kontrol. Game siap menunjang resolusi 4K, rasio layar lebar, serta tanpa ada restriksi frame rate. Anda bisa menikmati permainan dengan menggunakan controller atau keyboard serta mouse, dan semua input-nya dapat dikustomisasi.

Via Polygon.

Microsoft Minta Saran Anda Demi Meningkatkan Pengalaman Gaming di Windows 10

Apapun pendapat Anda mengenai Microsoft, satu fakta tidak bisa dipungkiri: raksasa teknologi asal Redmond tersebut saat ini adalah pemilik platform gaming terbesar di Bumi. Saya tak cuma mengacu pada Xbox, tapi juga PC. Mayoritas gamer PC menggunakan Windows buat menikmati hobi mereka, dan OS itu memungkinkan kita mengakses layanan distribusi digital berbeda, misalnya Steam, Epic Games Store, GOG, dan store punya Microsoft sendiri.

Signifikansi ranah gaming PC juga mendorong perusahaan untuk terus membubuhkan pembaruan terkait gaming di tiap update Windows. Setelah beberapa kali melepas fitur baru, kali ini Microsoft secara lebih terang-terangan meminta masukan dari pemain mengenai apa yang bisa developer lakukan buat meningkatkan pengalaman gaming di Windows 10. Program ini merupakan bagian dari prakarsa Xbox Ideas, yang didukung oleh UserVoice.

Microsoft membagi program pengumpulan saran dalam tiga fase. Pertama adalah pengumpulan ide. Selama periode ini berlangsung, kita dipersilakan buat mengajukan masukan. Periode selanjutnya adalah voting, yang kemudian ditutup dengan evaluasi. Untuk merangsang partisipasi gamer, tim Xbox sudah lebih dulu menyodorkan beberapa gagasan. Saran dari user sendiri perlu melewati proses moderasi agar muncul di sana.

Di sana sudah ada beberapa sampel ide menarik:

  • Ketika game dibuka, Windows seharusnya bisa mendeteksinya dan menonaktifkan app-app atau proses yang tidak dibutuhkan buat menjalankan permainan.
  • Microsoft diminta untuk menciptakan versi Windows yang dikhususkan serta dioptimalkan buat menangani game.
  • Mirip seperti gagasan nomer satu, tetapi fitur yang diinginkan adalah keleluasaan bagi pengguna buat mematikan proses serta aplikasi di background sehingga permainan berjalan lebih lancar.
  • Windows sebaiknya mempersilakan pengguna meluncurkan permainan dengan menggunakan controller, bukan keyboard atau mouse seperti cara standar.
  • OS punya fitur untuk men-stream  game dari PC ke console Xbox miliknya.
  • Proses kustomisasi fungsi controller Xbox di PC yang lebih sederhana. Di versi sekarang, prosedurnya terbilang panjang.
  • Windows sebaiknya punya kemampuan mengunduh driver (terutama driver kartu grafis) secara otomatis begitu user menginstal permainan.

Saat ini, saya belum mengetahui secara jelas gagasan-gagasan yang berasal dari tim Xbox dan ide-ide orisinal dari pengguna, tapi sepertinya proses voting sudah mulai berjalan. Belum jelas pula sampai kapan pengumpulan ide ini akan berlangsung, tapi tebakan saya, durasinya dibuat cukup panjang.

Yang terakhir, Microsoft memberitahukan bahwa jika Anda punya ide baru dan gagasan tersebut belum muncul di daftar voting, silakan gunakan search box terlebih dulu untuk melakukan pengecekan sebelum mengajukannya.

Kata Developer Lokal tentang Pengembangan Game Premium vs Free-to-Play

Beberapa tahun terakhir, kita telah melihat semakin banyak developer Indonesia yang berhasil menerbitkan game di console. Sebut saja Mintsphere dengan Fallen Legion, Mojiken dengan Ultra Space Battle Brawl, Agate dengan Valthirian Arc: Hero School Story, dan yang belum lama ini muncul, Rage in Peace karya Rolling Glory Jam. Masing-masing game punya karakter tersendiri yang menunjukkan bahwa Indonesia punya dunia gamedev yang sangat kaya warna.

Menciptakan game premium berkelas seperti yang banyak kita mainkan ketika tumbuh besar dulu adalah impian banyak developer. Akan tetapi untuk mewujudkan hal tersebut jelas tak mudah. Ada berbagai tantangan yang harus dihadapi, apalagi industri game kita masih tergolong baru. Hybrid berbincang-bincang dengan beberapa developer lokal untuk menggali pengalaman mereka menciptakan game premium, serta apa perbedaannya dengan mengembangkan game free-to-play. Simak di bawah.

Game sebagai brand ambassador

Pengembangan game di console memang butuh usaha besar. Akan tetapi, untuk sebuah perusahaan, game itu nantinya tidak hanya berfungsi sebagai produk untuk mendapatkan profit saja. Lebih dari itu, game juga bisa menjadi cara untuk branding dan menjadi portofolio perusahaan. Hal ini diungkapkan oleh Azizah Assattari, CEO dari Lentera Nusantara yang kini tengah mengembangkan game berjudul Ghost Parade untuk PS4.

Sebagai sebuah perusahaan kita harus punya satu produk ambassador yang mandiri. Yang mana si produk tersebut bisa menunjukkan secara keseluruhan kapabilitas kerja serta visi misi ideal dari perusahaannya. Dan si proyek mandiri ini juga sebenarnya proses belajar kita di internal secara SOP. Kalau ke klien kita bisa tinggal jelasin parsial prosesnya dari si proyek ambassador itu sendiri,” demikian tutur wanita yang akrab dipanggil Astri ini.

Lentera Nusantara sendiri bukan perusahaan developer game murni, melainkan perusahaan developer konten digital yang merambah berbagai macam media. Selain menciptakan properti intelektual (IP) seperti Ghost Parade, mereka juga menangani pembuatan konten sesuai keinginan klien. Adanya brand ambassador dapat membantu meyakinkan klien akan kemampuan serta alur kerja perusahaan ini. Karena itulah Lentera Nusantara memilih menciptakan game premium untuk console sebagai game pertama mereka.

Tentu tidak semua perusahaan punya visi yang sama dengan Lentera Nusantara. Akan tetapi banyak studio game di Indonesia yang juga mengambil pekerjaan proyek dari klien, baik berupa pembuatan game utuh ataupun outsourcing pembuatan aset. Kepemilikan brand ambassador bisa menjadi aset jangka panjang yang menguntungkan. “Si proyek jangka panjangnya juga dibuat dengan target proyeksi profit mandiri yang lebih terukur,” ujar Astri.

Lentera Nusantara juga punya rencana untuk mengembangkan game dengan skema free-to-play di masa depan. Salah satu alasannya adalah agar mereka bisa melakukan komparasi produk. Jadi kemungkinan besar game free-to-play tersebut nantinya tetap akan memiliki latar belakang dunia yang sama dengan Ghost Parade. “Cuma kalau kita tipenya memang one at a time biar fokus hehe…” kata Astri.

Besar komitmen sebanding dengan keuntungan

Contoh lain perusahaan game yang banyak menangani pesanan klien adalah Nightspade. Sepak terjang mereka telah dimulai sejak 2010, dan mereka menyebut diri sebagai studio spesialis outsourcing. Namun di tahun 2019 ini Nightspade juga tengah mengembangkan IP sendiri dalam wujud dua game, satu premium dan satu lagi free-to-play, yang sayangnya belum bisa diumumkan ke publik.

“Dari pengalaman sih, dan ngobrol-ngobrol sama developer lain juga, premium itu lebih ‘predictable’ buat yang indie. Market emang nggak akan gede banget, dan maintenance-nya lebih ‘murah’ karena seolah-olah jualan sekali bayar,” kata Garibaldy Wibawa Mukti alias Gerry, CEO Nightspade, kepada Hybrid.

Free-to-play, butuh biaya lebih besar, lebih gede risikonya juga. Tapi return-nya juga bisa jadi lebih besar. Apalagi kalau udah dapet user base-nya, di-maintain terus, bisa jadi cash cow. Mereka yang udah purchase, gede kemungkinan untuk melakukannya lagi. Tapi ya itu, dari sisi game-nya, itu ga bisa game yang sederhana. Perlu yang memang memiliki potensi untuk di-scale,” lanjutnya.

Definisi “indie” di sini sebenarnya masih agak rancu. Karena bila dibandingkan dengan developer luar negeri, sebuah game dengan anggaran 1 juta dolar saja masih bisa disebut indie. Secara harfiah sendiri indie berarti independen. Tapi apakah game sekelas Read Dead Redemption 2 bisa disebut indie karena game tersebut self-published? Tentu tidak. Jadi indie yang dimaksud di sini adalah game dengan skala relatif kecil.

Rachmad Imron dari Digital Happiness punya pandangan yang cukup mirip dengan Gerry. Kreator DreadOut ini merasa bahwa untuk short term income, premium lebih cepat untung karena uang lebih cepat masuk. Free-to-play atau freemium lebih menguntungkan di jangka panjang, namun butuh komitmen, maintenance, serta strategi monetisasi yang baik, dengan anggaran besar pula.

“Bukan berarti sebaliknya dengan premium game yah… namun untuk skala tertentu, maintenance, security, dan update akan lebih berat untuk freemium game. Sebagai gambaran untuk judul-judul AAA free-to-play beberapa banyak yang langsung ditutup servernya dikarenakan user terlalu sedikit, misal seperti LawBreakers-nya Cliff Bleszinski, bahkan Paragon-nya Epic Games,” kata Imron.

“Nah kalau kita ngomongin gamedev lokal, menurut saya pribadi sih saya lebih pede premium game yah… karena bujetnya sudah jelas. Dan pengalaman Digital Happiness untuk masuk ke ranah freemium belum ada,” lanjutnya. Digital Happiness sendiri memiliki strategi unik untuk DreadOut. Mereka merilis bagian awal (Act 0) secara gratis, kemudian Act 1 berbayar, dan Act 2 gratis kembali.

Memperlakukan game seperti sebuah startup

Baik premium ataupun freemium sama-sama punya risiko. Selain masalah persaingan dengan game lain, dan kualitas game itu sendiri, hal yang tak kalah penting adalah menciptakan game yang memang ada pasarnya. Karena sebagus apa pun sebuah produk, bila tidak ada orang yang butuh produk itu tentu tidak akan ada yang membeli.

Karena faktor risiko itulah, Agate merasa lebih nyaman mengembangkan game dengan skema free-to-play. Hal ini diungkapkan oleh Shieny Aprilia yang merupakan CMO dari studio asal Bandung tersebut. Agate sendiri hingga saat ini terus konsisten menyandang predikat studio game terbesar di Indonesia, dengan jumlah kru hingga 170 orang dan fokus di ranah mobile game free-to-play.

“Kita merasa lebih baik yang free-to-play, karena kita bisa lebih mengontrol kesuksesan produknya, karena kita bisa tes retention dulu, lalu monetization. Kalau metriknya OK, baru kita promote,” kata Shieny, “Kalau premium product kan harus nunggu produknya rilis dulu baru kita tahu sukses atau nggaknya, jadi lebih risky juga in a way.”

Alur pengembangan yang dilakukan oleh Agate ini mirip dengan strategi validasi produk sebuah startup. Bahkan Shieny berkata bahwa di Agate, jabatan seorang product manager sudah seperti seorang “CEO mini”. Ia menerima sejumlah anggaran, kemudian dituntut untuk mencapai target revenue tertentu. Ketika sebuah produk di iterasi awal sudah menunjukkan metrik yang jelek, Agate tidak akan ragu untuk membatalkan game tersebut, sebelum menunggu terlalu lama dan sebelum berkomitmen mengeluarkan anggaran untuk promosi.

“Kita invest di rekrut dan retain product manager yang bisa mencari opportunity di market, doing market validation and then develop the product. Kita juga selalu berusaha make decision di produk based on data, selain tentunya creativity juga. Decision itu maksudnya mau develop game apa, menarget segmen user apa, etc.,” tutur Shieny.

Faktor keberuntungan dan keseimbangan

Strategi pengembangan produk seperti ini memang cukup rumit dan mungkin terasa tak lazim untuk sebuah game. Akan tetapi menurut Shieny, Agate bukan satu-satunya studio yang menerapkannya. Ada beberapa studio lain yang memiliki strategi serupa, di mana segala keputusan diterapkan dengan dasar data, dan mereka melakukan berbagai tes sebelum memasukkan anggaran marketing.

Uniknya, meski sudah memiliki strategi sedemikian rupa, sebetulnya ada faktor X yang bisa membuat sebuah game sukses secara tak terduga. “Karena ini adalah produk karya seni, bisa aja jackpot juga. Coba bayangin, Minecraft, yang gambarnya kayak gitu, effort relatif ‘kecil’, ternyata jadi gede kayak sekarang,” kata Gerry. Ada juga beberapa contoh game indie lain di dunia yang sukses besar dengan sumber daya kecil, seperti Undertale atau Stardew Valley.

Ini menunjukkan bahwa produk yang didasari dengan visi kuat akan bisa merebut hati banyak penggemar. Tapi tentu berbahaya bila kita menjalankan perusahaan dengan berharap pada faktor X semata, di mana faktor X itu tidak bisa diukur dengan jelas. Imron menyarankan para developer untuk menjaga produk agar tetap memiliki keseimbangan.

“Kita sendiri juga masih belajar sih Mas, namun kalau boleh saya share tipsnya: mencoba untuk tetap menjaga produk yang dibuat sesuai dengan kapasitas produksinya, balance antara ego dan kapasitas produksi, serta jangan lupakan branding dan marketing dari produk itu sendiri, serta peka terhadap perkembangan industrinya.” Kapasitas produksi yang dimaksud Imron meliputi jumlah anggaran, SDM, serta skill yang dimiliki.

One small step at a time,” pungkasnya.

Sengketa Dengan Developer Fallout Shelter, Game Mobile Westworld Hengkang dari App Store

Memperluas jangkauan sebuah franchise hiburan ke medium lain, misalnya dari film ke video game, sudah sering dilakukan. Tersedia banyak judul tie-in di luar sana, dan sebagian di antara permainan-permainan itu diracik untuk smartphone karena ia adalah jenis perangkat yang paling tersebar luas. Namun di segmen ini, aspek orisinalitas kadang tidak terlalu dipikirkan.

Tidak sedikit game mobile yang ‘terispirasi’ dari seri-seri populer, contohnya ada Nova (Halo), Asphalt (Burnout), Modern Combat (Call of Duty), hingga The Ville (The Sims Social). Mayoritas dari mereka terbilang sukses hingga menghasilkan sekuel, namun langkah ini kadang menimbulkan masalah, seperti yang terjadi pada Westworld Mobile untuk Android dan iOS. Game milik Warner Bros. Interactive ini kena gugat Bethesda Softworks karena kemiripannya dengan Fallout Shelter.

Seperti spin-off seri Fallout itu, Westworld Mobile adalah permainan ber-genre strategi dan simulasi pengelolaan. Mengadopsi konsep dari film seri HBO, pemain ditantang untuk mengelola taman hiburan dewasa bertema koboi yang diisi oleh android (robot-robot menyerupai manusia). Westworld Mobile memang punya banyak kemiripan secara visual dengan Fallout Shelter, dan semuanya jadi jelas ketika kita mulai membangun fasilitas bawah tanah.

Bethesda mengklaim bahwa game Westworld Mobile merupakan tiruan terang-terangan dari Fallout Shelter. Sang pemilik seri The Elder Scrolls dan Fallout itu mengeluhkan kemiripan desain, animasi, fitur, arahan seni serta elemen-elemen gameplay lain di sana dengan kreasinya. Meski praktek ‘cloning‘ di ranah game bukanlah hal baru, Bethesda menuduh developer Behaviour Interactive menggunakan kode milik mereka.

Menggali lebih dalam, Behaviour Interactive ialah tim yang sempat dipekerjakan Bethesda Game Studios untuk membantu pengembangan Fallout Shelter. Bethesda menduga, Behaviour kembali menggunakan kode serta sejumlah aset yang sebetulnya dilindungi hak cipta buat menggarap Westworld Mobile.

Buat sekarang, baik pihak Bethesda dan Behaviour Interactive tampaknya sudah mencapai kesepakatan. Sesaat, semua terlihat berjalan normal. Tetapi mulai minggu ini, Westworld tidak lagi bisa diunduh dari Google Play maupun Apple App Store, dan sistem in-app purchase pun telah ditiadakan.

Dalam permintaan maaf dan ucapan perpisahan yang dipublikasikan Behaviour Interactive serta Warner Bros. Interactive via Twitter, Westworld Mobile dijadwalkan untuk ditutup pada tanggal 16 April 2019. Jika masih memiliki mata uang in-gamedeveloper menyarankan Anda buat menggunakannya sekarang sebelum permainan dinonaktifkan.

Via VentureBeat.