Review WD Black P50 Game Drive SSD, Mungil, Solid dan Cepat

WD_Black P50 adalah satu dari berbagai varian WD_Black yang tersedia di pasaran. Perangkat SSD eksternal ini diberi label game drive bersama dengan berbagai produk WD_Black lain yang pernah saya coba, antar lain seperti P10 dan D30.

Sepintas WD_Black P50 tampilannya mirip P10 namun dengan ukuran lebih kecil karena menggunakan NVMe. Lebih cocok disandingkan sebagai adik dari D30 yang berukuran mungil tapi dilengkapi dengan dock. 

Di artikel kali ini saya akan mencoba membahas dan menceritakan pengalaman penggunaan perangkat ini. Tanpa berlama-lama, mari kita mulai. 

Desain

Dari sisi desain, tampilannya masih membaca rugged feeling dengan desain ala kontainer. Warna hitam yang hadir memang sudah paling cocok untuk memberikan kesan kuat dan tahan banting. Dan sebenarnya, tidak hanya kesan kuat yang ingin ditampilkan, tetapi perangkat ini disebutkan dalam situs resmi memang memiliki desain shock resistant

Seperti halnya yang saya sebutkan dalam review D30 atau P10. Desain WD_Black game drive yang tipe eksternal, menurut saya adalah desain terbaik yang bisa didapatkan untuk eksternal SSD. Kesan kokoh dan keren. 

Bagian bawah perangkat ini telah diberikan semacam ambalan berbahan karet untuk memberikan rongga di bagian bawah pendukung sirkulasi udara yang keluar dari bagian rongga perangkat bagian bawah. Juga tentunya sebagai alat pengerem agar ketika meletakan perangkat ini tidak lincin dan mudah bergeser. 

Bagian atas atau bagian utama (yang terdapat teks keterangan merek) terasa solid dari sisi fisik bukan hanya tampilan, karena berbagai elemen metal. Lalu ada lampu indikator kecil di bagian ujung. P50 menggunakan interface USB Type C untuk colokannya, dan out of the box, Anda akan mendapatkan dua kabel. USB Type C ke USB Type C dan USB Type C ke Type A. Jadi penggunaannya akan lebih umum, misalnya untuk PC atau konsol yang masih menggunakan USB Type A. 

Dari sisi desain, yang paling berkesan memang nuansa kokoh dan solid. Ukuran P50 yang lebih kecil dari model HD SATA juga bisa jadi salah satu kelebihan, karena ruang penyimpanan yang dibutuhkan lebih kecil, misalnya untuk skenario kondisi sedang mobile. Makan bentuknya yang relatif kecil sangat berperan penting. 

Untuk desain elemen lain, seperti kabel misalnya, memang tidak sepanjang D30, namun cukup standar untuk perangkat hard drive tanpa dock. 

Spesifikasi perangkat

Sebelum ke pengalaman uji dan pengalaman penggunaan perangkat untuk beberapa keperluan. Saya coba kutipan spesifikasi di atas kertas untuk perangkat ini. 

Unit yang saya coba memiliki ruang penyimpanan 1TB, interface untuk P50 ini menggunakan USB 3.2 Gen 2 dan untuk kompatibilitas bisa untuk perangkat berbasis Windows® 8.1, 10, lalu macOS 10.11+ dan bisa pula untuk konsol seperti PlayStation™ 4 Pro or PS4 with system software version 4.50 atau yang lebih tinggi dan Xbox One™. Interface SuperSpeed USB 20GB/s dan kecepatan baca sampai 2000MB/s.

Uji perangkat dan pengalaman penggunaan

Untuk uji perangkat sebagai catatan, saya mengujinya dengan colokan di laptop USB Type A 3.1 Gen 2 dan USB Type C 3.1 Gen 1 sedangkan colokan di P50 semuanya Type C. 

Tentu saja dengan skema pengujian ini hasil kecepatan yang akan didapatkan tidak akan seperti angka yang tertera di spesifikasi resmi yang sampai 2000MB/s. Namun hasil maksimal kecepatan yang bisa didapatkan sesuai spesifikasi interface yang saya gunakan, kurang lebih kemampuannya sudah bisa diandalkan. 

Hasil pengujian dengan laptop via USB Type C to UBS Type C.

Hasil pengujian dengan laptop via USB Type C ke USB Type A.

Untuk pengujian menggunakan aplikasi Crystal Disk Mark, rekan kami di DailySocial/Gadget juga sempat mengujinya, dan mendapatkan angka di
947.63 MB/s untuk read dan 996.58 MB/s untuk write, dengan pengujian USB 3.2 dengan interface kabel USB C ke USB C. 

Lalu saya juga mencoba beberapa skenario penggunaan selain uji dengan aplikasi, seperti memindahkan file sebesar 18.8 GB yang bisa dicapai dalam waktu kurang lebih 3 menit. Lalu saya juga mencoba bermain game via Steam di hard drive ini, hampir tidak ada masalah dalam memainkannya. Satu lagi, saya juga mencoba membuat 3D avatar, lagi-lagi via Steam, dengan file aplikasi yang disimpan di D50. Proses pembuatannya juga tidak menemukan masalah alias tanpa kendala. 

Satu hal kekurangan yang ada di perangkat ini ketika digunakan adalah suhunya yang selalu naik, alias panas, ketika digunakan. Bermain game, mengakses aplikasi Steam ataupun memindahkan file, semuanya membuat perangkat jadi panas. Untungnya, seperti yang saya jelaskan pada bagian desain bawah perangkat, rongga yang ada bisa membantu sirkulasi. Bahan metal dari perangkat juga memang membuat cepat terasa panas, tetapi di sisi lain juga cepat dingin, terutama jika suhu ruangan juga dalam kondisi dingin. 

Penutup

Agak sulit untuk tidak memasukan unsur desain dalam menutup review kali ini. Meski lagi-lagi ini masalah selera, tapi kesesuaian segmentasi yang dituju, arahan desain dan kesan yang ingin didapat dari perangkat ini bisa diwakilkan dalam warna hitan dan kesna kontainer yang di bawa WD_Black P50.

Untuk urusan performa juga bisa dibilang tidak ada masalah, kecuali bagi Anda yang tidak suka perangkat terasa terlalu panas saat digunakan secara penuh. Saya juga tidak menemui perangkat seolah ‘hang’ karena panas saat digunakan dan tidak bisa membaca folder, seperti yang dihadapi oleh rekan kami di DailySocial/gadget. Selama pengujian dan penggunaan untuk kegiatan sehari-hari dan bermain game. Saya tidak menemukan masalah pada kinerja.

Bagi Anda yang ingin memiliki eksternal SSD dengan performa kecepatan yang cukup tinggi (tentunya dengan syarat port yang mendukung), perangkat ini bisa jadi pilihan. Harga yang cukup premium, untuk versi 1TB yang dijual dengan harga 4 juta lebih serta kondisi panas saat digunakan adalah ‘sedikit’ kekurangan yang harus dibayar untuk mendapatkan kecepatan.

The Bizarre World of Cheating and Hacking in Video Games

Cheaters or hackers are definitely a unique species that are constantly frowned upon in the gaming community. Most of the honest players never even understood why they resorts to hacks in the first place. Are they bad at the game? Are they too lazy to learn, practice, and grind? How do they find enjoyment in accomplishing feats that they didn’t work for?

Although most of us categorize cheaters into one sociopathic, evil, and ill-driven personality, not all hackers are actually the same. It is 100% true that hackers, malicious or not, will always ruin the integrity and sabotage the true gaming experience, especially when their actions affect other players. I, myself, stopped playing CS:GO due to the insane abundance of hackers in my matches despite Valve’s constant effort to stop the cheating problem. Plus, cheating is always punishable by a ban, showing its illegal nature. However, like the cheaters who use them, not all hacks are the same. Thus, in this article, we will be taking a look at the different forms and “severity” of hacks, trying to answer why people cheat in games, and how to resolve the hacking problems that are prevalent in gaming today.

Different Types of Hacks

For us to understand the whole topic of hacking, we first need to distinguish hacks into two different classes and where they are commonly used. The first type of hack is called soft hacks. Soft hacks do not interfere with other players’ experience despite altering the gameplay to your advantage. If you use hacks in a single-player game, chances are you are using soft hacks. Take Grand Theft Auto, excluding its multiplayer elements, as an example. Money hacks, car hacks, infinite HP, and other cheats are always used in that game. People never complained about the abundance of GTA hacks and even deemed them necessary as part of the gameplay since it only affects one player: you yourself.

Money cheats in GTA 5 are an example of a “soft” hack

Of course, soft hacks can also be present in multiplayer games. Skin mods are incredibly popular in many mod-able games like Counter-Strike back in the day, but they can be highly punishable by the devs who want to rack up money from the legitimate skins. There are also money, level, and HP hacks in RPG games, which is definitely a multiplayer genre. However, they are rarely utilized in PvP and more in the PvE scenarios when players are trying to grind for loots or resources.

Despite being illegal to use, skin mods do not interfere with others’ playing experience | Source: Zagruzka Mods

On the flip side, we have hardcore hacks, the hacks that truly matter in this discussion. These are everybody’s favorite, run of the mill type of hack. Hardcore hacks are infamous for frustrating the hell out of players and destroying their gaming experience. In the FPS genre, we have aimbots, which allows you to lock on the people’s heads automatically, and wallhacks, which allows you to see through walls and obtain free information on the enemy’s whereabouts. CS:GO is also known for its incredibly annoying spinbot hack. You essentially but an aimbot hack and add rapid 360 degree turns so that you will spot enemies from all different angles. There are also other FPS hacks like speed hack, anti-aim, but they are niche and rarely used.

An aimbot software in CS:GO

In the MOBA genre, there are many, extremely undetectable scripts that can allow you to automatically cast abilities or incoming spells based on game events. Some hacks allow you to zoom out and give a larger top-down FOV. You might see a common theme in the examples of these games: competitiveness. FPS and MOBA are both multiplayer games that rely on PvP elements, which is why cheats that give an unfair advantage are detrimental to the game’s experience. Nobody really cares if you use infinite HP hacks when fighting a boss in World of Warcraft. However, use that same infinite HP hacks on Dota, and you’ll piss off every single player on the server.

The psychology of using hacks

So why do people use hacks? Well, it is for a variety of reasons, and is also unique to the type of hacks used. For instance, people use soft hacks to remove unnecessary burdens or blockades in the game. Not everyone has the time and effort to grind out money and resources for a game. These grinds, more often than not, are incredibly boring, stale, and hindering the real excitement that people play games for. Cheats, as result, has the capability to provide the necessary shortcuts to more freedom and fun in the game.

Cheats’s can allow players to experience certain games to the fullest extent without having to grind hours on it | Source: Kwebbelkop

Furthermore, as a person who always seeks to play on the same playing field, I do sometimes justify the use of money hacks in pay-to-win games. These games rarely emphasized the players with the best skills and more often rewards players who have access to their mom’s credit card. Free-to-play players can, in turn, lift out the paywall set up by the developers through money hacks and show their true skill-level in the game.

However, the notion of using hacks to remove built-in barricades in games doesn’t apply to cheaters who use hardcore hacks. More often than not, people fall into the world of using hardcore hacks because they simply suck at the game and do not want to slowly improve. They want to get an easy advantage without having to practice or learn properly. It is not a strange fact that everyone starts out as a noob in every game. We cannot install CS:GO for the first time and begin one-tapping everyone on the server. We can’t queue our first Dota 2 game landing every single invoker combo. It is through thousands of hours of practice, experience, and losses that we can achieve all these amazing feats that we see from pro players. Perhaps, in the minds of hackers, they are some sort of talented chosen one who never needs to practice to be a pro. However, when they can be wrecked by better players who grind at the game, they turn to hacks to fulfill their misled purpose.

The next point ties closely to the previous one, which is that hackers can’t handle losses. Everyone who plays games will always face losses. Even the best players in the world lose their games. However, what separates normal players, pros, and cheaters is how they treat their losses. Normal players might not even think that big from losses, it is just part of the game. Pros get better from losses because they think critically about how they can improve and what aspects they could’ve done better to increase their chances of winning the next game. Cheaters, on the end of the spectrum, perhaps never want to learn from their mistakes. They do not recognize losses as a stepping stone for the future but as a setback on their goal to win. To them winning = good, losing = bad, simple as that. Thus, they turn to hacks to maximize their winning percentage and make it impossible to lose. Hackers want to get instant gratification from their wins without acknowledging that it does not come from their effort.

However, I also mentioned that not all hardcore hack users might have the same ill-intent and malicious behavior we all associate them with. In the depths of the hacking community, we also have ethical cheaters who consider hacks to be their own art-from. In the CS:GO landscape, there are often hack vs. hack servers where cheaters hang out and battle each other to show off who has better or more optimized cheats. They even develop a set of strategies specialized to combat other hackers. So, instead of playing CS:GO like a normal shooting game, they play the game like a mechanic tuning their race car. These ethical hackers simply enjoy the game in a different way than most of us, and that way just happens to involve one of the most illegal aspects in gaming. But what happens if these hackers queue up in a normal match with honest players? Well, true ethical hackers will simply turn off their hacks or even use unique cheats to cancel the game. For all they know, they are wasting their time queueing with the wrong players. There is a whole video about the topics of these hackers in the following video from CS:GO YouTuber under the name of 3kliksphillip.

Solutions to hacking problems in games

Whether or not a hacker is ethical, their presence is undoubtedly not always welcomed in the eyes of honest players. Many players have, consequently, even stopped playing certain games due to the immense cheating problems. Therefore, let’s take a look at existing several approaches that game developers have implemented to combat cheaters in their games.

The first and most straightforward solution to cheating problems is using anti-cheats. An example of this is VAC or Valve Anti-Cheat, undisputedly the most popular anti-cheat software in all of gaming. However, VAC and most anti-cheat software out there are also notorious for being highly ineffective in spotting cheaters. Expert or experienced hackers can effortlessly identify obvious weaknesses in anti-cheats and can develop hacks that are specialized to bypass these blindspots. VAC’s weaknesses, for instance, are already common knowledge in CS:GO hacking community, which could explain the rampant case of cheaters in the game.

Perhaps the best anti-cheat software in today’s era is Riot Games’ Vanguard, their cheat protection software for VALORANT. Taking from my experience when playing VALORANT, I could never recall getting matched up against a hacker. Even if there are hackers, none of them are blatant enough to fully ruin the game like CS:GO spinbotters. However, Riot’s ability to achieve such impressive security in detecting potentially malicious programs stems from Vanguard accessing our operating system kernel. Essentially, Riot has the capability to extract information about all of your computer’s ongoing processes and, to a certain extent, take full control of your device. Incredibly sus, but highly effective in spotting cheating programs nonetheless.

Riot’s Vanguard when a cheater is detected | Source: Hotspawn

Unfortunately, anti-cheats still suffer from one major problem: creating new accounts. Although anti-cheats can spot hackers and ban them in place, the same cheaters can easily create a new account and modify their programs in the hopes of not getting detected in the future. Simply put, there is no significant consequence or punishment that will prevent hackers from returning to the game after being banned. One method of overcoming this loophole is establishing some sort of paywall, or making the game not free. CS:GO, for instance, costs $15, which is already decent in preventing a minority of “free-to-play” hackers. But again, there still exists blatant hackers in my CS:GO matches from time to time. Creating a price tag in a game will also sacrifice some of the honest player bases who aren’t willing to pay for the game.

A more weighty punishment is an IP ban, which bans you from fully connecting and playing with the game server. Even if you make new accounts, you still wouldn’t be able to play because you still use the same exact IP address from your home network. However, IP bans are not a common practice in this day and age because most IPs today are dynamic, meaning that they change from time to time. VPNs or are also widely available today to mask and “change” your IP. From what see, anti-cheats can be useful to a certain extent, but will never thoroughly eradicate the cheating plague because no significant consequence exists to stop hackers from disregarding their bans. Thus, another solution is required, one that does not need to remove the cheaters in the first place.

We can solve the cheating problem by essentially isolating the cheaters from the honest player base. Therefore, cheaters will play against cheaters whereas the honest players can have their own fun. Hiding the problem is not always the most elegant solution, but it is definitely necessary in this case. To isolate or cluster the cheaters, we need to first identify the cheaters using the anti-cheat software. However, instead of banning the cheaters, we will simply mark their accounts and force them to queue with other marked cheaters. Developers can also provide hack vs. hack servers where cheats are allowed, but I highly doubt that any dev will ever promote this sort of idea. Nonetheless, with this approach, cheaters are allowed to thrive on their own without interfering with the honest player base. A win-win solution in the end

The last approach to solve the cheater problem is to scam the cheaters themselves. This solution is inspired by the ScriptKid. If you do not know who ScriptKid is, he basically creates “bait” cheat software that will troll anyone who runs the program. In one of his early YouTube videos, he engineered a fake PUBG hack that will secretly chuck grenades underneath the player without their knowledge, resulting in many hilarious deaths. He also makes similar fake hacks in CS:GO and even Minecraft. Of course, these bait hack software will ruin the experience of noob cheaters who don’t know how to find or create their own high-quality hacks. In turn, this solution could be effective in pushing away potential newcomers to the hacking community.

Conclusion

Hacking, whether we like it or not, will always be a part of gaming. With the continuous development of technology, hacks are also getting more evasive and sophisticated against anti-cheats. For instance, a new next-gen cheat program was released a couple of months ago that utilizes AI and computer vision input movement that will assist your aim. This program doesn’t work like any normal aimbots and is virtually impossible to detect since there is no way of distinguishing between the AI movement with human movement. I suspect that similar or even more sophisticated cheats will be created in the future.

Despite this fact, we can still keep our chin up with our newfound knowledge of cheating and hacking. We know that not all cheats or cheaters are the same, how some of them may be “legal” or “illegal”. We also have seen several solutions that might be implemented in the future to combat the ever so worsening cheating problem. So, even if you and I all hate cheaters, just keep in mind that there are several ethical hackers out there who aren’t willing to annoy and waste your time. As for the non-ethical ones, we can hope that they can be clustered together away from our playground and have their own fantasy of being a “god gamer”.

 

Featured Image: Pexels

Studi Kasus Teknologi VR: Faktor Apakah yang Membuat Teknologi Baru Sukses?

Metaverse kini tengah naik daun. Ada banyak perusahaan yang tertarik untuk menjajaki metaverse, walaupun definisi dari metaverse itu sendiri masih rancu. Salah satu perusahaan besar yang menunjukkan ketertarikan dengan metaverse adalah Facebook. Perusahaan media sosial tersebut bahkan mengubah namanya menjadi Meta. Bersamaan dengan perubahan nama perusahaan, Mark Zuckerberg mengumumkan rencananya untuk membangun metaverse, yang dia artikan sebagai dunia digital yang dibangun di atas dunia fisik.

Menariknya, tidak semua orang yang bekerja untuk Meta setuju dengan  rencana Zuckerberg. Ialah John Carmack, Consulting Chief Technology Officer dari Oculus. Selama ini, dia selalu menentang usaha perusahaan untuk membangun metaverse, walau dia mengaku bahwa dia punya ketertarikan akan metaverse itu sendiri.

“Saya ingin metaverse ada, tapi saya punya alasan kuat untuk percaya bahwa mencoba membangun metaverse bukanlah cara terbaik untuk menemukan metaverse,” ujar Carmack, seperti dikutip dari GamesIndustry. Dia juga menyebut metaverse sebagai “jebakan” untuk orang-orang yang hanya peduli akan sebuah konsep secara luas, tanpa peduli akan bagaimana cara merealisasikan konsep tersebut.

“Tapi, Mark Zuckerberg telah memutuskan bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk membangun metaverse. Jadi sumber daya pun digelontorkan untuk itu. Sekarang, tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah memastikan semua energi dan sumber daya ini bisa disalurkan ke sesuatu yang positif agar kita bisa membangun sesuatu yang bisa memberikan manfaat dalam waktu dekat,” kata Carmack.

Di tengah booming metaverse, bukan hal yang aneh jika ada orang-orang yang justru merasa skeptis. Sebelum ini, ada beberapa teknologi yang juga sangat hype, tapi gagal merealisasikan ekspektasi masyarakat. Contohnya adalah virtual reality alias VR.

Industri AR/VR, Kini dan Enam Tahun Lalu

Pada 2015, Digi-Capital memperkirakan, nilai industri AR/VR bakal mencapai US$150 miliar pada 2020, dengan pembagian US$120 miliar untuk industri AR dan US$30 miliar sisanya untuk industri VR. Ketika itu, mereka mengatakan, industri VR akan disokong oleh game dan film 3D, menurut laporan TechCrunch. Sementara harga headset VR diperkirakan akan sama seperti harga konsol.

Perkiraan nilai industri AR/VR pada 2015. | Sumber: Digi-Capital via TechCrunch

Enam tahun lalu, Digi-Capital memperkirakan, pasar Augmented Reality (AR) akan lebih besar daripada pasar VR. Karena, pasar AR akan mirip dengan pasar smartphone/tablet. Jika jumlah pengguna VR diperkirakan akan mencapai puluhan juta orang, jumlah pengguna diduga bakal menembus angka ratusan juta orang.

Dua tahun kemudian, pada 2017, nilai industri AR/VR diperkirakan mencapai US$11 miliar. Dengan total belanja sebesar US$3 miliar, Amerika Serikat menjadi negara yang memberikan kontribusi terbesar ke pasar AR/VR. Dalam beberapa tahun ke depan, pada 2021, BI Intelligence memperkirakan bahwa nilai industri AR/VR akan mencapai US$215 miliar. Setiap tahunnya, industri AR/VR diduga akan mengalami pertumbuhan sebesar 113%. Saat itu, industri AR/VR diperkirakan akan tumbuh pesat karena perusahaan-perusahaan teknologi besar — seperti Apple, Facebook, dan Google — menanamkan investasi yang tidak kecil di bidang AR/VR.

Pada 2017, AR/VR diperkirakan akan banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan retail. Industri retail diperkirakan mengeluarkan US$422 untuk investasi di ranah AR dan VR. Selain retail, bidang manufaktur juga diperkirakan akan menanamkan investasi besar — sekitar US$309 juta — untuk AR dan VR.

Sekarang, mari bandingkan estimasi nilai industri AR/VR dari beberapa tahun lalu dengan nilai industri AR/VR yang sebenarnya pada 2021. Berdasarkan data dari Statista, nilai industri AR/VR di tahun ini hanya mencapai US$30,7 miliar, jauh lebih kecil daripada perkiraan sebelumnya. Meskipun begitu, seperti yang Anda bisa lihat pada gambar di bawah, nilai industri AR/VR diperkirakan masih akan naik dalam beberapa tahun ke depan. Pada 2023, industri AR/VR diperkirakan akan menembus US$100 miliar dan pada 2024, angka itu akan naik menjadi hampir US$300 miliar.

Perkiraan nilai industri AR/VR dalam beberapa tahun ke depan. | Sumber: Statista

Per April 2021, eMarketer mengungkap bahwa paling sedikit, ada 58,9 juta orang yang menggunakan VR setidaknya satu kali dalam satu bulan sepanjang 2021. Angka itu naik menjadi 93,3 juta orang untuk penggunaan AR. Mereka juga memperkirakan, pandemi akan membuat jumlah pengguna AR/VR bertambah. Karena, selama pandemi, orang-orang harus bekerja, belajar, berbelanja, dan melakukan berbagai kegiatan lainnya dari rumah. Selain pandemi, beberapa hal lain yang akan mendorong tingkat adopsi AR/VR adalah jaringan 5G, kecerdasan buatan (AI), dan edge cloud processing.

Pada 2018, Global World Index merilis laporan tentang persepsi konsumen di Amerika Serikat dan Inggris akan teknologi AR dan VR. Berdasarkan survei itu, sebanyak 53% responden percaya, VR akan digunakan secara massal terlebih dulu dari AR. Sementara itu, hanya 34% responden yang menganggap, AR akan digunakan oleh masyarakat banyak terlebih dulu. Menariknya, bagi orang-orang yang sudah mencoba teknologi AR/VR, sebanyak 50% percaya akan potensi AR dan 47% percaya akan potensi VR. Ketika itu, GWI sendiri juga menyebutkan, mereka percaya, AR punya kemungkinan lebih besar untuk membuktikan bahwa teknologi AR bisa memberikan manfaat dalam kehidupan sehari-hari para konsumen.

Tentang penggunaan teknologi AR/VR, kebanyakan konsumen masih menganggap, teknologi AR/VR akan digunakan di industri game. Selain game, beberapa industri lain yang dianggap akan bisa memanfaatkan teknologi AR/VR adalah film dan TV, siaran olahraga, edukasi, dan media sosial.

Bidang-bidang yang diperkirakan akan bisa memanfaatkan teknologi AR/VR. | Sumber: Global World Index

Dari survei yang mereka lakukan, GWI juga mengetahui bahwa masalah terbesar untuk membuat VR diterima oleh masyarakat luas adalah harga perangkat VR yang mahal. Jika Anda mengecek situs e-commerce, Anda akan tahu bahwa HTC Vive dihargai sekitar Rp16-Rp24 juta. Tak hanya itu, Anda juga harus membeli PC yang cukup powerful untuk bisa menggunakan headset VR tersebut.

GWI mengungkap, menumbuhkan pasar VR, maka pelaku industri VR harus  bisa menunjukkan manfaat yang bisa konsumen dapat dari teknologi VR. Selain itu, mereka juga punya pekerjaan rumah untuk menurunkan harga dari perangkat VR agar menjadi lebih terjangkau. Kabar baiknya, saat ini, sudah ada perangkat VR yang harganya lebih murah dari HTC Vive atau perangkat VR kelas atas lainnya. Salah satunya adalah Oculus Quest, yang ada di rentang harga Rp5 juta-an. Masalahnya, headset VR murah meriah biasanya tidak akan memberikan pengalaman semulus headset VR mahal. Buktinya, orang-orang yang menggunakan headset VR kelas bawah atau menengah biasanya mengeluhkan bahwa mereka mengalami motion sickness. Pengalaman yang buruk saat menggunakan teknologi VR justru bisa membuat konsumen mempertanyakan legitimasi teknologi VR.

Selain harga headset yang mahal, masalah lain yang menghambat industri VR tumbuh adalah konten. Jika dibandingkan dengan konten biasa, konten VR masih jauh lebih sedikit. Padahal, salah satu cara untuk menarik konsumen untuk membeli headset VR adalah dengan mengiming-imingi mereka dengan konten. Memang, jumlah konten VR akan bertambah dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna VR. Hanya saja, pasar VR tidak akan bisa tumbuh jika tidak ada konten yang membuat konsumen tertarik untuk membeli VR.

Kabar baik untuk pelaku industri AR, harga perangkat yang mahal bukanlah masalah di industri AR. Karena, untuk mencoba menggunakan teknologi AR, Anda tidak perlu mengeluarkan uang banyak. Hanya dengan smartphone, Anda sudah bisa merasakan pengalaman menggunakan AR. Pokemon Go adalah contoh penggunaan teknologi AR yang sangat sukses.

Kenapa VR Tidak Bisa Merealisasikan Hype?

Google pertama kali meluncurkan headset VR Daydream View pada 2016. Tiga tahun kemudian, pada 2019, mereka memutuskan untuk berhenti memproduksi Daydream. Google mengatakan, mereka memulai proyek Daydream karena mereka melihat potensi besar untuk smartphone VR. Namun, mereka kemudian menyadari berbagai keterbatasan dalam smartphone VR. Dan hal ini membuat mereka percaya, smartphone VR tidak akan bisa bertahan lama.

Alasan lain Google memutuskan untuk menghentikan proyek Daydream adalah karena jumlah orang yang membeli headset VR itu tidak sebanyak harapan mereka. Seolah hal itu tidak cukup buruk, seiring dengan berjalannya waktu,  waktu penggunaan Daydream View oleh orang-orang yang headset VR itu pun terus turun, lapor BBC.

Daydream VR. | Sumber: Wikipedia

Terkait keputusan Google untuk menghentikan proyek Daydream, James Gautrey, Portfolio Manager di Schroders — perusahaan yang mengkhususkan diri untuk menganalisa saham perusahaan teknologi — mengatakan bahwa salah satu masalah yang menghambat pertumbuhan industri VR adalah harga headset VR yang mahal.

“Menurut saya, hambatan dari adopsi VR secara massal adalah karena VR memerlukan hardware yang mumpuni,” kata Gautrey, dikutip dari BBC. “Ambil game sebagai contoh; Anda akan memerlukan PC yang powerful, tempat yang luas, Anda juga harus memasang sensor yang diperlukan, dan tentu saja, headset VR itu sendiri. Biaya yang harus Anda keluarkan bisa mencapai ribuan dollar. Selain itu, memasang sistem VR juga merepotkan.”

Lebih lanjut, Gautrey mengatakan, berbagai tantangan untuk mengadopsi teknologi VR bukan berarti VR tidak berguna. Selain game, teknologi VR menawarkan sejumlah manfaat. Misalnya, VR bisa digunakan untuk melatih orang-orang yang punya pekerjaa berbahaya, seperti pilot, ahli bedah, atau penyelam. “Namun, selain itu dan game, saya tidak melihat bagaimana VR bisa digunakan oleh banyak orang,” ujarnya.

Untuk mengetahui tentang masalah lain yang menghambat pertumbuhan industri VR, Andreea-Anamaria Mureesan, murid Ph.D jurusan Human-Centered Computing di University of Copenhagen mencoba untuk menganalisa lebih dari 200 video VR fails di YouTube. Dia berusaha mencari tahu masalah apa yang merusak pengalaman VR seseorang dan apa yang bisa developer lakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk membuat laporan ini, Mureesan bekerja sama dengan Emily Dao dari Monash University, Jarrod Knibbe dari University of Melbourned, dan Kasper Hornbæk dari University of Copenhagen.

Setelah menganalisa lebih dari 200 video VR fails, Mureesan dan rekan-rekannya menemukan bahwa hal yang paling sering terjadi dalam video-video itu adalah  pengguna menabrak tembok, furnitur, atau orang lain saat menggunakan headset VR. Hal itu berarti, ruang menjadi salah satu faktor yang membuat pengalaman menggunakan headset VR menjadi tidak menyenangkan, seperti yang disebutkan oleh Digital Trends.

Memang, jika Anda ingin bisa menjelajah dunia virtual atau memainkan game VR dengan leluasa, Anda membutuhkan tempat yang luas. Masalahnya, tidak semua orang memiliki ruang yang cukup luas untuk memainkan VR. Di Indonesia, jangankan ruang bermain, 20% warganya masih tidak punya rumah. Sementara di Amerika Serikat, pada 2020, jumlah orang yang memiliki rumah hanya mencapai 65,8% dari total populasi.

Tidak habis sampai di sana, masalah ketersediaan ruang juga mencakup orang-orang yang punya tempat tinggal, tapi tidak punya ruang yang cukup luas untuk bermain. Sebagai contoh, orang-orang yang tinggal di apartemen mikro, tren yang mulai populer di kalangan warga kota yang tinggal di kota yang padat dan punya biaya hidup tinggi.

Data kepemilikan rumah di Amerika Serikat. | Sumber: Statista

Kabar baiknya, ada cara bagi developer aplikasi/game VR untuk memanfaatkan ruang yang terbatas. Para peneliti asal Jepang berhasil menemukan cara untuk “mengecoh” otak pengguna VR, membuat mereka berpikir bahwa mereka terus berjalan lurus walau sebenarnya mereka sedang berjalan memutar. Dengan begitu, seseorang bisa terus berjalan tanpa henti di dunia VR tanpa harus khawatir akan menabrak tembok. Hanya saja, ruang yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan metode ini tetap cukup besar, yaitu 5×7 meter.

Sementara itu, solusi yang ditawarkan oleh Muresan dan rekan-rekannya sedikit berbeda. Daripada mencoba untuk mengubah persepsi pengguna akan ruang, mereka menyarankan developer perangkat VR untuk memungkinkan pengguna membuat batasan ruang yang lebih fleksibel.

Sekarang, jika Anda ingin menggunakan perangkat VR seperti HTC Vive atau Oculus Quest, Anda harus menentukan batas “ruang bermain” terlebih dulu. Jadi, ketika Anda sudah masuk ke dunia VR, Anda akan mendapatkan peringatan saat Anda berada terlalu dekat dengan batas yang sudah Anda tentukan sebelumnya. Dengan menentukan batas ruang, pengguna diharapkan tidak tidak menabrak tembok atau furnitur lainnya ketika mereka sedang di dalam dunia virtual.

“Kami menyarankan developer untuk membiarkan pengguna membuat batas ruang yang lebih kompleks untuk mencegah pengguna menabrak sesuatu. Misalnya, dengan mempertimbangkan objek yang ada di atas kepala pengguna,” ujar Muresan. “Pendekatan lain yang kami sarankan adalah mengubah elemen dalam game sesuai dengan situasi pemain.”

Contoh skenario yang Muresan berikan adalah ketika seorang pemain berada dekat dengan batas ruang yang dia tentukan, senjata yang dipegang oleh pemain akan secara otomatis berubah. Daripada membiarkan pengguna memegang pedang — yang mengharuskan pengguna untuk membuat gerakan melebar — senjata yang pengguna pegang akan secara otomatis berubah menjadi perisai, sehingga dia tidak harus membuat gerakan lebar.

Apa yang Membuat Teknologi Populer?

Setelah membahas tentang hype dari teknologi VR dan bagaimana VR tidak bisa memenuhi ekspektasi dari konsumen, sekarang, mari membahas teknologi yang memang sukses menjadi populer dan diadopsi oleh banyak orang. Salah satunya adalah Universal Serial Bus (USB).

Sekarang, Anda bisa memasang berbagai aksesori komputer — mulai dari mouse, keyboard, headphone, sampai game controller — melalui port USB. One port to rule them all. Namun, pada awal tahun 1990-an, PC punya inpu port yang beragam, seperti serial ports, parallel ports, mouse dan keyboard ports, dan lain sebagainya. Tak hanya itu, saat Anda menghubungkan sebuah aksesori ke komputer, terkadang Anda harus memasang software khusus atau bahkan melakukan reboot. Dengan kata lain, ketika itu, proses memasang peripheral komputer jauh lebih rumit dari sekarang.

Ajay Bhatt, seorang Computer Architect yang ketika itu bekerja di Intel, menyadari hal ini, bahwa komputer terlalu rumit untuk digunakan, bahkan oleh dirinya sendiri, yang mengerti teknologi. Dia lalu mendapat ide untuk menyederhanakan penggunaan komputer, dengan cara membuat satu port standar yang bisa digunakan untuk menghubungkan berbagai aksesori ke komputer.

“Pada awalnya, tujuan saya adalah untuk menarik pengguna baru untuk komputer,” kata Bhatt pada Fast Company. “Semua berawal pada 1992. Saya mengajukan ide port terstandar pada beberapa manajer, tapi mereka tidak tertarik. Mereka tidak mengerti betapa pentingnya keberadaan Universal Serial Bus (USB), tapi saya tidak patah semangat. Saya tahu bahwa pengoperasian komputer bisa dibuat menjadi jauh lebih mudah. Anda seharusnya tidak memerlukan orang IT untuk memasang printer atau mengonfigurasi mouse atau keyboard.”

Ajay Bhatt. | Sumber: Twitter

Lebih lanjut, Bhatt bercerita, karena keinginannya untuk membuat port eksternal universal mendapat respons yang kurang baik, dia memutuskan untuk pindah ke sister company dari Intel. Di sana, dia bertemu dengan Fred Pollock, seorang Intell Fellows, yaitu orang-orang yang dianggap memang sangat ahli dalam teknologi. Ketika Bhatt meminta pendapat Pollock akan idenya, Pollock mengatakan bahwa dia tidak tahu dan mendorong Bhatt untuk mencoba untuk merealisasikan idenya sendiri. Sejak saat itu, Bhatt mulai menggaungkan idenya akan port universal ke banyak grup di Intel.

“Saya berbicara dengan divisi bisnis, saya bicara dengan ahli tenkologi lainnya. Dan saya juga pergi dan berbicara dengan Microsoft,” kata Bhatt. “Kami juga pergi untuk bicara pada perusahaan-perusahaan yang akhirnya menjadi rekan kami, seperti Compaq, DEC, IBM, NEC, dan lain sebagainya.” Dia mengatakan, untuk merealisasikan idenya, dia tidak hanya harus membangun jaringan di dalam perusahaan Intel, tapi juga bekerja sama dengan orang-orang dari perusahaan lain.

Bhatt akhirnya berhasil meyakinkan orang-orang di dalam Intel akan legitimasi idenya. Pada 1993, Intel setuju untuk membuat port universal. Bhatt mengungkap, proses untuk meyakinkan orang-orang Intel akan legitimasi idenya membutuhkan waktu sekitar satu sampai satu setengah tahun. “Pada akhir 1993 atau awal 1994, saya sudah punya tim kecil,” kata Bhatt. “Kami punya grup internal untuk menciptakan ide baru di Intel dan juga melakukan analisa dan menuliskan spesifikasi yang diperlukan. Setelah itu, kami juga bekerja sama dengan rekan di luar perusahaan.”

Standar USB akhirnya resmi dirilis resmi dirilis pada 1996. Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa dalam membuat teknologi terstandarisasi, kerja sama antara pelaku industri sangat penting.

Pada awalnya, komputer punya beragam jenis ports, termasuk Parallel Port. | Sumber: Wikipedia

Selain UBS, mari kita mengambil contoh teknologi lain yang sukses diadopsi banyak orang, yaitu VHS. Format kaset video itu diluncurkan oleh JVC. Sebenarnya, sebelum JVC memperkenalkan VHS, Sony telah terlebih dulu meluncurkan format kaset video bernama Betamax. Sony bahkan sempat mendapat dukungan dari pemerintah Jepang. Karena, pada 1974, pemerintah Jepang ingin melindungi konsumen dengan mengharuskan perusahaan manufaktur elektronik untuk membuat satu format standar dan tidak  lagi menggunakan format-format berlainan yang tidak kompatibel dengan satu sama lain.

Meskipun Sony hadir dengan Betamax terlebih dulu, JVC tidak mau kalah. Mereka berhasil meyakinkan Matsushita — manufaktur elektronik terbesar di Jepang, bertanggung jawab atas produk Panasonic dan National — untuk mendukung format buatan mereka, VHS. Tak berhenti sampai di situ, JVC juga mencari dukungan dari perusahaan-perusahaan lain, seperti Hitachi, Mitsubishi, dan Sharp. Dukungan dari ketiga perusahaan tersebut hadir dalam bentuk peluncuran VHS player pada 1976. Alhasil, pemerintah Jepang terpaksa membatalkan rencana mereka untuk memaksa manufaktur elekronik dalam menggunakan satu format standar. Dan perang antara Sony dan JVC pun dimulai, lapor The Guardian.

Jika dibandingkan dengan VHS, Betamax tidak hanya hadir terlebih dulu, tapi juga menawarkan kualitas yang lebih baik. Namun, VHS digunakan oleh lebih banyak orang. Dengan begitu, JVC bisa memproduksi kaset VHS dalam jumlha lebih banyak dan menawarkan kaset tersebut dengan harga yang lebih murah. Pornografi jadi salah satu industri yang menggunakan VHS. Karena harganya yang murah, banyak pelaku industri pornografi yang menjadikan VHS sebagai format untuk video mereka. Penggunaan VHS oleh industri pornografi merupakan titik tolak balik yang membuat VHS bisa mengalahkan Betamax.

Pada 1988, Sony membuat VHS recorder pertama mereka. Hal ini menjadi penanda bahwa mereka telah mengaku kalah dari JVC dalam perang format kaset video. Pada 2002, Sony meluncurkan recorder Betamax terakhir dan pada 2016, mereka berhenti memproduksi kaset video berformat Betamax.

VHS recorder dan player. | Sumber: Wikipedia

Dari perang antara Sony dan JVC terkait format kaset, kita bisa menarik kesimpulan bahwa teknologi yang hadir pertama kali tidak melulu akan diadopsi secara massal. Kualitas yang lebih baik juga tidak menjamin bahwa sebuah teknologi akan digunakan oleh banyak orang. Buktinya, walau Sony meluncurkan Betamax — yang punya kualitas lebih baik dari VHS — lebih dulu, pada akhirnya, VHS-lah yang keluar sebagai pemenang.

Berbicara soal teknologi yang digunakan banyak orang, smartphone merupakan salah satu teknologi terpopuler saat ini. Tidak heran, mengingat jumlah pengguna smartphone diperkirakan mencapai 6,4 miliar orang, menurut Statista. Lalu, kenapa smartphone bisa menjadi sangat populer? Salah satunya adalah karena smartphone punya daya komputas yang cukup memadai, walau ukurannya kecil, menurut laporan Business Insider.

Jika Anda menghubungkan smartphone dengan internet, ada banyak hal yang bisa Anda lakukan melalui smartphone, mulai dari membuka email, chatting, dan menjelajah internet. Melalui smartphone, Anda sekarang bahkan bisa mencari pacar atau membeli saham. Dan hal ini tidak lepas dari peran para developer aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk melakukan banyak hal melalui smartphone mereka.

Selain ukurannya yang lebih kecil — sehingga bisa dibawa kemana saja — smartphone juga punya keunggulan lain dari PC, yaitu harga yang lebih murah. Faktanya, ada banyak orang yang mengenal internet pertama kali melalui smartphone dan bukannya PC. Indonesia merupakan salah satu negara yang kebanyakan warganya mengenal internet melalui smartphone.

Kesimpulan

Dalam marketing, hype memang bisa mendorong penjualan sebuah produk. Hal yang sama juga berlaku untuk teknologi baru. Teknologi yang dibicarakan oleh banyak orang berpotensi untuk digunakan oleh banyak orang. Sayangnya, hype saja tidak menjamin sebuah teknologi sukses. Buktinya, walau punya hype yang besar, industri VR belum menjadi sebesar yang diperkirakan pada beberapa tahun lalu. Sebaliknya, terkadang, teknologi baru yang pada awalnya kurang diminati, justru bisa jadi sesuatu yang mengubah sebuah industri. Contohnya, USB.

Apakah hal itu berarti kita tidak boleh mengikuti teknologi yang sedang tren? Tidak juga. Memperhatikan dan mencoba teknologi baru yang sedang berkembang, tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, ada baiknya jika kita juga tidak menelan informasi yang didapat bulat-bulat.

Sumber header: Pixabay

Kalahkan Juara Bertahan DAMWON Gaming, EDward Gaming Juarai World Championship 2021

Ajang tahunan tertinggi game League of Legends yakni World Championship 2021 resmi berakhir. Turnamen yang digelar pada 5 Oktober hingga 6 November 2021 kemarin di Islandia dimenangi oleh EDward Gaming. EDward Gaming berhasil mengalahkan DAMWON Gaming dengan skor 3-2 di partai grand final.

Pada game pertama, EDward Gaming berhasil unggul lebih dahulu lewat permainan agresif mereka yang tidak mampu dihadapi oleh DAMWON Gaming. EDWard Gaming menutup game pertama di meit ke-35 dengan skor kill 16-4.

Kemudian pada game kedua, DAMWON Gaming mulai menunjukan kemampuannya dengan memenangkan pertandingan lewat permainan apik mereka. DAMWON gaming mengakhiri perlawanan EDward Gaming di game kedua pada menit ke-32 dengan skor kill 22-3. DAMWON Gaming menyamakan kedudukan menjadi 1-1.

Pada game ketiga, DAMWON Gaming berbalik unggul setelah mengalahkan EDward Gaming lagi. ADC tim DAMWON Gaming Ghost bermain apik dengan champions Apheilos dan memenangkan game ketiga pada menit ke-36.

Pada game keempat, EDward Gaming berusaha bangkit dengan memenangkan pertandingan dan menyamakan kedudukan menjadi 2-2. EDward Gaming memenangkan game keepmat ini pada menit ke-33 dengan skor kill 6-3.

Pada game kelima sekaligus game penentu, kedua tim bermain habis-habisan. Namun akhirnya EDward Gaming berhasil memenangkan pertandingan lewat pertarungan sengit. EDward Gaming mengakhiri perlawanan dari DAMWON Gaming dengan skor akhir 3-2.

Dengan kemenangan ini maka EDward Gaming berhasil mengembalikan kejayaan tim Tiongkok yang sebelumnya diambil alih oleh DAMWON Gaming pada tahun 2020 kemarin. DAMWON Gaming sendiri merupakan sang juara bertahan Worlds yang mendominasi semua kempetisi yang mereka ikuti sejak tahun 2020 kemarin.

Gelar World Championship 2021 yang diraih oleh EDward Gaming dirasa sangat spesial. Dari 6 kali mengikuti turnamen World Championship, akhirnya EDward Gaming berhasil mengangkat trophy Worlds di edisi yang kesebelas ini. EDward Gaming juga menjadi tim Tiongkok ketiga yang berhasil memenangkan turnamen World Championship setelah Invictus Gaming pada tahun 2018 dan FunPlus Phoenix pada tahun 2019 kemarin.

Gelaran World Championship 2021 pun akhirnya telah sukses diselenggarakan. Turnamen yang diikuti oleh 22 tim League of Legends terbaik di dunia ini  memperebutkan total hadiah sebesar US$2.225.000 atau sekitar Rp32 miliar.

Program Reward Google Play Points Resmi Hadir di Indonesia

Google mengumumkan kehadiran program Google Play Points secara resmi di Indonesia pada tanggal 5 November 2021 kemarin. Sebelumnya sudah hadir lebih dulu di beberapa negara lain, program ini dirancang untuk memberikan poin dan reward kepada pengguna perangkat Android atas berbagai aktivitas mereka di Google Play.

Program ini dapat diikuti tanpa biaya, dan pengguna dapat mengumpulkan Play Points dari pembelian aplikasi, film, buku, pembayaran subscription, in-app purchase, dan lain sebagainya. Selama masih dalam konteks Google Play, pada dasarnya semua transaksi dapat dikonversikan menjadi Play Points.

Di awal, peserta program bakal mendapatkan 1 poin di setiap kelipatan Rp1.500. Jadi semisal Anda membeli 250 Diamond di Mobile Legends seharga Rp75.000 (lewat store bawaan game-nya langsung), maka Anda bakal langsung menerima 50 Google Play Points.

Poin tersebut kemudian bisa ditukarkan dengan beragam reward; bisa berupa in-app atau in-game item, bisa berupa kupon diskon untuk membeli in-app atau in-game item, atau bisa juga berupa saldo Google Play Credit.

Seiring poinnya terakumulasi, jumlah poin yang didapat dari setiap transaksi juga bakal bertambah. Pasalnya, pengguna bisa mencapai empat tingkatan (tier) di program ini. Berikut rincian dari masing-masing tier:

  • Bronze: Tier pertama untuk semua peserta program Google Play Points. Tier ini memberikan 1 poin di setiap kelipatan Rp1.500, beserta kesempatan untuk mendapat hingga 4x lebih banyak poin di game, atau hingga 2x dari menyewa film dan buku dalam event bulanan.
  • Silver: Jika mengumpulkan setidaknya 300 poin dalam tempo satu tahun, maka pengguna akan naik ke tier yang kedua. Di sini mereka bakal mendapatkan 1,1 poin untuk setiap kelipatan Rp1.500 (bonus 10%), lalu kesempatan untuk mendapat hingga 4x lebih banyak poin di game, atau hingga 3x dari menyewa film dan buku dalam event bulanan. Mereka juga bisa mendapat hadiah langsung setiap minggunya dalam bentuk poin (sampai 100 poin).
  • Gold: Jika mengumpulkan paling tidak 1.000 poin dalam tempo setahun, maka pengguna akan naik ke tier yang ketiga. Nilai konversinya naik menjadi 1,2 poin untuk setiap kelipatan Rp1.500 (bonus 20%), dan hadiah mingguannya juga naik menjadi up to 200 poin. Kesempatan untuk mendapat hingga 4x lebih banyak poin di game masih ada, tapi tier Gold juga bisa menerima sampai 4x dari menyewa film dan buku selama event bulanan.
  • Platinum: Saat akumulasi poin dalam setahun mencapai 5.000 poin, maka pengguna akan mencapai tier yang teratas. Di tier ini, setiap kelipatan Rp1.500 akan menghasilkan 1,4 poin (bonus 40%), dan hadiah langsungnya bisa mencapai 500 poin per minggu. Pengguna di tier ini juga berkesempatan mendapatkan hingga 4x lebih banyak poin di game, atau sampai 5x dari menyewa film dan buku selama event bulanan, tidak ketinggalan pula respon tercepat dari tim support apabila membutuhkan.

Muriel Makarim, Head of Brand & Reputation, Google Indonesia, menjelaskan, “Kami ingin memberikan masyarakat Indonesia sebuah program yang dapat mengikuti peningkatan minat mereka terhadap berbagai aplikasi seluler. Orang di Indonesia makin banyak mencari hiburan baru, terutama terkait game, dan mereka ingin terus dihibur, aktif, dan berinteraksi dengan aplikasi. Kami ingin memberikan reward atas engagement itu dengan Google Play Points dan memberi mereka pengalaman yang menyenangkan.”

Ditanya mengenai tarif top up Google Play yang lebih mahal jika dibandingkan dengan berbagai layanan pihak ketiga, Muriel berdalih bahwa memberikan pengalaman yang terbaik kepada konsumen itu tidak selalu lewat harga yang murah, melainkan bisa juga dengan cara [top up] yang seamless.

Program Google Play Points ini pada dasarnya juga bisa dilihat sebagai respon Google terhadap kondisi tersebut. Kalau kita gunakan Mobile Legends lagi sebagai contoh, jadi meskipun jumlah Diamond yang didapat lebih sedikit jika top up langsung via Google Play, pengguna akan mendapatkan poin yang dapat ditukar dengan beragam reward itu tadi.

Google mengajak lebih dari 25 developer untuk ikut meramaikan program Google Play Points di Indonesia, termasuk halnya developer lokal macam Agate. Arief Widhiyasa, CEO sekaligus co-founder Agate, optimistis bahwa program ini bisa jadi cara yang bagus bagi developer untuk berinteraksi dengan para pemainnya dan memotivasi mereka untuk terus bermain.

Untuk mengikuti program Google Play Points, pengguna hanya perlu mencantumkan metode pembayaran pada akunnya, lalu buka menu profil pada aplikasi Play Store di perangkat Android. Supaya lebih menarik perhatian, semua anggota baru berhak mendapatkan tiga kali lebih banyak poin di setiap pembelian selama satu minggu pertama.

Daftar Game dengan Denuvo yang Tidak Bisa Dijalankan Di Prosesor Intel Alder Lake

Intel baru saja meluncurkan CPU generasi terbarunya yaitu Intel Alder lake. Prosesor generasi ke-12 ini cukup memeriahkan kembali rivalitas prosesor antara Intel dan AMD. Hal ini tentunya mampu menaikkan kembali minat para perakit PC, terutama untuk PC gaming di saat harga prosesor AMD terus melonjak.

Namun sayangnya, prosesor baru ini langsung menghadapi masalah kompatibilatas. Masalah ini muncul terhadap 32 game yang menggunakan DRM Denuvo.

Beberapa game yang terbukti bermasalah antara lain Assassin’s Creed Valhalla dan juga Watchdogs: Legion. Dalam kasus Assassin’s Creed Valhalla, game-nya bahkan tidak dapat dijalankan menurut pengujian yang dilakukan PC Gamer.

Berikut ini adalah daftar game-game yang masih bermasalah dengan prosesor Intel generasi kedua belas tadi, yang dihimpun oleh PC Gamer.

Incompatible games (Windows 11)

  • Anthem
  • Bravely Default 2
  • Fishing Sim World
  • Football Manager 2019
  • Football Manager Touch 2019
  • Football Manager 2020
  • Football Manager Touch 2020
  • Legend of Mana
  • Mortal Kombat 11
  • Tony Hawks Pro Skater 1 and 2
  • Warhammer I
  • Assassin’s Creed: Valhalla
  • Far Cry Primal
  • Fernbus Simulator
  • For Honor
  • Lost in Random
  • Madden 22
  • Maneater
  • Need for Speed – Hot Pursuit Remastered
  • Sea of Solitude
  • Star Wars Jedi Fallen Order
  • Tourist Bus Simulator
  • Maneater

Incompatible games (Windows 10)

  • All of the above, plus:
  • Ace Combat 7
  • Assassins Creed Odyssey
  • Assassins Creed Origins
  • Code Vein
  • eFootball 2021
  • F1 2019
  • Far Cry New Dawn
  • FIFA 19
  • FIFA 20
  • Football Manager 2021
  • Football Manager Touch 2021
  • Ghost Recon Breakpoint
  • Ghost Recon Wildlands
  • Immortals Fenyx Rising
  • Just Cause 4
  • Life is Strange 2
  • Madden 21
  • Monopoly Plus
  • Need For Speed Heat
  • Scott Pilgrim vs The World
  • Shadow of the Tomb Raider
  • Shinobi Striker
  • Soulcalibur VI
  • Starlink
  • Team Sonic Racing
  • Total War Saga – Three Kingdoms
  • Train Sim World
  • Train Sim World 2
  • Wolfenstein Youngblood

Intel mengatakan bahwa mereka telah bekerja sama dengan para publisher dan developer game-game yang terdampak tersebut untuk memperbaiki masalahnya. Di sisi lain Denuvo telah merilis pernyataan bahwa mereka telah menyediakan patch khusus bagi game-game yang bermasalah dengan Intel Alder Lake tersebut.

Denuvo bahkan menyebut bahwa mereka telah menyediakan patch tersebut jauh sebelum prosesor Intel Alder Lake tersebut diluncurkan dan selanjutnya tergantung para developer untuk segera mengimplementasikan patch tersebut secepatnya atau tidak.

Image Credit: Intel

Hal-hal seperti inilah yang kelihatnya masih membuat banyak publisher dan developer enggan menggunakan Denuvo. Beberapa game seperti NieR Replicant Remaster, Tekken 7, Mafia: Definitive Edition, hingga Crysis Remastered telah menghapus Denuvo dari game-nya.

Perlindungan Denuvo memang terkenal cukup mempengaruhi performa dan juga optimalisasi game yang menggunakannya saat dijalankan di PC. Dan kini hal tersebut diperparah dengan kasus kompatibilitas yang terjadi terhadap Intel Alder Lake.

Denuvo memang telah memberikan pembelaan bahwa mereka telah bekerja sama dengan Intel mengenai masalah ini, namun tetap saja masalah ini tidak akan terjadi pada game-game yang sejak awal tidak menggunakan Denuvo.

Inilah Hasil Pembagian Grup M3 World Championship 2021

Turnamen tahunan terbesar Mobile Legends bertajuk M3 World Championship 2021 akan digelar pada bulan Desember 2021 mendatang. Sebanyak 16 tim Mobile Legends terbaik dari seluruh dunia akan mengikuti turnamen ini. Termasuk Indonesia yang mengirimkan 2 wakilnya yakni ONIC Esports dan RRQ Hoshi sebagai finalis MPL ID Season 8.

Sama seperti gelaran sebelumnya, M3 World Championship akan dimulai dengan babak group stage terlebih dahulu sebelum kemudian melangsungkan babak playoff. 16 tim peserta M3 akan dibagi ke dalam 4 grup dengan masing-masing 4 tim tiap grupnya. Pengundian grup M3 World Championship juga sudah selesai dilakukan pada Sabtu, 6 November 2021 ini.

Berikut ini hasil drawing pengundian grup M3 World Championship 2021:

Sumber Gambar: Mobile Legends YouTube

GRUP A:

  • Blacklist International (Filipina)
  • Red Canids (Brasil)
  • Malvinas Gaming (Peru)
  • Bedel (Turki)

GRUP B:

  • ONIC Esports (Indonesia)
  • ONIC PH (Filipina)
  • Todak (Malaysia)
  • Vivo Keyd (Brasil)

GRUP C:

  • EVOS SG (Singapura)
  • SeeYouSoon (Kamboja)
  • NAVI (CIS)
  • BTK (Amerika Serikat)

GRUP D:

  • Team SMG (Malaysia)
  • RRQ Hoshi (Indonesia)
  • GX Squad (Timur Tengah)
  • RSG SG (Singapura)

Babak group stage akan digelar pada tanggal 6 hingga 9 Desember 2021 mendatang. Babak group stage M3 akan menggunakan format best of 1. Pada babak ini tidak akan ada tim yang tereliminasi. 2 tim teratas tiap grup akan lolos ke babak playoff upper bracket. Sementara 2 tim terbawah tiap grup akan lolos ke babak playoff lower bracket.

Kemudian, pada babak playoff akan menggunakan sistem double elimination format. 3 round awal babak playoff lower bracket akan menggunakan format best of 3. Sementara pertandingan lainnya akan menggunakan format best of 5. Sedangkan partai grand finalnya sendiri akan menggunakan format best of 7.

Dengan bertambahanya jumlah kontestan dalam M3 World Championship 2021 diharapkan persaingan akan semakin sengit lagi. Selain itu dengan banyaknya jumlah pertandingan yang disajikan akan membuat menarik untuk disaksikan.

M3 sendiri merupakan seri ketiga turnamen MLBB World Championship 2021 yang akan memperebutkan total hadiah hingga US$800.000 atau sekitar Rp11,4 miliar. Gelaran M1 berhasil dimenangkan oleh EVOS Legends dari Indonesia. Sementara M2 berhasil dimenangi oleh BREN Esports dari Filipina.

G.Skill Meraih Rekor Dunia Sebagai RAM DDR5 Tercepat, Harga GPU Naik Lagi di Beberapa Negara

Seiring rilisnya processor Intel Gen-12, RAM DDR5 juga ikut diluncurkan oleh sejumlah pabrikan — salah satunya adalah G.Skill. Menariknya, RAM DDR5 dari brand G.Skill dikabarkan dapat menyentuh speed gila-gilaan sampai mencetak rekor dunia. Lalu, jika berbicara tentang hardware, saat ini topik tentang harga GPU memang tidak ada habisnya. Pasalnya, harga GPU di beberapa negara dikabarkan sedang tinggi-tingginya sejak bulan April.

Kecepatan RAM DDR5 dari G.Skill Meraih Rekor Dunia!

RAM DDR5 akhirnya meluncur satu demi satu dari sejumlah brand ternama. Namun, pabrikan G.Skil akhir-akhir ini mencuri perhatian. Pasalnya, mereka berhasil mendorong RAM Trident Z5 DDR5-4800 mereka untuk berjalan di speed 7000Mhz (overclock). Tidak hanya super kencang, Trident Z5 ini juga memiliki tampilan yang ciamik lengkap dengan RGB.

Image Credit: G.Skill

G.Skill tidak menjelaskan secara detail tentang processor maupun modul yang mereka pakai untuk demonstrasi tersebut. RAM DDR5 berhasil berjalan di DDR5-7000 dengan timing 40-40-40-76. Mereka juga mengklaim bahwa dengan kecepatan DDR5-7000, sistem dapat berjalan dengan stabil. Namun, apakah kecepatan setinggi ini benar-benar diperlukan untuk sekarang?

Dengan bantuan liquid nitrogen, G.Skill mampu meng-overclock RAM DDR5 mereka hingga DDR5-8704. Artinya, RAM tersebut berjalan di 4,352.3Mhz — dan karena teknologi DDR, angka tersebut dikali dua dan menghasilkan 8,704 MT/s.

Untuk meraih rekor dunia ini, G.Skill menggunakan satu stick RAM Trident Z5 DDR5-4800 mereka dengan processor Intel Core i7 12700KF dan motherboard ASUS ROG Z690 Apex. Serta liquid nitrogen untuk menjaga suhu RAM DDR5 mereka tetap rendah. G.Skill juga merubah primary CAS Latency menjadi 127 clocks. Lebih lengkapnya, Anda dapat melihatnya di validasi dari CPU-Z.

Harga GPU Naik Lagi Mencapai Harga Tertinggi di Jerman dan Austria

Beberapa bulan lalu, harga GPU di beberapa negara dikabarkan mulai turun akibat pelarangan mata uang cypto yang dilakukan oleh Tiongkok. Salah satu negara yang terciprat turunnya harga GPU adalah Jerman. Sayangnya, ternyata hal tersebut tidak berlangsung lama.

Menurut beberapa pedagang GPU terbesar di Jerman dan Austria, saat ini harga GPU di sana mencapai titik tertingginya. Data dari 3D Center menunjukkan bahwa di bulan Oktober kemarin, harga GPU dari AMD dan NVIDIA meningkat sekitar 18% dan 16%. Angka ini menempatkan harga GPU dari kedua brand yang dijual di sana menjadi hampir dua kali lipat MSRP-nya.

Image Credit: GIGABYTE

Sebagai contoh, pada bulan Juli lalu, NVIDIA RTX 3060 dijual dengan harga paling mahal EU€799 (Rp13,2 juta) dan paling murah berada di EU€579 (Rp9,5 juta) Kini, harganya naik menjadi EU€1280 (Rp21,1 juta) dan yang paling murahnya di EU€699 (Rp11,5 juta). Sekadar informasi, NVIDIA RTX 3060 memiliki MSRP hanya Rp4,6 juta.

Harga GPU dari tim merah juga tidak kalah mahalnya. Di bulan Juli, AMD Radeon RX 6700 XT dibanderol dengan harga EU€664 (Rp10,9 juta) hingga EU€1099 (Rp18,1 juta). Kini, GPU dari tim merah itu dijual dengan harga EU€939 (Rp15,5 juta) hingga EU€1520 (Rp25,1 juta).

Jika melihat data dari 3D Center, saat ini merupakan harga tertinggi GPU sejak bulan April lalu. Penyebab dari naiknya harga GPU saat ini tentu saja masih karena kelangkaan chip sillicon serta lebih besarnya demand dari supply pasar.

Dalam 2 Tahun, Apex Legends Raup Hampir US$1 Miliar Per Tahun dan Lebih dari 100 Juta Pemain

Keputusan EA untuk membuat sebuah game Battle Royale free-to-play pada tahun 2019, Apex Legends, kelihatannya menjadi kesuksesan besar bagi EA. Bagaimana tidak, game yang menyandang status ‘gratis’ ini nyatanya malah memberikan salah satu keuntungan terbesar bagi publisher game asal Amerika Serikat tersebut.

Lewat laporan pendapatan terbarunya, CEO EA Andrew Wilson menyampaikan bahwa Apex Legends terus mengalami peningkatan popularitas sekaligus mendapatkan interaksi penonton yang sangat kuat. EA bahkan menyebut bahwa Apex Legends kini telah tumbuh menjadi salah satu franchise terbaik dalam industri video game.

Apex Legends dilaporkan telah dimainkan oleh lebih dari 100 juta pemain hingga saat ini. Musim 9 dan musim 10 dari game-nya mencatat jumlah pemain aktif tertinggi sejak awal game ini dirilis. Meskipun sayangnya EA tidak membuka statistik pertumbuhan jumlah pemainnya tersebut secara detail.

Image Credit: EA – Respawn

Dengan microtransaction yang dilakukan di dalam game-nya, EA menyebut bahwa mereka berhasil mencetak angka keuntungan tahunan yang mencapai US$1 miliar atau Rp14 triliun. Angka fantastis ini didapat EA lewat penjualan Battle Pass dan juga berbagai item kosmetik dengan tema-tema unik pada setiap musimnya.

Lebih lanjut, EA juga menjelaskan bahwa kuartal kedua tahun 2021 (April hingga Juni) menjadi waktu dengan pendapatan tertinggi bagi Apex Legends. Bukan hanya itu, EA juga menyebut bahwa Apex Legends kini tumbuh lebih dari sekedar sebuah game, namun juga menjadi satu judul yang paling banyak ditonton di platform Twitch.

EA mengklaim bahwa pada musim 10 kemarin, jumlah penonton Apex Legends di Twitch naik sebesar 40% dari musim sebelumnya. Membuat konten-konten dari musim 10 Apex Legends telah ditonton hingga $130 juta jam.

Pencapaian Apex Legends dalam dua tahun ini memang sangat menakjubkan mengingat game ini awalnya merupakan spin-off dari seri Titanfall. Dikembangkan oleh developer yang sama yaitu Respawan Entertainment, Apex Legends memang berhasil tumbuh pesat di antara game battle royale lain lewat karakter unik dan kemampuan khususnya masing-masing.

Apex Legends masih memiliki masa depan yang panjang karena game ini ke depannya akan diproyeksikan untuk masuk ke lebih banyak platform seperti Switch yang sudah diluncurkan pada awal tahun 2021 ini, dan juga mobile yang telah sempat dibuka masa beta tertutupnya beberapa bulan lalu.

Sejarah Diablo: Pionir Revolusi Action ke Dalam Genre RPG

Menyebut judul Diablo mungkin akan membawa beragam reaksi dari para gamer. Ada yang mungkin tidak tahu sama sekali mengenai franchise game ini, namun mungkin tidak sedikit yang memiliki memori terhadap seri game RPG Aksi (Action-RPG) yang satu ini. Sebagai catatan singkat, judul ini telah ada sejak 1997 dan telah memiliki tiga seri judul utama (seri keempatnya tengah dikerjakan).

Saat muncul pertama kali, Diablo dianggap merevolusi industri video game pada saat itu lewat berbagai terobosan di dalam game-nya. Mulai dari kehadiran mekanisme hack-and-slash secara real-time di sebuah game yang fokus pada Role-Playing. Visualisasi game-nya juga tampil dewasa dan bahkan kelam dibandingkan dengan game-game RPG mainstream lainnya. Hingga ke sistem perkembangan karakter yang sangat variatif sehingga para pemain dapat bereksperimen dengan strategi yang berbeda-beda.

Namun, semua kesuksesan yang diraih oleh seri Diablo dan juga Blizzard kembali ke 25 tahun lalu ke seseorang bernama David Brevik. Seseorang yang nantinya akan menjadi salah satu dari 10 orang paling berpengaruh dalam perkembangan game komputer.

Sejarah awal pengembangan Diablo (1994)

Image credit: Venture Beat

Awalnya pada tahun 1994, salah satu developer game di Condor Games yaitu David Brevik memiliki ide untuk membuat sebuah game RPG yang terinspirasi dari game-game roguelike dengan sistem pertarungan turn-based. Brevik juga ingin menyederhanakan elemen role-playing di dalamnya dan memberikan perhatian khusus pada sistem ‘loot’-nya.

Brevik pun mulai menyusun idenya tersebut ke dalam sebuah proyek pribadi dan memberinya nama Diablo, yang ternyata terinspirasi dari gunung Diablo tempat tinggal David Brevik saat dirinya membayangkan game impiannya tersebut.

Salah satu momen penting bagi Brevik adalah ketika Condor Games bekerja sama dengan Blizzard Entertainment. Blizzard memberikan iming-iming untuk membantu Brevik mengembangkan Diablo, namun Blizzard juga mendesak untuk mengubah mekanisme turn-based menjadi pertarungan real-time. Desakan yang akhirnya disetujui Brevik ternyata menjadi keputusan terbaiknya. Karena setelah pengembangan dan akusisi Condor kepada Blizzard, Brevik akhirnya berhasil merilis Diablo pada Januari 1997.

Diablo (1997) – Lahirnya seri legendaris Action RPG

Image credit: Blizzard Entertainment

Setelah perilisannya, Diablo ternyata mendapatkan reaksi yang sangat positif dari para gamer. Bahkan game-nya menjadi game dengan penjualan tertinggi pada 1997 dengan lebih dari satu juta kopi. Pujian datang terhadap hampir semua aspek yang ada di dalam game-nya. Beberapa aspek tentu telah dijelaskan pada awal artikel, namun ada banyak aspek lainnya yang membuat game ini menjadi sangat penting.

Salah satunya adalah mekanisme pertarungan hack-and-slash yang ternyata dapat bekerja dengan mouse dan keyboard di PC. Hal ini disebut menyelamatkan komunitas game PC dari stagnannya game-game RPG untuk PC pada kala itu yang selalu mengandalkan sistem turn-based. Hal tersebut juga membuat Diablo, yang awalnya dirilis eksklusif untuk platform PC, akhirnya dirilis untuk platform PlayStation setahun kemudian.

Salah satu keuntungan lain yang didapat oleh Diablo berada di bawah Blizzard Entertainment adalah hadirnya akses multiplayer lewat layanan online mereka, Battle.net. Meskipun pengguna online pada tahun 1997 tidak sebanyak sekarang, tetapi hal ini merevolusi Diablo sebagai game yang dapat dimainkan bersama-sama. Setelah kesuksesannya, Blizzard juga merilis ekspansi perdana untuk game ini yang berjudul Diablo: Hellfire.

Diablo II (2000) – Sekuel yang memecahkan rekor dunia

Image credit: Blizzard Entertainment

Kesuksesan Diablo pertama menuntun Blizzard untuk akhirnya mengumumkan keberadaan sekuel game-nya sesaat setelah seri pertamanya dirilis. Pada awalnya game ini direncanakan dirilis setahun setelah seri pertamanya, namun seiring perkembanganya game ini akhirnya selesai setelah tiga tahun masa pengembangan.

Yang cukup menarik adalah fakta bahwa Diablo II disebut oleh sang designer and project lead, Erich Schaefer tidak pernah memiliki dokumen desain yang resmi. Sehingga dalam pengembangannya, banyak hal baru yang dibuat begitu saja tanpa direncanakan sebelumnya. Hal ini juga membuat hasil akhir game-nya disebut oleh para game tester sebagai game yang sama saja meskipun telah dibangun ulang dari awal.

Untungnya, Blizzard Entertainment cukup cerdik dalam membangun hype untuk game ini baik untuk para gamer di Amerika Serikat maupun internasional. Strategi marketing tersebut akhirnya berhasil membuat Diablo II terjual hingga 1 juta kopi hanya dalam waktu 2 minggu dan 2 juta pada tahun 2000 dalam satu setengah bulan saja. Membuat game ini masuk ke dalam Guinness Book of World Records sebagai game dengan penjualan tercepat dalam sejarah.

Diablo III (2012) – Game ketiga yang terlalu berubah

Image credit: Blizzard Entertainment

Setelah semakin suksesnya seri Diablo, tidak ada alasan bagi Blizzard untuk berhenti mengeluarkan sekuelnya. Namun berbeda dari sebelumnya, yang hanya terpaut satu tahun, Blizzard kini mengambil waktu yang cukup lama sejak pengumuman mereka mulai mengembangkan seri ketiganya pada 2001. Game ini secara resmi diumumkan pada 2008 dan dirilis pada 2012; membuat game ini dikembangkan hampir 11 tahun.

Di seri ketiganya ini, Blizzard membawa beberapa perubahan besar pada seri Diablo. Mulai dari kebutuhan selalu online untuk bermain hingga sistem pertarungan yang lebih luwes. Selain itu Blizzard juga menyuntikkan berbagai fitur baru ke dalam Diablo III ini. Sayangnya, semua hal baru yang ditawarkan Blizzard tersebut ternyata malah menjadi penilaian negatif dari para fans.

Salah satu yang tidak disukai para fans adalah perubahan gaya visual yang di dua game pertama kental dengan nuansa horor dan kelam kini bergeser lebih condong ke game fantasi mendekati game Blizzard lainnya, World of Warcraft. Ditambah beberapa elemen RPG jadi terlalu disederhanakan demi mengundang pemain baru. Dan yang terakhir, keharusan game-nya untuk selalu online meskipun dalam mode solo juga turut membuat para fans kecewa dengan seri ketiga ini.

Setelah perilisan Diablo III, Blizzard kembali memasuki masa pengembangan yang cukup panjang kembali sebelum mengumumkan game terbarunya. Meskipun tanpa game baru, selama kurang lebih 6 tahun Blizzard tetap memberikan update untuk Diablo III dan bahkan mengeluarkan dua ekspansinya yaitu Reaper of Souls pada 2014 dan Rise of the Necromancer pada 2017.

Pengumuman Diablo Immortal (2018) – Kejutan yang tidak diinginkan para fans

Image credit: Blizzard Entertainment

Pada gelaran Blizzcon 2018, Blizzard akhirnya membuat kejutan dengan mengumumkan seri terbaru untuk Diablo. Bedanya game baru ini bukanlah lanjutan untuk seri utamanya, melainkan sebuah game free-to-play untuk mobile. Game ini merupakan kerja sama antara Blizzard dengan pengembang asal Tiongkok, NetEase.

Gelombang reaksi negatif langsung dilontarkan oleh para fans baik yang hadir langsung maupun menonton dari rumah. Para fans yang mayoritas merupakan gamer PC dan konsol tersebut semakin geram karena Blizzard juga mengkonfirmasi bahwa Diablo Immortal tersebut tidak akan dirilis untuk platform PC maupun konsol.

Meskipun dihujani reaksi negatif, namun Blizzard terus melanjutkan pengembangan dari Diablo Immortal ini. Mereka juga beberapa kali memberikan update dan bahkan telah membuka sesi tes beta tertutup pada 28 Oktober lalu. Blizzard juga masih tetap berencana untuk merilis game free-to-play ini pada semester awal 2022 mendatang.

Pengumuman Diablo IV (2019) – Kelanjutan serinya yang masih abu-abu

Image credit: Blizzard Entertainment

Setahun setelah pengumuman Diablo Immortal yang cukup mengecewakan para fans, Blizzard kelihatannya ingin membayar kesalahannya tersebut dengan mengumumkan Diablo IV pada BlizzCon 2019. Blizzard juga belajar dari kesalahan yang mereka lakukan pada seri ketiganya dan membangun seri keempatnya dengan pendekatan yang kembali ke akarnya. Hal tersebut terlihat dari gaya artistik game-nya yang kembali ke dua game pertamanya dengan tampilan kelam dengan nuansa horor dan gelap yang lebih kental.

Cerita naratif yang diusung pada seri keempat ini juga tidak lagi terlalu mengikuti kisah-kisah fantasi namun kembali ke kisah originalnya tentang melindungi dan bertahan hidup suatu daerah. Dari segi gameplay, Blizzard juga tetap menghadirkan hal-hal baru yang akan menarik para pemain. Mulai dari kostumisasi karakter, hingga sistem build karakter yang lebih beragam.

Namun, sayangnya masih belum ada kejelasan kapan game ini akan dirilis. Mengingat Blizzard tengah terkena masalah gugatan dari para karyawannya yang membuat semua proses pengembangan game-game Blizzard menjadi terhambat.

Diablo II: Resurrected (2021). Nostalgia indah yang harus ternodai

Image credit: Blizzard Entertainment

Ketika Diablo IV belum memiliki tanggal rilis pasti, Blizzard memberikan kejutan lewat remaster terhadap Diablo II. Diumumkan pada awal tahun, para fans yang telah dikecewakan dengan beberapa pengumuman sebelumnya menyambut antusias game ini. Apalagi Diablo III juga sudah tidak mendapatkan update sejak tahun 2017 lalu. Namun proyek remaster ini sendiri baru dimulai pada 2019 lalu lewat kerjasama Blizzard dan studio milik Activision, Vicarious Visions.

Versi remaster ini masih menjaga inti gameplay yang dimiliki oleh game originalnya. Para pemain veteran juga dapat melanjutkan progres yang telah mereka tempuh sebelumnya. Diablo II: Resurrected membawa ubahan grafis yang kini diubah menjadi 3D penuh, dengan pembaruan mulai dari karakter, lingkungan, hingga beragam efek dan animasi. Sedangkan gameplay tidak banyak diubah karena mereka ingin mempertahankan gameplay klasik yang dimiliki.

Sayangnya perilisan Diablo II: Resurrected pada 21 September 2021 lalu yang seharusnya menjadi perayaan bagi para fans sedikit ternodai karena masalah teknis. Mulai dari game yang tidak dapat diakses, hingga karakter yang tidak dapat dimainkan. Namun untungnya masalah-masalah tersebut kini sudah teratasi dan para fans sudah dapat bernostalgia dengan Diablo II.

Penutup

Image credit: Blizzard Entertainment

Seri Diablo mungkin bukan menjadi seri yang selalu dicintai oleh para fans, namun bagaimanapun juga Diablo memiliki andil penting dalam perkembangan genre Action RPG. Banyak game yang terlahir berkat inspirasi dari Diablo.

Dan meskipun kini nasib Diablo 4 yang harus ditunda dan belum ada tanggal rilis pasti, namun setidaknya (harusnya) para pengembang game ini telah menyadari apa keputusan mereka yang kurang tepat saat membuat Diablo III dan juga pengumuman Diablo Immortal.