Sepatu Buatan Xiaomi Mendarat di India

Hanya selang sehari setelah merilis teaser-nya, Xiaomi secara resmi meluncurkan sepatu inovatif terbarunya, Mi Men’s Shoes 2 di India. Didapuk sebagai peluncuran perdana di negara berkembang, Xiaomi meneruskan ekspansinya di ranah lifestyle setelah sebelumnya meluncurkan produk berupa ransel dan kaca mata.

Dalam debutnya, Xiaomi Mi Men’s Shoes 2 akan dijajakan melalui platform penggalangan dananya sendiri dengan banderol $35, tapi akan dinaikkan menjadi $42 ketika penggalangan dana berakhir.

Xiaomi Mi Men’s Shoes 2_3

Singkirkan pikiran Anda yang beranggapan sepatu ini membawa teknologi canggih seperti yang tertanam di sejumlah perangkat berlabel “smart” di luar sana. Sejauh yang terpampang di situs resminya, tidak disebutkan adanya teknologi bluetooth, NFC, seluler, atau sensor pencatat detak jantung tertanam di dalam sepatu. Di dalam deskripsi, Xiaomi hanya mengatakan bahwa Mi Shoes direkayasa dengan teknologi uni-cetak 5-in-1 yang menggabungkan lima bahan berbeda, sehingga membuat sepatu ini tahan goncangan, awet, dan anti slip. Jika menilik modelnya, jelas sekali bahwa sepatu ini adalah produk rebrand dari Mi Sport Sneakers 2, yang diluncurkan di Tiongkok tahun lalu.

Lebih lanjut, perusahaan yang diyakini akan meluncurkan Redmi Note 7 dan Redmi Go di India itu juga menjelaskan bahwa struktur tulang di dalam Mi Men’s Shoes 2 menawarkan bantalan yang nyaman, mencengkram maksimal sekaligus mencegah gerakan yang salah dan resiko cedera yang tidak disengaja. Sepatu hadir dalam tiga varian warna, termasuk Hitam, Abu-abu Tua dan Biru.

Xiaomi Mi Men’s Shoes 2_4

Karena desainnya yang tak biasa, Mi Men’s Shoes 2 bisa diajak berdamai dengan mesin cuci. Tingkat ketahanannya dalam menghadapi abrasi juga menjadi kelebihan yang membuatnya lebih tahan lama.

Pendanaan sepatu Xiaomi ini dimulai kemaren waktu Indonesia dan akan dikirimkan pada tanggal 15 Maret 2019.

Xiaomi Mi Men’s Shoes 2_5

Sumber berita Mi via GSMArena.

Amazon Uji Scout, Robot Pengirim Barangnya untuk Jalur Darat

Amazon sudah cukup lama memiliki tim khusus yang bekerja di bidang pengembangan robot. Mereka pun juga sudah lama berharap dapat mengirim barang menggunakan drone, namun mungkin karena regulasi yang ketat dari sejumlah daerah, rencana tersebut tak kunjung terwujud.

Tentunya Amazon tak akan menyerah begitu saja. Mereka justru sudah menyiapkan alternatif yang lebih mudah direalisasikan, yakni sebuah robot pengirim barang yang menempuh jalur darat. Dijuluki Amazon Scout, ia sudah mulai menjalani uji coba di satu area bernama Snohomish County di Washington.

Melihat wujudnya, saya langsung teringat dengan robot serupa bikinan Starship Technologies, akan tetapi Amazon mengaku robot ini sepenuhnya dikembangkan oleh divisi robotiknya sendiri. Bentuk dan ukurannya mirip dengan cooler box yang biasa dibawa bertamasya, dan ia sudah dibekali dengan sederet sensor agar dapat bernavigasi sendiri dengan memanfaatkan energi listrik.

Berdasarkan penjelasan Amazon, tidak ada mekanisme pemesanan yang berbeda agar barang dapat dikirim menggunakan Scout, asalkan alamat tujuannya masih termasuk dalam area pengujian. Selama masa pengujian awal, Scout akan ditemani oleh karyawan Amazon demi memastikan semuanya berjalan dengan lancar.

Sejauh ini Amazon belum mengungkapkan rencananya untuk menggunakan Scout secara luas. Namun ada satu hal menarik yang saya temukan dari blog post resminya mengenai Scout: pada bagian akhir, ada tautan yang akan membawa pengunjung ke laman berisikan daftar lowongan kerja yang berkaitan dengan Amazon Scout.

Mayoritas lowongannya memang untuk profesi engineer, namun menurut saya ini merupakan salah satu cara Amazon untuk meyakinkan publik bahwa eksistensi robot macam Scout tidak harus berarti manusia bakal kehilangan lahan pekerjaan. Tenaga manusia jelas masih dibutuhkan, hanya saja untuk keperluan lain di samping kirim-mengirim barang.

Sumber: TechCrunch dan Amazon.

Airbus Ingin Kecerdasan Buatan Bisa Menggantikan Pilot Pesawat di Masa Depan

Sejak idenya diajukan beberapa tahun silam, konsep mobil tanpa pengemudi terus digodok terlepas dari sejumlah rintangan dan insiden. Driverless car kembali mendapatkan sorotan di CES 2019 awal Januari kemarin, dan perkembangannya berpotensi jadi lebih pesat dengan kehadiran 5G. Konektivitas seluler generasi baru ini dipercaya dapat membuat pengalaman berkendara lebih aman dan nyaman.

Namun apa jadinya jika teknologi otonom diimplementasikan pada jenis transportasi umum yang mampu menampung lebih banyak penumpang dan mengangkut mereka melewati jarak lebih jauh? Di konferensi Digital Life and Design yang dilangsungkan di kota Munich hari Minggu kemarin, Grazia Vittadini selaku chief technology officer Airbus mengungkapkan harapannya pada Bloomberg agar kecerdasan buatan bisa bertambah pintar lagi sehingga pesawat terbang komersial tak lagi membutuhkan pilot.

Di ranah penerbangan, sistem autopilot memang bukan sesuatu yang baru. Namun sepenuhnya mengandalkan artificial intelligence bisa merevolusi industri ini, terutama jika teknologinya sudah benar-benar aman dan konsumen dengan lapang dada mau menerimanya. Sebagai langkah awal, Vittadini menyampaikan bahwa kehadiran AI canggih di pesawat dapat membebaskan pilot dari rutinitas membosankan.

Mayoritas pesawat terbang komersial saat ini dioperasikan oleh dua pilot. Matangnya kecerdasan buatan memungkinkan perusahaan maskapai mengganti seorang pilot dengan komputer, sehingga prosedur penerbangan jadi lebih efisien.

Bagi maskapai, eksistensi dari dukungan kecerdasan buatan tentu saja sangat berdampak pada ongkos operasional. Berdasarkan laporan dari bank investasi UBS di tahun 2017, industri aviasi mengeluarkan modal lebih dari US$ 30 miliar per tahun untuk menghidupi pilot-pilot mereka. AI juga berpeluang meningkatkan efisiensi pemakaian mesin dan menghemat konsumsi bahan bakar.

Pesawat-pesawat bersistem otonom juga memberikan jawaban atas masalah kurangnya suplai pilot. Ada banyak maskapai merasakan sulitnya merekrut penerbang baru, sedangkan pilot-pilot mereka sendiri mulai menua. Beberapa perusahaan kadang menginginkan penerbang bekas anggota militer, padahal secara keseluruhan, ada penurunan minat terhadap dunia aviasi.

Teknologi penerbangan otonom sebetulnya sudah lama dimanfaatkan di ranah militer, dan berkat kehadiran drone fotografi/videografi, secara teknis ia telah tersedia buat publik. Yang sulit adalah jika skalanya diperbesar ke segmen transportasi umum. Pertama, kecerdasan buatan untuk pesawat terbang harus melewati banyak sekali proses uji coba dan sertifikasi. Kedua, maskapai harus bisa meyakinkan calon penumpangnya bahwa pesawat tanpa pilot tetaplah aman.

Dari hasil survei UBS, hanya 17 persen dari total 8.000 responden yang berkenan naik ke pesawat tanpa pilot.

Via Digital Trends.

Selain Alexa, Microsoft Berharap Cortana Juga Dapat Diakses Melalui Google Assistant

Kita tidak perlu merujuk data komprehensif dari analis untuk menilai bahwa Cortana kalah pamor jauh dari Alexa maupun Google Assistant. Microsoft pun menyadari akan hal ini. Jadi ketimbang terus memaksakan agar Cortana bisa bersaing ketat dengan asisten virtual lainnya, Microsoft memilih menetapkan arahan lain buat Cortana.

Berdasarkan pernyataan CEO Microsoft, Satya Nadella, yang dikutip oleh The Verge, Microsoft tak lagi melihat Cortana sebagai kompetitor Alexa maupun Google Assistant. Sebaliknya, Cortana harus menjadi fitur yang bisa diakses dari banyak tempat, termasuk dari Alexa dan Google Assistant.

Skenario yang didambakan Microsoft pada dasarnya mirip seperti bagaimana aplikasi-aplikasi bikinannya sekarang dapat dengan mudah digunakan oleh pemilik perangkat Android maupun iOS. Sejauh ini, Cortana memang sudah bisa diakses melalui Alexa, akan tetapi tidak demikian untuk Google Assistant, dan Microsoft sepertinya perlu berusaha lebih keras lagi untuk meyakinkan Google.

Hal ini bukanlah tidak mungkin, sebab jauh sebelum ini, Cortana sudah bisa dihubungkan dengan Gmail. Lebih lanjut, rencana Microsoft untuk memisahkan Cortana dengan fitur search bawaan Windows 10 yang diumumkan baru-baru ini bisa diartikan mereka dapat berusaha lebih maksimal dalam memperluas cakupan Cortana di banyak platform sekaligus.

Di sisi lain, arahan baru untuk Cortana ini juga dapat dilihat sebagai akhir dari tren smart speaker berintegrasi Cortana. Populasinya selama ini memang tidak banyak, namun itu juga bukan berarti Cortana bakal tidak mempunyai rumahnya sendiri sama sekali, sebab perangkat seperti Surface Headphones masih eksis.

Sumber: The Verge.

Tim Ilmuwan Swiss Ciptakan Robot Origami Super-Mungil Buat Dimasukkan ke Pembuluh Darah

Ada bermacam-macam penjelmaan robot, namun berkat film-film sci-fi populer, jenis yang segera muncul di pikiran kita adalah tipe humanoid. Nyatanya, inkarnasi robot sangat beragam. Dan beberapa dari mereka dikembangkan sebagai wujud dari eksplorasi ilmu pengetahuan, dari mulai untuk mempelajari kehidupan hewan di alam liar hingga pendalaman ranah medis.

Ada banyak varian robot pernah DailySocial bahas, namun mungkin belum ada yang seunik kreasi kolaboratif dari ilmuwan di École polytechnique fédérale de Lausanne (EPFL) dan Swiss Federal Institute of Technology Zurich (ETH Zurich). Belum lama ini para peneliti mengungkap proyek pembuatan robot super-mungil berstruktur ala origami elastis yang memperkenankannya mengubah bentuk tubuh sesuai keadaan di sekitarnya.

Seperti pada upaya pengembangan robot sebelumnya, alam kembali menjadi sumber inspirasi para ilmuwan asal Swiss itu. Makhluk mekanis berukuran kecil ini dirancang menyerupai bakteri, dan disiapkan agar bisa masuk serta melakukan navigasi di dalam tubuh atau pembuluh darah. Tugas mereka adalah untuk mendistribusikan obat secara tepat di area yang betul-betul membutuhkan.

Ranah ‘targeted drug delivery‘ belakangan memang menjadi sorotan, dan gagasan mirip microbot kreasi garapan EPFL dan ETH Zurich ini pernah mengemuka sebelumnya. Saat itu konsepnya diungkap oleh Polytechnique Montréal, Université de Montréal serta McGill University, namun mereka memilih bakteri sungguhan sebagai agen buat mengirimkan obat – bukan robot.

Microbot mempunyai tubuh yang sangat fleksibel, mampu berenang dalam cairan secara efektif serta mengubah wujud badan, memperkenankannya melewati lorong-lorong pembuluh darah yang sempit dan tetap bisa bermanuver lincah. Robot-robot tersebut terbuat dari bahan hydrogel nanocomposite (berarti sebagian besar tubuhnya ialah cairan), dengan elemen nanoparticle magnetik di tengahnya sehingga robot dapat dikendalikan menggunakan medan elektromagnetik. Lalu, struktur origaminya sangat esensial bagi masing-masing robot buat meregang atau memadatkan diri.

Tantangan terbesar dari pembuatan robot ini adalah mencari cara untuk memprogram bentuk tubuh sehingga mereka dapat melewati lingkungan berbeda. Kabar baiknya, tim berhasil menemukan cara buat menanamkan ‘kecerdasan’ agar robot bisa beradaptasi – tanpa memanfaatkan metode pemrograman tradisional.

“Robot-robot kami mempunyai komposisi dan konstruksi yang istimewa, memungkinkan mereka beradaptasi sesuai jenis cairan di sekitarnya. Misalnya, jika robot mendeteksi perubahan kekentalan, ia segera memodifikasi bentuk tubuh demi menjaga kecepatan laju serta keleluasaan manuver,” jelas Selman Sakar yang ditunjuk sebagai salah satu pimpinan proyek ini.

Sumber: EPFL.

Robomart Adalah Minimarket Berjalan yang Otomatis dan Tanpa Kasir

Baru-baru ini, saya sempat membahas soal Caper, troli belanja pintar untuk pasar swalayan tanpa kasir. Caper sejatinya dapat dilihat sebagai solusi alternatif atas teknologi yang diterapkan Amazon Go, dan yang namanya alternatif sering kali bukanlah satu-satunya pilihan yang ada.

Alternatif lainnya datang dari startup bernama Robomart. Premis yang ditawarkan sebenarnya sedikit berbeda: ketimbang mengharuskan konsumen berkunjung ke toko, kenapa tidak tokonya saja yang dibawa ke konsumen? Sederhananya, Anda bisa menganggap Robomart sebagai perpaduan Uber dan Amazon Go.

Uber dikarenakan pasar berjalan ini harus dipanggil menggunakan aplikasi pendampingnya terlebih dulu sebelum akhirnya ia datang ke lokasi konsumen. Setibanya ia di lokasi, konsumen dapat membuka pintu gesernya dan mengambil produk-produk yang hendak dibelinya, kemudian menutup kembali pintunya dan membiarkannya pergi meninggalkan lokasi.

Robomart

Robomart memanfaatkan perpaduan teknologi computer vision dan RFID untuk mendeteksi produk-produk yang diambil oleh konsumen. Dari situ sistem akan langsung menagihkan belanjaan ke kartu kredit konsumen, sekaligus mengirimkan struk belanjanya via email. Prosesnya kurang lebih mirip seperti Amazon Go, hanya saja ini berlangsung di pinggir jalan ketimbang di satu lokasi permanen.

Robomart pun bukan lagi sebatas konsep; jaringan swalayan asal AS, Stop & Shop, telah mengumumkan rencananya untuk mengoperasikan armada Robomart mulai musim semi mendatang di kawasan Boston. Di samping buah dan sayuran segar, Stop & Shop juga akan membekali pasar berjalan ini dengan stok makanan kotak instan serta sejumlah produk lainnya.

Semua unit Robomart murni mengandalkan energi listrik, dan kapabilitas otonomnya turut dibarengi oleh kendali jarak jauh dari fasilitas Robomart, sehingga operator bisa langsung turun tangan seandainya ada kendala dengan sistem otomatisnya.

Sumber: SlashGear dan Globe Newswire.

Microsoft Bakal Pisahkan Cortana dari Fitur Search Bawaan Windows 10

April nanti, Windows 10 dijadwalkan bakal menerima sebuah update besar. Seperti biasa, sudah pasti ada sejumlah fitur baru yang amat signifikan pengaruhnya, dan di sini salah satunya adalah pemisahan antara fitur search bawaan Windows 10 dengan Cortana.

Ya, ke depannya kedua fitur tersebut harus diakses secara terpisah, seperti yang tertera pada gambar di atas, tidak seperti sekarang di mana keduanya dijadikan satu. Mengapa keduanya harus dipisah? Microsoft percaya langkah ini harus diambil demi memaksimalkan pengembangan search dan Cortana.

Ini merupakan langkah yang wajar mengingat Microsoft pada bulan September lalu sempat memperkenalkan Microsoft Search. Dengan dipisahkannya Cortana, implementasi Microsoft Search di Windows 10 semestinya bakal lebih mudah dilakukan.

Jadi usai update-nya dirilis nanti, fitur search ditujukan buat pencarian berbasis teks, sedangkan Cortana dapat berfungsi sepenuhnya sebagai asisten virtual, memanfaatkan input perintah suara. Hasil akhirnya kurang lebih mirip seperti kombinasi Spotlight (search) dan Siri (asisten) di macOS.

Sepintas perubahan ini memang bakal terkesan membingungkan, sebab Windows 10 jadi punya dua tempat yang berbeda untuk pencarian teks dan suara. Namun saya yakin kita tidak butuh waktu lama untuk membiasakan diri, dan kalau harus menyinggung macOS kembali, saya sebagai salah satu penggunanya tidak pernah merasa bingung dengan Spotlight maupun Siri, sebab keduanya punya fungsi yang sangat berbeda.

Sumber: The Verge dan Microsoft.

Google dan WordPress.com Bersinergi Mengembangkan Platform Penerbitan, Newspack

Media lokal menghadapi tantangan globalisasi yang sangat keras. Jika tidak segera mengikuti perkembangan zaman yang sudah serba digital, hanya soal waktu bagi mereka untuk mendeklarasikan penutupan operasional.

Tapi Google News Initiative dan Automattic – perusahaan yang membawahi WordPress.com – tak rela menyaksikan para jurnalis lokal kehilangan semangat atau bahkan mata pencaharian. Bersinergi bersama, keduanya menciptakan platform baru yang dinamai Newspack.

Selama beberapa tahun terakhir, Google telah menegaskan betapa pentingnya jurnalisme bagi perusahaan. Google News Initiative berkomitmen terus memberikan dukungan kepada mereka dengan menyediakan dana dan membangun fitur baru yang dioptimalkan untuk penerbit. Proyek terbaru ini secara khusus difokuskan untuk media berita lokal.

Tak tanggung-tanggung ada dana sebesar $2,4 juta untuk menjadi nafas bagi proyek ini yang berasal dari beberapa nama, antara lain Lenfest Institute for Journalism ($ 400.000), ConsenSys ($350.000), dan Yayasan John S. dan James L. Knight ($ 250.000). Sumber lain yang belum disebutkan namanya diperkirakan memberikan tambahan $200.000 akhir bulan ini.

Newspack merupakan sistem penerbitan yang cepat, aman, dan murah yang dibuat khusus untuk kebutuhan ruang redaksi skala kecil. Alat penerbitan baru ini disebut tersedia untuk penerbit secara global di akhir tahun ini.

“Jurnalis harus menulis cerita dan meliput apa yang terjadi di komunitas mereka, bukan malah memikirkan tentang merancang situs web, mengonfigurasi CMS, atau membangun sistem perdagangan.”

Dengan Newspack, penerbit nantinya memperoleh akses ke seluruh plugin yang diciptakan oleh WordPress atau yang terintegrasi di dalamnya. Akan tetapi rincian tentang apa yang bisa dilakukan di platform Newspack masih belum benar-benar terlihat. Tapi Automattic mengklaim akan menggabungkan “praktik editorial dan bisnis terbaik” dari seluruh industri penerbitan.

Platform Newspack itu sendiri masih dalam mode pilot, dan belum akan diluncurkan sampai Juli 2019. Namun hingga saat ini permintaan sudah berdatangan dari berbagai media publikasi. Automattic sendiri mengatakan bakal memprioritaskan media yang sebelumnya sudah menunjukkan kesuksesan editorial dan finansial, meskipun startup berita yang masih hijau juga akan dipertimbangkan jika mereka memiliki rencana bagus.

Sumber berita Google.

Samsung C-Lab Siapkan 8 Produk Baru untuk Ramaikan CES 2019

Dalam beberapa tahun terakhir, Samsung C-Lab telah meluncurkan beberapa produk menarik, tak sedikit dari mereka yang berbuah hasil dan menjadi bisnis mandiri. Di CES 2018 lalu, inkubator startup ini memamerkan tiga produk baru. Dan di tahun 2019 jumlahnya akan melonjak tiga kali lipat menjadi delapan produk. Mengingat kecerdasan buatan menjadi hal yang makin lumrah di banyak perangkat, sebagian besar kreasi Samsung C-Lab ini akan berhubungan dengannya.

Pertama, ada Tisplay, sebuah tool iklan bagi para pembuat video yang dapat melapisi iklan pada pakaian yang dikenakan oleh presenter seolah-olah mereka dicetak di atasnya. Tool ini memungkinkan pengiklan menampilkan produk dengan cara yang lebih nyaman, minim gangguan.

Kemudian ada aiMo, tool yang akan membantu para pencipta untuk membuat suara ASMR yang jernih menggunakan aplikasi render suara bertenaga AI. Penggunaan tool yang mudah, cukup dengan smartphone case akan mengeliminasi kebutuhan perangkat perekam profesional yang berharga mahal.

Ketiga, ‘MEDEO’ yang juga memanfaatkan teknologi AI untuk menggabungkan pengambilan video dan pengeditan menjadi satu proses yang ringkas. Teknologi ini secara otomatis menutupi adegan dengan efek visual dan musik latar belakang selama live streaming.

Berikutnya, Samsung C-Lab juga memperkenalkan tool bernama Prismit yang lagi-lagi memberdayakan teknologi AI untuk menganalisis konten berbasis masalah untuk memberi pembaca lima artikel paling representatif teratas tentang topik yang dicari.

Di deretan kelima, ada Perfume Blender yang membantu pengguna menciptakan parfum versinya sendiri. Teknologi AI di dalam aplikasi secara cerdas akan membuat resep parfum menggunakan bahan berdasarkan input gambar produk tertentu.

Keenam adalah Girin Monitor Stand, dudukan monitor yang dapat menganalisa postur pengguna selama menggunakan komputer. Ketika postur pengguna dianggap tidak ideal, tool ini akan memaksa pengguna untuk memperbaiki posisinya.

Ketujuh ada ‘alight’, sebuah lampu meja bertenaga AI yang secara otomatis menciptakan pencahayaan optimal bagi pengguna dalam situasi apa pun mereka berada: belajar, bersantai, atau fokus. Alat ini bahkan dilengkapi dengan sensor yang membantu pengguna kembali fokus ketika teralihkan oleh smartphone atau hal lainnya.

Terakhir, SnailSound. Ini adalah solusi baru yang dilengkapi aplikasi cerdas bagi mereka yang memiliki gangguan pendengaran. Tool ini mampu mengurangi kebisingan dan menciptakan input suara utama dengan kualitas sangat baik. Memungkinkan pengguna dengan kebutuhan khusus untuk mendengar sebaik manusia normal.

Delapan proyek ini rencananya akan dipamerkan di ajang CES 2019 yang berlangsung di Las Vegas awal tahun depan.

Sumber berita Venturebeats dan gambar header Samsung.

Essential Akuisisi CloudMagic, Pengembang Aplikasi Email Newton

Gelar “Bapak Android” rupanya tidak cukup untuk menunjang kesuksesan Andy Rubin dalam menjalankan bisnis hardware-nya sendiri di bawah bendera Essential. Mei lalu, beredar rumor bahwa seluruh aset Essential bakal dijual, dan di bulan Oktober, Essential memecat nyaris sepertiga dari total karyawannya.

PHK massal itu mungkin adalah kompromi yang harus dilakukan sekaligus alternatif yang lebih ideal ketimbang menjual perusahaan ke pihak lain. Essential bilang bahwa langkah berat itu harus diambil demi mempertajam fokus mereka dalam pengembangan produk baru.

Produk barunya apa belum ada yang tahu. Desas-desus mengenai smartphone baru maupun smart home hub belum ada yang dikonfirmasi sama sekali oleh Essential. Namun ini bukan berarti mereka sudah menyerah; baru-baru ini, Essential malah mengakuisisi CloudMagic, startup di balik aplikasi email Newton.

Kepada TechCrunch, juru bicara Essential mengatakan bahwa mereka terus memantau perusahaan-perusahaan yang berpotensi membantu mempercepat pengembangan portofolio produk mereka. Produknya seperti apa sekali lagi kita masih belum tahu, tapi yang pasti produk itu eksis, kalau tidak buat apa mereka mengambil risiko mengakuisisi startup yang belum lama ini memutuskan untuk pivot.

Ya, CloudMagic sendiri memang sudah berhenti mengembangkan Newton sejak Agustus lalu demi berfokus pada proyek baru. Bisa jadi kala itu mereka sudah dalam proses negosiasi dengan Essential, dan proyek baru yang dimaksud adalah produk di bawah payung Essential.

Semua ini tentu baru sebatas spekulasi, namun setidaknya bisa menjadi jaminan bahwa Essential belum mau menyerah begitu saja setelah gagal dengan produk perdananya.

Sumber: TechCrunch.