Twitter dan Angkatan Darat AS Jadi Sponsor Call of Duty League

Twitter dan Angkatan Darat Amerika Serikat menjadi sponsor terbaru dari Call of Duty League. Dalam tiga season ke depan, Twitter akan menampilkan highlight dari pertandingan Call of Duty League. Hal ini diharapkan akan meningkatkan interaksi para penonton Call of Duty League di Twitter. Selain itu, Twitter juga telah meluncurkan tager emoji untuk semua tim yang ikut dalam CDL. Para fans bisa menggunakan tagar tersebut untuk menunjukkan dukungannya pada tim jagoan mereka.

“Komunitas Call of Duty adalah salah satu komunitas gaming terbesar di Twitter, dan kami senang karena kami bisa bekerja sama dengan Activision Blizzard untuk terus mendukung komunitas ini,” kata Rishi Chadha, Global Head of Gaming Content Partnership, Twitter seperti dikutip dari Yahoo. “Di 2019 saja, 3 dari 10 acara esports yang paling banyak dibicarakan merupakan acara Call of Duty. Kerja sama yang berlangsung lebih dari satu tahun ini menunjukkan komitmen kami untuk memastikan kesuksesan esports Call of Duty dalam jangka panjang.”

twitter sponsor call of duty league
Call of Duty League punya dua sponsor baru, yaitu Twitter dan Angkatan Darat AS.

Selain Twitter, Angkatan Darat AS juga menjadi sponsor dari Call of Duty League. Meskipun kontrak Angkatan Darat dengan Activision Blizzard hanya berlangsung selama satu tahun, mereka akan ikut aktif dalam berbagai acara esports Call of Duty. Selain Call of Duty League, Angkatan darat juga akan mendukung Call of Duty Challengers, turnamen yang ditujukan untuk para amatir, dan Call of Duty Collegiate, yang ditujukan untuk para mahasiswa di Amerika Serikat dan Kanada.

Saat siaran CDL, merek Angkatan Darat akan ditampilkan dalam segmen khusus yang disebut Tactical Play. Segmen tersebut berupa pembahasan para analis tentang highlight dari pertandingan di Call of Duty league. Tak hanya itu, tim esports dari Angkatan Darat juga akan ikut serta dalam kompetisi Call of Duty Challengers LAN. Tim yang terdiri dari tentara yang masih aktif itu mewakili Angkatan Darat untuk berlaga di berbagai kompetisi esports, baik amatir maupun profesional. Mereka juga pernah ikut streaming bersama dengan beberapa streamer ternama.

Angkatan Darat bukan satu-satunya badan militer AS yang ikut mendukung turnamen esports. Pada Februari 2020, Angkatan Laut AS mengumumkan bahwa mereka akan berkolaborasi dengan DreamHack dan ESL. Pada bulan yang sama Angkatan Udara AS mengumumkan bahwa mereka akan mensponsori Intel Extreme Masters dan ESL Pro League.

Overwatch Collegiate Clash Tawarkan Hadiah Beasiswa Senilai Rp570 Juta

Activision Blizzard, Torque Esports, dan UMG bekerja sama untuk mengadakan turnamen esports Overwatch di tingkat perkuliahan. Turnamen dengan nama Overwatch Collegiate Clash ini menawarkan total hadiah sebesar US$40 ribu (sekitar Rp570 juta). Namun, hadiah yang diberikan dari turnamen ini berupa beasiswa yang akan digunakan untuk mengembangkan kegiatan esports di universitas yang menang.

Overwatch Collegiate Clash akan dimulai pada akhir Maret 2020 dan akan berlangsung selama delapan minggu. Setiap minggu, akan ada delapan tim yang bertanding. Pada akhir turnamen, tim-tim terbaik akan saling bertanding dengan satu sama lain. Menyelenggarakan turnamen tingkat perkulihan ini merupakan bagian dari usaha Torque dan UMG untuk mendukung dan mengembangkan ekosistem esports. Selain itu, dengan adanya turnamen Overwatch di tingkat universitas ini, diharapkan ini akan memudahkan para mahasiswa yang ingin berkarir di dunia esports untuk menjadi pemain profesional.

Overwatch Collegiate Clash
Overwatch Collegiate Clash menawarkan hadiah berupa beasiswa. | Sumber: TechSpot

“Para pengamat esports menekankan bahwa pasar esports di tingkat universitas di Amerika Serikat memiliki potensi besar, baik untuk pihak publisher dan pengiklan. Dan Torque akan menggunakan kesempatan ini untuk merealisasikan potensi itu dengan Overwatch,” kata President dan CEO Torque Esports, Darren Cox, seperti dikutip dari Yahoo. “Sama seperti olahraga tradisional, turnamen di tingkat universitas merupakan liga pendukung, yang memungkinkan para talenta esports muda untuk melatih kemampuan mereka dan mempersiapkan diri untuk menjadi gamer profesional. Ini adalah langkah untuk masuk ke ‘liga besar’.”

Belakangan, memang semakin banyak liga atau turnamen esports yang dikhususkan untuk pemain yang masih duduk di bangku SMA atau kuliah. Pada Januari 2020, Epic Games menggandeng PlayVS untuk membuat liga Fortnite di tingkat SMA dan universitas. Sementara di Indonesia, juga ada turnamen khusus mahasiswa seperti PUBG Mobile Campus Championship (PMCC) atau liga khusus siswa SMA seperti High School League dari JD.ID. Sayangnya, di Tanah Air, membawa esports ke sekolah bukan perkara gampang. Masih ada orangtua yang percaya bahwa esports justru akan memberikan dampak negatif pada anak. Padahal, ada sejumlah soft skills yang bisa dipelajari anak ketika mereka aktif dalam esports, seperti komunikasi, strategi, dan cara mengatasi tekanan atau menghadapi kekalahan.

Overwatch League Gunakan Sistem Kandang-Tandang, Apa Dampaknya?

Selama ini, ketika bertanding dengan lawan, sebuah tim esports tak pernah perlu khawatir tentang fans dari tim tuan rumah. Namun, hal ini berubah karena Activision Blizzard menetapkan sistem kandang-tandang di Overwatch League dan Call of Duty League. Memang, belum banyak pertandingan yang menggunakan sistem kandang-tandang yang diadakan untuk mengetahui secara pasti apakah menjadi tuan rumah menguntungkan sebuah tim. Meskipun begitu, sampai saat ini, terlihat bahwa tim yang menyambut musuhnya di kandang mereka memiliki sedikit keunggulan. Dari enam pertandingan yang sudah diselenggarakan, sebanyak empat pertandingan dimenangkan oleh tim tuan rumah.

Sebelum ini, pertandingan Overwatch League selalu diadakan di studio milik Activision Blizzard di Los Angeles. Tahun ini, pertandingan liga tersebut akan diadakan di berbagai kota di Amerika Serikat. Sejauh ini, pertandingan telah diadakan di Dallas, Atlanta, dan New York. Di ketiga kota tersebut, terlihat jelas bagaimana para penonton mendukung tim tuan rumah.

“Para fans benar-benar semangat,” kata pemain Boston Uprising, Cameron “Fusions” Bosworth, menurut laporan Inven Global. Boston Uprising memiliki kesempatan untuk bertanding di kandang New York Excelsior (NYXL). “Olok-olokan para penonton membakar semangat saya. Bermain di Blizzard Arena memang menyenangkan, terutama ketika Anda pertama kali bermain di sana. Tapi, lama kelamaan, Anda akan terbiasa dengan suasana di sana. Tempat itu tidak besar, jadi biasanya, penonton yang datang adalah orang-orang yang sama. Banyak orang yang tidak selalu bisa datang ke LA. Saya sangat senang dengan penerapan sistem kandang-tandang.”

Sumber: Stewart Volland for Blizzard Entertainment via Inven Global
Sumber: Stewart Volland for Blizzard Entertainment via Inven Global

Sementara itu, ketika bermain di kandangnya sendiri, pemain New York Excelsior (NYXL), Sung-hyeon “JJoNak” Bang dan Dong-gyu “Mano” Kim mengaku bahwa ketika mereka berjalan ke panggung, mereka bisa mendengar sorak-sorai para penonton, bahkan saat mereka menggunakan headphone. Mano menambahkan, dia juga bisa melihat betapa sunyinya para penonton ketika mereka kalah.

“Anda bisa mendengar dengan jelas ketika para penonton berteriak memberi semangat,” kata pemain Uprising Boston, Kelsey “Colourhex” Birse. Ketika ditanya tentang pengaruh atmosfer penonton pada permainan timnya, dia berkata, “Saya tidak merasa keberadaan penonton merugikan atau menguntungkan kami. Walau saya penasaran, bagaimana rasanya ketika kami bermain di hadapan penonton di kandang kami sendiri, apakah itu akan memberikan sesuatu.”

Anggota Fusions merasa, bermain di kandang sendiri memang memberikan keuntungan tersendiri, tapi hal itu tidak akan memberikan dampak besar pada hasil pertandingan. Sementara para pemain NYXL merasa bahwa bermain di hadapan para pendukung mereka memang membuat mereka merasa lebih bersemangat. Pemain support NYXL, Taesung “Anamo” Jung mengungkap, “Penonton memberikan banyak keuntungan karena setiap kami bermain dengan baik, mereka berteriak mendukung. Teriakan dari penonton membuat kami menjadi lebih semangat.”

Sumber: Stewart Volland for Blizzard Entertainment via Inven Global
Sumber: Stewart Volland for Blizzard Entertainment via Inven Global

Sementara ketika ditanya apa pendapat tim NYXL tentang prospek bertanding di kandang tim lain, JJoNak menjawab, “Saya pikir, kami akan mendengar olok-olok. Tapi, saya juga mau membuat mereka takut dan membuat mereka terdiam.” Sementara kapten NYXL, Jong-ryeol “Saebyeolbe” Park menambahkan, ketika mereka bermain di kandang tim lain, mereka ingin mengubah audiens tim lawan menjadi fans mereka

Seiring dengan berjalannya liga Overwatch dan Call of Duty, dampak dari penerapan sistem kandang-tandang akan semakin terlihat. Satu hal yang pasti, dengan penerapan sistem kandang-tandang, organisasi esports mendapatkan satu sumber pemasukan baru, yaitu penjualan tiket.

Blizzard Umumkan Rencana Esports World of Warcraft 2020

Dari beberapa waralaba game besutan Activision Blizzard, World of Warcraft mungkin bisa dibilang jadi yang paling bersejarah. Selain punya cerita yang istimewa, franchise yang satu ini juga punya peranan dalam memahat sejarah di dalam ekosistem industri game. Mulai dari menciptakan inovasi di dalam genre RTS lewat seri Warcraft sampai memahat perkembangan genre MMORPG lewat World of Warcraft.

Namun demikian, seiring dengan waktu, dan mulai berkembangnya tren esports, tak heran jika Blizzard yang awalnya terkenal membuat game kelas AAA juga mencoba memulai bisnis esports. Selain Overwatch League dan Call of Duty League, satu lahan esports lain besutan Blizzard adalah esports World of Warcraft. Ya, Anda tidak salah dengar, game MMORPG seperti World of Warcraft juga memiliki skena kompetitifnya sendiri.

Sumber: World of Warcraft Official Site
Method EU, juara MDI tahun 2019 lalu. Sumber: World of Warcraft Official Site

Sejauh ini, ada dua jenis kompetisi pada skena World of Warcraft, yaitu Arena World Championship (AWC) dan Mythic Dungeon International (MDI). Menyongsong 2020, Blizzard mengumumkan beberapa perubahan lewat blog resminya. Salah satu yang terbesar adalah kanal tempat kedua kompetisi ini ditayangkan. Blizzard mengumumkan bahwa nantinya kedua kompetisi tersebut akan ditayangkan di Youtube pada kanal resmi World of Warcraft. Ini bisa dibilang merupakan tindak lanjut dari kontrak kerja sama antara Activision Blizzard dengan Youtube yang dikabarkan senilai Rp2,2 Triliun.

MDI sendiri merupakan pertandingan PvE berupa adu cepat menyelesaikan Mythic Dungeon di dalam World of Warcraft. Masing-masing tim berisikan 5 orang harus secepat mungkin mengalahkan boss demi boss untuk menjadi pemenang. Perubahan MDI perubahan pertama adalah soal format. Divisi Europe dan Asia (EU/Asia) kini memasukkan kategori pemain dari Eropa, Korea, China, Taiwan, Afrika, dan Timur Tengah. Sedangkan divisi selanjutnya adalah Americas (AMER) yang di dalamnya termasuk Amerika (Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan), Australia, dan New Zealand.

Pertandingan final di akhir musim akan diselenggarakan secara LAN dengan total hadiah sebesar US$300.000 (Rp4,1 miliar). Tambahan lainnya adalah, MDI akan menghadirkan Dungeon baru yang bernama Operation Mechagon. Perubahan berikutnya datang dari Arena World Championship. Kompetisi AWC merupakan pertandingan dengan format PvP 3 lawan 3. Menjadi musim AWC terakhir yang menggunakan expansion Battle of Azeroth, pertandingan akan dimulai pada musim semi (sekitar September – Desember).

Menggunakan format sirkuit, pertandingan dimulai dengan delapan kompetisi online dengan hadiah US$10.000 (sekitar Rp136 juta) dan poin AWC poin. Nantinya tim dengan perolehan poin AWC terbesar dapat berkompetisi di AWC finals, bertanding memperebutkan US$500.000 (sekitar Rp6,8 miliar).

Untuk pertandingan MDI sendiri dimulai sejak 12 April 2020 mendatang. Informasi lebih lanjut, Anda bisa pergi ke laman jadwal resmi MDI dari Blizzard. Sementara itu untuk AWC, Blizzard belum mengkonfirmasi jadwal pasti untuk turnamen online pertama. Namun Anda bisa pergi ke laman Battlefy resmi AWC untuk melihat jadwalnya.

Nilai Kontrak Activision Blizzard dan YouTube Gaming Dikabarkan Capai Rp2,2 Triliun?

Setelah kontrak dengan Twitch berakhir, Activision Blizzard mengumumkan perjanjian barunya dengan YouTube Gaming. Dengan begitu, YouTube Gaming mendapatkan hak eksklusif untuk menyiarkan acara esports dari Activision Blizzard. Menurut narasumber The Esports Observer, kontrak tersebut berlaku selama tiga tahun dan memiliki nilai US$160 juta (sekitar Rp2,2 triliun). Sebagai perbandingan, kontrak Activision Blizzard dengan Twitch, yang hanya mencakup Overwatch League dan berlangsung selama dua tahun, dikabarkan bernilai US$90 juta (sekitar Rp1,2 triliun).

Perjanjian ini memungkinkan YouTube Gaming untuk menyiarkan Overwatch League, Call of Duty League, dan turnamen Hearthstone. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai dari masing-masing liga esports. Dikabarkan, Overwatch League adalah liga dengan nilai paling besar. Call of Duty juga memiliki harga yang cukup tinggi, meski lebih kecil dari liga Overwatch. Sementara itu, turnamen esports Hearthstone, yang memang bukan tier 1, dianggap sebagai bonus.

Overwatch League - New York Excelsior
Overwatch League. | Sumber: Blizzard

Dalam kontrak antara Activision Blizzard dan YouTube, ada klausul tentang insentif yang didapatkan oleh pihak penyelenggara liga dan tim jika mereka mencapai target viewership dan penjualan iklan yang telah ditentukan oleh YouTube Gaming. Target ini dianggap bisa dicapai. Karena itu, kontrak dengan YouTube Gaming disambut baik oleh para tim profesional dan eksekutif Activision Blizzard yang bertanggung jawab atas scene esports.

Keputusan Activision Blizzard untuk membuat kontrak eksklusif dengan YouTube Gaming, ditambah dengan banyaknya streamer game yang memutuskan untuk keluar dari Twitch, ini memunculkan pertanyaan apakah dominasi Twitch mulai tergoyahkan.

“Menarik untuk melihat dampak dari perjanjian antara Activision Blizzard dan YouTube Gaming pada Twitch dan ekosistem esports,” kata Senior VP/Esports Endeavor, Stuart Saw pada The Esports Observer. “Berdasarkan pengalaman, Twitch seharusnya baik-baik saja. Sebelum ini, mereka juga pernah kehilangan kreator konten dan pangsa pasar mereka tidak terpengaruh. Meskipun begitu, sekarang, industri esports telah agak berubah, menjadi semakin kompetitif. Dari banyaknya jumlah platform streaming yang ada, tampaknya, ke depan, industri esports akan terpecah dan tidak didominasi satu pemain.”

youtube gaming polygon jpeg

Selain hak siar eksklusif atas esports Activision Blizzard, Google juga membuat perjanjian lain dengan perusahaan game tersebut. Google Cloud akan menyediakan jasa layanan cloud untuk Activision Blizzard. Menurut Saw, perjanjian antara Google Cloud dan Activision Blizzard memiliki peran cukup penting dalam usaha Google untuk menguasai pasar penyedia layanan cloud, mengingat Activision Blizzard adalah salah satu perusahaan game terbesar.

“Dari perspektif ekonomi makro, ini adalah momen penting dalam sejarah esports. Ini adalah kali pertama developer game tingkat atas memutuskan untuk menghilangkan produknya dari Twitch sama sekali. Bagi YouTube, ini adalah bukti dari keseriusan mereka untuk mengembangkan produk mereka,” kata Saw.

Sumber header: Fox Sports Asia

Activision Blizzard Mau Dorong Jumlah Pemain Aktif dengan Mobile Game dan Esports

Salah satu franchise game dari Activision Blizzard yang paling dikenal adalah Call of Duty. Namun, sejak Activision Blizzard mengakuisisi King Digital Entertainment pada 2016, sebagian besar pemain mereka justru merupakan mobile gamer. Memang, game konsol kini kalah menarik jika dibandingkan dengan game PC atau mobile game, yang bisa dimainkan dimana saja.

Melihat hal ini, Activision Blizzard mengikuti tren pasar dan meluncurkan Call of Duty: Mobile pada akhir tahun 2019. Sejak saat itu, Call of Duty: Mobile telah diunduh sebanyak 150 juta kali dan menjadi salah satu game mobile paling populer. Selain itu, Activision juga meluncurkan Call of Duty: Modern Warfare untuk PC dan konsol pada Oktober 2019. Total penjualan Modern Warfare naik hingga lebih dari 10 persen jika dibandingkan dengan total penjualan seri Call of Duty sebelumnya. Sayangnya, seperti yang disebutkan oleh The Motley Fool, Activision tidak mengungkap keuntungan yang dihasilkan oleh setiap franchise. Satu hal yang pasti, keuntungan dari segmen Activision, yang membawahi Call of Duty, mencapai US$1,43 miliar, naik sedikit jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Tak melulu soal untung, salah satu strategi Activision selama ini adalah untuk meningkatkan jumlah pemain aktif bulanan (MAU). Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, angka MAU mereka justru mengalami penurunan. Pada Q3 2019, jumlah MAU mereka turun menjadi 316 juta orang. Kabar baiknya, jumlah MAU mereka naik menjadi 409 juta pada Q4 2019. Ini menunjukkan bahwa total MAU dari Activision Blizzard bisa kembali tumbuh, yang bisa mendorong pendapatan.

Jumlah pemain aktif bulanan. | Sumber: The Motley Fool
Jumlah pemain aktif bulanan tiga segmen Activision Blizzard. | Sumber: The Motley Fool

Sementara untuk membuat para gamer tetap tertarik bermain Call of Duty, Activision mencoba untuk kembali menggelar turnamen esports dari game tersebut. Memang, sebelum ini, telah ada Call of Duty World League. Sayangnya, liga esports tersebut tak begitu populer. Kali ini, Activision akan menggunakan format franchise untuk Call of Duty League, yang telah diikuti oleh 12 tim. Dikabarkan, masing-masing tim harus membayar US$25 juta untuk dapat ikut serta dalam liga tersebut.

Pertandingan perdana Call of Duty League diadakan pada 24 Januari 2020 di Minneapolis, Amerika Serikat. Liga tersebut menggunakan sistem kandang-tandang. Jadi, nantinya, tim-tim yang berlaga di liga itu akan saling bergantian menyambut musuhnya. Hasil penjualan tiket pertandingan bisa jadi salah satu sumber pemasukan tim yang bertanding di liga itu.

Selama ini, Call of Duty merupakan salah satu game Activision Blizzard yang paling dikenal. Namun, beberapa tahun belakangan, popularitas game itu mulai menurun. Jika Activision sukses dengan liga esports dan game mobile dari Call of Duty, tak tertutup kemungkinan franchise itu kembali populer di kalangan gamer.

call of duty league dotesports

Selain Call of Duty, Activision juga tertarik untuk membuat versi mobile dari franchise game mereka yang lain, seperti Diablo Immortal. Ke depan, tidak tertutup kemungkinan, mereka akan membuat game mobile dari StarCraft atau Overwatch. Ini bukan berarti Activision Blizzard akan berhenti membuat game PC atau konsol. Namun, mereka sadar bahwa mobile bisa menjangkau gamer yang biasanya tak bisa mereka dapatkan dengan game konsol atau PC.

Activision Blizzard Tarik Semua Game-nya dari GeForce Now, Ada Apa?

Setelah masa uji coba yang begitu panjang, GeForce Now akhirnya meluncur resmi minggu lalu. Bukan lagi sebuah nama baru, ia merupakan layanan cloud gaming ciptaan Nvidia. Berbeda dari Stadia, platform milik sang raksasa teknologi grafis itu menawarkan kemudahan akses melalui integrasi ke Steam hingga Epic Games Store – sehingga pelanggan tak lagi perlu membeli game ketika ingin memainkannya via cloud.

Respons gamer terhadap GeForce Now memang lebih positif dibanding Stadia, yang ternyata tidak didukung sejumlah fitur esensial saat dirilis dan dianggap minim pilihan game. GeForce Now sendiri menyuguhkan kompatibilitas ke lebih dari 100 permainan dan sudah bisa dinikmati dari Windows, Mac, perangkat Android dan Shield TV. Tapi ketika kita berharap jumlahnya terus bertambah, layanan Nvidia itu malah kehilangan beberapa judul besar dari Blizzard dan Activision.

Secara tiba-tiba, Activision Blizzard memutuskan untuk menarik semua permainan mereka dari GeForce Now. Kabar ini diungkap oleh Nvidia melalui forumnya. Itu berarti, seluruh seri Call of Duty dan StarCraft, Overwatch, Diablo III, Crash Bandicoot N. Sane Trilogy sampai Spyro Reignited Trilogy tak lagi dapat diakses dari layanan ini. Dan karena Sekiro: Shadows Die Twice dipublikasikan oleh Activision, permainan juga menghilang dari GeForce Now.

Saat artikel ini ditulis, baik Nvidia maupun Activision Blizzard belum menjelaskan alasan penghapusan game-game tersebut. Juru bicara Nvidia hanya menyampaikan bahwa semuanya merupakan permintaan sang publisher. Ia juga bilang, “Walaupun hal ini sangat disayangkan, kami berharap untuk bisa bekerja sama lagi dengan Activision Blizzard dan kembali menyajikan permainan mereka [di GeForce Now] beserta judul-judul yang akan hadir di masa depan.”

Sebagai kompensasinya, Nvidia menjanjikan kehadiran lebih dari 1.500 permainan di GeForce Now. Para developer kabarnya ‘sudah mengantre’ buat memasukkan game mereka di platform on demand Nvidia itu. Judul-judul baru rencananya akan disingkap setiap minggu melalui update.

Hilangnya dukungan game-game Battle.net boleh dikatakan sebagai pukulan cukup telak bagi Nvidia. Dan keadaan ini sangat aneh, karena begitu GeForce Now melepas status beta, nama-nama seperti Capcom, EA, Konami, Remedy, Rockstar serta Square Enix juga menarik permainan mereka. Banyak pelanggan tampak menyalahkan Nvidia atas kejadian ini, namun perlu diingat bahwa keputusan tersebut datang dari pihak publisher.

Metode penyajian GeForce Now tidak sama seperti Google Stadia: Kita harus memiliki game-nya terlebih dulu agar dapat menikmati layanan cloud dengan membelinya dari distributor digital yang ada. Itu berarti, tersedianya permainan-permainan tersebut di GeForce Now pada dasarnya tidak merugikan publisher maupun developer – bahkan berpeluang menguntungkan karena memberikan kesempatan bagi orang-orang yang tak punya PC ber-hardware canggih untuk tetap bisa bermain.

Via The Verge & PC Gamer.

Activision Blizzard Akan Merilis Lebih Banyak Game Remaster di Tahun Ini

Di gaming, remaster dan remake ialah dua pendekatan berbeda dengan tujuan yang sama: agar konten permainan tersaji maksimal di hardware modern – entah melalui dukungan resolusi tinggi dan grafis lebih cantik, atau malah dibangun dari nol. Remake dan remaster memang bukan sesuatu yang baru, namun arahan ini belakangan jadi populer berkat keberhasilan sejumlah judul klasik memukau gamer.

Ada begitu banyak game remake dan remaster brilian tersedia saat ini. Kesuksesan mereka bahkan mendorong pihak pemilik IP mengubah strategi bisnis. Contohnya: Capcom sempat mengumumkan rencana untuk mengembangkan lebih banyak remake karena respons khalayak terhadap Resident Evil 2 sangat positif. Kali ini hal senada diungkap oleh Activision Blizzard dalam presentasi pemasukan Q4 FY2019 minggu lalu.

Di sana, CFO Dennis Durkin menyampaikan agenda Activision Blizzard buat melepas lebih banyak permainan remaster dan ‘reimagined‘ di tahun 2020, berbekal franchise-franchise terkenal mereka. Reimagined merupakan istilah yang menarik, boleh dibilang sebagai titik temu antara remaster dengan reboot. Satu game yang dibangun berdasarkan gagasan ini adalah Call of Duty: Modern Warfare 2019. Ia bukanlah reboot seri Modern Warfare, tapi bukan pula sekuel.

Istilah remake dan remaster sebetulnya belum mempunyai batasan jelas dan kadang tercampur aduk. Remaster biasanya mengacu pada upaya pengembangan atau porting permainan ke sistem gaming anyar, membuat aspek visual (atau kendalinya) jadi lebih baik tanpa mengubah gameplay terlalu jauh. Untuk remake, umumnya developer membangun game atau aset-asetnya dari awal. Selain Resident Evil 2, contoh remake meliputi Shadow of the Colossus, The Legend of Zelda: Link’s Awakening dan Final Fantasy VII.

Activision sendiri cukup berpengalaman dalam menggarap remaster. Lewat studio first-party seperti Vicarious Vision dan Toys for Bob, Activision sempat merilis Crash Bandicoot N. Sane Trilogy serta Spyro Reignited Trilogy. Animo gamer terhadap keduanya sangat baik, Crash Bandicoot N. Sane Trilogy bahkan terjual lebih dari 10 juta kopi. Ada kemungkin pula perusahaan akan mencoba menghidupkan kembali franchise yang sudah lama tak aktif seperti Guitar Hero dan Tony Hawk’s Pro Skater.

Terlepas dari catatan pencapaian yang cukup membanggakan, tak semua upaya remaster/remake Activision Blizzard berjalan mulus. Anda mungkin telah mendengar soal kontroversi Warcraft III: Reforged. Gamer dan fans mengeluhkan perbedaan drastis antara presentasi konten di BlizzCon 2018 dengan saat permainan RTS ini dirilis, belum lagi banyaknya bug serta absennya sejumlah fitur penting.

Beberapa pakar berpendapat, salah satu alasan mengapa Warcraft III: Reforged jadi begitu mengecewakan adalah karena Blizzard ragu-ragu terhadap arahan remaster serta seberapa jauh modifikasi yang perlu dieksekusi. Dan selama periode pengembangannya, developer juga kurang baik dalam mensosialisasikan info terkait perubahan yang mereka terapkan di game.

Via IGN.

Bukan PC atau Console, Mobile Jadi Platform Paling Menguntungkan Bagi Activision

Didirikan oleh sejumlah mantan staf Atari, Activision merupakan developer game console independen third-party pertama dan salah satu perusahaan gaming tertua. Tim asal Santa Monica itu sudah berkiprah selama kurang lebih 40 tahun, dan dalam perjalanannya, mereka telah melakukan berbagai langkah strategis. Manuver bisnis terbesar yang sempat Activision eksekusi ialah merging dengan Vivendi Games, mencetus didirikannya Activision Blizzard di tahun 2008.

Alasan mengapa CEO Activision Bobby Kotick setuju untuk bergabung bersama Vivendi adalah karena CEO Blizzard saat itu, Mike Morhaime, berhasil meyakinkan Kotick ia bisa memandu perusahaan menembus pasar gaming di Tiongkok yang tengah berkembang pesat. Satu dekade lebih berselang, kerja sama Activision Blizzard dengan raksasa teknologi Tiongkok membuahkan prestasi tak terduga. Berdasarkan laporan pemasukan terkini, platform mobile ternyata jadi penghasil profit terbesar bagi Activision Blizzard, melampaui PC dan console.

Activision Blizzard mengabarkan bahwa di kuartal terakhir 2019, perangkat bergerak memberi pemasukan sebesar US$ 633 juta, menghasilkan 32 persen dari pendapatan bersih perusahaan. Console menempati urutan kedua di 30 persen senilai US$ 595 juta, disusul oleh PC di posisi ketiga dengan 26 persen – setara US$ 521 juta. Namun di tengah transisi unik ini, profit perusahaan malah memperlihatkan penurunan dibanding periode yang sama di tahun 2018: merosot 17 persen, sebesar US$ 395 juta.

Jika dikomparasi dengan triwulan keempat 2018, penghasilan Activision Blizzard dari mobile memang melonjak tinggi, memangkas persentase PC dan console secara signifikan. Meski demikian, angka pemasukan via perangkat bergerak memang masih belum mampu menyusul rekor profit dari console tahun lalu. Rincian laporan pendapatan di Q4 2019 bisa Anda lihat di sini.

Activision 1

Dan di bawah ini ialah detail pemasukan total perusahaan selama satu tahun:

Activision 2

Ada beberapa hal yang melambungkan profit dari perangkat bergerak. Pertama tentu saja adalah Call of Duty: Mobile. Versi mobile dari game shooter populer ini meluncur di bulan Oktober 2019, tetapi sudah diunduh lebih dari 150 juta kali. Kesuksesannya mendorong Activision Blizzard untuk lebih menekuni segmen ini. Kabarnya, perusahaan sedang mempertimbangkan buat menghadirkan seluruh franchise permainannya ke perangkat bergerak.

Call of Duty: Mobile dikembangkan oleh TiMi Studios yang merupakan anak perusahaan Tencent Games. Walaupun tak dikerjakan oleh tim Call of Duty sesungguhnya (yakni Infinity Ward dan Treyarch), TiMi berhasil mengadopsi sejumlah elemen yang membuatnya jadi favorit gamer PC dan console seperti karakter, peta dan mode permainan. Perlu Anda ketahui bahwa Tencent sendiri memegang lima persen saham Activision Blizzard.

Penyumbang terbesar lain dari pertumbuhan bisnis Activision Blizzard di segmen perangkat bergerak ialah King, developer permainan Candy Crush Saga yang mereka akuisisi di tahun 2016 dengan nilai US$ 5,9 miliar. Pengambilalihan tersebut katanya menjadikan Activision Blizzard sebagai ‘pemain terbesar di ranah mobile‘.

Via GameSpot.

Bagaimana Activision Blizzard Memulai Bisnis Esports?

Sebagai developer dan publisher, Activision Blizzard memiliki sejumlah franchise game, seperti Overwatch, Call of Duty, dan StarCraft. Pada 2015, komunitas gamer telah mengadakan sejumlah turnamen dari berbagai game Activision Blizzard dan menyiarkan pertandingan tersebut di Twitch. Namun, ketika itu, turnamen masih bersifat informal. Activision Blizzard lalu memutuskan untuk membuat divisi media yang bertanggung jawab atas pengembangan esports. Mereka menunjuk Steve Bornstein, mantan CEO ESPN, untuk memimpin divisi tersebut. Selain itu, mereka juga mengajak Mike Sepso, seorang pioneer di industri esports, untuk bergabung dengan divisi baru mereka itu.

Satu tahun kemudian, pada 2016, Activision menunjukkan keseriusannya dalam mengembangkan esports dengan mengakuisisi Major League Gaming (MLG), penyelenggara turnamen esports yang didirikan pada 2002. Dengan ini, Activision memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan dan menyiarkan pertandingan esports. Langkah berikutnya yang Activision ambil adalah mencoba untuk membangun struktur liga esports.

Activision mulai mengadakan Overwatch League pada 2016. Overwatch League menggunakan model franchise dimana tim-tim yang berlaga akan mewakili sebuah kota besar, seperti Los Angeles Valiant, Shanghai Dragons, dan Seoul Dynasty. Dan mulai 2020, Activision juga akan menggunakan sistem kandang-tandang, layaknya olahraga tradisional. Jadi, tim yang menjadi tuan rumah akan menjamu lawannya di markas mereka. Fans bisa membeli tiket untuk menonton pertandingan secara langsung. Penjualan tiket dari pertandingan tersebut menjadi sumber pemasukan baru bagi Activision dan juga organisasi esports yang menjadi tuan rumah.

Call of Duty League juga menggunakan sistem yang sama dengan Overwatch League.
Call of Duty League juga menggunakan sistem yang sama dengan Overwatch League.

Pada awalnya, Overwatch League hanya diikuti oleh 12 tim, yang membayar biaya franchise untuk bisa ikut serta dalam liga tersebut. Sekarang, jumlah tim bertambah menjadi 20 tim. Sukses dengan Overwatch League, Activision mulai mengadakan Call of Duty League pada tahun ini, yang juga menggunakan sistem franchise. Saat ini, ada 12 tim yang berlaga dalam Call of Duty League. Menurut laporan The Motley Fool, dari penjualan franchise esports, Activision telah mendapatkan US$500 juta.

Bisnis esports Activision memang terlihat cukup sukses. Namun, mereka masih bisa mengembangkan bisnis itu agar menjadi lebih besar lagi. Sebagai publisher, Activision memegang hak atas properti intelektual game. Jadi, mereka memiliki berbagai cara untuk memonetisasi game mereka. Selain itu, mereka juga memiliki game lain yang populer, seperti StarCraft dan Warcraft, yang ekosistem esports-nya masih bisa dikembangkan. Mereka juga bisa mengembangkan liga esports mereka yang sudah berjalan.

Tentu saja, selain keuntungan dari segi finansial, Activision Blizzard juga mendapatkan keuntungan lain dengan mengembangkan bisnis esports. Keberadaan liga profesional membuat komunitas pemain menjadi lebih aktif, mereka bermain game lebih lama dan mereka rela untuk menghabiskan uang lebih banyak untuk membeli item dalam game.