Lazada Boyong UKM Lokal Berjualan di Malaysia dan Singapura

Lazada Indonesia segera memboyong sekitar 150 UKM lokal untuk go global dengan memanfaatkan platform Lazada di luar negeri. Rencana ini akan direalisasikan pada Mei 2018, dimulai dengan Malaysia dan Singapura melalui platform Lazada yang tersedia di negara tersebut.

Go global adalah pilar ketiga kami dalam program Upgrade UKM. Yang pertama ada dorong UKM dari offline ke online, berikutnya dari UKM kecil ke skala besar. Terakhir dorong UKM lokal ke global,” terang CMO Lazada Indonesia Achmad Alkatiri, Rabu (11/4).

Pihaknya menginginkan program ini berlanjut untuk jangka waktu panjang. Perusahaan akan mengkurasi UKM mana saja yang bisa diikutkan dalam program tersebut. Salah satunya adalah dilihat dari kapasitas produksi yang besar dan mampu menjaga kontinuitasnya. Kemudian, kurasi juga dilakukan di negara tujuan, barang-barang apa saja yang laku di sana, bagaimana demand-nya, dan sebagainya.

“Intinya kami pilah pilih seller-nya karena ini proses yang paling sulit. Nah, untuk batch pertama ini kami lihat mereka sudah punya kapabilitas untuk produksi dalam jumlah banyak. Secara paralel kami akan bina untuk batch berikutnya. Kami inginnya volumenya bisa terus bertambah.”

Untuk batch pertama nantinya akan ada sekitar 150 UKM lokal yang kebanyakan bergerak di bidang fesyen dan kerajinan tangan. Kemudian, Lazada Malaysia dan Singapura akan memajangnya di laman khusus yang dinamai Indonesia Corner.

UKM tersebut bakal memasukkan produknya ke dalam gudang Lazada yang ada di Malaysia dan Singapura. Proses pengiriman ke gudang dari Indonesia akan rutin dilakukan dalam setiap minggunya.

Achmad tidak menutup kemungkinan untuk membawa program ini untuk negara lainnya tempat Lazada beroperasi. Akan tetapi dia enggan membeberkan negara berikutnya yang akan dituju.

Pipeline-nya dalam tahun ini akan ada negara lain yang akan kami tuju [untuk Indonesia Corner]. Kami pilih Malaysia dan Singapura karena itu negara terdekat, ada banyak orang Indonesia di sana, dan [ada] free trade.”

Untuk dukung program Upgrade UKM ini, Lazada juga bakal menghadirkan profesor dari Taobao University untuk memberikan seminar dan workshop seputar tips scale up bisnis.

Perjalanan enam tahun Lazada Indonesia

Perjalanan enam tahun Lazada Indonesia
Perjalanan enam tahun Lazada Indonesia

Dalam kesempatan yang sama, Co-CEO Lazada Indonesia Duri Granziol membeberkan perjalanan enam tahun Lazada di Indonesia. Menurutnya, perusahaan terus menghadirkan beragam terobosan dan inovasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan situs dan aplikasi belanjanya.

Mulai dari menghadirkan fasilitas FBL (Fullfiment by Lazada), meluncurkan aplikasi Seller Center untuk permudah seller marketplace, memfasilitasi promosi seller melalui kampanye khusus, hingga program pengembangan kapasitas bagi seller dalam program Upgrade UKM.

Aplikasi Lazada untuk konsumen, tuturnya, mengalami banyak perubahan baik dari sisi UI/UX mengedepankan display barang sesuai kebutuhan tiap individu. Untuk dorong interaksi dengan konsumen, Lazada menghadirkan fitur gamification Shake Shake. Dalam fitur ini, konsumen bisa berburu diskon untuk periode tertentu.

Sejauh ini Lazada Indonesia memiliki sekitar 50 ribu seller UKM, enam gudang yang tersebar di lima kota, diantaranya Jakarta, Surabaya, Medan, Balikpapan, dan Makassar. Untuk gudang Lazada di Cimanggis luasnya mencapai 30 ribu meter persegi, dengan kapasitas 400 ribu parcel per hari dan diklaim ramah lingkungan.

Secara global, Lazada telah hadir di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Terdapat lebih dari 135 ribu seller lokal dan internasional yang telah bergabung dengan perusahaan, tiga ribu brand untuk melayani 560 juta konsumen di Asia Tenggara.

Dengan lebih dari 260 juta SKU produk, perusahaan menawarkan variasi produk dalam berbagai kategori mulai dari barang elektronik hingga barang keperluan rumah tangga, fesyen, hingga kebutuhan sehari-hari.

Application Information Will Show Up Here

Alibaba dan Ford Resmikan Vending Machine Mobil di Tiongkok

Tahun lalu, Alibaba sempat memamerkan salah satu visi mereka yang bertajuk “New Retail”, di mana sederhananya mereka mencoba menggabungkan kelebihan-kelebihan berbelanja secara offline dan online. Sekarang, mereka tengah mencoba membawa konsep tersebut ke ranah otomotif.

Bermitra dengan Ford, Alibaba ingin menyajikan pengalaman yang lebih mudah dalam membeli mobil. Kolaborasi mereka melahirkan Super Test-Drive Center, sebuah fasilitas di kota Guangzhou yang pada dasarnya merupakan vending machine berisikan mobil. Ya, vending machine berisi baju tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan ini.

Fasilitas ini sejatinya dirancang agar konsumen bisa lebih mudah melakukan test drive atas mobil yang tengah diincarnya. Alibaba bilang ada lebih dari 100 mobil (dengan model yang juga beragam, termasuk sport car Ford Mustang) yang bisa dipilih oleh konsumen di fasilitas ini.

Ford Super Test-Drive Center

Prosedurnya melibatkan layanan e-commerce Tmall kepunyaan Alibaba. Dari aplikasi ponselnya, konsumen bisa memilih model mobil yang hendak dicoba, lalu menentukan waktu pengambilannya. Metode verifikasi yang dipilih adalah facial recognition, di mana ketika tiba di fasilitas, konsumen bakal dipindai wajahnya berdasarkan selfie yang diambil saat melakukan pemesanan.

Setiap sesi test drive dihargai 99 sampai 198 yuan (tergantung modelnya), dan bisa dinikmati selama tiga hari. Khusus Alibaba Super Member, mereka bisa menikmati test drive secara cuma-cuma. Sekali lagi, ini merupakan contoh perkawinan elemen offline dan online yang cukup apik.

Merasa cocok dengan mobil yang dijajal? Konsumen tinggal mengunjungi diler Ford terdekat untuk melakukan pembelian. Ke depannya, Alibaba berharap konsumen malah bisa melakukannya langsung via Tmall.

Dari sudut pandang lain, fasilitas seperti ini sejatinya juga punya potensi untuk dimanfaatkan bersama semacam layanan persewaan mobil on-demand. Saya membayangkan skenario di masa yang akan datang di mana ketimbang membeli mobil, konsumen bisa menyewa ketika membutuhkannya, dan pengambilannya bisa langsung lewat vending machine ini.

Sumber: TechCrunch dan Alizila.

Alibaba Cloud Resmikan Data Center di Jakarta

Setelah melakukan riset dan pengenalan pasar selama dua tahun di Indonesia, Alibaba Cloud hari ini meresmikan kehadirannya di Indonesia. Komitmen Alibaba Cloud dibuktikan dengan kehadiran data center di Jakarta yang menyediakan pilihan lokal untuk UKM, startup, korporasi, dan lembaga pemerintahan. Secara keseluruhan jumlah data center Alibaba Cloud mencapai 18 buah yang tersebar di seluruh dunia.

Head of Alibaba Cloud ASEAN & NZ Raymond Ma mengungkapkan, secara independen Alibaba Cloud hadir di Indonesia memberikan platform yang diperkuat dengan teknologi yang advanced dan harga yang cukup terjangkau, terutama untuk target pasar yang diincar yaitu UKM.

“Kehadiran kami di Indonesia adalah independen. Dengan teknologi dan berbagai layanan yang kami miliki, Alibaba Cloud memiliki keyakinan yang cukup besar untuk mengembangkan bisnis di Indonesia.”

Ditambahkan Raymond, tidak hanya memberikan solusi teknologi komputasi awan, Alibaba Cloud diklaim ideal bagi startup yang mengembangkan bisnis AI dan pengolahan big data.

Selain itu layanan big data “MaxCompute” memungkinkan pengguna menyimpan dan mengolah data struktural dalam jumlah besar, hingga ukuran terabyte dan petabyte.

“Tentunya kami akan menjaga kerahasiaan data perusahaan dan UKM yang menggunakan Alibaba Cloud. Selain di Indonesia, Alibaba Cloud juga memberikan pilihan untuk menyimpan datanya di luar Indonesia sesuai dengan kebutuhan mereka,” kata Raymond.

Pelatihan bersertifikasi

Pendekatan lain yang dilakukan Alibaba Cloud untuk merangkul lebih banyak klien di Indonesia adalah memberikan pelatihan bersertifikasi. Program inkubasi Alibaba yang bernama Alibaba Cloud Certified Professional (ACP) memiliki target melatih 300 peserta dan memberikan sertifikasi kepada 100 orang ahli di bidang cloud di Indonesia.

“Indonesia merupakan negara yang sangat strategis untuk pengembangan bisnis cloud milik Alibaba. Untuk itu kita akan memastikan untuk memberikan informasi hingga layanan purnajual yang lengkap kepada klien,” kata General Manager APAC Alibaba Cloud Alex Li.

Disinggung apakah nantinya Alibaba Cloud akan mempekerjakan talenta Indonesia, Alex mengatakan kesempatan tersebut ada, namun saat ini Alibaba ingin fokus ke pemberian edukasi dan informasi tentang cloud. Program ini ditangani langsung tim khusus untuk solusi arsitektur cloud.

Terkait keamanan data yang disimpan di Alibaba Cloud dan peraturan yang ditentukan pemerintah Indonesia, Raymond Ma menegaskan sebagai perusahaan asing yang mencoba mengembangkan bisnis di Indonesia, Alibaba Cloud akan menuruti semua peraturan yang ditetapkan pemerintah.

“Untuk keamanan sendiri kami menjamin dengan teknologi yang kami miliki data milik klien akan terjaga keamanannya. Alibaba Cloud juga tidak akan membuka dan melihat data milik klien kami.”

Membuka peluang kemitraan

Saat ini Alibaba Cloud telah memiliki klien korporasi dan layanan e-commerce seperti Tokopedia, GTech Digital Asia, Dwidaya Tour, dan Yogrt. Alibaba Cloud masih membuka kesempatan perusahaan lokal untuk menjalin kemitraan dan memanfaatkan teknologi cloud miliknya.

“Fokus kami di Indonesia tidak hanya mendirikan data center, tetapi juga pelatihan dan dukungan untuk UKM di Indonesia. Dengan pendekatan unik dan pelokalan, hal tersebut yang membedakan Alibaba Cloud dengan kompetitor lainnya,” tutup Raymond.

BLOCK71 akan Selenggarakan “Sharing Session” Bahas Inovasi Fintech di Tiongkok

Tahun ini diprediksikan fintech masih akan banyak mendominasi dinamika lanskap startup di tanah air. Berbicara tentang perkembangannya, salah satu yang menjadi kiblat inovasi adalah Tiongkok. Saat ini 8 dari 25 startup fintech yang berstatus unicorn berasal dari negara tersebut.

Tahun 2016, mobile payment, sebagai salah satu model bisnis yang ditawarkan industri fintech, berhasil membukukan transaksi hingga $5 triliun secara global. Angka tersebut terus bertumbuh dan Tiongkok berada di uruta teratas, bahkan dikatakan 50 kali lebih besar ketimbang Amerika Serikat.

Salah satu pemain yang cukup mendominasi di negara tersebut adalah Alipay, unit bisnis fintech Alibaba.

Guna memberikan gambaran lebih lanjut seputar fintech, BLOCK71 bakal menghadirkan acara berbasis sharing session bertajuk “Alichat: Fintech in China, Built to Scale”. Acara ini akan dilaksanakan tanggal 8 Februari 2018 pada pukul 18.30 WIB, bertempat di BLOCK71 Jakarta. Acara dua bulanan ini mengundang top executive dari berbagai bisnis dan startup untuk berbagi informasi seputar topik terkait.

Pemateri dari Alibaba Cloud, Sijukumar Kumaran, akan dihadirkan dalam sesi kali ini. Pembahasannya tentang kemajuan fintech di Tiongkok, yang dibumbui dengan bagaimana strategi Alibaba dan portofolionya untuk berjaya di pasar tersebut. Bisa dibilang Indonesia memiliki karakteristik pasar yang hampir mirip dengan Tiongkok.

Sijukumar sendiri berpengalaman memimpin enterprise technology change selama 16 tahun dalam menangani proyek dan pengembangan solusi untuk layanan perbankan melalui perencanaan solusi IT. Di karier sebelumnya, Sijukumar bekerja di bank investasi Barclays selama 11 tahun memimpin arsitektur dan pengiriman program untuk layanan perdagangan derivatif di berbagai platform dan produk.

Untuk informasi lebih lanjut dan pendaftaran, kunjungi tautan http://bitly.com/alichat1.


Disclosure: DailySocial merupakan media partner dari acara Alichat yang diselenggarakan oleh BLOCK71.

Tren yang Akan Membentuk [Lanskap] Ecommerce Asia Tenggara di 2018

Masuknya Alibaba ke Asia Tenggara merupakan bukti nyata bagi para pengusaha dan bisnis bahwa mereka sedang menuju sesuatu yang besar dan hal ini berujung kepada tahun yang subur bagi dunia ecommerce.

“Kita baru tiba di permulaan, [transaksi Alibaba-Lazada] ini yang akan memulai keseluruhan siklusnya. Hal ini akan menarik lebih banyak lagi investasi global dan pengusaha yang memandang wilayah ini sebagai tempat yang tepat untuk memulai bisnis.” – Stefan Jung, founding partner Venturra Capital yang berbasis di Indonesia dalam wawancara dengan Tech in Asia.

Bahkan ketika kita semakin mendekati 2018, sejumlah “korban” telah berjatuhan di salah satu pasar ecommerce berkembang yang paling menjanjikan ini.

Alibaba melipatgandakan investasinya di Lazada dengan meningkatkan bagiannya dari 51 persen menjadi 83 persen. Dan dalam upaya untuk memonopoli pasar, mereka juga “menancapkan kukunya” di Tokopedia, yang bisa dikatakan sebagai salah satu kompetitor terbesar Lazada di Indonesia.

Di tempat lain, Tencent, baik secara langsung atau melalui JD, telah mulai mengeksekusi buku pedoman Cina mereka dengan berinvestasi di perusahaan-perusahaan seperti Sea, Go-Jek, Traveloka, Pomelo Fashion, dan Tiki.vn.

Melengkapi trifecta ini adalah KKR, yang melalui Emerald Media, menaruh $65 juta dalam ‘agen senjata’ ecommerce aCommerce dalam usahanya mereplikasi dominasi Baozun dalam lansekap “TP” (Tmall Partner) Cina.

Permainan ini tidak akan berhenti di sini.

Memanfaatkan kekuatan konsolidasi mereka yang baru, para marketplace akan melintasi batas tradisional mereka dan memasuki area-area seperti merek label pribadi dan distribusi offline. Para brand juga akan semakin merasa terpojok menghadapi situasi yang seperti memakan buah simalakama.

Mereka yang berhasil bertahan di 2018 harus bisa menemukan niche yang lebih menjanjikan, misalnya fashion atau home, karena sudah tidak ada ruang yang cukup bagi pemain ecommerce horisontal besar lainnya. Sementara yang lain akan tergoda untuk mengambil jalan pintas yang penuh resiko seperti mengumpulkan pendanaan melalui ICOs.

Di tahun 2018 kita juga akan mendapati Tencent, bukan Alibaba atau perusahaan lokal, muncul sebagai pemenang dalam pembayaran mobile di Asia Tenggara.

Mungkin ini saat yang tepat untuk belajar bahasa Mandarin.

Plata o Plomo: Ecommerce di Asia Tenggara akan semakin terbelah menjadi kamp Alibaba dan Tencent, dan perusahaan lokal akan memilih sisi

Karena kesamaannya dengan Cina kurang lebih 10 tahun lalu, Asia Tenggara telah menjadi ladang emas bagi para raksasa internet Cina yang ingin berkembang di luar daratan. Akuisisi Alibaba atas Lazada tahun lalu menjadi pemicu “adu senjata” antara Alibaba dan Tencent di Asia Tenggara, dan sebagai gantinya, menyebabkan perusahaan-perusahaan lokal harus memilih sisi.

Sumber foto: Sohu
Sumber foto: Sohu

Sebagai tambahan dari akuisisinya atas Lazada, Alibaba juga memimpin investasi $1.1 juta atas Tokopedia di tahun 2017, melanjutkan pertaruhan besarnya atas ecommerce. Ke depannya, Alibaba diharapkan akan memposisikan Lazada dan Tokopedia sebagai Tmall dan Taobao di Asia Tenggara.

Sementara itu, Tencent secara agresif telah mencoba mereplikasi formula tiga-cabang yang telah sukses membantunya dalam pertarungannya melawan Alibaba di Cina: gaming, mobile, dan pembayaran.

Langkah pertama adalah menjadi pemegang saham terbesar dari Sea (sebelumnya Garena), perusahaan gaming ternama yang juga mengelola Shopee, marketplace ecommerce mobile-first. Langkah keduanya adalah bertaruh di Go-Jek, satu dari beberapa perusahaan unicorn di Indonesia, untuk menjadi “super app” seperti WeChat dan WeChat Pay.

Langkah ini sangat dimengerti mengingat WeChat Pay saat ini meraih 40% market share di Cina vs. 54% milik Alipay – meningkat dari 11% di 2015.[1][2]

 

Faksi Alibaba Faksi Tencent

(Tencent adalah pemegang saham terbesar di JD[3])

Lazada $1 miliar untuk 51% (Apr 2016)

$1 miliar untuk 83% (Jun 2017)[4]

Tokopedia $1.1 miliar pendanaan Seri F (Agu 2017)[5]
SEA (Shopee) 39.7%[6]
JD (Thailand) $250 juta dari $500 juta joint-venture dengan Central Group[7]
Go-Jek $100-150 juta (Aug 2017)

$100juta (Aug 2017) via JD[8]

Traveloka $0-150 juta (Jul 2017) via JD[9]
Pomelo Fashion $19 juta (Oct 2017, Lead) via JD[10]
Tiki.vn $44 juta (Nov 2017) via JD[11]

 

“Apakah saat ini ada lahan yang tersedia untuk aset seperti ini? Saya rasa dalam hal lahan, mereka [Tencent] mengikuti kami. Mereka melihat bahwa kami telah memposisikan diri kami dengan baik, maka itu mereka sedang bermain mengejar ketertinggalan. Karena kami telah berada di posisi ini, apa yang ingin kami lakukan selanjutnya adalah bekerja sama dengan para pengusaha lokal.” — Joe Tsai, Vice Chairman Alibaba, berbicara kepada Bloomberg.

Harga saham Tencent dan Alibaba meningkat dalam 7 tahun terakhir dibandingkan dengan gabungan Amazon dan NASDAQ. Sumber: Yahoo Finance (December 4, 2017)
Harga saham Tencent dan Alibaba meningkat dalam 7 tahun terakhir dibandingkan dengan gabungan Amazon dan NASDAQ. Sumber: Yahoo Finance (December 4, 2017)

Dengan kondisi pasar keduanya, Tencent dan Alibaba, yang berada pada posisi tertinggi, kita bisa berharap bahwa tren ini akan berlanjut di sepanjang 2018 dengan keduanya melahap lebih banyak lagi perusahan-perusahaan lokal lintas lansekap ecommerce dan meningkatkan saham mereka di perusahaan yang telah ada.

Menghadapi pertumbuhan organik yang lambat, Amazon akan menempuh jalur akuisisi untuk mempercepat ekspansi ecommerce-nya di wilayah ini

Sumber foto: Getty Images
Sumber foto: Getty Images

Masuknya Amazon di “Asia Tenggara” merupakan kejutan terbesar yang pada saat bersamaan, juga tidak mengejutkan.

Tidak mengejutkan karena peluncuran Amazon yang telah lama dinantikan dan dibicarakan di Singapura telah diberitakan besar-besaran oleh media bahkan sebelum layanan Prime Now secara resmi tersedia pada 26 Juli 2017.

Mengejutkan karena pencapaian Amazon yang diharapkan akan terjadi lintas wilayah ini berakhir sebelum dimulai.

Para fanboy Amazon merayakan peluncuran sebuah versi kecil dari Amazon – Amazon Prime Now – yang hanya menawarkan barang-barang kebutuhan rumah tangga dan sehari-hari.

“Saya mengharapkan lebih banyak barang yang tidak bisa didapatkan di Singapura, contohnya Sriracha atau hal kecil lain yang tidak tersedia di Singapura, namun kebanyakan barang di Prime Now adalah barang dasar yang bisa didapatkan dari Fairprice…” – Pengguna Reddit Ticklishcat

Namun ada alasan yang bagus untuk hal ini.

Tidak masuk akal bagi Amazon untuk membangun sebuah operasi lokal besar-besaran di negara kota ini. Penduduk Singapura, dengan pilihan dari Free Amazon Global Saver Shipping, sebenarnya sudah bisa medapatkan pengiriman barang gratis dari Amazon secara massal untuk pesanan di atas $125.

Singapura hanya menempati posisi #29 dalam hal sesi/tahun di Amazon.com dalam skala global namun #4 jika dinormalisasikan dengan ukuran populasi. Dengan rata-rata 14.04 sesi per orang yang mengunjungi Amazon.com per tahun, Singapura menempati posisi teratas di antara semua negara di Asia.

Penduduk Singapura sudah berbelanja langsung dari Amazon tanpa kehadiran operasi lokal penuh dari Amazon: Singapura hanya menempati posisi #29 akan traffic ke Amazon.com namun #4 saat dinormalisasi ke ukuran populasi (#1 di Asia). Sumber: SimilarWeb, World Bank
Penduduk Singapura sudah berbelanja langsung dari Amazon tanpa kehadiran operasi lokal penuh dari Amazon: Singapura hanya menempati posisi #29 akan traffic ke Amazon.com namun #4 saat dinormalisasi ke ukuran populasi (#1 di Asia). Sumber: SimilarWeb, World Bank

Peluncuran Amazon Prime di Singapura bulan ini menjadikan Amazon lebih tidak mungkin lagi membangun operasi lebih dari layanan Amazon Prime Now. Amazon tidak lagi mensubsidi pengiriman gratis untuk pesanan di atas $125 ke Singapura namun para anggota Prime Singapura mendapatkan pengiriman gratis untuk pesanan di atas S$60 di website global Amazon dan keuntungan lainnya dengan biaya keanggotaan sebesar S$8.99 per bulan.

Tidak banyak lagi hal yang terdengar tentang ekspansi lebih lanjut dari Amazon di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Thailand, di mana pasarnya secara cepat dilahap oleh Alibaba dan Tencent.

Dengan semakin sempitnya waktu untuk benar-benar masuk secara organik ke pasar-pasar yang berkembang pesat di Asia Tenggara, saham perusahaan yang berada di nilai tertinggi sepanjang masa, dan memori kegagalan mereka di Cina yang belum lama terjadi, kita bisa mengharapkan Amazon setidaknya melakukan satu akuisisi besar di 2018 untuk mempercepat ekspansi regionalnya.

Offline menjadi online yang baru: pemain ecommerce murni akan meluncurkan toko fisik untuk mengimbangi biaya akuisisi konsumen online yang tinggi, memperbaiki last-mile fulfillment, dan mempercepat pertumbuhan

Selagi retailer offline tradisional seperti Central di Thailand dan Matahari di Indonesia berlomba-lomba memindahkan bisnis mereka ke online, pemain ecommerce online murni justru akan melakukan ekspansi ke ranah offline mulai 2018.

Dengan saluran akuisisi konsumen online seperti Google dan Facebook yang dengan cepat mencapai kejenuhan dan menghasilkan profit yang semakin rendah, pemain ecommerce seperti Pomelo dan Lazada akan semakin melirik saluran offline untuk meraih konsumen baru.

Pomelo dalam beberapa tahun terakhir ini baru mencoba peruntungannya di toko pop-up, namun dengan penerimaan dana baru series B sebesar $19 juta, mereka baru saja meluncurkan toko pop-up terbesarnya di Siam Square, pusat fashion di Bangkok. Toko-toko ini memiliki konsep “click-and-collect”, memungkinkan kustomer untuk memesan secara online dan mencoba barangnya secara offline di toko sebelum memutuskan mana yang akan disimpan atau dikembalikan.

Sumber foto: Pomelo
Sumber foto: Pomelo

“Dalam fashion, penghalang nomor satu dalam pembelian adalah kebutuhan untuk mencoba produk disertai dengan kesulitan melakukan pengembalian barang. Kehadiran toko offline akan menjawab halangan ini secara langsung. Terlebih lagi, pelanggan bisa diakuisisi secara offline dan data dari online bisa digunakan untuk meningkatkan penjualan dan efisiensi operasional secara offline. Pendeknya, gabungan dari offline dan online merupakan strategi optimal untuk ritel fashion ke depannya.” — David Jou, Co-Founder dan CEO, Pomelo Fashion.

Love Bonito, merek fashion online-first lainnya dari Singapore, secara resmi meluncurkan toko flagship permanen di Orchard Road setelah tujuh tahun menjadi pemain ecommerce murni.

Sumber foto: Love Bonito
Sumber foto: Love Bonito

Sementara itu, Lazada kemungkinan akan mengikuti jejak Alibaba di Cina di mana mereka meluncurkan supermarket Hema di Beijing dan Shanghai. Tidak hanya untuk meningkatkan pengalaman brand dan akuisisi konsumen, toko-toko offline baru ini juga berperan sebagai pusat pemenuhan (fulfillment) yang secara efektif mengimbangi kekurangan infrastruktur logistik di Asia Tenggara.

Supermarket Hema milik Alibaba di Cina. Sumber foto: Quartz
Supermarket Hema milik Alibaba di Cina. Sumber foto: Quartz

Tidak hanya untuk meningkatkan pengalaman brand dan akuisisi konsumen, toko-toko offline baru ini juga berperan sebagai pusat pemenuhan (fulfillment) yang secara efektif mengimbangi kekurangan infrastruktur logistik di Asia Tenggara.

Toko pop-up Pomelo di Siam Center memberlakukan click-and-collect, memungkinkan kostumer untuk membeli barang online dan mencobanya di toko sebelum memutuskan produk mana yang ingin disimpan atau dikembalikan.

CEO Lazada Max Bittner telah memberi isyarat akan kemungkinan peluncuran toko fisik di Indonesia saat berbicara di sebuah konferensi tahun ini.

Dalam satu dekade terakhir di Cina, Alibaba mengalami kenaikan ecommerce tahunan (year-on-year) sebesar 50%+ hingga menjadi sebesar sekarang ini. Namun demikian, seiring dengan melambatnya pertumbuhan ecommerce di Cina, Alibaba kemudian melipat-gandakan inisiatif seperti 11.11, “New Retail” (toko pop-up pintar di sekitar Cina), dan ekspansi pasar untuk mempercepat penjualan mereka (Asia Tenggara).

Walaupun Asia Tenggara diperkirakan akan menjadi cerita ecommerce besar selanjutnya, ecommerce hanya terhitung 1-2% dari total ritel saat ini. Jika para perusahaan seperti Lazada dan Shopee ingin tumbuh lebih cepat dari yang dimungkinkan pasar, memasuki ranah offline menjadi pilihan yang jelas.

Para startup ecommerce baru akan menggunakan ICO untuk mengumpulkan dana demi melawan para raksasa

Dengan Asia Tenggara semakin dikuasai oleh para raksasa seperti Alibaba dan Tencent dengan karakter pasar “winner-takes-all”, para startup ecommerce akan mencari alternatif untuk membiayai bisnis mereka.

Masuklah yang kini sedang populer, Initial Coin Offerings (ICOs).

Pengumpulan dana melalui cara ini di Asia Tenggara dipionirkan oleh Omise, sebuah startup fintech yang berbasis di Thailand, yang sukses mengumpulkan $2.5 juta dalam beberapa jam untuk membangun sistem pembayaran yang terdesentralisasi.

Berdasarkan spekulasi dini atas masuknya Amazon ke ranah cryptocurrency, kita akan memiliki lahan yang subur bagi ICO pertama untuk startup ecommerce. Sudah ada sebuah startup bernama HAMSTER yang menjual token HMT untuk membangun marketplace terdesentralisasi yang menjanjikan “tanpa biaya, tanpa perantara”.

09

Platform ecommerce yang revolusioner dibiayai oleh ICOs atau skema ponzi?
Platform ecommerce yang revolusioner dibiayai oleh ICOs atau skema ponzi?

Kita akan melihat para startup ecommerce memanfaatkan ICOs untuk membiayai akusisi konsumen, pembangunan produk baru, dan membiayai inventaris. Setidaknya, hingga gelembungnya pecah

2018 akan menjadi gelombang konsolidasi ecommerce terakhir seiring para pemain lokal menyesuaikan diri dengan Aturan Dunia Baru

Kami telah berbagi sekian banyak cerita mengenai korban dan konsolidasi di pertarungan tumpah darah ecommerce dalam prediksi tahunan sebelumnya.

Rakuten asal Jepang menjual hampir semua asetnya di Asia Tenggara saat keluar dari pasar pada 2015/2016. Rocket Internet melepaskan Zalora Thailand dan Vietnam di diskon besar-besaran pada 2016 dan menjual bisnisnya di Filipina kepada konglomerat lokal Ayala Group di tahun berikutnya.

Di Thailand, Ascend Group menaruh aset-asetnya, WeLoveShopping dan WeMall, dalam moda “life support” dan kemudian fokus kepada fintech.

Di Indonesia, bermunculan berita mengenai penjualan saham SK Planet di Elevenia kepada konglomerat Indonesia Salim Group yang diikuti oleh berita penawaran entitas mereka di Malaysia antara Alibaba dan JD.

Awal tahun ini, perusahaan telco terbesar di Indonesia Indosat Ooredoo menutup situs ecommerce-nya Cipika. Alfamart, rantai toko kelontong terbesar kedua di Indonesia juga harus memperkecil dan mempivot usaha ecommerce-nya, Alfacart, dari marketplace umum menjadi kanal online khusus grocery.

Memasuki 2018, perhatian akan tertuju pada para pemain ecommerce horizontal lokal. Seiring meningkatnya pertaruhan Alibaba dan Tencent, bisa diharapkan akan jatuh lebih banyak “korban” di tahun yang baru.

Go-Pay akan menjelajah ke luar Indonesia melalui Sea, Traveloka, dan JD untuk menjadi WeChat Pay versi Asia Tenggara

Situasi ecommerce di Indonesia saat ini terlihat seperti situasi Cina di tahun 2008 —  kecepatan perubahannya tidak terbayangkan. Saat saya mengunjungi kantor kami di Jakarta 12 bulan lalu, hampir tidak ada seorang pun yang menggunakan platform pembayaran dan dompet mobile milik Go-Jek, Go-Pay.

Enam bulan kemudian, hampir semua kolega menggunakan Go-Pay untuk mentransfer uang antar-sesama dan untuk membayar produk maupun jasa.

Di sebagian pasar berkembang Asia Tenggara (kecuali Singapura dan Malaysia), penetrasi kartu kredit masih rendah, hanya mencapai satu digit dan sebagian besar penduduk bahkan tidak memiliki akun bank.

Sumber: Global Findex, World Bank
Sumber: Global Findex, World Bank

Sayangnya, hanya beberapa startup fintech dan pembayaran di wilayah ini yang bisa membangun produk yang menjawab kurangnya penetrasi kartu kredit dan populasi unbanked yang besar. Mayoritas dari mereka malah membangun gerbang pembayaran dan dompet yang bergantung kepada kartu kredit dan warisan infrastruktur kartu kredit seperti di Amerika Serikat (Apple Pay, anyone?)

Tidak mengherankan jika cash-on-delivery (COD) masih mendominasi lebih dari 70% transaksi menurut data dari ecommerceIQ.

Mereka yang fokus menargetkan populasi unbanked dengan dompet mobile yang diisi secara tunai seperti True Money dari Thailand mengalami kesulitan mencapai “nilai utama produk” yang berkelanjutan dan meraih massa.

“Komunitas, Commerce, dan Pembayaran saling terhubung di Dunia Digital. Sejauh ini, semua permainan pembayaran mobile yang sukses, secara global, terpusat pada dagang dan komunitas sebagai sumbunya. PayPal dimulai dengan eBay, Alipay dengan Alibaba/Tmall/Taobao, WeChat Pay memanfaatkan WeChat/QQ dan Amazon Pay memiliki Amazon. Karena alasan inilah, bisnis pembayaran/dompet yang berdiri sendiri akan mengalami kesulitan.” — Gaurav Sharma, Pendiri Atlantis Capital

Go-Pay menjawab masalah fundamental ini dengan memungkinkan penggunanya mengirimkan pembayaran antar sesama (peer-to-peer/P2P) dan mengisi ulang dengan memberikan uang tunai kepada supir Go-Jek yang berperan sebagai mesin ATM mobile.

Isi ulang dompet mobile Go-Pay dimungkinkan dengan memberikan uang tunai kepada supir Go-Jek.
Isi ulang dompet mobile Go-Pay dimungkinkan dengan memberikan uang tunai kepada supir Go-Jek.

Lebih penting lagi, dengan GoJek sebagai bagian dari faksi Tencent, kita bisa mengharapkan perusahaan tersebut mendorong Go-Pay ke negara-negara di Asia Tenggara lainnya melalui platform komunitas dan dagang seperti Sea (Garena, Shopee, dll), Traveloka, dan JD).

Setelah beredarnya rumor pada bulan November, Go-Jek akhirnya mengumumkan akuisisinya terhadap Kartuku, Mapan, dan Midtrans. Yang terakhir, sebagai salah satu gerbang pembayaran terdepan di Indonesia, akan memberikan Go-Pay saluran distribusi tambahan dan menggunakan kasus-kasus seperti MatahariMall, Tokopedia, dan Garuda Indonesia — mendorong Go-Pay untuk melewati ranah P2P dan memasuki pembayaran B2C.

Lawan kuat bagi “WeChat dari Asia Tenggara” ini adalah Grab, yang memiliki 2.5 juta perjalanan harian menjadikannya platform ride-hailing terbesar di Asia Tenggara. GrabPay, diluncurkan tahun ini, merupakan usaha Grab untuk menjadikan Singapura sebagai masyarakat non-tunai, dengan rencana ekspansi di wilayah Asia Tenggara pada tahun 2018.

Haruskah Go-Jek khawatir? Tidak juga.

Singapura bukan tempat tes yang ideal untuk meluncurkan dompet mobile karena negaranya telah memiliki platform pembayaran non-tunai yang ada di mana-mana — “kartu kredit”. Dan kerja sama GrabPay baru-baru ini dengan Ovo dari Lippo Group tidak menghasilkan banyak perhatian atau menunjukkan pemakaian yang luas.

“Walau sepertinya terlihat sebagai praktek yang umum untuk melakukan tes (ide) pertama di Singapura, dan kemudian membawanya ke regional dan kemudian ke seluruh dunia, dengan hormat, saya kira hal ini tidak masuk akal di situasi dunia saat ini.” — Min-Liang Tan, Co-Founder dan CEO dari Razer

Go-Pay, di lain pihak, memberikan nilai lebih kepada penggunanya di negara di mana hanya 36% dari penduduknya memiliki akun bank dan hanya 2% memiliki kartu kredit. Pasar berkembang seperti Thailand, Vietnam, dan Filipina memiliki kesamaan akan kurangnya infrastruktur finansial seperti Indonesia.

Go-Jek sebagai bagian dari faksi Tencent memiliki akses ke saluran distribusi yang lebih beragam dan menawarkan bermacam kasus sehari-hari seperti gaming (Garena), belanja (Shopee, JD), travel (Traveloka) dan lain-lain (Go-Jek sendiri).

Marketplace fashion dan kecantikan baru yang berbasis mobile akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Zalora

Zalora, bisnis ecommerce fashion milik Rocket Internet, telah mengalami kesulitan di Asia Tenggara sejak peluncurannya di 2012. Zalora Thailand dan Vietnam kemudian diambil oleh konglomerat ritel Thailand Central Group dengan harga yang murah, sementara entitasnya di Filipina sebagian dijual kepada grup real estate Ayala.

Bahkan ada juga rumor bahwa Zalora Indonesia membicarakan exit ke peritel lokal MAP, yang kemudian disanggah.

Beberapa faktor yang berkontribusi pada tantangan yang dialami perusahaan ini: 1. Pedagang langsung berjualan di Facebook, Instagram dan LINE, 2. Kontrol atas brand-brand yang dikuasai satu atau dua grup konglomerat ritel seperti Central di Thailand, MAP di Indonesia, dan SSI Group di Filipina.

Dua faktor tersebut mempersulit Zalora untuk mengubah arah menjadi marketplace bagi brand premium seperti ASOS.

Tantangan yang dihadapi Zalora meninggalkan sebuah kekosongan yang semakin banyak diisi oleh marketplace fashion mobile-first yang lebih gesit yang bisa melihat kesempatan di ruang yang didominasi oleh pasar-massal, platform ecommerce umum seperti Lazada dan Shopee.

Seperti dibuktikan oleh kesulitan Amazon dalam meminang merek fashion premium di AS, pemain merek mewah tidak menyukai berjualan di platform massal di mana katalog barang mereka muncul berdekatan dengan deterjen dan mesin cuci.

“Setelah membeli Whole Foods, Amazon sekarang memiliki akses ke kulkas terkaya di negara ini namun mereka masih tidak bisa memasuki lemari kita karena merek fashion dan beauty yang aspirasional tidak akan mau berdistribusi di platform mereka. Mengapa? Karena mereka tidak bodoh dan sadar bahwa cara Amazon melakukan kerja sama dengan para merek seperti cara sebuah virus bekerja sama dengan induknya.” — Scott Galloway, Founder L2 dan Professor di NYU Stern.

Di Cina, baik Tmall dan JD harus mengerahkan usaha yang luar biasa untuk menarik para merek fashion. Pada bulan Oktober, JD meluncurkan TopLife, platform online mewah yang berdiri sendiri untuk memberikan pengalaman high-end yang dijanjikan oleh merek-merek high-end ini.  Alibaba juga meluncurkan Luxury Pavilion, sebuah bagian dalam Tmall yang dikhususkan untuk merek mewah seperti Burberry dan Hugo Boss.

Mengepalai gelombang baru dari marketplace fashion berbasis mobile di Asia Tenggara adalah Zilingo, yang baru saja mendapatkan pendanaan seri B sebesar $18 juta, dan Goxip, startup berbasis di Hong Kong yang baru saja menutup pendanaan seri A sebesar $5 juta dengan rencana untuk memasuki Thailand. Di Indonesia, ada juga LYKE, yang ironisnya, didirikan oleh ex-CMO dari Zalora.

Diuntungkan dengan retrospeksi dan peran social commerce dalam menumbuhkan sektor fashion, para pemain baru ini akan menawarkan elemen seperti chat dan permainan konten murni serta jaringan influencer yang bisa mengatasi tantangan biaya akuisisi konsumen yang sering ditemui dalam upaya memperbesar ecommerce.

Marketplace akan “mendewasa” dan membersihkan diri dari “grey market” untuk melayani merek-merek mewah dan blue chip

Dalam enam tahun terakhir, kebanyakan dari pertumbuhan awal ecommerce difokuskan untuk meningkatkan GMV dengan memasukkan semua penjual dan merek yang ingin berjualan secara online.

Pada 2018, marketplace seperti Lazada dan Shopee berusaha memasukkan merek yang lebih besar, namun hal ini mengharuskan mereka untuk bisa mengontrol penjual “grey market” dan barang palsu serta membangun lingkungan di mana merek besar akan merasa nyaman untuk berjualan.

Alibaba melewati proses yang sama di Cina, ketika pembicaraan seputar pengontrolan barang palsu dan produk “grey market” yang ada di Tmall and Taobao mencapai puncaknya pada waktu IPO Alibaba pada 2014.

Berdasarkan data dari oleh platform analisis pasar BrandIQ, 80% SKU dari raksasa produk konsumen seperti Unilever, Samsung, dan L’Oreal rata-rata dijual oleh reseller pasar gelap yang tidak sah. SKU “grey market” ini dijual dengan harga 30% lebih rendah dari toko flagship resmi dan reseller resmi.

13

Mengapa hal ini menjadi penting? Karena penjualan pasar abu-abu berdampak pada citra penjualan merek di toko-toko resmi.

“Akhir-akhir ini, ledakan penjual pihak ketiga di situs online menyebabkan produk asli dari merek seperti Nike, Chanel, The North Face, Patagonia dan Urban Decay dijual di Amazon meskipun mereka tidak mengotorisasi penjualan tersebut, melemahkan kontrol mereka akan harga dan distribusi,” ujar Wall Street Journal.

Nike, misalnya, menolak untuk berjualan langsung melalui Amazon untuk waktu yang lama, menghindari pelemahan mereknya. Namun dengan tidak berjualan secara resmi di marketplace, meninggalkan ruang yang, seperti bisa kita lihat dari data BrandIQ sebelumnya, secara cepat diisi oleh penjual yang tidak resmi, reseller yang mencari kesempatan dari arbitrase.

Pelanggan seringnya mengganggap pembelian dari pasar abu-abu ini sebagai pembelian langsung dari brand tersebut, dan saat mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan, akan menyalahkan brand dan bukannya reseller yang tidak sah tersebut

Data BrandIQ menunjukkan bahwa nilai rata-rata SKU pasar kelabu 24% lebih rendah daripada ulasan untuk produk serupa yang dijual melalui toko resmi atau toko utama.

14

Memasuki 2018, kita akan melihat dorongan baik dari marketplace dan brand untuk mengatasi penjualan pasar abu-abu di Asia Tenggara. Marketplace akan menggunakan pegangan yang lebih erat bagi para reseller pihak ketiga untuk menarik merek yang lebih besar, sementara para brand akan tetap membangun kehadiran resmi di marketplace untuk secara proaktif mengelola pengalaman pelanggan dan citra brand.

Marketplace dan e-tailers akan memperkenalkan label pribadi dan mengalienasi brand

Seiring dengan semakin dewasanya pasar ecommerce di Asia Tenggara, marketplace, e-tailer dan startup ecommerce akan semakin teliti mencari cara untuk meningkatkan margin. Lewatlah sudah hari-hari mengejar pertumbuhan garis atas yang agresif dan pangsa pasar yang menghalalkan segala cara.

Dengan akuisisi Lazada post-Alibaba dan Shopee pasca-IPO (sebagai bagian dari Sea), layanan bernilai tambah apa yang akan dimiliki perusahaan-perusahaan ini untuk mencapai pertumbuhan pendapatan yang berkelanjutan?

Di kesempatan ini, perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara menyontek dari buku permainan Cina. Lazada meluncurkan unit Lazada Marketing Solutions untuk membantu memonetisasi 23 juta pengguna aktif tahunannya melalui pengiklanan mirip seperti bagaimana Tmall and Taobao mengumpulkan biaya untuk iklan di Cina.

Saat ini, Lazada menawarkan display ads dan iklan promosi produk programmatic bagi pelanggannya namun Lazada diharapkan meluncurkan iklan pencarian pay-per-click pada tahun 2018, berkompetisi dengan Google dan Facebook. Lintas wilayah Asia Tenggara, Shopee telah meluncurkan iklan pencarian per-per-click.

Lebih dari sekadar periklanan, kita bisa mengharapkan lebih banyak marketplace dan e-tailer akan mengikuti jejak Amazon dalam meluncurkan merek label pribadi untuk meningkatkan margin. Dengan data yang dikumpulkan dari merek pihak ketiga, platform ecommerce ini mengetahui betul barang jenis apa yang laku di pasaran, siapa pasarnya, serta kapan dan di mana penjualannya mencatat hasil terbaik.

Flipkart, satu dari marketplace terdepan di India yang bersaing dengan Amazon, baru-baru ini mengumumkan target mereka mendapatkan 20-22% kontribusi penjualan dari label pribadi dalam lima tahun ke depan.

“Saat kami memutuskan untuk memasuki label pribadi pada pertengahan 2016, sebuah “Tim Macan’ untuk merek label pribadi kemudian dibentuk secara internal untuk meneliti sekitar 50 peritel dari seluruh dunia, termasuk Eropa, AS, Cina, dan India, untuk membayangkan seperti apa lansekap label pribadi bagi Flipkart dalam beberapa tahun ke depan. Penelitian menunjukkan bahwa label pribadi bisa berkontribusi 10-20% dari bisnis suatu perusahaan. Sebagai contohnya, label pribadi dari perusahaan AS Costco Wholesale, Kirkland, berkontribusi sebesar 20-25% kepada bisnis mereka,” ujar Adarsh Menon, Kepala Label Pribadi Flipkart dalam interview dengan The Hindu.

Meluncurkan merek label pribadi di Asia Tenggara bukanlah hal yang baru. Zalora meluncurkan merek label pribadi EZRA sejak 2013 yang diikuti oleh Lazada dengan LZD Premium Collection pada 2014. Namun demikian, dengan fokus kepada pertumbuhan top line pada periode 2013-2015, merek label pribadi ini kurang diprioritaskan seperti bisa dilihat dari jumlah terbatas yang masih dijual di Zalora dan Lazada saat ini.

Althea, sebuah e-retailer produk kecantikan Korea yang meraih pendanaan seri B sebesar $7 juta, secara spesifik mengatakan bahwa mereka akan menggunakan dana tersebut untuk meluncurkan lebih banyak produk label pribadi.

“Berdasarkan data pengguna yang besar yang telah kami kumpulkan.. Kami saat ini bisa mengerti kebutuhan spesifik dari pelanggan kami di setiap pasar, mengumpulkan masukan secara instan melalui platform online kami, dan secara cepat mengubah itu semua menjadi satu produk dalam satu atau dua bulan,” ujar Co-Founder dan CEO Althea Frank Kang. “Kami memiliki pengetahuan yang dalam akan pelanggan kami yang tidak bisa disamai oleh brand tradisional.”

Di tengah semua ini, tidak mengejutkan bahwa Zalora menunjukkan ketertarikan untuk mendorong label pribadi mereka, “Something Borrowed” dan “Zalora”, di tahun yang baru.

15 Label pribadi Althea dijual di website mereka

B2B ecommerce akan mengganggu distributor offline, mengaburkan batas antara distribusi online dan offline

Meski ecommerce memiliki masa depan yang cerah di Asia Tenggara, nyatanya B2C ecommerce saat ini masih berada di persentase satu digit. Dengan target pertumbuhan yang agresif, para merek dan marketplace serta e-tailer akan meningkatkan usaha mereka untuk tumbuh lewat saluran non-B2C seperti B2B dan B2E.

Zilingo, marketplace fashion yang didukung oleh Sequoia, meluncurkan marketplace B2B, Zilingo Asia Mall. Inisiatif ini memungkinkan para pembeli fashion di AS dan Eropa untuk membeli produk Zilingo dengan harga grosir, secara efektif membangun “Alibaba” bagi fashion.

Shopee meluncurkan fitur grosir tahun ini, memungkinkan pedagang untuk menurunkan harga unit satuan untuk pesanan dalam kuantitas yang besar.

Shopee Malaysia menawarkan fitur grosir
Shopee Malaysia menawarkan fitur grosir

aCommerce, ecommerce enabler dan e-distributor di Asia Tenggara, yang baru saja mendapatkan pendanaan seri B sebesar $65 juta dari firma bangunan KKR — Emerald Media,  menciptakan istilah baru untuk semua ini — “B2A” atau Business-to-All.

Perusahaan ini merupakan pihak di balik inisiatif B2B dan B2E bagi merek seperti Samsung dan L’Oreal. Menurut aCommerce, B2B ecommerce saat ini berkontribusi kepada 20% dari total pendapatan di aCommerce, naik 10% dari tahun sebelumnya. (disclaimer, saya bekerja di sini).


Disclosure: artikel tamu ini ditulis oleh Sheji Ho, aCommerce Group Chief Marketing Officer

Opini yang dinyatakan ini merupakan pendapat pribadi saya dan tidak mewakili pandangan atau pendapat dari tempat saya bekerja.

[1] http://www.kpcb.com/internet-trends

[2] http://knowledge.ckgsb.edu.cn/2017/08/28/mobile-commerce/wechat-economy-messaging-wechat-pay

[3] https://asia.nikkei.com/Business/Deals/Tencent-becomes-top-shareholder-of-e-retailer-JD.com

[4] https://techcrunch.com/2017/06/28/alibaba-ups-its-stake-in-southeast-asias-lazada-with-1-billion-investment

[5] https://techcrunch.com/2017/08/17/alibaba-tokopedia

[6] https://techcrunch.com/2017/09/23/sea-files-for-a-1-billion-u-s-ipo

[7] https://www.reuters.com/article/us-jd-com-centralgroup/jd-com-thai-retailer-central-group-form-500-million-e-commerce-jv-idUSKCN1BQ0A1

[8] https://asia.nikkei.com/Business/Companies/Indonesia-s-Go-Jek-gets-a-lift-from-Tencent-JD.com-funding

[9] https://techcrunch.com/2017/07/28/expedia-invests-350m-in-traveloka

[10] https://techcrunch.com/2017/10/31/jd-com-leads-19m-investment-in-pomelo

[11] https://e27.co/jd-com-puts-us44m-vietnamese-e-commerce-platform-tiki-vn-fight-lazada-20171121

Perkuat Logistik, Lazada Indonesia Siap Bangun Sekitar Lima Gudang Baru untuk Tahun 2018

Lazada Indonesia mengungkapkan akan menambah sekitar lima gudang baru (warehouse) untuk mengakomodir isu logistik yang kini masih menjadi masalah di Indonesia. Dua di antaranya akan berada di Balikpapan dan Makassar.

“Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kami, tahun depan akan menambah sekitar lima gudang baru, di Balikpapan dan Makassar. Untuk Balikpapan, sudah lakukan pilot project,” terang Co-CEO Lazada Indonesia Duri Granziol kepada DailySocial, Senin (11/12).

Sayangnya, terkait hal ini Granziol enggan membeberkan lebih detil biaya investasi yang dikucurkan. Untuk gudang Lazada di Balikpapan dan Makassar, perusahaan menggandeng pihak ketiga sebagai pengelola.

Granziol beralasan dengan menggandeng pihak ketiga, pihaknya akan merasa lebih terbantu karena pemain lokal dinilai lebih paham dengan kondisi daerah tersebut. Tiga gudang Lazada sebelumnya yang berlokasi di Jakarta, Surabaya, dan Medan dibangun dan dikelola sendiri oleh Lazada. Di Jakarta, Lazada mengelola gudang seluas 40 ribu meter persegi.

Kehadiran gudang, menurutnya, akan sangat membantu Lazada dalam mengatasi isu logistik di Indonesia. Sekaligus membantu para penjual di Lazada, termasuk UMKM karena mereka hanya perlu menaruh barangnya di gudang, tidak perlu membungkus, dan mengirim pesanan. Dengan demikian, waktu pengiriman jadi lebih singkat dan pengalaman konsumen berbelanja di Lazada juga semakin baik.

Granziol melanjutkan, selain isu logistik, Lazada juga mengaku masih berupaya mengatasi isu kepercayaan masyarakat untuk berbelanja online. Menurutnya, isu ini menjadi salah satu alasan Lazada dalam membangun program kemitraan dengan brand resmi untuk menghadirkan produk-produk original.

Untuk menjaring lebih banyak penjual dari kalangan UMKM, Granziol mengaku akan terus melakukan edukasi lewat komunitas yang sudah dibangun dan tersebar di 11 kota di seluruh Indonesia. Di sana, penjual akan diajarkan bagaimana cara berjualan online, apa saja yang harus dipersiapkan, cara memasarkan produk, dan sebagainya.

Tak hanya itu, Lazada tengah mempersiapkan peluncuran aplikasi terpisah untuk memudahkan penjual UMKM berjualan di Lazada. Menurut Granziol, nantinya hanya dengan aplikasi di smartphone para penjual UKM bisa langsung mengunggah foto produk tanpa harus melalui desktop.

“Aplikasinya masih dipersiapkan, akan segera keluar dalam waktu dekat khusus untuk penjual UMKM.”

Saat ini penjual UMKM yang sudah tergabung di platform Lazada mencapai 50 ribu usaha tersebar di seluruh Indonesia. Adapun secara keseluruhan, kini Lazada sudah menghimpun jutaan penjual terdiri dari brand, UMKM, dan penjual dari luar negeri (dari Taobao).

Secara regional, kontribusi bisnis Lazada di Indonesia menempati posisi tiga besar, mendampingi Lazada Thailand dan Filipina. Namun bila dilihat dari jumlah konsumen, Lazada Indonesia menempati posisi pertama dibandingkan lima negara lainnya.

Rencana berikutnya dengan Alibaba

Sebagai salah satu portofolio perusahaan dari e-commerce raksasa Alibaba, Lazada akan terus melakukan berbagai kerja sama strategis dengan anak-anak usaha Alibaba lainnya di Indonesia.

Meski tidak dijelaskan secara spesifik, namun menurut gambaran Granziol, fokus yang tengah dilakukan Alibaba (lewat Taobao) dengan Lazada adalah meningkatkan akses pemasaran bagi penjual UMKM agar dapat menembus pasar internasional.

“Dengan jaringan internasional yang dimiliki Alibaba, kini penjual UMKM lokal bisa menembus pasar hingga luar negeri. Tentunya ada kolaborasi kami lainnya dengan anak usaha Alibaba, misalnya dengan UCWeb.”

Terkait integrasi metode pembayaran dengan Alipay (sistem pembayaran milik Alibaba), menurut Granziol, dia belum bisa berkomentar banyak. Layanan pembayaran online yang dimiliki Lazada, yakni HelloPay juga telah ditutup dan dialihkan untuk merger dengan Ant Financial pada awal tahun ini.

Sementara ini, Lazada masih mengandalkan kemitraan dengan penyedia jasa keuangan lokal untuk mengakomodir sistem pembayaran. Menurutnya, dengan banyak memberikan opsi pembayaran secara tidak langsung mendorong orang untuk nyaman berbelanja online dan upaya membangun unsur “trust“.

Sejauh ini dua opsi yang dominan digunakan konsumen Lazada adalah bank transfer dan cash on delivery (COD).

“Meski sudah menggandeng banyak mitra untuk pembayaran, berdampak pada pemilihan opsi COD yang mulai mengecil. Akan tetapi secara persentase masih menempati posisi dua besar setelah bank transfer. Kami akan terus perbanyak opsi pembayaran, agar konsumen semakin nyaman saat berbelanja online,” pungkas Granziol.

Alibaba Jembatani Pematangan Ekosistem E-Commerce Indonesia Melalui Investasi di Tokopedia dan Lazada

Kucuran investasi yang diberikan Alibaba untuk Lazada dan Tokopedia menjadi kiprah awal perusahaan e-commerce nomor satu di Tiongkok memulai kiprahnya di Indonesia. Strategi Alibaba bukan mendirikan Alibaba baru di Indonesia, melainkan membangun ekosistem e-commerce yang menyeluruh dengan bantuan pemain lokal yang sudah masuk sebagai portofolio perusahaan.

“Pendekatannya lebih ke arah membangun ekosistem e-commerce yang menyeluruh di Indonesia, bagaimana pedagang UKM bisa saling terikat dengan pembeli dari negara lain. Kita tidak mau buat Alibaba baru di sini, untuk itu kita butuh pemain lokal yang paham dengan kondisi dan bisa memberikan solusi yang tepat,” terang Vice President Alibaba Group Brian Wong, Selasa, (5/12).

Menurut Brian, pertimbangan ini dilakukan salah satunya dikarenakan kondisi pasar Indonesia yang cukup unik dan tidak ada di negara lainnya, yaitu sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau. Isu logistik jadi tantangan utama yang perlu diselesaikan.

Di samping itu, isu pembayaran dan akses masyarakat untuk berbelanja di mall jadi tantangan yang harus diselesaikan. Menurutnya, hanya masyarakat yang tinggal di perkotaan memiliki akses ke tempat belanja dan sudah bisa menikmati pembayaran yang aman. Beda halnya dengan masyarakat di kota kecil.

Oleh karena itu, menurut Brian, isu-isu tersebut sebenarnya bisa diselesaikan lewat pemanfaatan teknologi digital. Juga dibutuhkan pemain lokal yang paham dengan kondisi di lapangan sehingga bisa memberikan solusi terbaik.

Upaya Alibaba membangun ekosistem e-commerce yang menyeluruh diharapkan dapat menjembatani para pelaku UKM untuk bergeser dari ekonomi tradisional menuju ekonomi digital.

“Pendekatannya sama dengan apa yang kami lakukan di Tiongkok. Bagaimana menggunakan teknologi untuk menghubungkan 660 juta masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dapat merasakan manfaat dari layanan e-commerce.”

Tak hanya Lazada dan Tokopedia, Alibaba juga memiliki portofolio bisnis lainnya di Indonesia, termasuk Taobao, Tmall Global, Alibaba.com, Fliggy, dan UC Web.

Salah satu kolaborasi yang sudah dilakukan Alibaba adalah menampilkan kanal khusus produk Taobao di dalam platform Lazada Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Taobao menyediakan produk fesyen, elektronik, aksesoris, peralatan olahraga, hingga home and living.

Gelar Global Course

Portofolio Alibaba di Indonesia / DailySocial
Portofolio Alibaba di Indonesia / DailySocial

Salah satu langkah nyata Alibaba dalam membentuk ekosistem adalah mengadakan Alibaba Global Course untuk pelaku UKM. Seminar singkat ini menghadirkan jajaran pembicara terbaik dari industri e-commerce dalam negeri. Mereka di antaranya adalah Co-Founder Tokopedia Leontinus Alpha Edison yang berbagi wawasan mengenai cara UKM dapat meningkatkan pengalaman belanja konsumen melalui teknologi digital dan mengembangkan bisnis mereka.

Selain itu, CMO Lazada Indonesia Achmad Alkatiri menyampaikan rahasia kesuksesan penjual yang telah mampu memanfaatkan platform Lazada untuk meningkatkan bisnis mereka. Pembicara lainnya dari UCWeb, Alibaba.com, dan Taobao University mempresentasikan beragam topik, mulai dari tren terbaru memperkenalkan merek dan konten pemasaran, menciptakan lini produk dan strategi penetapan harga, hingga tips membangun kepercayaan dengan pembeli B2B dari seluruh dunia.

Sebelum sesi Indonesia. Alibaba Global Course telaj memberikan wawasan tentang tren e-commerce dan strategi global Alibaba ke pengusaha di Thailand, Malaysia, Australia, dan Jerman.

Pemanfaatan Data Masif Alibaba Saat Pesta Belanja 11.11 Seharusnya Jadi Acuan Bagaimana Pesta Belanja Dilakukan

Ya, Alibaba memang mencatat rekor penjualan $25,3 miliar (lebih dari 340 triliun Rupiah) yang dibukukan saat Pesta Belanja 11.11 tahun ini. Meskipun demikian, tidak cuma angka penjualan yang dilaporkan raksasa e-commerce Tiongkok ini saat pesta belanja global tahun ini. Data-data pembeli menjadi “tambang emas” yang seharusnya diikuti sebagai basis pelaksanaan pesta belanja, khususnya yang berlangsung secara online, di tanah air.

DailySocial dan sejumlah rekan media mendapat kesempatan secara langsung memantau jalannya pesta belanja 11.11 Alibaba yang tahun ini dipusatkan di Shanghai, Tiongkok. Ketika countdown dilakukan, yang menjadi awal berlangsungnya kegiatan 11.11, Alibaba langsung menunjukkan data penjualan secara real time. Setelah angka penjualan 10 miliar Yuan ($1,5 miliar atau 20 triliun Rupiah) tercapai dalam waktu 3 menit, dengan 93% transaksi terjadi melalui perangkat mobile, layar lalu beralih ke data yang lebih dalam.

Alibaba kemudian menampilkan dua jenis data besar. Yang pertama adalah data penjualan secara global, yang kedua adalah data penjualan secara nasional. Keduanya diperbarui secara real time.

Di layar pertama, data penjualan global menampilkan negara-negara mana yang termasuk Top 5 berkontribusi di ajang ini dan barang-barang apa saja yang menjadi Top Seller.

Di layar kedua, datanya lebih intensif. Alibaba bisa men-track per kota dan per provinsi, hingga ke desa-desa, tentang pola konsumsi nasional. Alibaba menamai daerah-daerah ekonomi baru ini sebagai New Rural Economy. Peningkatan pendapatan per kapita Tiongkok yang bertambah 10 kali lipat dalam 17 tahun mendorong pola konsumsi yang makin menyebar dan tidak hanya terpusat di kota-kota besar. Shanghai, Beijing, Hangzhou, Guangzhou, dan Shenzhen memang masih mendominasi, tapi provinsi-provinsi lain telah menggeliat dan pola konsumsinya sangat terlihat di pesta belanja seperti ini.

Kepada DailySocial, pihak Alibaba menyebutkan, “Alibaba telah menyiapkan sistem OneData yang menjadi basis data utuk pengembangan teknologi data kami, termasuk data mining, yang telah membantu mendapatkan data secara real time. Dengan peluncuran OneID, yang dapat diakses konsumen melalui platform-platform ekosistem Alibaba, seperti Taobao, Alipay, dan Youku yang menggunakan single login, analisis data yang komprehensif dapat dilakukan secara cepat, yang mendorong ketersediaan insight konsumen yang sangat berharga.”

Pemanfaatan data serupa di Indonesia

Pesta belanja di Indonesia juga berlangsung di periode 11.11 dan 12.12. Sebelumnya pesta belanja seperti ini ditujukan untuk menggairahkan pola konsumsi online yang memang masih sangat kecil persentasenya di Indonesia. Meskipun demikian, data penjualan di pesta belanja tersebut bisa mulai menjadi indikator pola konsumsi masyarakat dan kehadiran kantong-kantong ekonomi baru.

Tentu saja, yang paling harga di sini adalah data-data konsumen. Zaman dulu, ketika semua transaksi dilakukan secara offline, tidak mudah untuk mengetahui pola konsumsi, barang-barang apa yang sering dibeli oleh masyarakat di area tertentu, dan bagaimana seharusnya inventori dioptimalkan. Kini data tersebut bisa diperoleh dengan lebih mudah dan membantu layanan digital menciptakan pengalaman belanja yang lebih baik.

Pihak Alibaba menyebutkan, “Dengan menganalisis data [yang diperoleh di kegiatan 11.11], kami dapat memperoleh insight konsumen dan pada akhirnya bisa melayani konsumen dengan lebih baik. Contohnya, melalui analisis data, kami bisa mengidentifikasi barang yang sering dibeli oleh masyarakat di area tertentu. Sebagai hasilnya, kami bisa menyiapkan barang tersebut terlebih dahulu melalui sistem logistik dan pergudangan pintar kami, sehingga konsumen yang membeli barang tersebut melalui platform e-commerce kami bisa mendapatkan barang secara lebih cepat karena berasal dari gudang yang terdekat.”

Lebih lanjut, data tersebut juga bisa digunakan untuk merekomendasikan barang-barang secara lebih akurat.

“Alibaba telah mengembangkan sistem, disebut Tmall Smart Choice, untuk membantu penjual mengidentifikasi produk yang memiliki potensi menjadi barang-barang yang laku dijual (best-selling). Sistem ini menggunakan permodelan yang memanfaatkan faktor seperti kebutuhan dan daya beli konsumen, kredibilitas dan reputasi layanan penjual, review dan rating produk, jangkauan harga, dan musim [tren], sehingga bisa memprediksikan barang mana yang bakal populer di antara konsumen yang ditargetkan,” tutup pihak Alibaba.

Alibaba’s “New Retail” Concept Becomes Leading Innovation, Trying To Change “11.11 Shopping Party” Paradigm

Contrary to the previous years that focused on record-breaking Gross Merchandise Value (GMV), the giant e-commerce Alibaba has a different approach to measuring the success of the world’s largest 24-hour 11.11 shopping show in 2017. This can be a guidance for local e-commerce activists who have managed the country’s shopping party theme for 11.11 and 12.12.

DailySocial with several other media outlets get a chance to experience the euphoria of Alibaba’s 11.11 this year directly in Shanghai, China. Tmall, the B2C marketplace platform, became Alibaba’s leading platform for shopping party. It was mentioned this year that there are 140 thousand participated brands. Total GMV recorded by Alibaba last year has reached $17.8 billion a day (more than 240 trillion rupiah).

In front of the media, Alibaba Co-Founder and Vice Chairman Joe Tsai revealed, discount is just a method [to increase sales]. Nevertheless, he revealed Alibaba focus for this year’s 11.11 is also about innovative ideas and entertainment elements. Innovative ideas include the use of the “New Retail” scheme that became the company’s new feature.

Tsai continued, GMV is no longer the only important metric at this 11.11 party. In his opinion, another important number is how many people following this 24 hour event, how many orders can be sent, and how many transactions can be handled per second. The last factor is to show the robustness of Alibaba’s system.

Defining “New Retail”

In China, the comparison between offline and online retail schemes is 82% and 18%. The 18% rate is certainly bigger compared to the penetration of e-commerce sectors in other countries, but Alibaba sees far greater potential by combining offline retail, technology, and infrastructure.

Hema, which literally means hippo in Chinese, is the future offline retail prototype to become the embodiment of Alibaba’s vision for the past 2 years.

Hema Supermarket in Shanghai, China / DailySocial
Hema Supermarket in Shanghai, China / DailySocial

Judging by its cover, Hema looks like an ordinary supermarket. Different new experiences will be felt by entering. Using the Hema app, we can feel how online and offline habits combined.

Consumers can buy goods directly, then paid independently using Alipay, or they prefer the goods to be delivered by courier to their house. The last method is similar to the several ones applied in Indonesia by HappyFresh and Honestbee.

No delivery fee required, no minimum value for each transaction, and maximum radius reached is 3 km. The goods claimed to be able to deliver within 30 minutes.

Alibaba representative said, Hema was developed not to compete with existing brick and mortar businesses. Hema is mentioned to be the prototype of how the offline retail industry is combined with infrastructure and technology. This concept is expected to be adopted by the partners in order to create a better omnichannel experience.

In creating Hema, Alibaba “cuts” the middle man so that the value of the offered goods is claimed to be 10% cheaper than the traditional market.

How to pay in Hema independent cashier / DailySocial
How to pay in Hema independent cashier / DailySocial

The payment method is interesting. Using standalone cash register, there are 2 types of payment methods after scanning the barcode. The first is using QR code which will be paid later using mobile payment platform Alipay. This is the most common payment method.

The second is using face recognition technology. This method can only be used by Chinese citizens. By entering a phone number, data population in Alibaba database will check the buyer’s validity using face recognition technology. The data then will be linked to Alipay account.

Beside Hema, in several pop up stores Alibaba provides showcase on how technology can improve the experience of people shopping online.

The magic mirror concept, which implements augmented reality concept, helps consumers to stick the lippen without having to use them directly. There is also vending machine that has a touch screen menu to shop online.

RFID tech is used to make cashier scanning much easier / DailySocial
RFID tech is used to make cashier scanning much easier / DailySocial

The last is RFID technology utilization which will display the online catalog of the product if applied to a barcode. The same technology will also be developed so that the items placed on a readable RFID surface will be read automatically in the checkout POS without having to manually check the goods barcode.

In Joe’s opinion, currently there is no difference between the purchase online and offline. Sometimes people browse the goods online, then buy offline, or vice versa. The concept of omnichannel experience like this should be the future of the retail industry.


The original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Konsep “New Retail” Alibaba Jadi Inovasi Unggulan yang Mencoba Ubah Paradigma Pesta Belanja 11.11

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang fokus di pemecahan rekor Gross Merchandise Value (GMV), raksasa e-commerce Alibaba tahun 2017 ini memiliki pendekatan berbeda untuk mengukur keberhasilan pagelaran pesta belanja 24 jam terbesar di dunia 11.11. Hal ini bisa menjadi panduan penggiat e-commerce lokal yang sudah membudayakan tema pesta belanja di tanah air untuk 11.11 dan 12.12.

DailySocial dan sejumlah rekan media mendapatkan kesempatan langsung ikut merasakan euforia 11.11 Alibaba yang tahun ini dipusatkan di Shanghai, Tiongkok. Tmall, platform marketplace B2C, menjadi platform unggulan Alibaba menggelar pesta belanja dengan harapan mendorong tingkat konsumsi masyarakat sekaligus memperkenalkan sejumlah brand yang menjadi mitranya. Disebutkan tahun ini ada 140 ribu brand yang turut berpartisipasi. Tahun lalu total GMV yang dibukukan Alibaba dalam sehari mencapai $17,8 miliar (lebih dari 240 triliun Rupiah).

Kepada media, Co-Founder dan Vice Chairman Alibaba Joe Tsai mengungkapkan, diskon adalah sebuah cara [untuk meningkatkan penjualan]. Meskipun demikian, ia mengungkapkan tahun ini fokus Alibaba untuk 11.11 juga soal ide inovatif dan unsur hiburan. Ide inovatif di sini termasuk pemanfaatan skema “New Retail” yang menjadi unggulan perusahaannya.

Joe melanjutkan, GMV tidak lagi menjadi satu-satunya metrik yang menjadi acuan di pesta 11.11 kali ini. Menurutnya, angka penting lain yang menjadi perhatian adalah berapa jumlah orang yang mengikuti acara 24 jam ini, berapa jumlah pesanan yang bisa dikirim, dan berapa jumlah transaksi yang bisa di-handle setiap detiknya. Faktor terakhir untuk menunjukkan robustness sistem yang dimiliki Alibaba.

Mendefinisikan “New Retail”

Di Tiongkok disebutkan saat ini perbandingan antara skema ritel offline dan online adalah 82% dan 18%. Angka 18% tentu saja besar jika dibandingkan dibanding penetrasi sektor e-commerce di negara-negara lain, tetapi Alibaba melihat potensi yang jauh besar dengan mengombinasikan ritel offline, teknologi, dan infrastruktur.

Hema, yang dalam bahasa Mandarin artinya kuda nil, adalah prototipe ritel offline masa depan yang menjadi pengejawantahan visi Alibaba dalam 2 tahun terakhir.

Supermarket Hema di Shanghai, Tiongkok / DailySocial
Supermarket Hema di Shanghai, Tiongkok / DailySocial

Dari luar Hema tampak seperti pasar swalayan biasa. Pengalaman berbeda baru terasa ketika kita berada di dalamnya. Menggunakan aplikasi Hema, kita bisa merasakan bagaimana kebiasaan offline dan online digabungkan.

Konsumen bisa membeli barang secara langsung, kemudian dibayar secara mandiri menggunakan Alipay, atau memilih barang-barang tersebut dikirimkan menggunakan kurir ke rumah. Yang terakhir ini mirip dengan apa yang sudah diterapkan di Indonesia oleh HappyFresh dan Honestbee.

Disebutkan tidak biaya pengantaran, tidak ada nilai minimum untuk setiap transaksi, dan maksimal radius yang dijangkau adalah 3 km. Diklaim barang bisa dikirim dalam waktu 30 menit.

Perwakilan Alibaba mengemukakan, Hema dikembangkan tidak untuk menyaingi bisnis brick and mortar yang sudah ada. Hema disebutkan menjadi prototipe bagaimana industri ritel offline dikombinasikan dengan infrastruktur dan teknologi. Harapannya konsep ini akan diadopsi para mitra demi menciptakan pengalaman omnichannel yang lebih baik.

Dalam menciptakan Hema, Alibaba “memotong” middle man sehingga nilai barang-barang yang ditawarkan diklaim 10% lebih murah ketimbang pasar tradisional.

Cara membayar di kasir mandiri Hema / DailySocial
Cara membayar di kasir mandiri Hema / DailySocial

Cara pembayarannya pun menarik. Menggunakan kasir mandiri, setelah memindai barcode barang-barang yang diinginkan, ada 2 jenis metode pembayaran. Yang pertama adalah menggunakan QR code yang kemudian dibayar menggunakan platform mobile payment Alipay. Ini cara pembayaran paling umum.

Yang kedua adalah menggunakan teknologi /face recognition/. Metode ini hanya bisa dipakai warga negara Tiongkok. Dengan memasukkan nomor telepon, basisdata Alibaba yang menyimpan data penduduk akan mengecek validitas pembeli menggunakan teknologi pengenalan wajah . Dari situ data dihubungkan dengan akun Alipay.

Selain Hema, di sejumlah pop up store Alibaba memberikan showcase bagaimana teknologi bisa meningkatkan pengalaman orang berbelanja secara online.

Konsep magic mirror, yang mengimplementasikan konsep augmented reality, membantu konsumen mematut diri dengan lipstik tanpa harus menggunakannya secara langsung. Ada pula vending machine yang memiliki menu layar sentuh untuk berbelanja online.

Pemanfaatan teknologi RFID untuk mempermudah pemindaian barang di kasir / DailySocial
Pemanfaatan teknologi RFID untuk mempermudah pemindaian barang di kasir / DailySocial

Yang terakhir adalah pemanfaatan teknologi RFID yang jika diaplikasikan ke barcode sebuah baju akan menampilkan katalog online produk tersebut. Teknologi yang sama juga dikembangkan sehingga barang yang ditaruh di sebuah permukaan yang bisa membaca RFID akan terbaca secara otomatis di POS kasir tanpa perlu secara manual mengecek barcode barang.

Menurut Joe, saat ini bisa dibilang sudah tidak ada perbedaan antara pembelian secara online maupun offline. Kadang orang melakukan browsing barang secara online, kemudian membeli secara offline, atau sebaliknya. Konsep pengalaman omnichannel seperti ini seharusnya menjadi masa depan industri ritel.