Anak Perusahaan Alphabet Ciptakan Smartwatch Khusus untuk Penelitian di Bidang Kesehatan

Saat konsep smartwatch pertama kali diwacanakan, mungkin yang tebersit di pikiran kita adalah semacam alat komunikasi seperti yang kita jumpai dalam Star Trek maupun film bertema sci-fi lainnya. Namun seiring perkembangannya, industri beserta konsumen sama-sama setuju kalau smartwatch dan perangkat wearable lainnya punya peranan besar di bidang kesehatan.

Heart-rate monitor sekarang sudah termasuk fitur standar pada smartwatch, begitu juga dengan kemampuan untuk mengukur VO2max pada sejumlah perangkat. Singkat cerita, smartwatch dan activity tracker sangat bermanfaat dalam memonitor kesehatan, dan tentunya mereka juga bisa dijadikan alat bantu dalam studi kesehatan.

Kira-kira seperti itu pendekatan yang diambil Verily. Anak perusahaan Alphabet Inc. yang berfokus di bidang sains dan kesehatan ini baru saja memperkenalkan sebuah smartwatch yang ditujukan untuk membantu para peneliti di bidang kesehatan.

Dijuluki Study Watch, perangkat sepintas kelihatan seperti jam tangan biasa, dengan layar mirip seperti milik Pebble yang selalu menyala. Verily telah membenamkan sederet sensor fisiologis dan environmental guna mengukur sinyal-sinyal yang relevan dalam studi di bidang kardiovaskular, kelainan pergerakan dan lain sebagainya.

Sensor-sensor yang dimaksud meliputi electrocardiogram (ECG), aktivitas elektrodermal, pergerakan inersial, dan tentu saja heart-rate monitor. Data yang dikumpulkan disimpan dan dienkripsi dalam perangkat, lalu diproses oleh jaringan cloud.

Verily mengklaim pengguna Study Watch tidak perlu direpotkan dengan rutinitas sinkronisasi karena perangkat sudah dilengkapi dengan storage internal yang sanggup menyimpan data yang dikumpulkan selama seminggu penuh, sesuai dengan estimasi daya tahan baterainya. Hal ini penting guna mendorong pengguna untuk terus mengenakan perangkat, sehingga pada akhirnya pengumpulan data bisa maksimal.

Sebagai perangkat yang murni ditujukan untuk kebutuhan penelitian, Study Watch sama sekali tidak mengemas fitur notifikasi atau semacamnya. Verily pun juga tidak berniat memasarkan perangkat ini ke konsumen, akan tetapi setidaknya kita bisa melihat ke mana arah perkembangan industri perangkat wearable nantinya.

Sumber: The Verge dan Verily.

Google Dirikan Waymo, Perusahaan Baru yang Bergerak di Bidang Pengembangan Teknologi Kemudi Otomatis

Apa kabar Google Self-Driving Car? Well, Anda bisa melupakan nama tersebut – sekaligus mobil imut berwajah koala yang mereka buat – sebab Google telah mengubahnya menjadi Waymo. Waymo bukan lagi bagian dari Google X, melainkan sebuah perusahaan yang beroperasi secara mandiri di bawah payung Alphabet Inc.

Dengan Waymo, Google juga memastikan bahwa mereka tidak akan memproduksi mobil tanpa sopirnya sendiri. CEO Waymo, John Krafcik yang sebelumnya direkrut dari Hyundai, menegaskan bahwa perusahaan yang dipimpinnya sekarang bukanlah produsen mobil, melainkan yang bergerak di bidang pengembangan teknologi kemudi otomatis.

Namun hasil jerih payah tim Google Self-Driving Car Project sejak tahun 2009 tidak akan disia-siakan begitu saja. Nyatanya, Waymo lahir atas rasa percaya diri tim Google Self-Driving Car yang telah berhasil melakukan uji coba di jalanan publik pada tanggal 20 Oktober 2015 bersama seorang penumpang tuna netra, tanpa didampingi orang lain.

Apa yang dilihat prototipe mobil tanpa sopir Waymo saat berada di jalanan / Waymo
Apa yang dilihat prototipe mobil tanpa sopir Waymo saat berada di jalanan / Waymo

Waymo yakin sudah saatnya mereka mengembangkan inovasi yang mereka kerjakan selama ini menjadi sebuah bisnis yang menguntungkan. Sejumlah segmen yang mereka incar meliputi ride-sharing, logistik maupun transportasi umum. Rencana kerja sama dengan perusahaan otomotif juga sudah ada, dimana nantinya Waymo akan melisensikan teknologi kemudi otomatisnya pada pabrikan yang tertarik.

Prototipe mobil berwajah koala yang sebelumnya dibuat kini diperlakukan sebagai ajang demonstrasi teknologi kemudi otomatis oleh Waymo. Perpaduan sensor dan software memastikan teknologinya bisa membawa penumpang dari titik A ke B tanpa perlu ada lingkar kemudi maupun pedal gas sama sekali.

Sejauh ini mitra Waymo yang telah dikonfirmasi adalah Fiat Chrysler, dimana Waymo sedang dalam proses mengintegrasikan teknologi kemudi otomatisnya ke minivan Chrysler Pacifica untuk diuji di jalanan. Model bisnis seperti ini menempatkan Waymo sebagai pesaing langsung Uber yang juga tengah sibuk mengembangkan teknologi kemudi otomatis dan menawarkannya ke pabrikan-pabrikan mobil.

Sumber: TechCrunch dan Waymo.

Tiga Hal yang Bisa Dipelajari dari Pokemon Go Mengenai Startup Internal

Pokemon Go kini menjadi game yang digandrungi oleh banyak kalangan di seluruh dunia dan memberikan banyak hal yang bisa dipetik lewat keberadaannya. Salah satunya terkait dengan perusahaan pengembangnya yang pada musim gugur tahun lalu masih menjadi bagian dari keluarga Google, yakni Niantic Labs.

Lewat Niantic Labs, setidaknya ada tiga hal yang bisa kita pelajari mengenai startup internal yang dikembangkan oleh perusahaan besar.

1. Niantic Labs, yang dikembangkan sebagai startup internal, terbukti bisa sukses hidup mandiri dan lepas dari label anak perusahaan Google. Padahal, tidak lama sebelum lepas, Google telah bertransformasi mendirikan induk perusahaan baru bernama Alphabet untuk menaungi seluruh anak usaha Google.

Perlu diketahui, saat startup dikembangakan secara internal dan menjadi bagian dari korporasi, ada stigma negatif yang kerap muncul di jagat maya yang berkaitan dengan sulitnya mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) untuk suatu hasil karya yang telah diciptakan. Pasalnya, kebanyakan startup internal berakhir di pertempuran demi mendapatkan HKI. Namun, Niantic Labs telah membuktikan bahwa memperjuangkan HKI itu masih bisa didapatkan.

2. Niantic Labs berhasil membuktikan bahwa mereka masih bisa meningkatkan sumber pendanaannya di luar eks-induk perusahaan. Pasca berpisah, perusahaan tersebut justru berhasil menggalang kepercayaan dari investor baru untuk menanamkan uangnya seperti dari The Pokemon Company dan Nintendo.

[Baca juga: Tahukah Bahwa Pokemon Go Bagus untuk Pemasaran Bisnis Anda?]

Padahal seringkali muncul stigma negatif dalam pandangan investor baru terkait konflik kepentingan laten yang terjadi di eks-induk startup tersebut berasal. Tapi, Niantic Labs berhasil menyelesaikan isu tersebut dengan baik.Flickr

3. Startup internal bisa meluncurkan Minimum Viable Product (MVP) ketika masih menjadi bagian dari perusahaan. Pada 1 April 2014 silam, Google membuat sebuah game untuk merayakan April Mop yang mengizinkan penggunanya mencari pokemon dari Google Map.

Niantic Labs adalah developer di balik game tersebut. Dengan adopsi yang cepat dan memanfaatkan momentum penggunaan lelucon, dikombinasikan dengan pembelajaran dari integrasi sistem dengan permainan adalah pencerahan untuk Pokemon Go hari ini.

Biasanya perusahaan besar sering tidak ingin mengambil risiko merusak merek untuk merilis MVP, bahkan jika pembelajaran yang bisa diperoleh sangat besar. Mereka lebih suka bermain aman dan tidak mengambil risiko pers buruk. Tapi, Google membahas hal ini dengan meluncurkan produk sebagai lelucon April Mop dan menangkap analisis dalam penelitian ini.

Lewat kehadiran Ingress dan Pokemon Go, Niantic Labs sudah membuktikan bahwa sebuah perusahaan startup internal dapat mendulang kesuksesan berulang kali. Mereka berhasil menyelesaikan isu HKI, membesarkan perusahaan sembari menciptakan game berkonsep Augmented Reality (AR), dimana semua orang pasti akan berburu mencontohnya.

Google Dikabarkan Berniat Menjual Boston Dynamics ke Toyota atau Amazon

Sungguh malang nasib Boston Dynamics. Belum genap tiga tahun perusahaan pembuat robot ini diakuisisi oleh Google, sekarang Google dikabarkan berniat menjualnya ke perusahaan lain.

Menurut laporan Bloomberg, keputusan ini didasari oleh fakta bahwa Boston Dynamics belum bisa menghasilkan pendapatan dari robot-robot yang diciptakannya. Hal ini bertentangan dengan visi Alphabet Inc. selaku perusahaan induk, dimana diharapkan startupstartup kecil yang beroperasi di bawahnya bisa berkembang secara mandiri nantinya.

Meski sudah memiliki prototipe robot dalam berbagai jenis, sampai saat ini memang belum ada kepastian terkait kapan Boston Dynamics bisa menjualnya secara luas. Kalaupun sudah siap, kemungkinan besar harga robot-robotnya akan sangat mahal sekali dan tidak banyak konsumen yang sanggup meminangnya.

Alasan lain yang mendasari laporan ini adalah fakta dimana Boston Dynamics merupakan satu-satunya divisi robotik yang tidak ikut dilebur dengan Google X. Berdasarkan memo internal yang didapat Bloomberg, dikatakan bahwa mereka tidak sanggup mengucurkan 30 persen dana dari anggaran yang tersedia untuk suatu proyek – yaitu robot-robot rancangan Boston Dynamics – yang butuh waktu sepuluh tahun sebelum bisa terealisasi.

Lebih parah lagi, tim Google X bahkan dilaporkan berusaha menjauhkan dirinya sejauh mungkin dari Boston Dynamics karena mereka tidak ingin publik mencitrakan Google X sebagai perusahaan pembuat robot yang terlihat mengerikan dan dinilai berpotensi mengambil alih lapangan pekerjaan manusia.

Terkait bagaimana nasib Boston Dynamics selanjutnya, sejauh ini sudah ada dua perusahaan yang dikabarkan tertarik membelinya dari Google, yaitu Toyota dan Amazon. Bagi Toyota, Boston Dynamics nantinya bisa menjadi aset pelengkap divisi risetnya yang juga berfokus pada pengembangan robot.

Di sisi lain, Amazon bisa mengambil banyak manfaat dari akuisisi ini. Contoh yang paling mudah, Amazon bisa memperkerjakan robot-robot buatan Boston Dynamics di area pergudangan mereka yang begitu luas, seperti salah satunya robot Atlas yang bisa Anda simak aksinya di bawah ini.

Sumber: Bloomberg via TheNextWeb.

Google Sedang Garap Headset VR yang Lebih Canggih dari Cardboard?

Cardboard mendapatkan banyak pujian karena ia memberikan kesempatan bagi jutaan orang untuk mencicipi virtual reality. Belum lama, Google mengabarkan bahwa ada lebih dari lima juta Cardboard telah ‘dikapalkan’, didukung oleh 1.000 lebih aplikasi yang kompatibel ke headset. Namun jangan dikira sang perusahaan internet raksasa itu berhenti bereksplorasi di ranah VR.

Dilaporkan oleh Wall Street Journal berdasarkan bocoran dari sumber terpercaya, Alphabet Inc. sedang mengembangkan headset virtual realityall-in-one‘ unik yang tidak memerlukan smartphone, komputer atau console game supaya bisa bekerja. Perangkat tersebut merupakan bukti terbaru mengenai meningkatnya ketertarikan Google di bidang VR, dan berpotensi membawa mereka berkompetisi langsung dengan Facebook serta HTC.

Meskipun Oculus Rift dan HTC Vive dijadwalkan untuk tersedia di tahun ini, harga produk serta tingginya spesifikasi sistem hardware pendukung menghambat proses adopsi head-mounted display tersebut oleh konsumen umum. Headset VR berbasis smartphone memang bisa menjadi alternatif, tetapi rendahnya performa dapat menyembabkan kendala seperti pusing dan mual. Di sinilah Google melihat peluang besar.

Google mencoba mengisi celah di antara Rift serta Cardboard, dan meramu produk ‘mid-range‘: menyuguhkan pengalaman virtual reality berkualitas tanpa bersandar pada platform lain. Narasumber menyampaikan, device tersebut mempunyai tubuh plastik, dibekali sebuah layar, unit prosesor bertenaga dan kamera eksternal. Pertanyaannya; dari fungsi gaming, hiburan multimedia, dan edukasi, kira-kira pendekatan apa yang diusung Google?

Produsen memiliki rencana untuk menggunakan chip besutan startup Movidius. Salah satu fiturnya adalah pemanfaatan kamera buat melacak gerakan kepala pengguna. Metode ini berbeda dari Rift, yang harus tersambung ke PC, dan memerlukan kamera terpisal. Dalam pernyataan tertulis, Movidius mengaku mereka pernah bekerja sama dengan berbagai perusahaan virtual maupun augmented reality, namun menolak memberikan informasi terkait berita ini.

Belum ada kejelasan tentang kapan Google akan mengenalkan atau meluncurkan headset VR anyar itu. Satu informan bilang, device segera diungkap tahun ini; sedangkan dua narasumber menyatakan bahwa perangkat masih berada di tahap awal pengembangan dan Google bisa saja memutuskan untuk tidak mengumumkannya sama sekali.

Di bulan lalu, Alphabet menunjuk Clay Bavor sebagai kepala pengembangan virtual reality, dan ia sempat bilang akan menyingkap kabar terbaru di tahun ini.

Via Maximum PC.

Google Rilis Tool untuk Mengatur Apa Saja Info Pribadi yang Ditampilkan di Berbagai Layanannya

Sudah bukan rahasia kalau Google menyimpan cukup banyak data-data pribadi demi memberikan pengalaman yang lebih baik di sederet produknya. Di saat yang sama, Google juga berupaya semaksimal mungkin untuk melindungi privasi kita dari pengguna lain. Cara yang terbaru adalah melalui tool bernama About Me.

Saat Anda membuka situs tersebut, Anda akan langsung diminta untuk masuk menggunakan akun Google milik Anda. Selanjutnya, akan ditampilkan rincian informasi yang bisa dilihat lewat berbagai layanan milik Google seperti Gmail, YouTube, Google+, dan sebagainya.

Kalau Anda merasa informasi yang ditampilkan terlalu banyak dan terlampau lengkap, Anda bisa segera menggantinya atau bahkan menghapusnya. Namun tidak semua detail bisa dihapus, dua yang tetap harus ada adalah nama dan tanggal lahir – meski Anda masih bisa menghapus tahunnya.

About Me juga mempersilakan Anda untuk mengatur siapa saja yang bisa melihat informasi apa saja. Misalnya, untuk profil Twitter, saya ingin publik bisa mengetahuinya, sedangkan tanggal lahir cukup diketahui oleh saya dan Google saja. Kemudian informasi lokasi beserta jenis kelamin saya dapat dilihat oleh mereka yang termasuk rekanan di Google+.

Tentu saja, supaya tidak banyak SMS “mama minta pulsa” yang berdatangan, info nomor ponsel pun saya hapus. Semisal ada info lain yang perlu ditambahkan, Anda tinggal menekan tombol merah berlambang “plus” di bagian kanan bawah.

Ke depannya, About Me juga akan menyediakan fitur untuk melihat bagaimana nantinya semua informasi ini ditampilkan di hadapan publik. Untuk sekarang, Anda bisa mencobanya langsung di aboutme.google.com.

Sumber: VentureBeat.

Google Ajari Mobil Tanpa Sopir-nya Berhati-Hati di Sekitar Anak Kecil

Event Halloween beberapa hari yang lalu rupanya dimanfaatkan oleh Google untuk mengajari mobil tanpa sopir-nya suatu pelajaran yang cukup unik. Bukan, Google bukannya mengajari mobil berwajah seperti koala itu untuk mengenali mana setan yang asli dan mana yang jadi-jadian, melainkan bagaimana seharusnya ia bersikap ketika berada di sekitar anak-anak. Continue reading Google Ajari Mobil Tanpa Sopir-nya Berhati-Hati di Sekitar Anak Kecil

Aplikasi Who’s Down dari Google Bantu Anda Janjian Nongkrong dengan Cepat

Janjian nongkrong di satu tempat adalah kebiasaan umum yang dilakukan masyarakat Indonesia. Caranya pun bermacam-macam, tapi yang paling umum adalah lewat sebuah grup di aplikasi instant messaging. Continue reading Aplikasi Who’s Down dari Google Bantu Anda Janjian Nongkrong dengan Cepat

Google Play Music Akan Hadirkan Siaran Podcast Terkurasi

Tema terkini yang diangkat layanan-layanan streaming musik adalah konten terkurasi. Apple Music misalnya, mengandalkan konten terkurasi berdasarkan selera para music editor yang mereka rekrut, bukan berdasarkan algoritma rancangan seorang programmer. Terlepas dari itu, intinya kalau mau bersaing di kompetisi ini, jangan anggap remeh soal kurasi. Continue reading Google Play Music Akan Hadirkan Siaran Podcast Terkurasi

YouTube Red Tawarkan Video Tanpa Iklan Seharga $10 Per Bulan

Sepanjang kiprahnya, YouTube tidak pernah menarik biaya sepeserpun kepada para penonton. Mereka mengandalkan pemasukan dari para pengiklan, sama seperti yang dilakukan Google sebagai perusahaan induknya. Dari iklan-iklan tersebut, sebagian besar memang bisa di-skip setelah beberapa saat, tapi ada juga yang harus diputar hingga selesai. Continue reading YouTube Red Tawarkan Video Tanpa Iklan Seharga $10 Per Bulan