11 Tren yang Akan Membentuk E-commerce Asia Tenggara di 2017

Di saat presiden-terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, sedang bekerja keras untuk menghentikan Cina untuk menjadi kekuatan adidaya dunia, Cina belum memperlambat hegemoni digital-nya di Asia Tenggara (saat berbicara Cina tentu saja itu berarti Alibaba). Setelah menobatkan Asia Tenggara di posisi puncak masa keemasan ecommerce dalam edisi tren 2015 kami, Jack Ma dan timnya memasuki kawasan ini hanya empat bulan setelahnya dan membeli Lazada, perusahaan ecommerce terkemuka di Asia Tenggara, dengan nilai $1 miliar.

Kesepakatan Lazada-Alibaba yang merupakan akuisisi luar negeri terbesar Alibaba hingga saat ini adalah sebuah peristiwa penting bagi Asia Tenggara yang implikasinya menjangkau seluruh rantai nilai commerce mulai dari periklanan digital, logistik, keuangan, asuransi, bahkan pelayanan kesehatan.

Kilas balik ke tahun 2016

Bahkan tanpa akuisisi Lazada, tahun ini tetap terbukti penting untuk ecommerce di kawasan ini: industri fast-fashion mengalami penurunan dan bahkan perusahaan fashion Zalora milik Rocket Internet berakhir dengan pembelian murah oleh konglomerat ritel Thailand, Central Group.

Masalah yang dialami Singpost masih berlanjut. Setelah kehilangan Group CEO Wolfgang Baier secara mendadak di tahun 2015, perusahaan ini juga kehilangan COO, CFO dan komisaris grup yang mengundurkan diri di tengah-tengah skandal kepemimpinan perusahaan. Hal ini mendorong kembali kesepakatan perusahaan ini dengan Alibaba untuk ketiga kalinya dan tidak mencapai kesepakatan hingga bulan Oktober.

Di seluruh kawasan, ecommerce B2C beraset besar mengalami penderitaan. RedMart asal Singapura diakuisisi oleh Lazada setelah tidak bisa lagi mengalirkan uang dan iTruemart milik Ascend Group tutup di Filipina hanya beberapa bulan setelah mengumbar akan menjadi pemain ecommerce Thailand regional pertama pada 2017.

Raksasa ecommerce asal Jepang Rakuten menarik diri dari Asia Tenggara dan menjual bisnisnya di Thailand kembali ke pendiri aslinya. Moxy berpindah dari tradisional ecommerce massa saat bergabung dengan Bilna dari Indonesia untuk membentuk Orami yang bisnis dan kontennya berfokus kepada perempuan dan berhasil mendapatkan pendanaan dari co-founder Facebook Eduardo Saverin.

Meminjam istilah Jack Ma, jika 2016 adalah pembuka, maka 2017 akan menjadi hidangan utama untuk ecommerce di Asia Tenggara. Dengan $238 miliar hadiah utama dan Amazon yang telah siap memasuki Singapura pada Q1, sudah membentuk tahun ini sebagai tahun yang menarik.

Permainan dimulai.

(1) Raksasa akhirnya terbangun: Alibaba menjadi lebih aktif pasca mengakuisisi Lazada

Bisa dibilang pencapaian terbesar ecommerce di Asia Tenggara tahun ini adalah akusisi Lazada oleh Alibaba seharga $1 miliar, namun tidak banyak aksi yang terjadi pada permukaan setelahnya. Hal ini akan segera berubah dan Alibaba akan segera memperkenalkan seluruh ekosistem ecommerce mereka ke Asia Tenggara di tahun mendatang. Yang terdiri dari beberapa nama seperti Ant Financial, Cainiao dan Taobao Partner (TP).

Diluncurkan di Cina tujuh tahun yang lalu, program TP bertujuan untuk mendaftarkan para pemasok untuk menyediakan layanan yang berhubungan dengan ecommerce untuk para penjual di Taobao. Beberapa TP seperti Baozun dan Lili & Beauty menawarkan operasional toko dan layanan pergudangan yang memungkinkan Taobao dan Tmall tumbuh sebagai dua platform ecommerce terbesar di Cina.

Peluncuran terdekat dari program serupa di Asia Tenggara (ahem, Lazada Partner?) akan menciptakan banyak kesempatan untuk seluruh ekosistem mulai dari instansi digital hingga perusahaan pengiriman. Penyedia layanan ecommerce full-service seperti aCommerce dan SP eCommerce berada di posisi yang baik untuk terus menumbuhkan kesempatan $238 miliar ecommerce Asia Tenggara.

(2) Logistik last-mile akan menjadi komoditas, dipercepat oleh jaringan Cainiao milik Alibaba

Logistik sering dianggap sebagai hambatan terbesar bagi pertumbuhan ecommerce di Asia Tenggara dan karenanya telah menciptakan cukup banyak pendanaan venture capital yang dihasilkan oleh pasukan last-mile dan on-demand delivery startup seperti Ninja Van, Sendit milik Ascend Group, dan Skootar. Bahkan hailing apps untuk taksi dan motor seperti Go-Jek dan Grab telah merambah ke layanan pengiriman sebagai sebuah aliran pendapatan tambahan. Semua hal ini menambah tekanan kepada pemain-pemain lama seperti Kerry Logistics, DHL dan JNE yang hanya menyentuh permukaan di ruang logistik ecommerce yang serba cepat.

Ekosistem yang baru terfragmentasi dan sangat kompetitif ini memiliki kesamaan dengan Cina satu dekade yang lalu dan memacu Alibaba untuk meluncurkan Cainiao Network, sebuah platform terbuka yang mengumpulkan semua vendor last-mile. Pendekatan ringan aset ini memecahkan rantai terlemah Alibaba – logistik – dan memungkinkan mereka untuk memanfaatkan permintaan yang sangat besar untuk mengontrol pembicaraan.

Lebih dari 70% bisnis bagi third-party logistics (3PLs) di Cina saat ini datang dari ecommerce yang sebagian besar didorong oleh Alibaba. Hal ini mengizinkan mereka untuk menetapkan standar industri dan meningkatkan kompetisi harga di antara penyedia last-mile yang pada dasarnya mengubah yang para pemain ini menjadi sebuah perlombaan ke bawah, permainan komoditas.

Alibaba telah memulai dengan membawa Alipay and Ant Financial dan dengan ekosistem logistik di Asia Tenggara mengikuti cara di Cina, pengenalan Cainiao Network hanya perihal waktu.

Cainiao Network adalah bagian teka-teki yang hilang bagi Alibaba untuk mengontrol seluruh rantai nilai ecommerce (via ecommerceIQ)

Gambar 1(3) Pertarungan untuk “first-mile”: Ancaman baru untuk Google dan Facebook

Hanya sedikit orang yang sadar bahwa raksasa ecommerce seperti Alibaba dan Amazon bukan hanya sebuah ancaman bagi pesaing langsung mereka seperti JD dan Wal-Mart tetapi juga untuk Baidu dan Google.

Dengan peningkatan pencarian produk yang berpindah dari mesin pencari dan langsung mengarah ke situs ecommerce, Alibaba dan Amazon mengguncang periklanan yang ada di internet. Di AS, saat ini 55% orang mulai mencari produk di Amazon, naik dari 44% di tahun 2015. Ini menjadi masalah besar karena pencarian produk adalah salah satu kategori pencarian kata kunci yang paling menguntungkan dan memiliki cost-per-clicks tertinggi.

Di Cina, persaingan antara Alibaba dan Baidu telah membuat Alibaba memblokir mesin pencarian Baidu untuk ‘merangkak’ dan mengindeks halaman Alibaba sejak 2009, secara efektif mencegah pengguna pergi ke Baidu untuk pencarian produk.

Pertempuran “first-mile” ini diduga akan dimulai pada tahun 2017 di Asia Tenggara ketika Alibaba bermigrasi dengan Lazada ke platform Tmall dan memperkenalkan Alimama, yang memiliki platform iklan self-service serupa dengan Google Adwords.

Para penjual di Lazada akan memiliki akses ke berbagai periklanan berbasis PPC (Pay-Per-Click), CPM (Cost-Per-Thousand Impressions) dan CPS (Cost-Per-Sale) seperti P4P Tmall “Express Train” iklan pencarian PPC. Iklan ini menguasai sekitar 25% dari total pencarian online Cina yang secara tradisional didominasi oleh Baidu. Untuk memberi gambaran tentang perkembangan Alibaba dalam iklan pencarian, pasar iklan pencarian milik Google Cina memiliki 30% market share sebelum menyerah dan keluar dari pasar Cina.

Bisnis periklanan Alibaba lebih dari sekedar pencarian. Selain Alimama, mereka juga mengoperasikan sebuah platform afiliasi yang disebut Taobao Affiliate Network, sebuah jaringan iklan tampilan yang disebut TANX (Taobao Ad Network and Exchange) serta Data Management Platform yang merupakan kompetitor Bluekai milik Oracle dan Audience Manager dari Adobe.

Perusahaan media lebih baik mempersiapkan diri mereka untuk kompetisi baru dan agensi digital harus mulai belajar bagaimana membeli dan mengoptimalkan media dalam platform Lazada di tahun 2017.

(4) Masuknya Alipay ke Asia Tenggara akan mendorong konsolidasi dalam sektor pembayaran online

Tahun baru akan menandai dimulainya konsolidasi dalam ruang pembayaran di Asia Tenggara. Dominasi cash-on-delivery (COD) – 75% dari transaksi ecommerce di kawasan ini – yang menginspirasi startup seperti Omise dan DOKU serta perusahaan telekomunikasi dan perbankan yang telah berdiri untuk membangun PayPal selanjutnya.

Tetapi kebanyakan dari inisiatif ini tidak menyelesaikan permasalahan utamanya – kurangnya penetrasi kartu kredit dan besarnya populasi yang tidak memiliki rekening bank di Asia Tenggara. Sebagai contoh, LINE Pay, solusi serupa Apple Pay dari satu aplikasi pengiriman pesan paling terkenal di Asia Tenggara, hanya bisa digunakan dengan kartu kredit. Meski menarik dari perspektif PR, inisiatif ini belum menggeser cara pembayaran konsumen dari COD.

Mayoritas ‘solusi’ fintech telah diciptakan untuk melakukan “teknologi demi kepentingan teknologi” – membangun mobil yang lebih cepat ketika yang kurang adalah lebih banyak jalan.

Gambar 2

Dengan kurangnya hal yang terpenting – saluran distribusi yang scalable – bisa diprediksi perusahaan pembayaran ini harus berjuang keras di sepanjang 2017. Dengan Lazada, Alibaba menggunakan strategi kuda trojan untuk membawa Alipay dan Ant Financial ke Asia Tenggara. Marketplace ini menawarkan sebuah basis pengguna yang besar dan saluran distribusi yang membuat banyak startup pembayaran di Asia Tenggara iri.

Gambar 3

(5) “Ecommerce 1.0” to “Ecommerce 2.0”

Seperti yang telah diprediksi sebelumnya, Zalora milik Rocket Internet harus menjual bisnisnya yang ada di Thailand dan Vietnam dengan harga rendah kepada ritel lokal Central Group. Di tahun yang sama, Cdiscount Thailand, bagian dari konglomerat ritel Prancis Group Casino, terjual senilai $31.5 juta ke TCC, sebuah perusahaan lokal Thailand yang juga pemilik merek bir terkenal Chang.

Kehadiran Alibaba dan kabar peluncuran Amazon di Singapura pada Q1 2017 menutup kesempatan bagi permainan “Ecommerce 1.0” – yang berjualan produk kepada khalayak luas. Bahkan MatahariMall, inisiatif ecommerce “anti-Lazada” yang diluncurkan oleh konglomerat Lippo Group asal Indonesia, telah memposisikan ulang identitas mereka sebagai sebuah online-to-offline ecommerce daripada menjadi pesaing langsung bagi Lazada.

Memasuki tahun 2017, kesempatan di ecommerce akan semakin bergeser dari “Ecommerce 1.0” menuju “Ecommerce 2.0” di mana perusahaan tidak lagi mendasarkan keunggulan kompetitif mereka berdasarkan nilai ekonomi tradisional namun gabungan dari apa yang pemilik Bonobos Andy Dunn sebut proprietary harga, seleksi, pengalaman, dan produk.

Di mana Ecommerce 1.0 adalah sebuah permainan kekerasan dan kekuatan, Ecommerce 2.0 mengeksploitasi celah 1.0 di banyak cara kreatif yang menghindari permainan zero-sum dengan para raksasa seperti Alibaba dan Amazon.

Merupakan pertanda bagus untuk melihat perusahaan di Asia Tenggara telah mulai bergerak menuju Ecommerce 2.0. Pomelo Fashion, sebuah merek fashion yang langsung menjual ke konsumen, hanya secara online, berfokus untuk membangun mereknya sendiri dan mengintegrasikan rantai pasokannya secara vertikal dengan memproduksi pakaian mereka sendiri.

Di Indonesia, startup lain mengambil ide dari penjualan di Facebook dan Instagram kemudian memberikannya steroid. Sale Stock, startup fast-fashion yang berbasis di Jakarta, telah mengambil jalan yang serupa dengan Pomelo Fashion dengan keunikannya sendiri dan sedikit eksperimen.

Dengan peningkatan jumlah pesanan Sale Stock yang datang dari sesi chat di mobile website, perusahaan ini kemudian berinvestasi dan meluncurkan ecommerce chatbot pertama di kawasan ini untuk memproses pesanan mobile chat di Facebook Messenger yang dibangun oleh para insinyur ‘lulusan’ Google, Palantir, dan NASA.

Gambar 4

(6) Lebih banyak korban dari persaingan Amazon – Alibaba di masa depan

2016 adalah tahun yang besar untuk konsolidasi di ruang ecommerce Asia Tenggara:

  • Zalora Thailand dan Vietnam dijual murah ke konglomerat ritel Thailand Central Group
  • Cdiscount dibeli oleh raksasa Thailand TCC Group milik Charoen Sirivadhanabhakdi
  • Pemain ecommerce yang berfokus ke perempuan, Moxy, kembali muncul sebagai Orami setelah bergabung dengan Bilna asal Indonesia
  • Rakuten asal Jepang menutup bisnisnya di pasar Indonesia, Malaysia dan Singapura, serta mengembalikan bisnisnya di Thailand kepada pendiri aslinya
  • Toko grocery online yang berbasis di Singapura, RedMart, terjual kurang dari dana yang telah didapatkan kepada Lazada di tengah isu masuknya Amazon ke pasar dengan AmazonFreshEntitasnya di Filipina, diluncurkan di akhir 2015, tutup tahun ini, dan dengan fokus perusahaan pada fintech – mereka menjual sahamnya sebesar 20% di Ascend Money kepada Ant Financial tahun ini – Ascend kemungkinan akan keluar dari ecommerce ritel sepenuhnya di tahun 2017.
  • Dan hal ini akan berlanjut sepanjang tahun 2017, terutama dalam ruang “Ecommerce 1.0” yang sangat kompetitif. Salah satu yang bisa menjadi korban besar adalah Ascend Group yang berbasis di Thailand, yang memiliki aset portfolio ecommerce dan fintech seperti Wemall (B2C) dan WeLoveShopping (C2C). Sudah terlihat ada tanda-tanda.

(7) Brand melewatkan bait-and-switch marketplace untuk mengambil pendekatan direct-to-consumer atau multi-channel

Ada banyak keuntungan bagi brand untuk menjual produk mereka di marketplace seperti Lazada, MatahariMall dan 11street – yang persiapannya sangat mudah dengan akses ‘gratis’ ke trafik yang dihasilkan oleh marketplace tuan rumah. Itulah mengapa di 2016 kita melihat banyak brand seperti L’Oreal dan Unilever membuka toko di platform ini.

Namun demikian, brand mulai menyadari bahwa kontra-nya lebih besar daripada pro. Marketplace mengumpulkan sejumlah besar data yang secara tepat menentukan kategori produk dan brand yang laku terjual, pada waktu dan lokasi apa dan kepada siapa. Amazon telah memanfaatkan informasi yang berharga ini untuk memperkenalkan label pribadi mereka yang bersaing langsung dengan para penjual di platform mereka.

Di tahun 2017 ini, kita akan melihat brand semakin pintar dan akan memanfaatkan kehadiran marketplace sebagai sebuah inisiasi dan strategi jangka pendek. Strategi jangka panjangnya adalah menjual langsung ke konsumen melalui situs brand.com milik mereka di mana mereka memiliki semua data pelanggan, mengelola brand image mereka sendiri dan bisa menawarkan fitur seperti penjualan langganan atau subscription commerce.

Gambar 5

Yang lain mungkin mengadopsi pendekatan multi-channel yang berlawanan dan menggunakan marketplaces untuk menjual lebih rendah dan titik harga produk terendah sambil mempersiapkan saluran brand.com untuk pengalaman yang lebih premium.

(8) Kompetisi yang tinggi akan mendorong para pengusaha dan perusahaan yang telah lama berdiri untuk menjelajah ke bidang asuransi, keuangan, dan kesehatan.

Dengan semakin tingginya kompetisi ecommerce dan besarnya modal yang diperlukan, para pengusaha sudah mulai melihat lebih dari sekadar ritel fisik untuk menemukan kesempatan baru. Mengikuti langkah yang serupa dengan AS dan Cina, startup di Asia Tenggara secara bertahap berpindah ke bidang asuransi, keuangan, dan kesehatan. Konsep dasarnya sama, menggunakan internet dan teknologi untuk menciptakan marketplace atau langsung menuju ke konsumen untuk produk non-fisik seperti pinjaman, asuransi jiwa dan bahkan data.

Di tahun 2016 ini telihat beberapa startup baru seperti EdirectInsure—dengan frank.co.th di Thailand dan frankinsure.com.tw di Taiwan—mencoba untuk mengubah cara penjualan asuransi mobil serta pemain lama seperti Asia Insurance yang menawarkan asuransi mikro Pokémon Go dan mobile phone secara langsung ke konsumen dan eksklusif online.

Akuisisi Lazada oleh Alibaba sendiri bukanlah semata tentang menambah pertumbuhan jumlah barang ritel mereka namun lebih untuk mendapatkan sebuah saluran distribusi yang scalable untuk produk lain milik Alibaba yang memiliki margin yang lebih tinggi. Jack Ma menyinggung hal ini dalam pidatonya di depan para pemegang saham di tahun 2015:

“Strategi grup Alibaba adalah untuk membangun infrastruktur ecommerce untuk masa depan. Ecommerce hanya langkah pertama. […] Sekitar setengah tenaga kerja Alibaba Group dan perusahaan afiliasi kami, termasuk Ant Finansial dan Cainiao, bekerja pada bidang-bidang penting dari ekosistem kami, termasuk logistik, keuangan internet, big data, cloud computing, mobile internet, periklanan, serta apa yang disebut juga industri double HHealthcare dan Happiness (bisnis kesehatan dan hiburan berbasis big data di mana diperlukan 10 tahun untuk menjadi data-driven).”

Gambar 6

Peluncuran layanan serupa dari Alipay dan Ant Financial (perbankan, penilaian kredit, reksadana, dan lain-lain) bisa diharapkan muncul menjelang akhir tahun 2017. Selain itu, kita akan melihat lebih banyak pemain lama seperti bank tradisional, asuransi, dan bisnis kesehatan yang bergerak ke online.

(9) Diabaikan tapi tidak dilupakan, perusahaan akan fokus pada bagian yang tersisa di Asia Tenggara: Myanmar

Para pebisnis secara geografis akan terus menjelajahi pasar baru di Asia Tenggara dengan semakin jenuhnya para pasar besar sehingga membuat lahan hijau di Myanmar lebih menarik.

Dengan total 53 juta orang penduduk, Myanmar adalah negara terbesar kelima di Asia Tenggara. Negara ini juga sangat unik jika dibandingkan dengan tetangganya sebagai negara yang menutup diri dari dunia hingga 2011 dan saat ini langsung melompat ke era mobile. Tidak seperti sepupunya yang “mobile-first”, Myanmar lebih ke mobile-only”—dengan estimasi populasi yang sudah online sebesar 20%, di mana sebagian besar terjadi dalam dua tahun terakhir.

Rocket sebagai Rocket masuk ke Myanmar pada awal 2012 dengan meluncurkan situs iklan baris seperti Work.com.mm dan Ads.com.mm. Usaha ecommerce pertama mereka yang serius di Myanmar bernama Shop.com.mm dimulai pada akhir 2014. Dengan rata-rata 90.000 sesi per bulan dalam enam bulan terakhir dan mengalami pertumbuhan yang datar, Shop.com.mm tidak terlalu memberikan gambaran positif mengenai peluang ecommerce di Myanmar.

Namun mengingat bahwa Myanmar memiliki 10 juta pengguna Facebook di negaranya, mungkin pemasaran bisnis ecommerce dengan cara tradisional bukanlah pendekatan yang tepat. Dengan begitu banyak penggunaan internet di Myanmar merupakan penggunaan social channels, memulai dari Facebook shop mungkin menjadi cara yang lebih baik untuk memasuki apa yang bisa menjadi salah satu pasar ecommerce masa depan yang paling menarik di Asia Tenggara.

(Sumber: Minzayar Oo / BuzzFeed News)
(Sumber: Minzayar Oo / BuzzFeed News)

Hal ini sudah terbukti efektif di Thailand di mana diperkirakan sepertiga sampai setengah dari transaksi ecommerce terjadi di Facebook, Instagram dan LINE. Diharapkan nantinya conversation commerce bisa tumbuh lebih luas di Myanmar.

“Pengaruh Facebook di Myanmar sulit untuk diukur, namun dominasinya sangat mutlak sehingga masyarakat Myanmar menggunakan “internet” dan “Facebook” secara bergantian.” – Sheera Frenkel dalam laporannya tentang Myanmar di BuzzFeed.

(10) Permintaan di Asia Tenggara akan mengalami pengurangan di beberapa industri di mana model sebenarnya masuk akal

Setelah dipuji oleh para ahli sebagai holy grail dari ecommerce karena tidak memiliki beban aset fisik yang mahal, model on-demand terlihat hampir berakhir di AS. Selain Uber sendiri, banyak Uber-for-X clones yang tutup atau sedang berjuang, beberapa di antaranya seperti Homejoy, SpoonRocket, DoorDash, dan Postmates.

Unit ekonomi yang rendah, kebocoran platform, dan sebuah ekonomi yang menguat secara umum adalah isu-isu yang mengganggu startup on-demand selama setahun terakhir.

Di Asia Tenggara, keadaannya juga tidak terlihat terlalu cerah untuk beberapa startup on-demand. Happy Fresh, sebuah layanan groceries on-demand, baru-baru ini menutup operasinya di Taipei dan Manila serta melakukan beberapa pemberhentian pegawai. Mereka juga secara diam-diam menggantikan mantan pendiri dan CEO Markus Bihler dengan orang baru. Di Thailand, Tapsy, sebuah marketplace untuk layanan pribadi yang didukung Inspire Ventures, juga ditutup hanya beberapa bulan sejak peluncurannya.

Go-Jek, aplikasi pemanggilan motor asal Indonesia dan yang sekarang merupakan unicorn on-demand untuk segala hal, mengalami kepergian massal para pendirinya, dengan co-founder dan VP produk mereka meninggalkan perusahaan pada bulan Oktober lalu, memicu kecurigaan adanya gejolak internal.

Meski sentimen secara umum untuk startup on-demand mengalami keterpurukan baik secara global maupun di Asia Tenggara, dalam kenyataannya ini hanya awal dari proses alami dalam menyingkirkan para pemain yang hanya ‘ikut-ikutan’ di vertikal di mana model on-demand tidak masuk akal.

“Masalahnya bukan tentang konsep akan sesuatu yang tersedia secara “on-demand”. Ini tentang apakah konsumen atau sebuah bisnis akan membayar suatu pesanan secara premium untuk memiliki akses sesegera mungkin. Hanya karena Anda membuat sesuatu tersedia sesuai permintaan, itu tidak berarti orang akan membayar untuk hal itu.” ujar Mathew Ward, co-founder dan CEO Helpster, perusahaan berbasis di Bangkok yang mencocokkan pekerja dengan kandidat yang mencari pekerjaan blue-collar.

Ia melanjutkan.

Home services adalah satu area yang “menyenangkan untuk didapat” secara cepat, namun bukan sebagai sebuah keharusan. Orang tidak akan mau membayar premium untuk ini dan unit ekonomi Anda tidak akan bekerja, ini mengapa kita kemudian melihat banyak yang gagal dalam area ini. Jika Anda berfokus pada hal yang memiliki urgensi seperti transportasi atau dalam kasus Helpster, akses terhadap staf berkualitas yang diperlukan untuk mengisi kebutuhan staf yang mendesak, orang-orang akan membayar harga premium dan karena itu Anda bisa membangun sebuah bisnis yang benar-benar bekerja. Model “on-demand” tidak rusak—Anda hanya perlu melihat ke area di mana kecepatan akses merupakan hal yang sangat berharga. Jika Anda temukan, Anda bisa membangun sebuah bisnis “on-demand” yang berkembang dan sukses.

Gambar 8

Dengan sentimen pendanaan Asia Tenggara yang bergeser di tahun 2017 dari ‘pertumbuhan dengan segala cara’ menuju kepada keberlanjutan dan profitabilitas, kami berharap untuk melihat startup on-demand berkembang di vertikal di mana model ini bekerja, sementara yang hanya “ikut-ikutan” lainnya gagal. Proses ini hanya akan dipatahkan oleh orang-orang seperti Uber dan Grab yang akan memberikan dua kali lipat usaha mereka di Asia Tenggara dengan peperangan mereka yang besar.

(11) Amazon masuk ke Asia Tenggara (akhirnya)

“Keep your friends close but your enemies closer.”—Michael Corleone dalam The Godfather Part II

Gambar 9


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Sheji Ho dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Amazon Makin Dekat dengan Impiannya Mengirim Barang Menggunakan Drone

Sudah tiga tahun semenjak Amazon pertama mengungkap misi ambisiusnya untuk mengirim barang menggunakan drone. Iterasi demi iterasi drone yang digunakan juga terus disempurnakan. Secara perlahan, Amazon semakin dekat dengan realisasi layanan bertajuk Prime Air tersebut.

Laporan yang terbaru mengatakan bahwa retailer online terbesar itu sudah berhasil melakukan pengiriman barang via drone di suatu kota kecil bernama Cambridgeshire di dataran Inggris pada tanggal 7 Desember kemarin. Pengiriman ditujukan kepada seorang bapak-bapak yang memesan sebungkus popcorn dan Amazon Fire TV.

Tidak lebih dari 30 menit setelah sang bapak melakukan pemesanan, paketnya tiba dengan selamat di pekarangan rumahnya. Amazon bilang drone-nya bergerak dari gudang ke lokasi pengiriman dengan sendirinya, tanpa campur tangan manusia dan murni mengandalkan GPS beserta computer vision guna menghindari rintangan di sepanjang rutenya.

Drone yang digunakan kali ini berbeda dari yang terakhir didemonstrasikan. Bentuknya kembali menganut desain quadcopter seperti prototipe awalnya. Terlepas dari itu, dimensinya masih jauh lebih besar ketimbang drone sekelas DJI Phantom 4, seperti bisa dilihat dari perbandingan ukuran antara boks kargo yang dibawa dan drone itu sendiri.

Drone yang digunakan kali ini kembali menganut desain quadcopter seperti prototipe awalnya / Amazon
Drone yang digunakan kali ini kembali menganut desain quadcopter seperti prototipe awalnya / Amazon

Terkait lokasinya, mengapa Inggris yang dipilih dan bukan kampung halaman Amazon sendiri? Well, itu dikarenakan regulasi di AS mewajibkan seseorang memegang kendali atas drone yang digunakan untuk mengirim barang. Amazon ingin prosesnya bisa berjalan secara otomatis, sehingga sejauh ini belum memungkinkan bagi mereka untuk mengujinya di kampung sendiri.

Amazon juga bukan satu-satunya perusahaan yang tengah bereksperimen dengan pengiriman barang menggunakan drone. Sebelum ini, Domino’s Pizza sudah lebih dulu melaksanakan pengiriman via drone di Selandia Baru. Di tempat lain, retailer asal Tiongkok JD.com rupanya juga sudah mulai melakukan pengiriman menggunakan drone ke desa-desa kecil.

Drone delivery ini bukan semata untuk pamer teknologi saja, namun ada beberapa manfaat yang bisa diambil, baik oleh pihak retailer maupun konsumen. Yang pertama, biaya logistik bisa ditekan secara cukup drastis; sebelumnya mengandalkan truk pengirim dan sopir, nantinya hanya seorang operator drone.

Kedua, drone sama sekali tidak menghasilkan polusi udara. Yang terakhir, drone sanggup menjangkau lokasi-lokasi terpencil yang akses jalannya tidak memungkinkan untuk dilalui truk pengirim. Tiga alasan ini saja sebenarnya sudah cukup menjadi alasan mengapa publik menaruh harapan besar terhadap layanan macam Amazon Prime Air.

Sumber: New York Times dan Amazon.

Layanan Streaming Amazon Prime Video Kini Sudah Tersedia di Indonesia

Bertambah satu lagi layanan streaming film yang bisa dinikmati konsumen tanah air. Layanan yang saya maksud adalah Amazon Prime Video, yang belum lama ini menjadi buah bibir karena mulai menayangkan TV show eksklusif The Grand Tour.

Bagi yang tidak tahu, The Grand Tour adalah serial otomotif baru yang bisa dibilang sebagai reinkarnasi Top Gear. Kehadiran tiga mantan host Top Gear yang amat kondang; Jeremy Clarkson, Richard Hammond dan James May; adalah alasan mengapa serial ini begitu banyak dibicarakan, dan Amazon sepertinya tidak mau momentum ini sia-sia begitu saja.

Retailer online terbesar yang dipimpin oleh Jeff Bezos tersebut akhirnya membuka akses Prime Video ke lebih banyak negara – 200 negara lebih tepatnya – menjadi pesaing langsung Netflix yang sudah lebih dulu berekspansi ke 130 negara pada awal tahun. Guna menghadapi persaingan, Amazon pun telah menyiapkan sejumlah konten eksklusif dalam Prime Video dengan label “Amazon Original Series”.

The Grand Tour tadi hanyalah salah satu, namun bisa dibilang yang paling pantas dijadikan alasan untuk berlangganan Amazon Prime Video. Selebihnya, ada serial orisinil lain macam The Man in the High Castle, Transparent, Mozart in the Jungle, Tumble Leaf, dan masih banyak lagi.

Dalam masa perkenalannya, Prime Video ditawarkan dengan tarif berlangganan sebesar $3 per bulan selama enam bulan ke depan, sebelum nantinya naik menjadi $6 per bulan. Sama seperti Netflix, Prime Video juga menyediakan free trial selama 30 7 hari, dan bisa diakses melalui smartphone, tablet maupun smart TV.

Sumber: Engadget dan Business Wire.

*Koreksi: Sebelumnya disebutkan bahwa Prime Video menyediakan free trial selama 30 hari. Namun ternyata ketentuan untuk tiap negara berbeda-beda, dan untuk konsumen tanah air free trial-nya hanya selama 7 hari. Artikel sudah dikoreksi.

Singapura Dipastikan Jadi Persinggahan Pertama Amazon di Asia Tenggara

TechCrunch dalam tulisannya hari ini menginformasikan bahwa Amazon siap memulai layanan e-commerce-nya di Asia Tenggara dengan meluncurkan layanan di Singapura awal tahun depan. Singapura bakal menjadi pertempuran awal Amazon dan Alibaba di Asia Tenggara, setelah Alibaba mengakuisisi Lazada awal tahun ini dan hari ini Lazada mengakuisisi layanan online grocery Singapura RedMart. Lalu bagaimana dengan rencana Amazon memasuki pasar Indonesia?

Di bulan Juni, Chairman idEA Daniel Tumiwa (saat itu) mengemukakan rencana awal Amazon untuk memasuki pasar Asia Tenggara. Sumber kami pun menyebutkan:

Proses Amazon memasuki Asia Tenggara akan dilakukan secara berangsur-angsur selama 1-2 tahun mendatang. Awalnya Amazon akan membuka layanan di Singapura, kemudian meluas ke negara-negara lain di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.

Meskipun belum aktif, kami memastikan bahwa domain Amazon.co.id dan Amazon.id memang sudah dimiliki perusahaan yang didirikan Jeff Bezos dan berbasis di Seattle ini.

Secara total, diklaim modal awal Amazon untuk berekspansi di kawasan ini senilai $2 miliar, dengan $600 juta akan dipusatkan untuk membuka pasar Indonesia, setidaknya untuk tahun pertama. Sekitar $85-160 juta akan dipusatkan di Filipina yang mulai menggeliat, sementara dana sisanya dibagi-bagi di 4 negara lainnya.

Sejauh ini belum ada yang misleading dengan informasi tersebut. Singapura bakal menjadi persinggahan pertama karena pasarnya yang relatif kecil dan secara ekonomi sudah selevel dengan negara-negara maju. Kemudian secara berangsur-angsur mereka bakal memperluas pasar ke negara-negara lain di kawasan, persis sama dengan strategi Lazada, yang didukung Rocket Internet, saat membuka operasionalnya tahun 2012 lalu.

Meskipun sumber Techcrunch menyebutkan saat ini Amazon fokus untuk berekspansi di Singapura saat ini, informasi yang berseliweran di kalangan pemain industri lokal menyebutkan mereka sudah mengetahui bahwa tim Amazon ASEAN yang berbasis di Singapura sudah mulai scouting mencari mitra merchant di Indonesia.

Pemain lokal mengaku sudah siap jika terlibat peperangan dengan para “gajah” karena mereka (lebih) mengerti apa yang dibutuhkan konsumen di Indonesia.

Operasional Amazon Global Selling di ASEAN (dan ANZ) bakal dipimpin Puneesh Kumar yang sudah 6 tahun bekerja untuk Amazon, sementara pengembangan bisnis di kawasan ini bakal dipimpin Steven Scrive.

Hadirnya WeShop dan Realitas Panasnya Persaingan Bisnis E-Commerce Lokal

Dalam laporan startup digital yang diterbitkan DailySocial, baik di tahun 2014 dan 2015, sektor e-commerce diprediksikan akan tetap menjadi tren yang terus diburu oleh para pemain bisnis. Benar saja, penguatan pemain lama dan hadirnya pemain baru terus bergeliat di sektor ini. Baru-baru ini salah satu penyedia jasa e-commerce asal Singapura bernama WeShop Global Group tengah mempersiapkan diri untuk bermanuver di Indonesia.

Bersama investasi $5 juta yang baru saja digenggam, WeShop akan menyediakan alternatif belanja online bagi konsumen yang menginginkan produk-produk impor dengan harga terjangkau. Saat ini situs Weshop Indonesia sudah dapat diakses. Dengan memastikan produk yang dijual asli, WeShop yakin akan berhasil memikat dengan spesialisasinya.

Founder dan CEO WeShop Global Group Emme Dao dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa di lanskap bisnis e-commerce saat ini belanja lintas negara sedang menuju puncak tren. Dari analisis yang dilakukan WeShop peminatnya telah tumbuh dua kali lebih cepat di pasar B2C (Business to Consumer) dunia. Diprediksi pertumbuhannya akan mencapai lima kali lipat di tahun 2020 mendatang. Tak lain karena terbukanya jalur dagang global yang semakin mudah diakses.

Visi WeShop ingin menghadirkan mode penjualan yang memudahkan konsumen dengan efisiensi pada biaya logistik, sistem pembayaran dan risiko yang mungkin terjadi. Simpelnya WeShop ingin menjadikan transaksi belanja di luar negeri seperti belanja di dalam negeri.

Kurasi dari produk online shop ternama

WeShop mengaku saat ini telah memiliki lebih dari 200 juta daftar produk yang bersumber dari berbagai situs e-commerce populer dunia, tak terkecuali Amazon dan eBay. Salah satu hal yang dinilai memudahkan adalah terkait pembayaran, karena kurs mata uang akan disesuaikan dengan rupiah. Sistem transaksinya pun demikian, dihadirkan dengan model yang umum digunakan oleh layanan lokal.

Layanan WeShop kini telah bisa diakses di Indonesia
Layanan WeShop kini telah bisa diakses di Indonesia

Salah satu tantangan yang coba ingin dipecahkan juga terkait dengan perpajakan. Di WeShop pelanggan harus membayarkan secara terpisah biaya pajak dan biaya lainnya (jika ada) sebelum proses pengiriman berlangsung.

Tren layanan e-concierge di Indonesia

Di Indonesia saat ini ada banyak sekali layanan yang menyuguhkan jasa sejenis, salah satu yang cukup tampak adalah HargaDunia. Sistem yang ditawarkan mirip, melakukan kurasi produk dan bertindak sebagai perantara proses transaksi penjualan dari situs e-commerce di luar negeri. Ada juga yang secara khusus menghadirkan layanan e-concierge (perantara pembelian online), salah satunya Uskoop, keberadaannya di pasar Indonesia didukung oleh Bhinneka.

Namun di tengah tren belanja online yang sering dikatakan masih dalam tahap pertumbuhan, layanan e-commerce dan marketplace lokal masih sangat mendominasi. E-concierge di Indonesia bisa dikatakan lebih menyasar segmentasi konsumen tertentu. Melihat hal tersebut nyatanya beberapa layanan e-commerce internasional dikabarkan tengah bersiap untuk melakukan ekspansi ke Indonesia, baik dalam bentuk kerja sama dengan rekanan lokal, ataupun berniat mendirikan brand sendiri.

Gejolak persaingan bisnis e-commerce belum usai

Dengan kompensasi jumlah konsumen yang luar biasa besar (dan terus bertumbuh), dengan berbagai cara layanan e-commerce terus menguatkan cengkeramannya di Indonesia. Layanan lokal terus mendulang investasi, dan layanan luar pun terus datang bersinggah. Amazon salah satunya, beberapa waktu terakhir sempat dikabarkan tengah bersiap hadir ke Indonesia, walaupun sampai saat ini belum terkabar bentuknya. Di tengah persaingan sengit ini pun tak sedikit yang pada akhirnya memilih untuk menyerah.

Rasanya konsumen di Indonesia saat ini sudah tidak lagi terpaku pada penawaran fitur seperti mudahnya pembayaran ataupun logistik. Persaingan antar pemain e-commerce sudah tidak lagi bisa mengandalkan platform, karena hal tersebut kini menjadi fundamental yang tidak diindahkan lagi, kendati performa tetap menjadi harga mati sebuah layanan. Belum ada pola jelas dari konsumen yang masih berkembang saat ini. Di titik kenyamanan tertentu konsumen terhadap layanan, masih sangat mudah goyah jika inovasi dari layanan lain dimunculkan.

Yang paling umum model “perang harga” yang dilakukan untuk akuisisi pengguna, tapi nyatanya hal tersebut tidak membawa sektor tersebut sehat. Formula ini yang kini harus terus dianalisis oleh para pemain e-commerce untuk bisa menundukkan gaya konsumtif jutaan konsumen prospektif di Indonesia. Tidak mudah memang.

Amazon Singkap 3 Game ‘Hardcore’ Pertama Mereka, Disiapkan Buat Twitch

Tidak sulit menebak hal apa yang memotivasi Amazon mengeluarkan uang hampir US$ 1 miliar untuk membeli Twitch dua tahun silam. Gaming memang bukanlah ranah baru bagi sang eCommerce raksasa Amerika itu. Mereka telah memublikasikan banyak game serta sempat mengakuisisi dua developer. Tapi baru sekarang Amazon diketahui mulai menyeriusi bidang hardcore gaming.

Dalam acara TwitchCon di San Diego minggu lalu, Amazon Game Studios mengumumkan tiga game baru kreasi mereka; masing-masing diberi judul Breakaway, New World serta Crucible. Menariknya, tiga judul ini bukanlah permainan online biasa karena mereka terintegrasi ke Twitch. Dari awal, developer sengaja mengembangkannya buat dinikmati bersama platform live stream spesialis gaming tersebut.

Breakaway

Merupakan permainan Amazon pertama yang ditenagai game engine Lumberyard, berjalan di Amazon Web Services. Breakaway mengusung formula brawler bertema mitos/legenda, mengundang pemain untuk bertanding memperebutkan Relic di lokasi-lokasi seperti El Dorado, Atlantis dan Styx. User dan streamer bisa saling berinteraksi melalui empat cara:

  • Metastream: memungkinkan streamer mengkustomisasi konten dengan overlay info mengenai game.
  • Broadcaster Match Builder: boardcaster dapat mengundang follower untuk masuk ke pertandingan.
  • Broadcaster Spotlight: menginformasikan pemain bahwa match tersebut sedang disiarkan.
  • Stream+: mempersilakan broadcaster menyajikan polling, juga memungkinkan penonton untuk ‘mempertaruhkan’ poin loyalty mereka.

New World

Amazon Twitch Games 1

New world adalah permainan multiplayer sandbox berskala besar, berlatar belakang ‘sebuah pulau hidup’. Game ini memberikan keleluasaan bagi pemain buat menentukan sendiri bagaimana menikmatinya serta apa yang ingin mereka lakukan. Anda bisa berkolaborasi bersama gamer lain untuk bertahan hidup di tempat berbahaya tersebut, atau menjadi bandit pemburu pemain lain. Developer membekali New World dengan fitur-fitur sosial dan integrasi Twitch: di mana event, achievement dan reward diatur oleh broadcaster.

Crucible

Amazon Twitch Games

Info mengenai Crucible terbilang masih sangat minim. Amazon hanya mendeskripsikannya seabagai ‘pertarungan dalam dunia asing yang mematikan’. Game memberikan pemain keleluasaan untuk memilih dan mengkustomisasi karakter, membebaskan Anda buat mengumpulkan kawan atau mengkhianati mereka. Pilihan gamer bisa memulai suatu event, dan mereka juga dapat me-live stream pertempuran serta berinteraksi dengan sesama gamer.

Buat sekarang, Amazon belum menginformasikan rincian cara mereka menyajikan game dan kapan permainan-permainan ini akan siap dinikmati. Dari tiga judul di atas, baru Breakaway saja yang membuka gerbang pendaftaran tes alpha.

Via Geekwire & NY Times. Sumber: Amazon.

Runtuhnya Era Retailer Tradisional

Kuartal lalu, Amazon baru saja membukukan kinerja terbaiknya yang tercatat menghasilkan $29,1 miliar, menandakan pertumbuhan year-on-year sebesar 28%, lebih besar dari proyeksi sebelumnya yaitu $27,99 miliar. Hasil ini menandakan kuartal keempat Amazon berhasil menghasilkan profit secara berturut-turut dan memberikan penghasilan bersih tertinggi di sejarah perusahaan tersebut sebesar $513 juta.

Hasilnya? Harga saham Amazon menembus rekor dengan harga $767,74 per lembar. Selama dua tahun terakhir, saham Amazon berhasil naik lebih dari dua kali lipat, sementara retailer tradisional seperti Macy mengalami stagnansi atau bahkan penurunan. Dan ini hanyalah awal dari keberhasilan Amazon dan runtuhnya model ritel tradisional.

Mengapa ada yang ingin berinvestasi di saham Amazon pada harga yang sedang mahal-mahalnya? Sederhana. Dominasi Amazon dan nilai sahamnya hanya akan terus meningkat dengan adanya pergeseran dari ritel offline menuju e-commerce dalam skala global. Penetrasi e-commerce di Amerika Serikat sendiri saat ini “hanya” 7,7%. Bayangkan berapa kenaikan harga saham Amazon jika jumlah ini menginjak 50%?

Performa saham Amazon selama 10 tahun terakhir dibanding sejumlah retailer besar
Performa saham Amazon selama 10 tahun terakhir dibanding sejumlah retailer besar. Investasi sebesar $1000 di saham Amazon tahun 2006 akan dihargai $26.993 saat ini (tidak disesuaikan dengan inflasi [Google Finance]

Metrik jangka-pendek tradisional menghambat visi strategis jangka panjang bagi retailer tradisional

Ketika berbicara dengan para peritel tradisional di Asia Tenggara tentang melakukan e-commerce, pertanyaan yang selalu muncul adalah “Berapa Biaya Penjualan (Cost of Sales, CoS) untuk berinvestasi dan mengembangkan bisnis e-commerce saya?” Dalam e-commerce dan ruang teknologi, banyak dari kita yang sudah akrab dengan menggunakan metrik seperti biaya akuisisi pelanggan (customer acquisition cost, CAC), nilai pelanggan seumur hidup (customer lifetime value, CLV), dan laba atas investasi (returns of investment, ROI).

Namun, metrik yang paling umum bagi pelaku ritel offline adalah biaya penjualan yang merupakan investasi marketing dibagi dengan pendapatan. Ini adalah persentase dari penghasilan peritel tradisional yang dialokasikan untuk biaya marketing dalam anggaran tahunan mereka.

CoS untuk pengecer tradisional biasanya sekitar 5%, didorong oleh trafik warisan offline dan brand awareness. Bagi e-commerce, terutama untuk beberapa tahun pertama dan tergantung pada seberapa agresif bisnis mengakuisisi pelanggan untuk merebut pangsa pasar, jumlah ini bisa berada di antara 50-150%. Jelas, angka ini jauh lebih tinggi dari yang para peritel tradisional biasa keluarkan dan, sebagai hasilnya, merupakan alasan utama para pelaku bisnis offline batal pindah ke e-commerce.

Untungnya, CoS turun ketika jumlah SKU online mengalami kenaikan online, menghasilkan trafik online yang lebih banyak, ukuran keranjang belanja yang lebih besar, dan pembelian berulang lebih sering. Dalam jangka panjang, saat bisnis ecommerce bisa membangun database pelanggan mereka dan menemukan beberapa cara untuk memonetisasinya (lebih lanjut tentang ini nanti), CoS akan menurun dan berpotensi menjadi sebanding dengan nilai pada channel ritel offline. Data internal aCommerce menunjukkan contoh retailer online multi-kategori di Thailand memulai dengan sekitar 25% CoS dan kemudian turun ke 5-10% pada akhir tahun pertama dan 5-8% pada akhir tahun kedua.

Sayangnya, sebagian besar peritel tradisional di Asia Tenggara gagal untuk mengadopsi visi jangka panjang dan tidak pernah membuat lompatan awal ke ecommerce. Kurangnya bakat di wilayah ini juga memperburuk masalah karena banyaknya pengecer yang tidak punya pilihan selain untuk menempatkan orang ritel offline ke posisi ecommerce yang pola pikirnya tidak lebih dari musim liburan selanjutnya.

Di tahun pertama, Cost of Sales melonjak, tapi kemudian stabil di kisaran 15% saat mencapai akhir tahun kedua [Sumber: data internal aCommerce, Mei 2015]
Di tahun pertama, Cost of Sales melonjak, tapi kemudian stabil di kisaran 15% saat mencapai akhir tahun kedua [Sumber: data internal aCommerce, Mei 2015]

Mengontrol last-mile: Bukan tentang siapa yang menjual produk fisik lebih banyak, namun siapa yang memiliki pelanggan

Pengecer tradisional sering melihat ecommerce hanya sebagai cabang toko lainnya, hanya saja secara online. Pola pikir ini yang mencegah mereka melihat skema besar yang ada di dunia online.

Unilever tidak mengakuisisi Dollar Shave Club (DSC) sebesar $1 miliar untuk pisau cukur yang lebih baik, mereka membeli hubungan langsung yang dimiliki DSC dengan lebih dari tiga juta anggota (didominasi laki-laki) dan potensi untuk menjual kepada mereka produk dan jasa yang berkaitan. Daripada pergi melalui pengecer seperti Walmart, Unilever sekarang bisa menghampiri konsumen secara langsung dengan segala manfaatnya termasuk margin yang lebih tinggi dan wawasan pelanggan yang lebih dalam.

Alibaba tidak membeli Lazada sebagai saluran distribusi untuk produk buatan Cina, mereka membeli hubungan langsung dengan pelanggan dan kekuatan distribusi untuk membawa produk dengan margin yang lebih tinggi dan jasa lainnya seperti pembayaran dan asuransi.

Hanya masalah waktu sebelum Jack Ma membawa kuda trojannya dalam bentuk Ant Finance dan semua produk terkait seperti Alipay (platform pembayaran pihak-ketiga) dan Yu’e Bao (dana bersama online) ke Asia Tenggara. Sepak terjang Alibaba ke dalam asuransi melalui Zhongan dan kerjasama dengan AXA yang baru-baru ini diumumkan menunjukkan masa depan di mana Alibaba bisa meningkatkan pendapatan rata-rata per pengguna melalui menjual produk non-fisik secara online.

Xiaomi sebenernya hampir sama saja dengan memberikan smartphonenya secara gratis dengan menjualnya dengan harga yang sangat murah dan margin yang sangat tipis. Tujuan mereka adalah untuk mengumpulkan basis pengguna yang besar dan memonetisasikannya melalui penjualan produk mereka yang lainnya, mainan mewah, perangkat lunak, serta online dan mobile advertising. Dengan lebih dari 170 juta pengguna pada tahun 2016, Xiaomi memiliki pengguna lebih dari Snapchat (70+ juta) dan hampir menyusul LINE (220 juta).

Peritel internet murni akan membawa permainan mereka ke para peritel tradisional offline

Para peritel tradisional masih percaya bahwa mereka memiliki satu keuntungan yang unik lebih dari para pemain online: toko fisik mereka. Semua hype dan buzz tentang ritel omnichannel menjadi secercah harapan bagi para pemain seperti Macy’s dan Walmart. Bahkan saat Macy’s menutup toko fisiknya, mereka tetap berusaha menunjukkan permainan omnichannelnya dengan mengubah toko-toko yang masih hidup sebagai ruang pameran tempat fulfillment-center mini bagi in-store pickup untuk pesanan online.

Saat ini, perusahaan tidak lagi memisahkan penjualan online dalam pelaporan kepada investor, dengan alasan garisnya telah menjadi kabur antara website dan toko fisik. Walmart, setelah melewatkan perahu ecommerce, telah meningkatkan dua kali lipat usaha omnichannelnya, memperluas layanan beli online dan pick up di toko’ menjadi sekitar 30 pasar di AS.

Sayangnya, bahkan keuntungan tersebut perlahan terkikis oleh para pemain online yang secara cekatan bergerak ke offline, bukan untuk distribusi tetapi lebih sebagai perpanjangan dari merek online mereka.

“Dengan membuka toko fisik, brand meningkatkan kesadaran konsumen dan kemudian trafik situsnya. Para disruptor ini melihat internet sebagai cara untuk membangun bukti dari sebuah konsep dan akses ke modal murah sebelum kemudian melompat ke ritel ” – L2 Inc.

Warby Parker memiliki 12 lokasi ritel di seluruh AS dengan rencana untuk membuka tujuh lainnya. Hal yang sama berlaku untuk Birchbox, penyedia subskripsi online peritel kecantikan yang memiliki toko utama di SoHo, New York dan berencana untuk membuka setidaknya dua lainnya pada akhir 2016. Bahkan Amazon meluncurkan toko fisik pertamanya di Seattle pada akhir tahun 2015 dan toko kedua direncanakan akan dibangun di Southern California.

Bertentangan dengan strategi merchandise ritel tradisional, toko-toko ini biasanya berfokus untuk menampilkan sebanyak mungkin variasi produk mereka, termasuk SKU “long tail” mereka. Tujuannya bukan untuk menjual di toko; namun agar para pelanggan dapat merasakan brand dan produknya sehingga meningkatkan kemungkinan mereka untuk membeli online.

“Toko-toko ini membawa sedikit persediaan fisik dan dirancang untuk membantu pelanggan mencari ukuran yang ideal dan cocok untuk mereka. Pendekatan ini merupakan gema dari website mereka, memberikan setiap satu item kesempatan sendiri untuk bersinar” -Erin Ersenkal, Chief Revenue Officer Bonobos.com

Tidak sulit untuk membayangkan Alibaba dan Lazada membuka toko offline di seluruh Asia Tenggara sebagai channel marketing dan branding mereka. Dengan kurangnya saluran akuisisi pelanggan secara online dan offline dan meningkatkan biaya per klik di pasar negara berkembang di Asia Tenggara seperti Thailand, Indonesia, dan Vietnam, memiliki saluran eksklusif sendiri memberikan keunggulan kompetitif yang kuat lebih dari peritel tradisional maupun pemain online lainnya.

Pemain online yang mendirikan toko offline cenderung lebih sukses dibanding yang sebaliknya
Pemain online yang mendirikan toko offline cenderung lebih sukses dibanding yang sebaliknya [L2]

Peran e-commerce bagi pengecer tradisional

Pengecer offline tradisional tersisa dengan dua pilihan jika berbicara tentang adopsi ecommerce:

1. Ecommerce sebagai cabang toko lainnya
Perlakukan toko online seperti toko fisik lainnya dan ukur performanya dengan metrik penjualan yang sama (contoh: 5%), atau dalam istilah Jack Ma, “Ecommerce sebagai makanan penutup, bukan hidangan utama.” Jangan berharap pertumbuhan yang memuaskan dengan pendekatan ini karena metrik jangka pendek tidak bisa dibandingkan dengan investasi awal yang besar di awal. Ancaman jangka panjang di sini adalah bahwa brand yang dijual oleh peritel akan keluar dan pergi langsung ke konsumen untuk mendapatkan margin yang lebih tinggi, data pelanggan, dan transparansi. Langkah Unilever untuk membeli Dollar Shaving Club contohnya, dan pisau cukur hanya awalnya.

2. Ecommerce sebagai saluran untuk memiliki pelanggan
Gunakan ecommerce sebagai sebuah saluran yang scalable dan hemat biaya dalam jangka panjang untuk mendapatkan dan memiliki hubungan langsung dengan pelanggan sendiri. Kemudian, gunakan hubungan ini untuk menjual lebih banyak produk, baik fisik dan non-fisik, terutama produk ber-margin tinggi seperti jasa keuangan (asuransi, pinjaman) dan iklan. Dengan memiliki lebih banyak pelanggan, pengecer meningkatkan daya tawar brand mereka vis-à-vis yang semakin banyak mengambil pilihan untuk memotong pengecer dan pergi langsung.

Tidak semua pengecer di Asia Tenggara menggunakan e-commerce hanya sebagai sebuah cabang toko lain pada umumnya. MatahariMall milik Lippo Group adalah salah satu contohnya. Dengan dukungan yang kuat dan pandangan jangka panjang dari John Riady, pewaris kerajaan Lippo, MatahariMall.com dengan cepat menjadi pesaing nomor satu Lazada di Indonesia. Tidak saja bergerak di ritel, MatahariMall juga akan memberikan jasa pembayaran dan keuangan melalui kemitraan dengan Grab. Di Thailand, Central Group adalah meningkatkan permainan ecommerce dengan mengakuisisi Zalora Thailand dan Vietnam, dan Cdiscount Vietnam.

Ini adalah bukti bahwa untuk bertahan hidup, pengecer offline tradisional seperti Matahari, Central Group, atau The Mall Grup butuh secara sukses menemukan kembali diri mereka untuk mengantisipasi kedatangan para pemain internet lainnya seperti Lazada yang pindah ke wilayah mereka.

Peritel tradisional juga perlu khawatir tentang brand online yang bisa saja keluar dari rangkaiannya dan mengadopsi model langsung ke konsumen mereka, seperti yang sudah terlihat pada Nike. Namun, taruhan terbaik adalah bagi para peritel pintar yang bisa membangun ekosistem mereka sendiri, hubungan pelanggan sendiri (misalnya asuransi, iklan, jasa) yang sebagian besar semakin digital dan memonetisasinya melalui banyak cara serta tidak lagi menjajakan produk dengan margin yang rendah. Kemudian, dan hanya kemudianlah, baru para peritel tradisional sebagai distributor bisa bertahan dari disintermediasi yang dibawa kepada mereka berkat teknologi.

Jangan sampai bisnis Anda bernasib seperti Circuit City
Jangan sampai bisnis Anda bernasib seperti Circuit City


Disclosure: Tulisan ini dibuat oleh Sheji Ho dan disadur oleh Rara Kinasih setelah melalui penyuntingan. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Belajar Dari Kasus Pencurian Email dan Password Go-Pay

Pagi itu (19/07) saya dikagetkan dengan informasi melalui Short Message Service (SMS) dan email dari Go-Jek yang meminta saya, sebagai pengguna Go-Jek, untuk segera me-reset password. Dalam email tersebut juga disebutkan beberapa tips penting agar pengguna tidak menggunakan password yang sama di lebih dari satu situs atau aplikasi.

Saya pun langsung bertanya-tanya, hal apa yang menyebabkan pihak Go-Jek untuk meminta mengganti password saya segera. Ternyata hal ini berkaitan dengan informasi yang dibagikan pengguna Go-Jek lainnya di forum Kaskus yang menyangka akun Go-Jeknya telah di-hack dan kreditnya di Go-Pay telah habis terpakai.

Apa sebenarnya penyebab dari kebobolan ini? pihak Go-Jek sendiri melalui akun Twitter resminya langsung membalas pemilik akun Twitter yang melaporkan kejadian tersebut bahwa tidak benar adanya password Go-jek di-hack oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dikabarkan kebobolan tersebut terjadi berdasarkan peluang yang dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab karena kebanyakan akun dan password yang digunakan oleh seseorang, misalnya Google, Facebook, bahkan Go-Jek menggunakan informasi yang sama.

Berdasarkan informasi yang mereka dapatkan dari pihak luar (bukan dari sistem Go-Jek), email dan password tersebut digunakan untuk masuk ke akun pribadi beberapa pengguna Go-Jek. Disebutkan pula pihak tersebut juga menjual email dan password yang dicuri secara online.

Startup perlu proaktif mengecek keamanan akun yang dikelolanya

Kemungkinan besar saya dikirimi email tentang penggantian password karena informasi saya bisa jadi leak di luaran, meskipun saya yang tidak merasa mengalami kebobolan kredit Go-Pay seperti yang dialami sejumlah orang.

Menurut saya, tindakan pertama yang dilakukan Go-Jek, dengan langsung mengirimkan email dan SMS kepada pengguna agar segera me-reset password yang sebelumnya digunakan dengan password baru, adalah langkah yang paling tepat untuk meminimalisir terjadinya pencurian dan pembobolan akun yang lebih banyak lagi.

Startup harus belajar dari pengalaman sejumlah layanan online ketika LinkedIn mengalami pembobolan 117 juta email dan password penggunanya pada tahun 2012 silam dan di bulan Mei 2016 email dan password yang dicuri tersebut dijual secara online.

Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, Amazon berinisiatif mengirimkan email otomatis kepada pengguna agar segera mengganti password di akun pribadi milik penggunanya yang memiliki email dan, kemungkinan besar, password yang sama dengan data Linkedin yang dibobol. Hal tersebut dilakukan sebagai antisipasi jika ada pengguna Amazon yang menggunakan email dan password yang sama untuk login di LinkedIn.

Hal yang sama juga dilakukan sejumlah layanan lain, termasuk Instagram yang memberikan informasi serupa di dalam aplikasinya.

Idealnya kita tidak menggunakan email dan password yang sama di semua akun aplikasi yang ada, tapi hal itu tentu saja tidak mungkin. Setidaknya kita harus menggunakan password yang berbeda dengan database layanan yang terbukti sudah dibobol supaya bisa mengurangi risiko terjadinya pembobolan.

Sejauh ini saya belum banyak menemukan layanan lokal yang proaktif mencari data-data pelanggannya di basisdata layanan sudah leak di internet padahal bisa jadi data tersebut adalah data yang sama yang digunakan konsumen layanannya untuk masuk ke email, layanan media sosial, dan bahkan akun perbankannya.

Keamanan data harus menjadi prioritas startup lokal untuk menghindari kejadian pencurian data, seperti yang dialami sejumlah pengguna Go-Jek tersebut.

Sumber: Amazon Bakal Head-to-Head dengan Lazada di Asia Tenggara, Investasi $600 Juta Khusus untuk Pasar Indonesia di Tahun Pertama

Akhir pekan ini kita disuguhkan oleh berita sensasional kemungkinan hadirnya Amazon di kawasan Asia Tenggara. Seperti dikutip dari Kontan, Chairman idEA Daniel Tumiwa menyebutkan kemungkinan hadirnya raksasa e-commerce Amazon di pasar Indonesia. Berdasarkan informasi yang kami peroleh, tidak cuma Indonesia, Amazon tampaknya berencana melangkah lebih jauh untuk berekspansi di pasar Asia Tenggara.

Setelah merambah pasar Jepang, India, dan Tiongkok (meskipun di Tiongkok bisa dibilang gagal), adalah hal wajar ketika Amazon melanjutkan petualangannya di negara-negara Asia Tenggara yang saat ini memiliki kombinasi GDP sekitar $2,4 triliun.

Akuisisi Alibaba terhadap pemimpin pasar Asia Tenggara Lazada bulan April lalu telah menyadarkan Amazon akan potensi kawasan ini yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Menurut informasi yang kami peroleh, disebutkan proses Amazon memasuki Asia Tenggara akan dilakukan secara berangsur-angsur selama 1-2 tahun mendatang. Awalnya Amazon akan membuka layanan di Singapura, kemudian meluas ke negara-negara lain di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.

Meskipun belum aktif, kami memastikan bahwa domain Amazon.co.id dan Amazon.id memang sudah dimiliki perusahaan yang didirikan Jeff Bezos dan berbasis di Seattle ini.

Secara total, diklaim modal awal Amazon untuk berekspansi di kawasan ini senilai $2 miliar, dengan $600 juta akan dipusatkan untuk membuka pasar Indonesia, setidaknya untuk tahun pertama. Sekitar $85-160 juta akan dipusatkan di Filipina yang mulai menggeliat, sementara dana sisanya dibagi-bagi di 4 negara lainnya.

Sebelum benar-benar memasuki pasar Asia Tenggara, satu hal yang harus dipahami Amazon adalah pentingnya pemahaman selera lokal. Mereka tidak bisa mentah-mentah mengekspor nilai-nilai yang mereka miliki ke pasar ini.

Rakuten, Groupon, LivingSocial sudah merasakan sulitnya menjadi pemimpin pasar dan mulai berangsur-angsur mundur dari Asia Tenggara. Rakuten telah menutup operasionalnya di kawasan ini, LivingSocial menjual anak-anak perusahaannya ke Ensogo, sementara Groupon mulai beranjak mundur ditandai dengan penjualan entitasnya di Indonesia ke layanan akses kesehatan dan kebugaran KFit.

Harus diakui salah satu kesuksesan Rocket Internet, yang banyak diremehkan orang, adalah bagaimana mereka dengan cepat mendirikan perusahaan di berbagai negara Asia Tenggara sambil beradaptasi dan memahami selera dan cara berbisnis di kawasan ini.

Kehadiran Amazon, jika benar terjadi, bakal membuat persaingan di ranah e-commerce Asia Tenggara semakin menarik. Semoga konsumen menjadi pihak yang paling diuntungkan atas ekspansi ini.

Google Dikabarkan Berniat Menjual Boston Dynamics ke Toyota atau Amazon

Sungguh malang nasib Boston Dynamics. Belum genap tiga tahun perusahaan pembuat robot ini diakuisisi oleh Google, sekarang Google dikabarkan berniat menjualnya ke perusahaan lain.

Menurut laporan Bloomberg, keputusan ini didasari oleh fakta bahwa Boston Dynamics belum bisa menghasilkan pendapatan dari robot-robot yang diciptakannya. Hal ini bertentangan dengan visi Alphabet Inc. selaku perusahaan induk, dimana diharapkan startupstartup kecil yang beroperasi di bawahnya bisa berkembang secara mandiri nantinya.

Meski sudah memiliki prototipe robot dalam berbagai jenis, sampai saat ini memang belum ada kepastian terkait kapan Boston Dynamics bisa menjualnya secara luas. Kalaupun sudah siap, kemungkinan besar harga robot-robotnya akan sangat mahal sekali dan tidak banyak konsumen yang sanggup meminangnya.

Alasan lain yang mendasari laporan ini adalah fakta dimana Boston Dynamics merupakan satu-satunya divisi robotik yang tidak ikut dilebur dengan Google X. Berdasarkan memo internal yang didapat Bloomberg, dikatakan bahwa mereka tidak sanggup mengucurkan 30 persen dana dari anggaran yang tersedia untuk suatu proyek – yaitu robot-robot rancangan Boston Dynamics – yang butuh waktu sepuluh tahun sebelum bisa terealisasi.

Lebih parah lagi, tim Google X bahkan dilaporkan berusaha menjauhkan dirinya sejauh mungkin dari Boston Dynamics karena mereka tidak ingin publik mencitrakan Google X sebagai perusahaan pembuat robot yang terlihat mengerikan dan dinilai berpotensi mengambil alih lapangan pekerjaan manusia.

Terkait bagaimana nasib Boston Dynamics selanjutnya, sejauh ini sudah ada dua perusahaan yang dikabarkan tertarik membelinya dari Google, yaitu Toyota dan Amazon. Bagi Toyota, Boston Dynamics nantinya bisa menjadi aset pelengkap divisi risetnya yang juga berfokus pada pengembangan robot.

Di sisi lain, Amazon bisa mengambil banyak manfaat dari akuisisi ini. Contoh yang paling mudah, Amazon bisa memperkerjakan robot-robot buatan Boston Dynamics di area pergudangan mereka yang begitu luas, seperti salah satunya robot Atlas yang bisa Anda simak aksinya di bawah ini.

Sumber: Bloomberg via TheNextWeb.