Startup Kuliner Kokikit Hadir dengan Konsep “Chef as a Services”

Besarnya peluang memanfaatkan sumber daya koki profesional menjadi alasan platform chef as a services Kokikit diluncurkan. Para konsumen dapat menikmati signature dish dari para juru masak dalam bentuk ready meal yang dikemas secara praktis dengan biaya yang lebih efisien.

Didirikan oleh CEO Andry Suhaili bersama co-founder lainnya yaitu CTO Sebastian Wijaya, CMO Donald D. Kusumo, Chef Culinary Officer Hendro Soejadi, dan Chief Content Officer Untung Pranoto; Kokikit ingin menghadirkan pilihan koki-koki profesional untuk para konsumen (perorangan, restoran, hotel) tanpa harus memiliki atau mempekerjakan koki itu sendiri.

“Visi kami adalah mempopulerkan cita rasa Indonesia ke seluruh dunia, agar saudara-saudara kita yang tinggal di luar negeri dapat membuka restoran Indonesia dengan rasa dan kualitas terbaik lewat Recipe Kit dari Kokikit,” kata Andry.

Berbeda dengan layanan cloud kitchen atau ghost kitchen yang saat ini makin marak kehadirannya, Kokikit tidak membutuhkan investasi properti dan peralatan dapur untuk melayani konsumen dari berbagai kota. Seluruh makanan Kokikit adalah hasil kreasi seorang koki profesional.

“Pemain ready meal serupa juga belum memanfaatkan teknologi sebagai strategi utama. Mereka masih mengandalkan metode konvensional dan pasar modern ritel dan dalam bentuk frozen. Kokikit memiliki produk frozen dan tahan suhu ruang (shelf-stable food atau ambient food),” imbuh Andry.

Meal Kit dan Recipe Kit

Para chef profesional Kokikit / Kokikit

Secara khusus Kokikit adalah produsen Meals Ready to Eat (MRE) dalam bentuk Meal Kit (full meal) dan Recipe Kit (daging saja). Meal Kit ditujukan untuk perorangan (end user) yang tidak mau repot masak atau mengotori dapur. Sementara Recipe Kit ditujukan untuk restoran agar mereka bisa menambahkan menu dengan mudah; dan hotel-hotel yang tidak memiliki dapur.

Seluruh produk adalah kreasi tim koki profesional yang dikolaborasikan dengan para artis, untuk melahirkan Celebrities Favorite Signature Dish. Kokikit mengklaim semua rasa dan kualitas sudah divalidasi oleh para selebriti yang terlibat. Sejak beroperasi 2 bulan lalu, Kokikit sudah mencatat lebih dari 5000 konsumen. Saat ini Kokikit dapat diakses melalui WhatsApp, situs, dan di berbagai platform online marketplace.

“Saat ini Kokikit telah bekerja sama dengan 9 selebriti dan sedang menjalankan program sosial dengan Digiresto lewat gerakan #IndonesiaPastiBisa dengan menghadirkan paket nasi di harga Rp10.000 kepada warga-warga isoman di seluruh Jabodetabek dan Bandung,” jelas Andry.

Strategi monetisasi yang dilancarkan oleh Kokikit adalah membangun mitra penjualan (agen). Meal Kit dan Recipe Kit dapat dibeli dalam bentuk satuan, bundling, katering, dan dapat dikustomisasi. Kokikit juga menyediakan 3 jenis aplikasi seluler yang dapat digunakan secara gratis. Yaitu untuk pelanggan, mira (restoran dan hotel), hingga aplikasi mitra agen yang bertugas untuk mencari prospek, mendapatkan laporan performa penjualan dari pelanggan mereka secara real time, membuat promosi diskon dan mengelola pelanggan.

“Tahun ini ada beberapa rencana yang ingin dilancarkan oleh Kokikit, di antaranya adalah melakukan ekspansi kapasitas produksi Kokikit dan membutuhkan mitra yang dapat mendukung dari sisi finansial. Tujuannya agar Kokikit dapat memperluas dapur sentral, mesin dapur dan kemasan komersial yang membutuhkan biaya cukup besar,” kata Andry.

Pertumbuhan layanan meal kit

Layanan pengiriman meal kit telah mendapatkan popularitas luar biasa dalam beberapa tahun terakhir, karena menawarkan kemudahan dan menghemat waktu saat menyiapkan makanan. Meal kit adalah pilihan yang praktis berisi resep yang mudah diikuti, tips memasak, takaran bahan yang tepat yang diperlukan untuk menyiapkan makanan.

Vendor juga menyediakan pilihan berlangganan, konsumen bisa mendapatkan meal kit yang dikirimkan tanpa perlu melakukan pemesanan setiap hari. Ketersediaan opsi yang nyaman seperti itu akan mendorong pertumbuhan pasar layanan pengiriman meal kit ke depannya.

 

Di Indonesia, konsumsi makanan ready meal masih belum populer, dibanding dengan negara lain seperti Singapura, Korea, Jepang hingga Inggris Raya. Menurut laporan dari Technavio Research, ukuran pasar layanan pengiriman meal kit memiliki potensi untuk tumbuh sebesar $15,93 miliar selama 2020-2024, dan momentum pertumbuhan pasar akan meningkat pada CAGR lebih dari 18%.

Adapun di Indonesia startup lain yang jajakan produk serupa adalah Cooklab. Lewat aplikasi mereka menjual paket makanan siap masak, termasuk di dalamnya bahan sesuai takaran, kartu menu, dan juga video resep. Sebelumnya nama BlackGarlic sempat familiar beberapa tahun lalu di kalangan pecinta kuliner, namun saat ini platform tersebut sudah tidak lagi beroperasi. BerryKitchen yang juga menawarkan layanan serupa dan katering online sejak tahun 2012, lalu diakuisisi oleh Yummy Corp tahun 2019.

 

Localio to Develop Marketplace Platform for Home-Made Culinary Business

It is not new knowledge that household activities during the pandemic are busier than normal days. Cooking activity is one of the most dominant. The benchmark is the number of home culinary businesses that have grown significantly during a pandemic. Localio tries to catch the fortunes of this trend.

Localio is a digital startup that was just established in July. This startup was founded by Andry Suhaili, Sebastian Wijaya, Donald D. Kusumo, and Handoko Kusumo as a marketplace for the home culinary business. Although at first glance it is no different from the GoFood and GrabFood platforms, they insist that the Localio business is different. One of them is the localization of their product.

“Basically Localio is a local homemade marketplace, helping MSMEs meet their communities,” said Andry, who plays the CEO.

The initial idea for Localio came from the Andry family who intended to sell their home cooking but had difficulty finding a large niche market. To enter platforms such as GoFood or GrabFood, according to Andry, is quite difficult because it requires a long queue.

Departing from that problem, he and his friends made research about the difficulties experienced by the home culinary business. After that they found a number of similar problems including the difficulty of the home business in marketing and there was no single platform for them.

Product segment

Andry admitted that there are already other platforms such as GoFood, GrabFood, and other e-commerce that can be used by home culinary businesses. However, according to him, the platform above does not really suit the needs of a home business. With Localio, Andry said that his party can help home businesses from promotions, attracting customers, online business training, to courier selection.

Since their target audience is micro and even ultra-micro businesses, Localio does not charge any fees to merchants who join. Nor do they seek to profit by applying commissions.

“We are not taking commissions, but we see opportunities in infrastructure, for example with suppliers,” Andry added.

What Andry means by infrastructure is the ecosystem that Localio is building. Andry explained that there are three main pillars that will become the Localio ecosystem, namely fulfillment, finance, consulting and advertising services. Advertising includes their current business model.

The fulfillment in question includes the supply chain that connects sellers to food vendors, delivery, and provision of satellite kitchens. This supply chain thing, they call it LocaSupply, is still a work in progress. Andry said that his party plans to partner with Wahyoo for this product.

Which is quite interesting in the delivery options. Andry said that they prepared courier options using bicycles, scooters and pedestrians. The pedestrian option arose because the food delivery distance in Localio was only 3 kilometers. In addition to the choices of couriers, they also took Gojek and Help as additional options.

“Our existing business model is Live Streaming, LocaAds, and delivery.”

Business plan and target

Localio started out in a relatively small business. They started their business by hooking up with a seller in the Tanjung Duren area, West Jakarta. Then they hooked up with other home businesses in the Kelapa Gading, Pluit, PIK, Sunter, and Pasar Minggu areas.

CTO Sebastian Wijaya said that his party now has a number of sellers scattered outside cities such as Sidoarjo and Medan. However, for now they will still focus on expanding their reach in the Jabodetabek area. Meanwhile, until December, they are at least targeting to expand to Bandung, Surabaya, Bali and Singapore. They chose Singapore because according to them the conditions of the home-based culinary business there are also improving, plus Sebastian who is currently living there.

Apart from expansion, Localio also plans to attract professional chefs who were laid off from work during the pandemic to join their platform. Later the chefs will be accommodated into their own canals.

By mid-October, Localio had won 1000 sellers. They are targeting to reach 4000 sellers by the end of the year with the expansion they have planned. This growth target will also be used to attract investors. Currently, the capital in Localio is still in the bootstrap phase with additional capital from Win Ventures.

“In the future, we want to form a home-based business ecosystem. Overall, we want to be a platform that connects local MSMEs, promoting them from an unknown food business to becoming a global player to exporting abroad,” said Andry.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ambisi Localio Bangun Platform Marketplace untuk Bisnis Kuliner Rumahan

Sudah bukan pengetahuan baru bahwa kegiatan rumah tangga selama pandemi berlangsung jadi lebih sibuk dari hari normal. Kegiatan masak-memasak salah satu yang paling dominan. Tolok ukurnya dari jumlah bisnis kuliner rumahan yang bertambah signifikan di masa pandemi. Localio mencoba menangkap peruntungan dari tren tersebut.

Localio adalah startup digital yang baru berdiri pada Juli kemarin. Perusahaan rintisan ini didirikan oleh Andry Suhaili, Sebastian Wijaya, Donald D. Kusumo, dan Handoko Kusumo sebagai marketplace bisnis kuliner rumahan. Meski sekilas tak berbeda dengan platform GoFood dan GrabFood, mereka bersikeras bisnis Localio berbeda. Salah satunya kelokalan produk mereka.

“Pada dasarnya Localio itu marketplace homemade lokal, membantu UMKM bertemu komunitasnya,” ujar Andry yang berperan sebagai CEO.

Ide awal dari Localio bermula dari keluarga Andry yang berniat menjual masakan rumahan mereka namun kesulitan untuk menemukan ceruk pasar yang luas. Untuk masuk ke platform seperti GoFood atau GrabFood pun menurut Andry cukup sulit karena perlu antre cukup lama.

Berangkat dari masalah itu, ia dan teman-temannya membuat riset tentang kesulitan yang dialami bisnis kuliner rumahan. Setelahnya mereka menemukan sejumlah masalah serupa termasuk kesulitan bisnis rumahan tersebut dalam memasarkan dan belum ada satu platform yang mewadahi mereka.

Segmentasi produk

Andry mengakui bahwa sudah ada platform lain seperti GoFood, GrabFood, serta e-commerce lain yang bisa dipakai bisnis kuliner rumahan. Namun menurutnya platform di atas belum begitu sesuai dengan kebutuhan bisnis rumahan. Dengan Localio, Andry mengatakan pihaknya dapat membantu bisnis rumahan mulai dari promosi, menjaring pelanggan, pelatihan bisnis online, hingga pemilihan kurir.

Oleh karena target pengguna mereka adalah bisnis mikro bahkan ultra mikro, Localio tidak mengenakan biaya kepada penjual yang bergabung. Mereka juga tidak mencari keuntungan dengan menerapkan komisi.

“Kita memang tidak tidak ambil komisi, tapi kami lihat peluangnya di infrastruktur, misalnya dengan supplier,” imbuh Andry.

Yang dimaksud infrastruktur oleh Andry adalah ekosistem yang sedang Localio bangun. Andry memaparkan ada tiga pilar utama yang akan menjadi ekosistem Localio, yaitu fulfillment, keuangan, jasa konsultasi dan iklan. Iklan termasuk model bisnis mereka yang sudah berjalan saat ini.

Fulfillment yang dimaksud termasuk rantai suplai yang menghubungkan penjual ke vendor bahan pangan, pengantaran, serta penyediaan dapur satelit. Perihal rantai suplai ini, mereka menyebutnya LocaSupply, masih dalam proses. Andry menyebut pihaknya berencana menggandeng Wahyoo untuk produk tersebut.

Yang cukup menarik di opsi pengantaran. Andry mengatakan bahwa mereka menyiapkan pilihan kurir menggunakan sepeda, otoped, dan pejalan kaki. Opsi pejalan kaki muncul karena jarak pengantaran makanan di Localio tadinya cuma 3 kilometer. Di samping pilihan kurir tadi, mereka juga menggandeng Gojek dan Help sebagai opsi tambahan.

“Model bisnis kami yang sudah jalan itu Live Streaming, LocaAds, dan delivery.”

Target dan rencana bisnis

Localio memulai bisnisnya di lingkup yang relatif kecil. Mereka memulai bisnisnya dengan menggaet penjual di wilayah Tanjung Duren, Jakarta Barat. Lalu menggaet bisnis rumahan lain di wilayah Kelapa Gading, Pluit, PIK, Sunter, hingga Pasar Minggu.

CTO Sebastian Wijaya mengatakan, pihaknya pun kini sudah memiliki sejumlah penjual yang tersebar di luar kota seperti Sidoarjo dan Medan. Namun untuk saat ini mereka masih akan berfokus untuk memperluas jangkauannya di wilayah Jabodetabek. Sementara hingga Desember nanti mereka setidaknya menargetkan bisa ekspansi hingga ke Bandung, Surabaya, Bali, dan Singapura. Mereka memilih Singapura karena menurut mereka kondisi bisnis kuliner rumahan di sana juga sedang meningkat, ditambah Sebastian yang sedang bermukim di sana.

Selain ekspansi, Localio juga berencana menggaet koki profesional yang diberhentikan dari tempat kerjanya selama pandemi untuk bergabung ke platform mereka. Nantinya para koki tersebut akan diwadahi ke dalam kanal tersendiri.

Sampai pertengahan Oktober, Localio sudah berhasil meraih 1000 penjual. Mereka menargetkan dapat meraih 4000 penjual hingga akhir tahun dengan ekspansi yang telah mereka rencanakan. Target pertumbuhan itu nantinya juga akan dipakai untuk menarik minat para investor. Saat ini modal di Localio masih di fase bootstrap dengan tambahan modal dari Win Ventures.

“Ke depan kami ingin membentuk ekosistem usaha rumahan. Secara keseluruhan kami ingin jadi platform yang menghubungkan UMKM lokal, mempromosikannya dari bisnis makanan yang tidak terkenal menjadi pemain global hingga ekspor ke luar negeri,” pungkas Andry.

Application Information Will Show Up Here

Ketika Pendiri Memutuskan Menjual Startup-nya

Akuisisi dan merger perusahaan pada dasarnya adalah hal yang lumrah terjadi dalam dunia bisnis. Pun begitu, terkadang terlewat juga pertanyaan mengapa keputusan untuk menjual startup diambil pendiri bahkan ketika startup yang dibangun berada di jalur yang tepat. Meski ada beragam pendapat, namun kami mencoba untuk melihat dari sudut pandang pemain lokal yang pernah menjual startup-nya seperti Jason Lamuda (Co-Founder Disdus), Andry Suhaili (Founder PriceArea), dan Michael Saputra (Co-Founder Klik-Eat).

Skema akusisi dan merger memang terlihat mudah untuk dilakukan di atas permukaan, namun pada kenyataanya ada banyak hal perlu dipertimbangkan oleh pendiri ketika akan mengambil keputusan ini. Bukan hanya sekedar memiliki kesamaan visi, ingin perusahaan terselamatkan, ada kata sepakat, dan selesai begitu saja.

Apa yang harus ditanyakan kepada diri sendiri sebelum menjual startup?

Jason, yang sebelumnya membangun Disdus dan kini membangun Berrybenka, mengatakan, “Di saat ada offer untuk diakuisisi, harus ada pertimbangan seorang founder sebagai ‘management of the company’ dan sebagai ‘shareholder of the company’. Ini adalah dua hal yang berbeda dan belum tentu objektifnya sama.”

[Baca juga: Keputusan Mengambil Uang Tunai atau Saham Ketika Menjual Startup]

Lebih jauh, Jason juga menyampaikan lima hal yang harus dipikirkan oleh pendiri disaat akan mengambil keputusan untuk menjual startup-nya, yaitu:

  1. Apakah lebih baik bagi perusahaan untuk stay independent atau diakuisisi sekarang? Jika stay independent, financial gain-nya apa? ROI (Return of Investment) untuk shareholder berapa?
  2. Berapa likuiditas / cashout untuk akuisisi?
  3. Berapa lama lock-up­ period untuk continue menjadi manajemen setelah akuisisi?
  4. Apakah pendiri mau / bersedia untuk bekerja sama untuk acquirer?
  5. Apakah shareholders lainnya akan setuju? Berapa ROI mereka?

Pertimbangan peluang pribadi dan perusahaan

Setali tiga uang, Andry yang kini tetap membangun PriceArea setelah diakusisi Yello juga menyuarakan hal yang tidak jauh berbeda. Andry mengatakan bahwa pada dasarnya kesepakan akuisisi dan merger bisa terjadi karena memang ada benefit untuk pribadi dan perusahaan.

“Dari sisi pribadi, ini seperti peluang emas untuk loncat ke pencapaian karier yang lebih tinggi. Bisa lebih cepat belajar dan juga mengalami dan memperluas networking. Faktor lainnya juga dari segi keuangan yang saya terima, karena mencairkan saham,” ujar Andry.

Andry menambahkan, “Dari sisi perusahaan, saya melihat peluang untuk mendapatkan direct access ke resource yang mungkin sulit saya capai jika [hanya] berjalan bersama investor. Resources yang saya maksud adalah, Know-how, Teknologi, Keuangan, Manajemen, dan lainnya. Waktu itu saya juga berpikir kalau bergabung dengan tim yang jauh lebih kuat pasti bisa mengakselerasi growth yang saya inginkan, lebih cepat ketimbang bila saya lakukan sendiri.”

Andry juga menceritakan bahwa sebelum diakuisisi waktunya lebih banyak tersita untuk kegiatan fund raising ke VC demi mengangkat nilai perusahaan dan mencari modal kerja. Kini, setelah proses akuisisi, pihaknya bisa lebih fokus dalam membangun perusahaan (produk dan tim) bekerja sama secara langsung dengan tim internal dari parent company.

In the end, startup is a business that need return value

Pandangan yang tak jauh berbeda juga disampaikan oleh Michael yang sebelumnya membangun Klik-Eat dan kini membangun Black Garlic. Menurut Michael, sudah menjadi tugas seorang pendiri atau CEO untuk memberikan nilai balik terbaik kepada shareholder perusahaan, karena membangun startup adalah bisnis.

Michael mengatakan, “Startup itu bisnis, dan seperti bisnis lainnya, dia perlu menghasilkan pemasukan atau nilai balik investasi terbaik untuk para shareholder. Sebagai CEO [atau pendiri], sudah jadi tugas saya untuk memberikannya. Jadi ketika ini berkaitan dengan menjual startup, proses pengambilan keputusan utama harus diarahkan untuk menjawab pertanyaan itu. […] Jika penawaran tidak merefleksikan nilai perusahaan dan perusahaan bisa menghasilkan nilai yang lebih baik di masa depan, tidak perlu menjualnya.”

[Baca juga: 5 Kesalahan yang Kerap Dilakukan Entrepreneur Saat Menjual Startup]

“Tentu pada kenyataannya tidak akan sesederhana itu karena yang namanya buyout offer itu ada banyak macamnya, dari jenis buyout-nya (all cash, all stock, combination of them, etc) sampai terms lainnya seperti payout tranches, future performance based payment, etc. That’s where the water becomes muddy and experience is needed,” ujar Michael lebih jauh.

Ketika keputusan untuk menjual startup harus diambil, alasan ataupun latar belakangnya akan kembali kepada masing-masing individu pendiri. Ada yang menjual startup karena dia sudah merasa cukup dan ingin beristirahat, ada juga yang ingin mengakselerasi pertumbuhannya seperti Andry, dan tak jarang juga yang memulai sebuah lembaran baru seperti yang dilakukan oleh Jason dan Michael. Toh pada akhirnya startup adalah bisnis dengan merger dan akusisi yang menjadi bagian jalan ceritanya.

Ekosistem Digital Indonesia Saat Ini dan Perkembangannya ke Depan

034

Katakanlah lima atau tujuh tahun ke belakang, bagi entepreneur yang terjun di dunia digital pada masa itu, mereka akan setuju betapa sulitnya mencari pendanaan. Saat ini, DailySocial sendiri saja, sudah sering memberitakan startup yang mendapatkan pendanaan.

Continue reading Ekosistem Digital Indonesia Saat Ini dan Perkembangannya ke Depan

Andry Suhaili: Kenyang Jatuh Bangun dalam Berbisnis

Andry Suhaili

Kegigihan adalah hal mutlak dimiliki seorang enterpreneur. Mental yang kuat untuk selalu bangkit dari kegagalan. Andry Suhaili, pendiri layanan perbandingan harga PriceArea adalah orang yang lumayan kenyang untuk jatuh bangun dalam bisnisnya.

Continue reading Andry Suhaili: Kenyang Jatuh Bangun dalam Berbisnis

Perjalanan Andry Suhaili Membangun PriceArea

PriceArea yang baru-baru ini diakuisisi oleh Yello Mobile asal Korea, merupakan salah satu kisah sukses startup Indonesia. Bisa dibilang berita menyenangkan dan dapat dijadikan sebuah indikator bahwa industri digital Indonesia tumbuh ke arah yang cerah, khususnya ecommerce. Berikut adalah penuturan Andry Suhaili, sang pendiri sekaligus CEO dari PriceArea, tentang kisahnya membangun PriceArea sejak tahun 2009 hingga akhirnya, bergabung menjadi satu dengan Yello Mobile.

Continue reading Perjalanan Andry Suhaili Membangun PriceArea

PriceArea Targetkan Pasar ASEAN Pasca Akuisisi Oleh Yello Mobile

Situs perbandingan harga PriceArea baru-baru ini diakuisisi oleh perusaahan asal Korea Yello Mobile. Nilainya sendiri tidak diungkapkan kepada publik tetapi yang jelas PriceArea merupakan akusisi pertama Yello Mobile di kawasan Asia Tenggara. Andry Suhaili, Founder dan CEO PriceArea, menyatakan, dirinya tetap memegang kendali operasional PriceArea, dan langkah pertama yang akan diambil setelah akuisisi adalah memetakan ekspansi regional. Selain itu, tentu saja aplikasi mobile PriceArea.

Continue reading PriceArea Targetkan Pasar ASEAN Pasca Akuisisi Oleh Yello Mobile

PriceArea Kini Miliki Delapan Juta Produk Terdaftar dan Lima Ratus Ribu Penjual

Pertumbuhan pesat e-commerce di Indonesia membuka banyak peluang, tidak hanya bagi toko-toko online. Situs-situs pencari dan pembanding toko online juga ikut tumbuh beriringan. Sebut saja PriceArea yang hadir dan telah mengokohkan diri sebagai situs mesin pencari seputar e-commerce terbesar di Indonesia.

Continue reading PriceArea Kini Miliki Delapan Juta Produk Terdaftar dan Lima Ratus Ribu Penjual