Pokemon GO Makin Immersive Berkat Fitur Reality Blending

Pokemon GO banyak dikenal sebagai game yang memopulerkan teknologi augmented reality (AR), dan pengembangnya, Niantic, juga sangat aktif dalam menyempurnakan teknologi AR. Yang terbaru, mereka sedang menguji fitur bernama Reality Blending pada Pokemon GO.

Sesuai namanya, Reality Blending dirancang supaya objek AR bisa membaur dengan objek dunia nyata. Jadi kalau dalam Pokemon GO, kita bisa melihat Pokemon yang bersembunyi di balik pohon, sofa, lemari atau objek lain. Sebelumnya, Pokemon bakal selalu terlihat di atas objek apapun yang ada di sekitarnya.

Efeknya memang belum sesempurna gambar ilustrasi di atas, akan tetapi masih jauh lebih baik ketimbang tanpa fitur Reality Blending sama sekali. Tujuan akhirnya tentu adalah supaya permainan jadi terasa semakin immersive, dan Reality Blending pastinya dapat membantu melengkapi fitur Buddy Adventure dan Shared AR Mode.

Untuk sekarang, fitur ini baru akan diuji bersama sejumlah pemain Pokemon GO yang menggunakan perangkat Samsung Galaxy S9, Galaxy S10, Google Pixel 3 dan Pixel 4, baru setelahnya akan menyusul ke perangkat-perangkat lain secara perlahan.

Selain Reality Blending, Niantic juga memperkenalkan fitur bernama PokeStop Scan. Fitur ini sifatnya opsional, dan ditujukan buat pemain yang tertarik untuk berkontribusi terhadap pengembangan AR (crowdsourcing).

Caranya adalah dengan merekam video selagi berada di area PokeStop dan Gym. Videonya tidak harus panjang (di bawah 10 detik), dan durasi maksimumnya dibatasi 30 detik. Video-video tersebut nantinya akan Niantic gunakan untuk meracik peta 3D dari PokeStop dan Gym terkait, yang pada akhirnya bisa meningkatkan pengalaman AR secara keseluruhan.

Sayang timing-nya memang sangat tidak pas. PokeStop Scan kabarnya bakal tersedia mulai awal Juni untuk pemain dengan level minimum 40. Semoga saja di saat pandemi telah berakhir, fitur ini sudah tersedia untuk mereka yang levelnya lebih rendah.

Sumber: Engadget dan Niantic.

Snapchat Sosialisasikan Social Distancing Lewat Augmented Reality

Sosialisasi mengenai social ataupun physical distancing dapat disampaikan melalui banyak medium. Salah satu medium yang cukup efektif sebenarnya adalah augmented reality (AR), yang memang bisa menggambarkan jarak fisik secara nyata.

Sebagai bukti, coba lihat dua Lens baru yang diluncurkan Snapchat. Salah satunya, yang dinamai “My Social Distance”, akan mencoba memandu pengguna dengan memberikan indikator visual pada layar guna menggambarkan jarak yang aman ketika bertemu orang lain selama masa pandemi seperti sekarang.

Indikator yang tadinya berwarna hijau akan berubah menjadi oranye ketika pengguna berada terlalu dekat dengan orang lain. Lens yang kedua memanfaatkan animasi untuk mengingatkan pengguna agar selalu menjaga kebersihan dengan mencuci tangan dan mengurangi kebiasaan menyentuh wajah.

Snapchat merujuk langsung pada WHO dalam mengembangkan kedua Lens anyarnya. Pengguna juga dapat mengakses langsung panduan yang WHO edarkan di situsnya melalui dua Lens baru ini.

Di luar medium AR, Snapchat juga memanfaatkan fitur Discover-nya untuk menyuguhkan beragam informasi terkait pandemi COVID-19. Selain konten dari berbagai media yang terdaftar sebagai mitra, Snapchat juga rutin mengisi segmen Discover dengan informasi yang digali oleh tim internalnya sendiri.

Sumber: VentureBeat dan Snap.

Aplikasi Pelopor Filter Wajah, MSQRD, Dipensiunkan April Mendatang

Filter wajah di Instagram mungkin tak lagi terdengar istimewa sekarang. Namun empat tahun yang lalu, Instagram bahkan belum punya fitur tersebut, dan yang berjasa besar mengenalkan kita terhadap fitur berbasis augmented reality (AR) itu adalah sebuah aplikasi bernama MSQRD.

MSQRD sendiri sudah diakuisisi oleh Facebook sejak tahun 2016, dan sejak itulah Facebook gencar mengembangkan teknologi augmented reality. Berbeda dari Instagram, yang Facebook incar dari MSQRD sebenarnya adalah teknologinya, bukan platform-nya secara utuh.

Teknologi rancangan MSQRD ini pada akhirnya dikembangkan lebih lanjut hingga menjadi Spark AR. Spark AR inilah yang bertindak sebagai fondasi digital atas fitur filter wajah di Instagram maupun Facebook, sekaligus menjadi platform berkreasi untuk komunitas kreator.

Spark AR menawarkan proses pembuatan filter AR secara sederhana. Teknologi yang tadinya proprietary di era kejayaan MSQRD kini dapat diakses oleh banyak kreator berkat Spark AR, dan ini pada dasarnya menjelaskan pertumbuhan filter wajah Instagram yang eksponensial semenjak fitur tersebut diperkenalkan pertama kali pada pertengahan 2017.

Aplikasi MSQRD sendiri sejatinya sudah dilupakan sejak lama. Pasca akuisisi, MSQRD hanya sempat diperbarui beberapa kali, dan update terakhir yang diterimanya adalah menjelang pergantian tahun 2017. Ya, aplikasi tersebut pada dasarnya eksis selama sekitar tiga tahun tanpa update, dan ia akhirnya bakal benar-benar disetop pada tanggal 13 April mendatang.

Lewat tanggal tersebut, MSQRD tak lagi bisa kita unduh dari Play Store maupun App Store. Jujur saya penasaran apakah masih ada orang yang menggunakannya, apalagi mengingat semua fiturnya sekarang sudah tersedia di Instagram maupun Facebook.

Sumber: Business Insider.

Menatap Masa Depan Nasib Gaming VR dan AR Tahun 2020

Virtual Reality dan Augmented Reality, dua teknologi baru yang sampai saat ini perkembangannya masih seringkali dipertanyakan. Ada yang menganggap bahwa VR tidak akan menjadi masa depan karena satu dan lain hal, ada juga yang menganggap bahwa VR/AR punya fungsi menarik yang akan mengubah gaya hidup umat manusia layaknya smartphone juga mengubah kita.

Namun demikian, dalam hal gaming, ternyata tren penggunaan VR dan AR cenderung masih positif selama tahun 2019 kemarin. Mengutip hasil riset SuperData Year-in Review, ternyata pendapatan gaming VR dan AR sepanjang tahun 2019 ini masih menunjukkan peningkatan jika dibanding tahun 2018 lalu.

Sumber: VRLeague
Sumber: VRLeague

Secara total, penjualan game VR dan AR berhasil mengumpulkan pendapatan sebesar US$2,2 miliar (sekitar Rp30 triliun) selama tahun 2019. Jumlah ini merupakan peningkatan sebesar US$300 juta (sekitar Rp4,1 miliar) dibanding dengan tahun 2018 lalu yang hanya mendapatkan US$1,9 miliar (sekitar Rp26 triliun). Sektor AR jadi penyumbang terbesar, mencapai US$1,7 miliar (sekitar Rp23 triliun), salah satunya berkat Pokemon GO. Walau games VR tidak menyumbang banyak pemasukan, namun penjualan headset VR juga cukup besar di tahun 2019 ini, mencapai US$5,7 miliar (sekitar Rp79,2 triliun).

Ada beberapa faktor atas hal ini. Dalam urusan games AR, sejak rilis Juli 2016 lalu, Pokemon GO memang sudah menjadi perhatian para gamers, terutama penggemar Pokemon. Menurut catatan Hybrid dari data SensorTower, Pokemon GO bahkan sudah mengumpulkan Rp42 triliun sepanjang masa hidupnya. Ditambah lagi, tahun 2019 juga jadi tahunnya game-game AR menyerbu. Ada beberapa judul yang muncul seperti Harry Potter: Wizard Unite, ataupun Minecraft Earth yang disebut SuperData sebagai calon pesaing Pokemon GO.

Untuk kasus VR, SuperData mengatakan, bahwa salah satu faktor pendapatan penjualan headset VR di tahun 2019 adalah dari Oculus Quest. Headset VR tersebut berhasil mendobrak teknologi VR, yang selama ini selalu bergantung kepada PC Gaming high-end ataupun konsol. Oculus Quest hadir secara berbeda, menjadi headset VR bersifat stand-alone yang bisa digunakan tanpa harus bergantung kepada PC high-end ataupun konsol gaming.

Dalam sesi #SelasaStartup kolaborasi Hybrid dengan DailysSocial bulan Agustus lalu, Nico Alyus dari Omni VR juga sempat mengatakan prediksinya tersendiri terhadap VR di masa depan. “Di masa depan, VR akan jadi medium apapun. Namun, itu baru bisa terjadi ketika VR sudah diadopsi oleh masyarakat secara umum.” Oculus Quest bisa menjadi alat untuk memberi akses VR ke masyarakat secara umum, karena sifatnya stand-alone VR yang membuatnya jadi lebih ekonomis.

Potensinya sebagai esports

Tanda tanya terhadap industri VR dan AR tidak hanya terjadi secara umum, tapi juga dari segi esports. Mengingat dua teknologi ini bisa memberikan pengalaman bermain yang lebih penuh, akankah VR ataupun AR punya potensi untuk menjadi esports?

Sumber: VRLeague
Sumber: VRLeague

Mengingat adaptasi dua teknologi ini yang masih sangat minim, cukup wajar jika potensinya sebagai esports juga masih terbilang kecil. Namun demikian, ini tidak menghentikan pemangku kepentingan di esports untuk melakukan sedikit percobaan. ESL Contohnya. Perusahaan esports asal Jerman tersebut sempat bekerja sama dengan Oculus untuk menyelenggarakan VR League. Mempertandingkan empat game yang juga butuh ketangkasan fisik, VR League bahkan memperebutkan total hadiah sebesar Rp3,5 miliar!

Pokemon GO - Piala Presiden Esports 2019
Kemeriahan komunitas Pokemon GO di Piala Presiden Esports 2019 | Sumber: Dokumentasi Pokemon GO Indonesia

Lalu bagaimana dengan AR? Mengingat entry-barrier AR yang lebih rendah dibanding VR, tak heran jika AR punya potensi yang lebih besar sebagai esports atau game kompetitif. Tak hanya terjadi di barat saja, Indonesia bahkan juga sudah pernah menghadirkan pertandingan Pokemon GO. Bahkan Indonesia sempat memecahkan rekor jumlah peserta terbanyak lewat gelaran bertajuk Rainbow Cup di Summarecon Mall Serpong pada bulan Juni 2019 lalu, yang diikuti oleh 445 peserta.

Bagaimana dengan tahun 2020? Sebagai teknologi yang masih baru dan punya entry-barrier cukup tinggi, tak heran jika tingkat penetrasi dua teknologi ini terbilang cukup rendah. Namun demikian melihat perkembangannya selama 2019 yang terus positif, bukan tidak mungkin jika VR dan AR akan diadaptasi oleh lebih banyak orang di masa depan nanti. Tahun 2020 mungkin belum akan jadi zamannya, tapi siapa yang tahu, mungkin beberapa tahun lagi VR dan AR akan menjadi fenomena budaya berikutnya layaknya smartphone di zaman sekarang.

 

Pokemon GO Akan Kedatangan Fitur Buddy Adventure dan Shared AR Mode Tahun Depan

Menjelang pergantian tahun, Niantic mengumumkan bahwa fitur Buddy Adventure akan segera hadir di Pokemon GO mulai tahun depan. Sesuai namanya, fitur ini dibuat supaya Pokemon kesayangan masing-masing pemain dapat menemani mereka bereksplorasi.

Usai mengaktifkan mode AR+ dalam game, pemain bisa berinteraksi dengan sahabat Pokemon-nya (buddy), memberi makan sekaligus mengajaknya bermain-main. Seiring waktu dan semakin sering pemain berinteraksi, Buddy Level-nya akan naik, dan di level tertentu, pemain bakal mendapatkan sejumlah keuntungan.

Saat mencapai level UltraBuddy misalnya, pemain bakal mendapatkan reminder dari sahabat Pokemon-nya ketika ada Pokestop yang menarik untuk dikunjungi di dekat mereka. Di level terakhir, yakni Best Buddy, setiap sahabat Pokemon bakal tampil dengan aksesori khusus untuk menunjukkan status kedekatannya dengan pemain.

Pokemon GO Buddy Adventure

Selain muncul di tampilan peta, seekor buddy juga dapat membantu pemain dalam pertarungan maupun menangkap Pokemon lain. Reaksi yang ditunjukkan masing-masing Pokemon saat kita ajak berinteraksi dipastikan berbeda-beda tergantung jenisnya, dan ini sejatinya akan mendorong para pemain untuk menggilir koleksi Pokemon-nya menjadi buddy.

Niantic bilang bahwa Buddy Adventure adalah kelanjutan dari komitmen mereka untuk memotivasi pemain untuk terus ‘bergerak’ dan menjaga kebugaran fisiknya. Di saat yang sama, Buddy Adventure bakal menumbuhkan kesan seolah-olah pemain benar-benar mengeksplorasi dunia bersama sahabat Pokemon-nya.

Menyusul Buddy Adventure nantinya adalah fitur Shared AR Mode, yang dirancang supaya tiga pemain bisa mempertemukan masing-masing buddy-nya di area yang sama, lalu mengambil foto bersama-sama.

Sumber: GamesRadar dan Niantic.

OPPO INNO DAY Jadi Panggung Demonstrasi Atas AR Headset, Router 5G, dan Beragam Inovasi Teknologi Lainnya

Menjelang pergantian tahun, OPPO menggelar event tahunan baru bertajuk OPPO INNO DAY guna mendemonstrasikan beragam inovasi teknologi yang mereka siapkan dalam menyambut tahun depan. Tema yang diangkat adalah “Create Beyond Boundaries”, dan seperti yang bisa kita tebak, sebagian besar inovasinya berkaitan dengan teknologi 5G, namun beberapa juga menyentuh ranah augmented reality (AR) dan Internet of Things (IoT).

Guna menyambut tren 5G, OPPO pun memperkenalkan router Wi-Fi pintar yang mendukung teknologi tersebut. Berbekal modem Snapdragon X55, router ini dapat dijejali kartu SIM 5G. Dari kacamata sederhana, menggunakan perangkat ini berarti konsumen dapat menikmati kecepatan teknologi 5G melalui jaringan Wi-Fi, sangat berguna seandainya mereka masih memakai ponsel 4G.

Router OPPO 5G CPE / OPPO
Router OPPO 5G CPE / OPPO

OPPO bilang router ini mampu mengakomodasi lebih dari 1.000 perangkat yang terhubung, baik dalam mode jaringan standalone (SA) maupun non-standalone (NSA), membuatnya ideal dijadikan sebagai hub untuk ekosistem smart home. Perangkat ini rencananya akan dipasarkan pada kuartal pertama tahun depan, kemungkinan besar berbarengan dengan smartphone flagship-nya yang mengunggulkan chipset terbaru Qualcomm.

Lanjut ke ranah berikutnya, OPPO turut mengumumkan OPPO AR Glass yang mengemas tiga kamera (dua fisheye dan satu standar), sensor time-of-flight (ToF) untuk mengukur kedalaman, serta diffractive waveguide, yang diyakini sebagai salah satu teknologi display terbaik untuk augmented reality. Juga menarik adalah bagaimana pengguna dapat menavigasikan konten tanpa bantuan controller.

OPPO AR Glass / OPPO
OPPO AR Glass / OPPO

Wujudnya mengingatkan saya pada Microsoft HoloLens ketimbang Magic Leap One, dan OPPO bilang perangkat ini telah mengandalkan teknologi 3D surround sebagai sistem audionya. Seperti router 5G-nya, AR Glass juga dijadwalkan hadir di pasaran pada kuartal pertama tahun depan.

Dalam acara yang sama, OPPO turut mengungkapkan rencananya untuk merilis smartwatch dan true wireless earphone di kuartal pertama 2020. Wujud sekaligus detail lengkapnya masih disimpan baik-baik oleh OPPO, namun mereka menjanjikan bahwa smartwatch-nya bakal berperan sebagai ekstensi dari smartphone dengan bekal kapabilitas AI dan deep learning.

Di segmen smartphone sendiri, OPPO memamerkan prototipe ponsel yang tak memiliki notch maupun kamera pop-up. Sebagai gantinya, kamera depannya disembunyikan di balik layar. Dilansir oleh GSM Arena yang berkesempatan mencoba, modul kameranya masih kelihatan saat area layar di sekitarnya menampilkan warna-warna cerah, tapi tidak demikian saat menampilkan warna gelap.

Dibandingkan generasi pertama teknologinya yang OPPO pamerkan di bulan Juni kemarin, teknologi under-screen camera terbaru ini dapat menyerap cahaya lebih banyak, dan tim riset OPPO pun terus menyempurnakan desain panel OLED yang digunakan demi memaksimalkan kinerja kamera depan tersembunyi ini.

OPPO AR Glass

Dari event ini sebenarnya bisa kita simpulkan bahwa OPPO tak lagi segan keluar dari zona nyamannya demi memperluas portofolio produknya. Tidak tanggung-tanggung, OPPO bahkan sudah menyiapkan anggaran riset dan pengembangan sebesar 50 miliar yuan (± Rp 99,5 triliun) untuk berbagai segmen teknologi, tidak melulu smartphone saja.

Pernyataan dari founder sekaligus CEO OPPO, Tony Chen, berikut ini adalah yang paling gamblang: “OPPO lebih dari sekadar produsen smartphone sejak awal. Pada kenyataannya, smartphone hanya sebatas pintu gerbang untuk menghadirkan berbagai macam portofolio layanan teknologi. Bagi OPPO dan bahkan seluruh industri, tidak akan ada perusahaan yang hanya berfokus pada smartphone saja.”

Sumber: 1, 2, 3, 4, 5, 6.

Qualcomm Luncurkan Dua Prosesor Laptop Baru Beserta Chipset 5G untuk AR dan VR Headset

Setahun setelah Qualcomm merilis prosesor laptop-nya, Snapdragon 8cx, populasi laptop always-on bisa dibilang masih sangat kecil. Hal ini cukup wajar mengingat prosesor tersebut memang ditargetkan untuk kategori high-end, dan perangkat yang mengusungnya, macam Samsung Galaxy Book S, tidak bisa dikategorikan terjangkau.

Supaya laptop always-on bisa menjadi mainstream, penawarannya tidak bisa di kategori premium saja. Untuk itu, Qualcomm pun telah menyiapkan sepasang prosesor laptop baru, yakni Snapdragon 8c dan 7c. Keduanya bukanlah pengganti 8cx, melainkan ditujukan untuk perangkat di kelas yang lebih rendah.

Kendati demikian, Qualcomm mengklaim performanya masih cukup mumpuni. Snapdragon 8c misalnya, menjanjikan peningkatan kinerja hingga sebesar 30% jika dibandingkan dengan Snapdragon 850, yang tidak lain merupakan prosesor laptop pertama Qualcomm. Sebagai pembanding, Snapdragon 8cx menjanjikan performa dua kali lebih kencang ketimbang Snapdragon 850.

Kunci dari prinsip always-on adalah sambungan konstan ke jaringan LTE, dan ini diwujudkan lewat modem Snapdragon X24 yang terintegrasi pada Snapdragon 8c. Juga penting adalah AI Engine untuk mendongkrak kinerja fitur-fitur berbasis machine learning secara signifikan, hingga enam triliun pengoperasian per detik kata Qualcomm.

Di bawahnya lagi, ada Snapdragon 7c yang mengemas CPU octa-core Kryo 468 dan GPU Adreno 618. Qualcomm mengklaim prosesor ini dapat memberikan peningkatan performa sampai 25% kalau dibandingkan dengan chip yang sekelas. Di saat yang sama, daya tahan baterai perangkat bisa dinaikkan sampai dua kali lipat, dan tentu saja juga sudah ada modem LTE beserta AI Engine terintegrasi di sini.

Snapdragon 8cx sendiri tidak akan ke mana-mana. Qualcomm sekarang justru menawarkan varian 8cx yang dikhususkan untuk pasar enterprise, lengkap dengan optimasi dan integrasi yang dibutuhkan dari segi keamanan.

Snapdragon XR2

Konsep perangkat yang ditenagai chipset Qualcomm Snapdragon XR2 / Qualcomm
Konsep perangkat yang ditenagai chipset Qualcomm Snapdragon XR2 / Qualcomm

Akhir tahun 2019 juga menjadi saksi atas kelahiran Snapdragon XR2, yang diklaim sebagai chipset 5G pertama untuk platform extended reality (XR). Singkat cerita, selain menghadirkan konektivitas generasi terbaru, XR2 juga dirancang untuk menggenjot performa sekaligus fungsionalitas AR headset maupun VR headset secara dramatis.

Dibandingkan chipset generasi sebelumnya, XR2 disebut menawarkan kinerja CPU dan GPU dua kali lebih kencang. Dari segi visual, chip ini sanggup mengakomodasi display dengan resolusi 3K x 3K 90 fps per mata. Selain itu, video 360 derajat beresolusi 8K 60 fps pun juga siap ia putar dengan lancar.

Perihal fungsionalitas, XR2 mampu mengakomodasi sistem tracking pada perangkat hingga yang mengandalkan tujuh kamera sekaligus. Interaksi pengguna dengan dunia virtual juga dipastikan berlangsung mulus berkat prosesor khusus yang didedikasikan untuk teknologi computer vision, sehingga rekonstruksi 3D pun jadi lebih efisien.

AR dan VR memang sudah tidak terlalu meledak hype-nya belakangan ini. Kita lihat saja apakah XR2 dapat ‘menyelamatkannya’ dari keterpurukan.

Sumber: Qualcomm 1, 2.

Apple Kabarnya Sedang Mengembangkan Headset VR Gaming

Minggu lalu, sebuah kabar menyatakan bahwa Apple telah menggandeng Valve dalam rangka pengembangan headset augmented reality. Langkah ini boleh jadi merupakan kelanjutan dari agenda penggarapan HMD AR yang sudah terdengar sejak dua tahun silam. Teknologi AR biasanya diarahkan ke ranah profesional, tapi Apple sepertinya tetap tertarik untuk menyuguhkan konten hiburan lewat VR.

Kali ini, Bloomberg menginformasikan upaya sang raksasa teknologi asal Cupertino itu menggarap ‘perangkat-perangkat virtual dan augmented reality yang dibekali sistem sensor 3D baru’, berdasarkan laporan sejumlah narasumber. Berdasarkan keterangan tersebut, itu berarti Apple berencana mengembangkan lebih dari satu head-mounted display. Namun sebagai langkah awalnya, perusahaan mencoba mengabungkan VR serta AR lalu memfokuskannya buat kebutuhan gaming.

Salah satu narasumber bilang, Apple berniat untuk mulai mendistribusikan kacamata AR mereka secepat-cepatnya di tahun 2023. Di artikel sebelumnya, saya sempat membahas bagaimana Apple ingin agar teknologi augmented reality mereka matang di 2019 kemudian melepas dalam bentuk produk di tahun 2020. Produsen tampaknya memutuskan buat mengundur agenda mereka. Menurut dugaan Eurogamer, Apple ingin memberi ruang lebih lapan pada peluncuran iPad Pro tahun depan.

CEO Apple Tim Cook sudah lama berbicara serta menunjukkan ketertarikannya pada AR. Segmen ini menjadi fokus Apple setelah sebelumnya mereka mencurahkan perhatian pada iPhone, iPad dan Apple Watch. Tulang punggung dari teknologi ini adalah sistem sensor 3D mutakhir yang tengah digarap selama beberapa tahun. Pada Bloomberg sang narasumber mengaku, sistem ini jauh lebih canggih dari sensor Face ID yang ada di perangkat-perangkat Apple terbaru.

Saat ini, tim teknisi iPhone dan iPad telah mulai berkerja menyambungkan aplikasi-aplikasi serta fitur-fitur di software ke sistem operasi baru (secara internal disebut ‘rOS’). Dengan begini, perangkat-perangkat yang sudah ada sekarang dapat bekerja serta kompatibel dengan headset VR, kacamata AR atau head-mounted display cross reality sejenis yang akan dirilis di masa depan.

Apple kabarnya mengerahkan sekitar 1.000 teknisi demi mengerjakan prakarasa AR dan VR. Proyek besar ini dinahkodai oleh vice president Mike Rockwell. Tim ini terdiri atas pakar dari berbagai macam bidang, dan kepemimpinannya dibagi lagi pada sejumlah eksekutif yang pernah mengerjakan software gaming Apple, hardware iPhone, serta pembuatan software dan manufaktur. Tim juga diperkuat oleh mantan insinyur NASA, mantan developer game, dan pakar grafis.

Sejauh ini memang belum jelas seberapa banyak headset VR dan kacamata AR yang tengah Apple siapkan. Saya juga penasaran bagaimana pada cara perusaahaan memanfaatkan AR/VR di segmen gaming, kemudian akan sejauh apa partisipasi Valve di sana?

Kabarnya Apple Gandeng Valve Untuk Menggarap Headset AR

Dikenal orang sebagai pemilik dan pengelola layanan distribusi digital terbesar di dunia, Valve juga bukanlah pemain baru di ranah virtual reality. Dahulu mereka sempat membantu HTC lewat SteamVR. Lalu ketika kita mengira Valve mulai menarik diri dari segmen VR, mereka malah mengumumkan Index. Tak lama sesudah penyingkapannya, perusahaan mengungkap ketertarikannya menggarap versi standalone dari headset tersebut.

Setelah virtual reality, ada kemungkinan Valve mulai mencoba melebarkan sayapnya ke augmented reality. Via MacRumors, harian DigiTimes melaporkan bahwa developer pencipta seri game Half-Life itu digandeng oleh Apple dalam rangka pengembangan head-mounted display AR. Mereka berdua tentu tidak sendirian. Apple mempercayakan Quanta Computer dan Pegatron asal Taiwan buat menangani proses produksi serta perakitan.

Apple terdorong untuk membuat headset augmented reality karena CEO Tim Cook percaya bahwa AR dapat menyatukan konten digital ke dunia sesungguhnya. Di waktu ke depan, ia akan jadi sepopuler smartphone, khususnya di kalangan konsumen. Langkah mendalami segmen AR yang dilakukan Apple juga dibarengi oleh perekrutan pakar-pakar desain grafis, system interface, serta system architecture.

Sebetulnya, proyek pengerjaan headset AR oleh Apple telah terdengar sejak 2017. Waktu itu, Bloomberg (berdasarkan laporan informan terpercaya) mengabarkan rencana Apple untuk mematangkan teknologinya di tahun 2019, kemudian mulai memasarkannya di tahun 2020. Perangkat tersebut mengusung unit display mandiri, serta ditopang oleh chip anyar serta sistem operasi khusus. Semua terdengar menjanjikan, tetapi sang narasumber menegaskan bagaimana agenda Apple bisa berubah.

Perkiraannya cukup tepat. Apple diketahui menghentikan sementara proyek pembuatan HMD VR/AR beberapa bulan silam, membubarkan tim teknisi, dan mengalihkan sumber daya ke produk lain. Namun ternyata, yang Apple lakukan adalah mengubah langkah pengembangan secara in-house menjadi kolaboratif bersama Valve Corporation.

Tentu saja ini bukan pertama kalinya Apple dan Valve bekerja sama. Di tahun 2017, Valve sempat diminta Apple buat menghadirkan dukungan native headset VR di macOS High Sierra, melalui upaya memaksimalkan dukungan eGPU yang ada di sistem operasi terhadap versi Mac SteamVR.

Menurut perkiraan analis Ming-Chi Kuo, headset augmented reality milik Apple ini akan masuk ke tahap produksi massal di kuartal keempat 2019 (jika benar perusahaan bermaksud meluncurkannya tahun depan). Perangkat tersebut kemungkinan dipasarkan sebagai aksesori iPhone dan berperan sebagai display. Sementara itu, iPhone bertugas untuk menangani proses komputasi, networking dan positioning.

Via Eurogamer.

Kacamata AR Tilt Five Ingin Kawinkan Board Game dengan Video Game

Sekitar enam tahun yang lalu, sebuah proyek bernama CastAR muncul dan menuai sukses di Kickstarter. Sangat disayangkan perangkat augmented reality tersebut tidak jadi terwujud. Di tahun 2017, perusahaan yang mengembangkannya bangkrut setelah gagal menerima pendanaan seri B dari investor.

Beruntung sosok di baliknya tidak menyerah. Ia adalah Jeri Ellsworth, mantan engineer Valve pertama yang ditugaskan membentuk divisi hardware, dan yang berkontribusi terhadap pengembangan HTC Vive, Steam Box maupun Steam Controller. CastAR memang sudah bangkrut, akan tetapi Jeri bersama tim kecilnya tetap berjuang untuk membeli balik aset-aset mereka yang sempat terlikuidasi.

Tilt Five

Dari situ terbentuklah perusahaan baru bernama Tilt Five, dan bersamanya datang versi yang lebih sempurna dari CastAR. Prinsip dasarnya masih sama: Tilt Five merupakan kacamata dengan kapabilitas augmented reality, hanya saja sekarang fokusnya dikhususkan untuk tabletop gaming (board game).

Kreatornya mengibaratkan Tilt Five sebagai hasil perkawinan antara video game dan board game. Seperti halnya board game, pemain akan berinteraksi dengan objek-objek fisik seperti kartu, dadu, figurine dan lain sebagainya, akan tetapi pengalamannya disempurnakan lewat visualisasi 3D ala video game, yang diproyeksikan langsung ke alas bermain di atas meja.

Tilt Five

Tilt Five terdiri dari tiga komponen esensial: kacamata berkamera dan berproyektor HD yang tersambung via kabel USB ke PC atau smartphone, controller dengan wujud ala tongkat sihir, dan alas bermain dengan permukaan retroreflektif untuk menampilkan visualisasi 3D-nya.

Total ada dua kamera yang tertanam pada kacamata Tilt Five, satu yang berteknologi head tracking, dan satu lagi kamera computer vision untuk mendeteksi objek-objek di atas meja seperti kartu dan dadu, tidak ketinggalan juga kedua tangan masing-masing pemain. Tracking-nya sendiri berlangsung secara pasif berkat alas retroreflektif itu tadi, dan kacamatanya menawarkan field of view seluas 110°.

Tilt Five

Menariknya, fisik Tilt Five tidak jauh lebih besar dari kacamata biasa. Bobotnya pun hanya sekitar 85 gram, dan ia bisa dipakai tanpa melibatkan satu pun strap yang ribet, jauh berbeda dari yang ditawarkan CastAR sebelumnya. Pengguna berkacamata pun tetap bisa memakai Tilt Five dengan mengganti penyangga hidungnya terlebih dulu.

Elemen video game yang dipinjam bukan cuma grafik 3D saja, tapi juga fitur save game dan multiplayer. Dalam mode multiplayer, apa yang Anda lihat di atas meja bakal sama persis dengan yang dilihat oleh pemain-pemain lain di kediamannya masing-masing.

Tilt Five

Seperti halnya CastAR, Tilt Five saat ini juga sedang ditawarkan melalui platform crowdfunding Kickstarter, dan sejauh ini proyeknya sudah mendulang lebih dari $1 juta meski deadline-nya masih cukup panjang. Yang membuatnya berbeda dari CastAR, Tilt Five sudah sempat diproduksi dalam jumlah kecil untuk dipakai sejumlah developer yang berminat mengembangkan konten buatnya.

Juga berbeda adalah status Jeri Ellsworth yang kini menjabat sebagai CEO di Tilt Five, yang berarti ia bisa lebih leluasa mengatur arah visi perusahaannya. Singkat cerita, prospek Tilt Five jauh lebih cerah ketimbang CastAR enam tahun silam, dan di saat yang sama potensinya juga lebih luas berkat sederet penyempurnaan dari sisi teknis.

Buat yang tertarik, paket penjualan termurahnya dihargai $299 di Kickstarter, dan ini sudah mencakup kacamata, controller, alas bermain, serta sejumlah bonus game perkenalan. Estimasi pengiriman barangnya dijadwalkan pada Juni 2020.

Sumber: Engadget.