Adobe Umumkan Project Aero dan Project Gemini

Adobe membuat gebrakan baru-baru ini dengan memamerkan prototipe Photoshop versi baru untuk iPad yang fiturnya tidak kalah lengkap dibanding versi aslinya di komputer. Namun rupanya bukan itu saja produk baru yang tengah Adobe siapkan.

Di konferensi tahunan Adobe MAX, mereka turut mengumumkan Project Aero dan Project Gemini. Keduanya masih dalam tahap pengembangan dan belum benar-benar siap dirilis ke publik secara luas, akan tetapi Adobe tampaknya sudah tidak sabar untuk mendemonstrasikan kebolehannya.

Project Aero

Adobe Project Aero

Meledaknya tren augmented reality belakangan ini memaksa Adobe untuk ikut andil dalam proses kreasinya. Dari situ mereka mencanangkan Project Aero, sebuah platform terintegrasi untuk menciptakan konten AR menggunakan produk-produk lain Adobe yang sudah ada.

Komponen utama Project Aero sejatinya adalah versi baru Photoshop CC dan Dimension CC yang sudah dioptimalkan untuk pembuatan konten AR. Skenario pembuatan sederhananya adalah seperti ini: selesaikan sketsanya di Photoshop, kemudian ubah menjadi aset 3D di Dimension, dan terakhir bubuhkan animasi di Aero.

Adobe Project Aero

Hasil akhirnya bisa langsung disimpan dalam format uzdz bikinan Pixar, sehingga konten AR bisa langsung dinikmati dari Safari atau iMessage di perangkat iOS, tanpa memerlukan aplikasi khusus. Aero pada dasarnya memanfaatkan kapabilitas AI Adobe Sensei demi menyisipkan elemen-elemen realistis pada konten AR yang dibuat.

Project Aero saat ini sudah memasuki fase private beta. Masuknya Adobe secara resmi di bidang pembuatan konten AR ini semestinya bakal memaksa platform ARCore (Android) untuk segera menghadirkan dukungan atas format uzdz.

Project Gemini

Adobe Project Gemini

Project Gemini pada dasarnya adalah aplikasi baru yang dirancang secara khusus untuk kebutuhan menggambar dan melukis di atas layar sentuh. Ia bisa dianggap sebagai kulminasi sederet aplikasi ilustrasi yang Adobe luncurkan selama ini untuk platform iOS.

Kelebihan utama Project Gemini adalah penggunaan brush engine milik Photoshop, sehingga lukisan cat air pada Gemini akan tampak sangat alami seperti sedang melukis di atas kertas asli. Sistem layering, masking dan selection tentu tersedia demi mewujudkan proses berkreasi yang non-destruktif.

Adobe Project Gemini

Integrasi dengan Photoshop dan platform Adobe Creative Cloud tentu bakal dijadikan nilai jual tambahannya. Project Gemini rencananya akan dirilis lebih dulu untuk iPad, kemudian menyusul di Windows 10 dan Android. Statusnya saat ini baru pre-release, dan hanya bisa dicoba oleh konsumen dalam jumlah terbatas dengan mengisi survei.

Sumber: Adobe 1, 2.

Star Wars: Project Porg Diumumkan untuk Magic Leap, Ibaratnya Tamagotchi tapi dalam Medium AR

AR headset Magic Leap One memang baru dipasarkan ke kalangan developer saja selagi ekosistem kontennya dibangun. Terkait konten ini, Magic Leap rupanya telah ‘mengamankan’ dua franchise dengan popularitas yang mendunia. Yang pertama adalah Angry Birds, dan yang kedua Star Wars.

Namun jangan keburu membayangkan Anda bisa menyulap sofa di ruang tamu menjadi kokpit pesawat X-wing Starfighter dengan Magic Leap. Konten bertema Star Wars ini lebih mengarah ke lucu-lucuan daripada keren. “Porg” adalah kata kuncinya.

Bagi yang tidak tahu, Porg adalah makhluk sejenis unggas berpenampilan imut-imut yang pertama muncul di film “Star Wars: Episode VII – The Force Awakens”. Dalam permainan berjudul “Star Wars: Project Porg” ini, pengguna Magic Leap diajak berinteraksi langsung dengan penghuni planet Ahch-To itu di kediamannya masing-masing.

Pemain pada dasarnya bakal memelihara sejumlah Porg, memberinya makan, mengajaknya bermain dan mengawasinya satu per satu. Konsepnya kurang lebih seperti Tamagotchi, akan tetapi dengan tema Star Wars dan dalam medium augmented reality. Di sepanjang permainan, pemain akan dipandu oleh robot C-3PO, lengkap dengan pengisi suara aslinya.

Yang unik dari Project Porg adalah kemampuan makhluk-makhluk tersebut untuk bereaksi terhadap objek fisik yang ada di sekitarnya. Ini dikarenakan ada aset AR yang ditambatkan pada masing-masing objek, sehingga kumpulan Porg itu dapat, misalnya, tertidur selagi menonton TV.

Star Wars: Project Porg dikembangkan oleh ILMxLAB, divisi hiburan immersive Lucasfilm. Rencananya, Project Porg bakal dirilis di bulan Desember mendatang secara cuma-cuma buat seluruh pengguna Magic Leap One.

Sumber: Variety dan ILMxLAB.

Lifeprint Luncurkan Printer AR Edisi Harry Potter

Dunia tidak kekurangan printer portable berteknologi ZINK (zero ink) yang hanya membutuhkan kertas khusus ketimbang tinta. Itulah mengapa Lifeprint mencoba menawarkan sesuatu yang agak berbeda, yakni printer yang dapat mencetak ‘video’ dengan bantuan teknologi augmented reality.

Jadi ketika dilihat dari balik layar smartphone, foto hasil cetakan Lifeprint akan tampak bergerak-gerak. Hasilnya kurang lebih mirip seperti foto dan lukisan yang ada di film Harry Potter, dan Lifeprint rupanya menyadari bahwa itu bisa dijadikan nilai jual tambahan.

Harry Potter Magic Photo and Video Printer by Lifeprint

Mereka pun memutuskan untuk bekerja sama dengan Warner Bros. demi mewujudkan Lifeprint edisi Harry Potter. Wujud fisik printer-nya mirip, akan tetapi dengan emblem Hogwarts sebagai penanda keistimewaannya.

Fungsinya pun sama persis, akan tetapi di sini pengguna juga bisa menambatkan bermacam filter AR bertema Harry Potter pada foto bergeraknya, mulai dari syal khas murid-murid Hogwarts sampai topeng Death Eater.

Harry Potter Magic Photo and Video Printer by Lifeprint

Menggunakan aplikasi pendampingnya, pengguna bebas mencetak video yang berasal dari Instagram, Snapchat, Facebook, Live Photos di iOS maupun GIF. Hasil cetakannya berukuran 2 x 3 inci seperti Lifeprint orisinal, akan tetapi kualitas gambarnya diklaim lebih baik dari aslinya meski dimensi fisik perangkatnya menyusut sekitar 20%.

Harry Potter Magic Photo and Video Printer, demikian nama resminya, akan dipasarkan melalui Amazon mulai 22 Oktober seharga $150. Perangkat ini tentu bisa menjadi kado istimewa bagi para penggemar Harry Potter sejati.

Sumber: The Verge dan Accesswire.

Berkat Aplikasi 3D Scanner Pro, Menjadi Ilustrator 3D Hanya Perlu Modal iPhone

ARKit 2 yang dibawa iOS 12 menghadirkan format file baru khusus augmented reality bernama uzdz, yang memungkinkan konten AR untuk dilihat langsung melalui aplikasi seperti Safari atau Messages. Fitur ini Apple sebut dengan istilah AR Quick Look, terinspirasi dari fitur Quick Look yang ada di macOS.

Lalu yang jadi pertanyaan, bagaimana kita bisa membuat file uzdz sendiri atas objek-objek yang ada di sekitar kita? Tentunya kita harus lebih dulu menguasai teknik ilustrasi 3D. Bukan tugas yang mudah memang, sehingga alternatif yang lebih ideal untuk banyak orang adalah aplikasi bernama 3D Scanner Pro berikut ini.

3D Scanner Pro

Dikembangkan oleh Laan Labs, 3D Scanner Pro memungkinkan pengguna untuk menyulap objek di sekitarnya menjadi aset 3D hanya dengan memanfaatkan kamera iPhone. Anggap ini aplikasi scanner, tapi untuk objek tiga dimensi ketimbang dua dimensi, entah itu meja, kursi, vas bunga, atau malah tumpukan roti tawar.

Cukup arahkan kamera ke kursi, lalu biarkan aplikasi memindai bagian-bagiannya secara menyeluruh. Setelahnya, pengguna bakal langsung mendapat aset 3D-nya dalam format uzdz tadi, yang kemudian bisa dibagikan via iMessage.

3D Scanner Pro

Sang penerima pesan pun juga dapat melihat penampakan objek tersebut langsung di sekitarnya. Sederhananya, semua orang bisa menjadi ilustrator 3D berkat aplikasi ini.

Namun sebelum Anda bergegas ke App Store dan mengunduh 3D Scanner Pro, Anda rupanya masih harus bersabar mengingat statusnya masih early access. Terlepas dari itu, potensi aplikasi ini bakal sangat luas saat sudah dirilis nanti. Salah satunya adalah untuk membantu pemilik toko online di Shopify yang hendak mengintegrasikan katalog produk dalam bentuk AR.

Sumber: VR Scout.

Run an Empire Adalah Game Strategi yang Mengharuskan Anda Berkeringat untuk Menang

Gamer sering kali dikaitkan dengan seseorang yang menghabiskan waktu berjam-jam duduk diam sembari menatap layar. Anggapan itu akhirnya dipatahkan oleh Pokemon Go, yang berhasil membujuk jutaan pemainnya untuk keluar rumah dan berburu Pokemon langka; meskipun pada akhirnya mereka tetap duduk diam, setidaknya mereka duduk di taman kota sambil menghirup udara segar.

Sekarang, ada game lain yang tidak hanya mengajak pemainnya untuk keluar dari kediamannya masing-masing, tapi juga berjalan dan berlari sejauh mungkin. Judulnya Run an Empire, dan ia memang diciptakan buat mereka yang suka berjalan kaki maupun berlari.

Run an Empire

Premis game-nya sendiri tidak jauh berbeda dibanding seri Civilization; bangun kerajaan Anda, lalu perluas teritorinya seiring pergantian zaman. Bedanya, kalau di Civilization gerak-gerik Anda bergantung giliran, di Run an Empire semuanya bergantung pada kemauan Anda untuk berpeluh keringat.

Semakin jauh Anda berjalan atau berlari, semakin luas teritori kerajaan dan semakin banyak uang yang didapat untuk membangun infrastruktur. Gampangnya, Run an Empire masih harus dimainkan seperti game strategi atau 4X pada umumnya, akan tetapi untuk mengumpulkan resource, Anda sebagai pemain yang harus bekerja sendiri secara fisik.

Agar lebih seru, Anda juga bakal berhadapan dengan pemain lain, sehingga skenario saling serang dan saling berebut teritori dapat terjadi, atau Anda juga bisa saling membantu mengalahkan rival lainnya.

Run an Empire

Run an Empire pertama kali diperkenalkan oleh pengembangnya, Location Games, melalui Kickstarter di tahun 2014. Sejauh ini Location Games mengklaim Run an Empire sudah memiliki sekitar 40.000 pemain. Target mereka adalah menggaet 10 juta pemain di tahun 2019.

Maka dari itu, wajar apabila game ini menganut model bisnis free-to-play. Anda bisa memainkannya benar-benar tanpa biaya dan murni dari hasil keringat Anda, tapi kalau mau, Anda juga bisa mempercepat pembangunan dengan in-app purchase.

Tertarik? Run an Empire saat ini sudah tersedia secara global, baik di iOS maupun Android.

Sumber: Engadget dan Location Games.

Application Information Will Show Up Here

Aplikasi Ini Bantu Kita Mencari Kata Kunci pada Dokumen Fisik Secara Real-Time

Terjemahan kasar augmented reality (AR) adalah “realitas tertambah”. Pada prakteknya, AR banyak digunakan untuk menambahkan informasi langsung di atas objek nyata. Contoh terbaik dari penerapan teknologi AR adalah aplikasi Google Lens, yang salah satu fungsinya adalah untuk membantu menginterpretasi nama masakan asing pada menu sebuah restoran.

Untuk tugas yang spesifik seperti ini, Google Lens memanfaatkan teknologi yang dikenal dengan istilah Optical Character Recognition (OCR). Sekarang, teknologi tersebut juga dimanfaatkan oleh sebuah aplikasi bernama Find It untuk membantu kita mencari berbagai kata kunci dari sebuah dokumen atau buku fisik.

Cara menggunakan Find It terkesan cukup mudah. Cukup arahkan kamera ponsel ke suatu halaman dokumen atau buku, lalu ketik kata kunci yang hendak dicari (bisa langsung beberapa sekaligus). Secara instan aplikasi bakal menggarisbawahi kata kunci yang terdapat pada halaman dokumen sesuai yang kita cari.

Semuanya berlangsung secara real-time, tidak seperti pada mayoritas aplikasi pemindai dokumen yang mengharuskan kita untuk mengambil foto halamannya terlebih dulu. Asalkan teksnya ditulis dalam alfabet Latin, Find It sanggup membacanya, baik itu dalam bahasa Inggris, Spanyol, Perancis, Jerman, dan lain sebagainya.

Find It bisa kita anggap sebagai fungsi “Ctrl + F” versi nyata. Di komputer, kita dapat mengaktifkan shortcut itu untuk mencari kata tertentu pada dokumen maupun situs. Find It memungkinkan kita untuk menikmati kemudahan yang sama, tapi untuk teks yang dicetak, bukan teks digital.

Saya bisa membayangkan kegunaan aplikasi ini bagi mereka yang sedang mengerjakan skripsi dan harus meriset sejumlah buku yang dipinjam dari perpustakaan: cari segmen yang hendak diriset lewat daftar isi, lalu cari kata kuncinya menggunakan Find It. Semestinya cara ini jauh lebih menghemat waktu ketimbang harus mencari kata kuncinya secara manual.

Bagian terbaiknya, Find It bisa diunduh dari Google Play Store secara cuma-cuma. Opsi in-app purchase memang ada, tapi itu hanya untuk menghilangkan selipan iklan sesekalinya.

Sumber: Next Reality.

Application Information Will Show Up Here

Aplikasi HomeCourt Bantu Pebasket Berlatih dengan Memanfaatkan AR dan Machine Learning

Seperti biasa di event peluncuran iPhone baru, Apple mengundang sejumlah developer untuk mendemonstrasikan performa produk barunya melalui aplikasi buatan mereka. Peluncuran iPhone XS, XS Max dan XR kemarin tidak luput dari tradisi ini, dan salah satu yang paling menarik adalah aplikasi bernama HomeCourt.

Dikembangkan oleh NEX Team, HomeCourt pada dasarnya merupakan aplikasi untuk membantu pengguna berlatih basket, spesifiknya teknik shooting. Caranya adalah dengan menganalisis secara mendalam sesi latihan shooting yang direkam menggunakan kamera iPhone – cukup letakkan iPhone di atas tripod, arahkan kameranya ke ring, dan mulai berlatih.

HomeCourt app

Memanfaatkan platform ARKit dan kapabilitas machine learning dari chip Apple A12 yang terdapat pada trio iPhone baru tersebut, HomeCourt mampu mendeteksi pergerakan pemain, pergerakan bola, maupun posisi ring basket secara presisi. Hebatnya, sang pengguna yang tengah dievaluasi performanya sama sekali tidak perlu mengenakan sensor apa-apa di badannya.

Semuanya berlangsung secara real-time. Dari setiap lemparan bola, HomeCourt mampu mengukur sudut lemparan, kecepatan bola, tinggi lompatan, maupun durasi singkat ketika bola lepas dari tangan pemain (release time). Data-data semacam ini jelas sangat sulit dilihat menggunakan mata kepala sendiri, sehingga diyakini dapat membantu pemain mengasah skill-nya, baik secara individu maupun dalam konteks tim didampingi pelatih.

HomeCourt app

HomeCourt sejatinya bisa menjadi bukti besarnya potensi AR dan machine learning di ekosistem smartphone ke depannya. HomeCourt sendiri sempat memperoleh pendanaan sebesar $4 juta pada bulan Juli lalu, dan salah satu investornya merupakan seorang legenda hidup NBA, yakni sang raja assist Steve Nash. Di Amerika Serikat, beberapa tim basket universitas juga sudah memakai HomeCourt dalam program latihannya.

Sumber: GeekWire.

Shinta VR Perkenalkan Maya Putri, YouTuber Virtual Pertama dari Indonesia

Kemahiran talenta dari Jepang di ranah robotik bukan hanya terealisasi lewat pembuatan robot mekanis, tapi juga pada penciptaan agen virtual serta Vocaloid. Saya kenal beberapa kawan yang merupakan penggemar berat Hatsune Miku, karakter berbasis kecerdasan buatan seperti Kizuna Ai mempunyai acara TV-nya sendiri dan menjadi salah satu duta turisme Jepang.

Kali ini, langkah serupa diambil oleh perusahaan teknologi lokal yang memulai kiprahnya di ranah virtual dan augmented reality. Belum lama ini, Shinta VR memperkenalkan agen digital buatannya yang disiapkan untuk menjadi YouTuber. Tim asal Jakarta itu menamai kreasinya Maya Putri. Bagi saya pribadi, penamaannya sangat catchy. Maya adalah terjemahan bahasa Indonesia dari kata ‘virtual‘ sedangkan Putri ialah nama populer sekaligus representasi dari gender tokoh itu.

Maya Putri diklaim sebagai YouTuber virtual pertama dari Indonesia. Mungkin sebagai bentuk apresiasi terhadap tempat dicetusnya gagasan agen virtual, ia mempunyai desain karakter ala tokoh anime yang dikombinasikan bersama sejumlah atribut khas Indonesia, contohnya pakaian berwarna merah putih serta pengguanaan pola batik berbeda di baju serta bandana.

Berdasarkan video introduksinya, Maya mengaku berasal dari kota Solo, namun kata-kata yang diucapkannya mengindikasikan kentalnya aksen bahasa Jepang. Dari penjelasan Shinta VR, ini merupakan salah satu cara agar Maya cepat populer di kalangan pecinta pop culture Jepang lokal serta khalayak global.

Maya Putri 1

Shinta VR penyampaikan bahwa proses pengembangan Maya Putri menyerupai prosedur penciptaan YouTuber virtual lain. Tim developer memanfaatkan software animasi 3D dan teknologi perekam gerakan untuk membuat avatar digital itu, kemudian konten-konten tersebut didistribusikan ke platform video sharing YouTube. Maya Putri sendiri ‘punya cita-cita’ buat menjadi penyanyi nasional.

Yang menarik dari teknologi YouTuber virtual di sana adalah, Shinta VR memastikan agar Maya Putri tak hanya jadi tontonan, namun bisa pula berinteraksi dengan pemirsa. Buat memamerkan kemampuannya itu, sang YouTuber digital pertama asal Indonesia akan menjadi tamu di acara Anime Festival Asia, yang dilangsungkan di akhir bulan Agustus nanti.

Di acara itu, Maya Putri akan menyanyikan lagu-lagu cover secara live serta berpartisipasi dalam sesi tanya jawab bersama pengunjung. Meski begitu, Shinta VR juga punya rencana untuk mempersiapkan Maya buat menyanyikan lagu orisinal, serta merilis stiker Line dan sejumlah merchandise di waktu yang akan datang.

Shinta VR membuka kesempatan bagi perusahaan lain untuk bekerja sama menciptakan karakter orisinal mereka. Tim akan menyediakan sistem dan panduan, mendukung proses produksi video, serta membantu mereka mendistribusikan YouTuber virtualnya.

AR Headset Magic Leap One Versi Developer Resmi Dipasarkan

Setelah bertahun-tahun lamanya, Magic Leap pada akhirnya menjawab keraguan banyak orang lewat AR headset-nya, One. Kini mereka sudah siap menyebarkannya ke kalangan developer lewat peluncuran resmi Magic Leap One Creator Edition.

Mengenai hardware, paket penjualannya mencakup semua yang disingkap menjelang akhir tahun lalu, mulai dari headset Lightwear, motion controller 6DoF, serta yang tidak kalah penting adalah unit komputer bernama Lightpack. Lightpack yang wujudnya mirip speaker Google Home Mini ini dimensinya kecil, tapi spesifikasinya termasuk luar biasa.

Utamanya, ada chipset Nvidia Parker yang mengemas prosesor 6-core dan GPU Nvidia Pascal dengan 256 CUDA core. RAM-nya berkapasitas 8 GB, sedangkan storage-nya 128 GB (yang bisa dipakai cuma 95 GB). Baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 3 jam penggunaan, dan charging-nya mengandalkan USB-C.

Magic Leap One Creator Edition

Magic Leap juga menyinggung lebih banyak soal LuminOS, sistem operasi yang dijalankan oleh One, beserta sejumlah konten hasil garapan mereka sendiri yang sudah tersedia. Berhubung Creator Edition ini ditujukan buat para developer, jumlah kontennya belum banyak dan hanya dimaksudkan sebagai preview atau inspirasi buat mereka.

Sejauh ini ada tiga konten preview yang bisa dijajal oleh para developer. Yang pertama adalah Tonandi, yang dideskripsikan sebagai pengalaman eksplorasi audio-visual yang interaktif. Tonandi ini merupakan hasil kolaborasi Magic Leap dengan band kondang asal Islandia, Sigur Ros.

Magic Leap One Creator Edition

Kedua, ada Create yang digambarkan sebagai pengalaman mixed reality tipe sandbox. Pada dasarnya kita bisa menciptakan apa saja di sini, betul-betul sesuai dengan namanya. Yang terakhir dan yang mungkin paling dinanti-nanti adalah game berjudul Dr. Grordbort’s Invaders, yang teaser versi demonya sudah ada sejak lama. Untuk proyek yang terakhir ini, Magic Leap menggandeng maestro CGI di industri perfilman, Weta Workshop.

Di Amerika Serikat, Magic Leap One Creator Edition saat ini sudah dipasarkan dalam jumlah terbatas seharga $2.295 – lebih terjangkau dari Microsoft HoloLens, tapi tetap saja masih sangat mahal. Semoga saja versi consumer-nya jauh lebih murah dari itu.

Sumber: Magic Leap.

Nickelodeon Gunakan Game Engine untuk Membuat Film Animasi

Setahun yang lalu, Nickelodeon membuka divisi baru bernama Nickelodeon Entertainment Lab untuk bereksperimen dengan teknologi-teknologi terkini, khususnya di bidang augmented reality (AR) dan virtual reality (VR). Di samping itu, Nickelodeon rupanya juga telah mengeksplorasi penggunaan game engine pada proses produksi film animasi.

Proyek mereka tersebut sudah hampir membuahkan hasil. Nickelodeon sedang mengerjakan sebuah serial TV berjudul “Meet the Voxels”, di mana proses pembuatannya melibatkan game engine. Engine apa pastinya belum diungkap, akan tetapi ada kemungkinan Unreal Engine kembali menjadi pilihan mengingat Nickelodeon pernah menggunakannya untuk beberapa proyek VR mereka.

Mengapa harus menggunakan game engine? Apa yang salah dengan rendering engine film animasi yang ada sekarang? Berdasarkan penjelasan salah satu petinggi Nickelodeon Entertainment Lab sekaligus pencetus proyek ini, Chris Young, kata kuncinya adalah kemudahan. Game engine seperti Unreal maupun Unity memang terkenal akan kemudahannya diadaptasikan ke berbagai platform.

SVP Nickelodeon Entertainment Lab sekaligus pencetus "Meet the Voxels", Chris Young / Variety
SVP Nickelodeon Entertainment Lab sekaligus pencetus “Meet the Voxels”, Chris Young / Variety

Di industri film, Nickelodeon melihat prinsip serupa juga berlaku untuk mengadaptasikan franchise barunya ini ke berbagai medium, termasuk medium AR dan VR. Nickelodeon cukup percaya diri karena mereka memang telah membuktikannya, bukan sebatas meracik konsep di atas kertas.

Mereka sempat membuat film pendek 2D, kemudian aset yang sama yang digunakan di film tersebut mereka olah kembali menjadi konten VR tanpa usaha terlalu besar. Setelahnya, konten VR tersebut mereka jadikan konten mixed reality untuk Microsoft HoloLens, semuanya berkat fleksibilitas game engine.

Tanpa harus terkejut, jalan cerita Meet the Voxels sendiri tidak jauh-jauh dari dunia gaming. Film tersebut mengisahkan kehidupan sebuah keluarga karakter video game, di mana masing-masing anggotanya merupakan (atau sedang berusaha menjadi) bintang dari suatu video game.

Sumber: Variety dan Nickelodeon.