Bang & Olufsen Beoplay HX Unggulkan Active Noise Cancellation dan Baterai yang Sangat Awet

Tidak semua headphone noise-cancelling diciptakan sama. Basis teknologinya mungkin sama, yakni dengan mengandalkan mikrofon untuk menangkap suara luar yang hendak dieliminasi, akan tetapi kinerjanya bisa berbeda-beda.

Buat Bang & Olufsen, yang tidak kalah penting adalah bagaimana fitur active noise cancellation (ANC) itu bisa bekerja secara efisien. Secara umum, fitur ANC yang terus menyala akan mengonsumsi lebih banyak energi, sehingga ujung-ujungnya mempersingkat daya tahan baterai suatu headphone nirkabel.

Itulah mengapa headphone wireless terbaru B&O berikut ini terkesan istimewa. Dijuluki Beoplay HX, baterainya diyakini mampu bertahan selama 35 jam nonstop, dan itu dalam posisi ANC aktif secara konstan. Kalau ANC-nya dimatikan, daya tahan baterainya malah naik menjadi 40 jam.

35 jam merupakan angka yang terbilang mengesankan, terlebih di saat banyak headphone noise-cancelling lain yang hanya mampu beroperasi selama sekitar 20 jam. Angka ini bahkan lebih tinggi lagi daripada yang ditawarkan oleh Sony WH-1000XM4 (30 jam). Anggaplah Anda menggunakan headphone ini selama lima jam setiap harinya, itu berarti Anda tidak perlu mengecasnya sampai sepekan mendatang.

Baterai yang sangat awet ini juga dimungkinkan berkat konektivitas Bluetooth 5.1 yang diusung, yang ternyata juga sudah mendukung fitur Google Fast pair maupun Microsoft Swift Pair. Juga sangat berguna adalah kemampuannya terhubung ke dua perangkat sekaligus dalam satu kesempatan yang sama (multipoint connectivity).

Untuk reproduksi suaranya, HX mengandalkan sepasang dynamic driver berdiameter 40 mm dengan respon frekuensi 20 – 22.000 Hz. Driver tersebut dikemas dalam earcup membulat dengan bantalan memory foam yang dibalut oleh kulit domba asli. Untuk bantalan kepalanya, HX menggunakan kulit sapi yang dibalut kain breathable. Konstruksi aluminium memungkinkan bobotnya ditekan sampai serendah 285 gram.

Ketimbang hanya mengandalkan pengoperasian berbasis sentuhan saja (cuma di earcup sebelah kanan), HX turut mengemas sejumlah tombol di kiri sekaligus kanan. Selain port USB-C untuk charging, HX juga dilengkapi jack 3,5 mm seandainya pengguna perlu menyambungkannya via kabel (yang termasuk dalam paket penjualan).

Berhubung ini B&O, sudah pasti harganya tidak murah. Di Amerika Serikat, Beoplay HX saat ini sudah mulai dijual dengan harga $499 — setidaknya masih lebih murah daripada Beoplay H95 yang dibanderol $800. Pilihan warna yang tersedia ada tiga: hitam, putih, dan cokelat.

Sumber: The Verge.

Lucid Air Bakal Jadi Mobil Pertama yang Mengusung Integrasi Dolby Atmos

Ketika membicarakan mengenai mobil listrik, saya selalu mempunyai ekspektasi bahwa yang lebih modern bukan cuma sistem penggeraknya saja, melainkan juga sistem hiburan yang tertanam di dalam kabinnya. Kalau perlu contoh, kita bisa melihat Tesla Model S dan Model X versi terbaru yang sistem infotainment-nya mempunyai daya komputasi setara console next-gen.

Kedua mobil tersebut juga turut mengemas sistem audio yang sangat mumpuni, dengan 22 speaker dan total daya 960 watt, tidak ketinggalan pula teknologi active noise cancellation. Namun tentu saja Tesla bukan satu-satunya produsen mobil listrik yang serius perihal sistem hiburan. Contoh lainnya bisa kita lihat dari Lucid Motors.

Di ajang SXSW yang berlangsung secara online tahun ini, Lucid mengumumkan bahwa mobil perdananya, Lucid Air, bakal jadi mobil pertama yang dilengkapi sistem audio Dolby Atmos. Lucid menamai sistemnya dengan istilah Surreal Sound, dan nama tersebut merujuk pada pengalaman audio immersive yang mampu dihasilkan oleh 21 unit speaker yang tertanam di dalam kabin milik sedan mewah tersebut.

Integrasi teknologi Dolby Atmos berarti separasi suara tak hanya bisa dilakukan dari poros horizontal saja (depan ke belakang, atau kiri ke kanan), melainkan juga dari poros vertikal (atas ke bawah). Ini berarti distribusi suara bisa diarahkan lebih tinggi atau lebih rendah, baik itu musik maupun bunyi indikator dari beragam fungsi yang diaktifkan.

Ilustrasi integrasi Dolby Atmos pada sistem audio milik Lucid Air / Lucid Motors
Ilustrasi integrasi Dolby Atmos pada sistem audio milik Lucid Air / Lucid Motors

Dalam pengembangannya, tim engineering Lucid berkolaborasi langsung dengan Dolby guna memaksimalkan implementasi teknologi Atmos. Dengan begitu, Lucid pun mampu memikirkan skenario-skenario penggunaan yang spesifik, seperti misalnya ketika ada seorang penumpang yang duduk di belakang yang lupa mengenakan sabuk pengaman.

Berkat Atmos, bunyi peringatan yang terdengar bukan berasal dari dashboard, melainkan langsung dari tempat sang penumpang itu duduk di baris belakang. Skenario lainnya adalah ketika menyalakan mobil, di mana suara akan terdengar dari semua sudut ketimbang hanya dari depan sang pengemudi. Bahkan suara yang sesimpel bunyi indikator lampu sein pun juga akan terdengar berasal dari arah yang sesuai.

Seperti yang kita tahu, mobil listrik sangatlah hening jika dibandingkan dengan mobil bermesin bensin. Saking heningnya, sering kali suara yang terdengar di dalam kabin hanyalah suara gesekan ban dengan aspal saja. Mungkin itulah yang akhirnya mendorong produsen mobil listrik untuk berinvestasi lebih di bidang audio.

Saya berani berargumen seperti itu karena pada kenyataannya bukan cuma Lucid yang bermitra dengan perusahaan audio ternama dalam menggarap sound system untuk mobilnya. Belum lama ini, Audi dilaporkan telah bekerja sama dengan Sonos untuk mengembangkan sistem audio buat mobil listrik terbarunya, Q4 e-tron, yang akan menjalani debutnya pada bulan April mendatang.

Sumber: The Verge dan Lucid Motors.

Sasar Gamer Mobile, Logitech Luncurkan Earphone Logitech G333

Portofolio produk brand sebesar Logitech tentu mencakup banyak kategori sekaligus. Namun selama ini ternyata mereka cukup jarang menyentuh kategori earphone, dan itulah mengapa perangkat bernama Logitech G333 berikut ini pantas mencuri perhatian.

Logitech menyebutnya sebagai earphone gaming pertama mereka. Namun kalau kita telusuri, perangkat ini tampak identik seperti Logitech G333 VR yang dirilis bersamaan dengan virtual reality headset Oculus Quest 2. Namanya pun sama persis, namun hilangnya label “VR” pada namanya tentu menandakan target pasar yang lebih luas.

Lewat G333, Logitech pada dasarnya juga ingin menyasar kalangan gamer mobile. Ini bisa dilihat dari kelengkapan aksesori yang disertakan dalam paket penjualannya, yang rupanya juga meliputi sebuah adaptor USB-C untuk konektor 3,5 mm-nya. Jadi untuk konsumen yang smartphone-nya tidak dilengkapi headphone jack, mereka tetap bisa menggunakan G333 dengan bantuan adaptor tersebut.

Secara fisik, G333 datang membawa konstruksi aluminium beserta kabel pipih sepanjang 1,2 meter yang terbuat dari bahan karet TPE (thermoplastic elastomer) yang fleksibel. Pada kabel yang menyambung ke earpiece sebelah kanannya, ada remote control kecil untuk mengatur volume dan playback, sekaligus yang mengemas sebuah mikrofon terintegrasi. Bobotnya secara keseluruhan hanya 19 gram (tidak termasuk adaptor USB-C).

Masing-masing earpiece-nya ditenagai oleh dua dynamic driver berdiameter 5,8 mm dan 9,2 mm. Tiap unit driver ini punya tugas yang berbeda, satu untuk menghasilkan suara di frekuensi mid dan high, satu untuk frekuensi low alias bass. Seperti kebanyakan earphone yang dijual di pasaran, G333 juga hadir bersama tiga pasang eartip silikon dengan ukuran yang berbeda-beda (S, M, L).

Di Indonesia, Logitech G333 sekarang sudah dijual secara resmi dengan harga Rp629.000 dan tiga pilihan kombinasi warna: hitam dengan aksen biru, ungu dengan aksen kuning, dan putih dengan aksen ungu muda. Selain adaptor USB-C dan eartip cadangan, paket penjualannya juga mencakup sebuah carrying pouch.

Apple Hentikan Produksi HomePod Orisinal

Diperkenalkan pertama kali di tahun 2017, HomePod merupakan debut perdana Apple di kategori smart speaker yang mengusung integrasi voice assistant. Seperti yang sudah bisa ditebak dari produk Apple, HomePod hanya menawarkan integrasi Siri, bukan Google Assistant dan juga bukan Amazon Alexa. Hal ini pada akhirnya justru berdampak buruk terhadap penjualan.

Meski tidak ada data pasti yang berasal dari Apple sendiri, penjualan HomePod sepertinya memang tidak begitu baik. Buktinya, Apple baru-baru ini memutuskan untuk menghentikan produksi HomePod sepenuhnya. Speaker seharga $299 itu tidak akan dilanjutkan setelah stoknya habis terjual.

Yang masih akan terus diproduksi ke depannya adalah HomePod Mini, smart speaker bertubuh mungil yang Apple perkenalkan pada bulan Oktober 2020 kemarin. Berhubung HomePod orisinal sudah di-discontinue, ini berarti Apple bisa benar-benar berfokus pada HomePod Mini, yang memang punya peluang lebih besar di pasar berkat harganya yang relatif terjangkau: $99.

HomePod Mini / Apple
HomePod Mini / Apple

Bagi sebagian besar konsumen, khususnya yang sudah berkeluarga, HomePod Mini bakal terkesan lebih menarik ketimbang HomePod orisinal. Dengan modal yang sama, mereka bisa membeli tiga unit HomePod Mini untuk disebar di dalam rumahnya, sehingga mereka dapat menggunakan fitur Intercom yang tersematkan.

Dari segi kualitas suara, HomePod Mini jelas tidak akan bisa mengalahkan HomePod orisinal. Namun mayoritas konsumen mungkin sudah cukup puas dengan suara yang dihasilkan oleh HomePod Mini, dan sejumlah ulasan yang beredar di internet memang banyak yang memberikan nilai positif terkait kualitas suaranya, terutama jika mempertimbangkan ukurannya.

Sama seperti kakaknya, kekurangan terbesar HomePod Mini adalah terkait integrasi voice assistant-nya. Lagi-lagi yang dapat diajak berinteraksi cuma Siri, dan tidak sedikit konsumen yang menyayangkan absennya Google Assistant maupun Alexa. Pun begitu, dengan banderol cuma $99, kekurangan tersebut jauh lebih bisa dimaafkan di HomePod Mini daripada di HomePod orisinal yang berharga tiga kali lipat lebih mahal.

HomePod adalah produk kedua yang Apple discontinue dalam satu bulan terakhir ini. Sebelumnya, mereka sudah lebih dulu menghentikan produksi iMac Pro.

Sumber: TechCrunch.

Sonos Roam Adalah Speaker Terkecil Sekaligus Termurah Sonos Sejauh Ini

Meski sudah menggeluti bidang audio nirkabel sejak lama, Sonos baru meluncurkan speaker portabel pertamanya, Sonos Move, di tahun 2019. Satu hal yang cukup disayangkan adalah, dengan ukuran sebesar 240 x 160 x 126 mm, Sonos Move tidak seportabel kebanyakan speaker Bluetooth lain yang ada di pasaran.

Pernyataan ini tidak berlaku untuk speaker terbarunya, Sonos Roam. Dengan dimensi hanya 168 x 62 x 60 mm (kurang lebih sebesar botol minum), Roam tentu sangat mudah dibawa-bawa, apalagi mengingat bobotnya cuma berada di kisaran 0,43 kg. Kalau perlu membawanya ke samping kolam renang pun juga tidak masalah, sebab Roam telah mengantongi sertifikasi ketahanan air IP67 (sampai kedalaman 1 meter selama 30 menit).

Di dalamnya bernaung sebuah mid-woofer, sebuah tweeter, dan sepasang amplifier Class-H. Yang menarik adalah, Roam tidak mendistribusikan suara ke segala sudut (360°) seperti mayoritas speaker Bluetooth. Namun supaya suara yang dihasilkan tetap optimal dalam berbagai kondisi, Roam tetap dibekali fitur Trueplay yang akan menyesuaikan sendiri karakteristik suaranya secara otomatis berdasarkan posisinya di dalam ruangan.

Roam memanfaatkan unit mikrofon beamforming yang tertanam di dalamnya untuk mewujudkan fitur Trueplay ini. Tentu saja mikrofon yang sama juga berfungsi untuk menangkap suara pengguna, sebab Roam memang mendukung integrasi Google Assistant maupun Amazon Alexa.

Tidak seperti speaker Bluetooth pada umumnya, Roam mengemas konektivitas Bluetooth 5.0 dan Wi-Fi sekaligus. Jadi selagi masih berada di rumah, Roam dapat terhubung ke jaringan Wi-Fi untuk memutar audio langsung dari layanan streaming. Barulah ketika dibawa ke luar, Roam langsung berganti ke mode Bluetooth secara otomatis.

Kehadiran Wi-Fi berarti Roam juga dapat terhubung ke sistem multi-room yang sudah menjadi ciri khas Sonos selama ini. Pengguna juga bisa memperlakukan dua unit Roam sebagai speaker stereo, tapi sayangnya ini cuma berlaku jika perangkat terhubung ke jaringan Wi-Fi saja, bukan Bluetooth.

Dalam satu kali pengisian, Roam diyakini mampu beroperasi hingga 10 jam nonstop. Opsi charging-nya ada dua: menggunakan kabel USB-C, atau menggunakan wireless charger. Yang termasuk dalam paket penjualan memang cuma kabelnya saja, akan tetapi kabar baiknya pengguna tetap bisa menggunakan Qi wireless charger lain yang mereka punyai.

Sebagai speaker terkecil Sonos, Roam jelas merupakan yang paling terjangkau. Di Amerika Serikat, Sonos bakal memasarkannya seharga $169 (± 2,4 jutaan rupiah) mulai tanggal 20 April mendatang. Pilihan warna yang tersedia ada dua, yakni hitam atau putih.

Sumber: Sonos.

Sambut Tren Wireless Audio Berkualitas Tinggi, Qualcomm Umumkan Sertifikasi Snapdragon Sound

Diumumkannya Spotify HiFi belum lama ini bisa dilihat sebagai penanda bahwa tren audio berkualitas tinggi sudah menjadi lebih mainstream sekarang ketimbang beberapa tahun silam. Namun seperti yang kita tahu, pengalaman audio yang baik tidak melulu bergantung pada sumber audionya saja, melainkan juga perangkat yang kita gunakan.

Sederhananya, kalau kita berlangganan layanan seperti Spotify HiFi tapi yang kita gunakan adalah TWS abal-abal, besar kemungkinan audio berkualitas lossless yang disuguhkan jadi sia-sia karena perangkatnya tidak sanggup mengolah file-nya tanpa mengandalkan metode kompresi yang begitu agresif. Sumbernya memang lossless, tapi yang kita dengar tetap merupakan hasil kompresi karena keterbatasan teknologi wireless yang digunakan TWS abal-abal itu tadi.

Singkat cerita, kita harus memastikan dulu bahwa perangkat yang kita gunakan memang mampu menyajikan audio beresolusi tinggi sebelum menggunakan layanan macam Spotify HiFi, dan di sinilah gagasan terbaru Qualcomm datang membantu. Produsen chipset tersebut baru saja mengumumkan Snapdragon Sound, semacam sertifikasi yang mengindikasikan kualitas premium dari suatu perangkat audio nirkabel.

Menurut Qualcomm, Snapdragon Sound melibatkan banyak komponen kunci, mulai dari seri prosesor terbarunya, chip Bluetooth generasi terbaru, teknologi active noise cancellation (ANC), latency serendah 89 milidetik, sampai codec aptX Adaptive yang mendukung audio beresolusi 24-bit 96 kHz. Kalau angka ini kedengaran familier, itu karena codec LDAC ciptaan Sony juga menawarkan kapabilitas yang serupa.

Yang Sony buat itu tentu bersifat proprietary. Qualcomm di sisi lain membuka Snapdragon Sound untuk semua brand yang berminat. Suatu hal yang wajar mengingat komponen-komponen bikinan Qualcomm memang sudah tertanam di banyak perangkat audio nirkabel, dan kita mungkin sama sekali tidak menyadarinya.

Sayangnya produsen tidak bisa memperbarui perangkat yang sudah ada agar dapat mendukung Snapdragon Sound. Nantinya, produk-produk yang memenuhi sertifikasi bakal mengusung logo Snapdragon Sound di kemasannya, baik itu smartphone, headphone, maupun TWS. Dua brand pertama yang bakal meluncurkan produk bersertifikasi Snapdragon Sound tahun ini adalah Xiaomi dan Audio-Technica.

Mengincar perangkat yang mengusung logo Snapdragon Sound bukan berarti konsumen hanya akan mendapatkan kualitas audio nirkabel yang premium saja, sebab Qualcomm juga menargetkan parameter-parameter lain seperti koneksi Bluetooth yang stabil di berbagai kondisi, latency yang rendah ketika dipakai menonton video atau gaming, proses pairing yang simpel, sampai konsumsi energi yang efisien.

Sumber: Qualcomm dan The Verge.

Rode Wireless Go II Mudahkan Perekaman Audio dengan Dua Subjek yang Berbeda

Diumumkan di tahun 2019, Rode Wireless Go merupakan sebuah mikrofon nirkabel mungil yang sangat praktis untuk digunakan. Namun Rode rupanya sudah punya versi yang lebih baru, yang menghadirkan sederet penyempurnaan signifikan.

Secara estetika, Rode Wireless Go II memang tidak banyak berubah, baik unit transmitter maupun receiver-nya. Yang baru adalah adanya satu unit transmitter ekstra pada paket penjualannya. Berbeda dari pendahulunya, unit receiver milik Go II dapat menerima input dari dua unit transmitter sekaligus, sangat cocok bagi yang hendak membuat konten dengan dua subjek yang berbeda.

Seperti sebelumnya, unit transmitter-nya dilengkapi mikrofon omnidirectional dan mekanisme clip-on sehingga bisa langsung digunakan untuk menangkap suara. Alternatifnya, pengguna juga dapat menyambungkan lavalier mic (dijual terpisah) via colokan 3,5 mm. Dengan begitu, unit transmitter-nya bisa disembunyikan agar tidak tertangkap kamera.

Unit receiver-nya turut menerima upgrade yang tidak kalah substansial. Yang paling utama, pengguna kini bisa memilih opsi output antara TRS 3,5 mm atau USB-C. Ini berarti pengguna bisa langsung menyambungkan unit receiver-nya ke PC, laptop, maupun perangkat Android dan iOS menggunakan kabel USB-C, tidak perlu lagi bantuan kabel SC7 TRRS.

Jangkauan transmisinya juga sudah ditingkatkan dari 70 meter menjadi 200 meter, dengan catatan tidak ada objek yang menghalangi di antara unit transmitter dan receiver-nya. Unit transmitter-nya juga dapat menyimpan hasil rekaman secara otomatis ke storage internalnya (on-board recording), dengan durasi total sekitar 24 jam. Baterainya sendiri diperkirakan bisa bertahan sampai 7 jam pemakaian dalam sekali charge.

Sepintas fitur on-board recording ini mungkin terdengar sepele, tapi pada praktiknya bisa sangat berguna. Jadi seandainya koneksi sempat terputus, pengguna masih bisa mengakses rekaman audio lengkapnya dari penyimpanan milik transmitter-nya tersebut.

Secara keseluruhan, Rode Wireless Go II terkesan semakin user-friendly dan kian praktis lagi. Harganya memang lebih mahal daripada versi pertamanya – $299 – tapi itu wajar mengingat paket penjualannya mencakup dua unit transmitter sekaligus.

Sumber: The Verge.

Spotify Umumkan Paket Berlangganan Khusus Format Audio Lossless, Spotify HiFi

Spotify menggelar event online bertajuk “Stream On” pada tanggal 22 Februari kemarin, dan di situ diumumkan cukup banyak kabar menarik terkait masa depan sang platform streaming audio. Yang paling utama adalah Spotify HiFi, paket berlangganan baru yang akan diluncurkan tahun ini juga di beberapa negara.

Kata “HiFi” di sini merujuk pada “high fidelity“, yang berarti pelanggan paket baru ini dapat menikmati katalog audio dalam kualitas lossless. Sayangnya Spotify tidak merincikan spesifikasi teknis dari format lossless yang mereka pakai di samping sebatas menyebut “CD-quality”. Sebagai referensi, Spotify saat ini menyajikan konten audionya dalam bitrate maksimum 320 kbps kepada para pelanggan berbayarnya.

Juga tidak dijelaskan adalah tarif dari paket Spotify HiFi ini. Sudah pasti lebih mahal daripada tarif Spotify Premium, dan Spotify juga pasti bakal mematok tarif yang berbeda di setiap negara. Selain itu, Spotify kabarnya juga bakal menawarkannya sebagai add-on untuk para pelanggan Spotify Premium.

Spotify turut membeberkan rencana ekspansinya di tahun 2021 ini. Target mereka adalah menyediakan layanannya di 85 negara baru, yang kalau ditotal mewakili lebih dari 1 miliar orang. Sebagai konteks, sejauh ini Spotify tercatat memiliki sekitar 345 juta pengguna aktif bulanan, 155 juta di antaranya adalah pelanggan paket berbayar.

Spotify DC Comics

Spotify juga masih terus berusaha untuk memperkaya konten podcast-nya. Beberapa deal kemitraan baru dengan para kreator mereka umumkan di acara ini, dan salah satu yang mungkin terdengar paling menarik adalah DC Comics. Peluang hadirnya seri komik baru yang disajikan secara khusus via audio tentu sangatlah besar dengan adanya kerja sama seperti ini.

Cara lain yang mereka terapkan tentu adalah dengan mempermudah proses kreasi podcast itu sendiri. Seperti yang kita tahu, Spotify sudah punya aplikasi pembuat podcast bernama Anchor, dan Anchor rupanya telah berkolaborasi dengan WordPress untuk menciptakan tool yang dapat mengubah teks menjadi audio. Idenya adalah supaya para blogger dapat memublikasikan tulisannya menjadi podcast hanya dalam beberapa klik saja.

Terakhir, Spotify saat ini tengah menguji fitur yang memungkinkan pengguna untuk mencari podcast berdasarkan tema atau topik tertentu. Fitur ini sekarang sedang mereka uji bersama para pengguna di Amerika Serikat, namun kabarnya juga akan tersedia di lebih banyak negara di tahun ini juga.

Sumber: TechCrunch dan Spotify. Gambar header: Depositphotos.com.

Rode VXLR Pro Adalah Solusi untuk Menghubungkan Mikrofon Rode ke Perangkat XLR

Kualitas audio pada sebuah video sama pentingnya dengan kualitas gambar, mikrofon eksternal pun menjadi aksesori wajib bagi para content creator dan filmmaker. Namun saat produksi kadang timbul masalah seperti sinyal yang tidak stabil ketika pakai mikrofon wireless dan kualitas audio yang menurun ketiga pakai mikrofon shotgun menggunakan kabel yang panjang.

Untuk mengatasi hal-hal tersebut, belum lama ini Rode memperkenalkan VXLR Pro. Adapter 3,5mm female TRS ke male XLR yang memungkinkan mikrofon Rode dihubungkan ke kamera atau perangkat recorder yang memiliki input XLR.

Rode VXLR Pro dapat mengubah daya phantom 12-48V menjadi daya plug-in 3-5V. Artinya, memungkinkan mikrofon seperti VideoMicro dan VideoMic GO menerima daya dari perangkat XLR. Rode VXLR Pro ini dilengkapi dengan konektor pengunci yang memastikan koneksi Anda selalu aman saat merekam.

Lebih lanjut, Rode VXLR Pro memiliki transformer internal untuk menyeimbangkan sinyal yang tidak seimbang dari mikrofon menjadi sinyal yang seimbang saat ditransmisikan. Fitur ini sangat berguna, terutama bila menggunakan mikrofon seperti Rode VideoMic NTG yang dipasang pada boom pole atau tiang boom, dengan kabel panjang yang terhubung ke mixer atau interface.

VXLR_Pro2 3 vxlr-pro

Rode mengatakan, dengan VideoMic NTG bahkan bila menggunakan kabel sepanjang 100 meter, Anda tidak akan mengalami gangguan sinyal dan noise yang dapat mempengaruhi kualitas rekaman.  Harga Rode VXLR Pro ini dibanderol US$39 atau sekitar Rp550 ribuan.

Daftar lengkap mikrofon Rode yang kompatibel dengan Rode VXLR Pro sebagai berikut:

  • VideoMic NTG
  • Wireless GO
  • VideoMic
  • VideoMicro
  • VideoMic Pro
  • VideoMic Pro+
  • VideoMic GO
  • HS2
  • RØDELink Filmmaker Kit
  • SmartLav+ (bila menggunakan SC3 Adapter)

Sumber: Diyphotography

Teknologi Driver Baru Mungkinkan Lahirnya Speaker dengan Desain yang Lebih Kreatif

Coba Anda buka speaker berusia puluhan tahun dan speaker wireless yang Anda beli tahun lalu, kemudian bandingkan isinya. Kemungkinan besar, Anda akan mendapati bahwa keduanya sama-sama mengemas komponen dengan bentuk mengerucut. Komponen tersebut adalah driver berjenis electrodynamic, dan teknologi di baliknya sejatinya belum banyak berubah hingga saat ini.

Jadi meskipun produk speaker sudah bertambah canggih, cara kerjanya menghasilkan suara masih sama seperti ketika teknologinya pertama ditemukan. Dari perspektif sederhana, electrodynamic driver melibatkan sebuah electromagnet, voice coil, dan diaphragm. Magnetnya berbentuk seperti donat, voice coil-nya silindris, dan diaphragm-nya mirip kubah.

Alhasil, menciptakan electrodynamic driver yang tipis bukanlah pekerjaan mudah. Namun itulah yang diusahakan oleh sebuah startup asal Korea Selatan bernama Resonado Labs sejak tahun 2017. Buah pemikiran mereka akhirnya dipatenkan dengan istilah Flat Core Speaker (FCS), dan teknologi ini rupanya punya sejumlah kelebihan jika dibandingkan dengan teknologi electrodynamic driver biasa tadi.

Electrodynamic driver konvensional (kiri) dan FCS driver (kanan) / Resonado Labs
Electrodynamic driver konvensional (kiri) dan FCS driver (kanan) / Resonado Labs

Yang paling utama, driver FCS tidak memakan terlalu banyak tempat, seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas. Konstruksi pipihnya itu mencakup sebuah voice coil yang diapit oleh sepasang magnet berbentuk balok, sehingga pada akhirnya diaphragm yang bergetar bisa dibuat datar. Lebih istimewa lagi, satu set magnet dan voice coil tadi bahkan bisa menggerakkan dua diaphragm di sisi yang berlawanan sekaligus.

Dengan susunan driver seperti ini, speaker tentu tidak perlu mengemas bodi yang kelewat besar. Resonado bahkan membayangkan bagaimana driver FCS bisa ditanamkan ke perangkat seperti lampu gantung. Singkat cerita, FCS memungkinkan lahirnya speaker dengan desain yang lebih kreatif, tanpa terbatasi oleh bentuk electrodynamic driver konvensional yang menyulitkan.

Yang mungkin jadi pertanyaan, kenapa tidak menggunakan driver berjenis electrostatic atau planar magnetic saja kalau memang problemnya adalah soal keterbatasan ruang? Well, dua tipe driver tersebut membutuhkan ongkos produksi yang cukup mahal. FCS di sisi lain menggunakan material yang sama seperti electrodynamic driver biasa, dan itu berarti ia cukup ekonomis untuk diproduksi.

Selain speaker, driver FCS juga dapat digunakan di headphone. Saya juga tidak akan terkejut seandainya kita bakal menjumpai earphone yang mengemas driver FCS nantinya. Semuanya tergantung bagaimana penerapan proses miniaturisasi berpengaruh terhadap kualitas suara yang dihasilkan.

Namun ketimbang memproduksi speaker-nya sendiri, Resonado lebih memilih menjadi penyedia teknologi saja. Berdasarkan informasi yang tertera di situsnya, di musim semi tahun ini bakal ada soundbar yang mengemas driver FCS, kemudian disusul oleh sound system mobil elektrik di musim dingin.

Sumber: Digital Trends.