Agate Perkuat Lini B2B, Bentuk Unit Khusus Pengembangan Game 3D

Startup game developer asal Bandung Agate mengumumkan Vertx Break, sub-brand khusus pengembangan game 3D. Sub-brand ini merupakan yang kedua, setelah Level Up yang diumumkan Agate pada 2019.

Langkah ini merupakan bagian dari strategi Agate memperdalam bisnis B2B2C yang menjadi fokus utama perusahaan, mengingat kontribusinya yang signifikan sebesar 90% dibandingkan segmen B2C dari total bisnis per tahun lalu.

Dalam konferensi pers yang digelar Agate di kantor pusatnya di Bandung pada hari ini (16/1), Co-founder & CEO Agate Shieny Aprilia menyampaikan pembentukan Vertx Break dilatar belakangi oleh naiknya kebutuhan dari perusahaan pengembang game global yang makin bergantung pada pihak ketiga dalam membantu percepat produksi sebuah game.

Demand yang nature paling dicari itu bagian art, sebab dalam lifecycle produksi game butuh partner untuk memenuhi kebutuhan tersebut karena mereka tidak bisa bergantung dari internal saja. Kami melihat kebutuhan tersebut makin besar, terutama untuk 3D dan high quality, ditambah game ready,” ujarnya.

Chief Strategy Officer Agate Cipto Adiguno menambahkan, perkembangan industri game yang pesat secara global, turut menuntut tingginya kualitas konten dari konsumen. Membuat IP (Intellectual Property) baru pun diprediksi makin sulit karena risikonya yang besar. Makanya alternatif tersisa adalah mengembangkan dari IP lama atau membuat sekuel.

Agar mencapai ekspektasi tersebut, perusahaan biasanya membutuhkan kehadiran mitra bisnis dengan kapabilitas dan reputasi baik. Agate menjawab kebutuhan tersebut dengan membentuk Vertx Break yang berfokus pada 3D Stylized Art berkualitas tinggi dan game ready. Layanannya meliputi: 3D Character, 3D Equipment & Outfit, 3D Environment Props, dan 3D Hard Surface.

Kombinasi ini memungkinkan karya yang dihasilkan tidak hanya menawan secara visual, namun juga siap diaplikasikan ke produk game secara keseluruhan. Kelebihan dari Agate ini dinilai belum banyak bisa dihadirkan oleh perusahaan global kebanyakan.

“Umumnya banyak perusahaan yang tidak punya pipeline yang rigid untuk suatu game baru. Harus multi test dan tidak ada struktur untuk memasukkan art secara rigid. Dalam situasi ini kita sudah punya experience yang bisa di-adapt dan di-costumized sesuai kebutuhan mereka,” imbuh Cipto.

Target pengguna yang dibidik adalah perusahaan pengembang game skala AA di Eropa. Menurut Cipto, karakteristik pengembangan dan genre game di kawasan tersebut selaras dengan portofolio game yang selama ini Agate kerjakan, yakni fokus di konsol dan PC.

Sudah ada beberapa klien dari Eropa dan Asia Tenggara yang sedang menggunakan jasa tim Vertx Break. Tim ini terdiri dari delapan orang dengan keahlian teknis dan visi artistik yang memanfaatkan pengalaman Agate dalam membuat sejumlah game menggunakan Unreal Engine dan Unity. Beberapa portofolio game yang telah dikerjakan tim Vertx Break, seperti Street Fighter, Marvel vs Capcom Infinite, World of Tanks, Final Fantasy XIV, dan World Warcraft.

Model bisnis yang dipakai di Vertx Break ini adalah beli putus, paling umum di industri game untuk sebuah external game development. “Namun kami juga sangat terbuka memasukkan services lain milik Agate ke Vertx Break.”

Head of Vertx Break Agate Ar Cahyadi Indra menuturkan, “Fokus ini memungkinkan kami membangun percakapan yang lebih relevan dengan strategi bisnis art outsourcing kami. Melalui pendekatan unik kami sebagai game art development partner yang resourceful dan adaptable untuk kebutuhan 3D Art Development, partner kami dapat menghemat banyak waktu penyesuaian dan perbaikan jika berkolaborasi dengan Agate.”

Rencana Agate

Sebagai bagian dari rencana Agate yang ingin perkuat B2B2C, selain memperkenalkan Vertx Break, perusahaan juga akan melanjutkan ekspansi regionalnya ke pasar Amerika dengan membentuk tim perwakilan di sana untuk perbanyak portofolio bisnisnya (co-development). Sejauh ini, Agate telah hadir di empat negara, yakni Kanada, Jerman, Korea Selatan, dan Jepang.

Di saat yang bersamaan, perusahaan juga terus meningkatkan proses pengembangan internal dan meningkatkan kualitas output melalui inisiatif proyek R&D bersama para mitra sebelumnya yang telah sukses dilaksanakan. Mereka adalah Naver Z, PQube, dan Freedom Games.

Terakhir, Agate berkomitmen mengembangkan keahlian para talenta lokal serta kualitas kepemimpinannya untuk mendorong percepatan pertumbuhan industri game di tanah air melalui Agate Academy. Saat ini karyawan Agate berjumlah 248 orang dengan kantor pusat di Bandung, Jawa Barat.

Pada tahun lalu, Agate secara konsisten berperan aktif dalam mempromosikan industri game lokal. Tercatat ada lebih dari 35 acara di ranah internasional, yang sebagian besar diselenggarakan di Eropa dan Amerika telah dihadiri.

Selain itu, Agate juga menjalin kemitraan baru dengan 5 perusahaan global, yaitu ISKRA, Naver Z (ZEPETO), PQube, Ifland, dan Sekuya. Agate juga merilis 14 proyek global dan memulai 4 proyek game baru, pencapaian ini naik dibandingkan tahun sebelumnya.

Mengutip dari data Statista, memasuki tahun 2024, pasar video game global diproyeksikan akan mencapai pendapatan sebesar $282,30 miliar dengan peningkatan 13%, serta diperkirakan akan tumbuh sebesar 8,76% (YoY) antara tahun 2024 dan 2027, menghasilkan volume pasar yang diproyeksikan sebesar $363,2 miliar pada tahun 2027.

Selain itu, Agate memprediksi beberapa aspek yang akan tumbuh dalam sektor industri game tahun ini, di antaranya franchise games yang akan terus mendominasi; kemungkinan adanya konsol baru yang akan memasuki pasar, sehingga dapat membuka banyak peluang baru bagi para pengembang game di seluruh dunia; serta penggunaan Artificial intelligence (AI) yang dapat membantu mempercepat proses pengembangan game.

Strategi LinkAja Menuju Profitabilitas, Fokus ke Pasar BUMN (UPDATED)

Berdarah-darahnya persaingan di area fintech digital payment B2C membuat LinkAja memutuskan untuk mengalihkan bisnisnya ke B2B dan B2B2C sejak 2021. Diklaim dari berbagai strategi efisiensi untuk pivot, telah membuahkan hasil. Sejak Juni 2023 hingga kini, LinkAja telah mencapai posisi EBITDA positif, artinya tinggal sedikit langkah menuju laba.

“LinkAja dalam dua tahun terakhir berturut-turut berhasil menurunkan cost opex 50%, tapi berturut-turut menaikkan revenue hingga 30%. Per Juni, Juli, dan Agustus [2023] selama tiga bulan berturut-turut sudah capai EBITDA positif,” terang Chief Finance and Strategy Officer LinkAja Reza Ari Wibowo kepada media di Jakarta, Selasa (19/9).

Walau tidak disebutkan secara rinci, ia menyampaikan kenaikan pendapatan ini disokong oleh berbagai inisiatif perusahaan sejak pivot dari B2C, sebagai berikut:

  • Kontribusi bisnis dari lima layanan utama, secara berturut-turut berdasarkan kontributor terbesar adalah produk transfer uang ke rekening bank, beli pulsa, pembayaran PPOB, top up/withdraw saldo, dan manajemen supply chain bersama Telkomsel (agen pulsa DigiPos) dan Pertamina.
  • Efisiensi aktivitas pemasaran turun hingga 98%, sekarang cashback sudah hampir tidak ada.
  • Optimalisasi teknologi dan infrastruktur pendukung, termasuk e-KYC turun sekitar 30%.
  • Merumahkan ratusan karyawan pada Mei 2022.

Menurut Reza, peningkatan ini sangat luar biasa karena perusahaan sekarang sudah tidak lagi bicara mengenai pengguna aktif bulanan (MAU) dan nilai transaksi bruto (GMV) sebagai indikator kinerja, melainkan unit economics yang sudah terpampang nyata.

“Ke depannya kita mau menaikkan revenue yang seperti ini. Ekspektasi kita revenue di 2023 bisa naik 30% dari 2022. Di 2021 itu kita naik 30% setelah menurunkan cost hingga 60%. Loss [EBITDA] tinggal 99%, masih sedikit lagi untuk positif bila secara full year 2023.”

Di balik pencapaian tersebut, ada satu hal yang menarik bahwa jumlah pengguna LinkAja menunjukkan tren penurunan. Namun di saat yang bersamaan, tingkat retensinya meningkat di angka 90%. Reza menjelaskan, hal ini terjadi karena pengguna LinkAja yang ada saat ini tergolong berkualitas. Salah satu kemungkinan terbesar yang mereka lakukan adalah lebih sering bertransaksi.

Ambil contoh, perusahaan melakukan renegosiasi untuk revenue sharing dengan perbankan untuk layanan transfer uang. Dari awalnya gratis tanpa biaya admin, kini dikenakan biaya Rp1.000. Perolehan uang tersebut sepenuhnya masuk ke kantong LinkAja.

“Dibandingkan tiga tahun lalu, ARPU (average revenue per user) sekarang 5-7 kali lipat kenaikannya, dibandingkan kita spend marketing gede-gedean.”

Walau terjadi tren penurunan, pihaknya memastikan bahwa sebenarnya yang diincar adalah pengguna yang berkualitas dan loyal. Jadi masalah kuantitas tidak begitu berpengaruh bagi LinkAja. Kendati demikian, Reza mengaku sudah menyiapkan sejumlah inisiatif untuk kembali mendongkrak jumlah pengguna ke depannya. Ia ingin setiap uang yang diinvestasikan harus balik menjadi pendapatan perusahaan.

Berdasarkan data internal perusahaan, total pengguna LinkAja yang teregistrasi mencapai 91 juta orang. Tidak disampaikan pengguna aktifnya saat ini.

“Kita mau biarkan turun sementara [jumlah pengguna] untuk jaga profitabilitas. Yang penting proft dulu, jadi benar-benar enggak ada ruang untuk lemak, tinggal daging yang jadi otot.”

Model bisnis LinkAja

Dengan model bisnis B2B dan B2B2C, LinkAja memanfaatkan posisinya yang strategis dengan jajaran investor dari perusahaan pelat merah. Disebutkan sebagian besar perusahaan pelat merah —beberapa adalah pemegang saham di LinkAja— ini adalah pemilik pangsa pasar terbesar di industrinya masing-masing di Indonesia, seperti Telkomsel dan Pertamina.

Menggarap pasar captive jadi lebih masuk akal karena masih banyak potensi yang belum tergarap. Strategi ini selaras dengan ambisi awal dibangunnya LinkAja, yakni berupaya meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia di kota lapis dua dan tiga.

Saat ini, pemegang saham pengendali di LinkAja adalah Telkomsel. Lalu disusul BRI, Bank Mandiri, BNI. Berikutnya, Pertamina, Jasa Marga, Taspen, dan lainnya punya persentase yang kurang lebih sama.

“Daripada kami compete di area yang sama [pemain e-wallet lainnya], lebih baik compete di SOE (state-owned enterprise) karena rata-rata leader di tiap industri itu dari SOE. Kalau startup lain harus ketok pintu satu-satu, tapi LinkAja sudah ada akses.”

Dicontohkan inisiatif B2B yang sudah berjalan, yakni manajemen rantai pasok bersama Telkomsel dan Pertamina. Bersama Telkomsel, melalui aplikasi agen pulsa Digipos, LinkAja menjadi penghubung alat pembayaran, antara agen pulsa dengan diler. Aplikasi tersebut juga telah ditenagai dengan PPOB, sehingga mereka tidak jualan pulsa saja. Diklaim transaksi pembelian pulsa di Digipos mencapai miliaran Rupiah.

“LinkAja adalah satu-satunya alat pembayaran di Digipos, jadi 100% uang berputar di sana. Ini sudah ngomong tentang supply chain di belakangnya. Jadi sekarang kita enggak cuma B2C e-wallet tapi jadi infrastruktur pembayaran.”

Contoh sukses ini akan direplikasi ke manajemen rantai pasok lainnya di ekosistem BUMN. Pertamina misalnya, untuk aplikasi MyPertamina, kini metode pembayarannya bertambah, ada OVO dan GoPay. Induk GoPay adalah pemegang saham di LinkAja, sedangkan OVO adalah afiliasi dari Grab, salah satu investor LinkAja.

Untuk memperkuat infrastruktur pembayaran, LinkAja berencana untuk menambah izin sebagai gerbang pembayaran. Langkah ini akan ditempuh dengan cara organik, memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Terlebih saat ini LinkAja sudah memperoleh kategori izin tertinggi dan hanya dibutuhkan beberapa persyaratan lagi untuk mendapat lisensi gerbang pembayaran.

Ambisi yang akan dicapai setelah memperoleh izin tersebut adalah memungkinkan mitra B2B LinkAja untuk tarik dana di kanal mana pun. Saat ini pengguna LinkAja dapat tarik tunai via ATM Himbara. “Jadi kami tidak compete dengan Xendit atau payment gateway yang lain.”

Reza juga mengungkap bahwa sebelum tutup tahun, perusahaan akan melakukan penggalangan dana untuk mengejar pertumbuhan. Terdapat investor existing dan baru dari luar negeri yang akan bergabung.

Aplikasi khusus BUMN

LinkAja

Dalam rangka menggarap pasar captive di ranah B2B2C, baru-baru ini LinkAja merilis aplikasi LinkAja dengan tampilan khusus (skin) BUMN. Tampilan ini diperuntukkan buat para pegawai BUMN dengan fungsi sebagai aplikasi pembayaran dan komunikasi terpadu seputar kementerian maupun perusahaan BUMN yang tergabung di dalamnya.

Tak hanya itu, aplikasi tersebut juga dapat diutilisasi sebagai media promosi terkait produk dan layanan masing-masing perusahaan BUMN.

Disebutkan ada lebih dari 200 ribu karyawan BUMN sudah terdaftar dapat menikmati produk, program, informasi, layanan, dan bertransaksi aktif dalam aplikasi. Bila ditotal ada lebih dari 1 juta karyawan yang berpotensi menjadi pengguna.

“Game besarnya di aplikasi ini ada banyak. Ada yang mau kita replikasi, salah satunya loyalty exchange nanti bisa terintegrasi oleh antar aplikasi BUMN. Lalu kita juga bisa tawarkan produk kasbon ke karyawan BUMN. Strategi seperti ini yang nantinya akan jadi nilai tambah dari kita.”

Nasib terkini iGrow

Terkait nasib iGrow, Reza menuturkan saat ini pihaknya masih menjalani proses hukum untuk bertanggung jawab terhadap gugatan yang dilayangkan oleh sejumlah eks lender karena masalah gagal bayar. Ia pun siap menjalani proses tersebut.

“Kami tetap berusaha menyelesaikan langkah penyelesaian, termasuk apabila aset borrower harus ditarik untuk dikembalikan lagi ke lender. Komitmen kami terhadap iGrow cukup kuat.”

Saat ini proses mediasi antar kedua belah pihak masih buntu karena penggugat mencabut gugatannya untuk sementara dan sedang mempersiapkan gugatan baru.

Sembari proses tersebut kelar, nama badan hukum dan brand telah diubah per Agustus kemarin. Dari PT iGrow Resources Indonesia menjadi PT LinkAja Modalin Nusantara, dengan nama brand LinkAja Modalin Powered by iGrow.

Persiapan ini dalam rangka pivot bisnis dari pembiayaan di industri agrikultur menjadi UMKM close loop di dalam ekosistem BUMN. Produk-produknya adalah Retailer Financing, Invoice Financing, Invoice Financing Mitra Telkomsel, dan Distributor Financing.

“Kami masih terus carikan solusi untuk penyelesaian [pembiayaan agri] sampai clear dan bisnis baru juga sudah clear, baru kita sampaikan ke OJK. Setiap bisnis baru itu kan harus dapat persetujuan dari OJK. Modalin sekarang belum efektif berjalan, tapi kami sudah intensif berkomunikasi dengan OJK dan partner di BUMN,” pungkasnya.

*) Kami memperbaiki informasi struktur pemegang saham di LinkAja

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Qoala Insurtech Enters the B2B and B2B2C Segment

The Qoala insurtech platform expands its business model to the B2B and B2B2C segments by launching Qoala for Enterprise. This service offers insurance solutions for business, both for internal and the source of customer satisfaction.

“By changing our partnership business line to Qoala for Enterprise, Qoala wants to emphasize our commitment to our business partners to empower businesses through innovative insurance solutions,” Qoala’s Founder & CEO Harshet Lunani said.

Previously, Qoala had partnered with several digital players, including Grab to present a variety of insurance products in the super app. It is said to have collaborated with several digital platforms, including Traveloka, Tokopedia, Shopee, Blibli, JD.ID, Digimap, Investree, SiCepat, OVO, Dana, including Momo (Vietnam) and OYO (India).

Harshet explained, Qoala for Enterprise allows business partners to save costs for insurance up to 25 percent, also get additional income through a sophisticated IT system. In the collaboration process with both insurance companies and clients, Qoala helps with product design, pricing, platform integration, claims support, and more.

“The products developed can be tailored to dynamic business needs, supported by the latest technology that allows hassle-free data integration and synchronization. We currently provide at least five types of insurance solutions, including logistics insurance, health insurance, travel insurance, gadget insurance and credit insurance,” he said.

He added, “Qoala for Enterprise also provides end-to-end analysis of product performance and consumer behavior of Qoala’s business partners. In fact, Qoala’s artificial intelligence and machine learning technologies can detect fraud quickly.”

An example of this unique application, Qoala and OYO collaborated to provide protection for customers while staying at properties in the Southeast Asia region. The protection provided is in the form of an innovative insurance product, a first in the insurance industry worldwide.

Harshet believes that the best way to improve the quality of collaboration is through a market that already has the right incentives and understanding. He said, optimal collaboration focuses on both process and outcome.

Accelerate digital insurance business

Recently, Qoala launched a business expansion to Thailand, supported by a corporate action by acquiring local insurtech startup Fairdee. In April 2020, it has secured series A funding worth 209 billion Rupiah led by the Centauri Fund, a fund managed by Telkom and KB Financial Group.

With an omnichannel concept, Qoala connects users with various insurance products. Currently, there are 20 insurance company partners have joined the application with more than 8 million successful transactions. One of the market penetration strategies taken is through micro insurance products, such as gadget protection; and has been integrated with several other digital platforms.

Apart from Qoala, there are also several similar platforms in Indonesia. One that is quite significant is PasarPolis. Earlier this year they just secured additional funding of more than 70 billion Rupiah from IFC. Previously, in September 2020, PasarPolis has announced series B funding worth 796 billion Rupiah – the largest funding in the insurtech landscape of Southeast Asia. Apart from Indonesia, they also cover the Thai and Vietnamese markets.

The Covid-19 pandemic has not weaken the insurance business growth in Indonesia. From the data summarized by Lifepal, it is shown that there is a relatively fast recovery regarding gross premium income for life insurance throughout 2020. Especially in June 2020, compared to the same period last year the value increased.

In addition, citing the Munich Re Economic Research study, Indonesia will lead the growth of health and life insurance premiums from 2019-2030, with a CAGR of 9.1%. Throughout 2019, the successfully booked premiums have reached 185.3 trillion Rupiah for life insurance and 80.1 trillion Rupiah for health insurance.

The existence of insurtech and digital startups in general has put wind in insurance companies’ sails. Our data shows that interest in integrating insurance products or services into digital channels continues to increase. Throughout 2020, there were eight public announcements of strategic partnerships between insurance companies and digital platforms.

Several startups show very interesting data about their achievements in the insurtech line. Recently, Grab Financial announced that during its two years of operation in Southeast Asia, their insurtech unit had sold 100 million policies. In its release, Tokopedia also said that by the end of 2020, micro insurance products such as “Gadget Protection” had experienced an increase in transactions of up to 70 times.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Startup Insurtech Qoala Rambah Segmen B2B dan B2B2C

Platform insurtech Qoala mengumumkan perluasan model bisnis ke segmen B2B dan B2B2C dengan meluncurkan Qoala for Enterprise. Layanan ini menawarkan solusi asuransi untuk bisnis, baik untuk memenuhi kebutuhan internal maupun sebagai sumber peningkatan kepuasan konsumen.

“Lewat perubahan nama lini bisnis partnership kami menjadi Qoala for Enterprise ini, Qoala ingin menegaskan komitmen kepada partner bisnis kami untuk memberdayakan bisnis lewat solusi asuransi yang inovatif,” ujar Founder & CEO Qoala Harshet Lunani.

Sebelumnya Qoala memang sudah bermitra dengan beberapa pemain digital, salah satunya Grab untuk menghadirkan ragam produk asuransi di aplikasi super tersebut. Kini pihaknya mengklaim telah menjalin kerja sama dengan beberapa platform digital, di antaranya Traveloka, Tokopedia, Shopee, Blibli, JD.ID, Digimap, Investree, SiCepat, OVO, Dana, termasuk juga dengan Momo (Vietnam) dan OYO (India).

Harshet menjelaskan, Qoala for Enterprise memungkinkan rekanan bisnis menghemat ongkos untuk struktur biaya asuransi hingga mencapai 25 persen, serta mendapat pemasukan tambahan melalui sistem IT yang canggih. Dalam proses kolaborasi baik dengan perusahaan asuransi maupun klien, Qoala membantu dalam hal desain produk, penetapan harga, integrasi platform, dukungan klaim, dan lainnya.

“Produk yang dikembangkan bisa disesuaikan dengan kebutuhan bisnis yang dinamis, didukung teknologi mutakhir yang memungkinkan integrasi dan sinkronisasi data tanpa repot. Saat ini kami menyediakan setidaknya lima jenis solusi asuransi, yakni asuransi logistik, asuransi kesehatan, asuransi perjalanan, asuransi gadget dan asuransi kredit,” ujarnya.

Lebih lanjut ia menambahkan, “Qoala for Enterprise juga menyediakan analisis end-to-end dari performa produk dan perilaku konsumen partner bisnis Qoala. Bahkan, teknologi artificial intelligence dan machine learning milik Qoala bisa mendeteksi penipuan secara cepat.”

Terkait penerapan yang unik tersebut dicontohkan, Qoala dan OYO berkolaborasi untuk memberikan proteksi bagi pelanggan selama menetap di properti di wilayah Asia Tenggara. Proteksi yang diberikan adalah dalam bentuk produk asuransi inovatif, yang baru pertama ada dalam industri asuransi di seluruh dunia.

Harshet meyakini, cara terbaik untuk meningkatkan kualitas kolaborasi adalah melalui pasar yang telah memiliki insentif dan pemahaman yang tepat. Menurutnya, kolaborasi yang optimal berfokus kepada proses dan hasil sekaligus.

Genjot bisnis asuransi digital

Belum lama ini Qoala baru melancarkan ekspansi bisnis ke Thailand, didukung lewat aksi korporasi dengan mengakuisisi startup insurtech setempat Fairdee. April 2020 lalu, mereka juga baru bukukan pendanaan seri A senilai 209 miliar Rupiah yang dipimpin Centauri Fund, dana kelolaan Telkom dan KB Financial Group.

Dengan konsep omnichannel, Qoala menghubungkan pengguna dengan berbagai produk asuransi. Saat ini sudah ada 20an rekanan perusahaan asuransi yang tergabung ke aplikasi dengan 8 juta lebih transaksi yang berhasil dibukukan. Salah satu strategi penetrasi pasar yang diambil adalah melalui produk asuransi mikro, seperti perlindungan gadget; dan sudah diintegrasikan dengan beberapa platform digital lainnya.

Selain Qoala, di Indonesia juga sudah ada beberapa platform serupa. Salah satu yang cukup signifikan adalah PasarPolis. Awal tahun ini mereka baru bukukan pendanaan tambahan lebih dari 70 miliar Rupiah dari IFC. Sebelumnya pada September 2020 PasarPolis juga baru umumkan pendanaan seri B senilai 796 miliar Rupiah — jadi pendanaan terbesar di lanskap insurtech Asia Tenggara. Selain di Indonesia, mereka juga sudah mencakup pasar Thailand dan Vietnam.

Pandemi Covid-19 turut tidak menyurutkan pertumbuhan bisnis asuransi di Indonesia. Dari data yang dirangkum Lifepal, ditunjukkan adanya pemulihan yang relatif cepat terkait pendapatan bruto premi untuk asuransi jiwa sepanjang tahun 2020. Apalagi di bulan Juni 2020, dibandingkan periode yang sama tahun lalu nilainya meningkat.

Selain itu, mengutip hasil studi Munich Re Economic Research, Indonesia akan memimpin pertumbuhan premi asuransi kesehatan dan jiwa dari tahun 2019-2030, dengan CAGR sebesar 9,1%. Sepanjang taun 2019, premi yang berhasil dibukukan sudah mencapai 185,3 triliun Rupiah untuk asuransi jiwa dan 80,1 triliun Rupiah untuk asuransi kesehatan.

Kehadiran insurtech dan startup digital secara umum juga menjadi angin segar bagi perusahaan asuransi. Data kami menunjukkan, bahwa minat untuk mengintegrasikan produk atau layanan asuransi ke kanal digital terus meningkat. Sepanjang tahun 2020 saja, ada delapan peresmian kerja sama strategis antara perusahaan asuransi dan platform digital yang diumumkan ke publik.

Beberapa startup menunjukkan data yang sangat menarik tentang capaiannya di lini insurtech. Belum lama ini Grab Financial mengumumkan sepanjang dua tahun beroperasi di Asia Tenggara, unit insurtech mereka berhasil menjual 100 juta polis. Dalam rilisnya Tokopedia juga menyampaikan, per akhir 2020 produk asuransi mikro seperti “Proteksi Gadget” yang dijajakan kepada pengguna telah mengalami peningkatan transaksi hingga 70 kali lupat.

Application Information Will Show Up Here

Lewat Platform LOKASI dan Dheket, Bhumi Varta Technology Hadirkan Layanan Pemetaan dan Analisis Bisnis

Diluncurkan pada pertengahan tahun 2018 lalu, Bhumi Varta Technology (BVT) hadir sebagai perusahaan perangkat lunak lokal yang memiliki spesialisasi dalam intelijen lokasi, analisis bisnis, pemetaan, dan teknologi geofencing. BVT didirikan oleh tiga orang dengan latar belakang yang sangat berbeda tetapi dengan visi yang sama, yakni David Pandjaitan, Benny Emor, dan Martyn Terpilowski.

Kepada DailySocial Presiden Direktur BVT Martyn Terpilowski mengungkapkan, saat ini perusahaan mulai menggabungkan data geospasial dengan machine learning untuk melakukan analisis prediktif. BVT juga mengklaim sebagai satu-satunya perusahaan di Indonesia yang memanfaatkan perangkat lunak intelijen lokasi, big data, dan machine learning untuk kebutuhan tersebut.

“Saat ini kami juga telah membuat data untuk 138 juta perangkat seluler sangat bersih dan mudah dipahami dalam perangkat lunak kami, untuk menunjukkan kepadatan orang, daya beli, dan profil kepentingan,” kata Martyn.

Produk unggulan BVT

Salah satu produk unggulan BVT adalah LOKASI Intelligence. Merupakan analytic tool yang dirancang untuk menangkap, menyimpan, memanipulasi, menganalisis, mengelola, dan menyajikan data spasial atau geografis untuk membuat semua jenis big data agar mudah dipahami di peta dan berguna untuk bisnis.

Mesin tersebut mampu untuk memetakan sejumlah big data di seluruh Indonesia dengan menerapkan algoritma untuk menggunakan data dan data klien. BVT juga memiliki perpustakaan data yang besar termasuk di dalamnya data demografi, status sosial ekonomi, point of interest, peraturan zonasi, nilai tanah,  lalu lintas orang, dan banyak lagi. Data ini kemudian dikombinasikan dengan data klien dan machine learning untuk menghasilkan informasi yang relevan dibutuhkan oleh bisnis.

Produk unggulan lainnya yang juga dimiliki adalah LOKASI Maps dan Dheket, yang ditargetkan secara spesifik untuk pasar Indonesia. Dheket akan menjadi bagian dari LOKASI Maps. Cara kerja Dheket adalah mencocokkan individu dan bisnis berdasarkan jangkauan lokasi mereka agar bisa berkomunikasi secara instan. Diharapkan produk ini bisa membantu 50 juta UKM berkomunikasi dengan klien potensial mereka. Di sisi lain bagi konsumen bisa menemukan apa yang mereka butuhkan secara instan.

Sebelumnya Dheket merupakan peserta program akselerator Ideabox Indosat tahun 2015 lalu. Namun BVT kemudian memutuskan untuk membeli nama merek tersebut dan mengembangkan teknologi baru yang lebih advance dari sebelumnya. Meskipun merupakan bagian dari produk milik BVT, namun fokus produk unggulan BVT saat ini adalah LOKASI Intelligence.

Target tahun 2020

Sebagai perusahaan B2B (dan segera menjadi B2B2C), BVT memiliki beberapa investor yang bukan dari kalangan mainstream. Pada bulan Desember 2019 lalu, perusahaan telah mengantongi pendanaan dari dua pengusaha lokal Indonesia. Mereka adalah Arya Setiadharma, CEO Prasetia Dwidharma dan Felix Setyomulyono, Managing Partner Azure Investment Partners. Keduanya bergabung sebagai investor sekaligus anggota dewan.

“Meskipun kami telah memiliki investasi yang signifikan, tujuan kami pada akhirnya adalah bisa menghasilkan laba pada tahun 2020. Tahun kedua kami fokuskan kepada operasi bisnis,” kata Martyn.

Tahun ini, BVT memiliki beberapa target yang ingin dicapai, di antaranya adalah menambah jumlah klien dan menambah jumlah tim internal hingga 100 orang. Sesuai dengan tujuan utama perusahaan yaitu memiliki sistem modular lengkap yang tersedia untuk klien, sehingga mereka dapat memilih modul tertentu yang diperlukan untuk bisnis atau organisasi mereka. BVT menargetkan bisa merampungkan rencana tersebut pada akhir Q2 tahun 2020. Pada akhir Q4 perusahaan juga berencana untuk mulai menguji peta untuk dapat disematkan ke aplikasi.

“Baru-baru ini kami telah bekerja dengan Kementerian Kesehatan untuk melacak Covid-19, sebagai satu-satunya perusahaan di Indonesia dengan data yang ada terkait dengan lalu lintas orang, usia, demografi lainnya dan kapasitas rumah sakit serta data POI lainnya yang telah dipetakan dalam satu platform,” kata Martyn.