PUBG SEA Series Jadi Jalan Menuju Kejuaraan Dunia

Beberapa waktu yang lalu, kita sempat mendengar soal perubahan struktur kompetisi PUBG (Steam) secara internasional. Salah satu perubahan yang paling terasa adalah hilangnya liga untuk regional Eropa (EU) dan Amerika (NA). Penyebabnya mungkin karena format kompetisi liga untuk PUBG tidak berjalan dengan lancar di sana. Mereka mencoba membangun hype dengan menjual skin spesial liga dengan sistem bagi hasil kepada tim peserta, namun cara itu juga kurang berhasil.

Namun demikian, struktur tersebut tidak banyak berubah jika kita bicara ajang kompetitif skala regional SEA. Tahun lalu kita punya PUBG SEA Championship, yang jadi ajang unjuk gigi tim PUBG se-Asia Tenggara, termasuk wakil Indonesia Victim Esports. Tahun ini, walau masih menggunakan struktur yang kurang lebih sama, namun kompetisi tersebut kini hadir dengan membawa nama PUBG SEA Series (PSS).

Sumber: Geek Events Official Release
Sumber: Geek Events Official Release

Kompetisi tingkat SEA kini juga berubah jadi hanya memiliki format online saja. Turnamen ini terbuka hanya untuk tim dari empat negara di Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Bagi Anda yang ingin mengikutinya, Anda bisa segera mendaftar di tautan pubg.geekevents.asia, dengan batas akhir pendaftaran pada tanggal 8 Februari 2020 mendatang.

Nantinya, empat tim terbaik dari gelaran PSS akan bertanding di tingkat yang lebih tinggi, yaitu PUBG Global Series Berlin Asia Pacific Region (PGS Berlin APQ). Dalam gelaran PGS Berlin APQ, peserta dari PSS akan diadu lagi dengan masing-masing 4 tim dari kompetisi tingkat tinggi di regional Asia Pasific, termasuk PUBG Master League (PML – Chinese Taipei), PUBG Thailand Series (PTS), dan PUBG Vietnam Series (PVS).

Setelah melalui kompetisi di PGS Berlin APQ, tim-tim tersebut nantinya akan melaju ke tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu kompetisi tingkat internasional, PUBG Global Series Berlin 2020 (PGS Berlin). Sebelumnya PUBG juga sempat mengumumkan lebih lanjut terkait struktur kompetisi di tahun 2020 ini. Tahun ini, PUBG mencoba untuk lebih merapihkan sistem sirkuit kompetisi PUBG secara global.

Sumber: Official PUBG
Sumber: Official PUBG

Pada pengumuman tersebut PUBG Corp. mengatakan bahwa mereka akan mengadakan 3 gelaran PGS di tahun 2020, dan 1 gelaran PUBG Global Championship (PGC) sebagai puncak tertinggi kancah kompetitif PUBG global. PGS mempertandingkan 32 tim, sementara PGC mempertandingkan 16 tim saja.

Empat besar gelaran PGS secara otomatis melaju ke PGS selanjutnya. Jika tim tersebut berhasil menempati empat besar di PGS ketiga, maka ia berhak melaju ke PGC 2020. Bagaimana dengan sisa 12 slot lainnya di PGC 2020? Untuk mengisinya, PUBG Corp. menjumlahkan poin Kill/Chicken Dinner yang didapat dari tiga PGS yang diikuti oleh tim. Setelahnya 12 tim dengan poin tertinggi akan secara otomatis melaju ke PGC 2020.

Babak final PUBG SEA Series akan diselenggarakan secara online pada tanggal 16 Februari 2020 mendatang. Setelah itu kompetisi lalu dilanjut dengan PGS Berlin APQ, dan ditutup dengan gelaran PUBG Global Series: Berlin yang diadakan pada 31 Maret sampai 12 April 2020 mendatang.

Genre Game Populer di Industri Game Dalam 10 Tahun Terakhir

Dalam 10 tahun belakangan, industri game berkembang pesat. Gamer tak lagi dikaitkan dengan pecundang anti-sosial yang tak punya teman. Faktanya, berkat popularitas esports, tak sedikit gamer yang justru diusung sebagai pahlawan. Tim esports tak melulu membawa nama tim, tapi juga membawa nama negara, seperti saat tim-tim esports mewakili Indonesia di ajang SEA Games 2019. Dalam 10 tahun belakangan, tren di dunia game juga telah berubah. Muncul beberapa genre game populer di industri game.

Pada tahun 2000-an, MMORPG menjadi salah satu genre favorit. Blizzard meluncurkan World of Warcraft pada 2004. Selama enam tahun ke depan, game tersebut diklaim sebagai “MMO King”. Namun, melewati tahun 2010, Blizzard mulai kesulitan untuk memberikan update konten yang tetap menarik bagi para pemain WoW. Studio game lain menganggap ini sebagai kesempatan untuk membuat game MMORPG untuk menggantikan WoW. Karena itulah, pada awal 2010-an, muncul berbagai game MMORPG. Sebagian bahkan diklaim sebagai “WoW killer”. Dan memang, beberapa game tersebut sukses, seperti Star Wars: The Old Republic yang bahkan bertahan sampai sekarang. Meskipun begitu, WoW tetap bertahan, seperti yang disebutkan oleh Polygon.

Masih di awal 2010-an, sementara banyak studio game sibuk untuk membuat MMORPG, Defense of the Ancients — yang pada awalnya merupakan mod dari Warcraft 3 — mulai mendapatkan jumlah pemain yang cukup banyak. Sayangnya, DotA masih terikat dengan Blizzard karena menggunakan properti mereka. Para developer lalu tergerak untuk membuat game MOBA dengan desain serupa DotA. Hanya saja, kali ini, game itu tidak lagi menggunakan IP milik Blizzard. Lahirlah League of Legends pada 2009 dan Heroes of Newerth pada 2010. Namun, Heroes of Newerth akhirnya kalah populer oleh Dota 2 yang dirilis oleh Valve pada 2013. Sampai sekarang, baik Dota 2 maupun League of Legends masih memiliki jumlah pengguna bulanan aktif yang cukup banyak.

Dota 2. | Sumber: Steam
Dota 2. | Sumber: Steam

Sejak saat itu, popularitas MOBA mulai menyaingi MMORPG. Sama seperti di era keemasan WoW, banyak developer yang juga membuat game MOBA, seperti Vainglory dan Heroes of the Storm. Meskipun begitu, League of Legends dan Dota 2 tetap merajai genre MOBA. Sekarang, keduanya juga menjadi game esports paling populer. Salah satu alasannya karena kedua game ini memang menuntut para pemainnya untuk berpikir strategis dan bekerja sama dengan anggota tim masing-masing. Pada saat yang sama, gameplay yang kompleks menjadi pisau bermata dua bagi dua game MOBA tersebut, karena ini membuat jumlah pemain mereka stagnan dan tidak kunjung bertambah. Jangan menjadi profesional, jika seorang pemain ingin bisa dianggap “jago” dalam bermain Dota 2 atau League of Legends, mereka harus bisa memperhatikan banyak detail sekaligus, mulai dari skill masing-masing karakter, sinergi antara satu karakter dengan karakter lain, penempatan wards, dan lain sebagainya. Seolah itu tidak cukup buruk, tak semua pemain Dota 2 atau League of Legends mau membantu para pemain baru. Tak sedikit pemain yang sedang belajar yang mendapatkan kecaman.

Meskipun begitu, game MOBA tetap hidup sepanjang 10 tahun belakangan. Bahkan ketika game mobile menjadi semakin populer, juga muncul berbagai game MOBA untuk pemain mobile. Sebut saja Mobile Legends yang menjadi salah satu game esports terpopuler di Tanah Air.

Munculnya beberapa genre baru

Sama seperti World of Warcraft yang tampaknya tak lagi bisa digoyahkan. Dota 2 dan League of Legends tampaknya akan tetap bertahan sebagai game MOBA populer. Namun, itu bukan berarti industri game stagnan begitu saja. Setelah MOBA, kini muncul genre battle royale. Genre ini dipopulerkan oleh PlayerUnknown’s Battleground. Melihat popularitas battle royale, developer lain dengan cepat membuat game bergenre serupa, seperti Fortnite dari Epic Games atau Apex Legends dari Electronic Arts.

Tak berhenti sampai di situ, beberapa franchise game pun juga mendapatkan mode battle royale, seperti Fallout 76 dan Call of Duty: Black Ops 4. Bahkan Tetris sekalipun mendapatkan mode battle royale dengan kemunculan Tetris 99. Game racing seperti Forza Horizon 4 pun akan mendapatkan mode battle royale — yang saat ini disebut “The Eleminator” oleh Playground Games. Selama sebuah game memungkinkan puluhan pemain untuk bertemu dan bersaing dengan satu sama lain, maka game itu dapat dibuat menjadi battle royale. Tentu saja, tak semua game battle royale atau mode battle royale dalam sebuah game disambut dengan baik.

Tetris 99. | Sumber: Engadget
Tetris 99. | Sumber: Engadget

Battle royale bukan satu-satunya genre yang menjadi populer dalam satu dekade ini. Genre lain yang mulai diminati para developer adalah auto battlers. Dalam game auto battlers, pemain hanya akan diminta untuk memilih sejumlah karakter yang lalu akan melakukan battle secara otomatis. Pada akhir pertandingan, pemain yang masih memiliki karakter — atau memiliki karakter paling banyak — keluar sebagai pemenang. Saat ini, ada beberapa game auto battlers didasarkan pada IP dari game yang sudah ada, seperti Dota Underlords dari Dota 2 dan Teamfight Tactics buatan Riot Games.

Selain itu, loot shooter menjadi salah satu genre yang menjadi populer dalam 10 tahun belakangan. Genre ini muncul ketika Borderlands dirilis pada 2009. Ketika itu, Borderlands menawarkan jutaan senjata bagi para pemainnya. Borderlands terbukti sukses. Buktinya, belum lama ini, Borderlands 3 baru saja dirilis.

Namun, melakukan hal yang sama berulang kali bisa membosankan, tak peduli sebanyak apa item yang ditawarkan oleh developer. Salah satu kunci kesuksesan dari game loot shooter adalah membuat gameplay yang menarik, membuat pemain tak keberatan untuk melakukan hal yang sama — menembakkan senjata dan menjelajahi peta — berulang kali. Saat ini, game-game loot shooter menawarkan tema yang bervariasi, mulai dari tema high-fantasy sci-fi dalam Destiny 2 sampai dunia post-apocalyptic yang diusung dalam Tom Clancy’s The Division 2. Satu masalah dalam game loot shooter adalah pemain dituntut untuk bermain dalam waktu lama — sampai puluhan jam — untuk mendapatkan senjata atau perangkat terbaik. Ini bisa menyebabkan pemain merasa jenuh.

Tak semua genre yang muncul dan menjadi populer dalam 10 tahun belakangan adalah genre serius. Ialah clicker game, yang mulai populer ketika developer Orteil meluncurkan prototipe Cookie Clicker — kini menjadi salah satu game paling populer di Steam. Seperti namanya, dalam clicker game, Anda cukup mengklik satu tombol atau sejumlah tombol untuk mendapatkan reward. Seiring dengan berjalannya waktu, untuk setiap klik yang Anda lakukan, reward yang Anda dapatkan dalam game bertambah. Reward ini bisa muncul dalam bentuk beragam, poin atau uang atau sesuatu yang lain. Reward yang telah Anda kumpulkan akan bisa Anda gunakan untuk melakukan upgrade. Sampai akhirnya, Anda tak lagi perlu melakukan klik terlalu sering.

Game clicker tersedia di PC dan mobile. Salah satu contoh clicker game buatan Indonesia adalah Tahu Bulat buatan Own Games. Dalam game ini, semakin sering Anda mengklik, semakin banyak pengunjung yang datang, yang berarti semakin banyak uang yang Anda dapatkan. Setelah uang terkumpul, Anda bisa memperbaiki peralatan Anda — mulai dari speaker sampai mencari bumbu tahu bulat baru — sehingga Anda bisa mendapatkan uang lebih banyak per detiknya. Biasanya, clicker game cukup populer di kalangan mobile gamer, karena Anda bisa memulai dan berhenti bermain kapan saja.

Tahu Bulat. Sumber: DailySocial
Tahu Bulat. Sumber: DailySocial

Game gratis yang menghasilkan

Selain soal genre, dalam 10 tahun belakangan, satu tren lain yang mulai terlihat adalah perubahan model bisnis dari developer. Dulu, Anda harus membeli sebuah game sebelum dapat memainkannya. Sekarang, Anda bisa memainkan game dengan gratis. Namun, skin atau item kosmetik lainnya harus Anda beli. Selain itu, juga muncul game dengan model Pay-to-Win. Jadi, selama Anda bermain gratis, Anda tidak akan bisa mengalahkan pemain yang mengeluarkan uang ekstra.

League of Legends adalah salah satu contoh game gratis yang hanya menjual skin. Model bisnis ini terbukti menguntungkan. Pada 2018, Riot Games mendapatkan US$1,4 miliar dari League of Legends. Fortnite juga bisa dimainkan secara gratis. Epic hanya menjual battle pass dan skin. Dari sini, mereka berhasil mendapatkan US$2,4 miliar.

Selain model freemium, sistem lain yang kini mulai diadopsi oleh para developer game adalah early access. Menurut Polygon, orang pertama yang menggunakan sistem ini adalah Markus “Notch” Persson untuk membuat Minecraft. Satu keuntungan yang ditawarkan game early access adalah developer dapat mengumpulkan uang sambil berusaha menyelesaikan proses pengembangan game. Bagi sebagian developer, termasuk Persson, ini memungkinkan mereka untuk fokus sepenuhnya mengembangkan game, tanpa harus mengambil pekerjaan lain untuk menyokong hidup mereka.

Minecraft. | Sumber: Microsoft via Engadget
Minecraft. | Sumber: Microsoft via Engadget

Sistem early access juga bisa membantu developer untuk mengembangkan game sesuai ekspektasi gamer. Ketika game yang diluncurkan di bawah label early access memiliki masalah — ada bug, konten yang kurang menarik, dan lain sebagainya — developer memiliki kesempatan untuk memperbaiki masalah tersebut. Dan ada beberapa game AAA yang menjadi lebih baik setelah mendapatkan masukan dari para gamer, seperti Rainbow Six: Siege. Keuntungan lain yang didapatkan oleh developer dengan model early access adalah mereka dapat tetap memberikan update secara berkala, sehingga perhatian para pemain tetap tertuju pada game buatan mereka.

Hanya saja, terkadang, game yang telah diluncurkan dengan label early access tak pernah dirilis secara sempurna, yang akan membuat sebagian orang bingung dengan arti dari “early access”. Game seperti PlayerUnknown’s Battleground dan Minecraft resmi diluncurkan satu tahun setelah versi early access muncul. Sayangnya, tidak semua game seperti itu. DayZ, misalnya, resmi diluncurkan pada Desember 2018 setelah versi early access bisa dimainkan sejak Desember 2013. Contoh lainnya adalah Star Citizen.

Star Citizen bermula sebagai proyek Kickstarter. Developer game ini lalu mulai membuka donasi di situsnya sendiri. Game itu didesain sebagai game bertema luar angkasa yang memungkinkan para pemainnya untuk saling bertempur dan berdagang. Namun, konsep gameplay dari Star Citizen begitu kompleks sehingga proses pengembangannya pun memakan waktu yang sangat lama. Karena itu, sang developer merilis game ini meski belum selesai, agar para pemain bisa mencobanya. Versi pertama memungkinkan pemain untuk memodifikasi pesawat luar angkasa dan memarkir pesawat itu di dalam hangar. Setelah itu, sang developer terus menambahkan fitur untuk game tersebut. Star Citizen juga memiliki elemen first person shooter dan penjelajahan luar angkasa. Sayangnya, sampai sekarang, tidak ada benang merah yang membuat semua elemen dalam game menyatu dan menjadikannya sebagai game menjadi koheren. Hingga sekarang, masih belum diketahui kapan game ini akan diluncurkan.

Star Citizen. | Sumber: PC Gamer
Star Citizen. | Sumber: PC Gamer

Kesimpulan

Satu hal yang pasti, selama satu dekade belakangan, tidak ada satu game atau developer pun yang berhasil memberikan game yang jauh lebih populer dari game-game lain. Walau PUBG menjadi game battle royale pertama, banyak pemain yang tertarik game battle royale lain ketika game itu dirilis. Uniknya, masing-masing game dan genre memiliki pemain setia tersendiri. Misalnya, meskipun Fortnite, Apex Legends, dan PUBG sama-sama merupakan game battle royale, mereka memiliki gamer setia yang berbeda-beda. Pemain Fortnite menyukai game itu karena Epic lebih menitikberatkan pada interaksi sosial. Sementara gamer Apex Legends lebih suka dengan pacing dari game tersebut. Dan PUBG disukai karena memaksa para pemainnya untuk bekerja sama dengan satu sama lain.

Di satu sisi, ini adalah kabar baik. Karena semua developer bisa membuat game online dengan life cycle yang lama. Di sisi lain, semakin banyak game yang muncul, semakin ketat pula persaingan untuk mendapatkan pemain setia. Semua orang hanya memiliki waktu 24 jam dalam sehari. Dan tidak semua waktu tersebut bisa mereka gunakan untuk bermain. Jadi, sebuah game harus bisa memenangkan hati para pemainnya agar mereka rela menghabiskan waktu luangnya untuk bermain game.

Anda Bisa Membeli Apex Legends Edisi ‘Premium’ Bulan Depan

Meluncur tiba-tiba di awal tahun, Apex Legends membawa angin segar ke segmen battle royale yang saat itu mulai terasa penat. Game kreasi tim pencipta Tintafall itu memang tidak merombak penyajian genre last-man standing, namun ia membawa beberapa fitur inovatif yang membuat permainan jadi lebih simpel dan menyenangkan. Salah satu terobosannya ialah sistem ping sehingga komunikasi bisa dilakukan lebih ringkas.

Apex Legends juga berbeda dari game battle royale lain. Ia tak hanya mengadu pemain di satu area berukuran raksasa, tapi turut memfokuskan kerja sama tim serta dibumbui gameplay ala hero shooter seperti Overwatch atau Quake Champions. Selain itu, gamer juga memuji melimpahnya konten Apex Legends. Beberapa orang bahkan berpendapat bahwa cukup wajar jika Respawn menawarkannya sebagai game premium. Nyatanya, permainan dihidangkan secara gratis.

Meski demikian, Respawn Entertainment memberikan para penggemar berat Apex Legends kesempatan untuk ‘membeli’ permainan secara premium. Developer mengumumkan rencana peluncuran dua versi fisik Apex Legends dan mempersilakan Anda memilih antara edisi Lifeline atau Bloodhound (mereka adalah dua dari sepuluh karakter yang bisa Anda mainkan). Dan dalam menyuguhkannya, Respawn mengangkat tema ‘iblis dan malaikat’.

Apex Legends.

Terlepas dari pemakaian boks, konten dan segala bonus di sana bersifat digital. Masing-masing menyimpan sebuah satu skin legendaris untuk sang hero, senjata, sebuah banner dan badge eksklusif, plus 1.000 Apex Coins. Ini dia detail dari masing-masing versi boks Apex Legends:

Lifeline Edition

  • Legendary Guardian Angel Lifeline skin
  • Legendary Chooser of the Slain Flatline skin
  • Exclusive Winged Guardian Banner
  • Exclusive Angel Struck Badge

Bloodhound Edition

  • Legendary The Intimidator Bloodhound skin
  • Legendary Wrath Bringer Prowler skin
  • Exclusive Feeling Impish Banner
  • Exclusive Tormentor Badge

Edisi fisik Apex Legends rencananya akan dijual di toko-toko retail mulai tanggal 18 Oktober 2019. Respawn menyediakannya baik untuk PC, PlayStation 4 dan Xbox One, membanderolnya seharga US$ 20. Menghitung dari nilai konten, versi boks pada dasarnya lebih ekonomis dibanding melakukan pembelian Apex Coins dan skin via transaksi standar. 1.000 AC dijual seharga US$ 10 dan sebuah skin legendaris dijajakan 1.800 AC.

Mungkin Anda sudah tahu, Apex Legends bukanlah satu-satunya game gratis yang punya alternatif versi boks premium. Tahun lalu, Epic Games sempat menawarkan bundel Deep Frozen permainan Fortnite. Dan satu hal lagi perlu digarisbawahi: edisi fisik Apex Legends ini belum disertai Battle Pass, yang dijual seharga 950 Apex Coin – atau sekitar US$ 10.

Via Eurogamer.

Call of Duty Black Ops ‘5’ Akan Hadirkan Kembali Mode Single-Player?

Ada kalanya mode single-player menjadi jati diri dari permainan action dan shooter. Di bagian inilah, developer mencoba membenamkan berbagai teknologi gaming mutakhir, dari mulai grafis dan fisik yang diintegrasikan pada elemen gameplay, puzzle, hingga pengembangan AI pada NPC. Tapi hal ini berubah sejak  battle royale menyerbu dan publisher mulai menjalankan strategi ‘game as a service‘.

Efek dari demam battle royale bisa kita rasakan di mana-mana, termasuk di franchise raksasa seperti Battlefield dan Call of Duty. Kedua nama ini ‘terpaksa’ menyediakan mode last man standing berskala besar demi memenuhi minat pemain, namun Call of Duty melangkah lebih jauh dengan mengorbankan campaign buat memasukkan battle royale. Black Ops 4 merupakan permainan pertama di seri itu yang tidak disertai porsi single-player.

Namun sepertinya, Activision tak berniat membuat single-player absen terlalu lama. Berdasarkan laporan sejumlah narasumber pada Kotaku, sang publisher menugaskan salah satu tim developer-nya untuk mengembalikan mode campaign di Call of Duty, walaupun boleh jadi bukan pada judul yang dirilis di tahun ini. Belum diketahui akan seperti apa Call of Duty ‘2019’, tapi menurut rumor, game tersebut diramu sebagai penerus Modern Warfare.

Para informan mengabarkan bahwa untuk tahun 2020 nanti, Activision menunjuk tim Treyarch buat mengembangkan Call of Duty Black Ops ‘5’. Seperti sebelumnya, proses tersebut dibantu oleh dua studio lain di bawah Activision, yaitu Raven Software dan Sledgehammer Games. Kabarnya, game tersebut akan membawa pemain ke era Perang Dingin. Dan karena jadwal rilis yang diperkirakan mendekati pelepasan console next-gen, kemungkinan ia disiapkan sebagai permainan cross generation.

Jika laporan ini akurat, maka Activision hanya memberikan waktu dua tahun bagi Treyarch untuk menggarap game barunya (Call of Duty 2019 bukan dibuat oleh studio ini). Beberapa orang di Treyarch mengakui bahwa mereka kurang senang terhadap keputusan itu, karena Black Ops 4 saja menuntut begitu banyak waktu lembur; namun ada pula staf yang merasa gembira karena tim sudah mempunyai rencana pengembangan yang solid.

Terlepas dari respons gamer dan media yang cukup positif terhadap Black Ops 4, game shooter blockbuster ini belum dapat membantu Activision mencapai target pemasukan mereka di 2018. Narasumber bilang, publisher tengah mempertimbangkan buat mengusung model bisnis free-to-play (yang dulu begitu dibenci) untuk diintegrasikan dalam Modern Warfare baru. Beberapa orang di Activision kurang setuju dengan pendekatan ini.

Pertanyaan saya pribadi adalah, apakah ‘Modern Warfare 4’ juga menjagokan battle royale dan hadir tanpa single-player?

EA Konfirmasi Rencana Untuk Menghadirkan Apex Legends di Perangkat Bergerak

Demam battle royale tiba setelah era keemasan MOBA dan game-game sandbox survival berlalu. Saat genre ini dibahas, beberapa judul akan langsung muncul di benak. Dan kita tahu, kepopuleran PUBG dan Fortnite turut mendorong sejumlah pemilik franchise raksasa untuk turut membubuhkan mode last man standing di kreasi mereka. Namun battle royale boleh dibilang baru benar-benar merakyat sejak publisher menyediakan versi mobile-nya.

Menyusul rumor yang beredar beberapa waktu lalu, Electronic Arts akhirnya mengonfirmasi rencananya buat menghadirkan Apex Legends di perangkat bergerak, membuntuti langkah PUBG Corporation dan Epic Games. Kabar ini diungkap langsung oleh CEO Andrew Wilson di presentasi pemasukan perusahaan pada tanggal 7 Mei kemarin, dan statusnya sudah dalam masa pengembangan. Boleh jadi ini adalah bentuk strategi sang publisher membalikkan keadaan terkait pendapatan perusahaan yang kurang memuaskan.

Andrew Wilson menyampaikan bahwa mereka sangat bersemangat menyambut segala hal yang menanti Apex Legends di masa depan. Komunitas pemain sangat aktif, dan sebagai responsnya, EA menyiapkan sejumlah ‘agenda besar untuk memperkaya dunia game‘. Beberapa langkah yang mereka lakukan meliputi penggarapan versi mobile serta melangsungkan perundingan buat meluncurkan Apex Legends di Tiongkok.

Tapi ketika EA harus berkolaborasi bersama perusahaan Tiongkok demi merilis Apex Legends di wilayah tersebut, publisher diberi keleleluasaan buat memasarkan game di Korea Selatan tanpa perlu melakukan kemitraan. Korea Selatan merupakan salah satu pasar gaming terbesar di dunia, dan bagi Wilson, Apex Legends memberikan mereka kesempatan untuk membangun koneksi dengan para pemain di sana. Ia juga berharap, kesuksesan serupa diikuti oleh game-game EA lainnya.

Bagi Electronic Arts, Apex Legends ialah permainan dengan pertumbuhan tercepat yang mereka miliki. Hanya butuh waktu kurang dari sebulan bagi game battle royale ini untuk merangkul 50 juta pemain lebih. Wilson juga mengabarkan bahwa sekitar 30 persen gamer Apex Legends ternyata merupakan ‘pengguna baru EA’. Hal ini bisa memberikan kita gambaran soal besarnya jasa permainan dalam menggaet konsumen ke layanan Electronic Arts.

Seperti yang sempat EA ungkapkan, fokus mereka saat ini adalah mengokohkan rencana jangka panjang, misalnya lewat updateseason‘ dan konten Battle Pass, pengenalan tokoh-tokoh legend baru dan pembaruan berkala pada ekosistem game. Selain itu, kita juga tahu bagaimana Respawn dan EA terus menyempurnakan aspek teknis permainan dan tanpa lelah berperang melawan cheater dan hacker. Belum lama ini developer dikabarkan sukses menjaring lebih dari 700 ribu pemain curang.

Sumber: Gamespot.

Capital Esports Menjadi Juara Free Fire Indonesia Masters 2019

Selain gelaran Kaskus Battleground, akhir pekan kemarin juga menjadi gelaran final dari Free Fire Indonesia Masters 2019. Kompetisi yang digelar di Mal Taman Anggrek ini menjadi fenomena tersendiri, karena kembali berhasil membuat “mal esports” ini penuh sesak. Setelah kompetisi sengit selama dua hari, tim Capital Esports berhasil keluar sebagai juara.

Permainan Capital Esports memang terlihat sangat lihai sejak dari hari pertama. Dengan keahliannya bertahan di medan perang, tim Capital Esports selalu berhasil menduduki posisi tertinggi klasemen sejak dari ronde pertama. Sampai di ronde terakhir, Capital Esports berhasil mengumpulkan 2130 poin. Sementara di posisi kedua ada tim SFI Zet Hades, dengan perolehan 1515 poin.

free fire indonesia masters #2

Rilis sejak 14 Januari 2018, game yang satu ini memang menjadi fenomena tersendiri di kalangan para gamers. Berdasarkan data dari Google Play, Free Fire sudah dimainkan oleh lebih dari 100 juta pemain. Gelaran Free Fire Indonesia Masters juga berhasil menjadi salah satu tayangan esports tersukses di Indonesia.

Tercatat dari Youtube resmi Garena Free Fire, kompetisi tersebut kini sudah ditonton sebanyak 1,3 juta penonton. Lalu mengutip laman resmi Garena Free Fire, rekor penonton saat bersamaan tertinggi dari turnamen ini adalah ditonton oleh 146.601 penonton. Dengan ini maka mungkin bisa dikatakan bahwa jumlah penonton Free Fire sudah menyaingi game MOBA mobile terpopuler di Indonesia, Mobile Legends.

Kompetisi ini juga berhasil memecahkan rekor MURI sebagai “Pertandingan Esports Battle Royale dengan Jumlah Peserta Terbanyak di Indonesia”. Rekor tersebut berhasil didapatkan setelah turnamen ini berhasil mencatatkan 7920 tim atau 33.000 orang peserta, sebagai pendaftar yang mengikuti Free Fire Indonesia Masters 2019.

“Kami sangat bangga akan penghargaan yang diberikan MURI kepada Free Fire. Hal ini menandakan bahwa esports, sebagai media penyalur bakat anak bangsa, akan terus berkembang. Hal ini tentu juga menjadi motivasi besar bagi Garena Indonesia, khususnya tim Free Fire, untuk bekerja lebih keras dan memberikan yang terbaik bagi seluruh pemain kami” ungkap Christian Wihananto selaku produser dari Garena Free Fire Indonesia.

free fire indonesia masters #3

Free Fire Indonesia Masters juga semakin lengkap dengan kedatangan para tamu kehormatan, yaitu Imam Nahrawi selaku Menteri Pemuda dan Olahraga, serta Bapak Triawan Munaf selaku Kepala Badan Ekonomi Kretatif Indonesia.

Memberi sedikit pengantar, Bapak Imam Nahrawi mengatakan “Pemerintah bergembira dan akan terus mendukung esports di Indonesia termasuk game Free Fire. Sebagai salah satu game terpopuler di Indonesia, saya senang melihat Free Fire bisa menjadi wadah bagi banyak gamer di Indonesia untuk mengembangkan prestasinya. Juga tentunya kami berterima kasih dan mendukung Garena yang telah menunjukkan komitmennya untuk mengembangkan industri esports dalam negeri”.

Dukungan pemerintah terhadap esports memang terlihat lebih getol belakangan. Sebelum kompetisi ini, MENPORA dan Garena Indonesia juga sempat bekerja sama dalam menyelenggarakan Youth National Esports Championship. Kompetisi tersebut juga merupakan salah satu dari program pemerintah, yaitu Piala MENPORA.

Kemenangan tim Capital Esports memberikan mereka hadiah uang tunai sebesar Rp250 juta. Selain itu, tim Capital Esports dan SFI Zet Hades selaku juara dan runner-up, berhak mewakili Indonesia dalam gelaran Free Fire World Cup 2019, yang akan diselenggarakan di Thailand pada bulan April 2019 mendatang.

Mengintip Masa Depan Esports PUBG Dari Roadmap 2019 Asia Tenggara

Battle Royale telah menjadi fenomena selama kurang lebih 2 tahun belakangan. Sosok yang memulai tren ini adalah Brendan “PLAYERUNKNOWN” Greene, lewat game Playerunknown’s Battleground (PUBG). Sejak PUBG rilis pertama kali pada tahun 2017, popularitas genre Battle Royale terus meroket, membuat pengembang lain pun ikutan membuat iterasi dari Battle Royale.

Meledak seiring dengan fenomena esports, tak heran jika PUBG juga otomatis menjadi esports. Inisiatif terbesar PUBG dalam hal esports adalah pada tahun 2018, lewat kompetisi PUBG Global Invitational 2018, dan roadmap atau rencana jangka panjang esports PUBG secara internasional. Tidak berhenti sampai sana, baru-baru ini PUBG Corp juga menjelaskan roadmap esports PUBG tahun 2019 untuk Asia Tenggara.

Sumber:
Sumber:

Dalam roadmap ini PUBG Corp menjabarkan jalur dari kompetisi Asia Tenggara menuju ke kompetisi internasional. Dalam roadmap dijelaskan bahwa cara menuju kompetisi internasional adalah lewat SEA Championship 2019, yang akan diselenggarakan 3 kali atau 3 season selama tahun 2019. Tanggal 16-17 Maret 2019 mendatang menjadi PUBG SEA Championship 2019 musim pertama, dilanjut musim kedua pada bulan Juni, lalu musim ketiga pada bulan Oktober.

Setiap musim akan ada 16 tim PUBG dari seluruh Asia Tenggara yang bertanding memperebutkan total hadiah US$50.000 (sekitar Rp700 juta) dan tiket untuk menuju kompetisi PUBG Internasional. Musim pertama ini, PUBG SEA Championship akan memperebutkan tiket untuk bertanding di FACEIT Global Summit: PUBG Classic.

Pada musim pertama PUBG SEA Championship 2019 ini, Indonesia mendapat 3 slot tersendiri. Satu slot dari seeding ada Aerowolf Team 7, tim dari Alex “Entruv” Prawira dan kawan-kawan. Satu slot dari invitation diberikan kepada Aerowolf Team 1, tim dari Ryan “superNayr” Prakasha dan kawan-kawan. Slot terakhir juga berasal dari invitation yang diberikan kepada RRQ, tim dari Muhammad “CoppinLee” Alviansyah dan kawan-kawan.

Sayangnya para pemain PUBG SEA Championship 2019 harus menerima kenyataan pahit, bahwa kompetisi yang seharusnya berjalan akhir pekan kemarin malah batal diselenggarakan. Walaupun PUBG Corp mengumumkan kebatalan ini lewat laman resmi mereka, namun sayangnya mereka tidak menyebutkan alasan kebatalannya.

Sumber:
Sumber: Facebook PUBG.ID.Official

Hal ini memunculkan pertanyaan juga kekhawatiran soal sustainability atau prospek keberlanjutan esports Battle Royale, khususnya PUBG. Tetapi kekhawatiran soal keberlanjutan esports PUBG sebenarnya tidak terbatas pada kasus pembatalan PUBG SEA Championship 2019 saja. Ada beberapa opini seputar kekhawatiran ini, salah satu alasannya datang dari soal cara terbaik agar esports Battle Royale jadi lebih layak ditonton.

Terkait hal ini, saya mencatat setidaknya ada dua faktor penyebab. Pertama adalah soal hubungan antara esensi game Battle Royale dengan tayangan esports yang menghibur. Lalu yang kedua adalah soal teknis, soal cara terbaik dalam menayangkan pertarungan Battle Royale.

Sumber:
Sumber: Twitter @PUBG

Jake Sin, Global Esports Manager PUBG Corp, sempat menjawab hal ini dalam perbincangan dengan Red Bull Esports. Dalam sebuah sesi wawancara, Jake Sin membahas soal kesiapan PUBG Corp dalam menayangkan esports Battle Royale. Mewakili PUBG Corp, dia mengakui bahwa PUBG Corp sebenarnya belum menemukan cara terbaik untuk menayangkan dan memproduksi event esports PUBG.

Tetapi setelahnya ia menjelaskan lebih lanjut soal usaha PUBG Corp demi membuat Battle Royale layak tonton. Pertama-tama soal esensi Battle Royale dan tayangan esports. Inti dari Battle Royale adalah tentang bertahan hidup, maka dari itu pemain sebenarnya cukup amankan rumah, lalu kurung diri saja sampai fase permainan berlanjut.

Namun hal tersebut tentu akan membuat pertandingan jadi membosankan untuk ditonton bukan? Maka dari itu Jake mencoba memilih menampilkan Battle Royale dari sisi yang lain, yaitu mendorong para pemain bertarung untuk menjadi seorang last-man standing dalam kompetisi PUBG.

“Kami mencoba mengatur beberapa hal, seperti meningkatkan jumlah loot senjata, membuat sistem poin yang lebih menguntungkan bagi setiap kill yang diperoleh daripada placement yang didapat, pengaturan circle, dan lain sebagainya” jawab Jake. Alasan perubahan ini menurutnya sudah jelas, permainan pasif cenderung membuat pertandingan PUBG jadi membosankan ketika ditonton. Maka dari itu keadaan diatur sedemikian rupa, agar permainan di tingkat professional jadi berisikan baku tembak yang intensif.

Selanjutnya soal penayangan, penjelasan Jake adalah sebagai berikut “Kami mencoba memperbaiki elemen visual seperti arah lintasan peluru atau arah lemparan granat. Lalu soal penayangan kami juga menyiapkan beberapa observer untuk bersiaga di berbagai area map. Selain itu kami juga mencoba mencampur efek sinematik dengan pergerakan kamera untuk membuat PUBG semakin menarik untuk ditonton” Jake memperjelas kepada Red Bull Esports.

Sumber: Twitter @PUBG
Sumber: Twitter @PUBG

Beberapa hal tersebut sudah dilakukan oleh PUBG Corp dalam beberapa kompetisi mereka belakangan, seperti National PUBG League (NPL), atau gelaran PUBG Asia Invitational 2019 kemarin. Walaupun begitu, jumlah penonton dari esports PUBG tetap tidak bersaing dibandingkan dengan game esports lainnya. Mengutip Esports Charts, jumlah penonton terbanyak pada saat bersamaan dari NPL hanya 20.420 penonton saja; kalah banyak dari penonton streaming Shroud yang bisa mencapai 50 ribuan penonton.

Kalau begitu, apakah ini artinya kita harus khawatir dengan keberlanjutan esports PUBG? Kekhawatiran tentu akan selalu ada di dalam industri esports, mengingat tren game yang dimainkan akan selalu berubah. Mungkin hanya beberapa game saja yang memang cukup tangguh bisa bertahan hampir 10 tahun, seperti genre MOBA lewat Dota 2 dan LoL, atau genre FPS lewat CS:GO.

Seharusnya, PUBG Corp yang sudah berusaha dengan sedemikian rupa, bisa membuahkan hasil yang baik terhadap keberlanjutan esports PUBG. Sejauh ini bisa dibilang PUBG Corp sudah berada di jalur yang benar. Kita hanya bisa berharap mereka bisa terus bertahan, jangan sampai melenceng terlalu jauh dari jalur tersebut.

Respawn Jaring 355 Ribu Cheater Apex Legends, Fitur Pelaporan Praktis Segera Hadir

Apex Legends tampaknya tidak berhenti membuat kita terpana. Dalam periode hanya sebulan setelah dirlis, game shooter battle royale itu sukses menyentuh batasan 50 juta pemain. Pertumbuhan ini melampaui rekor Fortnite yang membutuhkan beberapa bulan untuk menghimpun 45 juta gamer. Namun dengan pesatnya perkembangan komunitas, meningkat pula usaha-usaha ilegal dari sejumlah oknum agar mereka bisa unggul di tiap match.

Kabar baiknya, tim Respawn Entertainment sudah mengantisipasi hal ini. Lewat Reddit, tim mengabarkan keberhasilannya memblokir lebih dari 355 ribu cheater Apex Legends di PC berbekal Easy Anti-Cheat. Developer mengabarkan bahwa layanan tersebut terbukti efektif menanggulangi upaya-upaya bermain curang, namun Respawn juga menyadari, mengatasi cheater adalah sebuah ‘perang tanpa henti’ dan berjanji untuk terus waspada.

Respawn menjelaskan bagaimana mereka sangat serius dalam membasmi praktek cheating demi menjaga kesehatan ekosistem game. Developer tentu tidak mau mengumbar seperti apa metode yang telah dan akan diimplementasikan untuk mengejutkan para cheater, tetapi ada tiga poin yang saat ini Respawn lakukan:

  1. Berkolaborasi bersama para ahli, baik di dalam ataupun di luar ruang lingkup Electronic Arts. Banyak hal baru bisa dipelajari lewat kerja sama dengan tim lain.
  2. Menambah jumlah tim anti-cheat sehingga ke depannya ada lebih banyak sumber daya buat menangkis metode-metode bermain curang.
  3. Membubuhkan fitur pelaporan in-game di Apex Legends versi PC, sehingga pemain bisa lebih mudah mengadukan gamer-gamer mencurigakan.

Fitur report merupakan salah satu fungsi paling krusial di game multiplayer kompetitif, dan ketidakhadirannya di Apex Legends memang sedikit membingungkan. ‘Report‘ sudah menjadi fitur native di Titanfall 1 dan 2 yang dijajakan sebagai game berbayar, meskipun kondisi ini tidak menghentikan sejumlah oknum untuk mencoba bermain curang. Tak mengherankan jika praktek cheating jadi lebih masif di game free-to-play.

Selain cheating, tim mengabarkan tengah mencari jalan keluar terhadap aktivitas spamming yang dilakukan sejumlah pemain. Mereka biasanya melakukan spamming di sesi pemilihan karakter, kemudian segera keluar dari pertandingan dan memutuskan koneksi. Sekali lagi, Respawn tak mau mengungkap strategi yang mereka ambil, dan solusinya kemungkinan tidak diluncurkan dalam waktu satu dua minggu.

Respawn juga mengakui ada sejumlah kendala teknis yang perlu ditangani. Mereka sedang menggodok patch baru untuk mengatasi crash serta mendongkrak performa permainan di PC. Developer masih berdiskusi soal penambahan fitur reconnect, tetapi mereka melihat bahwa kehadiran fungsi ini membuka peluang eksploitasi. Lagi pula, timnya saat ini tengah fokus buat meningkatkan kestabilan permainan.

Epic Umumkan Rincian Fortnite World Cup dengan Total Hadiah US$100 juta

Sampai saat ini genre battle royale sudah berhasil buktikan diri menjadi genre game yang bisa diterima oleh kebanyakan gamers. Contoh nyata pernyataan di atas adalah Apex Legends, yang bisa tembus 10 juta player cuma dalam kurun waktu 3 hari saja. Walau demikian, satu hal yang masih belum bisa dibuktikan oleh genre Battle Royale, adalah nilai layak jual genre ini untuk esports.

Terlepas dari hal tersebut, Epic Games melakukan langkah berani dan tetap selenggarakan Fortnite World Cup sesuai rencana awal. Epic Games sudah mempersiapkan total hadiah sebesar US$100 juta (sekitar Rp1,4 triliun) yang nantinya akan dibagi ke dalam beberapa bagian kompetisi pada tahun 2019 ini. Lewat laman resmi Epic Games, mereka mengatakan perjalanan menuju Fortnite World Cup akan dimulai dengan sepuluh kompetisi mingguan yang digelar secara online.

Sumber:
Sumber: Laman Resmi Epic Games

Kualifikasi online terbuka akan diadakan mulai dari 13 April sampai 16 Juni 2019, dengan hadiah sebesar US$1 juta (Sekitar Rp14 milyar) setiap pekan. Nantinya 100 pemain solo dan 50 pasukan duo terbaik dari seluruh dunia yang terpilih akan dikumpulkan dalam gelaran Fortnite World Cup Finals, yang digelar di kota New York, memperebutkan total hadiah US$30 juta (sekitar Rp420 milyar), pada 26-28 Juli 2019 mendatang, .

Format permainan Battle Royale yang berbeda dari kebanyakan game kompetitif tradisional, membuat eksekusi esports Fortnite jadi lebih menantang untuk dilakukan. Eksperimen pertama Epic Games dalam melakukan hal ini adalah lewat gelaran kompetisi Fortnite Celebrity Pro-AM, yang diikuti oleh DJ ternama Marshmello.

Fortnite Pro-AM sukses besar secara angka. Mengutip Esports Charts kompetisi ini sudah ditonton oleh sebanyak 5.301.306 kali di Twitch, dengan jumlah penonton terbanyak pada saat bersamaan adalah 2.174.818 penonton. Sayangnya kesuksesan angka tersebut tidak diiringi dengan kesuksesan eksekusi program esports Fortnite.

Sumber:
Duet Ninja dan Marshmello, juara kompetisi Fortnite Pro-AM yang berhasil menarik perhatian para gamers dari seluruh dunia. Sumber: The Verge – Nick Statt

Setelah Fortnite Pro-AM, rangkaian kompetisi Fortnite dilanjutkan dengan turnamen online bernama skirmish. Mengutip artikel The Verge, eksekusi Skirmish sebagai salah satu bagian dari rencana besar esports Fortnite ini ternyata mengalami banyak masalah.

Beberapa di antaranya seperti jadwal kompetisi yang bertabrakan dengan kompetisi yang sudah ada, kualitas tayangan Epic Games yang terkesan amatir, kamera spectator in-game yang buruk, sampai kontroversi juara Skrimish yang dituduh sebagai cheater.

Dengan Fortnite World Cup di depan mata, serta liga esports PUBG Amerika Serikat yang sedang berjalan, sejujurnya saya sedikit pesimis dengan esports Battle Royale. Alasannya adalah soal format kompetisi Battle Royale dirasa kurang baik dalam membangun hype dari sebuah rangkaian acara esports.

Selama ini kita sudah terbiasa melihat ada dua entitas tim berhadapan dalam satu pertandingan, baik itu dalam kompetisi esports atau olahraga tradisional. Keseruan pertandingan dua tim tersebut terus meningkat seiring fase kompetisi berlanjut, dengan kedua tim mempertaruhkan hal yang besar dalam pertarungan mereka; entah itu kebanggaan jadi juara dunia atau kesuksesan mendapat hadiah uang yang besar.

Sumber:
Kemenangan OMG di PUBG Global Invitational 2018 kemarin salah satu contoh ketika esports Battle Royale jadi tidak menghibur ketika sudah ada satu tim yang cukup mendominasi dan konsisten. Sumber: Twitter @PUBG

Sementara format kompetisi Battle Royale, berbeda dari MOBA ataupun FPS. Bukan dua tim berhadapan dalam satu pertandingan, melainkan 80 sampai 100 orang yang dibagi menjadi 16 sampai 20 tim, bertanding ronde demi ronde, mengumpulkan poin untuk mencapai peringkat pertama.

Format tersebut tidak menciptakan konsep pertarungan dengan pertaruhan yang tinggi. Satu tim bisa saja kumpulkan banyak poin di awal sampai tengah fase kompetisi. Dengan banyaknya poin yang dikumpulkan, harapannya adalah tim tersebut bisa main santai di fase terakhir tanpa perlu khawatir poinnya dikejar tim lain.

Pada akhirnya, penonton bisa saja menyimpulkan siapa pemenang kompetisi esports Battle Royale tanpa harus menunggu rangkaian acara mencapai hari terakhir. Tetapi itu hanya sedikit opini dari saya saja. Siapa yang tahu kalau ternyata Fortnite World Cup berhasil menyajikan format hiburan yang lebih menarik dan berhasil membuktikan nilai jual game Battle Royale sebagai industri esports.

Demi Menandingi Apex Legends, Call of Duty: Black Ops 4 Dapatkan Update Raksasa

Demam Apex Legends sedang merebak di mana-mana. Spin-off Titanfall ini sukses mengumpulkan pemain dalam waktu singkat, dan berhasil pula menggaet gamer yang awalnya kurang menyukai battle royale. Mereka yang telah memainkannya setuju, kreasi anyar Respawn itu memadukan konsep sejumlah permainan lain; misalnya Halo, Destiny, Overwatch dan Rainbow Six Siege.

Apex Legends merupakan satu dari banyak game yang digarap sebagai respons populernya formula last man standing. Sebelumnya, mode ini turut dibubuhkan developer ternama di franchise andalan mereka, seperti Battlefield, Red Dead Redemption dan Call of Duty. Di Call of Duty: Black Ops 4, Activision bahkan nekat untuk menukar kehadiran mode campaign single-player dengan battle royale. Untung saja, gamer dan media mengapresiasi arahan ini.

Call of Duty: Black Ops 4 sempat masuk ke daftar nominasi permainan shooter terbaik di 2018 serta memenangkan sejumlah penghargaan. Namun belakangan namanya mulai meredup akibat Apex Legends dan Fortnite Battle Royale. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat dua kompetitor itu disajikan sebagap game free-to-play, sedangkan edisi termurah Black Ops 4 saja dibanderol seharga US$ 40 (tanpa mode Zombie).

Sebagai respons Activision dan Treyarch terhadap kepopuleran Apex Legends, mereka meluncurkan add-on anyar untuk Black Ops 4. Penambahan konten bukanlah hal baru bagi game multiplayer, tapi buat yang ini, ukurannya lebih berbobot dari sebelum-sebelumnya. Update tersebut memperkenalkan konten bertajuk Operation Grand Heist, yang terinspirasi dari film-film perampokan di tahun 1970-an.

Pelepasan Operation Grand Heist ditemani dua peta multiplayer anyar (Casino dan Lockup), Specialist baru (Outrider, ahli menggunakan panah), karakter Cosmic Silverback di mode Zombie, serta lokasi dan mode tambahan di porsi battle royale Blackout. Di sana ada tempat bernama Ghost Town, merupakan adaptasi dari map multiplayer klasik Black Ops II, dipadu zona bawah tanah yang segera mengingatkan ala peta Buried.

Grand Heist.

Mode tambahan di Blackout diberi titel Hot Pursuit. Ia menyuguhkan tiga jenis pilihan kendaraan baru (berupa SUV, mobil ‘muscle’ dan speed boat), dan menantang tim untuk berlomba-lomba mendapatkan pasokan perlengkapan high level berisi senjata, baju pelindung dan peledak.

Grand Heist 1

Selain itu, Treyarch membubuhkan beragam item baru di Black Market, sebagian dari mereka mengusung tema 70-an. Lalu beberapa opsi senjata anyar yang bisa Anda gunakan meliputi Rampage Auto Shotgun, Switchblade X9 SMG dan palu Home Wrecker.

Grand Heist 2

Update Operation Grand Heist sudah tersedia buat Call of Duty: Black Ops 4 versi PlayStation 4. Para pemilik Black Ops Pass dipersilakan untuk mengakses peta multiplayer baru serta bermain sebagai Outrider. Lalu, satu mode Zombie tambahan akan tiba di bulan Maret nanti. Detail lengkap bisa Anda baca di situs Treyarch.

Sumber: VentureBeat.