Bukalapak Siap Tercatat di BEI pada 6 Agustus Mendatang

PT Bukalapak.com Tbk akhirnya mengumumkan secara terbuka untuk segera melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Perusahaan yang akan memakai kode emiten BUKA ini, bakal listing di BEI pada 6 Agustus 2021.

Aksi unicorn ini jelas menarik perhatian karena menjadi perusahaan teknologi pertama di industri e-commerce Indonesia yang melantai ke bursa saham.

Berdasarkan prospektus yang disampaikan perseroan pada hari ini (9/7), Bukalapak melepas 25.765.504 lembar saham biasa atas nama yang seluruhnya merupakan saham baru, mewakili sebanyak-banyaknya 25% dari modal ditempatkan dan disetor perseroan setelah Penawaran Umum Perdana Saham.

Dari total tersebut, penjatahan untuk terpusat untuk investor ritel adalah 2,5% atau senilai Rp75 miliar. Namun akan disesuaikan kembali bila terjadi oversubscribed selama masa bookbuilding.

Harga penawaran saham berkisar antara Rp750 sampai Rp850 per lembar. Dengan demikian, nilai transaksi IPO ini sebanyak-banyaknya sebesar Rp21,9 triliun. Aksi ini bakal menjadi IPO terbesar sepanjang sejarah di Indonesia.

Perseroan akan segera melakukan roadshow menjaring investor besar di luar negeri dan di dalam negeri untuk berpartisipasi dalam aksi korporasi ini.

Dana yang diraup akan dialokasikan sekitar 66% untuk keperluan modal kerja. Sisanya digunakan untuk modal kerja entitas anak, yakni sekitar 15% dialokasikan untuk Buka Mitra Indonesia, sekitar 15% untuk Buka Usaha Indonesia. Kemudian, sekitar 1% untuk Buka Investasi Bersama, sekitar 1% untuk Buka Pengadaan Indonesia, sekitar 1% untuk Bukalapak Pte. Ltd., dan sekitar 1% untuk Five Jack (itemku).

Masa penawaran awal dilangsungkan pada 9 Juli-19 Juli 2021. Lalu, masa penawaranumum perdana saham pada 28 Juli-30 Juli 2021. Jika proses berjalan lancar, maka pencatatan saham perdana Bukalapak di BEI akan berlangsung pada 6 Agustus 2021 mendatang.

Dari total saham yang dilepas ke publik, perseroan akan mengaplikasikan sebanyak 0,1% untuk program alokasi saham kepada karyawan (employee stock allocation/ESA) atau sebanyak-banyaknya sebesar 25,76 juta dengan harga pelaksanaan ESA yang sama dengan harga penawaran.

Penawaran umum perdana saham perseroan tidak menggunakan sistem elektronik atau e-IPO. Manajemen menyebutkan tata cara pemesanan saham berdasarkan Peraturan No.IX.A.2 dan Peraturan No.IX.A.7 dengan penyesuaian tertentu berdasarkan surat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. S-108/D.04/2021 tanggal 7 Juli 2021.

Bukalapak menyediakan tautan khusus untuk memudahkan investor memperoleh informasi cara pemesanan. Ada 4 informasi yang disampaikan, yakni informasi emisi saham Bukalapak, harga saham, formulir pemesanan pembelian atau FPPS, serta prospektus awal dan prospektus.

Pemesanan saham Bukalapak dilakukan secara khusus. Investor wajib memiliki Single Investor Identification (SID), Sub Rekening Efek (SRE), dan Rekening Dana Nasabah (RDN).

Rencana berikutnya

Dari prospektus, perseroan membukukan nilai transaksi mencapai Rp85 triliun per tahun, meningkat dari sebelumnya Rp28 triliun. Peningkatan ini membuat pendapatan Bukalapak naik 4,6 kali menjadi Rp1,35 triliun dari Rp290 miliar per tahun.

“Tumbuh 115% rata-rata per tahun. Banyak perusahaan teknologi yang harus bakar uang untuk tumbuh, tapi cara berpikir kami beda. Kami ingin tumbuh dan memperbaiki profitabilitas kami. Kami memperbaiki EBITDA dan terus berusaha agar tren ini dapat terus berlanjut dan bisa menjadi perusahaan yang menguntungkan di masa mendatang,” ucap Presiden Direktur Bukalapak Rachmat Kaimudin dalam public expose, hari ini (9/7).

Ia juga menyampaikan bahwa aksi IPO ini adalah tonggak sejarah di industri teknologi dan pasar modal karena saham perusahaan unicorn sudah dapat dimiliki masyarakat luas. Sebelumnya Bukalapak hanya aplikasi yang sudah berdiri selama 11 tahun.

“Dengan mimpi yang besar, dimulai dari kos-kosan dan modal dari Rp80 ribu tapi punya tujuan besar memajukan UMKM.”

Menurutnya, masalah yang dihadapi UMKM di Indonesia cukup kompleks dan belum tersentuh teknologi, sehingga proses bisnisnya masih dijalankan secara tradisional. Teknologi menjadi solusi yang bisa dipakai untuk melayani masyarakat yang belum terlayani.

Kehadiran layanan e-commerce di satu sisi juga belum merata. Sebesar 70% transaksinya datang dari lima kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan Semarang. Populasi di kota tersebut hanya 10% dari total populasi di Indonesia.

Manajemen dan tim IPO Bukalapak

Sementara, 90% populasi Indonesia yang datang di luar lima kota tersebut hanya melakukan transaksi di layanan e-commerce sebesar 30% dari nilai transaksi. “Jadi perbandingannya 20:1 dari segi populasi masyarakat Indonesia. Strategi kami adalah membuka jaringan O2O melalui digitalisasi warung yang bisa menjadi infrastruktur tambahan.”

Pasca IPO, sambung Rahmat, perseroan akan melanjutkan strategi bisnis all commerce, melalui aplikasi Bukalapak dan Mitra Bukalapak (beserta aplikasinya), untuk menambah produk dan layanan buat mitra agar makin banyak yang terdigitalisasi dan punya banyak tambahan sumber pendapatan.

Direktur Bukapalak Teddy Oetomo turut menambahkan, pendapatan yang disumbang dari Mitra Bukalapak kemungkinan ke depannya bakal lebih dominan dari layanan e-commerce. Ia beralasan karena pertumbuhannya belakangan yang fantastis dan inovasi yang selalu dilakukan perusahaan.

“Bukalapak akan mendapat komisi bila pelapak kami bisnisnya tumbuh, maka bisnis kami itu saling beriringan. Semakin bisnis mereka berkembang, mereka dapat semakin loyal dengan Bukalapak,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Reportedly to Go Public in August 2021, Targeting up to 11 Trillion Rupiah Funding

The news of Bukalapak’s IPO is getting widely reported. Recently, a Reuters source said the company aims for an ambitious target of fundraising up to $800 million or equivalent to over 11 trillion Rupiah through the sale of 10 to 15% of the total shares; bringing the company’s valuation to $4 to $5 billion. The corporate action is said to take place in August 2021.

The source also mentioned that the estimated value obtained from the capital market is in accordance with the prospectus Bukalapak submitted to the Indonesia Stock Exchange. The changes will depend on investor’s demand and market conditions after successfully trading on the stock exchange.

The unicorn IPO debut will record a new milestone in Indonesia’s business landscape. In addition to being one of the listings with the greatest value over the past decade, it will also be the first among local unicorn startups. In terms of value, GoTo or Traveloka may overtake the position once they decided to register in Indonesia.

As previously reported, other unicorns have a tendency to prioritize going public on the New York stock exchange via SPAC. Bukalapak is also rumored to undergo the same act, after successfully go public on the local exchange.

Although currently backed with 47 shareholders, Bukalapak’s majority shares are controlled by three main institutions, including PT Kreatif Media Karya (31.9%), API Investment Limited (17.4%), and GIC Singapore through Archipelago Investment Pte Ltd (12 ,6%).

Value Proposition

Since it was founded in 2011 by Achmad Zaky, Fajrin Rasyid, and Nugroho Herucahyono — all three of whom are no longer active as the company’s executives– Bukalapak claims to have acquired more than 100 million users in Indonesia.

Various strategic innovations continue to be intensified, including the latest one regarding the plan to establish digital banking services with Standard Chartered, which is also an investor. Recently, the company has just completed its acquisition of the online marketplace platform Itemku, to expand its business in the digital game asset category.

Other features such as BukaPegadaian (B2B Commerce), Mitra Bukalapak, Buka Mutual Investment, and others are currently the company’s development focus. It is to present an additional value proposition than its competitors. Based on some research, Bukalapak is placed in third place after Shopee and Tokopedia.

In order to strengthen the company’s organizational structure, the company has also appointed Bambang Brodjonegoro and Yenny Wahid as company commissioners.

Last April 2021, Bukalapak closed its series G funding, the value of which was estimated to be over 5.7 trillion Rupiah. A number of investors were involved in this round, including UBS Group AG, Resorts World, Mandiri Capital Indonesia, BRI Ventures, and several previous investors.

Application Information Will Show Up Here

Dikabarkan IPO Agustus 2021, Bukalapak Pasang Target Kumpulkan Dana hingga 11 Triliun Rupiah

Kabar IPO unicorn Bukalapak makin santer dikabarkan. Terbaru, sumber Reuters mengatakan perusahaan punya target ambisius mengumpulkan dana hingga $800 juta atau setara lebih dari 11 triliun Rupiah melalui penjualan 10 s/d 15% total saham; membawa valuasi perusahaan di angka $4 s/d 5 miliar. Aksi korporasi dikatakan segera berlangsung Agustus 2021 mendatang.

Sumber tersebut juga mengatakan, estimasi nilai yang didapat dari pasar modal sesuai dengan prospektus yang diajukan tim Bukalapak ke Bursa Efek Indonesia. Perubahannya akan bergantung pada permintaan investor dan kondisi pasar setelah berhasil melantai di bursa.

Debut IPO unicorn ini akan mencatat tonggak sejarah baru dalam lanskap bisnis di Indonesia. Selain akan menjadi salah satu listing dengan nilai terbesar selama satu dekade terakhir, juga menjadi yang pertama dari kalangan startup unicorn lokal. Secara nilai bisa saja tersusul GoTo atau Traveloka kalau pada akhirnya mereka juga memilih untuk melakukan pencatatan di Indonesia.

Seperti banyak diberitakan sebelumnya, unicorn lain memiliki kecenderungan untuk mendahulukan go-public di bursa New York melalui kendaraan SPAC. Bukalapak pun dikabarkan akan melakukan hal serupa, setelah berhasil melantai di bursa lokal.

Kendari memiliki 47 jajaran pemegang saham, saham mayoritas Bukalapak saat ini dikuasai oleh tiga institusi utama, meliputi PT Kreatif Media Karya (31,9%), API Investment Limited (17,4%), dan GIC Singapore melalui Archipelago Investment Pte Ltd (12,6%).

Proposisi nilai

Sejak didirikan tahun 2011 oleh Achmad Zaky, Fajrin Rasyid, dan Nugroho Herucahyono –yang ketiganya saat ini sudah tidak aktif lagi di jajaran eksekutif perusahaan– Bukalapak mengklaim sudah merangkul lebih dari 100 juta pengguna di Indonesia.

Berbagai inovasi strategis terus digencarkan, termasuk yang paling baru mengenai rencana pendirian layanan perbankan digital bersama Standard Chartered, yang juga merupakan investornya. Belum lama ini perusahaan juga baru saja menyelesaikan akuisisinya terhadap platform online marketplace Itemku, untuk memperluas bisnis di kategori aset digital game.

Fitur lain seperti BukaPegadaian (B2B Commerce), Mitra Bukalapak, Buka Investasi Bersama, dan lain-lain tengah menjadi fokus pengembangan di internal perusahaan. Tak lain untuk menghadirkan proposisi nilai lebih dibanding para pesaingnya. Dari sejumlah riset, Bukalapak ditempatkan pada urutan ketiga setelah Shopee dan Tokopedia.

Untuk menguatkan struktur organisasi perusahaan, perusahaan juga telah menggandeng Bambang Brodjonegoro dan Yenny Wahid sebagai komisaris perusahaan.

April 2021 lalu, Bukalapak juga baru menutup pendanaan seri G yang nilainya ditaksirkan tembus 5,7 triliun Rupiah. Sejumlah investor terlibat dalam putaran ini, termasuk UBS Group AG, Resorts World, Mandiri Capital Indonesia, BRI Ventures, dan beberapa investor sebelumnya.

Application Information Will Show Up Here

Kredivo to Consider SPAC; Expecting “Go-Public” Testimony from Indonesian Tech Giants

The fintech paylater company, Kredivo, is reportedly considering an option to go public on the New York stock exchange through SPAC. The company plans to partner with Victory Park Capital’s unit, an investment company that also provided debt funding facilities to Kredivo worth $100 million in November 2020.

This news was first reported by DealStreetAsia. As we continue to follow up, Kredivo executives were reluctant to comment on the rumors.

From the existing funding rounds, Kredivo’s current estimated valuation has reached $500 million. The ranks of investors include Singtel Innov8, Telkomsel Mitra Inovasi, MDI Ventures, Cathay Innovation, DST Partners, and Kejora Intervest.

Meanwhile, the value of the blank check company to be partnered with is estimated at $255 million.

Go-public plans

Recently, Tiket.com’s plan to go-public resurfaced. The company, which has now valued more than $1 billion, is reportedly considering SPAC as its vehicle to go-public on the stock exchange. Rumor has it that they will collaborate with a blank check company COVA Acquisition Corp. (COVA), forming a unity valued at more than $2 billion.

In addition, as quoted by Kumparan, GoTo’s CEO, Andre Soelistyo said the Gojek-Tokopedia joint venture also plans to go-public on the stock exchange before the end of 2021.

In a general note, other unicorns, including Traveloka and Bukalapak have reportedly begun exploring the option of going public with SPAC.

The SPAC popularity arises as the conventional IPO process is considered more complicated, expensive, and time-consuming for technology startups. In the United States, 2020 is a significant momentum for go-public through blank check scheme. There are more than 200 SPACs raising an estimated $799 billion.

However, there has been a decline in SPAC prices and interest in institutional investors to enter the PIPE; it is possible for startups to rethink about going public through this mechanism.

Withersworldwide’s partner, Joel Shen argues, SPAC’s resurgence can be attributed to low interest rates, abundant liquidity in the market due to the stimulus of the US central bank system, and an increase in the number of acquisition targets, especially in technology.

Expecting testimony

The plan remains, even the companies above avoid to openly discuss or admit about the SPAC. Some have already given the signal to immediately conduct an IPO.

If these market-leading startups can succeed with SPAC, it will be both a measure and a good benchmark for the ecosystem. One of them is related to the company’s acceptance on foreign exchanges, even though its business is focused on local [regional] markets.

In his  analysis, Gabriel Li as an expert from Withers KhattarWong Singapore said that the [global] public market has currently showing interest to invest in Southeast Asian technology startups. The success of Sea Group in bringing e-commerce, video games and payments businesses is said to be one of the early triggers. Investments in Southeast Asian or Indonesian companies are seen to be complementary for most investors.

Investors in the capital market, the government, and even the general public are now waiting for concrete steps of the tech-giants to go-public on the stock exchange. It is expected with careful steps, local startups can really give their best performance, therefore, it turns out to be extraordinary examples for innovators following in the same direction.

Indonesian capital market

All the news about unicorns planning to go-public, the Indonesia Stock Exchange (IDX) did not sit still. Various adjustments were made as “inducements” to local technology companies to consider domestic IPOs.

IDX’s Development Director, Hasan Fawzi said some adjustment points compiled through conversations with industry players. It is related to the listing option on the main board, expand the classification of sub-sectors, and to the rights of the founder to do a dual class share.

Dual listing is predicted to be an option for startups, as it is undeniable that investors from the United States stock exchange are connecting companies to embrace a wider circle of investors. On the other hand, an IPO on a local stock exchange will spice up the Indonesian market, while being a manifestation of nationalism.

IDX’ Commissioner, Pandu Sjahrir’s also said, as quoted by Tempo, currently three unicorns have registered to the local stock exchange, although no further details have been identified.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

 

Giliran Kredivo Dikabarkan Jajaki SPAC; Menanti Pembuktian “Go-Public” Raksasa Teknologi Indonesia

Perusahaan fintech paylater Kredivo dikabarkan sedang mempertimbangkan opsi go-public di bursa New York melalui SPAC. Rencananya perusahaan akan menggandeng salah satu unit Victory Park Capital, perusahaan investasi yang juga memberikan fasilitas debt funding kepada Kredivo senilai $100 juta pada November 2020 lalu.

Kabar ini pertama kali diberitakan oleh DealStreetAsia. Ketika kami hubungi, eksekutif Kredivo enggan memberikan komentar terkait rumor tersebut.

Dari putaran pendanaan yang ada, saat ini estimasi valuasi Kredivo menyentuh angka $500 juta. Investor Kredivo termasuk Singtel Innov8, Telkomsel Mitra Inovasi, MDI Ventures, Cathay Innovation, DST Partners, dan Kejora Intervest.

Sementara perusahaan cek kosong yang akan digandeng ditaksirkan memiliki nilai hingga $255 juta.

Rencana go-public terus bergulir

Belum lama berselang, rencana go-public Tiket.com kembali mengemuka. Perusahaan yang kini telah bervaluasi lebih dari $1 miliar tersebut dikabarkan juga mempertimbangkan SPAC untuk menjadi kendaraannya melantai ke bursa saham. Rumornya mereka akan menggandeng perusahaan cek kosong COVA Acquisition Corp. (COVA), membentuk gabungan perusahaan bernilai lebih dari $2 miliar.

Selain itu, dalam sebuah keterangan yang dikutip Kumparan, CEO GoTo Andre Soelistyo mengatakan perusahaan gabungan Gojek-Tokopedia juga ditargetkan bisa melantai ke bursa sebelum akhir tahun 2021.

Dan seperti diketahui sebelumnya, unicorn lain Traveloka dan Bukalapak juga sudah dikabarkan mulai menjajaki opsi go-public dengan kendaraan SPAC.

Popularitas SPAC muncul akibat proses IPO konvensional dinilai lebih rumit, mahal, dan memakan waktu lebih banyak bagi startup teknologi. Di Amerika Serikat, tahun 2020 menjadi momentum pertumbuhan signifikan go-public lewat kendaraan cek kosong. Ada lebih dari 200 SPAC mengumpulkan sekitar $799 miliar.

Kendati demikian, saat ini terlihat adanya penurunan harga SPAC dan minat investor institusi untuk masuk ke PIPE; berkemungkinan para startup berpikir ulang untuk go-public lewat mekanisme ini.

Partner Withersworldwide Joel Shen berpendapat, kebangkitan popularitas SPAC dapat dikaitkan dengan suku bunga rendah, likuiditas yang melimpah di pasar karena stimulus dari sistem bank sentral AS, dan peningkatan jumlah target akuisisi, terutama di bidang teknologi.

Menanti pembuktian

Rencana masih sekadar rencana, bahkan perusahaan-perusahaan di atas belum mau secara terang-terangan membicarakan atau mengakui tentang SPAC tersebut. Beberapa memang sudah memberikan sinyal untuk segera melakukan IPO.

Jika para startup pemimpin pasar tersebut bisa berhasil dengan SPAC, ini akan menjadi barometer sekaligus tolok ukur yang baik untuk ekosistem. Salah satunya terkait penerimaan perusahaan di bursa asing, kendati bisnisnya fokus di pasar lokal [regional].

Dalam analisisnya, Gabriel Li selaku pakar dari Withers KhattarWong Singapura mengatakan, saat ini pasar publik [global] telah memperlihatkan keinginan untuk berinvestasi di startup teknologi Asia Tenggara. Kesuksesan Sea Group membawa bisnis e-commerce, video game, dan pembayaran dikatakan menjadi salah satu pemicu awal. Investasi di perusahaan Asia Tenggara atau Indonesia dipandang akan menjadi pelengkap bagi sebagian besar investor.

Investor di pasar modal, pemerintah, bahkan masyarakat secara umum kini menantikan langkah konkret para raksasa teknologi dalam melantai ke bursa. Harapannya, melangkah dengan kehati-hatian, para startup lokal dapat benar-benar memberikan performa terbaik sehingga dapat dijadikan percontohan yang luar biasa bagi inovator-inovator yang tengah merangkak ke arah yang sama.

Pasar modal di Indonesia

Mendengar kabar bahwa para unicorn berencana melangsungkan penawaran publik, Bursa Efek Indonesia (BEI) tidak tinggal diam. Berbagai penyesuaian dilakukan sebagai “bujukan” agar para perusahaan teknologi lokal turut mempertimbangkan IPO di dalam negeri.

Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi sempat mengatakan beberapa poin penyesuaian yang dihimpun dari perbincangan dengan para pemain industri. Di antaranya terkait opsi masuk ke papan utama, perluasan klasifikasi sub-sektor, dan terkait hak founder melakukan dual class share.

Dual listing juga digadang-gadang dapat menjadi opsi bagi para startup, karena tidak dimungkiri bahwa investor dari bursa Amerika Serikat menghubungkan perusahaan untuk merangkul kalangan investor yang lebih luas. Di sisi lain, IPO di bursa lokal akan membuat pasar di Indonesia bergairah, sembari sebagai perwujudan nasionalisme.

Menurut keterangan Komisaris BEI Pandu Sjahrir, seperti dikutip Tempo, saat ini sudah ada tiga unicorn yang mendaftar ke bursa lokal, kendati tidak disebut detail nama-namanya.

Gambar Header: Depositphotos.com

Cashlez Officially IPO, Creating Opportunities for Other Acquisitions

The payment gateway and mPOS startup, Cashlez, officially going IPO at the Indonesia Stock Exchange yesterday (4/5) using “CASH” as the stock code. Cashlez is listed on the acceleration board, as well as being the 27th company to be trading on the stock exchange this year.

The company releases 250 million new shares at Rp 350 per share. This capital amount covers around 17.5 percent of the agreed capital and is placed in Cashlez. Simultaneously, the company issued Series I Warrants at a ratio of 1: 1.

Cashlez’ President Director, Tee Teddy Setiawan said the company successfully obtained funding worth of Rp87.5 billion on this occasion. As planned, 61.31% of the funds were used for the acquisition of PT Softorb Technology Indonesia (STI), with the remaining 38.69% for working capital.

“Through this IPO, we can continue to innovate in developing business and one of them is the acquisition of STI which we consider is very strategic for our business growth,” he said in an official statement.

As quoted from his interview with IDX Channel, Teddy mentioned, besides the acquisition of STI, he also offers opportunities to take other corporate actions. “We are still looking for opportunities for the acquisition of similar companies to support inorganic growth.”

He continued, the due diligence process for the STI acquisition had begun since last year. The two sides started open discussions for future business synergies, given the huge potential of the payment system industry in Indonesia.

Entering the second half of last year, the company starts taking an option to IPO on the stock exchange, moreover, the company also participated in IDX Incubator. “We are encouraged to take the IPO initiative, especially with the current new board [acceleration board], we finally decided to take on the exchange.”

Fundamentally, STI has a strong and stable business base, compared to Cashlez as a startup. STI focuses on the front end, while Cashlez focuses on the back end. They need a front-end that can create innovation, for example by combining sensors with non-cash payment instruments such as cards.

“We are starting to enter the [payment] segment of transportation, prepaid cards, parking, and theme parks,” he continued.

To date, Cashlez is said to cover more than 7,300 merchants consisting of small, medium, to enterprises. However, 88% of them are dominated by SMEs.

Adjustment to the target

Even though the funds will be used in accordance with the original plan, the nominal funds targeted by Cashlez has adjusted. Previously, the company was targeting Rp90 billion to Rp100 billion by releasing 300 million shares of regular stock. The offer price is at Rp298-Rp358 per share. The date of the listing on the IDX was planned for April 20, 2020.

Teddy revealed that the adjustment occurred because of structural changes. Earlier this year, they began with unfavorable issue from Jiwasraya, then the Covid-19 pandemic emerged in March. Finally, it must’ve had an impact on several prospective investors and their commitment to enter, eventually changing their minds.

“However, since everything is back to normal, this is good timing to start fresh.”

In addition, regarding the company’s target this year, Teddy said he has yet made a revision. However, he currently opens for the possibility that a correction would occur in the second quarter of this year. the Cashlez business as a whole is targeted to increase by 2.5 to 3 times from last year.

“In March 2020 we still have our positive performance. The Covid-19 has affected on our business, related to PSBB, it is practically all business down almost 80%. We have to be more creative in catering to online transactions. ”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Cashlez Resmi IPO, Buka Peluang Akuisisi Perusahaan Lain

Startup payment gateway dan mPOS Cashlez resmi melantai di Bursa Efek Indonesia, kemarin (4/5) dengan kode saham “CASH”. Cashlez tercatat di papan akselerasi, sekaligus menjadi perusahaan ke-27 yang melantai di bursa pada tahun ini.

Perusahaan melepas 250 juta saham baru dengan harga Rp350 per lembar. Jumlah modal ini meliputi sekitar 17,5 persen dari modal disetor dan ditempatkan pada Cashlez. Secara bersamaan, perusahaan menerbitkan Waran Seri I dengan rasio 1:1.

Presiden Direktur Cashlez Tee Teddy Setiawan mengatakan, dana yang berhasil diraup perusahaan dari hajatan ini adalah Rp87,5 miliar. Sesuai rencana, sebanyak 61,31% dari dana tersebut digunakan untuk akuisisi PT Softorb Technology Indonesia (STI), sisanya 38,69% untuk modal kerja.

“Melalui IPO ini, kami dapat terus berinovasi dalam mengembangkan bisnis dan salah satunya adalah akuisisi STI yang menurut kami sangat strategis untuk pertumbuhan bisnis kami,” ucapnya dalam keterangan resmi.

Mengutip dari wawancaranya bersama IDX Channel, Teddy mengungkapkan selain akuisisi STI, ia juga membuka kemungkinan untuk melakukan aksi korporasi lainnya. “Kita masih cari opportunity untuk akuisisi perusahaan sejenis untuk menunjang growth anorganik.”

Dia melanjutkan, proses due diligence untuk akuisisi STI sudah dimulai sejak tahun lalu. Kedua belah pihak mulai membuka perbincangan untuk sinergi bisnis ke depannya, mengingat potensi industri sistem pembayaran yang masih sangat besar di Indonesia.

Memasuki paruh kedua tahun lalu, perusahaan mulai buka opsi untuk melantai di bursa, terlebih perusahaan sendiri masuk sebagai peserta di IDX Incubator. “Kami di-encourage untuk berani melantai di bursa, apalagi sekarang ada papan baru [papan akselerasi], akhirnya kita putuskan untuk masuk ke bursa.”

Secara fundamental, STI punya basis bisnis yang sudah kuat dan stabil, ketimbang Cashlez yang masuk dalam kategori startup. STI fokus pada front-end, sementara Cashlez fokus di back-end. Mereka butuh front-end yang bisa menciptakan inovasi, misalnya menggabungkan sensor-sensor alat pembayaran non-tunai seperti kartu.

“Sekarang kami mulai masuk [pembayaran] segmen transportasi, prepaid card, parking, dan theme park,” sambungnya.

Diklaim saat ini Cashlez telah menjaring lebih dari 7.300 merchant yang terdiri atas usaha kecil, menengah, hingga enterprise. Namun, 88% di antaranya didominasi oleh UKM.

Target meleset dari rencana

Meski penggunaan dana sesuai dengan rencana awal, sebenarnya target nominal dana yang diincar Cashlez meleset. Awalnya perusahaan mengincar dana antara Rp90 miliar sampai Rp100 miliar dengan melepas 300 juta lembar saham biasa. Harga penawaran ada di rentang Rp298-Rp358 per lembar. Pun tanggal pencatatan saham di BEI tadinya direncanakan tanggal 20 April 2020.

Teddy mengungkapkan bergesernya tanggal pencatatan ini terjadi karena dipengaruhi perubahan struktur. Awal tahun ini diawali isu yang kurang baik dari Jiwasraya, kemudian pada Maret muncul pandemi Covid-19. Akhirnya berdampak pada beberapa calon investor yang awalnya sudah menyatakan komitmennya untuk masuk, akhirnya berubah pikiran.

“Tapi sekarang semua sudah back to normal, ini timing yang baik untuk mulai lagi.”

Di samping itu, mengenai target perusahaan sepanjang tahun ini, Teddy mengaku belum melakukan revisi. Akan tetapi, ia membuka kemungkinan bahwa pada kuartal kedua tahun ini akan terjadi koreksi. Ditargetkan bisnis Cashlez secara keseluruhan dapat naik antara 2,5 hingga 3 kali lipat dari tahun lalu.

“Di Maret 2020 kinerja kita masih positif. Efek Covid-19 terhadap bisnis kita, berkaitan dengan PSBB, praktis bisnis hampir semua turun 80%. Kita harus lebih kreatif meng-cater transaksi ke online.”

Application Information Will Show Up Here

IPO di Papan Akselerasi sebagai Alternatif Penggalangan Dana Startup Tahap Awal

Pada 22 Juli 2019, Bursa Efek Indonesia (BEI) memberlakukan peraturan pencatatan baru untuk perusahaan dengan aset skala kecil dan menengah melalui Papan Akselerasi. Ketentuannya tercatat dalam Peraturan Nomor I-V. Sebelumnya BEI memiliki dua model pencatatan bursa, yakni Papan Utama (identik dengan perusahaan besar dengan aktiva berwujud sekurangnya Rp100 miliar) dan Papan Pengembangan (identik dengan emiten di tahap berkembang dengan aktiva sekurangnya Rp5 miliar).

Beleid yang dipublikasikan BEI didasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 53/POJK.04/2017 tentang Pernyataan Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum dan Penambahan Modal dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu oleh Emiten dengan Aset Skala Kecil atau Emiten dengan Aset Skala Menengah.

Perusahaan dengan aset skala kecil adalah yang memiliki aset tidak lebih dari Rp50 miliar, sedangkan perusahaan skala menengah memiliki aset lebih dari Rp50 miliar sampai Rp250 miliar.

“Papan Akselerasi bisa dibilang khusus untuk UKM dan Startup. Pendanaan dari pasar modal diharapkan dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan perusahaan. Jadi syarat keuangan bukan faktor utama. Justru faktor utamanya prospek bisnis,” jelas Program Director IDX Incubator Irmawati Amran kepada DailySocial.

Lebih lanjut ia menjelaskan, “Target investornya adalah sophisticated investor yang paham melihat potensi suatu perusahaan ke depan, atau paling tidak investor yang sudah berpengalaman berinvestasi di saham. Bisa juga dikatakan targetnya adalah angel investor yang bisa mendapat keuntungan dari capital gain tax apabila mereka mengambil profit di pasar modal.”

Persyaratan dan kriteria

Melalui Papan Akselerasi, perusahaan berbentuk PT (Perseoran Terbatas) bisa mencatatkan sahamnya ke BEI sejak masa awal didirikan–tidak seperti di Papan Pengembangan minimal setelah 12 bulan beroperasi dan Papan Utama setelah 36 bulan beroperasi. Mekanisme ini dimungkinkan untuk jadi opsi penggalangan dana modal bagi operasional bisnis di tahap awal.

Sama dengan Papan Pengembangan, emiten di Papan Akselerasi tidak harus sudah menuai profit ketika melakukan pencatatan. Hanya saja diwajibkan memiliki proyeksi maksimal tahun ke-6 harus sudah punya laba usaha. Pun demikian terkait total aktiva berwujud, tidak ada batas khusus yang diwajibkan.

Startup juga bisa menggunakan laporan keuangan yang tidak genap per satu tahun dengan memperoleh opini tanpa modifikasi. Nantinya harga saham perdana saat pencatatan paling sedikit Rp50, dengan jumlah pemegang saham paling sedikit 300 nasabah pemilik rekening. Kemudian ada beberapa syarat administratif lain juga yang harus dipenuhi, selengkapnya bisa disimak dalam aturan yang telah dirilis BEI.

Papan Akselerasi IPO Startup

IPO untuk Pendanaan Awal

Bisa dibilang praktik ini memang masih sangat baru di Indonesia. Namun di awal tahun 2020 ini, Papan Akselerasi dibuka dengan pencatatan saham perdana startup marketplace perjalanan Pigijo (PGJO).

Pigijo debut pada tahun 2018. Mereka menawarkan berbagai kebutuhan penunjang rekreasi. Termasuk paket wisata, pemandu, tempat singgah dan transportasi. Mereka juga merupakan startup IDX Incubator, program binaan untuk startup yang memiliki keinginan untuk melantai ke bursa saham.

Aksi korporasi Pigijo berhasil membukukan dana segar senilai Rp12 miliar dan melepas 150 juta lembar saham atau setara 48,98% dari total kepemilikan. Dalam prospektus IPO yang diterbitkan, pada paruh pertama 2019 perusahaan mencatatkan rugi bersih Rp1,75 miliar, dengan pendapatan bersih Rp36,18 juta. Tercatat aset lancar perusahaan per semester pertama 2019 senilai Rp3,1 miliar dan aset tidak lancar Rp6,6 miliar. Artinya masuk ke dalam kategori aset skala kecil.

Dana keuangan Pigijo hingga paruh pertama 2019
Dana keuangan Pigijo hingga paruh pertama 2019 / Pigijo

Tahun 2019 tim DSResearch mencatat ada 40 transaksi pendanaan awal (seed funding) yang diumumkan ke publik. Nilai terkecilnya adalah $145 ribu (atau setara Rp2 miliar) dan nilai tertingginya $7,6 juta (atau setara Rp105 miliar). Dari data tersebut, hanya 3 startup yang mendapatkan perolehan di bawah $1 juta (Rp13,8 miliar Rupiah).

Jika melihat capaian Pigijo, tampaknya nilainya masih setara dengan rentang pendanaan awal yang banyak didapat startup dari investor privat, meliputi pemodal ventura, angel investor atau koporasi.

Dalam aturannya jelas, ketika memilih IPO lewat Papan Akselerasi, minimal 20% dari total saham harus diserahkan. Dalam pendanaan privat, dengan venture capital misalnya, penentuan ekuitas yang diberikan kerap jadi “perdebatan” panjang antara founder dan investor, karena pandangan yang berbeda dalam perhitungan valuasi. Dengan aset digital, traksi dan sumber daya pendukung bisnis yang dimiliki, startup kadang mematok nilai yang cukup tinggi.

Sementara dari sudut investor, baik melalui pembelian saham privat ataupun publik, untuk startup tahap awal tetap tergolong dalam high risk investment. Sehingga titik yang paling menentukan adalah proyeksi bisnis yang terukur dan dapat dijustifikasi di tahun-tahun mendatang yang direncanakan founder.

Ketika memilih IPO, startup juga harus siap dengan informasi keterbukaan. Berbagai aksi strategis dan neraca keuangan secara periodik dipublikasikan kepada publik. Investor dari kalangan yang lebih umum juga memungkinkan kendali perusahaan tetap sepenuhnya di tangan pendiri. Berbeda dengan pendanaan dari private equity yang kerap menyertakan bagian dari investor di jajaran manajemen perusahaan.

Masih dalam dokumen aturan yang sama, di sana turut mamaparkan mekanisme perpindahan papan. Sangat dimungkinkan pencatatan yang telah dilakukan melalui Papan Akselerasi dipindahkan ke Papan Pengembangan atau Papan Utama.

Hal tersebut bisa terjadi saat emiten sudah tidak lagi memenuhi kriteria aset skala kecil atau menengah sebagaimana diatur dalam POJK. Juga ketika perusahaan berhasil menjalankan bisnis utama yang sama sesingkatnya 36 minggu dan mampu membukukan pendapatan usaha dan laba. Prosesnya dapat dilakukan oleh BEI setiap bulan Mei.

Dalam model privat, biasanya startup akan melakukan penggalangan dana di putaran baru, misalnya dari pendanaan awal ke seri A, B, C dan seterusnya. Hal itu didasarkan pada kebutuhan modal tambahan demi mendukung pertumbuhan bisnis. Dalam skema digital, profit bukan satu-satunya ukuran yang digunakan, melainkan juga memperhitungkan traksi pengguna hingga sebaran ekspansi.

Jika di ranah publik sentimen akan menentukan naik turunnya kapitalisasi pasar, di ranah privat penentuan fluktuasi nilai saham lebih kritis pada faktor pertumbuhan bisnis. Valuasi akan meningkat kala startup mampu mencapai tonggak capaian tertentu, sehingga nilai tawarnya lebih tinggi dalam putaran pendenaan selanjutnya.

Apakah IPO lebih baik?

Papan Akselerasi baru dibuka sejak pertengahan tahun lalu, sehingga memang belum banyak startup yang terlibat di dalamnya. IDX Incubator sendiri cukup optimis tiap tahun akan selalu ada pemain baru yang IPO. Efektivitasnya, yang diukur dari laju perkembangan bisnis, masih membutuhkan waktu pembuktian.

Yang perlu dicatat, secara mekanisme saat ini sudah dipermudah. Untuk capaian dana pun bisa dibandingkan setara dengan penggalangan melalui ekuitas privat.

Faktor seperti kesiapan untuk melakukan keterbukaan publik yang perlu jadi perhatian founder. Apa yang dilakukan startup, misalnya meluncurkan inovasi baru, akan selalu tercatat pada pembukuan mendatang. Perhitungan intuitif yang lebih jeli dibutuhkan dan mungkin harus berpikir dua kali saat harus “membakar uang”.

Digitaraya Siap Jadi Investor Strategis Passpod Saat IPO

PT Yeloo Integra Datanet (Passpod) mengumumkan rencana untuk melantai di Bursa Efek Indonesia pada akhir tahun ini. Salah satu yang mengungkapkan komitmennya untuk mendukung IPO ini adalah Digitaraya. Digitaraya, perusahaan akselerator bentukan Kibar dan Google Developers Launchpad,  bakal menjadi pembeli siaga saham Passpod.

Passpod merupakan startup yang bergerak di penyewaan modem portabel yang ditujukan untuk para wisatawan, khususnya wisatawan lokal yang bepergian ke luar negeri. Perusahaan merupakan startup binaan IDX Incubator batch awal yang mengklaim telah memiliki 58.500 pelanggan per Juni 2018. Passpod disebut telah memberikan akses modem 4G ke 68 negara tujuan (outbound).

“Minat yang tinggi dari para investor strategi ini merupakan bentuk validasi eksternal atas model bisnis Passpod. Kami memposisikan diri sebagai travel assistance selama wisatawan berada di luar negeri, dimulai dari penyediaan koneksi internet, penjualan tiket event, atraksi dan lainnya lewat aplikasi. Hal tersebut kami nilai menjadi salah satu faktor para investor strategis ketika menentukan alokasi investasinya kepada Passpod,” terang CEO Passpod Hiro Whardana.

Sementara Chief Executive Kibar Yansen Kamto menjelaskan, pertimbangan berinvestasi pada Passpod didasarkan pada model binis dan market size yang potensial. Tren berwisata ke luar negeri dari tahun ke tahun semakin bertumbuh.

Meskipun ada saham yang dialokasikan ke investor tertentu, Hiro menegaskan bahwa porsi untuk investor ritel telah dialokasikan secara proporsional. “Tidak perlu khawatir bagi investor ritel karena kami tetap membuka kesempatan untuk bisa membeli saham Passpod,” jelas Hiro.

Passpod sendiri dalam IPO ini  menargetkan perolehan dana Rp40 miliar. Nantinya dana yang didapat 70% akan digunakan untuk riset dan pengembangan. Salah satu yang direncanakan adalah melakukan pengembangan teknologi untuk bisa memudahkan konektivitas pengguna di lebih banyak negara tujuan wisata. Sedangkan 30% lainnya akan digunakan perseroan untuk modal kerja.

Passpod saat ini masih mengandalkan impor perangkat modem, namun Passpod telah mendapatkan sertifikasi dan standar yang telah ditetapkan pemerintah untuk memproduksi perangkatnya sendiri.

“Melalui proses yang lumayan panjang, pada Mei 2018 kami mendapatkan dan menjadi satu-satunya perusahaan yang mendapatkan sertifikasi TKDN dan Postel A/B,” terang Hiro.

Application Information Will Show Up Here

Papan Akselerasi BEI untuk Startup dan UKM Diterbitkan Desember 2018

Salah satu opsi agar lebih banyak lagi startup dan UKM bisa melantai di bursa saham adalah dengan menerbitkan aturan papan akselerasi. Bursa Efek Indonesia (BEI), atau Indonesia Stock Exchange (IDX), tengah merumuskan sebuah aturan baru, bagi pelaku startup dan UKM di Indonesia yaitu papan akselerasi. Tujuan akhirnya agar lebih banyak lagi penggalangan dana dimanfaatkan melalui pasar modal.

Saat ini BEI sudah memasuki tahap final dan akan melakukan diskusi akhir dengan OJK selaku regulator. Targetnya jika sudah rampung semua, aturan papan akselerasi akan dirilis pada akhir tahun 2018.

“Setelah kita membuat draft dan melemparkannya kepada pihak terkait, proses selanjutnya adalah pembicaraan lebih lanjut dengan OJK, sebelum aturan kita terbitkan,” kata Senior Manager State Owned & Regional-Owned Enterprise Privatization, Startup, SME & Foreign Listing IDX Listyorini Dian Pratiwi kepada DailySocial.

Saat ini tercatat baru tiga startup, yang didominasi kalangan fintech, yang sudah melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia. Mereka adalah Kioson, MCash dan NFC Indonesia. Meskipun sudah banyak startup di Indonesia yang memiliki potensi untuk melakukan IPO, namun masih ketatnya peraturan dari BEI dan OJK, menyulitkan mereka untuk melakukan IPO di bursa efek.

“Dengan melakukan IPO, semua masyarakat Indonesia pun bisa ikut memberikan modal kepada startup dan UKM Indonesia, pada akhirnya bukan hanya layanan fintech saja yang melakukan IPO, tapi startup kategori lainnya.”

Bertambahnya investor lokal

Kegiatan penggalangan dana yang saat ini masih banyak dilakukan oleh startup, banyak menarik perhatian investor asing. Disinggung apakah nantinya investor asing akan mendominasi permodalan kepada startup di Indonesia, Listyorini menegaskan, saat ini BEI mencatat, jumlah investor lokal lebih banyak dibandingkan dengan investor asing.

“Kita mencatat hampir 60% investasi datang dari investor lokal, adanya pemberitaan yang menyebutkan investor asing lebih banyak jumlahnya dibandingkan investor lokal tidak benar,” kata Listyorini.

Listyorini melanjutkan, melalui papan akselerasi diharapkan bisa mendorong lebih banyak lagi startup dan UKM untuk melantai di bursa. Bukan hanya perusahaan yang berbasis digital, namun juga UKM yang masih konvensional juga bisa bergabung di pasar modal.