BEKRAF Buka Kesempatan Sponsori Startup Mengikuti Startup Istanbul 2016

Hari ini Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) secara resmi membuka pendaftaran bagi para startup yang ingin mengikuti program Startup Istanbul 2016 di Istanbul, Turki, dengan disponsori oleh BEKRAF. Sebagai badan perwakilan pemerintah yang ingin terus menunjukkan komitmennya mendukung industri startup di Indonesia, BEKRAF akan mendukung 10 (sepuluh) founders anak bangsa untuk dikirim ke acara Startup Istanbul untuk berkompetisi di ajang kompetisi dan konferensi startup terbesar di Eurasia.

Startup Istanbul, yang akan diselenggarakan 6-10 Oktober 2016 mendatang, adalah acara startup terdepan yang menyatukan founder, investor dan eksekutif di regional Eurasia. Startup Istanbul merupakan perkumpulan dari pemimpin-pemimpin startup dan perusahaan internet, angel investors dan pemodal ventura (VC) dari Asia dan Eropa. Istanbul adalah tempat yang sempurna untuk konferensi teknologi bagi perusahaan, pemodal, dan startup terdepan di industri digital dengan ambisi global. Inti dari acara ini adalah networking. Waktu disediakan untuk menjalin relasi dengan founder, eksekutif, pengusaha dan investor terbaik regional. Acara tahun ini akan menghadirkan lebih dari 500 startups dan lebih dari 4000 peserta.

Beberapa kriteria untuk startup founders yang boleh mengikuti program ini antara lain:

  • Sudah pernah mengikuti program inkubasi bisnis/teknologi sebelumnya
  • Produk sudah launch/live lebih dari 2 bulan
  • Sudah menunjukkan early traction untuk startup (traffic, membership atau revenue)

Untuk para founders yang ingin mengikuti program ini, silahkan melakukan registrasi di link berikut paling lambat tanggal 29 Juli 2016.

Daftar Top 20 finalis akan diumumkan tanggal 1 Agustus, dan para peserta Top 20 akan diundang untuk melakukan pitching pada tanggal 3 dan 4 Agustus di hadapan tim BEKRAF yang nantikan akan memilih Top 10. Pengumuman finalis Top 10 yang akan disponsori oleh BEKRAF akan dilakukan tanggal 5 Agustus 2016. Top 10 startup founders inilah yang nantinya akan diberangkatkan oleh BEKRAF ke Startup Istanbul untuk melakukan pitching dan mewakili Indonesia di ajang kompetisi startup bergengsi di Asia dan Eropa.

Untuk melakukan pendaftaran, langsung lakukan registrasi di link berikut atau melalui form di bawah ini:

Bekraf Hadirkan Program BekUp untuk Membantu Pelaku Usaha Pemula

Bertempat di Digital Innovation Lounge (DILO), Menara Multimedia, Jakarta, hari ini (3/6) Badan Ekonomi Kreatif Indonesia mengumumkan kehadiran program Bekraf for pre-Startup (BekUp) untuk menaikan tingkat keberhasilan startup di Indonesia. Program BekUp sendiri hadir atas kerja sama Bekraf dengan Telkom dan Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI).

BekUp pada dasarnya adalah sebuah program bimbingan untuk menyiapkan masyarakat, baik itu individu atau kelompok, sebelum terjun merintis usaha (pre-startup). Segmen yang dibidik adalah subsektor aplikasi, game, animasi, desain, dan mode. Tapi, tak menutup kemungkinan juga untuk sektor lainnya digarap.

Tujuan Bekraf menghadirkan program BekUp ini yaitu untuk menaikan tingkat keberhasilan startup, khususnya di Indonesia. Seperti yang sudah diketahui, dunia startup bukanlah dunia yang mudah untuk diarungi karena hingga saat ini sebagian besar (90%) dari startup yang dibangun bisa dipastikan gagal. Para pendiri perlu mentalitas seperti kecoak bila ingin masuk ke dunia startup yang keras ini.

Kepala Bekraf Triawan Munaf mengatakan, “Inisiatif program BekUp ini sebenarnya sudah ada sejak kunjungan kami dan Presiden ke Sillicon Valley. […] Tapi, untuk mempersiapkannya kan butuh waktu. […] Saya berharap program ini bisa menjadi jawaban persoalan [masalah banyaknya kegagalan] yang dialami oleh startup.”

Bekraf juga tidak sendirian dalam menghadirkan program BekUp ini. Ada kerja sama yang terjalin dengan Telkom dan MIKTI, baik itu untuk menyediakan fasilitas dalam menggelar workshop atau penghubung dengan komunitas.

Tahapan pelaksanaan program BekUp dari Bekraf / DailySocial
Tahapan pelaksanaan program BekUp dari Bekraf / DailySocial

Dalam prosesnya, program BekUp ini akan dilakukan melalui pembekalan pengetahuan, keterampilan teknis, dan manajemen dalam membangun bisnis. Tahapannya sendiri terbagi menjadi tiga, yakni pengembangan talenta, penyiapan pendiri, dan pra-inkubasi.

Di tahap awal ini Bekraf juga menggelar Training of Mentor bagi para calon mentor program BekUp dari 14 daerah di Indonesia. Mereka, mentor, akan dipersiapkan untuk dapat membina dan membimbing para peserta yang mengikuti program pre-startup ini di daerahnya.

Bersamaan dengan diluncurkan program BekUp, Telkom, MIKTI, dan Bekraf juga menggelar workshop Manajemen Bisnis Dasar. Materinya adalah untuk meningkatkan kemampuan manajemen pengelolaan perusahaan yang berkesinambungan.

Target yang ingin dicapai program BekUp dalam satu tahun / DailySocial
Target yang ingin dicapai program BekUp dalam satu tahun / DailySocial

Workshop ini digelar secara serentak di 10 DILO yang terletak di Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Denpasar, Medan, dan Makassar. Rencananya, workshop akan digelar selama bulan Juni 2016 dengan total delapan kali pertemuan.

Tehapan berikutnya yang akan dijalankan adalah penyiapan pendiri (founder) yang dilanjutkan dengan pre-inkubasi hingga akhir tahun 2016. Target program BekUp untuk satu tahun ini adalah bisa mencetak 100 tim yang terdiri dari 1200 talenta yang siap menjadi startup.

APMF 2016 Kuatkan Visi Bekraf Perkuat Ekosistem Startup dan Inovasi Dalam Negeri

Asia Pacific Media Forum (APMF) 2016 yang diadakan pekan lalu diikuti oleh lebih dari 1.000 pelaku industri media, pemasaran dan komunikasi dari perusahaan telah usai membahas berbagai strategi serta kisah sukses di tengah kondisi dunia yang seolah dijungkirbalikkan oleh teknologi. Sebagai bagian dari acara, yakni dalam sesi BIG BREAK, APMF tahun ini memilih lima startup Indonesia Avenu, Goers, HappyFresh, Kokiku, dan Telunjuk.

BIG BREAK adalah bagian dari rangkaian acara APMF yang menjadi wadah bagi startup terpilih dari industri terkait di Asia Pasifik untuk mengusung produk dan jasa mereka. Penilaian startup dalam BIG BREAK didasarkan pada pemaparan ide serta kemampuan para startup berkolaborasi dengan pihak brand, di depan para talenta terbaik dan pembuat keputusan dari industri media, pemasaran dan komunikasi.

“Kami bangga APMF BIG BREAK dapat melanjutkan kolaborasinya dengan BEKRAF untuk terus berkontribusi pada industri, dengan cara memberikan sebuah panggung bagi para pelopor channel komunikasi baru. Melalui APMF BIG BREAK, mereka dapat menunjukkan pada para peserta mengapa produk atau jasa mereka harus menjadi salah satu ‘persenjataan’ wajib para pemasar, serta mendapatkan umpan balik langsung dari para pakar yang menghadiri APMF,” ujar Edi Taslim selaku kepala tim penyeleksi.

Pada pidato penutupan APMF 2016, Kepala BEKRAF Triawan Munaf, mewakili badan yang berfokus pada perkembangan industri kreatif Indonesia turut menyampaikan:

“BEKRAF merancang lima inisiasi untuk mendukung perkembangan industri kreatif Indonesia, yaitu dengan cara (1) mempertegas posisi Indonesia di sektor ekonomi kreatif dunia, (2) menerobos hambatan yang manghalangi masuknya investasi ke industri kreatif Indonesia, (3) menghilangkan jarak antara perubahan perilaku konsumen dengan tren industri saat ini, (4) memperkuat perlindungan terhadap Hak-Hak Kekayaan Intelektual, serta (5) memberikan kemudahan akses informasi yang lengkap dan menyeluruh terkait Hak-Hak Kekayaan Intelektual.”

Diselenggarakan untuk yang ketujuh kalinya sejak 2005, APMF tahun ini juga menghadirkan sejumlah inovasi baru dari segi format acara dan wujud kontribusi bagi industri, salah satunya yaitu “APMFtech”, yang mencakup pameran dan beberapa Advance Class seputar teknologi serta solusi pemasaran terbaru yang dapat menjawab tantangan seputar pencapaian performa dan ROI (Return of Investment) yang lebih baik lewat berbagai inisiatif komunikasi maupun pemasaran digital.

Terobosan baru yang dihadirkan di APMF 2016 kali adalah diluncurkannya buku “APMF Perpetual Vision”. Buku tersebut merangkum berbagai pembelajaran yang disampaikan oleh para pembicara APMF dari penyelenggaraan pertamanya di tahun 2005 hingga sekarang, serta pandangan dan analisis para pelaku industri dan pakar terkait terhadap materi-materi tersebut. Buku ini juga menjadi jawaban atas terbatasnya ketersediaan buku yang dikemas dari kacamata pelaku industri kreatif Indonesia dan dapat menjadi referensi bagi para pengajar maupun pelajar di industri tersebut.


Disclosure: DailySocial merupakan media partner APMF 2016

TELMI: Langkah Awal Yang Baik Untuk Industri Musik, Tapi…

Minggu lalu, di IESE, Badan Ekonomi Kreatif meluncurkan platform Telinga Musik Indonesia, disingkat TELMI. Dari yang bisa saya baca dari liputan yang ada di media, pada dasarnya platform TELMI ini terdiri dari dua komponen:

  1. hardware, berupa sebuah kotak internet-enabled yang kelihatannya dibuat dari platform Arduino atau Raspberry Pi, yang bertugas merekam lagu yang sedang dimainkan di sekitarnya dan mengirimkan ke aplikasi TELMI
  2. software aplikasi TELMI, berupa web-based application yang bertugas untuk menerima rekaman lagi dari hardware TELMI, mengenali lagunya apa, dan merekam ke dalam database.

Secara hukum (menurut UU Hak Cipta No. 28 tahun 2014), pencipta lagu, produser dan artis berhak mendapatkan sebuah royalti saat lagu mereka diperdengarkan ke umum di ruang komersil seperti hotel, restoran dan kafe. Selama ini, implementasi pengumpulan royalti ini. baik berdasarkan UU no. 28 tahun 2014 ataupun UU Hak Cipta sebelumnya, masih kurang efektif, karena beberapa hal:

  • sosialisasi atas hak royalti ini ke pihak hotel, restoran dan sebagainya masih kurang luas
  • dalam pengelolaan pengumpulan royalti sebelumnya, metode-metode yang digunakan masih kurang tepat (dari cara pengumpulan royalti yang, um, agak preman, sampai formula perhitungan royalti yang tidak transparan)
  • distribusi royalti yang tidak transparan

Semangat dari UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 adalah perbaikan pengumpulan royalti ini, yang sering diistilahkan public performance, dengan dibentuknya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional, dengan para komisionernya.

Salah satu tugas LMKN ini adalah menentukan tarif besaran royalti, yang setahu saya sampai saat ini belum diputuskan secara final. Namun, perangkat hukum dan birokrasi ini memang perlu ada dahulu sebagai fondasinya.

TELMI ini sebenarnya sebuah terobosan, karena akhirnya ada jawaban dari industri teknologi terhadap kebutuhan dari industri musik. Kebanyakan perusahaan teknologi yang ada lebih mencari peruntungan dengan menawarkan sesuatu langsung ke konsumen, yang pada akhirnya berkisar pada layanan musik download maupun streaming, dan perusahaan teknologi yang melakukan sesuatu yang lain masih sangat sedikit; mungkin karena ketidaktahuan komunitas teknologi mengenai masalah dan kesempatan dalam industri musik (bukan salah mereka, karena industri musik sendiri terkadang lupa akan berbagai kesempatan lain dalam industrinya sendiri).

Tapi kok…

Masalah pertama

Saya melihat diagram dari artikel ini (yang entah dari mana dapatnya, mungkin dibuat sendiri) dan seperti ada yang kurang.

bagan alir cara kerja TELMI
bagan alir cara kerja TELMI

Kotak TELMI diletakkan di sumber musik, yang akan merekam lagu, mengirimkannya ke aplikasi TELMI, yang dengan teknologi song fingerprinting seperti yang dimiliki Shazam, akan mengenali lagu tersebut dan memasukkannya dalam laporan. Laporan ini kemudian dapat diakses oleh pencipta lagu, produser, komposer dan musisi. Laporan ya, bukan uang. TELMI tidak mengumpulkan uang dan lebih berupa teknologi pengawasan/monitoring.

Yang melakukan pengumpulan uang dari pengguna musik seperti hotel, restoran dan sebagainya? Para Lembaga Manajemen Kolektif, sesuai persetujuan dari LMKN.

Dari liputan para media pun, Kepala Bekraf Triawan Munaf pun mengatakan bahwa TELMI itu untuk memberikan gambaran royalti yang bisa didapat oleh para musisi. Ya ini hanya satu langkah dari beberapa langkah yang perlu dilakukan, termasuk berkoordinasi dengan LMKN dan para LMK.

Siapa yang akan melakukan koordinasi? Apakah LMK melakukan pengumpulan laporan secara independen? Kalau ada perbedaan laporan gimana?

Masalah kedua

Ini bukan pertama kali pengawasan pemerintah berupa kotak berisi elektronik diletakkan dalam ruang-ruang komersil — pengawasan pajak sudah melakukan ini dengan memasang kotak yang mencatat transaksi pada kasir. Sebuah kotak berisi elektronik, yang tetap membutuhkan listrik, dan tetap membutuhkan sang pemilik usaha untuk menyalakannya dan memastikan kotak tetap nyala.

Bukan tidak mungkin, tapi tetap memerlukan perangkat pengawasan lain berupa hukuman dan insentif. Ini sudah ada atau belum? Dan di bawah wewenang siapa?

Masalah ketiga

TELMI beroperasi dengan mendengarkan lagu yang diputar. Nah, di ruang komersil seperti cafe atau restoran, ada yang menyetel lagu dari CD/MP3/file digital, ada pula dari live music. Apakah penerapan teknologi listening dan song fingerprinting ini akan selalu tepat guna?

perangkat Telmi / Liputan 6 - Dewi Widya Ningrum
perangkat Telmi / Liputan 6 – Dewi Widya Ningrum

Ada beberapa perusahaan di luar negeri yang melakukan sesuatu yang jauh lebih praktis untuk pemilik usaha: pengelolaan playlist lagu dan streaming dengan alat khusus, langsung ke sound system para pemilik usaha. Pencatatan lagu dapat lebih akurat (nggak perlu pakai song fingerprinting, wong lagunya dari server), pemilik usaha juga mendapatkan sebuah layanan yang mempermudah dan memperkuat usaha mereka, bukan cuma “dipalak” karena nyetel lagu. Mungkin gabungan teknologinya TELMI dan layanan streaming khusus bisnis ini bisa lebih cocok?

Masalah keempat

Song fingerprinting sangat tergantung database lagu yang lengkap, dari data fingerprint itu sendiri, sampai informasi seperti judul lagu, nama artis, pencipta lagu, publisher, dan seterusnya. Apakah database seperti ini sudah ada? Belum ada yang komprehensif.

Rasanya ini lebih mendesak untuk dibangun, dan lebih dekat pada kepentingan nasional (bukan saja kepentingan industri, tapi juga sebagai rekam budaya, misalnya). Informasi seperti ini malah lebih fokus dikumpulkan oleh layanan streaming/download, ataupun lembaga seperti Irama Nusantara. Rasanya ini lebih penting pada fondasi tadi, ketimbang memikirkan end user applications.

Masalah kelima

Yang membuat TELMI canggih, menurut saya, adalah song fingerprinting. Tapi menurut saya, ada kegunaan yang lebih cocok, yaitu media monitoring. Pasangkan aplikasi TELMI dengan seluruh siaran radio terestrial maupun online, sehingga kita benar-benar tahu lagu apa sedang disetel di radio mana dan kapan. Top 10 yang resmi dan datanya dapat dipertanggungjawabkan. Data ini berguna untuk pendengar musik, pelaku industri musik, brand maupun perusahaan riset. Teknologi yang sama juga dapat digunakan untuk media monitoring iklan — berapa kali sebuah iklan radio (atau TV) tayang? Jual data ini ke perusahaan riset atau langsung ke brand. Jadi satu startup deh.

Memang, menjadi komentator sesuatu yang sudah jadi memang sangat mudah. Ah kurang ini, harusnya seperti itu, dan setelah itu puas karena sudah merasa lebih pintar ketimbang yang membuat. Di zaman penuh teknologi ini, terkadang masalah dan kekurangan pada sebuah produk teknologi baru jelas terlihat saat sudah dibuat dan dilempar ke pasar.

Ide — dan komentar — itu murah dan mudah didapat. Membuat sesuatu, apalagi punya nilai guna yang baik ke orang lain, itu yang susah. Berkarya tak mudah dan tak akan luput dari kritisi. Saya nggak mau sok lebih pintar, karena belum tentu juga saya bisa mengerjakan ini sendiri. Demi industri musik yang lebih luas, kompeten, berkesinambungan, interconnected, dan transparan.


Disclosure: Artikel ini pertama kali terbit di Medium dan dipublikasi ulang atas izin penulis, Ario Tamat.

Ario adalah co-founder Ohdio, layanan streaming musik Indonesia. Ia bisa dikontak melalui Twitter di @barijoe atau di blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

Industri E-Commerce Berikan Solusi Industri Musik Lewat Perangkat Internet of Things Telmi

Jum’at (29/4) perhelatan akbar Indonesia E-commerce Summit & Expo (IESE) 2016 yang digelar Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) memasuki hari ketiga. Bersamaan dengan itu, Bekraf meresmikan peluncuran perangkat Internet of Things Telmi yang bekerja sama dengan Lembaga Manajemen Kreatif Nasional (LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Pada dasarnya, Telmi dapat menjadi media untuk mengakomodir hak ekonomi berupa royalti bagi musisi Indonesia.

Perangkat IoT Telmi

Kepala Bekraf Triawan Munaf dalam peresmian Telmi

Tak ada yang memungkiri, pertumbuhan industri digital yang pesat telah membuka pintu peluang baru bagi tiap sektor bisnis konvensional dan yang paling disorot adalah e-commerce. Sektor musik pun mendapat kesempatan yang sama, lewat hak royalti. Bila dahulu royalti didapat dari penjualan kaset atau CD, kini hal tersebut coba digali lebih jauh memanfaatkan perangkat IoT bernama Telmi yang diluncurkan oleh Bekraf pada gelaran IESE 2016 di hari ketiga.

Telmi sendiri dikembangkan sekelompok praktisi teknologi yang terdorong untuk memajukan industri musik Indonesia. Di gelaran IESE 2016, Telmi yang dikembangkan secara open source secara resmi diserahkan kepada Bekraf. Selanjutnya, Bekraf sendiri memfasilitasi LMKN dan LMK untuk menyedikan perangkat Telmi dan SDM yang diperlukan.

Dalam hal ini, LMKN juga berwenang menyusun regulasi, menentukan besar dan pembagian royalty, sosialisasi Telmi, hingga penerapan dan pengawasan Telmi. Sedangkan LMK dapat memungut royalty dari yang memutar musik.

“Ini adalah satu usaha untuk tingkatkan kesejahteraan para pencipta lagu. Selama ini para pemilik hak terkait karya musik  tidak terapresiasi dengan benar karena tidak ada alat ukur bila musiknya dimainkan. […] Nama atau brand sistem ini adalaah Telmi. Telinga musik indonesia. Ini adalah sebuah platform IOT,” ujar Kepala Bekraf Triawan Munaf.

Pada dasarnya, Telmi berbentuk sebuah box yang dapat mendeteksi musik yang dimainkan oleh pengguna venue yang memasangnya secara real time tiap 10 detik. Musik tersebut akan tercatat di server dan dari sana royalti bisa diurus lebih jauh. Telmi rencanaya akan dipasang di tempat-tempat umum seperti kafe, mall, dan coffee shop.

Membentuk 1000 technopreneur dan membangun industri e-commerce yang bisa dipercaya

Menteri Pendidikan Anies Baswedan di IESE 2016 / Dailysocial
Menteri Pendidikan Anies Baswedan di IESE 2016

Era digital yang berkembang pesat membuat pemerintah bergerak untuk mengjar ketertinggalan Indonesia dari negara-negara maju. Inisiatif ambisius untuk melahirkan 1000 technopreneur yang mendirikan startup pun lahir. Dan untuk mewujudkan hal tersbut bukan perkara mudah, karena tidak bisa mengandalkan program-program seperti hackathon saja.

CEO Bubu Shinta Danuwardoyo yang hadir sebagai pembicara mengatakan, “Tantangan terbesar adalah mendapatkan orang-orang berbakat khususnya developer. Sulit bagi kita [Indonesia], […] karena sebagian besar orang-orang terampil di inodnesia itu outsource. Pada waktu yang bersamaan, kita perlu dapat dukungan dari berbagai lembaga pemerintah, univesitas, wirausahawan berpengalanan, dalam bidang ini.”

Pada akhirnya, untuk menciptakan 1000 technopreneur yang dibutuhkan adalah aksi yang didukung oleh sistem, infrastruktur, dan ekosistem yang baik. Dari sisi entrepreneur sendiri, butuh passion yang lebih dari cukup untuk berani mengeksekusi mimpinya menjadi nyata.

Managing Partner Kejora Andy Zain mengatakan, “Get involved, karena top 20 orang terkaya di Amerika saat ini, enam darinya dari sektor teknologi. […] Indonesia belum, masih menunggu Anda.”

Tokopedia dengan William Tanuwijaya adalah salah satu dari sekian banyak role model lokal technopreneur yang sukses dan ingin diciptakan lebih banyak lagi oleh Indonesia lewat program 1000 startup. William sendiri yang hadir dalam gelaran IESE 2016 hari ketiga memberikan pesan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat terlibat dalam industri digital, dan sudah waktunya Indonesia menjadi Komodo di negeri sendiri layaknya Alibaba yang diibaratkan sebagai Buaya di sungai Yang Tze oleh Jack Ma.

Bagi William, membangun sebuah platform e-commerce adalah membangun sebuah kepercayaan. Bila kepercayaan yang harus dibangun, faktor-faktor seperti dukungan infrastruktur untuk kemudahan dan kecepatan akses hingga faktor keamaman adalah elemen yang harus dipertimbangkan.

“Security sangat penting dan harus kita sadari sebagai pelaku e-commerce. Kita lakukan praktik terbaik seperti  tiga lapis keamanan, data, infrasturktur dan aplikasi. […] Semua orang harus menyadari keamanan sangat penting, tapi bukan berarti memperlambat pertumbuhan ekonomi,” ujar CEO Matahari Mall Hadi Wenas yang turut hadir sebagai pembicara IESE 2016.

Industri e-commerce yang tengah menggeliat seksi ini pun diminta untuk fokus mengembangkan sektor UKM. Tak ada yang memungkiri, UKM sudah menjadi tulang punggung ekonomi bagi Indonesia. Pendiri Nurbaya Initiative Andi Sjarif percaya bila UKM Indonesia menggunakan teknologi maka mereka bisa menumbuhkan bisnisnya dua kali lipat lebih baik.

Sementara itu, Menteri Pendidikan Anies Baswedan yang turut hadir di IESE 2016 menjelaskan bahwa untuk melahirkan entrepreneur di Indonesia saat ini harus dimulai dari mindset. Ada perubahan yang dibutuhkan Indonesia dari hulu ke hilir terkait pendidikan untuk menumbuhkan karakter yang baik.

Anies mengatakan, “Kami ingin agar kampanye tentang pendidikan tak berhenti di sekolah, tetapi muncul di rumah-rumah kita [warga Indonesia]. Karena pendidik terpenting dan pertama adalah orang tua. Parent is the most imporant educators. […] Kampanye paling masif adalah harus menjangkau orang tua. Bukan ajarkan mereka mendidik, tetapi ber-partner dan ajak mereka belajar. Ga ada rumus parenting, tapi saling belajar di antaranya.”

Di hari terakhir perhelatan terbesar untuk e-commerce yang digelar oleh idEA ini, turut hadir juga CEO GDP Venture Martin Hartono, Head of SMB Facebook SEA Nadia Tan, CEO Go-Jek Nadiem Makarim, Managing Director Intel Indonesia Harry K. Nugraha, Asisten Deputi Peningkatan Daya Saing Koperasi dan UMKM Yulius, dan pembicara-pembicara lain yang telah malang melintang di industri terkait.

Melalui perhelatan IESE 2016 ini diharapkan ada masukan bagi pemerintah dan juga pelaku industri terkait untuk mendorong industri e-commerce ke tingkat selanjutnya. Juga, masukan untuk membuat peta jalan e-commerce Indonesia lebih baik lagi.

IESE 2016 Akan Bahas Tuntas Dinamika E-Commerce di Indonesia

Kurang dari dua minggu lagi Indonesian E-commerce Summit & Expo (IESE) 2016 akan segera digelar. Acara yang akan berlangsung selama tiga hari ini akan menghadirkan berbagai sesi diskusi, workshop dan pameran yang akan berfokus pada bahasan seputar teknis dan bisnis e-commerce. Pemateri dari berbagai kalangan turut dihadirkan, mulai dari kalangan pemerintah, pelaku usaha dan juga investor, baik lokal maupun internasional.

Salah satu topik yang menarik bertema “disrupt or to be disrupted” yang akan dibawakan Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca di sesi dan hari pertama workshop. Membahas bisnis yang mulai “mengganggu” tatanan model konvensional memang selalu menarik, terlebih e-commerce menjadi salah satu model bisnis yang begitu menggoyah.

Head of Performace Marketing MatahariMall Timothius Martin akan hadir menyampaikan seputar strategi untuk beradaptasi dengan konsumen online yang beragam. Bahasan ini juga akan dipertajam di sesi hari kedua oleh tim Verisign yang akan mengangkat strategi pemasaran untuk pangsa pasar dengan segmentasi tertentu. Menarik untuk dihadiri mengingat saat ini persaingan bisnis online sudah makin beringas dan tanpa batas, Butuh kombinasi strategi segar untuk menyiasatinya.

Bahasan lain seperti O2O (Online to Offline), marketplace, mobile commerce, big data hingga platform teknologi penyokong sistem e-commerce akan dibahas tuntas oleh para pembicara berkelas. Pada tiga hari tersebut, akan terdapat tiga sesi di tempat terpisah. Peserta workshop dapat mendaftarkan diri untuk mengikuti sesi sesuai materi yang relevan dengan kebutuhan.

Selain sesi workshop juga akan diisi dengan diskusi (summit) dan pameran. Sesi diskusi menghadirkan para regulator dan pemain penting di bidang e-commerce. Chairman idEA Daniel Tuwima, Menkominfo Rudiantara, Mendag Thomas Lembong, Ketua Bekraf Triawan Munaf dan para pakar termasuk dari Dirjen Pajak akan menyampaikan insight seputar dinamika e-commerce di Indonesia.

Sesi pameran juga tak kalah menarik. Beberapa startup dan perusahaan e-commerce siap unjuk gigi di dalamnya. Mulai dari Veritrans, Espay, CBNCloud, Kudo, VADS dan beberapa perusahaan lain akan turut meramaikan pagelaran pemeran bisnis ini. Diharapkan mampu memberikan inspirasi bagi para pengunjung seputar kesiapan bisnis dan sub-bisnis e-commerce yang berkembang di Indonesia.

IESE 2016 akan dihelat di Indonesia Convention Exhibition (Jl. BSD Grand Boulevard Raya No. 1 BSD City Tangerang) pada tanggal 27-29 April 2016. Pembelian tiket saat ini masih dibuka dengan penawaran paket sesuai jadwal workshop yang dapat diikuti. Tiket dapat dibeli melalui halaman resmi IESE 2016 dan beberapa promo juga dapat dinikmati untuk mendapatkan penawaran yang lebih kompetitif.


Disclosure: DailySocial adalah media partner IESE 2016

Pajak Cuma-cuma Tunjukkan Pemerintah Terlalu Gegabah Hadapi Ekonomi Digital

Baru-baru ini pemerintah dikabarkan sedang mewacanakan mengenai kebijakan pajak cuma-cuma terhadap model bisnis e-commerce, di antaranya model classified ads, marketplace, daily deals dan online retail. Pajak cuma-cuma ini konsepnya pemerintah akan mengenakan pajak (dalam bentuk PPN) kepada model bisnis yang disebutkan tadi.

Jika regulasi ini benar-benar diterapkan, artinya ketika ada orang yang akan mengiklankan produknya di layanan iklan baris digital atau online marketplace, seperti OLX atau Tokopedia misalnya, maka akan dikenakan pajak. Padahal selama ini proses tersebut gratis.

Sontak hal ini mendapatkan pertentangan keras dari hampir semua pemain di industri digital. Salah satunya diutarakan Daniel Tumiwa selaku Ketua Umum Asosiasi eCommerce Indonesia (idEA) sekaligus CEO OLX Indonesia. Daniel mengutarakan bahwa pajak cuma-cuma tak cocok diterapkan di bisnis online.

Semangat kemunculan internet adalah memberikan efisiensi, salah satunya memberikan layanan gratis untuk berbagai hal, termasuk mengiklan. Berbeda dengan bisnis konvensional, semuanya dilakukan dalam step yang panjang, sehingga memerlukan transaksi di sana-sini, yang bisa saja dikenakan pajak.

Hal serupa disampaikan CEO Bhinneka Hendrik Tio. Menurutnya pajak cuma-cuma ini ujung-ujungnya akan membuat para pemain e-commerce bingung. Dalam pernyataannya ia tegas mengungkapkan, bahwa para pemain e-commerce siap untuk membayar pajak, dengan dasar hukum yang jelas dan alokasi yang tepat.

Terkait pajak cuma-cuma sendiri Hendrik menyampaikan bahwa itu sama saja tidak adil. Menurutnya proses bisnis iklan digital atau marketplace ini dari ujung ke ujung sudah gratis, artinya dari konsumen ke konsumen dalam mengiklan tidak ada yang ditarik biaya, maka tidak ada pajak yang seharusnya dibayarkan.

CEO Bukalapak Achmad Zaky turut menanggapi seputar wacana pajak cuma-cuma ini. Menurutnya jika pemerintah menerapkan peraturan tersebut, maka para pelapak (sebutan bagi pengiklan di portal marketplace Bukalapak) menjadi kurang kompetitif. Mereka bisa saja kembali ke model underground, misalnya kembali melalui Facebook atau BBM. Model seperti itu akan kembali membawa pasar pada proses jual beli yang kurang terstruktur, karena tidak ada perantara yang memastikan transaksi aman dan nyaman.

Masyarakat sudah teredukasi sejak hype internet muncul bahwa ia menawarkan berbagai layanan gratis. Hal tersebut yang ditekankan oleh Co-Founder dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya. William mengungkapkan:

“Harapan kami jika ada pajak baru, aturan tersebut tidak sampai membunuh model bisnis tertentu yang sangat dinamis di industri internet dan memberikan ruang inovasi bagi pemain lokal agar mampu bersaing di era internet yang borderless dan global. Harapan ke depannya, Indonesia tidak hanya menjadi negara pasar, namun mampu mengambil peran dalam potensi ekonomi digital yang ditargetkan pemerintah tercapai pada 2020.”

Sebagai perantara antara pemain industri digital dan kreatif dengan pemerintah, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pun turut menyayangkan wacana pemerintah ini. Ketua Bekraf Triawan Munaf menyampaikan bahwa sejatinya pemerintah perlu melakukan diskusi lebih intensif dengan para pemain industri. Menurutnya kebijakan yang kurang pas bisa mematikan para pemula. Tugas pemerintah adalah mendukung bertumbuhnya perusahaan rintisan, bukan mengganggunya.

“Jangan sampai ekonomi kreatif yang masih bertumbuh dihambat oleh peraturan yang sebenarnya masih bisa diubah, peraturan harus dapat disesuaikan dengan perubahan zaman,” ujar Triawan.

Pemikiran konvensional tak cocok regulasikan dinamika digital

Startup men-disrupt model bisnis konvensional dan menghasilkan pemasukan besar dengan inovasi. Pemerintah men-disrupt tatanan bisnis yang sedang bertumbuh dengan regulasi yang kurang tepat sasaran.

Ungkapan itu mungkin cocok jika pajak cuma-cuma memang benar-benar diterapkan. Pola pikir yang lebih segar penting untuk menjadi bagian dalam perumusan kebijakan. Terlebih untuk mewadahi sebuah proses bisnis yang dinamis.

Regulator harus paham betul mengenai dinamika pasar yang ada. Tak bisa begitu saja menyamaratakan antara model bisnis konvensional dan digital. Internet banyak menghadirkan cara-cara baru yang memicu masyarakat untuk bisa lebih mandiri.

Kembali ke pajak cuma-cuma. Harus dilihat lebih dekat sebenarnya siapa yang menjalankan model bisnis gratis yang akan dipajaki tersebut. Ya, para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). UMKM terangkat produknya berkat kemajuan internet. Mereka dengan mudah memasarkan produk mereka tanpa harus memikirkan jangkauan pasar, platform dan juga proses transaksi yang berbelit.

Masyarakat sudah dihadapkan dengan persaingan global yang tanpa batas. Jika inovasi dalam negeri banyak dihambat dengan aturan yang mempersulit, bagaimana UMKM kita, perusahaan rintisan kita, wirausahawan kita bisa tenang bersaing dan berkuasa di pasar dunia?

Bekraf Alokasikan 1 Triliun Rupiah untuk Kredit Usaha Rakyat Pelaku Industri Kreatif

Upaya Badan Ekonomi kreatif (Bekraf) dalam memajukan industri ekonomi kreatif terus berlanjut. Sejak pertama kali dibentuk, Bekraf santer diberitakan mengambil langkah-langkah strategis untuk melindungi dan memajukan industri kreatif. Yang paling baru, selain menggandeng Bukalapak untuk optimalkan potensi UKM kreatif, Bekraf juga dikabarkan siap membantu industri kreatif Indonesia dengan mengalokasikan dana sebesar Rp.1 triliun melalui program KUR (Kredit Usaha Rakyat).

Dana KUR bagi pelaku industri kreatif ini berasal dari bank penyalur seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Mandiri. Dengan adanya skema KUR ini diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi pengusaha yang membutuhkan bantuan keuangan. Pemerintah sendiri telah meluncurkan beberapa inisiatif untuk mendorong penyerapan KUR ini, di antaranya adalah pemotongan suku bunga untuk pembiayaan mikro dan mendorong penyerapan KUR.

“Selain skema KUR, kami akan juga membantu startup yang potensial untuk memperoleh pendanaan melalui skema modal ventura. Kami akan melakukan yang terbaik untuk memudahkan startup lokal dalam mendapatkan pendanaan,” ungkap Deputi Akses Pemodalan Fadjar Hutomo.

Selain itu dalam upayanya menjaga ekosistem industri kreatif tetap tumbuh Bekraf juga telah memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah, rekomendasi tersebut meliputi pemberian insentif pajak penghasilan dan tax holiday untuk startup e-commerce. Rekomendasi tersebut kabarnya telah dimasukkan ke dalam draft Keputusan Presiden dan diserahkan ke Presiden Joko Widodo.

Selain dari sisi kebijakan, Bekraf juga mengupayakan industri kreatif untuk berkembang dengan memberikan bimbingan terkait dengan pemasaran online, talent mentorship, pengembangan produk dan membantu dalam melindungi hak kekayaan intelektual.

Application Information Will Show Up Here

Kerja Sama Bekraf dan Bukalapak Maksimalkan Potensi UKM Kreatif Nasional

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Bukalapak meresmikan kerja sama dalam komitmen memajukan pelaku ekonomi kreatif agar dapat bersaing di Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) melalui pendekatan digital. Secara seremonial, nota kesepahaman ditandatangani Kepala Bekraf Triawan Munaf dan CEO Bukalapak Achmad Zaky dalam rangkaian acara bertajuk “Kampanye Pahlawan Pelapak” di kantor Bukalapak.

Melalui kerja sama ini, Bukalapak dan Bekraf berkomitmen untuk melakukan pendampingan pemasaran online, fasilitasi hak cipta, dukungan finansial, pengembangan talenta serta pembinaan pengembangan produk kreatif bagi para pelaku ekonomi kreatif di seluruh Indonesia.

Dalam sambutannya, Triawan menyampaikan pandangan seputar kerja sama ini:

“Bekraf menyambut baik kerja sama yang akan kami lakukan dengan Bukalapak. Bukalapak memiliki misi untuk bersama-sama memajukan para pelaku ekonomi kreatif di Indonesia. Selain itu, dari 16 sub-sektor industri kreatif yang menjadi tugas pokok kami, tujuh di antaranya seperti fashion, kuliner, kerajinan, musik, desain komunikasi visual, aplikasi dan pengembangan game, hingga seni rupa dapat kita kembangkan melalui kerja sama dengan Bukalapak, Lebih lanjut kita juga dapat memfasilitasi para pelaku ekonomi kreatif ini agar dapat terus terkoneksi, terhubung dan bersaing di MEA melalui aplikasi Bukalapak.”

Para pelaku usaha di sektor kreatif disebut-sebut menjadi bagian penting dari jantung penggerak perekonomian Indonesia. Mereka memberikan kontribusi serta andil bagi badan usaha dan penyerapan tenaga kerja nasional. Melalui platform online marketplace Bukalapak, akan disinergikan sebuah program untuk mendorong para pelaku usaha mikro (UKM) guna memperluas pangsa pasar.

Para pelaku ekonomi kreatif dari Sabang sampai Merauke memiliki potensi yang sangat besar. Untuk membantu kelangsungan usaha dan persaingan di MEA, para pelaku usaha harus tetap terhubung dan terdukung.

Dalam sambutannya Zaky menyampaikan:

“Kami percaya bahwa ekonomi kreatif, termasuk di dalamnya para Pelapak di Bukalapak, adalah penggerak dalam industri perdagangan tanah air. Dengan usaha pemerintah untuk memberikan dukungan bagi para pelaku ekonomi kreatif, kami ingin turut berkontribusi untuk membantu pemasaran melalui pemanfaatan platform digital. Melalui kerja sama kami dengan Bekraf, kami berkomitmen untuk mengajak dan membantu 100.000 pelaku ekonomi kreatif untuk go online.”

Triawan menambahkan bahwa platform e-commerce secara luas adalah keniscayaan untuk meningkatkan pasar produk ekonomi kreatif Indonesia, baik untuk pasar nasional maupun internasional.

Bagaimana Bekraf Dorong Startup Melindungi Hak Kekayaan Intelektualnya

Salah satu kampanye yang dilakukan Bekraf untuk startup adalah soal pentingnya melindungi hak kekayaan intelektualnya (HKI). HKI ini bisa berupa merk dagang, hak cipta, paten, desain industri, rahasia dagang, atau bahkan desain IC (integrated circuit). Kami berbincang singkat dengan Deputi bidang Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi Bekraf Ari Juliano Gema tentang usaha-usaha Bekraf mendorong startup untuk melek soal HKI.