Alpha JWC Ventures Announces Third Fund of 6.1 Trillion Rupiah

Alpha JWC Ventures today (09/11) announced its third managed fund (Fund III) worth $433 million or equivalent to 6.1 trillion rupiah; bringing its Assets Under Management (AUM) to $630 million. In the press conference, Jefrey Joe as Co-Founder & General Partner said that this number has exceeded the initial target of $300 million. Several regional and global LPs are involved, including the International Finance Corporation (part of the World Bank Group) and Morgan Stanley Alternative Investment Partners.

In general note, Alpha JWC Ventures was founded in 2015 by Jefrey, Will Ongkowidjaja, and Chandra Tjan; focuses on providing early-stage funding for startups in Indonesia and Southeast Asia.

Fund journey

Their journey began with the first Fund I amounting to USD 50 million in 2016. It has been distributed to 23 startup companies in Southeast Asia, the majority have operational in Indonesia. More than 90 percent of the companies have now received follow-up funding.

Meanwhile, Alpha JWC Ventures’ Fund II closed in 2019 oversubscribed with a nominal value of $143 million; and has invested in 30 companies. To date, Fund I has generated 37% IRR (Internal Rate of Return) and Fund II has generated 87% IRR.

They have also produced 9 exits, including the acquisition of DealStreetAsia by Nikkei, the acquisition of Spacemob by WeWork, and the acquisition of Base.vn by Vietnam’s largest technology company FPT Corporation.

Since its launching this year, Alpha JWC Ventures’ Fund III has invested in seven startups in the financial technology, B2B SaaS, and MSME business solutions sectors in Indonesia, Singapore and Vietnam. Some of them are Esensi Solusi Buana, Spenmo, VIDA, GudangAda, and others.

Jeffrey in his presentation also said that the fund’s ticket size has ranged from hundreds of thousands to millions of dollars. The largest can reach $60 million in several phases. He clearly emphasizes that Alpha JWC Ventures’ principle is to be the number-one supporter of a startup (early stage investor).

Furthermore, along with the new managed funds in quantity, the number of startups invested may remain the same. Which means, they will increase the ticket size and focus more on follow-on funding for its portfolio startups.

“Since the debut in 2015, we have had a clear mission of bringing Indonesia and Southeast Asia into the center of the new global digital economy. Our journey and the Alpha JWC Ventures portfolio have proven that Indonesian and Southeast Asian startups can compete globally. We will continue to be at the forefront to create change and will not stop here,” Alpha JWC Ventures’ Co-Founder & General Partner, Chandra Tjan said.

3 unicorns, 11 centaur

Alpha JWC Ventures through its fund has took three portfolio companies to the unicorn status, Kredivo, Carro, and Ajaib. It is also said that they have 11 centaurs, including Kopi Kenangan, Lemonilo, Modalku, GudangAda, and others.

Jeffrey said, one of the centaurs will soon to become a unicorn in the near future.

“As a VC originating, founded and operated by Indonesians, we are working to increase the positive impact of the digital economy in the country through our investments and portfolio companies. Together with them, we have reached nearly 1 million MSMEs through financial and market access, created more than 12 thousand jobs, empowered more than 200 thousand women through various business opportunities, inspired more than 1 million people to become retail investors, and much more,” Alpha JWC Ventures’ Partner, Erika Go said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Alpha JWC Ventures Umumkan Dana Kelolaan Ke-3 Senilai 6,1 Triliun Rupiah

Alpha JWC Ventures hari ini (09/11) mengumumkan telah menutup dana kelolaan ketiga (Fund III) senilai $433 juta atau setara 6,1 triliun rupiah; menjadikan Assets Under Management (AUM) mereka mencapai $630 juta. Dalam kesempatan temu media, Jefrey Joe selaku Co-Founder & General Partner mengatakan bahwa perolehan ini melebihi target awal mereka yakni $300 juta. Beberapa LP regional dan global terlibat, termasuk International Finance Corporation (bagian dari Grup Bank Dunia) dan Morgan Stanley Alternative Investment Partners.

Seperti diketahui, Alpha JWC Ventures didirikan tahun 2015 oleh Jefrey, Will Ongkowidjaja, dan Chandra Tjan; fokus memberikan pendanaan tahap awal untuk startup di Indonesia dan Asia Tenggara.

Perjalanan dana kelolaan

Perjalanan mereka dimulai dengan peluncuran Fund I sebesar USD 50 juta pada 2016. Dana kelolaan tersebut telah disalurkan ke 23 perusahaan rintisan di Asia Tenggara yang mayoritas berada di Indonesia. Lebih dari 90 persen dari perusahaan tersebut kini telah menerima pendanaan lanjutan.

Sementara untuk Fund II Alpha JWC Ventures ditutup pada 2019 secara oversubscribed dengan nominal $143 juta; dan telah diinvestasikan ke 30 perusahaan. Hingga kini, Fund I telah menghasilkan 37% IRR (Internal Rate of Return) dan Fund II menghasilkan 87% IRR.

Mereka juga telah menghasilkan 9 exit, termasuk akuisisi DealStreetAsia oleh Nikkei, akuisisi Spacemob oleh WeWork, dan akuisisi Base.vn oleh perusahaan teknologi terbesar di Vietnam FPT Corporation.

Sejak diluncurkan tahun ini, Fund III dari Alpha JWC Ventures telah diinvestasikan ke tujuh perusahaan rintisan di sektor teknologi finansial, SaaS B2B, dan solusi bisnis UMKM di Indonesia, Singapura, dan Vietnam. Beberapa di antaranya Esensi Solusi Buana, Spenmo, VIDA, GudangAda, dan lainnya.

Jefrey dalam presentasinya juga mengatakan, bahwa sejauh ini ticket size pendanaan mereka berkisar ratusan ribu sampai jutaan dolar. Bahkan yang terbesar bisa mencapai $60 juta dalam bentuk pendanaan bertahap. Yang jelas ia selalu menekankan, bahwa prinsip Alpha JWC Ventures menjadi pendukung pertama sebuah startup (early stage investor).

Selanjutnya turut disampaikan, dengan dana kelolaan baru secara kuantitas mungkin jumlah startup yang akan diinvestasi tetap sama. Yang artinya, mereka akan meningkatkan ticket size dan turut memberikan fokus lebih pada follow-on funding untuk startup yang telah menjadi portofolionya.

“Sejak awal pendirian pada tahun 2015, kami memiliki misi yang jelas yaitu membawa Indonesia dan Asia Tenggara menjadi pusat ekonomi digital dunia yang baru. Perjalanan kami dan portofolio Alpha JWC Ventures selama ini telah membuktikan bahwa startup Indonesia dan Asia Tenggara mampu bersaing di kancah global. Kami akan terus berada di garis depan sebagai pembawa perubahan dan tidak berhenti di sini,” kata Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

3 unicorn, 11 centaur

Melalui pendanaannya, Alpha JWC Ventures telah mengantarkan tiga perusahaan portofolio mencapai status unicorn, yakni Kredivo, Carro, dan Ajaib. Mereka juga mengatakan telah memiliki 11 centaur, beberapa di antaranya Kopi Kenangan, Lemonilo, Modalku, GudangAda, dan lain-lain.

Disampaikan Jefrey, salah satu dari centaur tersebut akan menyusul menjadi unicorn dalam beberapa waktu mendatang.

“Sebagai VC yang berasal dari, didirikan, dan dioperasikan oleh orang Indonesia, kami bekerja untuk meningkatkan dampak positif ekonomi digital di negara ini melalui investasi dan perusahaan portofolio kami. Bersama mereka, kami telah menyentuh kehidupan hampir 1 juta UMKM melalui penyediaan akses pasar dan keuangan, menciptakan lebih dari 12 ribu lapangan pekerjaan, memberdayakan lebih dari 200 ribu wanita melalui berbagai peluang usaha, menginspirasi lebih dari 1 juta orang untuk menjadi investor ritel, dan masih banyak lagi,” ujar Partner Alpha JWC Ventures Erika Go.

Alpha JWC Pimpin Investasi ke Venti, Paparkan Hipotesisnya di Teknologi Otonomos

Startup pengembang teknologi otonomos untuk logistik Venti Technologies memperoleh pendanaan tahap awal sebesar $8 juta atau sekitar 115,9 miliar rupiah. Putaran pendanaan ini dipimpin oleh dua VC terkemuka, yakni LDV Partners dan Alpha JWC Ventures.

Tak hanya itu, pihaknya juga mengumumkan bergabungnya Partner di LDV Partners Lake Dai dan Co-founder &General Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan ke dalam dewan direksi yang kini totalnya berjumlah lima orang.

Founder & CEO Venti Heidi Wyle mengatakan, pendanaan ini akan digunakan untuk mendukung pengembangan sistem kendaraan otonomos logistik berbasis AI. Termasuk juga memperkuat kesepakatan dengan klien pelanggan baru dan lama. Salah satunya dengan Port of Singapore Authority (PSA) Corporation Limited yang saat ini mengelola sebanyak 60 pelabuhan.

“Melalui investasi ini, kami ingin meningkatkan skala operasi dan bisnis secara global, yang mana kami mengincar peluang pertumbuhan di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat,” ujar Wyle dalam keterangan resminya.

Berdiri di 2018, Venti Technologies mengembangkan teknologi otonomos untuk transportasi, pergudangan, hingga hub logistik. Saat ini, produk otonomos Venti telah digunakan di berbagai lintas sektor di Asia, mulai dari kawasan industri, logistik, residensial, kawasan wisata, hingga pasar logistik global.

Chandra Tjan mengatakan, Venti menjadi portofolio investasi pertama pada kendaraan otonomos di Alpha JWC Ventures. Pihaknya berkomitmen untuk terus menemukan founder hebat dalam membangun perusahaan. Maka itu, iya meyakini Venti akan menjadi game changer sekaligus yang pertama di Asia.

Founder, visi, produk, dan rekam jejak Venti sejauh ini sangat baik. Kami bersemangat bekerja sama dengan Venti untuk merevolusi industri kendaraan otonom dan mencapai kesuksesan di skala global,” ujar Chandra.

Hipotesis investasi

Investasi Alpha JWC ke Venti menandai langkah awal untuk masuk ke teknologi otonomos. Partner di Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi mengungkapkan, Venti menjadi satu dari sedikit pemain yang teknologinya digunakan secara komersial di Asia, serta yang pertama di Asia Tenggara.

Alasan lain yang mendorong Alpha JWC untuk berinvestasi adalah rekam jejak gemilang para founder Venti, yaitu Heidi Wyle yang dikenal sebagai pemimpin di industri teknologi dan AI serta Daniela Rus yang merupakan pionir teknologi otonomos dan AI di global.

Lebih lanjut, Eko menilai penggunaan kendaraan otonomos dinilai dapat memberikan nilai tambah bagi industri logistik, seperti menghemat biaya transportasi, meningkatkan penggunaan kendaraan, dan mendorong tingkat keselamatan bagi pengendara. Maka itu, kendaraan otonomos dianggap cocok dipasarkan ke industri yang biaya logistiknya tinggi.

“Apalagi, pasar mobility autonomous untuk industri logistik, supply chain, dan transportasi barang bergerak sangat menjanjikan dengan potensi nilai pasar sebesar $200 miliar di dunia,” paparnya dalam keterangan terpisah kepada DailySocial.

Ambil contoh Singapura yang memiliki regulasi ketat pada penggunaan alat berat. Kondisi ini membuat biaya tenaga kerja di sana sangat tinggi. Penggunaan kendaraan otonomos memungkinkan pelaku industri di Singapura untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja.

Venti bermitra dengan Port of Singapore Authority (PSA) Corporation Limited untuk menyediakan kendaraan pemindah otonomos (prime mover) untuk mengotomatisasi pengangkutan distribusi kontainer.

Eko mengungkap, saat ini Singapura menjadi pasar utama Venti di Asia Tenggara, dan juga Tiongkok. Namun, pihaknya tak menutup mata terhadap peluang dan kemungkinan ekspansi ke Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan biaya logistik tinggi, Indonesia turut diperhitungkan sebagai pasar potensial untuk barang bergerak.

Ekspansi ke Indonesia memungkinkan pelaku di logistik, pergudangan, dan industri terkait yang menggunakan alat berat untuk memperoleh manfaat signifikan dari penggunaan kendaraan otonom. “Kami percaya Indonesia akan menjadi pasar yang besar bagi Venti karena solusi teknologi mereka dapat diterapkan di banyak industri.”

Ukuran pasar mencapai $3,39 miliar

Di Asia Pasifik, ukuran pasar kendaraan otonomos di tahun 2020 diperkirakan telah mencapai $3,39 miliar dan akan bertumbuh (CAGR) 13% dari 2021 sampai 2028 nanti. Dalam laporan riset yang dipublikasi Grand View Research ini juga menyoroti tentang pemanfaatan mesin-mesin otonomos untuk menunjang bisnis logistik dan manufaktur. Dengan efektivitas fungsi pengangkutan yang dimiliki, penggunaan mesin otomatis dinilai dapat mengurangi biaya dan risiko kerusakan produk.

Chandra Tjan: Indonesia’s Digital Ecosystem Is Quite Green, Momentum for Investors and Startups

Alpha JWC Ventures becomes one of the most active venture capital in Indonesia. After pouring investment for 10 startups in the past year, the list goes up to 41 portfolios by the end of 2020. This year, they plan to close the third fund that is said to worth much bigger than the previous one in order to aggressively contribute to Indonesia’s startup landscape.

In order to discover Alpha JWC Ventures’ vision and goals, we had the opportunity to do an exclusive interview with one of their founders, Chandra Tjan. He’s not quite the newbie in this industry as he used to be the Co-Founder & Managing Partner in East Ventures’ first fund in 2009. His investment footprints included the seed funding of Tokopedia, Traveloka, Disdus (acquired by Groupon), Pricearena (acquired by Yello Mobile), and few others.

“In 2009, I’ve been living in Singapore for 10 years and already settled down, also had a career as a banker at Credit Suisse and Citigroup. I saw the huge potential and opportunities in the technology sector in other countries such as America, Japan, and China. I think Indonesia could’ve been that too. Technology and its social impact will advance Indonesia’s ecosystem, and I want to take part in that process,” he said.

He continued, “It turns out at that time, there were already several technology/startup companies in Indonesia, however, they have not enough capability to capture funds from foreign investors in order to grow. Therefore, I returned to Indonesia to focus on this technology sector. Together with several colleagues, I founded East Ventures and became a Managing Partner in its first fund. I was also East Ventures’ sole full-time  Partner focused in Indonesia [at that time].”

Later on, together with his two colleagues Jefrey Joe and Will Ongkowidjaja, Chandra founded Alpha JWC Ventures in 2015. To date, the team has managed two funds with a value of nearly $200 million or the equivalent of 2.7 trillion Rupiah. The funds were collected from LPs from Indonesia, Singapore, the United States, several European countries, Japan, China, and Korea. They mainly focused on early stage and every year they have target to invest in 8-10 startups. However, Alpha JWC Ventures is quite often involved in the follow-on investment for series B. The ticket sizes given vary from $200 thousand to $15 million.

“In 2013, they started to have a different vision in East Ventures resulting in me, Jefrey, and Will founded Alpha JWC Ventures in 2015. We did quite a different approach from investors in Southeast Asia, and still ongoing. Alpha JWC was founded as an institutional and independent fund. With strict discipline in investment strategy, every decision can be accounted for later. From previous experiences, I also learned the importance of assisting founders in the early days of startups, therefore, we apply a value-add approach and build a great value-creation team at Alpha JWC,” Chandra explained.

Co-Founder Alpha JWC Ventures Chandra Tjan dan Jefrey Joe / Alpha JWC Ventures
Alpha JWC Ventures’ Co-Founder Chandra Tjan dan Jefrey Joe / Alpha JWC Ventures

Digital ecosystem is yet to bloom

With the existence of decacorn, unicorns, and dozens of centaurs in various business landscapes, Chandra said Indonesia’s digital ecosystem is quite green- even though it is starting to form. There are some factors to support the maturity of a digital startup ecosystem, among those, the competition between players will be tighter, the market will become saturated, and it will be difficult for companies to grow exponentially.

“Indeed, it is getting into shape, but it’s still a long way to go. Indonesia’s digital industry is still green, and this is good news for us as investors and startups. It means that the market holds enormous potential to be discovered and developed, and the growth projection is beyond great in almost all sectors and target markets. This is a very big momentum in Indonesia,” Chandra said.

The conditions brought Alpha JWC Ventures to adopt a sector-agnostic view. They invest in various business ideas in various sectors estimated to have great growth potential with a positive impact on society.

“In terms of investment, we always look at 3 factors: people, product, and potential — the quality of the founders who built the startup, products that provide solutions to real problems for people’s need, and the potential for the product to develop in terms of features and users. Among those three, the quality of the founder is the most important factor in our Point of View, because ideas and products can change at an early stage, but we can only hold on to the founder’s commitment and vision,” he explained.

In 2020, the startup ecosystem had to encounter Covid-19 pandemic. Startups and investors had to form many adjustments. On the other side, Chandra sees that the pandemic has succeeded in forcing investors to pay more attention to fundamentals and unit economics in startups – something that Alpha JWC Ventures has been implemented since the beginning. Also, a pandemic has accelerated digital adoption in Indonesia, therefore, startups will find it easier to introduce their products to the public.

“For us, higher digital adoption will bring high investment potential, and this is the right time to invest. However, being selective is crucial, whether these startups can survive and thrive despite a pandemic. Since the beginning of the year, we are actively invest in new companies and follow-on investments into our portfolio, and until now we are satisfied with the results,” Chandra explained.

Exit strategy

To date, Alpha JWC Ventures has scored 3 portfolio exits through acquisition. Exit, through M&A or IPO, is indeed one way for venture capitalists to get ROI from their investment expense. They will profit from an increase in the valuation, based on the growth of the related startup.

Regarding the exit strategy, Chandra said that they currently focus on becoming a long-term partner for their portfolio. “Exit is certainly important, but making exit the main focus will actually damage the dynamics with the portfolio. We will exit at the right time, and ‘right’ means a different thing for each startup.”

He added, “To date, we have successfully brought 3 startups to exit, Spacemob was acquired by WeWork less than a year from our investment; DealStreetAsia was acquired by Nikkei to realize their vision of bringing quality news from Asia to the world; and Jualo was acquired by our other portfolio, Carro, as an expansion path in Indonesia. All three happened at the right moment and we are proud of this achievement. ”

Indonesia’s digital ecosystem in the future

Kopi Kenangan menjadi salah satu portofolio "signature" new retail Alpha JWC Ventures / Kopi Kenangan
Kopi Kenangan becomes one of Alpha JWC Venture’ signature portfolio of new retail / Kopi Kenangan

Chandra also revealed that investors need to read the future trends or even create the trend. “In 2010, for example, I saw that e-commerce would become an ‘idol’ in society, at that time people are getting familiar with fast and cheap internet connections. I started with Tokopedia and Traveloka. Then, 6 years ago, when we started Alpha JWC, we saw that people are getting more comfortable making transaction through digital applications and will definitely need a more practical way of payment and an affordable source of funds, that’s why we started investing in several fintech startups such as Kredivo and Modalku. Both have now become the leading players in Indonesia and part of people’s daily lives.”

He also mentioned, “It is likewise the new retail trend in the F&B sector. In 2018, we saw technology has made it easier for startups and consumers, therefore, we made a big investment in Kopi Kenangan. Many people considered this investment is a crazy act then. However, we can prove that not only did we make the right choice, but we are bringing the trend of VC investment for new retail startups – something that was unlikely in Indonesia. Always one step ahead, that’s the key. ”

Regarding the startup ecosystem, he thought that Indonesia is approaching an “inflection point”. The ecosystem has started to rise 10 years ago, and accelerated in the last 5 years; Supposedly, soon after the pandemic ends, the development will accelerate both in terms of quality, innovation, the quantity of startups, and cooperation between players.

Alpha JWC Ventures also has plans to expand its business in Southeast Asia. “After Indonesia, Singapore, and Malaysia, we believe Vietnam will become the next digital hotspot in Southeast Asia. The startup ecosystem in Vietnam is quite similar to Indonesia, only a little younger, that’s why we find it interesting.”

Regarding expansion for its startup portfolio, Chandra believes more that each portfolio has its own focus, and regional expansion is not always the best, especially with the Indonesian market that is quite large and still some space left to be discovered. “Some of our startups are going regional in the near future, but at the moment I can’t reveal much,” concluded Chandra


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Chandra Tjan: Ekosistem Digital di Indonesia Belum Matang, Kesempatan Bagi Investor dan Startup

Alpha JWC Ventures menjadi salah satu pemodal ventura yang aktif di Indonesia. Tahun 2020, mereka berinvestasi di 10 startup. Jumlah ini menambah deretan perusahaan portofolio menjadi 41 buah. Tahun 2021 ini, mereka berencana menutup fund ketiganya yang diklaim memiliki nominal yang lebih besar sehingga bisa lebih agresif bermanuver di lanskap startup Indonesia.

Untuk mendalami visi dan tujuan Alpha JWC Ventures, kami berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan salah satu founder mereka, Chandra Tjan. Di ekosistem, ia bukan orang baru karena sebelumnya di tahun 2009 ia sempat menjadi Co-Founder & Managing Partner East Ventures dalam Fund 1-nya. Keterlibatannya termasuk dalam investasi awal Tokopedia, Traveloka, Disdus (diakuisisi Groupon), Pricearena (diakuisisi Yello Mobile), dan beberapa lainnya.

“Di 2009, saat itu saya sudah 10 tahun tinggal di Singapura dan sudah settle down dan berkarier sebagai bankir di Credit Suisse dan Citigroup. Di sana, saya melihat besarnya potensi dan kesempatan sektor teknologi di negara lain seperti Amerika, Jepang, dan Tiongkok. Saya rasa Indonesia harusnya bisa seperti itu juga. Teknologi dan social impact-nya akan memajukan Indonesia, dan saya ingin ikut berperan di proses tersebut,” ungkapnya.

Ia melanjutkan, “Ternyata, saat itu di Indonesia sudah ada beberapa perusahaan teknologi/startup, tapi mereka tidak punya kemampuan menarik dana dari investor asing untuk berkembang lebih besar. Melihat kebutuhan itu, saya pulang ke Indonesia untuk fokus di sektor teknologi ini. Bersama beberapa rekan, saya mendirikan East Ventures dan menjadi Managing Partner di fund pertamanya. Saya juga menjadi satu-satunya Partner East Ventures yang full-time dan fokus di Indonesia [saat itu].”

Kemudian di tahun 2015, bersama dua rekannya Jefrey Joe dan Will Ongkowidjaja, Chandra mendirikan Alpha JWC Ventures. Hingga saat ini, ada dua fund yang dikelola dengan nilai hampir $200 juta atau setara 2,7 triliun Rupiah. Dana tersebut dibukukan dari LP yang berasal dari Indonesia, Singapura, Amerika Serikat, beberapa negara Eropa, Jepang, Tiongkok, dan Korea. Setiap tahun, mereka memiliki target berinvestasi ke 8-10 startup dengan fokus utama pendanaan tahap awal. Kendati demikian, tak jarang Alpha JWC Ventures juga terlibat dalam follow on investment untuk seri B. Ticket size yang diberikan berkisar $200 ribu s/d $15 juta.

“Pada 2013, terjadi perbedaan visi di East Ventures dan akhirnya di 2015 saya bersama Jefrey dan Will mendirikan Alpha JWC Ventures. Pendekatan yang kami ambil cukup berbeda dengan investor-investor di Asia Tenggara, bahkan hingga saat ini. Alpha JWC didirikan sebagai fund yang independen dan institusional. Dengan disiplin ketat dalam strategi investasi sehingga setiap keputusan dapat dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Dari pengalaman sebelumnya, saya juga belajar pentingnya mendampingi founder di masa-masa awal startup, karena itu di Alpha JWC kami menerapkan pendekatan value-add approach dan membangun tim value-creation yang besar,” terang Chandra.

Co-Founder Alpha JWC Ventures Chandra Tjan dan Jefrey Joe / Alpha JWC Ventures
Co-Founder Alpha JWC Ventures Chandra Tjan dan Jefrey Joe / Alpha JWC Ventures

Ekosistem digital belum matang

Kendati saat ini Indonesia sudah memiliki decacorn, unicorn, dan puluhan centaur di berbagai lanskap bisnis, menurut Chandra ekosistem digital di Indonesia masih belum matang–meski sudah mulai terbentuk. Ada beberapa indikasi untuk kematangan sebuah ekosistem startup digital, di antaranya kompetisi antarpemain akan semakin ketat, pasar akan menjadi saturated, dan sulit bagi perusahaan untuk berkembang secara eksponensial.

“Memang sudah semakin terbentuk, namun masih jauh dari matang. Industri digital Indonesia masih muda, dan ini adalah berita baik bagi kami selaku investor dan para startup. Artinya potensi pasar masih luar biasa besarnya untuk ditemukan dan dikembangkan, dan proyeksi growth masih sangat besar di hampir semua sektor dan target pasar. Ini adalah masa-masa yang sangat menarik bagi Indonesia,” kata Chandra.

Kondisi tersebut membuat Alpha JWC Ventures memilih mengadopsi pandangan sector-agnostic. Mereka berinvestasi pada berbagai ide bisnis di berbagai sektor yang ditaksirkan memiliki potensi pertumbuhan yang besar dan memberikan dampak positif di masyarakat.

“Dalam berinvestasi, kami selalu melihat 3 faktor: people, product, dan potential — kualitas founder yang membangun startup tersebut, produk yang memberikan solusi pada masalah riil yang dibutuhkan orang banyak, dan potensi berkembangnya produk itu secara fitur dan pengguna. Di antara ketiganya, kualitas founder adalah faktor yang paling penting dalam pertimbangan kami, karena ide dan produk bisa berubah di tahap awal, hanya founder yang bisa kita pegang komitmen dan visinya,” jelasnya.

Tahun 2020 ekosistem startup dihadapkan dengan pandemi Covid-19. Banyak penyesuaian yang harus dilakukan oleh pelaku startup maupun investor. Chandra sendiri di satu sisi melihat, bahwa pandemi berhasil memaksa investor untuk lebih memperhatikan fundamentals dan unit economics di startup — sesuatu yang sudah diterapkan sejak awal di Alpha JWC Ventures. Di sisi lain, pandemi membawa percepatan adopsi digital di Indonesia, sehingga startup-startup akan lebih mudah mengenalkan produknya ke masyarakat.

“Bagi kami, digital adoption yang semakin tinggi membawa potensi investasi yang tinggi pula, sehingga justru inilah saat yang tepat untuk melakukan pendanaan. Namun, selektif itu harus, termasuk apakah startup-startup ini bisa bertahan dan berkembang meski menghadapi pandemi. Sejak awal tahun, kami terus aktif melakukan investasi ke perusahaan baru dan follow-on investment ke portofolio kami, dan hingga saat ini kami merasa puas dengan hasilnya,” jelas Chandra.

Strategi exit

Sampai saat ini, Alpha JWC Ventures sudah melakukan exit di 3 portofolionya melalui akuisisi. Exit, melalui M&A atau IPO, memang menjadi salah satu cara bagi pemodal ventura untuk mendapatkan ROI dari apa yang telah diinvestasikan. Mereka akan mendapati untung dari peningkatan nilai valuasi, didasarkan pada pertumbuhan startup terkait.

Terkait strategi exit, Chandra mengatakan bahwa saat ini fokus mereka adalah menjadi mitra jangka panjang untuk portofolionya. “Exit tentu penting, tapi menjadikan exit sebagai fokus utama malah akan merusak dinamika dengan portofolio. Kami akan exit di waktu yang tepat, dan ‘tepat’ itu punya arti yang berbeda bagi setiap startup.”

Ia menambahkan, “Sejauh ini, kami berhasil exit dari 3 startup, Spacemob diakuisisi WeWork kurang dari satu tahun dari investasi kami; DealStreetAsia diakuisisi Nikkei untuk mewujudkan visi mereka membawa berita berkualitas dari Asia ke seluruh dunia; dan Jualo diakuisisi oleh portofolio kami lainnya, Carro, sebagai jalur ekspansi di Indonesia. Ketiganya terjadi di momen yang tepat dan kami bangga atas pencapaian ini.”

Proyeksi ekosistem digital Indonesia

Kopi Kenangan menjadi salah satu portofolio "signature" new retail Alpha JWC Ventures / Kopi Kenangan
Kopi Kenangan menjadi salah satu portofolio “signature” new retail Alpha JWC Ventures / Kopi Kenangan

Chandra juga mengungkapkan, pentingnya bagi investor untuk membaca tren di masa mendatang atau bahkan menciptakan tren itu sendiri. “Di 2010 misalnya, saya melihat e-commerce akan menjadi ‘idola’ di masyarakat yang saat itu mulai akrab dengan koneksi internet cepat dan murah. Saya mulai dengan Tokopedia dan Traveloka. Lalu, 6 tahun lalu, saat kami memulai Alpha JWC, kami melihat bahwa masyarakat yang mulai nyaman dengan beberapa aplikasi digital sehari-hari pasti akan membutuhkan cara pembayaran yang lebih praktis serta sumber dana yang terjangkau, karena itu kami mulai investasi di beberapa startup fintech seperti Kredivo dan Modalku. Keduanya kini sudah menjadi salah satu pemain terbesar di Indonesia dan bagian hidup sehari-hari masyarakat.”

Lebih lanjut ia menambahkan, “Begitu juga dengan tren new retail di sektor F&B. Tahun 2018, kami melihat teknologi dapat memberikan kemudahan bagi startup dan konsumen, karena itu kami memberikan investasi besar pada Kopi Kenangan. Investasi ini dianggap gila oleh banyak orang pada saat itu. Tapi, saat ini, kami bisa membuktikan bahwa tak hanya kami melakukan pilihan tepat, tapi kami membawa tren pendanaan VC ke startup makanan — sesuatu yang tadinya tidak terpikirkan di Indonesia. Always one step ahead, itu kuncinya.”

Terkait ekosistem startup sendiri, ia menilai di Indonesia tengah mendekati “inflection point”. Ekosistem sudah mulai menanjak sejak 10 tahun yang lalu, kemudian mengalami akselerasi di 5 tahun terakhir; diyakini sebentar lagi setelah pandemi berakhir perkembangannya akan semakin melesat baik dari segi kualitas, inovasi, kuantitas startup, dan kerja sama antara para pemain.

Alpha JWC Ventures sendiri juga memiliki rencana untuk melakukan ekspansi bisnis di Asia Tenggara. “Setelah Indonesia, Singapura, dan Malaysia, kami percaya Vietnam akan menjadi digital hotspot selanjutnya di Asia Tenggara. Ekosistem startup di Vietnam juga mirip dengan Indonesia, hanya saja sedikit lebih muda, karena itu kami tertarik ke sana.”

Lalu terkait ekspansi untuk portofolio startupnya, Chandra lebih percaya bahwa setiap portofolio punya fokusnya masing-masing, dan tidak selalu ekspansi regional itu yang terbaik, apalagi dengan market Indonesia yang sangat besar dan masih bisa dieksplorasi lebih lanjut lagi. “Ada beberapa startup kami yang akan melakukan ekspansi regional dalam waktu dekat, tapi saat ini saya belum bisa cerita banyak,” tutup Chandra.

Bobobox Secures Series A Funding Worth 170 Billion Rupiah

Bobobox, known as a startup of capsule hotel accommodation service, recently announced Series A funding worth of US$ 11.5 million or equivalent to 170 billion Rupiah. This round was led by Horizons Ventures with the previous investor, Alpha JWC Ventures. It is with participation of some investors, including Cocoa Investments, Sequoia Surge, and Mallorca Investment.

Prior to this, Bobobox’s pre series A began in March 2019, it was involving Alpha JWC Ventures, Genesia Ventures, and three other investors. Later, in May 2019, the Bandung based startup returned to get funding from Sequoia Capital India (Surge), Agaeti Ventures, Everhaus, Alpha JWC Ventures, and Ganesia Ventures.

With this additional capital fund, the company will focus on developing features to improve the experience of using pods (call for lodging capsules). In addition, they also plan to strengthen teams in manufacturing and operations, plus expansion to several other countries in Southeast Asia after the Covid-19 pandemic ends.

This round becomes quite unique, as the Covid-19 outbreak happened, many players in the accommodation and tourism industries have collapsed, some are shutting down the business. Bobobox’s Co-Founder & CEO Indra Gunawan said, “We are grateful and proud to still be able to obtain funding from global investors amid the crisis due to the Covid-19 outbreak. I believe this is part of the result from our discipline in maintaining our unit economics in all branches.”

In the past year, Bobobox has established six new locations in three cities: Bandung, Jakarta, and Semarang. To date, they operate eight locations with a total of 572 pods and occupancy rates of 80-90% before the pandemic. After the pandemic it is significantly dropped to 50-60%.

“In my opinion, another factor behind investor’s trust in Bobobox is the unique selling proposition that allows us to be prepared for the crisis and behavioral changes that arise from this pandemic, even before we know this will happen. It will benefit us later when technology-based accommodation becomes an industry demand,” he added.

Alternative lodging during pandemic

Launching pods for medical staff of Covid-19 hospital partners / Bobobox
Launching pods for medical staff of Covid-19 hospital partners / Bobobox

It is stated in the release, the Covid-19 pandemic also opened up new opportunities. As the tourism industry slows down, local residents become new customers of the Bobobox pods. In order to meet consumer demand and maintain the safety of its staff and customers, Bobobox implements preventive measures, including limiting the number of entrants and closing public gathering spaces.

“With additional preventive measures, many local residents have chosen to relocate to our pods to support their work-from-home needs. Some of them choose the closest Bobobox from their office to avoid long travel and the crowds, all to reduce the risk of exposure to Covid-19,” Bobobox’s Co-Founder & President, Antonius Bong explained.

Previously, in collaboration with the Li Ka Shing Foundation, Bobobox also donated 100 sleeping pods to Covid-19 referral hospitals in DKI Jakarta and West Java. It is to be used as a resting place for medical staff during their breaks.

“The crisis shows the true state of the company and how strong their business and revenue framework is. The crisis finally shows which companies are really solid. With satisfactory performance and growth since we first invested in Bobobox in 2018, we believe Bobobox will not only be able to overcome the current shocks but will be a leading player in the regional tourism industry,” Alpha JWC Ventures’ Managing Partner, Chandra Tjan said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bobobox Dapatkan Pendanaan Seri A 170 Miliar Rupiah

Bobobox, yang dikenal sebagai startup penyedia layanan akomodasi hotel kapsul, baru-baru ini mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai US$11,5 juta atau setara 170 miliar Rupiah. Putaran investasi ini dipimpin Horizons Ventures dan investor sebelumnya Alpha JWC Ventures. Beberapa pemodal yang turut terlibat termasuk Kakao Investments, Sequoia Surge dan Mallorca Investment.

Sebelumnya pendanaan pra-seri A Bobobox sudah dimulai sejak Maret 2019, waktu itu melibatkan Alpha JWC Ventures, Genesia Ventures, dan tiga investor lainnya. Kemudian pada Mei 2019, startup asal Bandung tersebut kembali dapatkan pendanaan dari Sequoia Capital India (Surge), Agaeti Ventures, Everhaus, Aplha JWC Ventures, dan Ganesia Ventures.

Dengan dana modal tambahan ini, perusahaan akan fokus pada pengembangan fitur demi meningkatkan pengalaman penggunaan pods (sebutan untuk kapsul penginapan). Selain itu, mereka juga rencanakan penguatan tim di bidang manufaktur dan operasional, plus ekspansi ke beberapa negara lain di Asia Tenggara setelah pandemi Covid-19 berakhir.

Pendanaan ini menjadi menarik, pasalnya di tengah terpaan Covid-19, banyak pemain di industri akomodasi dan pariwisata terpuruk, bahkan sampai ada yang memutuskan menghentikan bisnisnya. Co-Founder & CEO Bobobox Indra Gunawan mengatakan, “Kami bersyukur dan bangga masih dapat meraih pendanaan dari investor global di sela-sela guncangan yang ditimbulkan Covid-19. Saya percaya hal ini tak terlepas dari disiplin kami dalam menjaga unit economics yang sehat di semua cabang.”

“Menurut saya, faktor lain di balik kepercayaan investor pada Bobobox adalah unique selling proposition yang memungkinkan kami siap menghadapi krisis dan perubahan perilaku yang muncul dari pandemi ini, bahkan sebelum kita tahu hal ini akan terjadi. Hal ini juga memberikan keuntungan bagi kami nantinya saat akomodasi berbasis teknologi menjadi kebutuhan industri,” imbuhnya.

Dalam satu tahun terakhir, Bobobox telah mendirikan enam lokasi baru di tiga kota: Bandung, Jakarta, dan Semarang. Saat ini, mereka mengoperasikan delapan lokasi dengan total 572 pods dan tingkat okupansi 80-90% sebelum pandemi. Setelah pandemi turun menjadi 50-60%.

Selama pandemi digunakan jadi alternatif menginap

Peluncuran pods yang ditujukan untuk tenaga medis RS mitra Covid-19 / Bobobox
Peluncuran pods yang ditujukan untuk tenaga medis RS mitra Covid-19 / Bobobox

Dalam rilisnya perusahaan menguraikan, masa pandemi Covid-19 turut membuka peluang baru. Di saat industri pariwisata melambat, penduduk lokal menjadi pelanggan baru pods Bobobox. Untuk memenuhi permintaan konsumen dan tetap menjaga keselamatan staf dan pelanggannya, Bobobox menerapkan langkah-langkah preventif, termasuk membatasi jumlah penginap dan menutup ruang berkumpul umum.

“Dengan adanya langkah-langkah preventif tambahan, banyak penduduk lokal memilih relokasi ke pods kami demi menunjang kebutuhan work-from-home mereka. Tidak sedikit yang memilih Bobobox terdekat dari kantor mereka agar tidak perlu melakukan perjalanan jauh demi menghindari keramaian dan mengurangi risiko terpapar Covid-19,” jelas Co-Founder & President Bobobox Antonius Bong.

Sebelumnya, bekerja sama dengan Li Ka Shing Foundation, Bobobox juga mendonasikan 100 sleeping pods ke rumah sakit rujukan Covid-19 di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Difungsikan sebagai tempat istirahat tenaga medis di sela-sela tugasnya.

“Krisis memperlihatkan keadaan perusahaan yang sesungguhnya serta seberapa kuat bisnis dan kerangka pemasukan mereka. Krisis juga akhirnya menunjukkan mana perusahaan yang benar-benar solid. Dengan kinerja dan pertumbuhan yang memuaskan sejak pertama kali kami berinvestasi di Bobobox pada 2018, kami percaya Bobobox tak hanya dapat melewati guncangan krisis saat ini, tapi juga akan menjadi pemain unggulan industri pariwisata regional,” ujar Managing Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

Application Information Will Show Up Here

GudangAda Notches 372 Billion Rupiah Worth of Series A Funding

After securing seed funding last February 2020, GudangAda B2B marketplace platform for FMCG products today (5/5) has announced another round. In this series A, the firm managed to bag funding worth of US$25.4 million, or around 372 billion Rupiah. This round was led by Sequoia India and Alpha JWC Ventures, with the participation of Wavemaker Partners. The company is to develop a new line ob business and build up the internal team.

The platform provides a place for FMCG industry players to meet and conduct transactions online, from suppliers, distributors to retail traders. This warehouse provides an opportunity for traders to develop their business through faster inventory turns, optimal pricing, greater choice of goods and business partners, and transparent transaction management.

GudangAda is said to succeed in connecting around 50 thousand traders in 500 cities, and covering almost 100 percent of FMCG wholesalers in Indonesia, through an enabler approach.

Previously, GudangAda received seed funding from Alpha JWC Ventures and Wavemaker Partners, with participation from Pavilion Capital, valued at US$10.5 million or around 154 billion Rupiah. With this series A funding, the company has managed to get total funding of US$ 36 million within 15 months since it was founded.

“When we first invested in GudangAda and Stevensang, we knew that they would become leading players in the FMCG industry, not only in Indonesia but also in Southeast Asia […] FMCG is an industry that is still running traditionally and is also difficult to break down innovation. It’s not easy to change habits and behavior, especially those that have been going on for decades. However, GudangAda claims that it is possible as long as the players know where to penetrate, what kind of difficulties, and how to execute the strategy effectively,” Alpha JWC Ventures’ Managing Partner, Chandra Tjan said.

In fact, there are some existing startups with similar services beforehand, making it easy for business partners to complete basic standards. Previously, there was Stoqo who served similar services targeting partners from food businesses. Unfortunately, they had to announce service termination earlier this year. In addition, there are other players such as Foodia, Eden Farm, Wahyoo, and many more serves different specializations – with the same core, becoming a hub for business players with merchants.

Momentum amid pandemic

Stevensang GudangAda
GudangAda’s Founder and CEO, Stevensang

GudangAda was founded in the end of 2018 by Stevensang (CEO) with 25 years of experience in the FMGC industry. In an interview with DailySocial he said, “GudangAda was founded due to his concerns over the continuity of the traditional shop business in the digital age. The business concept is to empower all parties involved in the ecosystem, therefore, they can get optimal benefits from the platform.”

Amid the Covid-19 pandemic, GudangAda has gained momentum to expand. The physical distancing situation has put the online-based solutions as an alternative to fulfill the demand of FMGC products – as to ensure the availability of food and other daily needs, and help industry players to continue to run optimally during the PSBB period in some areas.

“B2B supply chains in many developing countries face challenges in terms of capital constraints, ineffective inventory management, and manual operational processes. GudangAda built a digital ecosystem that can change the face of the Indonesian FMCG industry which is currently still running traditionally […] Indonesia will witness the emergence and development of the use of B2B technology in the second e-commerce wave, and we are very pleased for the opportunity to work with GudangAda in this trip,” Managing Director of Sequoia Capital (India) Singapore, Abheek Anand said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

GudangAda Dapatkan Pendanaan Seri A Senilai 372 Miliar Rupiah

Setelah Februari 2020 lalu umumkan pendanaan awal, hari ini (05/5) GudangAda platform marketplace B2B untuk produk FMCG kembali mengumumkan pendanaan terbarunya. Dalam putaran seri A, mereka berhasil bukukan dana senilai US$25,4 juta atau setara 372 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh Sequoia India dan Alpha JWC Ventures, dengan partisipasi dari Wavemaker Partners. Perusahaan akan menggunakan pendanaan ini untuk terus mengembangkan sistem teknologinya, meluncurkan lini bisnis baru, dan memperkuat tim internal.

Platform yang dihadirkan menyediakan tempat bagi pemain industri FMCG untuk bertemu dan melakukan transaksi secara online, mulai dari pemasok, distributor, hingga pedagang eceran. GudangAda ini memberikan kesempatan bagi pedagang untuk mengembangkan bisnis mereka melalui perputaran inventori yang lebih cepat, penentuan harga yang optimal, pilihan barang dan rekan bisnis yang lebih banyak, serta manajemen transaksi yang transparan.

Diklaim saat ini GudangAda berhasil menghubungkan sekitar 50 ribu pedagang di 500 kota, serta mencakup hampir 100 persen dari pedagang grosir FMCG di Indonesia, melalui pendekatan sebagai penyokong (enabler).

Sebelumnya, GudangAda mendapatkan pendanaan awal dari Alpha JWC Ventures dan Wavemaker Partners, dengan partisipasi dari Pavilion Capital, sejumlah US$10,5 juta atau sekitar 154 miliar Rupiah. Dengan pendanaan seri A ini, perusahaan telah berhasil mendapatkan pendanaan total sebesar US$36 juta  dalam 15 bulan sejak berdiri.

“Saat kami pertama kali berinvestasi pada GudangAda dan Stevensang, kami tahu bawa mereka akan menjadi pemain unggulan di industri FMCG, tak hanya di Indonesia, tapi juga di Asia Tenggara […] FMCG adalah industri yang masih beroperasi secara tradisional dan juga sulit didobrak inovasi. Tidak mudah untuk mengubah kebiasaan dan perilaku, terutama yang telah dilakukan selama puluhan tahun. Namun, GudangAda membuktikan bahwa hal tersebut dapat dilakukan jika pelakunya paham di mana pintu masuk terbaik, kesulitan apa yang dihadapi, dan bagaimana cara mengeksekusi strategi dengan efektif,” jelas Managing Partner Alpha JWC Ventures, Chandra Tjan.

Benar saja, sebelumnya memang sudah ada beberapa startup yang jajakan layanan serupa, memberikan kemudahan bagi mitra pebisnis memenuhi kebutuhan dasar. Menyasar mitra dari pebisnis makanan, sebelumnya ada Stoqo yang sajikan layanan serupa. Namun awal tahun ini mereka harus mengumumkan penghentian layanan. Selain itu, masih ada pemain lain seperti Foodia, Eden Farm, Wahyoo dan lain-lain dengan spesialisasi yang berbeda — namun intinya sama, menjadi hub untuk pebisnis dengan penyedia barang dagangan.

Momentum di tengah pandemi

Stevensang GudangAda
Founder & CEO GudangAda Stevensang / GudangAda

GudangAda didirikan akhir tahun 2018 oleh Stevensang (CEO) yang telah berpengalaman di industri FMGC selama 25 tahun. Dalam wawancaranya dengan DailySocial ia pernah mengatakan, “GudangAda didirikan karena adanya keprihatinan terhadap kelangsungan bisnis toko tradisional di era digital. Konsep bisnis yang diusung adalah untuk memberdayakan semua pihak yang terlibat dalam ekosistem sehingga bisa mendapatkan manfaat yang optimal dari platform.”

Di tengah pandemi Covid-19, solusi GudangAda justru mendapatkan momentum baik untuk memperluas cakupannya. Adanya anjuran untuk melakukan physical distancing membuat solusi berbasis online menjadi alternatif untuk pemenuhan kebutuhan produk FMGC – membantu menjamin ketersediaan sembako dan kebutuhan sehari-hari lain, serta membantu pelaku industri agar tetap berjalan optimal di masa PSBB di banyak daerah.

“Rantai pasokan B2B di banyak negara berkembang menghadapi tantangan dari segi keterbatasan modal, manajemen inventori yang tidak efektif, dan proses operasional manual. GudangAda membangun sebuah ekosistem digital yang dapat mengubah wajah industri FMCG Indonesia yang kini masih berjalan secara tradisional […] Indonesia akan menyaksikan muncul dan berkembangnya penggunaan teknologi B2B dalam gelombang e-commerce kedua, dan kami sangat senang atas kesempatan bekerja sama dengan GudangAda dalam perjalanan ini,” ujar Managing Director Sequoia Capital (India) Singapore, Abheek Anand.

Application Information Will Show Up Here

Alpha JWC Ventures Bags 1.7 Trillion Rupiah Through Its Second Fundraising

Alpha JWC Ventures has announced to close its second fundraising round at $123 million or around 1.7 trillion Rupiah. Since starting the second round in mid-2018, Fund 2 had been closed by “oversubscribed” – the number of investors who have a keen interest to join is exceeding the available slots. In addition, almost all investors in Fund 1 are rejoined this round.

The money collected from Fund 2 has been invested since the end of 2018 to 14 startups. One of the biggest investments has been Kopi Kenangan in November 2018 at $8 million or around 121 billion Rupiah. To date, they already listed 33 startups in their portfolio.

“To date, our team’s support in the journey and its development has been an important factor of our startup portfolio’s succession, and our focus lays on the business fundamentals of each company. We always remind all founders and startup teams the importance of proper unit economics calculations and financial accountability from the first day they joined Alpha JWC. We believe this approach is essential for the long-term sustainability of startups,” Alpha JWC Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Chandra Tjan explained.

In portfolio management, the company managed to use a hands-on approach in various business lines, from recruitment, marketing, and legal support.

“We also avoid investing in similar companies or any competitors to our previous portfolios. Our principle is to support our startups directly and intensively which means we have to choose the right founders and continue to help them throughout the startup journey,” Alpha JWC Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Jefrey Joe added.

To date, Alpha JWC has 20 team members. This year they added three new partners, namely Alan Hellawell (former CSO of SEA Group), Erika Go (former Principal of Alpha JWC), and Eko Kurniadi (former VP of Investment Creador). In addition, they have now launched a permanent office in Singapore to be able to reach more startups in Southeast Asia.

“We’re actively eyeing Vietnam’s digital industry for funding opportunities. As one of the fastest growing economies in the world, we believe Vietnam is the next largest market in Southeast Asia. Furthermore, we’ve invested in three companies in Vietnam and currently exploring some other startups,” Chandra added.

In its debut in 2016, Alpha JWC Ventures has launched Fund 1 worth $50 million or around 700 billion Rupiah. The funds were channeled to 23 startups in Southeast Asia, mostly in Indonesia. In less than 4 years, Fund 1 is claimed to have grown to 3.2x in Net Asset Value (NAV). Alpha JWC has also successfully made two exits, the Spacemob coworking space network (acquisition by WeWork in 2017) and the DealStreetAsia business media (acquisition by Nikkei in 2019).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian